Professional Documents
Culture Documents
Kerajaan ini ibukotanya bernama Chopo ( nama China ), menurut bukti- bukti
China pada abad 5 M. Mengenai letak Kerajaan Holing secara pastinya belum
dapat ditentukan. Ada beberapa argumen mengenai letak kerajaan ini, ada yang
menyebutkan bahwa negara ini terletak di Semenanjung Malay, di Jawa barat,
dan di Jawa Tengah. Tetapi letak yang paling mungkin ada di daerah antara
pekalongan dan Plawanagn di Jawa tengah. Hal ini berdasarkan catatan
perjalanan dari Cina
Kerajaan Holing adalah kerajaan yang terpengaruh oleh ajaran agama Budha.
Sehingga Holing menjadi pusat pendidikan agama Budha. Holing sendiri memiliki
seorang pendeta yang terkenal bernama Janabadra. Sebgai pusat pendidikan
Budha, menyebabkan seorang pendeta Budha dari Cina, menuntut ilmu di
Holing. Pendeta itu bernama Hou ei- Ning ke Holing, ia ke Holing untuk
menerjemahkan kitab Hinayana dari bahasa sansekerta ke bahasa cina pada
664-665.
Sistem Administrasi kerajaan ini belum diketahui secara pasti. Tapi beberapa
bukti menunjukkan bahwa pada tahun 674-675, kerajaan ini diperintah oleh
seoarang raja wanita yang bernama Simo.
Pada abad ke-5 muncul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang diperkirakan
terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat
dari prasasti dan catatan dari negeri Cina. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling
menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian
jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu danTarumanagara yang
sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing
kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha.
Berita Cina
Berita keberadaan Ho-ling juga dapat diperoleh dari berita yang berasal dari
zaman Dinasti Tang dan catatan I-Tsing.
Cerita Cina pada zaman Dinasti Tang (618 M - 906 M) memberikan tentang
keterangan Ho-ling sebagai berikut.
Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.
Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan
singgasananya terbuat dari gading.
Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan
gading gajah.
Catatan I-Tsing
Prasasti
Prasasti peninggalan Kerajaan Ho-ling adalah Prasasti Tukmas. Prasasti ini
ditemukan di Desa Dakwu daerah Grobogan, Purwodadi di lereng Gunung
Merbabu di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa dan berbahasa
Sansekerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan
jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan denganSungai
Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar
seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang
merupakan lambang keeratan hubungan manusiadengan dewa-dewa Hindu.[2]
Pada abad ke 7 di Jawa Tengah bagian utara sudah berdiri satu
kerajaan,kerajaan itu bernama Holing.Berita Cina berasal dari Dinasti T'ang yang
menyebutkan bahwa letak Kerajaan Holing berbatasan dengan Laut Sebelah
Selatan, Ta-Hen-La (Kamboja) di sebelah utara, Po-Li (Bali) sebelah Timur dan To-
Po-Teng di sebelah Barat. Nama lain dari Holing adalah Cho-Po (Jawa), sehingga
berdasarkan berita tersebut dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Holing terletak di
Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah.
J.L. Moens dalam menentukan letak Kerajaan Holing meninjau dari segi
perekonomian, yaitu pelayaran dan perdagangan. Menurutnya, Kerajaan Holing
selayaknya terletak di tepi Selat Malaka, yaitu di Semenanjung Malaya.
Alasannya, Selat Malaka merupakan selat yang sangat ramai dalam aktifitas
pelayaran perdagangan saat itu. Pendapat J.L. Moens itu diperkuat dengan
ditemukannya sebuah daerah di Semenajung Malaya yang bernama daerah
Keling.
Menurut Prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760, pada tahun 664 Masehi
kerajaan Holing dipindahkan oleh Ki-Yen ke arah Timur dan berlanjut dengan
nama Kerajaan Kanjuruhan
Sumber Sejarah
Kehidupan Politik
Pemerintahan Ratu Sima sangat keras, namun adil dan bijaksana. Kepada setiap
pelanggar, selalu diberikan sangsi tegas. Rakyat tunduk dan taat terhadap
segala perintah Ratu Sima. Bahkan tidak seorang pun rakyat atau pejabat
kerajaan yang berani melanggar segala perintahnya.
Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Holing sudah teratur rapi. Hal ini
disebabkan karena sistem pemerintahan yang keras dari Ratu Sima. Di samping
ini juga sangat adil dan bijaksana dalam memutuskan suatu masalah. Rakyat
sangat menghormati dan mentaati segala keputusan Ratu Sima.
Kehidupan Ekonomi
Kehidupan Budaya
Rakyat Ho-ling menganut agama Budha. Hal itu dapat diketahui dari berita Cina
yang ditulis I-Tshing, yang menjelaskan bahwa pada tahun 644 masehi Hwi-Ning
seorang pendeta budha dari cina datang ke Ho-ling dan menetap selama 3
tahun. Hwi-Ning menterjemahkan salah satu kitab suci agama Budha Hinayana
yang berbahasa Sanksekerta ke dalam bahasa Cina. Dalam usahanya Hwi-Ning
dibantu oleh seorang pendeta kerajaan Ho-ling yang bernama Jnanabhadra
Kerajaan Kalingga atau Holing
Asal nama Jepara berasal dari perkataan Ujung Para, Ujung Mara dan Jumpara
yang kemudian menjadi Jepara, yang berarti sebuah tempat pemukiman para
pedagang yang berniaga ke berbagai daerah. Menurut buku “Sejarah Baru
Dinasti Tang (618-906 M)” mencatat bahwa pada tahun 674 M seorang musafir
Tionghoa bernama I-Tsing pernah mengunjungi negeri Holing atau Kaling atau
Kalingga yang juga disebut Jawa atau Japa dan diyakini berlokasi di Keling,
kawasan timur Jepara sekarang ini, serta dipimpin oleh seorang raja wanita
bernama Ratu Shima yang dikenal sangat tegas.
Menurut seorang penulis Portugis bernama Tome Pires dalam bukunya “Suma
Oriental”, Jepara baru dikenal pada abad ke-XV (1470 M) sebagai bandar
perdagangan yang kecil yang baru dihuni oleh 90-100 orang dan dipimpin oleh
Aryo Timur dan berada dibawah pemerintahan Demak. Kemudian Aryo Timur
digantikan oleh putranya yang bernama Pati Unus (1507-1521). Pati Unus
mencoba untuk membangun Jepara menjadi kota niaga.
Pati Unus dikenal sangat gigih melawan penjajahan Portugis di Malaka yang
menjadi mata rantai perdagangan nusantara. Setelah Pati Unus wafat digantikan
oleh ipar Faletehan /Fatahillah yang berkuasa (1521-1536). Kemudian pada
tahun 1536 oleh penguasa Demak yaitu Sultan Trenggono, Jepara diserahkan
kepada anak dan menantunya yaitu Ratu Retno Kencono dan Pangeran Hadiri
suami. Namun setelah tewasnya Sultan Trenggono dalam Ekspedisi Militer di
Panarukan Jawa Timur pada tahun 1546, timbulnya geger perebutan tahta
kerajaan Demak yang berakhir dengan tewasnya Pangeran Hadiri oleh Aryo
Penangsang pada tahun 1549.
Sebagai seorang penguasa Jepara, yang gemah ripah loh jinawi karena
keberadaan Jepara kala itu sebagai Bandar Niaga yang ramai, Ratu Kalinyamat
dikenal mempunyai jiwa patriotisme anti penjajahan. Hal ini dibuktikan dengan
pengiriman armada perangnya ke Malaka guna menggempur Portugis pada
tahun 1551 dan tahun 1574. Adalah tidak berlebihan jika orang Portugis saat itu
menyebut sang Ratu sebagai “RAINHA DE JEPARA”SENORA DE RICA”, yang
artinya Raja Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya raya.
Serangan sang Ratu yang gagah berani ini melibatkan hamper 40 buah kapal
yang berisikan lebih kurang 5.000 orang prajurit. Namun serangan ini gagal,
ketika prajurit Kalinyamat ini melakukan serangan darat dalam upaya
mengepung benteng pertahanan Portugis di Malaka, tentara Portugis dengan
persenjataan lengkap berhasil mematahkan kepungan tentara Kalinyamat.
Namun semangat Patriotisme sang Ratu tidak pernah luntur dan gentar
menghadapi penjajah bangsa Portugis, yang di abad 16 itu sedang dalam puncak
kejayaan dan diakui sebagai bangsa pemberani di Dunia.
Dua puluh empat tahun kemudian atau tepatnya Oktober 1574, sang Ratu
Kalinyamat mengirimkan armada militernya yang lebih besar di Malaka.
Ekspedisi militer kedua ini melibatkan 300 buah kapal diantaranya 80 buah kapal
jung besar berawak 15.000 orang prajurit pilihan. Pengiriman armada militer
kedua ini di pimpin oleh panglima terpenting dalam kerajaan yang disebut orang
Portugis sebagai “QUILIMO”.
Walaupun akhirnya perang kedua ini yang berlangsung berbulan-bulan tentara
Kalinyamat juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka, namun telah
membuat Portugis takut dan jera berhadapan dengan Raja Jepara ini, terbukti
dengan bebasnya Pulau Jawa dari Penjajahan Portugis di abad 16 itu.
Sebagai peninggalan sejarah dari perang besar antara Jepara dan Portugis,
sampai sekarang masih terdapat di Malaka komplek kuburan yang di sebut
sebagai Makam Tentara Jawa. Selain itu tokoh Ratu Kalinyamat ini juga sangat
berjasa dalam membudayakan SENI UKIR yang sekarang ini jadi andalan utama
ekonomi Jepara yaitu perpaduan seni ukir Majapahit dengan seni ukir Patih
Badarduwung yang berasal dari Negeri Cina.
Menurut catatan sejarah Ratu Kalinyamat wafat pada tahun 1579 dan
dimakamkan di desa Mantingan Jepara, di sebelah makam suaminya Pangeran
Hadiri. Mengacu pada semua aspek positif yang telah dibuktikan oleh Ratu
Kalinyamat sehingga Jepara menjadi negeri yang makmur, kuat dan mashur
maka penetapan Hari Jadi Jepara yang mengambil waktu beliau dinobatkan
sebagai penguasa Jepara atau yang bertepatan dengan tanggal 10 April 1549 ini
telah ditandai dengan Candra Sengkala TRUS KARYA TATANING BUMI atau terus
bekerja keras membangun daerah.
Ratu Shima atau Sima adalah nama penguasa Kerajaan Kalingga, yang pernah
berdiri pada milenium pertama di Jawa. Tidak banyak diketahui tentangnya,
kecuali bahwa ia sangat tegas dalam memimpin dengan memberlakukan hukum
potong tangan bagi pencuri. Salah satu korbannya adalah keluarganya sendiri.
Syahadan, Kerajaan Kalingga, Nagari di pantura (pantai utara Jawa, sekarang di
Keling, Kelet, Jepara, Jateng) beratus masa berlampau, bersinar terang
emas,penuh kejayaan. Bersimaharatulah, Ratu Shima, nan ayu, anggun, perwira,
ketegasannya semerbak wangi di antero nagari nusantara. Sungguh, meski
jargon kesetaraan Gender belum jadi wacana saat itu. Namun pamor Ratu Shima
memimpin kerajaannya luar biasa, amat dicintai jelata, wong cilik sampai
lingkaran elit kekuasaan. Kebijakannya mewangi kesturi, membuat gentar para
perompak laut. Alkisah tak ada nagari yang berani berhadap muka dengan
Kerajaan Kalingga, apalagi menantang Ratu Shima nan perkasa. bak Srikandi,
sang Ratu Panah.
Konon, Ratu Shima, justru amat resah dengan kepatuhan rakyat, kenapa wong
cilik juga para pejabat mahapatih, patih, mahamenteri, dan menteri,hulubalang,
jagabaya,jagatirta, ulu-ulu, pun segenap pimpinan divisi kerajaan sampai tukang
istal kuda, alias pengganti tapal kuda, kuda-kuda tunggang kesayangannya, tak
ada yang berani menentang sabda pandita ratunya. Sekali waktu, Ratu Shima
menguji kesetiaan lingkaran elitnya dengan me-mutasi, dan me-Non Job-kan
pejabat penting di lingkungan Istana. Namun puluhan pejabat yang mendapat
mutasi ditempat yang tak diharap, maupun yang di-Non Job-kan, tak ada yang
mengeluh barang sepatah kata. Semua bersyukur, kebijakan Ratu Shima
sebetapapun memojokkannya, dianggap memberi barokah, titah titisan Sang
Hyang Maha Wenang.
Tak puas dengan sikap ‘setia’ lingkaran dalamnya, Ratu Shima, sekali lagi
menguji kesetiaan wong cilik, pemilik sah Kerajaan Kalingga dengan
menghamparkan emas permata, perhiasan yang tak ternilai harganya di
perempatan alun-alun dekat Istana tanpa penjagaan sama sekali. Kata Ratu
Shima,“Segala macam perhiasan persembahan bagi Dewata agung ini jangan
ada yang berani mencuri, siapa berani mencuri akan memanggil bala kutuk bagi
Nagari Kalingga, karenanya, siapapun pencuri itu akan dipotong tangannya
tanpa ampun!”. Sontak Wong cilik dan lingkungan elit istana, bergetar hatinya,
mereka benar-benar takut. Tak ada yang berani menjamah, hingga hari ke 40.
Ratu Shima sempat bahagia.
Namun malang tak dapat ditolak. Esok harinya semua perhiasan itu lenyap tanpa
bekas. Amarah menggejolak di hati sang penguasa Kalingga. Segera dititahkan
para telik sandi mengusut wong cilik yang mungkin saja jadi maling di sekitar
lokasi persembahan, sementara di Istana dibentuk Pansus,Panitia Khusus yang
menguji para pejabat istana yang mendapat mutasi apes, atau yang Non Job
diperiksa tuntas. Namun setelah diperiksa dengan seksama. Berpuluh laksa
wong cilik tak ada yang pantas dicurigai sebagai pelaku, sementara pejabat
istana pun berbondong, bersembah sujud, bersumpah setia kepada Ratu Shima.
Mereka rela menyerahkan jiwanya apabila terbukti mencuri. Ratu Shima
kehabisan akal.
sujud sang tukang istal muda belia,mukanya seperti terbenam di lantai istana.
“Apa, Putra Mahkota mencuri?!,”Ratu Shima terperanjat bukan
kepalang.Mukanya merah padam..”Putraku, jawab dengan jujur, pakai nuranimu,
benar apa yang dikatakan wong cilik dari kandang kuda ini?”, tanya sang ibu
menahan getar. Sang Putra Mahkota tiada menjawab, ia hanya mengangguk.,
lalu menunduk teramat malu. Ia mengharap belas kasih sang ibu yang
membesarkannya dari kecil.
Sejenak istana teramat sunyi, hanya bunyi nafas yang terdengar, dan daun-daun
jati emas yang jatuh luruh ke tanah.”Prajurit, Demi tegaknya hukum, dan
menjauhkan nagari Kalingga dari kutukan dewata, potong tangan Putra
Mahkotaku, sekaramg juga…,”perintah Sang Ratu Shima dengan muka keras.
Seluruh penghuni istana dan rakyat jelata yang berlutut hingga alun-alun
merintih memohon ampun, namun Sang Ratu tiada bergeming dari
keputusannya. Hukuman tetap dilaksankana. Hal itu dituliskan dengan jelas di
Prasasti Kalingga, yang masih bisa dilihat hingga kini.Holing ( Chopo )
Kerajaan ini ibukotanya bernama Chopo ( nama China ), menurut bukti- bukti
China pada abad 5 M. Mengenai letak Kerajaan Holing secara pastinya belum
dapat ditentukan. Ada beberapa argumen mengenai letak kerajaan ini, ada yang
menyebutkan bahwa negara ini terletak di Semenanjung Malaya, di Jawa barat,
dan di Jawa Tengah. Tetapi letak yang paling mungkin ada di daerah antara
pekalongan dan Plawanagan di Jawa tengah. Hal ini berdasarkan catatan
perjalanan dari Cina.
Kerajaan Holing adalah kerajaan yang terpengaruh oleh ajaran agama Budha.
Sehingga Holing menjadi pusat pendidikan agama Budha. Holing sendiri memiliki
seorang pendeta yang terkenal bernama Janabadra. Sebagai pusat pendidikan
Budha, menyebabkan seorang pendeta Budha dari Cina, menuntut ilmu di
Holing. Pendeta itu bernama Hou ei- Ning ke Holing, ia ke Holing untuk
menerjemahkan kitab Hinayana dari bahasa sansekerta ke bahasa cina pada
664-665.
Sistem Administrasi kerajaan ini belum diketahui secara pasti. Tapi beberapa
bukti menunjukkan bahwa pada tahun 674-675, kerajaan ini diperintah oleh
seoarang raja wanita yang bernama Simo.
Kalingga adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Tengah, yang pusatnya
berada di daerah Kabupaten Jepara sekarang. Kalingga telah ada pada abad ke-6
Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini
pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang
siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Maharani Shima memiliki cucu yang bernama SANAHA yang menikah dengan
raja ke 3 dari Kerajaan Galuh, yaitu BRATASENAWA. Sanaha dan Bratasenawa
memiliki anak yang bernama SANJAYA yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda
dan Kerajaan Galuh (723-732M).
Setelah Maharani Shima mangkat di tahun 732M, Sanjaya menggantikan
buyutnya dan menjadi raja Kerajaan KALINGGA UTARA yang kemudian disebut
BUMI MATARAM, dan kemudian mendirikan Dinasti / Wangsa Sanjaya di Kerajaan
Mataram Kuno.
Kerajaan ini berada di wilayah Jawa Tengah bagian utara (sekarang Jepara).
Dalam berita Cina kerajaan ini disebiut Holing. Di sana dijelaskan bahwa pada
abad ke 7 di Jawa Tengah bagian utara sudah berdiri satu kerajaan. Rakyat dari
kerajaan tersebut hidupnya makmur dari hasil bercocok tanam serta mempunyai
sumber air asin. Hidup mereka tenteram, karena tidak ada kejahatan dan
kebohongan. Ilmu perbintangan sudah dikenal dan dimanfaat dalam bercocok
tanam.
Raja yang terkemuka dari kerajaan ini adalah Ratu Sima. Pemerintahannya
berlangsung dari sekitar tahun 674 masehi. Ratu Sima menerapkan peraturan-
peraturan secara disiplin. Kepada setiap pelanggar, selalu diberikan sangsi
tegas. Suatu saat seorang saudagar Arab berkeinginan untuk membuktikan
ketaatan rakyat Kalingga terhadap hukum yang diterapkan. Ia meletakkan
pundi-pundi uang di jalan di tengah kota. Ternyata tak ada seorangpun
menyentuh atau mengambilnya. Hingga suatu hari secara tidak sengaja kaki
Putra Mahkota menyentuh pundi-pundi itu. Maka Ratu Sima memerintahkan agar
anaknya di potong kakinya sebagai hukuman. Karena hukuman itu dirasa terlalu
berat, para penasehat Ratu memohon agar hukuman diperingan, namun Ratu
berkeras. Setelah didesak, Ratu Sima memutuskan untuk memperingan
hukumannya. Kaki putra mahkota tidak jadi dipotong tetapi hanya jari-jari
kakinya saja.
Rakyat Holing menganut agama Budha. Hal itu dapat diketahui dari berita Cina
yang ditulis I-Tshing, yang menjelaskan bahwa pada tahun 644 masehi Hwi-Ning
seorang pendeta budha dari cina datang ke Holing dan menetap selama 3 tahun.
Hwi-Ning menterjemahkan salah satu kitab suci agama Budha Hinayana yang
berbahasa Sanksekerta ke dalam bahasa Cina. Dalam usahanya Hwi-Ning
dibantu oleh seorang pendeta kerajaan Holing yang bernama Janabadra.
Menurut Prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760, pada tahun 664 Masehi
kerajaan Kalingga dipindahkan oleh Ki-Yen ke arah Timur dan berlanjut dengan
nama Kerajaan Kanjuruhan.
Kerajaan Holing
Pemerintahan Ratu Sima sangat keras, namun adil dan bijaksana. Rakyat tunduk
dan
taat terhadap segala perintah Ratu Sima. Bahkan tidak seorang pun rakyat atau
pejabat
kerajaan yang berani melanggar segala perintahnya.
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Holing sudah teratur rapi. Hal ini
disebabkan
karena sistem pemerintahan yang keras dari Ratu Sima. Di samping ini juga
sangat adil
dan bijaksana dalam memutuskan suatu masalah. Rakyat sangat menghormati
dan
mentaati segala keputusan Ratu Sima.
DOT WORDPRESS
Kerajaan ini ibukotanya bernama Chopo ( nama China ), menurut bukti- bukti
China
pada abad 5 M. Mengenai letak Kerajaan Holing secara pastinya belum dapat
ditentukan. Ada beberapa argumen mengenai letak kerajaan ini, ada yang
menyebutkan
bahwa negara ini terletak di Semenanjung Malay, di Jawa barat, dan di Jawa
Tengah.
Tetapi letak yang paling mungkin ada di daerah antara pekalongan dan
Plawanagn di
Jawa tengah. Hal ini berdasarkan catatan perjalanan dari Cina
Kerajaan Holing adalah kerajaan yang terpengaruh oleh ajaran agama Budha.
Sehingga
Holing menjadi pusat pendidikan agama Budha. Holing sendiri memiliki seorang
pendeta
yang terkenal bernama Janabadra. Sebgai pusat pendidikan Budha,
menyebabkan
seorang pendeta Budha dari Cina, menuntut ilmu di Holing. Pendeta itu bernama
Hou
ei- Ning ke Holing, ia ke Holing untuk menerjemahkan kitab Hinayana dari
bahasa
sansekerta ke bahasa cina pada 664-665.
Sistem Administrasi kerajaan ini belum diketahui secara pasti. Tapi beberapa
bukti
menunjukkan bahwa pada tahun 674-675, kerajaan ini diperintah oleh seoarang
raja
wanita yang bernama Simo.
Sepanjang yang dapat diketahui sampai sekarang, belum ada seseorang yang
menulis
dan menerbitkan sejarah Mandailing. Oleh karena itu kita tidak dapat
memperoleh
refensi untuk membicarakan sejarah Madailing. Suku bangsa atau kelompok
etnis
Mandailing. Suku bangsa atau kelompok etnis Mandailing memang mempuyai
aksara
sendiri yang dinamakan Surat Tulak-Tulak. Tetapi ternayata orang-orang
Mandailing
pada zaman dahulu tidak menggunakan aksara tersebut untuk menuliskan
sejarah. Pada
umumnya yang dituliskan adalah mengenai ilmu pengobatan tradisional,
astronomi
tradisional, ilmu ghaib, andung-andung dan tarombo atau silsilah keturunan
keluarga-
keluarga tertentu. Setalah sekolah berkembang di Mandailing, Surat Tulak-Tulak
mulai
dipergunakan oleh guru-guru untuk menuliskan cerita-cerita rakyat Mandailing
sebagai
bacaan murid-murid sekolah.
Beberapa legenda yang mengandungi unsur sejarah dan berkaitan dengan asal-
usul
marga orang Mandailing masih hidup di tengah masyarakat Mandailing. Seperti
legenda
Namora Pande Bosi dan legenda Si Baroar yang dtulis oleh Willem Iskandar pada
abad
ke-18. Tetapi legenda yang demikian itu tidak memberi keterangan yang cukup
berarti
mengenai sejarah Mandailing. Dalam bebrapa catatan sejarah seperti sejarah
Perang
Paderi yang disusun oleh M. Radjab, disebut-sebut mengenai Mandailing dan
keterlibatan orang Mandailing dalam Perang Paderi. Catatan sejarah ini hanya
berhubungan dengan masyarakat Mandailing pada abad ke-18 dan awal
masuknya
orang Belanda ke Mandailing. Bagaimana sejarh atau keadaan masyarakat
Mandailing
pada abad-abad sebelumnya tidak terdapat tulisan yang mencatatnya.
KITAB NEGARAKERTAGAMA
Mpu Prapanca, seorang pujangga Kerajaan Majapahit menulis satu kitab yang
berjudul
Negarakertagama sekitar tahun 1365. kitab tersebut ditulisnya dalam bentuk
syair yang
berisi keterangan mengenai sejarah Kerajaan Majapahit. Menurut Prof. Slamet
Mulyana
(1979:9). Kitab Negarakertagama adalah sebuah karya paduan sejarah dan
sastra yang
bermutu tinggi dari zaman Majapahit. Berabad-abad setelah runtuhnya Kerajaan
Majapahit, keberadaan dimana kitab ini tidak diketahui. Baru pada tahun 1894,
satu
Kitab Negarakertagama ditemukan di Puri Cakranegara di Pulau Lombok.
Kemudian
pada tanggal & Juli 1979 ditemukan lagi satu Kitab Negarakertagama di
Amlapura,
Kabupaten Lombok, Pulau Bali.
Mandailing terdapatlah bukti sejarah yang otentik bahwa pada abad ke-14 telah
diakui
keberadaannya sebagai salah satu negara bawahan Kerajaan Majapahit..
pengertian
negara bawahan dalam hal ini tidak jelas artinya karena tidak ada keterangan
berikutnya.
Jadi dapatlah dikatakan bahwa Negri Mandailing sudah ada sebelum abad ke-14.
Karena
sebelum keberadaannya dicatat tentunya Mandailing sudah terlebih dahulu ada.
Kapan
Negeri Mandailing mulai berdiri tidak diketahui secara persis. Tetapi karena
nama
Mandailing dalam kitab ini disebut-sebut bersama nama banyak negeri di
Sumatera
termasuk Pane dan Padang Lawas, kemungkinan sekali negeri Mandailing sudah
mulai
ada pada abad ke-5 atau sebelumya. Karena Kerajaan Pane sudah disebut-sebut
dalam
catatan Cina pada abad ke-6. Dugaan yang demikian ini dapat dihubungkan
dengan
bukti sejarah berupa reruntuhan candi yang terdapat di Simangambat dekat
Siabu.
Candi tersebut adalah Candi Siwa yang dibangun sekitar abad ke-8.
Apakah pada abad ke-14 Mandailing merupakan satu kerajaan tidak diketahui.
Karena
dalam Kitab Negarakertagama, Mandailing tidak disebut-sebut sebagai kerajaan
tetapi
sebagai negara bawahan Kerajaan Majapahit. Tetapi dengan disebutkan negeri
Mandailing sebagai negara, ada kemungkinan pada masa itu Mandailing
merupakan
satu kerajaan. Keterangan mengenai keadaaan Mandailing sebelum abad ke-14
tidak
ada sama sekali kecuali keberadaaan Candi Siwa di Simangambat. Namun
demikian,
berdasarkan berbagai peninggalan dari zaman pra sejarah dan peninggalan dari
zaman
Hindu/Buddha yang terdapat di Mandailing kita dapat mengemukakan
keterangan yang
bersifat hipotesis.