You are on page 1of 12

1

An Instinct to Acquire an Art

Oleh Abellia Anggi Wardani/0706164744

Program Studi Prancis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Universitas Indonesia

Pendahuluan

“Simply by making noises with our mouths, we can reliably cause precise new
combinations of ideas to arise in each other’s minds.”1

Kita sebagai manusia kadang mendefinisikan bahasa dengan sebuah kalimat sederhana
seperti diatas, tanpa peduli dengan bagaimana rumitnya sebuah proses pembahasaan yang
sebenarnya terjadi. Bahasa merupakan salah satu kemampuan istimewa yang dimiliki oleh
manusia sekaligus menjadi jembatan ruang, waktu, dan pengetahuan yang berbeda. Oleh sebab
itu, bahasa sangat berperan sebagai sarana komunikasi, bertukar pikiran, dan informasi.
Melaluinya, informasi dapat tersampaikan dari satu pihak ke pihak lain. Bahasa juga menjadi
batasan masyarakat dalam membentuk suatu kekuatan kolektif, sehingga bisa dikatakan bahwa
bahasa juga berperan dalam usaha pemenuhan kebutuhan manusia dan berpengaruh pula
terhadap cara pandang tentang kemanusiaan.

Seperti yang kita tahu, bahasa merupakan salah satu dari tujuh unsur utama kebudayaan.
Banyak peneliti yang menyatakan bahwa bahasa tidak lain merupakan penemuan budaya yang
paling penting, yaitu bagaimana cara manusia menggunakan simbol sehingga dapat membedakan
antara satu sama lain, serta membedakannya dengan makhluk hidup lain. Dilain pihak, binatang
pun memiliki kemampuan untuk saling berkomunikasi dengan sesama jenisnya, sebagai contoh,
saat mereka menyukai lawan jenis hingga akhirnya mereka bereproduksi atau kemampuan

1 Steven Pinker.Language instinct.Penguin Books.15


mereka membentuk konstelasi-konstelasi tertentu ketika mereka sedang bermigrasi menunjukkan
secara nyata bahwa mereka memiliki cara tersendiri dalam berkomunikasi .

Problematika

Ada ratusan atau bahkan ribuan bahasa yang berbeda di seluruh dunia ini. Variasi bahasa
baik dilihat secara keseluruhan maupun secara semiotiknya bisa jadi merupakan pengaruh dari
para penutur bahasa itu sendiri, karena suatu masyarakat bahasa bisa mempunyai pemahaman
yang berbeda dengan masyarakat bahasa lain ketika menyatakan referensi dari kata-kata tertentu.
Sebagai contoh, kata ‘padi’ dalam bahasa Indonesia dan ‘rice’ dalam bahasa Inggris. Kita
sebagai penutur asli bahasa Indonesia pastinya telah mengetahui bahwa ada beberapa macam
kata untuk merepresentasikan setiap perubahan yang dialami tanaman padi. Namun, dalam
bahasa Inggris, kita hanya akan menemukan kata ‘rice’ ketika kita mencari sinonim dari kata
‘gabah’. Alasannya, orang-orang penutur bahasa Inggris yang notabene memang bukan
pengkonsumsi nasi, merasa cukup untuk memberikan satu kata terhadap segala proses yang
dialami oleh tanaman ‘padi’, yaitu dengan menyebutnya ‘rice’. Dari contoh tersebut, kita dapat
melihat adanya penghormatan yang lebih tinggi dari bangsa Indonesia (penutur bahasa
Indonesia) terhadap tanaman padi karena ia merupakan makanan pokok yang teramat penting di
Indonesia. Hal ini semakin menunjukkan bahwa setiap bahasa membawa sistem nilai dari
masyarakat penuturnya masing-masing, sehingga kita tidak dapat melepaskan bentuk bahasa dari
nilai-nilai yang dianut oleh penuturnya.

Contoh diatas menunjukkan bahwa kebudayaan penutur bahasa menjadi faktor dominan
3

dalam pembentukan serta perkembangan suatu bahasa. Terlihat pula gambaran tentang batasan
yang dimiliki oleh setiap bahasa (kata ‘rice’ dalam bahasa Inggris). Tentunya tidak salah jika kita
mulai mengambil sedikit kesimpulan dimana bahasa merupakan kemampuan yang sangat
penting bagi kelangsungan hidup manusia, hingga tidak terbayangkan jika seseorang hidup
tanpanya. Lebih lanjut, keberlangsungan bahasa merupakan buah tangan dari kebudayaan, baik
dari penuturnya maupun kebudayaan-kebudayaan lain yang saling berakulturasi dan berasimilasi.
Hasil-hasil penelitian juga memperkuat teori bahwa fitrah bahasa merupakan warisan budaya
yang diturunkan dari nenek moyang hingga sampai pada generasi kita saat ini. Namun, kita juga
harus memperhitungkan faktor-faktor lain yang sebenarnya lebih esensial ketimbang apa yang
telah diuraikan diatas.

Pembahasan

2
“Language comes so naturally to us that we tend to be blase about it,…” Pernyataan
Pinker tersebut cukup merepresentasikan keacuhan sebagian orang terhadap bagaimana asal
mula bahasa hingga pengaplikasiannya. Ketika kita sampai pada pendapat bahwa bahasa
merupakan warisan budaya, kita menganggap itu sudah lebih dari cukup. Sebaliknya, ada pula
sebagian orang yang menganggap bahasa merupakan taken for granted dari Tuhan, yang kita
miliki tanpa harus ada upaya khusus untuk mempelajari atau memperolehnya. Kalau kita alih
bahasakan menjadi lebih ilmiah, dapat didefinisikan bahwa bahasa tidak melulu hanya buah dari
warisan budaya, tapi juga merupakan sebuah insting yang dimiliki secara naluriah oleh manusia.

Konsepsi bahasa sebagai suatu insting pertama kali disebutkan oleh Darwin dalam
bukunya the Descent of Man. Ia berpendapat, kemampuan berbahasa adalah sebuah insting
kecenderungan untuk memperoleh pengetahuan dan merupakan sebuah adaptasi revolusioner,
yang mana bahasa sebagai kendaraan terpenting dalam proses adaptasi manusia. Ia juga
mengungkapkan bahwa bahasa merupakan produk dari struktur biologis yang sangat tertata
dengan baik di dalam tubuh setiap manusia, dan merupakan pecahan tersendiri dari otak. Bahasa

2 Ibid. Pinker, 408-409.


bisa disebut sebagai sesuatu yang kompleks dan merupakan kemampuan khusus dan berkembang
pada anak-anak secara spontan tanpa adanya usaha secara sadar.

Sebelum berbicara lebih jauh tentang insting berbahasa, kita akan membahas tentang
bagaimana terbentuknya beraneka ragam bahasa di dunia ini terlebih dahulu. Tentunya kita
masih ingat dengan teori Lamarck tentang variasi pada makhluk hidup, ia menyebutkan bahwa
makhluk hidup berkembang secara lambat dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Begitu
pula yang terjadi pada proses perkembangan bahasa. Menurut para ahli filologi, bahasa
berkembang secara lambat dan juga tanpa disadari.

“And the Lord said, Behold, the people is one, and they have all one language,…”3

Membaca kutipan diatas, mungkin akan menimbulkan banyak tanda tanya dalam pikiran
kita sendiri tentang kenyataan bahwa bahasa di dunia ini bukan hanya satu, tapi ribuan
jumlahnya. Kutipan tersebut diambil dari buku berjudul the Tower of Babel yang mengisahkan
usaha anak manusia yang ingin mencapai surga demi menemui Tuhannya. Namun, karena Tuhan
murka, akhirnya mencerai-beraikan mereka ke seluruh penjuru dunia dengan konsekuensi setiap
orang dari mereka berbicara dengan bahasa yang berbeda-beda. Hal itulah yang menyebabkan
kita hidup diantara ribuan bahasa. Bisa dibilang pendapat ini berdasarkan versi literatur,
sedangkan jika merujuk pada versi ilmiah, kita bisa mengutip pendapat dari Chomsky. Ia
menyebutkan bahwa dibalik keanekaragaman dan kesamaan-kesamaan kecil yang terdapat pada
bahasa-bahasa di dunia, sebenarnya kita mempunyai satu akar bahasa yang sama. Ada pula
argumen lain yang semakin mendukung teori ini, yaitu hasil penelitian dari Joseph Greenberg
yang melakukan penelitian tentang hal-hal menarik pada beberapa bahasa. Ia menemukan bahwa
diantara 30 bahasa yang ditelitinya, terdapat 45 persamaan baik dalam sistem gramatikal maupun
kosakatanya.

Meskipun telah banyak argumen-argumen yang menyatakan bahwa bahasa di dunia ini
berasal dari satu akar bahasa yang sama, tapi belum cukup representatif untuk menjadikannya
sebagai sebuah teori yang mutlak. Oleh sebab itu, kita akan melihat kembali teori Darwin tentang
asal mula munculnya variasi. Dalam teori radiasi adaptifnya, Darwin menyatakan ada dua
penyebab variasi yaitu migrasi (dalam hal ini bisa diartikan pula sebagai perbedaan lingkungan),

3 Ibid., Pinker, 231


5

dan reproduksi dimana seleksi seksual menjadi faktor yang berperan penting. Teori ini juga
berterima terhadap variasi yang terjadi pada bahasa, yang disebabkan oleh hereditas
(memungkinkan adanya mutasi yang berakibat munculnya variasi baru), inovasi, dan isolasi.
Sebagai contoh, dulunya bahasa Inggris merupakan bahasa yang terisolasi, tetapi karena adanya
ekspansi besar-besaran ke seluruh penjuru dunia, akhirnya bahasa Inggris dipakai sebagai
Langua Franca dalam berkomunikasi. Kata-kata dalam bahasa Inggris (atau bahasa manapun)
terus mengalami perkembangan. Bahasa Inggris menyerap beberapa kata dan sistem gramatikal
dari bahasa Prancis dan bahasa-bahasa lain sebagai upaya penyesuaian terhadap perkembangan
jaman. Selain itu, perkembangan bahasa Inggris juga dipengaruhi faktor hereditas, hingga
nantinya muncul istilah bahasa Pidjin, dan Creol.

Hereditas memang memiliki peranan penting dalam proses pewarisan bahasa, karena
suatu bahasa yang diucapkan oleh seorang anak dipengaruhi oleh pembicaraan orang tua dan
orang-orang terdekatnya. Perlu diketahui, bahasa pada anak berkembang melalui beberapa
tahapan. Pada usia 1 bulan, bayi hanya mengenal satu bahasa, yaitu bahasa yang dipakai oleh
ibunya. Berkembang hingga usia 10 bulan, bayi tidak lagi berbicara dengan bahasa yang
universal, mereka mengguman dengan kata-kata yang sama sekali masih abstrak dan tidak ada
artinya. Menginjak usia 3 tahun, anak mulai mengenal dan menirukan suara-suara disekitar
mereka, pada tahapan inilah kemampuan fonetik mereka berkembang pesat. Mereka memang
belum mengenal gramatikal ataupun semiotik suatu bahasa, tapi mereka dapat menirukan suara-
suara dengan sangat baik. Masa tersebut berlangsung hingga usia 8-10 tahun. Tahapan
selanjutnya, pada usia lebih dari 10 tahun, anak akan mulai kehilangan kemampuan luar biasanya
dalam hal fonetik. Mereka tidak akan dapat menirukan prononsiasi suatu bahasa seperti halnya
native bahasa tersebut, tetapi ada kemampuan lain yang berkembang pada usia ini. Jika pada usia
3 tahun mereka utterly confused dengan sistem gramatikal dan semiotik suatu bahasa, di usia
inilah mereka mulai dapat memahami tentang penggunaan verba, kata benda, dan kelas-kelas
kata lain hingga penyusunan kalimat yang bermakna logis.

Roger Brown setelah melakukan penelitiannya pada beberapa bayi (anak) menyimpulkan
bahwa anak berumur 3 tahun sudah mulai bisa merangkai kata-kata sederhana. Mereka juga
sudah mulai mengerti dan mengungkapkan kata-kata yang sering didengar seperti kata-kata yang
menunjukkan obyek, bagian-bagian tubuh, pakaian, ataupun kendaraan. Terdapat pula penelitian
lain dilakukan oleh Jacques mehler yang masih membahas tentang proses pembahasaan pada
bayi, dia memberikan suatu contoh kejadian dimana ada seorang bayi yang sedang menyusu
ibunya sambil dinyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Prancis oleh ibunya. Namun ketika si ibu
mengubah lagu tadi dengan lagu dalam bahasa lain (bukan bahasa Prancis), bayi tersebut
berhenti menyusu. Setelah ibunya kembali menyanyikan lagu berbahasa Prancis, si bayi mulai
menyusu kembali. Contoh lain, jika ada seorang anak tuna rungu yang lahir dari keluarga
normal, maka dia akan lebih sulit untuk berkomunikasi dan belajar bahasa isyarat dengan baik.
Berbeda dengan Papua, yang hampir 50% bahasanya masih berupa bahasa isyarat, masyarakat
disana berkomunikasi dengan lebih mudah karena sejak lahir telah hidup di lingkungan tersebut
dan orang tua mereka pun juga menggunakan bahasa yang sama. Peristiwa-peristiwa tersebut
semakin menunjukkan adanya faktor hereditas (keturunan) yang sangat berpengaruh dalam
proses pembahasaan.

Sampai disini mungkin kita belum dapat melihat dengan jelas kenapa bahasa dikatakan
sebagai sebuah insting. Uraian-uraian diatas memang masih mengawang-awang dan belum
mengerucut pada suatu kesimpulan yang jelas. Oleh sebab itu, sekarang kita akan mencoba
merunut kembali dari awal, bagaimana suatu bahasa diproduksi oleh tubuh sebagai insting
naluriah.

Merujuk pada definisi bahasa sebagai sistem tanda bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
dan digunakan sebagai sarana berkomunikasi, maka kita pun harus tahu terlebih dahulu tentang
bagaimana bunyi itu dihasilkan. Bunyi atau suara dihasilkan melalui proses yang cukup rumit,
dimulai dari udara dihirup dan masuk ke paru-paru kemudian dari paru-paru dialirkan ke
tenggorokan, diteruskan ke pita suara (ada yang digetarkan dan ada yang tidak digetarkan),
kemudian sampai di rongga mulut, disana udara ada yang dialirkan lewat rongga mulut saja, ada
pula yang dialirkan lewat rongga mulut dan rongga hidung (nasal), sedangkan pada rongga mulut
sendiri, udara masih mengalami proses penghambatan untuk menghasilkan bunyi konsonan,
ataupun tidak dihambat untuk menghasilkan bunyi vokal.

Seperti itulah prosedur yang harus dilalui setiap kali kita ingin berbicara. Lalu bagaimana
dengan bahasa yang ada dalam pikiran kita namun tidak kita suarakan? Apakah itu juga
merupakan suatu bentuk bahasa, jika definisi bahasa merupakan sistem tanda bunyi? Untuk
7

menjawab pertanyaan tersebut, hal yang perlu kita lakukan adalah mengetahui tentang seperti
apa kerumitan yang terjadi dalam pikiran kita, khususnya di otak, karena disanalah bahasa lahir
dan berkembang.

“But if there is a language instinct, it has to be embodied somewhere in the brain, and
those brain circuits must have been prepared for their role by the genes that built them.”4

Pinker menyebutkan bahwa inti dari proses pembahasaan berlangsung di otak. Otak
terdiri dari ribuan gen yang saling berhubungan seperti halnya organ-organ lain dalam tubuh kita.
Bahasa menguasai gen khusus yang terdapat pada molekul protein di circuit neuron otak.
Namun, bukan berarti keseluruhan bagian otak kita hanya diperuntukkan untuk mengurusi
bahasa, hanya di bagian otak kirilah gen-gen bahasa itu berkembang. Hal ini dapat dibuktikan
dengan percobaan menggunakan CT, PET, ataupun MRI. Ketiganya merupakan alat yang
digunakan untuk melihat cara kerja otak.

Jika terjadi kerusakan di salah satu bagian otak, maka akan terjadi gangguan dalam
proses komunikasi. Penyakit Aphasia misalnya, disebabkan oleh luka atau kista di dalam otak
kiri yang menyebabkan penderitanya akan mengikuti ucapan orang lain dan susah menggunakan
tata bahasa yang benar. Hal tersebut terjadi akibat rusaknya language control dalam otak kiri
sehingga sulit bagi penderita untuk mengungkapkan apa yang mereka pikirkan, contohnya
penderita stroke dan parkinson.

Wernicke adalah gangguan pada otak kiri yang menyebabkan penderitanya mengalami
kesulitan dalam menamakan suatu benda. Penderita Wernicke memang dapat berbicara dengan
lancar, tetapi apa yang dibicarakan tidak ada artinya atau ngelantur. Dyslexia juga merupakan
salah satu jenis gangguan pada otak kiri. Secara gampangnya, penderita dyslexia memiliki
keterbatasan dalam membaca atau malah cenderung sulit untuk membaca, karena ada beberapa
huruf yang tidak terbaca di otaknya walaupun sebenarnya dia melihat huruf-huruf tersebut.
Selain contoh diatas, masih ada beberapa contoh penyakit lain yang masih berhubungan dengan
otak dan bahasa, antara lain epilepsi, anomic patient, broca’s aphasia, serta SLI (gagap).

Penyakit-penyakit yang disebutkan diatas merupakan penyebab terganggunya proses

4 Ibid., Pinker, 299.


komunikasi / pembahasaan. Namun mereka tidak menjadi alasan kerusakan atau melemahnya
intelejensia, karena antara kemampuan berbahasa dan intelejensia tidak saling berhubungan
secara langsung. Si penderita tetap dapat menjalankan aktifitas berpikirnya, tetapi untuk
merealisasikannya dalam bentuk tulisan ataupun ucapan, dia akan mengalami kesulitan.

Setelah mengetahui bahwa ada hubungan yang erat antara bahasa dan otak, kita menjadi
lebih tahu bahwa konsep bahasa sebagai artefak budaya yang diwariskan secara turun-temurun
kepada kita tidak akan berjalan jika bahasa bukan berasal dari dalam diri kita sendiri. Kemudian
dikembangkan sedemikian rupa hingga menjadi sangat rumit seperti yang kita temukan sekarang
ini. Semua kerumitan itu lahir dari otak kita, tepatnya di dalam grammar genes, yang
menghadiahi kita kemampuan mental grammars dan universal grammars (berdasarkan teori dari
Chomsky).

Sebelumnya telah disinggung bahwa cakupan bahasa tidak hanya sebatas apa yang keluar
dari mulut kita dalam bentuk bunyi ataupun suara, tetapi ada bahasa yang tak kasat mata dan
berlindung didalam pikiran kita masing-masing, yaitu mental grammars. Misalnya ketika kita
mengalami kondisi dimana perasaan yang kita rasakan tidak dapat dijelaskan dengan kosa-kata
yang kita miliki sehingga kita cenderung untuk menyimpannya dalam pikiran, peristiwa tersebut
sudah dapat menjadi contoh salah satu peranan mental grammars. Contoh lain, tanaman mawar
telah ditemukan ribuan tahun atau mungkin jutaan tahun yang lalu, tetapi konsep tentang kata
‘mawar’ yang menjadi referensi dari ‘tanaman berduri dan berbunga indah yang berwarna
merah, kuning, putih, merah jambu’ baru ditemukan bertahun-tahun setelahnya, yaitu ketika
manusia mulai membutuhkan sebuah kata yang dapat mewakili ‘tanaman mawar’ itu sendiri.
Bahasa memang menjadi salah satu kebutuhan pokok manusia, seperti halnya manusia
membutuhkan air, api, tanah, mereka juga merasa ‘butuh’ untuk mengetahui simbol apa yang
dapat mewakili benda-benda tersebut.

Mental grammars merupakan aset pribadi setiap manusia, kita merasa sah-sah saja
mengatakan ‘makan saya mangga mau ah’ dalam pikiran. Namun, sebagai masyarakat yang
hidup sebagai makhluk sosial, kita butuh untuk berkomunikasi yang baik dengan orang lain.
Tentunya kalimat diatas sangat tidak pas kita ucapkan dalam sebuah percakapan, karena setiap
bahasa memiliki universal grammars yang menjadi pemersatu dan pembatas di antara para
9

penutur bahasanya. Oleh sebab itu, kita perlu memperhatikan tahapan-tahapan yang harus dilalui
dari mental grammars (dalam pikiran) hingga kalimat tersebut diucapkan. Yang pertama perlu
kita lakukan adalah merasionalkan kalimat versi mental grammars sesuai dengan universal
grammars, setelah itu barulah kita ekspresikan kalimat tersebut dalam bentuk ucapan.

Sampai pada paragraf ini, kita telah mengetahui tentang bentuk bahasa secara konkret
maupun secara abstrak dengan segala kerumitannya yang diproses di dalam otak. Selanjutnya,
kita kembali pada permasalahan utama yang telah sempat disinggung pada awal pembahasan,
yaitu bahasa merupakan sebuah insting yang dimiliki manusia.

“Language is not a cultural artifact that we learn the way we learn to tell time or how
the federal government works.”5

William James yang merupakan salah satu penganut Darwinisme, menyatakan bahwa
kita sebagai manusia, mempunyai insting seperti yang dipunyai oleh hewan. Kemampuan
intelejensia kita datang dari pengaruh berbagai insting yang saling berkompetisi. Para peneliti
dalam bidang ilmu pengetahuan kognitif mendeskripsikan bahasa sebagai bagian dari kajian
psikologi, organ mental, dan sistem saraf. Mereka juga menyebutkan bahwa mekanisme proses
penghasilan bahasa dalam tubuh kita sama halnya seperti mekanisme ayam yang bertelur.
Manusia menggunakan bahasa tanpa sadar dan tidak membutuhkan usaha khusus yang harus
dimiliki sebelumnya. Hal ini dikuatkan dengan adanya penelitian yang dilakukan pada orang-
orang tuna rungu yang memakai bahasa isyarat. Meskipun dengan keterbatasan kemampuan
yang mereka miliki, tapi mereka tetap berusaha untuk dapat bertahan hidup dan berkomunikasi
dengan orang lain (baik sesama tuna rungu ataupun dengan orang normal).

Kembali kepada Darwin dengan teorinya tentang insting berbahasa manusia, dia
menyimpulkan bahwa kemampuan berbahasa adalah sebuah insting kecenderungan untuk
memperoleh pengetahuan. Pada dasarnya, setiap manusia dibekali beberapa insting dasar yang
terhubungkan dengan bahasa, yaitu insting untuk mempelajari, berbicara, dan memahami suatu
bahasa. Pendapat tersebut dikuatkan oleh teori deep structure yang dikemukakan oleh Chomsky.
Ia menganalogikan jika ada seorang anak keturunan suku Afrika asli yang dipindah ke Alaska,
maka si anak itu akan cenderung dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Eskimo dengan

5 Ibid,. Pinker, 18.


lebih baik dibanding bahasa Afrika. Teori inilah yang mematahkan argumen para peneliti tentang
bahasa semata-mata merupakan warisan budaya.

Kesimpulan

“The best place to begin is to ask why anyone should believe that human language is a
part of human biology—an instinct—at all.”6

Berangkat dari kutipan diatas, kita akan mencoba menyimpulkan tentang apa yang
sebelumnya telah dibahas. Mulai dari pengertian bahasa, fungsi dan peranan bahasa, serta bahasa
sebagai salah satu unsur budaya. Teori yang menyatakan bahwa bahasa merupakan warisan
budaya yang diturunkan dari nenek moyang hingga sekarang ini memang sudah diakui
keabsahannya. Namun, bukan berarti konsep pewarisan budaya itu bisa memonopoli konsep-
konsep lain yang juga berkenaan dengan proses pembahasaan.

Konsep lain yang dimaksud adalah bahasa merupakan insting yang dimiliki manusia dan
secara naluriah sebagai godforsaken bagi setiap manusia. Akibatnya, bahasa menjadi salah satu
kebutuhan penting yang setara dengan kebutuhan pokok hidup manusia lain, seperti makan,
tempat tinggal, dan pakaian. Bisa dikatakan bahwa kita telah kecanduan dengan bahasa, dan
sungguh tidak terbayangkan jika kita hidup tanpa bahasa. Kadang hal tersebut menyebabkan kita
tidak puas dengan hanya menguasai satu macam bahasa, ada sebuah kenyamanan dan kedamaian
tersendiri yang dicapai ketika kita dapat berkomunikasi dengan berbagai bangsa di dunia ini.

6 Ibid., Pinker, 24.


11

Insting kebahasaan diproduksi di bagian otak kiri kita, atau lebih tepatnya di bagian
perisylvia dan bagian brocas. Kedua bagian tersebut mempunyai fungsi yang berbeda. Perisylvia
merupakan tempat disimpannya tata bahasa, bunyi, dan kosakata. Jika terjadi kerusakan atau
gangguan pada bagian ini, penderita akan berbicara dengan terputus-putus. Bagian brocas
menjadi tempat terpenting dalam proses pemproduksian bahasa, disamping itu ia juga menjadi
tempat berlangsungnya gramatikal proses, serta mengontrol aktivitas bibir, lidah dan rahang.

Terdapat beberapa macam gangguan dalam proses pembahasaan yang disebabkan oleh
rusaknya bagian otak kiri, misalnya penyakit wernicke, dyslexia, epilepsi, aphasia, broca’s
aphasia, dll. Penderita akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Hal inilah yang semakin
menunjukkan bahwa bahasa erat hubungannya dengan sistem biologis yang ada di tubuh kita.
Seperti yang telah dinyatakan oleh William James, bahasa merupakan sebuah insting yang sama
kedudukannya dengan insting-insting lain, Chomsky pun sepakat dengan pemikiran James
tersebut. Dalam teori deep structurenya, Chomsky menunjukkan bahwa bahasa yang kita kuasai
bukan hanya berasal dari pewarisan turun-temurun dari nenek moyang, karena insting kitalah
yang lebih berperan dalam proses pengadopsian sebuah bahasa. Sebagai contoh anak dari suku
asli Afrika yang dibesarkan di Alaska akan lebih bisa berkomunikasi menggunakan bahasa
Eskimo dengan lebih baik ketimbang harus menggunakan bahasa Afrika.

Dari keseluruhan uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa bahasa bukan semata-mata
artefak budaya yang telah wariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang, karena bahasa
juga dipengaruhi oleh sistem biologis kita (dalam hal ini, organ otak). Di otak kiri inilah bahasa
secara instingtif diproduksi sekaligus diproses sehingga kita tidak harus mempunyai kemampuan
khusus untuk sekedar mempelajarinya. Implementasinya, tidak akan menjadi alasan bagi orang
yang memiliki keterbatasan indra (tuna rungu atau bisu) untuk mengalami kesulitan dalam
berkomunikasi. Mereka akan tetap berusaha untuk berkomunikasi (dengan bahasa isyarat) karena
bahasa merupakan suatu kebutuhan yang mutlak dimiliki oleh setiap manusia.

“Human infants are born with nothing more than a few reflexes and an ability to learn.
Learning is a general-purpose process, used in all domains of knowledge. Children learn their
culture through indoctrination, reward and punishment, and role models.”7

7 Ibid., Pinker, 406.


Sumber Bacaan:

Pinker, Steven. The Language Instinct. Penguin Books.

You might also like