You are on page 1of 7

Studi Tentang :

PROGRES INDUSTRI PETROKIMIA DI INDONESIA, 2010


(Ditengah Persaingan Pasar Bebas)
Agustus 2010

Setelah mengalami tekanan krisis ekonomi global yang dimulai pada kuartal IV
tahun 2008, memasuki tahun 2009, industri petrokimia di Indonesia mulai
menunjukkan pemulihan. Salah satu indikasi berkembangnya industri petrokimia,
misalnya tercermin dari meningkatnya konsumsi bahan baku plastik yang dihasilkan
industri petrokimia hulu olefin. Oleh karena itu, produsen petrokimia hulu olefin,
aromatik maupun yang berbasis gas alam (C1) merencanakan untuk menambah
kapasitas produksi dengan tujuan untuk mengantisipasi meningkatnya permintaan.

Sementara itu, Kementrian Perindustrian telah menetapkan Road Map


Pengembangan Klaster Industri Petrokimia masing-masing di provinsi Banten,
Kalimantan Timur dan Jawa Timur dengan tujuan industri hulu, tengahan
(intermediate) dan hilir petrokimia berada dalam satu kawasan. Sehingga lebih efisien
dan dalam pemasarannya mampu bersaing dengan produsen petrokimia dikawasan
regional maupun internasional. Untuk itu, satu-satunya olefin center di Indonesia yaitu
Chandra Asri (CA) milik Barito Pacific misalnya tengah melakukan studi kelayakan
(prefeasibility study) untuk membangun naphta cracker berkapasitas 300.000 barel
per hari senilai US$5 – US$7 miliar yang terintegrasi dengan plant olefin center di
Cilegon, Banten. Sedangkan pengadaan minyak mentah rencananya akan dipasok
Aramco dengan jangka waktu kontrak sedikitnya 15 tahun.

Selain CA, menurut rencana, Pertamina juga akan membangun plant refinery
senilai US$ 3 miliar di Cilegon, Banten yang bekerja sama dengan National Iranian Oil
Refining and Distribution Company dan Petrofield Malaysia. Kilang minyak
berkapasitas 150.000 barrel per hari (bph) untuk tahap pertama ini dijadwalkan mulai
beroperasi pada tahun 2015.

Sedangkan plant aromatic center di Indonesia yang dioperasikan Trans Pacific


Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur dan mulai beroperasi komersial
pada Agustus 2006, akan melakukan ekspansi kapasitas produksi paraxylene (PX)
sebesar 600.000 ton per tahun, dengan investasi senilai US$ 500 juta. Sehingga kelak,
TPPI memiliki kapasitas produksi PX sebesar 1,15 juta ton per tahun. Proyek ekspansi
ini dijadwalkan akan dimulai pada tahun 2011. Sementara kebutuhan kondensat untuk
bahan baku plant paraxylene yang mencapai sekitar 100.000-120.000 barel per hari,
rencananya akan dipasok Qatar Gas.

Ditengah pemulihan itu, industri petrokimia di Indonesia masih tetap


mengalami hambatan terutama terkait pengadaan bahan baku untuk industri hulu
petrokimia. Sebagai gambaran, hingga kini ketergantungan terhadap bahan baku
naphtha untuk olefin center dan kondensat untuk aromatik center cukup tinggi.
Menurut catatan INAplas, pada tahun 2010, nilai impor naphtha diperkirakan
mencapai US$ 1,66 miliar atau naik dari US$ 1,02 miliar pada tahun 2009. Selain itu,
dengan dibebaskannya tarif bea masuk impor menjadi 0% sejalan dengan berlakunya

1
AFTA dan ACFTA dan 15% untuk bea masuk impor dari luar kawasan Asean (Most
Favoured Nations/MFN) maka persaingan bisnis petrokimia akan semakin ketat.
Sementara itu, kebutuhan gas alam dari dalam negeri untuk industri amoniak
dan urea terbatas karena sebagian besar gas alam diekspor untuk memenuhi kontrak
penjualan jangka panjang. Sehingga kondisi ini akan menghambat program revitalisasi
industri pupuk yang tergolong industri petrokimia hulu berbasis gas alam (C1). Seperti
diketahui, melalui Inpres No.2/2010, pemerintah telah menetapkan program
revitalisasi industri pupuk yang bertujuan untuk membangun pabrik pupuk baru untuk
menggantikan pabrik pupuk yang sudah tidak efisien. Pusri misalnya akan
membangun tiga plant baru urea yaitu Pusri II B, III B dan IV B senilai US$ 2,4 miliar
dengan total kapasitas produksi 2,97 juta ton per tahun. Selain itu untuk substitusi
bahan bakar boiler dari gas ke batubara, hampir semua BUMN pupuk merencanakan
untuk membangun boiler batubara. Salah satunya adalah proyek boiler batubara
Pupuk Kaltim yang menyerap investasi senilai US$ 62 juta dan Rp 394 miliar. Proyek
yang ditandatangani pada 7 Desember 2009 ini tengah digarap Inti Karya Persada
Teknik (IKPT).

Berbeda dengan Indonesia, pengembangan industri petrokimia di kawasan


Asean lainnya cukup pesat. Singapura misalnya yang tidak memiliki sumber bahan
baku migas, justru saat ini menjadi produsen terbesar petrokimia yang diikuti Malaysia
dan Thailand. Pada Mei 2010, Singapura mulai mengoperasikan plant refinery yang
terintegrasi dengan plant petrokimia hulu sejalan dengan beroperasinya Shell Eastern
Petrochemicals Complex (SEPC) yang berlokasi di Pulau Bukom dan Jurong. SEPC yang
dibangun dengan investasi senilai US$ 4 miliar ini menghasilkan beberapa produk
petrokimia hulu dan tengahan, seperti ethylene (800.000 ton per tahun), propylene
(450.000 ton per tahun), benzene (230.000 ton per tahun), mono ethylene glycol/MEG
(750.000 ton per tahun) dan butadine (155.000 ton per tahun). Sementara setelah
merampungkan proyeknya, sejak Maret 2009, kapasitas produksi plant BTX yang
dioperasikan PTT Aromatics and Refining Public Company Limited, Thailand masing-
masing benzene (662.000 ton/tahun), cyclohexane (200.000 ton/tahun), PX (1.195.000
ton/tahun), OX (66.000 ton/tahun), MX (76.000 ton/tahun) dan toluene (60.000
ton/tahun).

Seperti diketahui, industri hulu petrokimia tergolong industri padat modal dan
teknologi, sehingga selama ini pendanaan untuk proyek-proyek besar di industri ini,
umumnya berasal dari sindikasi perbankan dalam negeri maupun asing. Selain itu,
adanya jaminan pasok bahan baku (security of supply) untuk pembangunan proyek
baru merupakan persyaratan utama perbankan untuk memberikan pinjaman.

Secara keseluruhan, relatif stabilnya harga minyak mentah di pasar dunia


merupakan peluang bagi produsen petrokimia maupun investor untuk meningkatkan
kapasitas produksi dan mengembangkan industri petrokimia hulu, tengahan
(intermediate) dan hilir di Indonesia. Sehingga ditengah persaingan AFTA, ACFTA dan
AIFTA, produsen petrokimia mampu bersaing untuk memenuhi permintaan pasar
domestik dan meraih devisa dari pasar ekspor.

2
Laporan ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan industri petrokimia dan
proyek-proyeknya. Pembahasannya meliputi neraca perdagangan impor dan ekspor
produk-produk petrokimia hulu, tengahan dan hilir, antara lain meliputi industri hulu
aromatik dan derivatnya, industri hulu olefin dan derivatnya, serta industri hulu
petrokimia yang berbasis gas alam dan derivatnya.
Selain itu, dibahas juga mengenai kebijakan pemerintah dalam pengembangan
industri petrokimia. Cakupan pembahasannya meliputi, struktur industri petrokimia di
Indonesia, perkembangan produksi, ketersediaan bahan baku untuk industri
petrokimia hulu, kecenderungan pasar produk petrokimia dan hambatan serta
peluang pengembangan industri petrokimia.

Kami berharap, studi Perkembangan Industri Petrokimia di Indonesia, Agustus


2010 (Ditengah Persaingan Pasar Bebas) ini akan bermanfaat bagi kalangan bisnis
terutama para pengambil keputusan di industri petrokimia. Studi ini juga bermanfaat
bagi kalangan bisnis yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan
industri petrokimia seperti sektor perbankan, jasa asuransi, perkapalan dan
perdagangan. Selain itu, studi ini juga bermanfaat bagi para investor atau calon
investor yang akan menjalin kerjasama dengan perusahaan yang aktif di bisnis produk
petrokimia di Indonesia saat ini.

Laporan studi ini ditulis menjadi sekitar 350 halaman dengan harga Rp
6.500.000 per copy untuk Bahasa Indonesia dan US$ 850 per copy untuk versi Bahasa
Inggris dengan nilai tukar dapat dinegosiasikan. Untuk pemesanan dan informasi lebih
lanjut mengenai studi ini dapat menghubungi PT Mediadata Riset Indonesia melalui
telepon : 021-809 6071 dan ‘mobile phone’ : 0812-10315177 (Sumadi) atau melalui
faximile 021-809 6071 dengan mengisi formulir terlampir. Pemesanan untuk luar
negeri atau luar Jakarta akan ditambah biaya kirim. Demikian penawaran ini dan atas
perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, Agustus 2010


PT Media Data Riset

Drh. H. Daddy Kusdriana M.Si


Direktur Utama

3
Daftar Isi:
PERKEMBANGAN INDUSTRI PETROKIMIA DI INDONESIA, 2010
(Ditengah Persaingan Pasar Bebas)
Agustus, 2010

1. PENDAHULUAN 2.3.2. Perkembangan konsumsi


1.1. Latar Belakang ethylene, propylene, PTA, PE
1.2. Cakupan dan Tujuan Studi dan PP
1.3. Sumber Data dan Informasi 2.4. Vietnam
2.4.1. Proyek yang sudah beroperasi
2. OVERVIEW INDUSTRI PETROKIMIA DI 2.4.2. Proyek tahap konstruksi
KAWASAN ASEAN, CHINA DAN INDIA 2.4.3. Proyek Bio-ethanol
2.1. Singapura 2.5. China
2.1.1. Kapasitas produksi 2.5.1. Paket stimulus industri
menurut produk petrokimia petrokimia di China
2.1.2. Shell operasikan 2.5.2. Ekspansi kapasitas produksi
refinery & ethylene cracker ethylene
senilai US$4 miliar 2.5.3. Proyek-proyek ethylene di
2.1.3. Singapura bangun China, 2009-2017
tangki penyimpan (oil & 2.5.4. Proyek ethylene dari
petrochemical storage tank) di batubara (coal-based
Pulau Sebarok ethylene)
2.1.4. Impor dan ekspor 2.5.5. Supply demand ethylene,
produk petrokimia 2000-2018
2.2. Malaysia 2.5.6. Demand PE
2.2.1. Kapasitas produksi 2.5.7. Supply demand untuk lima
ethylene & propylene, 2009
jenis polymer, 2000-2018
2.2.2. Kawasan industri
2.5.8. Impor untuk lima jenis
petrokimia di Malaysia
polymer, 2000-2018
2.2.2.1. Kerteh (Optimal
Olefins) Integrated 2.6. India
Petrochemicals 2.6.1. Industri Petrokimia di India
Complex 2.6.2. Polimer
2.2.2.2. Gebeng Pahang 2.6.3. Polyolefins
Integrated 2.6.4. Vinyl
Petrochemicals 2.6.4.1. PVC
Complex 2.6.5. Styrenics
2.2.2.3. Kawasan 2.6.5.1.
industri petrokimia ...................................
Pasir Gudang-Tanjung Polystyrene
Langsat, Johor 2.6.5.2. Acrylonitrile-
2.2.2.4. Industri Butadine-Styrene
petrokimia Bintulu, (ABS)
Sarawak 2.6.5.3. Styrene-
2.2.3. Pengadaan bahan baku acrylonitrile (SAN)
migas 2.6.6. Olefins termasuk Styrene
2.2.4. Perkembangan
Monomer, EDC & VCM
konsumsi ethylene dan
2.6.7. Polyester Intermediates
propylene, 2007-2009
2.6.8. Aromatics – PX
2.2.5. Kebijakan
pengembangan industri 2.6.9. Surfactants
2.3. Thailand 2.6.10. Benzene, Toluene, MX
2.3.1. Kapasitas produksi menurut & OX
produk petrokimia
4
3. INDUSTRI PETROKIMIA DI
INDONESIA 7. INDUSTRI PETROKIMIA BERBASIS
3.1. Struktur Industri BAHAN BAKU GAS ALAM (C1) DAN
3.2. Kebijakan DERIVATIF
3.3. Pengadaan Bahan Baku 7.1. Urea & Amoniak
3.3.1. Naphtha dan kondensat 7.1.1. Kapasitas Produksi
sebagai bahan baku industri 7.1.2. Teknologi & Efisiensi Plant
petrokimia Urea dan Amoniak
3.3.1.1. Perkembangan 7.1.2.1. Program
Revitalisasi Tahap I
harga naphtha
7.1.2.2. Supply Demand
3.3.1.2. Perkembangan
Urea Pada Program
harga LPG
Revitalisasi Tahap I
3.3.1.3. Perkembangan 7.1.2.3. Kapasitas
harga gas oil Produksi Urea Setelah
3.3.2. Produksi naphtha dan Program Revitalisasi
kondensat menurut kilang Tahap I
Pertamina 7.1.2.4. Plant
3.3.3. Ekspor naphtha dan Replacement Capacity
kondensat Phase I
3.3.4. Gas alam sebagai bahan 7.1.2.5. Kebutuhan Gas
baku industri petrokimia (Eksisting dan
4. PERKEMBANGAN NERACA Revitalisasi Tahap I)
PERDAGANGAN PRODUK 7.1.3. Kontrak Pengadaan Gas
PETROKIMIA Eksisting
4.1. Produk petrokimia yang 7.1.4. Produksi dan Pemanfaatan
mengalami surplus perdagangan Gas, 2008
4.2. Produk petrokimia yang 7.1.5. Program Revitalisasi Tahap II
mengalami defisit perdagangan 7.1.5.1. Supply Demand
4.3. Faktor ketidakseimbangan Urea Setelah
neraca perdagangan produk Revitalisasi Tahap I
petrokimia dan Tahap II
7.1.5.2. Supply Demand
5. INDUSTRI OLEFIN DAN DERIVATIF Urea, 2008-2020
5.1. Ethylene & Propylene 7.1.5.3. Kebutuhan Gas
5.2. Styrene Monomer Untuk Revitalisasi
5.3. Vinyl Chloride Monomer (VCM) Tahap II
5.2. Polethylene (PE) 7.1.6. Kebutuhan Investasi Untuk
5.3. Polypropylene (PP) Revitalisasi Tahap I dan
5.4. Polyvinyl Chloride (PVC) Tahap II
5.5. Polystyrene (PS) 7.1.7. Hambatan Produksi Urea
5.6. Acrylonitrile Butadiene dan Pasok Gas
Styrene (ABS) 7.1.8. Kesimpulan
5.7. Styrene-Acrylonitrile (SAN) 7.2. Methanol
5.8. 2 Ethyl Hexanol 7.3. Ammonium Nitrate
5.9. Mono Ethylene Glycol (MEG) 7.4. Melamine
5.10. Styrene Butadiene Rubber 7.5. Formic Acid
(SBR) 7.6. Acetic Acid
5.11. Styrene Butadiene Latex (SBL)
8. TREN PASAR PRODUK PETROKIMIA
6. INDUSTRI AROMATIK DAN DI INDONESIA
DERIVATIF
6.1. Benzene, Toluene, Xylene 9. HAMBATAN DAN PELUANG
(BTX)
6.2. Alkyl Benzene LAMPIRAN :
6.3. Dioctyl Ortho Phthalate (DOP) • Permenkeu No 19/2009 tentang
6.4. Phthalic Anhydride (PA) Penetapan Tarif Bea Masuk atas Barang
6.5. Purified Terephtalic Acid (PTA) Impor Produk-Produk Tertentu.
6.6. Polyester Terephthalate (PET)

5
• Permenkeu No. 188/PMK.011/2009 • Neraca Gas Indonesia, 2009-2015
untuk industri pembuatan kemasan
plastik DIREKTORI
• Permenkeu No 247/PK.011/2009
Tentang Perubahan Klasifikasi dan
Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Barang
Impor Produk-Produk Tertentu Dalam
Rangka Skema Common Effective
Preferential Tariff (CEPT)
• Peraturan Menteri Perindustrian No:
14/M-IND/PER/1/2010 Tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri
Perindustrian No 105/MIND/PER/10/2009
Tentang Peta Panduan (Road Map)
Pengembangan Klaster Industri
Petrokimia

FORMULIR PEMESANAN
PT MEDIA DATA RISET
Jl. SMA XIV, No. 12 A S
Cawang–UKI, Jakarta 13630
Phone : (021) 809 6071, Mobile : 081210315177 (Sumadi)
Fax : (021) 809 6071
Email : sales@mediadata.co.id/info@mediadata.co.id

Penawaran Studi :
PERKEMBANGAN INDUSTRI PETROKIMIA DI INDONESIA
(Ditengah Persaingan Pasar Bebas), Agustus 2010

Silahkan Pilih ( √ ) untuk pesanan :


Edisi Bahasa Indonesia Edisi Bahasa Inggris

Nama
(Mr/Mrs/Ms)
Position
Nama Perusahaan
NPWP No.
Alamat

Telepon Fax :
Tanda Tangan

Tanggal

6
Harga :
Edisi Bhs. Indonesia - Rp 6.500.000 (Enam juta lima ratus ribu rupiah)
Edisi Bhs Inggris - US$ 900 (Sembilan ratus US dollar)
Catatan : Harga belum termasuk pajak (10% PPn)
Di luar Jakarta dan luar negeri; ditambah biaya pengiriman (Jasa Kurir)

Pembayaran ( √ ) :

Cash
Cheque
Transfer to - PT MEDIA DATA RISET
AC. NO. 070 000 534 0497
BANK MANDIRI CAB. DEWI SARTIKA
JAKARTA

KUNJUNGI WEBSITE KAMI : www.mediadata.co.id

You might also like