You are on page 1of 3

Ash-Shaumu Ramadhan, Suatu Perjalanan

Rohani dari
Iman Menuju Taqwa
Oleh : Buya H. Mas’oed Abidin

Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu


benpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertaqwa. (QS. Al Baqarah:183
Di antara tujuan shaum itu adalah, "Membebaskan ruh manusia dari
cengkraman hawa nafsu yang menguasai jasmaninya menuju sasaran
pensucian dan kebahagiaan yang abadi. Puasa merupakan perisai bagi
orang mukmin, kendali baginya dan yang mengantarkannya ke dalam
golongan orang-orang yang bertaqwa.” (Dr. Abul Hasan Ali Abdul Hayyi Al
Hasani An Nadwi dalam bukunya The Four of Islam). Sementara itu Prof.
Dr. Mahmud Syaltut (dalam Al-Islam Aqidatun wa Syari’atun)
mengatakan : "Lidah manusia telah terbiasa mengatakan, bahwa puasa
adalah menahan diri dan makan, minum dan melakukan hubungan
seksual".
Sesungguhnya Allah SWT telah memulai ayat puasa dengna firman-
Nya "Hai orang-orang yang beriman" dan diakhiri dengan "Agar kamu
bertaqwa" dengan firman-Nya : "Supaya kamu bersyukur". Diantara
permulaan dan penutup terdapat perintah puasa : "Diwajibkan atas kamu
berpuasa". Seruan Allah yang didahului dengan sifat keimanan sebagai
azas kebaikan dan sumber keutamaan, kemudian diakhiri dengan
penyebutan taqwa sebagai roh keimanan dan rahasia kemenangan,
merupakan petunjuk yang kuat dan keterangan yang jelas, bahwa puasa
yang dikehendaki Allah, bukan semata-mata menahan diri dari segala
yang menodai keimanan.
Maka, tidak ada artinya puasa seseorang yang mengarahkan maksud
dan pengharapannya selain dari Allah. Tidak ada arti puasa bagi orang
yang berbuat kesalahan, menyebarkan fitnah dan tipu daya, serta
menjauhi suruhan Allah dan Rasul-Nya. Tidak berarti puasa bagi orang
yang menyimpan perasaan dengki, iri hati dan berusaha memecah-belah
dan melemahkan kekuatan iman umat muslimin. Tidak ada artinya puasa
bagi orang yang menyukai perbuatan zholim, berperangai buruk dalam
kehidupan sesama manusia.
Tidak bermakna puasa bagi orang yang mengambil keuntungan dari
perpecahan umat atau memenuhi kehendak hawa nafsunya. Tidak
bermakna puasa bagi orang yang tangan, lidah, atau salah satu anggota
butuhnya digunakan untuk menyakiti hamba Allah atau melanggar
larangan-larangan-Nya. Tidak bermanfaat puasa bagi orang yang setiap
saat berbuat aniaya terhadap dirinya dan orang lain serta terhadap
lingkungannya.
Dengan berpuasa, semestinya seorang shaimin tidak akan berdusta,
tidak akan ragu melaksanakan amalan baik, tidak puyla akan menyebar
fitnah, tidak akan pernah melakukan tindak kejahatan, serta tidak pula
pernah mengambil harta orang lain dengan cara-cara yang bathil. Itulah
arti puasa yang menghimpun antara bentuk lahiriyah, yakni menahan diri
dari segala yang membatalkannya. Dengan ibadah puasa menjadi upaya
penguatan roh keimanan dengan meningkatkan pengamanan diri dan
menyuciannya dari noda dan dosa serta pengisian dan pembersihannya
dengan hal-hal yang baik. Isyarat Rasulullah amatlah jelasnya.
« Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta (bohong)
dan amal jahat, maka Allah tidak memerlukan ibadah puasanya
orang itu, meskipun ia telah meninggalkan makan dan minum. »
(HR. Bukhari, At-Tirmizi dan Abu Daud)
Dalam Al-Quran, tujuan puasa disebut secara eksplisit, yaitu untuk
menciptakan manusia bertaqwa. Manusia bertaqwa sesungguhnya adalah
manusia yang memiliki kesadaran tauhid (tauhidic weltanschaung) yang
amat tinggi. Kesadaran ketuhanan adalah kesadaran seseorang bahwa
Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, senantiasa menyertai dan mengawasi
hidupnya, sehingga Allah bukan hanya Maha Hadir tetapi juga Maha
Dekat.
Kesadaran bertauhid inilah pangkal kebaikan dan pangkal moralitas.
Tanpa kesadaran ketuhanan, tidak akan pernah ada taqwa atau
ketaqwaan. Dalam suatu hadist, Nabi SAW pernah menerangkan bahwa ;
seseorang tidak akan mencuri, tidak akan korupsi, tidak akan
berzinah, atau tidak akan melakukan tindak kejahatan lainnya
manakala ia beriman dan ingat kepada Allah Ta’ala … (HR. Bukhari).
Ini mengandung makna bahwa perbuatan dosa timbul dan terjadi
karena kelalaian dan kealpaan manusia dari mengingat Allah SWT. Maka,
Ibadah puasa yang kita lakukan sesungguhnya berfungsi untuk
mempertajam dan meningkatkan kesadaran tauhid, yang diharapkan
dapat menjadi dasar dan landasan terbentuknya nilai taqwa. Kesadaran ini
sangat menonjol pada orang yang berpuasa. Orang yang berpuasa dengan
sebenarnya akan tetap menahan lapar dan dahaga, meski baginya
terbuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk berbuka, di mana tidak
ada seorangpun yang melihat dan akan mengetahui perbuatannya. Hal
demikian itu terjadi karena sepenuhnya meyakini bahwa Allah Maha
Mengetahui dan menyaksikan apapun yang diperbuat oleh dirinya. Inilah
kesadaran berketuhanan tauhid dan inilah sesungguhnya dasar dari
taqwa.
Imam Al-Ghazali dalam Mukasyafatul Qulub merincikan bahwa sifat
itu membentuk tujuh macam watak sifat manusia yang baik di antaranya
yaitu ; Lidahnya selalu terpelihara dari perkataan buruk dan berbohong.
Hatinya terhindar dari sifat dengki, hasat, benci dll. Matanya jauh dari
pandangan yang terlarang. Perutnya tidak mau makan makanan yang
haram atau yang bersumber dari harta yang haram. Tangannya tidak
menyentuh yang diharamkan. Kakinya tidak melangkah ke tempat
maksiat. Ketaatannya ikhlas karena Allah semata, tidak karena riya’ atau
mengharapkan pujian.
Allahu A’lam bi ash Shawab.

You might also like