You are on page 1of 5

1 Jalan-jalan Ketaqwaan (bag.

#0)

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa iman, ikhlas, sabar, dan optimis adalah sifat-
sifat dasar dalam mencetak jiwa seorang mukmin dalam persiapannya membekali diri untuk
meneladankan kebaikan.

Sifat-sifat di atas hanya dapat dimiliki oleh seorang mukmin yang telah merasakan
nikmatnya iman, menyatukan diri dengan Islam, dan terus melangkah menuju tujuannya.
Yakni, meraih kemenangan dengan izin Allah atau menemuiNya sebagai syahid tatkala
menghadapi cobaan dan ujian.

Setelah memahami itu semua, saya ajak Anda untuk turut melangkah mengikuti perjalanan
para pelaku dakwah. Kini kita menuju ke sebuah terminal di mana Anda bisa menghirup
nafas keimanan dan menambah bekal ketaqwaan. Di sana, jiwa Anda akan memantulkan
pancaran ruhani. Anda akan menjadi seorang yang sholih, mukmin yang bertaqwa, seorang
insan yang penuh keikhlasan, …bahkan tatkala Anda melanjutkan langkah perjalanan,
langkah Anda akan terasa ringan, kata-kata akan tambah berpengaruh, tingkah laku akan
menjadi teladan, penampilan menjadi penuh daya tarik, serta sorotan mata Anda akan
memancarkan semangat dan optimisme.

Terminal ini –ketika kita cerdas memanfaatkannya sepenuh hati, dengan mendidik
hati penuh kesungguhan– pasti akan menjadi inspirasi, menjadi pusat pancaran ruhani,
menjadi tempat penggemblengan jiwa. Terminal ini merupakan kekuatan yang dapat
membangkitkan naluri batin seorang da’i, melahirkan kemampuan untuk mengintrospeksi
diri, dan menimbulkan motivasi dakwah dalam diri.

Bahkan, terminal ini merupakan motor utama yang menjadikannya sensitive terhadap
tanggung jawab. Merupakan pembimbing dalam menapaki jalan lurus, dan menjadi
penasehat yang akan mengingatkan kita dari kelalaian atau salah jalan.

Manakala, seorang da’i tidak memiliki sifat-sifat ruhani yang lengkap; maka hidupnya
akan hampa dari nilai, wibawa, dan pengaruh. Ia akan terperangkap dalam sifat ujub, riya’,
dan nifaq. Terjerumus ke dalam lumpur kebanggaan, kesombongan, dan egoism. Ia akan
berdakwah untuk dirinya, bukan untuk Allah. Akan membangun kejayaan bagi pribadinya,
bukan untuk Islam. Ia akan bekerja untuk kebahagiaan di dunia dan bukan untuk kehidupan
akhirat kelak, yang dari sinilah, timbul penyimpangan, keruntuhan, dan kehancuran.

Apabila faktor “Ruhiyah” ini sedemikian besar fungsinya, maka bagaimana cara
mendapatkannya? Apakah yang menjadikannya tumbuh subur? Bagaimanakah pengaruhnya
terhadap perbaikan dan kebangkitan masyarakat?

Itulah di antara sekian pertanyaan yang mungkin tersirat di benak Anda. Insya Allah, melalui
kumpulan tulisan ini, Anda akan dapatkan jawaban yang memuaskan. Anda akan dapatkan
pelita yang menerangi perjalanan. Semoga ridho Allah tercurahkan atas ikhtiar kita ini.

ditulis ulang: RioPurboyo.com


2 Jalan-jalan Ketaqwaan (bag. #0)

Jalan-jalan Memperoleh Ketinggian Ruhiyah

Al Quranul Karim dengan pandangannya yang integral tentang alam kehidupan dan
manusia telah memberikan gambaran yang gamblang kepada kita tentang metode praktis
guna mempersiapkan ruhani manusia, membentuk keimanan, dan mendidik jiwanya.

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan
memberikan kepadamu “furqan” dan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu, dan
mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Al Anfal: 29)

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya,
niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu
cahaya yang dengan cahaya itu kamu berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Hadid: 28)

Barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan
memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sang. (QS Ath Tholaq: 2-3)

Marilah kita renungkan ayat-ayat di atas. Adakah sebuah kesimpulan yang bisa kita
dapatkan? Kita berkesimpulan bahwa taqwa kepada Allah swt adalah modal kekayaan
inspirasi, sumber cahaya, dan karunia yang melimpah.

Dengan taqwa kepada Allah, seorang mukmin mudah bedakan mana yang haq dan mana
yang bathil, mana yang kosong dan mana yang berisi. Allah Yang Maha Tinggi memberikan
karunia kepada orang yang bertaqwa berupa cahaya yang akan menerangi kehidupannya.
Orang-orang pun akan mengikuti jejaknya dan meminta bimbingannya. Orang yang
bertaqwa akan selalu mendapatkan jalan keluar yang menentramkan batinnya, meski
sebesar apa pun dan serumit apa pun tantangan yang dihadapi.

Saat menafsirkan firman Allah, Sayyid Quthb berkata,

“Inilah bekal dan persiapan perjalanan… bekal ketaqwaan yang selalu menggugah hati dan
membuatnya senantiasa terjaga, waspada, hati-hati, serta selalu dalam konsentrasi penuh.
Bekal cahaya yang menerawangi liku-liku perjalanan sepanjang mata memandang. Orang
bertaqwa tidak akan tertipu oleh bayangan semu yang menghalangi pandangan yang jelas
dan benar. Itulah bekal penghapus segala kesalahan, bekal yang menjanjikan kedamaian dan
ketentraman, bekal yang membawa harapan atas karunia Allah; di saat bekal-bekal lain
sudah sirna dan semua amal tak lagi berguna.

Itulah hakikat kebenaran; taqwa kepada Allah menumbuhkan furqon dalam hati. Furqon
(pembeda) yang bisa menyingkap jalan kehidupan. Namun hakikat ini –sebagaimana
hakikat-hakikat aqidah lainnya– hanya bisa dipahami oleh mereka yang benar-benar sudah
merasakannya. Bagaimanapun indahnya kata-kata yang dipakai untuk melukiskan hakikat ini,
tetap saja tak akan mampu memberikan pemahaman yang sebenarnya kepada yang belum
merasakannya.”

ditulis ulang: RioPurboyo.com


3 Jalan-jalan Ketaqwaan (bag. #0)

Semua tantangan tetap rumit dipikirkan, perjalanan semakin sulit dilalui, kebathilan berbaur
dengan al Haq di persimpangan jalan, dalil-dalil dan hujjah terus diserukan namun tak
membuat orang puas. Akal dan hati nurani tak menyambut seruan, perdebatan tetap sia-sia,
diskusi-diskusi hanya menghabiskan waktu dan tenaga… Itu semua terjadi karena tiadanya
taqwa.

Sebaliknya, dengan taqwa fikiran jadi terang, al haq nampak jelas, jalan lurus
terbentang lebar, hati terasa tenteram, batin begitu damai dan kaki terpancang teguh dalam
menapaki perjalanan.

Sesungguhnya fitrah manusia tidak memungkiri keberadaan kebenaran. Namun, hawa nafsu
menjadi penghalang di antara keduanya. Hawa nafsulah yang menebar kesuraman,
menghalangi penglihatan, dan memburamkan arah tujuan. Hawa nafsu tidak bisa
disingkirkan dengan dalil-dalil. Dia hanya bisa dihalau dengan taqwa, dia hanya bisa
dienyahkan dengan rasa takut kepada Allah swt dan terus-menerus merasa diawasiNya, baik
dalam keadaan sendirian atau di keramaian, baik sembunyi atau terang-terangan. Di sinilah
letak furqon yang bisa menerangi wawasan, menghilangkan keraguan, dan menyingkap tabir
jalan kehidupan.

Apabila taqwa punya fungsi yang sedemikian penting, maka apakah hakikat taqwa itu
sendiri? Bagaimana cara mendapatkannya?

Hakikat Taqwa

Taqwa lahir sebagai konsekuensi logis dari keimanan yang kokoh, keimanan yang
selalu dipupuk dengan merasakan kesertaan Allah swt; merasa takut terhadap murka dan
adzabNya, dan selalu berharap atas limpahan ampunan dan rahmatNya.

Atau, sebagaimana didefinisikan oleh para ulama:

“ Taqwa adalah hendaklah Allah tidak melihat kamu


berada dalam larangan-laranganNya, dan tidak
kehilangan kamu dalam perintah-perintahNya.”
Sebagian ulama lain, mendefinisikan taqwa dengan mencegah diri dari adzab Allah dengan
membuat amal sholih, dan takut kepadaNya di kala sepia atau terang-terangan.

Perhatian Al Quran terhadap sifat taqwa begitu besar. Perintah dan dorongan untuk
melaksanakannya pun banyak kita temukan dalam ayat-ayatnya, bahkan bila kita baca Al
Quran hamper di setiap halaman pasti kita temukan kalimat taqwa.

Para sahabat dan generasi awal yang sholih, mempunyai pemahaman kuat atas
tuntunan Al Quran merasakan betul pentingnya memberikan perhatian besar terhadap
taqwa. Mereka terus mencari hakikatnya. Saling bertanya satu sama lain, dan berusaha untuk

ditulis ulang: RioPurboyo.com


4 Jalan-jalan Ketaqwaan (bag. #0)

mendapatkannya. Dalam satu riwayat yang shahih, disebutkan bahwa Umar bin Khottob ra.
bertanya kepada Ubai bin Ka’ab tentang taqwa. Ubai ra. menjawab:

“Bukankah Anda pernah melewati jalan yang penuh duri?”

“Ya”, jawab Umar.

“Apa yang Anda lakukan saat itu?”

“ Saya bersiap-siap dan berjalan dengan hati-hati”.

“Itulah taqwa!”

Berpijak dari jawaban Ubai bin Ka’ab atas pertanyaan Umar bin Khottob itu, Sayyid Quthb
berkata dalam tafsir “Fi Zhilalil Quran”,

“Itulah taqwa, kepekaan batin, kelembutan perasaan, rasa takut terus-menerus, senantiasa
waspada dan hati-hati jangan sampai kena duri jalanan. Jalan kehidupan yang selalu ditaburi
duri-duri godaan dan syahwat, kerakusan dan angan-angan, kekhawatiran dan keraguan,
harapan semu atas segala sesuatu yang tidak bisa diharapkan. Ketakutan palsu dari sesuatu
yang tidak pantas untuk ditakuti, dan masih banyak duri-duri yang lainnya.”

Cukuplah kiranya, keutamaan dan pengaruh taqwa merupakan sumber segala


kebaikan di masyarakat, sebagai satu-satunya cara untuk mencegah kerusakan, kejahatan,
dan perbuatan dosa. Bahkan, taqwa merupakan pilar utama dalam pembinaan jiwa dan
karakter seseorang dalam menghadapi fenomena kehidupan. Agar ia bisa membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk, agar ia bersabar atas segala ujian dan cobaan. Itulah
hakikat taqwa yang sangat menentukan dalam pembentukan pribadi dan ummat.

Saya cukupkan sekian dulu, penjelasan tentang hakikat taqwa. Tulisan berikutnya akan
menemani kita guna mengenali jalan-jalan mencapai sifat taqwa. Sementara itu, selamat
berpuasa Ramadhan, semoga Allah anugrahkan ketaqwaan kepada kita. Amiin

Sumber tulisan: Ruhaniyatud Da’iyah | Penyusun: Dr. Abdullah Nashih Ulwan

NOTE. Silakan sebarluaskan dokumen ini! Semoga berguna, selamat berbagi manfaat.

ditulis ulang: RioPurboyo.com


5 Jalan-jalan Ketaqwaan (bag. #0)

ditulis ulang: RioPurboyo.com

You might also like