You are on page 1of 12

Pandangan Teori Hukum Keos Terhadap Kasus BLBI

{ 20 Mei 2009 @ 13:27 } · { Teori Hukum, Tugas Individu, Tugas Kelompok }

A. Pendahuluan

Hukum yang dipahami kebanyakan adalah sebagai suatu sistem yang teratur dalam

kehidupan sosial masyarakat dimana hukum itu berada. Pandangan ini yang terus menerus

digemborkan oleh aliran positivisme hukum. Hukum dipandang sebagai suatu makhluk yang

bebas dari pengaruh dari luar yang mempunyai kepala, badan, tangan dan kaki tertentu

yang membedakannya dari makhluk lain. Mereka – para postivist – tidak pernah melihat

bahwa hukum berasal dari masyarakat sosial. Sedangkan kehidupan sosial pada realitasnya

selalu berubah sebagai akibat dari salinga mempengaruhinya kepentingan-kepentingan

individu atau kelompok dalam masyarakat. Jika kehidupan sosial – sebagai akar terbentuknya

hukum – berubah, maka suatu hal yang tidak mungkin jika hukum selalu tetap dalam

sistemnya dan tidak terpengaruh oleh perubahan sosial tersebut. Basis sosial yang berubah

inilah yang menjadi dasar berpikir bahwa sebenarnya hukum bukanlah sebuah sistem

melainkan pola hubungan yang keos, berubah, dan asimetris yang kemudian memunculkan

teori keos dalam hukum.

B. Teori Keos Dalam Hukum[1]

Charles Sampford pada akhir tahun 1980-an menulis sebuah buku yang berjudul The

Disorder of Law: A Critique of Legal Theory.Sampford memberikan pandangan baru tentang

apa yang selama ini banyak dipahami oleh teoritis hukum. Ia menjelaskan bahwa teori

hukum tidak hanya muncul atau tidak mesti berasal dari sistem (sesuatu yang sistematis),

sebagaimana pandangan yang menganggap bahwa hukum seslalu bersifat sistemik (teori

sistem dalam hukum), tetapi teori hukum dapt juga muncul dari apa yang disebunya dari

situasi keos, sehingga melahirkan apa yang disebut dengan “teori keos” dalam hukum. Teori

hukum muncul dan dibangun dari sesuatu keadaan atau kondisi masyarakat yang disebut

sebagai “Melle”,[2] karena masyarakat sesungguhnya (realitasnya) selalu berada dalam

kondisi keos, bahwa masyarakat selalu berada pada jalinan hubungan-hubungan yang tidak

dapat diprediksi dan tidak sistematis. Masyarakat terus menerus bergerak secara dinamis,

hal demikian itu terjadi karena dalam masyarakat bahnyak sekali faktor yang

mempengaruhinya, misalnya kekuatan atau kekuasaan dan saling tarik menarikn dan

berbenturan di dalamnya. Oleh karenanya bagaimana mungkin situasi yang demikian itu

dikategorikan sebagai situasi yang serba tertib dan teratur.


Teori Sampford bertolak dari basis sosial hukum yang penuh dengan hubungan bersifat

asismetris yang merupakan ciri khas dari hubungan sosial. Hubungan sosial itu dipersepsikan

secara berbeda oleh para pihak, dengan demikian apa yang di permukaan tampak sebagai

tertib dan teratur, jelas dan pasti, sebenarnya penuh ketidakpastian.[3]

Ketidakteraturan dan ketidakpastian disebabkan hubungan-hubungan dalam masyarakat

bertumpu pada hubungan antar kekuatan (power relations). Hubungan kekuatan ini tidak

selalu tercermin dalam hubungan formal dalam masyarakat. Maka terdapat kesenjangan

antara hubungan formal dan hubungan nyata yang didasarkan pada kekuatan. Inilah yang

menyebabkan ketidakteraturan itu.[4]

Menurut Sampford adalah tidak mungkin untuk menerima adanya suatu sistem hukum di

tengah-tengah masyarakat yang tidak teratur. Sejak hukum itu berdiri dan berada di tengah-

tengah jaringan hubungan yang demikian itu pula yang diambil alih oleh sejumlah besar

aparatur/birokrat hukum dalam hubungannya satu sama lain dan dalam hubungan mereka

dengan warga negara. Keadaan demikian itulah yang menyebabkan Sampford mengatakan

bahwa hukum itu sesungguhnya penuh dengan ketidakteraturan. Maka teori hukum tidak

perlu berupa teori tentang sistem hukum, melainkan teori tentang ketidakteraturan hukum.

Sampford bertanya: Bagaimana mungkin keadaan yang dalam keyataannya penuh

ketidakteraturan itu dalam positivisme dilihat sebagai sesuatu yang penuh dengan

keteraturan? Dengan demikian maka sebetulnya, keteraturan itu bukan sesuatu yang oleh

para positivis “ingin dilihat sebagai ada”.[5]

Pandangan Sampford memperlihatkan ada kebenaran lain selain kebenaran yang selama ini

diklaim oleh paham sistematis dalam hukum yang memandang bahwa keadaan

keos/melle/disorder/asimetris yang didalamnya terkandung pluralitas, transformasi, mutasi,

perbedaan dan keanekaragaman, diversitas, multiplisitas dilihat sebagai hantu yang

menakutkan bagi pemikiran hukum sistematis, sesuatu yang selalu dianggap negatif dan

merusak, yang seharusnya tidak perlu diperlakukan seperti itu, karena secara substansial itu

akan menghalangi persepsi tentang apa yang disebut dengan hubungan atau situasi keos

tersebut.

Dalam kondisi masyarakat yang tidak teratur tersebut, ada semacama satu kemnngkinan

atau satu peluang yang muncul, yang dapat dikembangkan, apabila para ilmuwan dapat

mengambil hikmah dari situasi keos tersebut (the sense of chaos). Tugas filosof dan para
ilmuwan adalah menangkap pesan, peluang dari kemungkinan baru yang muncul dari situasi

yang keos atau mellee tersebut.

C. Tinjuan Kasus BLBI[6]

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bermula dari kebijakan Bank Indonesia (BI)

yang memberikan fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK) pada Desember 1997.

Kebijakan yang diambil, agar bank-bank bisa tetap bertahan dan beroperasi akibat masalah

perbankan di masa krisis moneter.

Dibutuhkan total biaya Rp 600 hingga Rp 650 triliun dalam bentuk obligasi dan surat utang

untuk proses restrukturisasi perbankan. Jumlah itu meliputi BLBI (Rp 144,536 triliun), dana

program penjaminan (Rp 53 triliun), dan dana program rekapitalisasi perbankan (Rp 350-400

triliun).

Untuk menyelesaikan krisis ekonomi, pemerintah Indonesia kemudian meminta bantuan

Dana Moneter Internasional (IMF). Maka pemerintah kemudian menanda tangani Letter of

Intent (LoI) dengan IMF pada 15 Januari 1998. Pemerintah juga memberikan jaminan atas

deposito (blanket guarantee) melalui Keppres No. 26/ 1998 pada tanggal 26 Januari 1998.

Akibatnya, selama Januari-Februari 1998 jumlah BLBI naik menjadi dua kali lipat. Hal ini

berarti situasi rush pada Januari dan kebijakan blanket guarantee membuat posisi BLBI

melonjak sangat besar.[7]

Sebelumnya, pada tahun 1985 pemerintah pernah mengucurkan ratusan miliar Kredit

Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) melalui Kredit Pembauran untuk Industri tanpa agunan

kepada para pengusaha besar Indonesia. Hingga tahun 1998, dana KLBI yang dikucurkan

kepada para konglomerat tersebut adalah sekitar Rp 100 triliun. Triliunan dana BLBI itu

hingga sekarang sulit dilacak karena Gedung BI di Jl. Thamrin, Jakarta, yang menyimpan

dokumen pengucuran BLBI, hangus terbakar pada Desember 1997. Kemudian Menteri

Keuangan J Sumarlin dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Andrianus Mooy memberlakukan

kebijakan Paket Oktober (Pakto) pada 1988. Paket ini merupakan upaya Iiberalisasi dunia

perbankan secara total dan spektakuler. Dengan Pakto I988 maka siapa pun yang menjadi

warga negara Republik Indonesia boleh mendirikan bank umum hanya dengan menyetor

modal sebesar Rp 10 miliar. Hasilnya, sekitar 200 bank baru lahir dan mayoritas pendirinya

adalah para konglomerat nasional. Sayangnya, para pengusaha besar yang tumbuh dalam

iklim Orde Baru itu tidak memahami fungsi pokok perbankan sebagai lembaga intermediasi

yang mengkonversi tabungan menjadi investasi yang produktif dan bahwa persyaratan pokok
bekerjanya bank ialah prudence. Mereka hanya pandai dalam bidang pemasaran sehingga

bank-bank yang baru berdiri tersebut berhasil meyakinkan para nasabah agar menyimpan

uangnya di bank-bank mereka.

Modal Rp 10 miliar tersebut bisa mereka lipatgandakan menjadi dana triliunan rupiah.

Narnun parapemilik bank itu tidak paham bahwa dana tersebut milik masyarakat. Mereka

tidak memahami bahwa laba bank terdiri dari spread yang tipis dan adanya risiko kredit

macet besar. Mereka melakukannya secara sembrono dan tidak melalui etika pengelolaan

yang baik. Para konglomerat itu rnenggunakan dana masyarakat justru untuk memberi kredit

kepada dirinya sendiri dan kelornpok usahanya secara besar-besaran demi membentuk

sebuah konglomerasi bisnis. Karena uang masyarakat yang berhasil dihimpun justru

disalurlan pada kelompok usaha milik sendiri yang disertai mark-up, makabanyak kredit

yang macet di tangan para konglomerat. Tapi karena bank pemberi kredit juga miliknya,

maka dengan mudah laporan keuangan dapat direkayasa sehingga terlihat sehat.

Dalam perjalanannya, bank-bank konglomerat tersebut kalah kliring, tetapi BI

menyelamatkannya melalui fasilitas diskonto. Kemudian mereka kalah kliring lagi, dan

kembali diselamatkan dengan fasilitas diskanto kedua. Ketika terjadi krisis moneter pada

1997, maka kebobrokan sistem perbankan nasional pun terkuak.

Sesuai dengan perannya sebagai lender of the last resort, Bank Indonesia memang dapat

memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank yang rnengalami kesulitan

likuiditas (mismatch). Pada Desember 1996, bantuan likuiditas yang disalurkan oleh Bank
Indonesia hanya Rp 371 rniliar dan sebulan sebelum krisis (Juni 1997) posisi Bantuan

Likuiditas Bank lndonesia (BLBl) mencapai angka Rp 1,2 triliun. Pada Juli 1997 posisi BLBl

rnenjadi Rp 1,4 triliun, dan kemudian terus mengalami kenaikan, apalagi ketika Kurs bebas

diterapkan pada Agustus 1997. Pada waktu itu Presiden Soeharto memberikan arahan agar

B1 tidak melikuidasi bank selama periode antara Pemilu 1997 sampai Sidang Unlum MPR

Maret 1998. Rapat Direksi Bank Indonesia pada 15 Agustus 1997 menerjemahkan

pengarahan presiden tersebut dalam bentuk dispensasi terhadap sanksi skorsing kliring bagi

bank-bank yang kalah kliring. Keputusan ini diikuti dengan kenailan penyaluran BLBl sebesar

Rp 4 triliun hingga posisinya menjadi Rp 5,2 triliun pada awal September 1997.

Pada Oktober 1997 posisi BLBl naik menjadi Rp 8,6 triliun sebagai akibat tindale lanjut Sidang

Kabinet Ekuwasbang dan Prodis yang memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank sehat

yang mengalami mismatch. Kebijakan ini memberikan legitimasi kepada Bank lndonesia
untuk terus menyalurkan bantuan likuiditas. Namun sampai di sini pertumbuhan BLBl selama

empat bulan pertama masa krisis belum menunjukan lonjakan yang sangat fantastis.

Perubahan luar biasa terjadi setelah pemerintah melikuidasi 16 bank pada 1 November 1997.

Posisi BLBl naik menjadi Rp 32 triliun hanya dalarn waktu sebulan. Jumlah penerirna BLBI pun

naik dari 13,1 menjadi 164 bank. Hingga akhir Desember 1997 posisi BLBI yang disalurkan

sudah mencapai Rp 47,l triliun. Kemudian jajaran direksi BI waktu itu mengirim surat kepada

Presiden Soeharto yang intinya memberitahukan rencana B1 untuk mengatasi masalah saldo

debet yang dialami perbankan nasional akibat rush. Surat itu antara lain berbunyi:

“Sambil menunggu konsolidasi perbankan dan pulihnya kepercayaan terhadap perhankan, RI

kiranya disetujui akan menganti saldo debet tersebut dengan Surat Berharga Pasar Uang

Khusus (SBPUK), sesuai dengan memo terlampir.” [8]

Usulan itu disetujui Presiden Soeharto melalui surat dari Kantor Sekretariat Negara yang

berkualifikasi “rahasia dan sangat rahasia” No. R-183/M/Sesneg/12/1997. Surat tersebut

antara lain menyebutkan:

“Maka dengan ini kami beritahukan bahwa Bapak Presiden menyetujui saran Direksi BI untuk

menganti saldo debet bank yang ada harapan sehat-sehat dengan SBPU Khusus

sebagaimana dilaporkan dalam surat Sdr. Gubernur BI. Bapak Presiden menilai langkah

tersebut perlu dilakukan untuk menjaga agar tidak banyak bank tahun sekarang ini yang

terpaksa tutup dan dinyatakan hangkrut.”[9]

Isi surat ini pada dasarnya menyetujui pengalihan saldo debet menjadi Surat Berharga Pasar

Uang lausus (SBIUK). Sebelumnya, pada 9 Desember 1997 direksi Bank Danamon menemui

direksi BI. Hasilnya, Bank Danamon disetujui untuk mendapat SBPUK senilai Rp 6 triliun.

Surat dari direksi BI dan surat dari presiden pada waktu itu kiranya menjadi kunci siapa

sebenarnya yang pantas memikul tanggung jawab terhadap kasus dana BLBI.

Ketidakpercayaan masyarakat dan ketidakmampuan bank membayar kewajiban-

kewajibannya menjadi momok yang sangat menakutkan bagi perekonomian Indonesia yang

tengah dilanda badai krisis moneter. Ketika keadaan ekonomi tidak juga membaik, BI sebagai

otoritas moneter justru membuat kebijakan yang menguntungkan para pengusaha besar

atau konglomerat. Atas dasar inilah pemerintah yang telanjur menandatangani Letterof

Intent pertama dengan Dana Moneter lnternasional (IMF) pada Januari 1998 mengeluarkan

Keppres No. 24 dan 26/1998. Keppres ini menjamin dana masyarakat di perbankan nasional
dan jaminan atas seluruh kewajiban bank-bank nasional terhadap nasabah serta kreditur

internasional. Peraturan pemerintah tersebut disetujui oleh BI melalui pengucuran dana BLBI

kepada 54 bank nasional sebesar Rp. 164,54 triliun (hingga Januari 1999). Para konglomerat

yang menerima BLBI antara lain Sjamsul NursaIim (BDNI) sebesar Rp 37,040 triliun, Soedono

Salim (Bank Central Asia) Rp 26,596 triliun, Usman Admadjaja (Bank Danamon) Rp 23,050

triliun, Bob Hasan (Bank Umum Nasional) Rp 12,068 triliun, dan Hendra Rahardja (Bank

Harapan Sentosa) Rp 3,866 triliun.

Dana BLBI dikucurkan ke sejumlah bank dalam beragam bentuk. Ada yang dalam bentuk

saldo debet, fasilitas saldo debet, fasilitas dislonto I, fasilitas diskonto II, fasilitas SBPUK,

fasilitas baru diskonto, fasilitas dana talangan valas, maupun fasilitas dana talangan rupiah.

Adapun rincian para penerima BLBI adalah 5 BankTake-Over (BTO) menerima Rp 57,639

triliun, 10 Bank Beku Operasi (BBO) Rp 57,687 triliun, 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU)

Rp 17,320 triliun, dan 15 Bank Dalam Likuidasi (BDL) Rp 1 1,888 triliun.

Celakanya, ternyata Rp 84,5 dan Rp 164,54 triliun danaBLBI yang telah dikucurkan BI

pada saat itu justru diselewengkan oleh para pemilik bank untuk kepentingan bisnis dalam

grup mereka sendiri, melunasi pinjaman, membiayai kontrak derivatif baru, melakukan

eskpansi kredit, pembukaan cabang baru, bahkan untuk menggoyang nilai rupiah. Bahkan

sekitar Rp 144,54 triliun dari dana BLBI malah dialihkan kepada pemerintah (sebagai utang)

sehingga menjadi beban APBN yang hams ditanggung rakyat.

Akibat Keppres No. 24 dan 26 tahun 1998 maka pemerintah terjebak dalam program
rekapitalisasi perbankan nasional sebesar Rp 400 triliun. Tapi karena pemerintah tidak

mempunyai uang sebanyak itu, maka pemerintah akhirnya menerbitkan obligasi (Surat

Utang Negara) yang dibebankan kepada APBN untuk merekap bank pemerintah dan bank

swasta yang tidak sehat serta untuk mengganti dana BLBI. Keseluruhan nilai pokok obligasi

yang menjadi beban APBN tersebut mencapai Rp 650 triliun. Di sisi lain, pada Juli 1998,

pemerintah membayar utang bank swasta nasional sebesar 1 miliar dollar AS kepada

bantuan luar negeri tanpa verifikasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Hal ini ditambah lagi dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang

kembali menguntungkan para pengusaha dan konglomerat yang tersangkut BLBI. Meskipun

PKPS akhirnya batal diperpanjang tetapi ha1 ini sudah cukup menunjukkan bahwa niat

memperpanjang PKPS bukanlah untuk kepentingan rakyat tetapi untuk kepentingan para

pengusaha, konglomerat, dan kepentingan politik penguasa. Pada Maret 1998 Badan
Penyebatan Perbankan Nasional (BPPN) didirikan dan menerima pengalihan 54 bank dari BI.

Langkah ini diikuti dengan rush lanjutau dalam situasi likuidasi ketat pada April 1998. Selama

Maret – April nilai BLBl melonjak dari Rp 31 triliun menjadi hampir Rp 135 triliun. Selama April

– September 1998 saldo negatif bank-bank di bawah BPPN- justeru terus naik.

Belakangan uang ratusan triliun yang mengalir ke bank-bank tersebut macet, sejumlah bank

tidak mampu membayar kembali utangnya. Penyebabnya, dana yang dikhususkan untuk

penyehatan perbankan justru mengalir ke perusahaan-perusahaan konglomerat dan

sejumlah bank yang bermasalah itu adalah milik konglomerat yang bersangkutan juga.

Akibatnya, dana perbankan dari bank sentral hanya menjadi akal-akalan pebisnis besar untuk

mendanai usahanya sendiri.

Pemerintah kemudian bermaksud menarik kembali dana BLBI dan memberikan beberapa

cara penyelesaian utang BLBl untuk para debitor. Pemerintah memberikan beberapa

alternatif penyelesaian masalah BLBI untuk para mantan pemilik bank yang disesuaikan

dengan kondisi keuangan mereka masing-masing. Cara-cara penyelesaian itu adalah:

1. Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) bagi debitur atau

obligor yang mempunyai cukup perusahaan untuk membayar utang-utangnya.

2. Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) untuk mereka

yang nilai perusahaannya tidak cukup untuk membayar utang, dan pembayaran

kekurangannya harus dilakukan dengan jaminan pribadi.

3. Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham-Akta Pengakuan Utang (PKPS-


APU) yang dibuat untuk mencapai kesepakatan penyelesaian kewajiban yang

harus ditanggung oleh pemilik saham pengendali atas kerugian bank mereka

akibat praktik perbankan yang tidak wajar serta pelanggaran Batas Maksimum

Pemberian Kredit (BMPK). Penyelesaian ini tidak melalui penyerahan aset.

BPPN menjadi pihak yang mengurus masalah tersebut. Selama periode Juni-September 1998

BPPN mengusahakan penyelesaian BLBI melalui MSAA (Master of Settlement Acquisition

Agreement) yang kemudian ditandatangani pada 21 September 1998. Isinya adalah

ketentuan bahwa Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) bertambah menjadi Rp 52,7

triliun. Sayangnya, data tersebut diaudit bukan oleh auditor independen melainkan dihitung

sendiri. Langkah-langkah tersebut di kemudian hari terbukti tidak efektif karena pars

konglomerat. ingkar janji dan tidak mengembalikan danaBLB1. Di sisi lain, penyelesaian

melalui prosedur MSAA dan MRA juga tidak kunjung usai. Penyerahan aset oleh obligor baru
mulai dilakulan pada 1999. Aset tersebut kemudian dihitung oleh lembaga yang ditunjuk

BPPN yaitu Lehman Brothers. Hasilnya, total nilai aset adalah Rp 52,6 triliun yang lemudian

dibayarkan beserta uang tunai sebesar Rp 100 miliar. Berdasarkan MSAA, setelah aset

itudiserahkan mala utang pun dianggap lunas. Pada masa inilah RPPN membuat.

kesepakatan akhir yang memuat release und discharge dengan BDNI (Mei 1999) dan BCA

(Juni/Juli 1999).

Namun urusannya tidak selesai sampai di situ. Pada 1999, BPK mengaudit ulang sejumlah

bank yang ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi (BBO) dan sedang berada dalam

penanganan BPPN. Hasilnya, uang negara yang disalurkan dalam bentuk BLBl adalah Rp

49,189 triliun. Anehnya dalam MSAA, disepakati bahwa jumlah JKPS yang harus dibayarkan

adalah Rp 28,408 triliun.

Pemerintah lalu menuntut para obligor untuk menyelesailan dana yang diselewengkan itu

dengan dua cara. Pertama, obligor membayar tunai sebesar Rp 1 triliun, Kedua, obligor

juga menyerahkan aset senilai Rp 27,495 triliun. Jadi total pengembalian adalah Rp 28,495

triliun. Namun ketika setahun kernudian aset-aset tersebut diaudit ulang oleh Price

Waterhouse Cooper (PWC), terlihat bahwa nilainya menurun menjadi Rp 1,441 triliun (5,2

persen). Dan ketika pada 2000 aset tersebut dijual sebagian, jumlahnya sedikit meningkat

menjadi Rp 1,819 triliun.

Hasil audit ulang BPI< terhadap dana BLBl pada Agustus 2000 kembali menunjukkan

perbedaan. Menurut BPK, jumlah dana BLBl yang diselewengkan adalah Rp 138,4 triliun dari
total dana Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan

dana BLBl yang diterima oIeh 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.

Pada 26 April 2004, pemerintah melalui BPPN rnemberikan Surat Keterangan Lunas kepada

sejumlah obligor yang telah menyerahkan aset perusahaannya. Pada tahun ini pula BPPN

dibubarkan. Ironisnya, masalah kian bertambah ketika BPK melakukan audit ulang pada 2006

terhadap aset-aset para obligor yang diserahkan pada negara melalui BPPN. Hasil

penghitungan oleh BPk menunjukkan bahwa dana yang diterima oleh BPPN hanya sebesar Rp

1,9 triliun. Di sinilah negara rnengalami kerugian yang sangat besar. Pada 2007, sisa aset

yang dijual nilainya sebanyak Rp 640 miliar ( 3,2 persen) sehingga total pengembalian uang

negara sebanyak Rp 3,459 triliun.

Para penerima dana BLBl itu antara lain: Achmad Febby Fadillah (Bank Citra Hasta Dana

Manungal), Adinda Sardjana (Bank Tata Internasional), Adisaputra Januardy dan James
Januardy (Bank Namura Yasonta), Agus Anwar (Bank Pelita), Aloysius lndarto (Bank Dewa

Rutji), dan yang lainnya sejumlah 74 orang.

Beberapa dari mereka sudah membayar utang BLBI, beberapa lainnya dianggap korupsi dan

kabur ke luar negeri. Sisanya sedang dalam proses mencicil utang tersebut. Holding sebesar

PT Bakrie & Brothers Tbk yang menanggung utang BLBI hingga 1 miliar dollar AS atau selutar

Rp 10 triliun sudah melunasinya walau akibatnya saham keluarga Balvie tinggal 2,5 persen.

Utang Bob Hasan sebesar Rp 5,3 triliun juga kelar. Begitu pula dengan Liem Sioe Liong (Rp

52,7 triliun), Siti Hardijanti Rulmana, lbrahim Risjad, dan Usman Admadjaja. Kejaksaan Agung

sudah memberilan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) kepada Hasjim

Djojohadikusumo (Bank Depan Sejahtera), The Ning lGng (Bank Dana Hutama), Hokiarto

(Bank Hokindo), dan Sukamdani Gitosardjono (Bank Dagang Industri). SP3 juga diberikan

kepada Sjamsul Nursalim sehingga memancing polemik luas di berbagai kalangan. Sjamsul

dituduh bertanggung jawab atas penyaluran kredit bank miliknya yaitu BDNI kepada grup

usalranya sendiri melebihi ketentuan. Saat kasusnya diproses di kejaksaan, Sjamsul sudah

lebih dulu merantau ke Singapura dengan alasan berobat. Dia memang punya masalah

dengan jantungnya. Dia lalu bersedia menyerahkan aset-aset miliknya untuk melunasi utang-

utang BDNI yang ditanggung penierintah. Dia pun menerima surat pelunasan, dan karenanya

Jaksa Agung (waktu itu) Marzulu Darusman menerbitkan SP3.

Namun berbagai pola penyelesaian utang BLBI tak berlangsung mulus. Beberapa pengusaha

terpaksa dibawa ke pengadilan, termasuk Samadikun Hartono (Bank Modern) yang diadili di

Pengadilan Negeri Jalarta Selatan. Utangnya ke BPPN sebesar Rp 6.5 triliun, dan Samadikun

ban1 melunasi Rp 68,5 miliar dari penjualan asetnya. Dia tak mau menyerahkan aset yang

lain. Pengadilan negeri membebaskannya, tapi Mahkamah Agung memvonisnya empat tahun

penjara. Samadikun Hartono lalu menghilang. Beberapa koruptor BLBI lainnya juga kabur.

Misalnva Dambang Sutrisno dan Andrian Kilu Ariawan (Bank Surya), juga Agus Anwar (Bank

Pelita dan Bank Istimarat).

Upaya menyeret para pelaku korupsi dana BLBI sampai saat ini masih terbentur kendala

penegakan hukum. Seolah hukum bungkam dan tidak bertaring menghadapi para

‘konglomerat hitam’. Untuk penanganan kasus ini, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan

kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.[10]

D. Analisis
Latar belakang kasus BLBI menunjukkan sebuah kenyataan bahwa kehidupan sosial selalu

berubah. Faktor utama perubahan ini adalah krisis moneter di akhir tahun 1997 yang

menimbulkan kondisi keuangan negara anjlok dan kondisi perbankan memburuk. Kondisi

inilah yang dimaksudkan Sampford sebagai situasi keos atau kacau. Hukum yang

berdasarkan pada kehidupan sosial berdiri diantara kekacauan tersebut. Dengan demikian

maka benarlah apa yang dikatakan Sampfor bahwa Teori hukum muncul dan dibangun dari

sesuatu keadaan atau kondisi masyarakat yang disebut sebagai “Melle”(Chaos, Keos, Kacau),

karena masyarakat sesungguhnya (realitasnya) selalu berada dalam kondisi keos, bahwa

masyarakat selalu berada pada jalinan hubungan-hubungan yang tidak dapat diprediksi dan

tidak sistematis. Berdasarkan realitas seperti itulah maka teori hukum muncul.

Surat jawaban presiden terhadap surat direksi BI yang berkualifikasi “rahasia dan sangat

rahasia” No. R-183/M/Sesneg/12/1997 menunjukkan bahwa hukum itu berdiri dan berada di

tengah-tengah jaringan hubungan sosial yang keos itu diambil alih oleh sejumlah besar

aparatur/birokrat hukum dalam hal ini presiden dan direksi BI. Padahal menurut peraturan

perbankan pada waktu itu bahwa bank-bank yang sudah mengalami saldo debet harus

segera dibekukan aktifitasnya. Tetapi dengan adanya surat ini bank-bank tersebut masih bisa

beroperasi dengan bantuan untuk penutupan saldo debet tersebut. Dengan demikian maka

dalam hal ini presiden merupakan pengendali hukum di tengah-tengah kekacauan sosial. Hal

yang sama juga pada Keppres No. 24 dan 26/1998 yang menjamin dana masyarakat di

perbankan nasional dan jaminan atas seluruh kewajiban bank-bank nasional terhadap

nasabah serta kreditur internasional yang diikuti dengan pengucuran dana BLBI kepada 54

bank nasional sebesar Rp. 164,54 triliun (hingga Januari 1999).

Pertemuan direksi Bank Danamon dengan direksi BI pada 9 Desember 1997 yang

menghasilkan disetujuinya Bank Danamon untuk mendapat SBPUK senilai Rp 6 triliun,

menunjukkan pula bahwa adanya hubungan antar kekuatan (power relations) antara

konglomerat bank dan direktur BI serta presiden. Hal ini menyebabkan ketidakteraturan dan

ketidakpastian hukum.

Pengucuran dana BLBI yang direncanakan akan dilunasi oleh semua bank-bank penerima

pada kenyataannya jauh dari prediksi semula dengan mangkirnya sebagian besar pemilik

bank untuk melunasinya dengan berbagai alasan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat terus

menerus bergerak secara dinamis, baik dikarenakan hal yang memang benar-benar terjadi

pada bank sehingga kesulitan untuk mengembalikan dana tersebut, walaupun dikarenakan

adanya itikad tidak baik dari pemilik bank untuk tidak mengembalikan dana bantuan itu. Hal
demikian itu terjadi karena dalam masyarakat perbankan banyak sekali faktor kekuatan atau

kekuasaan dan saling tarik menarik dan berbenturan di dalamnya antara pemerintah, pemilik

bank dan masyarakat. Dengan demikian maka bagaimana mungkin situasi yang demikian itu

dikategorikan sebagai situasi yang serba tertib dan teratur. Ini merupakan situasi yang kacau

atau keos.Pernyataan Sampford selanjutnya adalah bahwa apa yang di permukaan tampak

sebagai tertib dan teratur, jelas dan pasti, sebenarnya penuh ketidakpastian. Pada saat

diluncurkannya dan BLBI terlihat bahwa pemerintah dan BI mempunyai dasar hukum yang

kuat untuk mengucurkan dana tersebut dan seolah-olah merupakan keputusan terbaik untuk

menanggulangi keterpurukan perbankan, namun setelah terbukti bahwa justeru kebijakan

tersebut menjadi sebab kerugian negara terbesar sepanjang sejarah. Ini membuktikan bahwa

walaupun kebijakan tersebut terlihat tertib dan teratur, jelas dan pasti, sebenarnya penuh

ketidakpastian yang melahirkan celah-celah terjadinya penyelewengan-penyelewengan oleh

para pemilik bank.

DAFTAR PUSTAKA

“Kasus BLBI sampai Kapan Akan Berakhir?”, www.kompas.com.

http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/hukum/hukum13.htm

Ojte Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka

Kembali) (Bandung: PT. Reflika Aditama), Cet. Ke-3, 2007

Rahardjo, Stjipto, Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi,Makalah pada Seminar

Nasional Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi, Semarang, 22 Juli 2000,

hal. 15-17.

Sampford, Charles, The Disorder of Law: A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell, 1989.

Sri Setiawati, http://opiniindonesia.com/opini.

Tim Redaksi Pustaka Timur, Kasus BLBI Tragedi Korupsi Terbesar di Indonesia (Yogyakarta:

Pustaka Timur), 2007.


[1] Lihat: Ojte Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan

Membuka Kembali) (Bandung: PT. Reflika Aditama), Cet. Ke-3, 2007, hal 101-113.

[2] Charles Sampford, The Disorder of Law: A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell, 1989.

[3] Ibid, hal. 160

[4] Stjipto Rahardjo, Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi, Makalah pada Seminar

Nasional Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi, Semarang, 22 Juli 2000,

hal. 15-17.

[5] Ibid., hal. 16-17

[6] Tim Redaksi Pustaka Timur, Kasus BLBI Tragedi Korupsi Terbesar di Indonesia (Yogyakarta:

Pustaka Timur), 2007, hal. 1 – 13.

[7] Sri Setiawati, http://opiniindonesia.com/opini.

[8] “Kasus BLBI sampai Kapan Akan Berakhir?”, www.kompas.com.

[9] Ibid.

[10]http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/hukum/hukum13.htm

You might also like