You are on page 1of 62

LAPORAN PENELITIAN

DIMENSI FILSAFAT DALAM PEMIKIRAN PENDIDIKAN


IKHWAN AL-SHAFA

Oleh:

Dra. ARBA’IYAH YS., MA.


NIP. 150 246 883

Berdasarkan Surat Keputusan


Pemimpin Proyek Nomor: 08 a/SK/PELITA/SA/99
IAIN SUNAN AMPEL

SURABAYA
1999
This research is dedicated to whomever interested in developing Islamic

Education. It is also dedicated to my husband and my a single son.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penelitian individual dengan judul Dimensi Filsafat dalam

Pemikiran Pendidikan Ikhwan al-Shafa ini dapat terselesaikan dengan usaha

optimal.

Banyak penemuan penting yang perlu dikembangkan dalam praktek

pendidikan di Indonesia, utamanya menyentuh pendidikan Islam. Salah satu

contohnya adalah dalam filsafat bilangan yang diyakini oleh Ikhwan Al-Shafa

mengandung makna teologis yang sangat tinggi dimana angka satu merupakan

simbol daripada emanasi yang menyatakan alam teremanasi dari Yang Satu yaitu

Allah.

Maka amat menarik jika hasil penelitian ini dikembangkan dalam penelitian

lain yang bisa digunakan sebagai pedoman pelaksanaan pendidikan Islam di

Indonesia.

Terima kasih banyak disampaikan kepada semua pihak yang membantu

dalam penyelesaian ini.

Surabaya, 28 September 1999

Peneliti

Arba‟iyah Yusuf

i
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I: PENDAHULUAN
A. Dasar Pemikiran ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 6
D. Kegunaan Penelitian ....................................................................... 6
E. Metodologi Penelitian .................................................................... 7
F. Sistematikan Pembahasan .............................................................. 10

BAB II: FALSAFAH IKHWAN AL-SHAFA


A. Metafisika ....................................................................................... 12
B. Epistemologi .................................................................................. 14
C. Aksiologi ........................................................................................ 15

BAB III: KAJIAN UMUM TENTANG LANDASAN FALSAFAH


PENDIDIKAN
A. Pandangan Filsafat tentang Landasan Posisi Manusia
di Alam Semesta ............................................................................ 17
1. Manusia sebagai Manifestasi Tuhan ........................................ 18
2. Manusia sebagai Khalifah fi al-Ardl ........................................ 22
3. Posisi Manusia sebagai Hamba Allah ...................................... 28
B. Akal dan Kemampuannya .............................................................. 29
C. Konsepsi Ilmu ................................................................................ 31
D. Hakekat Pendidik ........................................................................... 33
E. Hakekat Peserta Didik .................................................................... 38

BAB IV: FALSAFAH PENDIDIKAN IKHWAN AL-SHAFA


A. Posisi Manusia di Alam Semesta ................................................... 40
B. Akal dan Kemampuannya .............................................................. 42
C. Filsafat Ilmu ................................................................................... 44
D. Pendidik dan Siterdidik .................................................................. 46

BAB V: KESIMPULAN ................................................................................... 48

DAFTAR KEPUSTAKAAN .............................................................................. 50

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


BAB I

PENDAHULUAN

A. DASAR PEMIKIRAN

Ikhwan al-Shafa sebagai organisasi gerakan politik keagamaan yang

disebut juga Brethern of Purity, Khullan al-Wafa, Ahl al-Adl, Abna Al-Hamdi,

atau Ikhwanuna, atau juga Auliya Allah, memiliki kontribusi penting dalam

percaturan pemikiran dalam Islam, terutama dalam bidang Filsafat dan

Tasawuf. Organisasi ini berdiri pada abad ke-4 H./10 M. di kota Basrah yang

dikenal sebagai kelompok dengan tradisi intelektualnya terbangun karena ia

memiliki apresiasi yang tinggi terhadap filsafat Yunani yang kemudian

dipadukan dengan syari‟at Islam.1

Organisasi ini memiliki hasil karya penting yang disusun oleh empat

tokohnya yang terkenal yaitu: Abu Sulayman bin Muhammad bin Ma‟syar al-

Busti (al-Makdisi), Khadi Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zandjani, Abu

Ahmad al-Nahradjuri, dan al-Anfi.2 Di antara hasil karya yang dimaksud

adalah: Rasail Ikhwan al-Shafa wa Khullan Wafa, yang memuat pemikiran-

pemikiran filsafat dan sains. Muatan karya Ikhwan al-Shafa wa Kullan al-Wafa

ini terdiri atas: (a) Kelompok matematika, (b) Kelompok ilmu alam dan fisika,

(c) Pemikiran metafisika dan psikologi, dan (d) Pemikiran tentang agama dan

ketuhanan.3

1
Tim Penyusun Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, Jld II (Jakarta: Intan, 1994) 194.
2
Tim Penyusun
3
Sayyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Massachusetta Institute of Technology,
1996) 152.

1
2

Rasail Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa selanjutnya menjadi rujukan

penting para pemikir Islam maupun para pengkaji Islam, terutama kajian pada

tataran filsafat dan tasawuf. Sebagai contoh, Ibn Sina sebagai filosof muslim

yang terkenal di dunia Timur dan Barat sejak kecil menekuni dunia filsafat

melalui Rasail Ikhwan al-Shafa. Hal ini dijelaskan dalam biografi Ibn Sina

sebagai berikut:

… from them (the isma‟iliyya), he (Ibn Sina‟s father), as well as my


brother, heard the account of the soul and the intellect in the special
manner in which they speak about it and know it …Sometimes they
used to discuss this among themselves while I was listening to them
and understanding what they were saying …and also these was talk of
philosophy, geometry and Indian calculation. My father used to study
and ponder over the Rasail Ikhwan al-Shafa (the treatises of the
sincere Bethern) and I also pondered over it from time to time.4

Maka sangat bisa dipahami bahwa pemikiran filsafat Ibn Sina dalam banyak

hal sealur dengan pemikiran Ikhwan al-Shafa. Hal ini karena memang Rasail

Ikhwan al-Shafa telah membangun fondasi filsafat Ibn Sina sejak masih usia

anak-anak.

Pada tataran pendidikan, Ikhwan al-Shafa memberikan kontribusinya

pada landasan filosofis. Landasan filosofis dimaksud terpaparkan pada

beberapa aspek mendasar, yaitu pada aspek metafisika, epistemologi, dan

aksiologi yang meliputi eksistensi manusia, persoalan jiwa, konsepsi ilmu,

konsepsi posisi guru dan murid, dan nilai agama. Pemikiran-pemikiran

mendasar tersebut akan memberikan corak terhadap pemikiran pendidikan dan

implikasinya dalam kegiatan pendidikan.

Adalah Ikhwan al-Shafa yang memiliki pemikiran filsafat bahwa

manusia adalah manifestasi Tuhan. Hal ini dikemukakan secara ringkas dalam
4
William E. Gohlman, The Life of Ibn Sina: A Critical Edition and Annotated Translation,
(Albany, New York: State University of New York Press, 1974) 18-19.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


3

Rasail Ikhwan al-Shafa yang diterjemahkan oleh Sayyed Hossein Nasr sebagai

berikut:

Know, oh Brother (May God assist thee and by the spirit from him)
that God, Exalted Be His Praise, when He created all creatures and
brought them into existence by the process similar to the process of
generation of numbers from one. So that the multiplicity (numbers)
should be a witness to his Oneness, and their classification and order
and indication of the perfection of his wisdom in creation. 5

Pemikiran serupa kemudian terpaparkan dengan jelas dalam konsep emanasi

Ibn Sina.6

Sebagai kelanjutan dari pemikiran tentang eksistensi manusia dimana

manusia eksistensinya adalah sebagai bukti adanya Yang Satu karena manusia

termasuk kelompok yang banyak dan yang banyak (multiple) berasal dari Yang

Satu (The Oneness). Ikhwan al-Shafa memaparkan tentang dimensi manusia

yang secara ringkas terdiri dari jasmani (matter and form) dan rohani (jiwa).

Jiwa menurut Ikhwan al-Shafa memiliki potensi berfikir yang dapat

menangkap esensi kehidupan. Dimensi ini dijelaskan bahwa jiwa dibagi

menjadi tiga: Vegetative atau Nutritive, Animal atau Sensitive, dan Human atau

Ratioal. Ketiga jiwa serupa menyatu dalam diri manusia.7 Ibn Sina kemudian

mengembangkan pemikiran ini dalam konsepnya tentang potensi jiwa dengan

memadukan antara pemikiran Ikhwan al-Shafa dan pemikiran al-Farabi.8

Kembali pada pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang dimensi manusia,

dikatakan dalam filsafatnya bahwa kebahagiaan manusia lebih terfokus pada

kebahagiaan jiwa dan kebahagiaan jiwa tidak berada pada kebahagiaan materi

5
Sayyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 155.
6
Lihat Ian Richard Netton, Allah Trancendent: Studies in the Structure and Semiotics of Islamic
Philosophy, Theology and Cosmology, (London and New York: Routledge, 1989) 164.
7
Qadir C.A., Philosophy and Science in the Islamic World, (London: Routledge Inc., 1988) 57.
8
Lihat Fazlur Rahman, Avicenna‟s Psychology, (London: Oxford University Press, 1952) 6.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


4

akan tetapi lebih kepada non-materi. Di antara kebahagiaan non-materi

dimaksud berada pada level keilmuan seseorang.

Ilmu, menurutnya, berakar pada tiga dimensi: metafisik, matematik dan

fisik. Ketiganya memiliki bagian yang luas tentang ilmu pengetahuan. Yang

lebih prinsipal lagi bahwa berangkat dari tiga dimensi tersebut berbagai

persoalan keilmuan dapat dipecahkan. Misalnya persoalan The Oneness dan

multiplicity yang berada pada tataran metafisika bisa dijelaksan dengan

matematika (geometri). Dikatakan bahwa bilangan dua dan seterusnya

bersumber pada satu. Jadi bersumber dari The Oneness, multiplicity berada

pada bilangan dua yang berpasangan, yaitu adanya siang dan malam, baik dan

buruk, terang dan gelap, pria dan wanita, dan seterusnya.9

Dari konsep keberpasangan inilah, kemudian muncul pula pemikiran

tentang nilai-nilai beragama. Pemikirannya yang paling moderat adalah bahwa

orang beragama apapun menempati posisi lebih baik dibandingkan dengan

orang yang tidak beragama. Akan tetapi, pemeluk agama Islam selalu dihimbau

untuk tidak bersikap prejudis terhadap agama lain.10

Sikap untuk tidak prejudis terhadap orang lain yang selalu ditanamkan

oleh Ikhwan al-Shafa juga dilandingkan dalam konsep tentang posisi pendidik

dan terdidik. Pendidi bukanlah pihak yang memaksakan sesuatu terhadap pihak

terdidik. Karenanya, menurutnya proses pendidikan harus mampu

meningkatkan kemampuan afektif, kemampuan memori, dan kemampuan

mengungkapkan pikiran kepada orang lain baik secara lisan maupun dengan

tulisan. Sehingga proses pendidikan mampu mengembangkan potensi pihak

9
Sayyed Hossein Nasr, Science and Civilization, 157.
10
Qadir C.A., Philosophy and Science in the Islamic World, 54-55

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


5

terdidik secara optimal bukan malah menghambat. Dengan demikian, landasan

filosofis Ikhwan al-Shafa dalam menempatkan semua unsur dalam pendidikan

– diantaranya adalah manusia, ilmu dan agama – memiliki porsi sangat

penting.

Kajian terhadap pemikiran filsafat Ikhwan al-Shafa sudah banyak ditulis

oleh para pemikir muslim, akan tetapi kajian yang mendalam dalam Dimensi

Filsafat dalam pendidikan kurang memperoleh perhatian. C.A. Qadir dalam

bukunya Philosophy and Science in the Islamic World menulis tentang

pemikiran Ikhwan al-Shafa dalam bidang pendidikan dalam porsi yang sedikit.

Oleh karenanya, berdasarkan paparan singkat di atas dan melihat

kenyataan sedikitnya porsi kajian pemikiran Pendidikan Ikhwan al-Shafa perlu

dimulai untuk dilakukan. Pentingnya kajian ini juga didukung oleh

dirumuskannya sillabi mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam yang memuat di

antaranya Pemikiran Pendidikan Ikhwan al-Shafa, sementara dalam buku-buku

Filsafat Pendidikan Islam poin ini belum pernah dituliskan.

B. RUMUSAN MASALAH

Kajian tulisan ini dibatasi pada permasalahan-permasalahan yang

terumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang aspek metafisika,

epistemologi, dan ontologi dalam Dimensi Filsafat Pendidikan?

2. Bagaimanakah pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang posisi manusia di alam

semesta sebagai landasan pemikiran pendidikan Islam?

3. Bagaimanakah pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang ilmu?

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


6

4. Bagaimanakah pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang agama dalam perspektif

Filsafat keterkaitannya dengan Pendidikan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Kajian yang berjudul Dimensi Filsafat Pemikiran Pendidikan Ikhwan al-

Shafa ini bertujuan:

1. Untuk mendapatkan gambaran pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang aspek

Metafisika, Epistemologi, dan Ontologi pada tataran filsafat dalam

pendidikan.

2. Untuk mendapatkan gambaran pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang

eksistensi manusia di alam semesta sebagai landasan pemikiran pendidikan.

3. Untuk mendapatkan gambaran pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang ilmu.

4. Untuk memberikan gambaran pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang agama

dalam perspektif Filsafat keterkaitannya dengan Pendidikan

D. KEGUNAAN PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan berguna bagi:

1. Keilmuan; Kajian ini diharapkan menjadi masukan untuk memperkaya

khazanah pemikiran dalam bidang pendidikan, khususnya dalam pendidikan

Islam.

2. Praktek kependidikan; Kajian ini diharapkan menjadi acuan dalam

penyelenggaraan pendidikan, termasuk pendidikan Islam.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


7

E. METODOLOGI PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang berjudul Dimensi Filsafat dalam Pemikiran

Pendidikan Ikhwan al-Shafa termasuk jenis penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang mengumpulkan data dan

informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat dalam

kepustakaan.11

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif, maka secara

otomatis penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang

tidak mengadakan perhitungan data secara kuantitatif.12

Robert J. Bogdan dan Steven J. Taylor menyatakan bahwa penelitian

kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif.13 Dengan

pendekatan ini diharapkan data yang diperoleh adalah data deskriptif, yaitu

tentang Dimensi Filsafat Pemikiran Pendidikan Ikhwan al-Shafa.

Selanjutnya, landasan filsafat yang digunakan adalah filsafat

rasionalistik. Dalam pandangan rasionalistik, ilmu yang valid adalah yang

berasal dari pemahaman intelektual yang dibangun atas dasar argumentasi

logis.14

Penggunaan filsafat rasionalistik ini didasarkan atas argumentasi

sebagai berikut:

11
Mardalis, Metode Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 1990) 28.
12
Leky J. Moeloeng, Metode Penelitian Kwalitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990) 2.
13
Robert J. Bogdan dan Steven J. Taylor, Introduction to Qualitative Research (New York:
Interscience Publication John Wiley and Son, tth.) 04.
14
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kwalitatif (Yogyakarta: Bake Sarasih, 1992) 24.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


8

2.1 Penelitian ini bukan penelitian lapangan. Obyek dan sumber datanya

adalah konsepsi dan teori yang ada di dalam kepustakaan. Dan

kemudian dari data itu dianalisa sesuai dengan pokok-pokok persoalan

yang ada.

2.2 Filsafat rasionalistik menghendaki kebenaran teori itu berdasarkan

koherensi dan sesuai dengan konsepsi pengetahuan sebelumnya yang

didasarkan atas argumentasi yang logis.

3. Jenis Data dan Sumber Data

Sesuai dengan jenis penelitian yang dilakukan, jenis data dari

penelitian ini adalah data kualitatif.

Selanjutnya yang menjadi subyek penelitian atau sumber data yang

akan digunakan untuk penelitian ini adalah:

3.1 Karya/buku Ikhwan al-Shafa, diantaranya Rasail Ikhwan al-Shafa wa

Khullan al-Wafa.

3.2 Sumber-sumber yang mengulas tentang Ikhwan al-Shafa dan

pemikirannya sebagai sumber data sekunder.

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang dimaksud, maka metode yang dipakai

adalah metode dokumentasi, yaitu data tentang variabel yang berupa buku,

catatan, transkrip, surat kabar, majalah, jurnal dan lain sebagainya.

Penggunaan metode dokumentasi ini dengan alasan bahwa jenis penelitian

ini termasuk penelitian literatur.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


9

5. Teknik Analisa Data

Dalam penelitian kualitatif rasionalistik, ada beberapa tata pikir yang

dapat digunakan untuk mengkonstruksi sejumlah konsep menjadi proposisi,

menjadi hipotesis, menjadi postulat, aksioma, teori ataupun untuk

mengkonstruksi menjadi alat analisa data, yaitu:

5.1 Tata Pikir Perspektif

Tata pikir ini digunakan untuk mempersepsi data yang sesuai atau

relevan dengan persoalan masalah yang diteliti, sebab tidak semua data

itu akan digunakan untuk penelitian, maka data yang ada itu perlu

dipersepsi yang sesuai dan relevan dengan kajian.

5.2 Tata Pikir Deskriptif

Tata pikir ini digunakan untuk mendeskripsikan data yang secara

sistematis sesuai dengan sistematika pembahasan yang dipakai dalam

karya ini.

5.3 Tata Pikir Interpretatif

Tata pikir ini digunakan untuk membuat interpretasi data sesuai

dengan pokok bahasan. Sebab interpretasi merupakan salah satu aspek

dalam kajian tentang sejarah disamping fakta. Interpretasi inilah yang

memungkinkan terjadinya perbedaan dalam sebuah karya sejarah.

Tentunya interpretasi sejauh mungkin harus obyektif agar mendapatkan

pemahaman data yang lebih mendekati kepada kebenaran. Dalam kajian

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


10

ini, tata pikir interpretatif digunakan dalam menginterpretasikan

pemikiran-pemikiran Ikhwan al-Shafa untuk selanjutnya dilihat dari

perspektif pendidikan.

5.4 Membuat Pemaknaan

Yaitu memberikan implikasi pada data yang nampak. Pemaknaan

ini dilakukan dan digunakan secara simultan dengan interpretasi. Sebab

tanpa ada pemaknaan data, tidak akan memberikan pengertian dan

implikasi apa-apa tanpa disertai dengan pemaknaan secara tepat.

F. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Pembahasan penelitian ini secara berturut-turut mengikuti sistematika

sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Pada bagian ini disajikan hal-hal sebagai berikut: Dasar Pemikiran,

Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian,

Metodologi Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.

BAB II: FALSAFAH IKHWAN AL-SHAFA

Pada bagian ini dikemukakan hal-hal sebagai berikut: Pemikiran

Ikhwan al-Shafa tentang Metafisika, Epistemologi, dan Aksiologi.

BAB III: KAJIAN UMUM TENTANG LANDASAN FALSAFAH

PENDIDIKAN

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


11

Pada bagian ini dibahas hal-hal sebagai berikut: Eksistensi Manusia

di Alam Semesta, Akal dan Kemampuannya, Filsafat Ilmu,

Eksistensi Pendidik dan Terdidik.

BAB IV: LANDASAN FALSAFAH PENDIDIKAN IKHWAN

AL-SHAFA

Hal-hal yang dibahas dalam bagian ini adalah sebagai berikut:

Eksistensi Manusia di Alam Semesta, Akal dan Kemampuannya,

Filsafat Ilmu, Eksistensi Pendidik dan Terdidik.

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bagian ini dikemukakan kesimpulan dari hasil dan saran

peneliti terhadap pengembangan hasil penelitian.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


BAB II

FALSAFAH IKHWAN AL-SHAFA

Ikhwan al-Shafa memiliki fokus-fokus yang luas dalam paparannya tentang

filsafat. Dalam bagian ini akan disajikan tiga aspek pemikiran falsafah Ikhwan al-

Shafa, yaitu: (1) Metafisika, (2) Epistemologi, (3) Aksiologi. Pembatasan pada

tiga fokus ini berkaitan erat dengan landasan dasar filsafat pendidikan

sebagaimana yang pernah ditulis oleh Imam Barnadib. Barnadip dalam bukunya

“Filsafat Pendidikan Suatu Tinjauan” mengatakan bahwa pemikiran pendidikan

pada tataran filosofis melibatkan tiga aspek penting yaitu Metafisika yang

menghasilkan cita-cita pendidikan, Epistemologi yang memberikan landasan

pemikiran mengenai kurikulum, dan Aksiologi (mengenai masalah nilai dan

kesusilaan).15

A. METAFISIKA

Metafisika sebagai kajian filsafat yang sangat fundamental berbicara

tentang hakekat alam semesta. Terkadang orang menyebut metafisika dengan

term ontologi. Intinya bahwa metafisika secara epistemologis berarti

“dibalik”.16 “After the physic from meta means after and physics means

nature”17 sedangkan pengertian metafisika sendiri sangatlah beragam,

diantaranya:

15
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Suatu Tinjauan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1986) 6.
16
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986) 31.
17
Peter A. Angels, Dictionary of Philosophy, (New York: Harper Collins, 1981) 169.

12
13

1. Metaphysics is the attempt to present a comprehensive, coherent and

consistent account (picture, view) of reality (being the universe) as a whole.

2. Metaphysics is the study of being as being and not of “Being” in the form of

particular being.

3. Metaphysics is the study of most general, persistent, and pervasive

characteristic of the universe: existence, change, time, couse-effect

relationship, space, subtance, identity, uniqueness, difference, unity, variety,

sameness, oneness.

4. Metaphysics is the study of ultimate reality the illusory appearencess

presented in our perception.18

Dalam aspek ini (metafisika), Ikhwan al-Shafa secara total mengikuti

pemikiran Neo-Platonic, dimana dunia/alam sampai dengan eksistensinya tidak

melalui proses emanasi. Dalam proses emanasi terjadi sembilan tingkatan.

Pada tingkatan pertama Allah adalah The Maker atau Creator. Selanjutnya

adalah intellect (al-„aql), ketiga sampai ke delapan adalah al-Nafs al-Kulliyah

dan Animals.19 Pemikiran serupa tentang emanasi juga terdapat dalam filsafat

yang dipaparkan baik oleh al-Farabi maupun Ibn Sina.

Lebih jauh Ikhwan al-Shafa juga memaparkan tentang form dan matter

bahwa setiap obyek merupakan perpaduan antara form dan matter, keduanya

menjadi bersama dalam berbagai bentuk rasio dan proporsi. Begitu juga, space

berkaitan dengan waktu yang dapat dipahami melalui gerak material bodies.

18
Ibid
19
C.A. Qodir, Philosophy and Science in the Islamic World, (New York: Routledge, 1988) 56.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


14

Bila dikaitkan dengan pemikiran Imam Barnadib, maka cita-cita yang

ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa adalah bagaimana manusia mampu menjadi

makhluk sebagaimana kehendak penciptanya.

B. EPISTEMOLOGI

Epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang membahas sumber,

proses, syarat, batas, validitas dan hakekat pengetahuan. Dengan

menyederhanakan batasan di atas, Brameld mendefinisikan epistemologi

sebagai berikut: “It is epistemology that gives the teacher assurance that he is

conveying the truth to his student (epistemologi memberikan kepercayaan dan

jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-

muridnya).”20 Kenapa demikian? Peter A. Angels memberikan jawaban yang

cukup luas bahwa:

Epistemology is the study of (a) the origins, (b) the presupposition, (c)
the nature, (d) the extent, and (e) the veracity (truth, reliability,
validity) of knowledge. That branch of philosophy which asks
questions such as: “where does knowledge come from how is it
formulated, expressed, and communicated? What is knowledge? Is
there knowledge derived only from reason? What are the differences
among concept such as: belief, knowledge, opinion, fact, realiyu
error, imagining, conceptualizing, idea, truth possibility, certainity?21

Pada tataran ini Ikhwan al-Shafa meyakinkan bahwa sumber ilmu itu ada

tiga: (1) Sense, (2) Pure Reason, (3) Initiation and Authority.22 Ikhwan al-Shafa

dalam hal ini sedikit berbeda dengan filosof muslim seperti Ibn Sina. Ibn Sina

memberikan landasan bahwa sumber ilmu itu ada tiga: (1) Sense, (2) Reason,

(3) Intuition.

20
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan, 32-33.
21
Peter A. Angels, Dictionary of Philosophy, 78
22
C.A. Qodir, Philosophy and Science in the Islamic World, 55.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


15

Sense memiliki fungsi memahami sensory knowledge berupa benda nyata

yang eksistensinya dapat dilihat dalam space dan waktu. Pure Reason

berfungsi memahami persoalan-persoalan yang tidak mampu dipahami ataupun

ditangkap oleh Sense. Akan tetapi, menurut Ikhwan al-Shafa, reason masih

memiliki keterbatasan untuk memahami ilmu Allah. Seseorang harus

menerima ilmu dari guru yang memiliki otoritas dimana guru dimaksud

menerimanya dari Imam dan Imam menerimanya dari Imam sebelumnya.

Sedangkan Imam-imam seluruhnya menerimanya dari Nabi yang bersumber

dari Allah.

C. AKSIOLOGI

Dikatakan bahwa aksiologi merupakan bidang filsafat yang menyelidiki

tentang nilai-nilai. Terdapat pula yang membagi aksiologi ini menjadi tiga

bagian: (1) Moral Conduct; bidang ini kemudian melahirkan disiplin khusus

yaitu Ethica, (2) Esthetic Expression, yang melahirkan Estetika, dan (3) Socio-

Political Life; yang melahirkan ilmu filsafat sosio politik.23 Pembagian ini

menjelaskan bahwa aksiologi berbicara tentang prinsip tertentu apakah yang

dianggap baik dalam tingkah laku manusia. Apakah yang dimaksud indah

dalam seni. Demikian pula apakah yang benar dan diinginkan di dalam

organisasi sosial kemasyarakatan kenegaraan.

Ikhwan al-Shafa memaparkan24 bahwa baik dan buruk dapat dijelaskan

oleh akal, karena ukurannya sangat rasional. Prinsip-prinsip moral sebagai

landasan penilaian apakah tingkah laku seseorang itu baik atau buruk secara

23
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, 34-35
24
C.A. Qodir, Philosophy and Science in the Islamic World, 58

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


16

pasti memiliki kategori yang tidak bisa dikurangi atau diturunkan. Menurutnya,

kebaikan itu secara otomatis memiliki implikasi pada perolehan pahala, dan

perbuatan baik dikatakan baik manakala disebabkan oleh kebaikan yang

muncul dari dalam, bukan karena mengharapkan sesuatu yang datangnya dari

luar.

Dengan landasan di atas, Ikhwan al-Shafa memaparkan bahwa sebagian

kemampuan individu itu merupakan bawaan dan sebagian lainnya merupakan

hasil jerih payah. Setelah lahir, seseorang mulai memahami mana yang baik

dan mana yang buruk melalui upaya berfikir. Dan proses ini akan terus

berlangsung sampai akhir hidupnya. Perbuatan itu dikatakan baik manakala

dilakukan dengan sempurna (benar dan tepat kaitannya dengan waktu dan

tempat).

Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa aksiologi yang dijelaskan

oleh Ikhwan al-Shafa berada pada suatu kelompok konsentrasi yaitu Ethica

(landasan ethica).

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


BAB III

KAJIAN UMUM TENTANG LANDASAN


FALSAFAH PENDIDIKAN

A. PANDANGAN FILSAFAT TENTANG LANDASAN POSISI MANUSIA

DI ALAM SEMESTA

Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menjadikan, menciptakan


insan dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah.
Mengajar manusia dengan pena. Yang mengajar manusia apa yang
tidak tahu. (Jangan sekali-kali demikian) bahkan sesungguhnya
manusia itu bersikap dhalim. Apabila ia merasa terkaya (dari Tuhan
dalam ajarannya). Sesungguhnya kepada Tuhanmulah kamu kembali.
(QS.: 96; 1-8)

Dia diciptakan dari air yang terpancar. Yang keluar dari antara
tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. Sesungguhnya
Allah benar-benar berkuasa untuk mengembalikannya (hidup
sesudahnya mati). (QS.: 86; 5-8)

Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah


hancur luluh. Katakanlah: Ia dihidupkan oleh Tuhan yang
menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang
segala makhluk. (QS.: 36; 77-79)

(Dia Allah) Yang Maha Pengasuh, mengajar (insan) akan al-Qur‟an.


Ia menciptakan insan dan mengajarnya akan al-Bayan (daya untuk
melukiskan atau menyampaikan pikiran atau perasaan).
(QS.: 55; 1-4)

Telah kami ciptakan manusia dengan sebaik-baik kejadian kemudian


kami kembalikan dia serendah-rendahnya. Kecuali orang yang
beriman dan beramal shaleh. Maka bagi mereka balasan yang tidak
diungkit-ungkit. (QS.: 95; 4-6)

Ayat-ayat di atas menjelaskan tentang penciptaan manusia secara global.

Dalam al-Qur‟an manusia juga berulangkali diangkat derajatnya, berulangkali

pula direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi, dan

bahkan para malaikat; akan tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih

berarti dibandingkan dengan binatang sekalipun. Manusia dihargai sebagai

17
18

makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot

menjadi “yang paling rendah dari segala yang rendah”. Oleh karena itu

makhluk manusia dituntut untuk menyadari posisinya sehingga memiliki sikap

yang tepat kaitannya dengan nasib akhirnya. Manusia di alam semesta

memiliki berbagai kedudukan karena keunggulan yang dimiliki.25 Paling tidak

manusia harus menyadari tiga posisi penting: (1) Sebagai manifestasi Tuhan,

(2) Sebagai khalifah fi al-Ardl, (3) Sebagai hamba Allah.

1. Manusia sebagai Manifestasi Tuhan

Dalam menjelaskan bahwa manusia sebagai manifestasi Tuhan –

dimana pemikiran serupa telah dikembangkan oleh para filosof muslim

maupun para sufi – teori emanasi menjadi landasan penting. Teori emanasi

ini para tataran filsafat Islam dikenal telah dikembangkan oleh al-Farabi dan

Ibn Sina.

Manusia sebagai manifestasi Tuhan dijelaskan dengan pemikiran

mendasar bahwa Tuhan adalah penyebab pertama (multiplicity) itu muncul

dari Yang Satu.26

Dalam teori emanasi al-Farabi maupun dalam teori emanasi Ibn Sina

dijelaskan bahwa manifestasi Tuhan yang ditemukan dari yang jumlahnya

banyak digambarkan oleh sebuah hierarki.27

Hierarki yang dimaksud adalah sebagai berikut:

25
Lihat Murtadla Mutahhari, Perspektif al-Qur‟an tentang Manusia dan Agama (Bandung: Mizan,
1992) 117.
26
Sayyed Hossein Nasr, Three Moslem Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn Arabi (New York:
Caravan Book, 1964) 28.
27
Ian Richard Netton, Allah Transcendent: Studies in the Structure and Semiotic

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


19

Emanation and Al-Farabi28

God = The First (al-Awwal)

The First Intellect + The Second (al-Tsani)

The Second Intellect Soul and Body of the First Heaven


(al-Sama‟ al-Ula)

The Third Intellect The Fixed Stars (al-Kawakib


al-Thabita)

The Fourth Intellect Saturn (Zuhal)

The Fifth Intellect Jupiter (al-Mustari)

The Sixth Intellect Mars (al-Mirrikh)

The Seventh Intellect Sun (al-Shams)

The Eighth Intellect Venus (al-Zuhara)

The Ninth Intellect Mercury („Utarid)

The Tenth (Active or Agent) Intellect Moon (al-Qamar)


(al-Aql al-Fa‟al)

Actualize Human Intellect Profide Form Matter

Man etc.

28
Ibid., 116.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


20

Emanation and Ibn Sina29

The Necessary Being

The First Intellect (al-„Aql al-Awwal) = Supreme Archangel or Cherub

Second Intellect Soul/Angel of First Body of First Heaven


Heaven (Outermost Sphere)

Third Intellect Soul/Angel of Second Body of Second Heaven


Heaven (Fixed Stars of Zodiac
Sign)

Fourth Intellect Soul/Angel of Third Body of Third Heaven


Heaven (Saturn)

Fifth Intellect Soul/Angel of Fourth Body of Fourth Heaven


Heaven (Jupiter)

Sixth Intellect Soul/Angel of Fifth Body of Fifth Heaven


Heaven (Mars)

Seventh Intellect Soul/Angel of Sixth Body of Sixth Heaven


Heaven (Sun)

Eighth Intellect Soul/Angel of Seventh Body of Seventh Heaven


Heaven (Venus)

Ninth Intellect Soul/Angel of Eighth Body of Eighth Heaven


Heaven (Mercury)

Tenth Intellect Soul/Angel of Ninth Body of Ninth Heaven


Heaven (Mercury)

World of Generation and Corruption

29
Ibid., 165

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


21

Proses emanasi yang sekilas dapat dilihat di atas terjadi sebagai

berikut: The Necessary Being atau Wajibul Wujud menghasilkan al-„Aql al-

Awwal (First Intellect) atau disebut al-Ma‟lul al-Awwal (First Caused).

First Intellect menempati posisi Wajh al-Quds (Supreme Archangel).

Proses berikutnya, First Intellect melakukan perenungan yang

akhirnya menghasilkan the Second Intellect (al-„Aql al-Tsani). Dari al-„Aql

al-Tsani inilah terjadi yang, dalam term bahasa Inggris, disebut Multiplicity

(yang banyak). Selanjutnya, disaat al-„Aql al-Tsani sadar bahwa Tuhan itu

wajib ada, maka al-„Aql al-Tsani menghasilkan jiwa atau malaikat daripada

al-Jannah al-Awwal (the Soul or Angel of the First Heaven). Pada saat al-

„Aql al-Tsani sadar bahwa keberadaan dirinya hanya bersifat mungkin,

maka kemudian al-„Aql al-Tsani menghasilkan jasad daripada the Soul or

Angel of the First Heaven.

Proses ini selanjutnya dengan cara yang sama sampai pada al-„Aql al-

„Ashir sebagaimana dapat dilihat dalam skema. Selanjutnya, al-„Aql al-

„Ashir menghasilkan alam semesta yang disebut dengan the World of

Generation and Corruption. the World of Generation and Corruption

merupakan realitas daripada manifestasi Tuhan dimana manusia berada pada

level ini.30

Ibn Sina dalam bukunya Ithbat an-Nubuwwat dan Imam Ghazali

dalam bukunya Mishkat al-Anwar menjelaskan bahwa Tuhan adalah Yang

Baik dan Yang Benar (kebaikan dan kebenaran). Keyakinan serupa

30
Ibid.,163-164

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


22

merupakan interpretasi kedua tokoh tersebut tentang Nur yang tercantum

dalam surat an-Nur ayat 36.31

Manusia yang eksistensinya tergantung pada eksistensi Tuhan

memiliki kemampuan untuk memahami lainnya serta mampu mencapai atau

mengerti kebaikan dan kebenaran.

2. Manusia sebagai Khalifah fi al-Ardl

Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit


dan bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka kuatir akan menghianatinya,
dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat dhalim dan bodoh. (QS.: 33; 72)

Ayat di atas telah memaparkan salah satu watak manusia yang begitu

mulia menerima amanah, dimana dengan amanah tersebut manusia adalah

makhluk yang tepat untuk menjadi Khalifah fi al-Ardl. Ketepatan posisi

tersebut juga diperjelas dalam al-Qur‟an bahwa memang Allah menetapkan

untuk menciptakan manusia sebagai Khalifah fi al-Ardl.

Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:


“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di
bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah…” Tuhan Berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
(QS.: 2; 30)

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di


bumi…, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. (QS.: 6; 165)

Dialah yang menetapkan kamu menjadi Khalifah-khalifah di


muka bumi, dan ditinggikannya sebagian kamu daripada yang
sebahagian seberapa derajat untuk mencobaimu dari hal-hal
31
Lihat al-Ghazali, Miskat al-Anwar (the Niche for Light), translated with introduction by W.H.T.
Gairdner, (London: The Royal Asiatic Society, 1924) 43-96. Lihat juga pada Michael Marmura,
Ibn Sina: Fi Ithbat an-Nubuwwah (Toronto: University of Toronto, 1968) 48-49.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


23

apa saja yang diberikan-Nya padamu. Sesungguhnya siksa


Tuhan engkau amat lekas dan sesungguhnya Tuhan Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.: 6; 165)

Menurut Murtadha Muttahari, manusia menjadi makhluk pilihan maupun

Khalifah fi al-Ardl telah diciptakan berdasarkan perhitungan yang teliti.

Sebagai makhluk pilihan, manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan

bermartabat, karena memang Tuhan pada kenyataannya telah

menganugerahi manusia dengan keunggulan atas makhluk-makhluk lain.

Dikatakan pula bahwa dengan kelebihan tersebut manusia akan menghargai

dirinya sendiri jika mereka mampu merasakan kemuliaan dan martabat

tersebut, serta mau melepaskan diri mereka dari kerendahan budi,

penghambaan dan hawa nafsu.32 Dalam al-Qur‟an dikatakan:

“Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam: Kami angkat mereka

di darat dan di lautan… dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang

telah Kami ciptakan. (QS.: 17; 70)

Manusia sebagai Khalifah fi al-Ardl disertai dengan segala

kelebihannya memiliki posisi penting. Posisi inipun berkonsekuensi bahwa

manusia memiliki berbagai tanggung jawab. Diantaranya tanggung jawab

akan: (1) Kesejahteraan alam semesta, (2) Keharmonisan kehidupan

manusia, (3) Menentukan masa depan.

2.1 Tanggung Jawab atas Kesejahteraan Alam Semesta

Manusia sebagai Khalifah fi al-Ardl memiliki tanggung jawab atas

kesejahteraan alam semesta. Dengan kelebihan dan kemuliaannya, manusia

kemudian memiliki tugas membuat alam sejahtera, bukan memperlakukan

32
Murtadha Mutahhari, Perspektif al-Qur‟an tentang Manusia dan Agama, 119.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


24

alam yang mengarah pada kerusakan. Karena memang manusia memiliki

sisi kebaikan yang ada pada dirinya. Dengan kebaikan tersebut manusia

mempunyai kecenderungan menciptakan sesuatu yang baik. Dan

kesejahteraan lingkungannya merupakan kebaikan yang esensial dalam

percaturan kehidupan umat manusia.

Allah menjelaskan dalam al-Qur‟an bahwa manusia dengan hatinya

mampu melihat kebaikan dan kebenaran: “Maka apakah mereka tidak

berjalan di muka bumi, lalu mereka dapat mendengar? Karena

sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati di

dalam dada.” (QS.: 22; 46)

Fazlur Rahman dalam bukunya Major Themes of the Qur‟an

menerangkan bahwa ayat di atas mengandung makna bahwa terdapat tiga

jenis ilmu pengetahuan kaitannya dengan kehidupan manusia: (1) Ilmu

pengetahuan tentang alam, (2) Ilmu pengetahuan tentang sejarah dan

geografi, (3) Ilmu pengetahuan tentang manusia itu sendiri. Hal ini seperti

yang diungkapkan dalam tulisannya.

…the Qur‟an appears to be interested in three types of


knowledge for man. One is the knowledge of nature which has
been made subservient to man, i.e., the physical science. The
second crucial type is the knowledge of history (and
geography): the Qur‟an persistently asks man to “Travel of the
earth” and see for himself what happened to be gone civilization
and why they rise and fall. The third is the knowledge of man
himself, sense “we shall show them aou sign in the horizons
(external nature) and within themselves, to that Truth becomes
clear to them – ia your Lord not sufficient witness over every
thing. (QS.: 41; 53)33

33
Fazlur Rahman, Major Themes of the Holy Qur‟an, (Chicago: Bibliotica, 1980) 34.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


25

Tiga jenis ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tersebut

memiliki satu kecenderungan berawal dari scientific knowledge mengarah

pada persepsi moral.

Tentu saja manusia dengan bekal ketiga jenis ilmu pengetahuan

tersebut memiliki kemampuan untuk menciptakan kebaikan ataupun

kesejahteraan di alam semesta. Berbeda dengan makhluk lain yang memang

tidak memiliki kemampuan.

2.2 Tanggung Jawab atas Keharmonisan Kehidupan Manusia

Fazlur Rahman dalam bukunya Prophecy in Islam memaparkan

bahwa,

Man differs from other animals in the if he were alone,


managing all his affairs by him-self without someone else
cooperation in fulfilling his needs, his life will not be elegant. It
is therefore essential that human life based on cooperation…
And for this reason, people have been forced to establish cities
and contract societies.34

Berdasarkan kutipan di atas bisa dikatakan bahwa keharmonisan yang

dibutuhkan oleh manusia bersifat otomatis karena manusia membutuhkan

kooperasi dalam kehidupan mereka. Yang implikasinya manusia kemudian

cenderung untuk membangun kota-kota atau masyarakat yang terikat antara

satu dengan yang lainnya.

Untuk membangun masyarakat yang harmonis, dibutuhkan adanya

keadilan dalam semua bidang, dalam persoalan etika, ekonomi, sosial, dan

politik. Makhluk Allah yang mampu merealisasikan semua ini hanyalah

34
Fazlur Rahman, Prophecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy (London: George Allen & Unwin
Ltd., 1957) 52-53.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


26

manusia. Oleh karenanya manusia memiliki tanggung jawab untuk

menciptakan keharmonisan kehidupan manusia lainnya.

Fazlur Rahman menjelaskan dalam bukunya Major Themes of the

Qur‟an bahwa kunci umat Islam untuk menciptakan keharmonisan

kehidupan adalah taqwa: “a central aim of the Qur‟an is to establish a

variable social order on the earth that will be just and ethically based on

taqwa.35

2.3 Tanggung Jawab atas Menentukan Masa Depan

Murtadha Muttahari memaparkan dalam bukunya Perspektif al-

Qur‟an tentang Manusia dan Agama bahwa “semua makhluk yang ada di

muka bumi ini dapat dibagi menjadi dua kelompok: makhluk bernyawa dan

makhluk tikdak bernyawa.” Makhluk tidak bernyawa seperti air, api, batu

dan tanah, tidak memainkan peran apapun dalam membangun dan

mengembangkan dirinya. Mereka mewujud dan tumbuh semata-mata

dibawah pengaruh faktor-faktor eksternal. Mereka tidak melibatkan diri

dalam kegiatan apapun untuk tujuan mengembangkan eksistensi mereka.

Sebaliknya, makhluk-makhluk hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan

manusia senantiasa melakukan upaya-upaya tertentu mempertahankan diri

dari aneka kesulitan memperoleh makanan dan berkembang biak.36

Dalam persoalan membangun dan mengembangkan dirinya, manusia

berbeda dengan makhluk bernyawa lainnya. Manusia memiliki kemampuan

insani yang istimewa, yaitu daya nalar yang mampu memberikan jalan pada

35
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur‟an, 37.
36
Murtadha Muttahhari, Perspektif al-Qur‟an tentang Manusia dan Agama, 137.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


27

pembentukan masa depan yang mereka inginkan. Dengan dasar

pengetahuan tentang diri, pengetahuan tentang kehidupan di sekeliling

mereka dan berdasarkan daya nalar, manusia dapat menentukan masa

depannya.

Kondisi di atas disebabkan oleh karakteristik inheren yang ada dalam

sifat manusia, yaitu: (a) keluasan wawasan dan kesadaran manusia, (b)

keluasan wilayah yang dicakup oleh kehendak-kehendak manusia, (c)

Kemampuan inheren untuk membentuk diri adalah milik eksklusif manusia,

tidak ada makhluk lain yang menyandang kemampuan ini. 37 Dengan

demikian, manusia mampu menaklukkan alam semesta serta bebas pula

memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan mereka melalui pengetahuan

dan ilmu yang mereka miliki.

Manusia melalui hukum-hukum penciptaan juga dikaruniai

kemampuan menyusun pedoman bagi dirinya untuk mencapai masa depan

seperti yang mereka kehendaki. Makhluk lain pasrah akan dibentuk seperti

apa oleh manusia.

Masa depan yang ditentukan atau dibentuk oleh manusia menjadi

lebih sempurna manakala keyakinan dimiliki. Sebab manusia secara fitri

telah dikaruniai oleh Allah memiliki keyakinan. Keyakinan atau iman

membimbing manusia ke arah jalan yang lurus. Hal ini telah diyakini oleh

semua ajaran agama, madzhab moralitas dan doktrin pendidikan.38 al-

Qur‟an memaparkan: “Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang

bersyukur, ada pula yang kufur.” (QS.: 76; 3)

37
Ibid., 138-139
38
Ibid., 140.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


28

Pengetahuan dan keyakinan berperan penting seiring dalam kiprah

manusia menentukan masa depan. Pengetahuan menunjukkan jalan untuk

mewujudkannya dan memungkinkan manusia membentuk masa depan

sesuai dengan kehendaknya. Sedang iman membimbing manusia bagaimana

mereka seharusnya mereka dapat memelihara diri dan masyarakatnya.

Dengan kelebihan-kelebihan yang dimiliki itulah manusia memiliki

tanggung jawab membentuk dan menentukan masa depan, masa depan yang

berkonotasi positif. Dimana dipaparkan bahwa pengetahuan dan iman

memainkan peran

3. Posisi Manusia sebagai Hamba Allah

To forget God is to destroy one‟s personality, whether individual or

social, for only rememberance of God can comment personality. 39 Manusia

secara fitri memiliki keyakinan dan selalu ingat kepada Tuhan, dimana

fitrah ini merupakan salah satu kepribadian manusia. Keterkaitannya dengan

fitrah serupa, manusia tertata dalam ciptaannya untuk menjadi insan

beragama. “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar supaya

mereka menyembah kepada-Ku.” (QS.: 51; 56) “Itulah Dia Allah, Tuhanmu.

Tiada Tuhan kecuali Dia, pencipta segala sesuatu, oleh sebab itu sembahlah

Dia.” (QS.: 6; 103)

Arti menyembah tidak terbatas pada perilaku ritual, seperti sholat dan

puasa. Menyembah dalam arti yang lebih luas mencakup pengembangan

sifat-sifat Tuhan yang dapat dipahami dari al-Asma al-Husna. Pengertian ini

39
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur‟an, 28

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


29

merupakan refleksi dari posisi manusia sebagai manifestasi Tuhan. Menurut

Hasan Langgulung, professor dari Malaysia, bentuk menyembah dalam

makna yang luas itulah tujuan jin dan manusia diciptakan.40

Allah berfirman: “Aku telah membentuknya dan menghembuskan

kepadanya roh-Ku.” (QS.: 15; 19) Ayat ini merupakan bukti literatur

pentinng bahwa manusia adalah manifestasi Tuhan yang diberi beberapa

potensi berkenaan dengan sifat-sifat Tuhan yang telah diterangkan sebagai

al-Asma al-Husna. Diantaranya bahwa Allah Yang Maha Pengasih (ar-

Rahman), Yang Maha Penyayang (ar-Rahim), Yang Maha Suci (al-

Quddus), Yang Maha Hidup (al-Hayy), Yang Maha Memberi Hidup (al-

Muhyi), Yang Maha Tahu (al-„Alim), Yang Maha Berkuasa (al-Qawiy),

Yang Maha Mencipta (al-Khaliq), Yang Maha Memiliki Segala Kekuasaan

(al-Malik al-Mulk), dan Raja Yang Maha Agung (al-Malik).41

B. AKAL DAN KEMAMPUANNYA

Akal atau rasio atau intelegensi dikatakan oleh Ibn Sina sebagai

gabungan dari dua daya yang dimiliki oleh jiwa rasional (rational soul). Dua

daya yang dimaksud adalah Practical Faculty dan Theoritical Faculty. Jiwa

rasional yang merupakan bagian dari jiwa-jiwa manusia dimana akal adalah

kelebihannya dikatakan sebagai “The first intellegency of rational and rational

deduction and in so far as it perceives universe.”42

40
Hasan Langgulung, Kreativitas dan Pendidikan Islam: Analisis Psikologi dan Falsafah,
(Jakarta: Pustaka al-Hasan, 1991) 22.
41
Ibid.,21.
42
Henry Corbin, Avicenna and The Visionary Ratical, diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh
Williard R. Trask (Princeton: Princeton University Press, 1988) 350.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


30

Practical Faculty memiliki hubungan yang erah dengan daya simulasi,

imajinasi, dan estimasi yang juga dimiliki oleh binatang. Sedangkan fungsi dari

Faculty (daya) ini dikatakan sebagai penggerak jasad manusia yang mendorong

pada tingkah laku (action) seseorang, dimana tingkah laku (action) tersebut

memiliki tujuan tertentu.43 Hubungan daya ini dengan daya yang dimiliki oleh

animal adalah hubungan antara Practical Faculty dengan Ainmal Faculty of

Stimulation. Hal ini dikatakan oleh Ibn Sina bahwa. “ceitain state arises in it

peculiar to man by it is disposed to quick actions and passion such as shame,

laughter, and weeping.”44 Selanjutnya dikatakan pula bahwa hubungan

practical faculty dengan animal faculty of imagination and estimation adalah

baliwa “it uses that faculty to deduce human arts.”45

Practical faculty memiliki karakter ganda: dengan bantuan theoritical

gence, practical faculty membentuk pendapat umum yang dapal diterima

kaitannya dengan perbuatan, misalnya adalah bahwa bohong dan tirani adalah

perbuatan yang jelek, sedangkan kejujuran dan keadilan adalah perbuatan yang

baik, dan premise-pieimse yang serupa.

Adapim theoritical faculty dimiliki oleh jiwa manusia dalarn posisinya

yang lebih tinggi dengan fungsi bahwa theoritical faculty itu memahami

bentuk-bentuk universal yang terabstraksikan melalui benda. Daya inilah yang

menyebabkan manusia berbeda dari makhluk-makhluk lainnya.

Para filosof membagi theoritical faculty menjadi empat level: (1)

Intellectus materials, (2) Intellectus in habitu, (3) Intellectus in Actu, (4)

43
Fazlur Rahman, Avicenna‟s Psychology: an English Translation of Kitab al-Najat, Book II,
Chapter IV with historico philosophical notes and textual improvements on the Cairo edition,
(London: Oxford University Press, 1952) 32.
44
Ibid., 32
45
Ibid.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


31

Intellectus adeptus atau acquisitus. Intellectus materialis – sebagai level

terendah – merupakan intellectus yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai

potensi untuk mendapatkan ilmu. Intellectus in habitu – manakala dia belajar

prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan – dan prinsip-prinsip dasar berfikir

yang benar. Level ini merupakan aktualisasi dari pada potential intellect yang

bermula dari situasi bahwa manusia mengerti dan memikirkan kebenaran

umum dari situasi bahwa dasar dari semua perilaku yang nampak/yang dapat

dilihat.

Level ketiga, intellectus in actu, dicapai oleh seseorang dengan kriteria

bahwa progressifitas dari intellect an habitu terjadi pada level ini. Seseorang

telah mampu menemukan ilmu pengetahuan dan mampu mengaktualkan

ilmunya dalam bentuk aktifitas.

Yang terakhir adalah bahwa intellectus adeptus atau acquisitus

merupakan posisi tertinggi yang juga bisa dicapai oleh mannsia, diantaranya

para Nabi yang mampu menikmati posisi ini karena kesempurnaan mereka. Di

atas semua level (4 level) intellect di atas terdapat yang tertinggi, disebut

Active Intellect sebagai sumber ilmu yang diterima oleh manusia melalui

iluminasi.46

C. KONSEPSI ILMU

Para filosof Muslim meniliki pandangan yang berbeda-beda di dalam

menjelaskan tentang ilmu. Ibn Sina misalnya berkeyakinan bahwa ilmu itu

terbagi menjadi dua: (1) llmu yang tidak kekal, (2) Ilmu yang kekal (yang

46
Ibid.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


32

disebut dengan hikmah). Ilmu yang kekal dilihat dari peranannya disebut

logika, tetapi berdasarkan tujuannya, ilmu dapat dibagi menjadi ilmu praktis

dan ilmu teoritis. Yang termasuk ilrnu teoritis adalah ilmu kealaman,

matematika, ketuhanan, dan ilmu kulli. Sedangkan ilmu yang praktis

diantaranya ialah ilmu akhlak, ilmu pengurusan rumah (tata rumah), ilmu

pengurusan kota (tata kota), dan ilmu Nabi (syari'ah).47

Sedangkan menurut al-Ghazali – Yang dikenal begitu opposan terhadap

Ibn Sina tetapi sekaligus belajar dari karyanya – ilmu juga dapat dilihat dar dua

segi. Tetapi segi yang dipaparkan oleh al-Ghazali berbeda dengan pembagian

Ibn Sina. Dua segi yang dimaksudkan adalah: Ilmu sebagai proses dan ilmu

sebagai objek. Dari segi pertama, al-Ghazali membagi ilmu menjadi ilmu

hissiyah, ilmn aqliyah, dan ilmu Iaduni. Ilmu hissiyah diperoleh manusia

melalui perginderaan (alat indera), sedangkan ilmu aqliyah diperoleh melalui

kegiatan berfikir (akal). Ilmu laduni diperoleh langsung dari Allah, tanpa

melalui proses penginderaan/pemikiran (nalar), melainkan melalui hati dalam

bentuk ilham.48

Kemudian ilrnu juga dapat dikatakan sebagai objek dan dapat dibagi

menjadi tiga kelompok: (1) Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik

sedikit maupnn banyak, seperti azimat, nujum, dan ilmn tentang ramalan nasib.

Ilmu ini tercela karena tidak memiliki nilai manfaat, baik di dunia maupun

akhirat; (2) Ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun banyak,

namun kalau banyak lebih terpuji seperti ilmu agama dan peribadatan. Ilmu

pengetahuan seperti ini mutlak terpuji karena dapat melepaskan manusia (yang

47
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986) 112.
48
Ibid., 132

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


33

mempelajarinya) dari perbuatan tercela, mensucikan diri, membantu manusia

mengetahui kebaikan dan mengerjakannya, memberitahu manusia ke jalan

usaha mendekatkan diri kepada Allah dalam mencari ridho-Nya guna

mempersiapkan dunia untuk kehidupan akhirat yang kekal; dan (3) Ilmu

pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji, tetapi jika mendalaminya

tercela sepeiti ilmu ketuhanan dan sebagian dari filsafat naturalisme. Menurut

al-Ghazali, ilmu-ilmu tersebut jika diperdalam akan menimbulkan kekacauan

pikiran dan keraguan, dan akhirnya cenderung mendorong manusia kepada

kufur dan ingkar.49

D. HAKEKAT PENDIDIK

Dalam pembahasan tentang hakekat pendidik terdapat dua faktor

pemikiran yang menjadi dasar pembahasan; yaitu, (1) Siapakah pendidik? dan

(2) Apakah tugas pendidik?

1. Pendidik

Para akademisi dewasa ini sepakat bahwa pendidikan adalah manusia

dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang

pendidikan siterdidik.50 Dalam mengangkat persoalan siapakah pendidik,

terdapat pertanyaan penting yang harus dijawab terlebih dahulu, yaitu

siapakah pendidik pertama di saat proses pendidikan pertama terjadi?

Menarik bukti sejarah dari al-Qur'an terpaparkan bahwa proses pengajaran

dan pendidikan pertama terjadi antara Allah, Adam, Malaikat, dan Iblis.

Bukti sejarah ini bisa ditemukan pada beberapa ayat dalam surat al-Baqarah.
49
Jalaludin dan Usman Said, Filsafat Penddikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikirannya
(Jakarta; Raja GrafindoPersada, 1994) 141-142.
50
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam , (Bandung: Al-Ma‟arif, 1989) 37.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


34

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat...


Tuhan berfirman: “Sesuiigguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kau ketahui. (QS: 2; 30)

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)


seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada-Ku nama
benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.
(QS: 2; 31)

Mereka menjawab: ”Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami


ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi
Bijaksana.” (QS:2;32)

Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka


nama-nama benda itu,” Allah berfirman: “Bukankaj sudah Ku-
katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”
(QS: 2; 33)

Paparan ayat di atas menjelaskan telah terjadi proses pengajaran antara

Allah, Adam, dan Malaikat. Sebab Allah memberitahu Adam nama-nama

sesuatu dengan kondisi lanjut Adam mengetahui sebutan sesuatu, hafal dan

kemudian mampu menunjukkan pada pihak lain, yaitu malaikat. Dalam

beberapa ayat lain terdapat bukti baliwa telah terjadi pula proses pendidikan

antara Allah, Adam, Malaikat, dan Iblis.

...Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya


Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa
yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.
(QS: 2; 33)

Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat:


“Sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabbur dan
adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS:2;34)

Dan kami berfirmain: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan


istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanan yang
banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah
kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk
orang-orang yang zalim.” (QS:2;35)

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


35

Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan


dikeluarkan dari keadaan semula dan karmi berfirman:
“Turunlah kamu!” Sebahagian menjadi musuh bagi yang lain,
dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan
liidup sampai waktu yang ditentukan. (QS:2;36)

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya,


maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS:2;37)

Bentuk didikan yang bisa ditarik tergambarkan dari paparan bahwa

setiap perbuatan memiliki resiko, baik positif maupun negatif. Seperti resiko

yang diterima Iblis, para Malaikat, dan Adam. Resiko yang diterima oleh

Iblis adalah tidak lagi mendiami surga, malaikat tetap di surga, Adam

dengan istrinya dikeluarkan dari surga dan kemudian taubatnya di terima.

Bukti sejarah tentang pengajaran dan pendidikan memberikan

keterangan bahwa pendidik pertama dalam proses pendidikan yang pertama

kali terjadi adalah Allah. Allahlah yang mengawali adanya fenomena

pendidikan dan pengajaran nyata di dunia. jika pendidikan pertama kali

adalah Allah, maka siapakah yang bisa menempati posisi sebagai pendidik

pada alam nyata ini. Ahmad D. Marimba dalam bukunya Pengantar Filsafat

Pendidikan Islam berpendapat bahwa yang menempati posisi pendidik

adalah orang lain dan diri sendiri.

Konsep bahwa posisi pendidik ditempati oleh orang lain menjelaskan

tentang pendidikan dalam arti yang sempit, yaitu: “bimbingan yang

diberikan kepada anak-anak sampai ia dewasa.” Pembatasan serupa

dimaksudkan bahwa sebagai bimbingan atau pertolongan terhadap anak,

pendidikan dari orang lain telah selesai bila anak telah mencapai

kedewasaan. Kalaupnn terjadi pendidikan sesudahnya, ia adalah pendidikan

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


36

sendiri. Orang lain yang secara resmi dikatakan sebagai pendidik adalah

orang tua, guru, dan pembina berbagai kegiatan pendidikan non-formal.

Sedangkan konsep bahwa diri sendiri menempati posisi sebagai

pendidik berkaitan dengan arti pendidikan secara luas, yaitu: “bimbingan

yang diberikan sanpai mencapai tujuan hidupnya bagi pendidikan muslim.”

Pada level pendidikan serupa bukan berarti peserta didik tidak

membutuhkan pihak lain sebagai pendidik, akan tetapi titik berat

pertanggung jawaban ada di pihak peserta didik. Konsep bahwa diri sendiri

menempati posisi pendidik setelah tercapainya tingkal kedewasaan

menyempurnakan praktek dan konsep dalam Islam bahwa pendidikan

berlangsung sejak anak dilahirkan sampai mencapai kesempurnaannya atau

sampai akhir hidupnya. Dan konsep maupun perilaku pendidikan serupa

merupakan terjemahan dan hadits Nabi: “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai

ke liang lahat.51

2. Tugas Pendidik

Para pendidik memegang peranan yang sangat penting dalam proses

pendidikan, baik pada masa permulaan – pada saat titik berat kebijaksanaan

dan tanggung jawab terletak di tangan pendidik – dan pada taraf selanjutnya

ketika siterdidik telah lebih maju lagi mendekati tujuan pendidikan. Hal ini

disebabkan oleh bahwa para pendidik dapat memilih kemana arah tujuan

pendidikan, dasar-dasar yang dipakainya, alat-alat apa yang

dipergunakannya, serta bagaimana ia mendekati alat itu. Disamping itu,

51
Ibid.,32

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


37

mereka pun (pendidik) merupakan contoh yang hidup bagi siterdidik dan

tempat siterdidik beridentifikasi. Pentingnya peran pendidik juga ada

kaitannya dengan muatan al-Qur‟an: “Hendaklah ada di antara kamu suatu

golongan yang menyeru manusia kepada kebaikan dan melarangnya dari

kejahatan, penyeru-penyeru ini adalah orang yang mendapat kemenangan.”

(QS.: 3; 104)

Adapun tugas penting pendidik yang bisa drumuskan adalah sebagai

berikut:

1. Dalam al-Qur‟an, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman,

peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya

adalah manusia dan batu.” (QS.: 66; 6) Pada ruang lingkup kegiatan

pendidikan dalam Islam antara peserta didik dan pendidik bisa

diibaratkan sebagai ahli, oleh karenanya di antara tugas pendidik adalah

menerapkan muatan firman Allah yang mengajarkan untuk memelihara

dirinya dan keluarganya dari api neraka. Apabila posisi ini diperankan,

maka sekaligus pendidik telah merealisasikan muatan ayat lain, yaitu:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam

kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengajarkan amal

shaleh dan nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat-

menasehati supaya menaati kesabaran.” (QS.: 103; 1-3)

2. Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa tugas pendidik adalah: (a)

Membimbing siterdidik, oleh karenanya pendidik harus pula memiliki

pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan, dan pengetahuan agama

merupakan pengetahuan yang utama disamping pengetahuan-

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


38

pengetahuan lainnya. (b) Membantu siterdidik untuk mengenali

kebutuhan dan kesanggupannya.52

3. Dalam upayanya membina orang lain, posisi pendidik sebagai manusia

biasa menuntut untuk membiasakan diri dalam bentuk meninjau diri

sendiri. Dengan kesadaran bahwa dirinya memiliki kemungkinan salah

satu atau memiliki kekurangan, pendidik tidak akan menjadi otoriter dan

mempunyai keinginan untuk memperbaiki diri.

E. HAKEKAT PESERTA DIDIK

Dalam proses pendidikan, kedudukan. siterdidik adalah sebagai pihak

yang ingin berkembang dan terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya baik jasmani

maupun rohani. Peserta didik dalam keadaan belum dewasa memiliki jasmani

yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun

perimbangan bagian-bagiannya. Dari sisi rohaniah, anak mempunyai bakat-

bakat yang masih harus dikembangkan, mempunyai kehendak, perasaan dan

pikiran yang belum matang.

Sedangkan dari sisi kebutuhan, anak membutuhkan pemeliharaan

jasmaniah, makanan, minuman, pakaian, kebutuuhan akan kesempatan

berkembang, bermain-main, dan olah raga. Pada sisi lain anak juga memiliki

kebutuhan rohaniah berupa agama, ilmu pengetahuan, nilai-nilai

kemasyarakatan, dan kasih sayang. Kebutuhan ini erat kaitannya dengan

konsep bahwa dalam jiwa manusia terdapat tiga kekuatan, yaitu: sense, akal,

dan intuisi. Pendidikan dalam Islam harus diarahkan pada perkembangan tiga

52
Ibid., 41

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


39

kekuatan ini. Sense membutuhkan kasih sayang, akal membutuhkan ilmu

pengetahuan, dan intuisi membutuhkan nilai-nilai kemasyarakatan dan agama.

Semua kebutuhan-kebutuhan di atas tidak dapat dipenuhinya sendiri,

melainkan tergantung kepada orang-orang lain dalam hal ini terutama

pendidikannya. Oleh karena itu siterdidik menggantungkan “harapannya”

kepada pendidiknya. Sifat “ketergantungan” ini tidak disadari sendiri oleli si-

anak, melainkan para pendidiklah sebagai orang yang bertanggung jawab dan

harus memahami. Pada saat anak mulai memperlihatkan kejeliannya

menanyakan dan menolak sesuatu, apakah pikiran atau perilaku, maka

pendidik dituntut untuk memberi penyelesaian yang bijaksana. Sehingga,

potensi yang dimiliki anak bisa berkembang dengan optimal.

Meski demikian, tidaklah seluruh persoalan pendidikan tergantung pada

pendidik. Siterdidik yang memiliki perangkat yang akan dikembangkan, akan

mengolah apa-apa yang diajarkan oleh pendidik. Peranan ini makin lama,

makin besar dan pada masa dewasa seluruh tanggung jawab terletak pada pihak

siterdidik sendiri. Kalau perkembangan kepribadian si-anak berjalan normal,

makin dewasa gejala berdiri sendiri jasmaniah dan rohaniah akan jelas nampak,

dengan kata lain akan dapat diharapkan bahwa tanggung jawab akan beralih

kepada siterdidik.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


BAB IV

FALSAFAH PENDIDIKAN IKHWAN AL-SHAFA

Pemikiran Filsafat Pendidikan Ikhwan al-Shafa yang terpaparkan dalam bab

ini meliputi 5 aspek sebagaimana hasil penelitian yang tersajikan dalam Kajian

Umum tentang Landasan Falsafah Pendidikan. Lima aspek dimaksud meliputi: (1)

Posisi manusia di alam semesta, (2) Akal dan kemampuannya, (3) Filsafat Ilmu,

(4) Posisi pendidik, dan (5) Posisi terdidik. Pemikiran mendasar ini berpengaruh

terhadap konsepsi pendidikan dalam rumusan yang praktis, misalnya kurikulum

pendidikan, metodologi pendidikan, dan teknik evaluasi pendidikan.

A. POSISI MANUSIA DI ALAM SEMESTA

Dalam pandangan Ikhwan al-Shafa, manusia di dunia memiliki posisi

sebagai manifestasi Tuhan. Pikiran serupa menunjukkan bahwa Ikhwan al-

Shafa sebagai kelompok pemikir-pemikir lainniya yang menempatkan manusia

dekat dengan Tuhan bahkan sebagai manifestasinya. Maka bagaimana

pendidikan mengantarkan manusia menjadi eksis diantaranya adalah dirinya

betul-betul dekat dengan Tuhan dengan menjadi manifestasi-Nya.

Bentuk riil manusia menjadi manifestasi Tuhan dapat dilihat dalam bab

tiga dimana manusia mampu mengaktualisasikan dirinya dengan memancarkan

sifat-sifat Tuhan yang dapat dipahami dari Asmaul Husna. Disamping itu,

manusia juga mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi

dengan tanggung jawab membuat bumi ini baik dan indah.

Sebagai refleksi bahwa manusia adalah manifestasi Tuhan yang perlu

direalisasikan melalui proses pendidikan dengan bentuk riil sebagaimana

40
41

terpaparkan di atas, Ikhwan al-Shafa menjelaskan dalam metafisikanya bahwa

manusia ada melalui proses emanasi.53 Emanasi yang diyakini oleh Ikhwan al-

Shafa lebih dekat pada pola pemikiran al-Farabi dimana al-Bari (pencipta),

selanjutnya ia meng-emanasikan diri pada Intellect („aql), emanasi yang ketiga,

keempat, kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan adalah al-Nafs al-Kulliyah

(the absolute body) spheres, dan 4 elements (air, udara, bumi, dan api). Yang

terakhir muncullah tiga kingdom: mineral, plants, dan animals.54 Kingdoms

inilah yang kemudian dijelaskan bahwa pada alam ini terdapat tiga jiwa

(souls): vegetative soul, animal soul, dan rational soul. Rational soul eksis di

dalam bagian-bagian jiwa ini karena yang dimaksud dengan animal dalam

kingdom tersebut adalah animal itu sendiri dan animal yang mampu berfikir

(hayawan al-natiq) yaitu manusia.

Emanasi yang sampai melahirkan manusia dimana aktualisasi

menyatunya manusia dengan Tuhan teraktualisasi melalui memancarnya sifat-

sifat Tuhan yang bisa dipahami dari Asma al-Husna yang sembilan puluh

sembilan itu pada tataran kehidupan manusia melahirkan kingship dan agama.

Pada tataran adanya kingship di kalangan manusia, muncullah pemimpin

dan rakyat yang pada kelanjutannya terdapat konsepsi yang harus

diaktualisasikan tentang pemimpin yang adil dan rakyat yang baik. Kondisi ini

ditunjang dengan eksisnya agama dimana keberadaannya mampu

membantu manusia untuk berbuat baik dan benar secara maksimal dalam

aspek hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan alam.

53
C, A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World (London: Routledge, 1990) 56.
54
Ibid.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


42

Ikhwan al-Shafa menegaskan bahwa pada posisi apapun lebih baik

manusia itu beragama. Alasannya adalah bahwa bagaimanapun juga orang

beragama jauh lebih baik dibandingkan dengan orang yang tidak

beragama. Secara spesifik, Ikhwan al-Shafa menegaskan bahwa semua agama

baik, dan Islam adalah agama yang benar dan yang paling sempurna.55 Maka

dalam konteks ini, pendidikan harus menempatkan agama sebagai kebutuhan

manusia yang bertalian erat dengan kehidupan sehari-hari jangka pendek dan

jangka panjang. Sebab dalam agama apapun yang dilakukan di dunia, akan

berakibat pada kehidupan di akhirat.

B. AKAL DAN KEMAMPUANNYA

Jiwa sebagai pusat kajian psikologi, menurut Ikhwan al-Shafa memiliki

tiga daya sebagai pusat dari daya-daya yang sangat banyak dimana manusia

lengkap dengan semuanya. Tiga pusat daya tersebut adalah: (1) The vegetative

atau the nutritive, (2) The animal atau the sensitive, (3) The human atau the

rational.56 Dengan kesempurnaan daya serupa manusia akan mampu menjadi

khalifah di bumi dimana bila diupayakan secara maksimal seseorang akan

mampu menjadi insan kamil.57

Diantara tiga aspek di atas, the human atau the rational memiliki bagian

penting yang terkait dengan kesempurnaan dirinya berupa akal yang pada

tataran body berada pada organ otak. ikhwan al-Shafa menjelaskan bahwa akal
55
Ibid., 55.
56
Ibid., 57.
57
Lihat pada bab 3 tentang posisi rnanusia di alam semesta, bagian Manusia Sebagai Khalifah di
Bumi. Pada bagian tersebut terpaparkan bahwa manusia sebagai khalifah di burni rnemiliki tiga
jenis tanggungjawab, yaitu tanggung jawab untuk membuat alam sejahtera, tanggungjawab untuk
menciptakan keharrnonisan kehidupan rnanusia, dan tanggungjawab rnenentukan masa depan.
Daya jiwa rnemiliki posisi untuk rnernbuat diri rnanusia mampu rnerealisasikan tanggung jawab-
tanggung jawab tersebut.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


43

merupakan sensitive, intelligence, dan proses-proses mental lainnya dimana

proses berfikir menurut mereka terjadi mulai dari senses kemudian berlanjut

pada imaginative zone. Dari imaginative zone menuju ke daya reflektif,

kemudian masuk ke daya retentive. Seianjutnya, proses berfikir sampai pada

daya ekspresif yang mampu membuat generalisasi, bentuk konsep yang harus

diekspresikan atau diperbincangkan.

Akal yang memiliki bentuk kerja sebagaimana tersebut memiliki fungsi

penting berupa pemahaman dan pengambilan keputusan. Pada tataran ini

manusia dengan kemampuannya akan mampu menentukan masa depan

sebagaimana yang dipaparkan oleh Murtadha Mutahhari dalam bukunya

Perspektif al-Qur'an tentang Manusia dan Agama bahwa manusia dengan

akalnya dapat menguasai ilmu dan teknologi dimana dengan kedua kekuatan

tersebut manusia mampu menentukan nasib dunia dan dengan bimbingan

agama nasib dunia akan ditentukan dengan sejahtera karena disertai sinar

Ilahi.58 Pada aspek ini agama sebagaimana terpaparkan pada bagian di atas

memiliki hubungan erat dengan kemarnpuan akal.

Mu'tazilah scbagai kelompok yang cukup rasional menempatkan akal

sebagai hidayah selain hidayah agama. Abd Jabbar memaparkan bahwa

manusia dengan kemampuan akalnya akan mampu menemukan kebenaran-

kebenaran umum, misalnya membunuh itu perbuatan yang jahat yang

kemudian dijastifikasi oleh agama sebagai perbuatan dosa. Sebaliknya sikap

jujur, memberi makanan orang yang sedang kelaparan, dan mencintai sesama

merupakan perbuatan terpuji yang kemudian dijustifikasi oleh agama sebagai

58
Murtadha Muttahhari, Pespektif al-Qur‟an tentang Agama dan Manusia (Bandung: Mizan,
1992) 119.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


44

amal saleh. Semuanya kemudian menjadi sempurna di kala Tuhan menurunkan

wahyu dengan perintah-perintah yang memiliki tingkatan supra-rasional.

Pemikiran serupa bisa dipahami tatkala dilihat bahwa kelompok Mu'tazilah

banyak yang merujuk pemikirannya pada pemikiran Ikhwan al-Shafa.59

Fungsi penting dari akal sebagaimana terpaparkan di atas digambarkan

oleh al-Farabi sebagai sebagai pemimpin dari perilaku manusia. Al-Farabi

kemudian membuat analogi dengan sebuah Negara yang Sempurna, bahwa

negara yang sempurna adalah negara yang dipimpin oleh pemimipin yang

sehat. Pemimpin yang sehat dianalogikakan dengan akal yang sehat.60

Dari keyakinan dan fakta serupa maka akal sebagai bagian penting yang

dimiliki oleh manusia menjadi landasan bahwa manusia harus dikembangkan

potensinya. Dan pendidikan kemudian menjadi bentuk nyata dalam

membantu manusia merealisasikan dirinya sebagai manifestasi Tuhan dan

lain-lainnya.

C. FILSAFAT ILMU

Ikhwan al-Shafa sangat terkenal dalam bidang science yang sejalan

dengan Pythagorean-Hermetic Aspect of Greek Heritage. Contohnya dalam

matematika dikatakan bahwa:

The form of numbers in the soul correspond to the form of beings in


matter. It is sample from the superior world and through
knowledge of it the disciple is led to the other mathematical
sciences and to physics and metaphysics. The science of number is
the root of sciences, the foundation of wisdom. The source of

59
Lihat, Hourani, Islamic Rationalism.
60
Lihat, al-Farabi, Madinnah al-Fadhilah

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


45

knowledge and the pillar of meaning. It is the first elixir and the
great alchemy.61

Menurut Ikhwan al-Shafa permulaan filsafat adalah kecintaan terhadap

science, filsafat science terdiri dari 4 jenis: (1) Matematika, (2) Logika, (3)

Filsafat Alam, (4) Metaphisika. Matematika terdiri dari 4 macam: (1)

Aritmatika, (2) Geometri, (3) Astronomi., (4) Musik. Musik adalah ilmu

pengetahuan tentang keharmonisan suara, dan melalui musik terdapat elaborasi

dasar-dasar melodi; astronomi adalah ilmu tentang bintang, sedangkan

aritmatika merupakan ilmu bilangan dan makna bilangan.62

Dalam keyakinannya ilmu dikembangkan dari bagian-bagian pokok di

atas. Bahkan dalam kajiannya yang cukup mendalam dikatakan bahwa melalui

sebuah latihan, geometri mampu menaikkan jiwa dari yang bersifat fisik

menuju ke spiritual. Bentuk bilangan dalam jiwa mengarah pada bentuk being

dalam benda. Dalam bilangan terdapat ajaran ke-Tuhanan (tauhid). Ikhwan al-

Shafa mengatakan bahwa bilangan satu memiliki makna Esa, dan bilangan

setelah satu semuanya merupakan multiplicity. Bilangan satu sebagai dasar dan

asal semua bilangan memiliki makna emanasi bahwa alam berasal dari Tuhan

Yang Satu.

Dari konsepnya tentang ilmu yang sedemikian ini, maka pendidikan

harus mengembangkan ilmu-ilmu dasar dimana dalam ilmu dasar tersebut

terdapat link yang erat dengan agama. Konsep serupa berpengaruh pada tidak

adanya dualisme dalam agama, tetapi yang ada adalah mata pelajan-mata

61
Ikhwan al-Shafa, Risalat al-Jami'ah (Damascus: al-Taraqqi Press, 1949). I, Page 9. Lihat pula
pada terjernahan Sayyed Hossein Nasr dalam bukunya Science and Civilization in Islam (New
York: New American Library, 1970) 153-155.
62
Ikhwan al-Shafa, Rasail (Cairo: „Arabiyah Press, 1928. From the epistles on arithmetic and
geometry, translated by Sayyed Hossein Nasr in his book Scence and Civilization in Islam , 157.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


46

pelajaran yang tidak terkotak menjadi ilmu agama dan ilmu umum. Pengaruh

ini memberikan nuansa yang cerah bahwa manusia harus mempelajari ilmu

pengetahuan tanpa meninggalkan agama dimana ilmu diarahkan pada kebaikan

bukan pada kejahatan. Dan ini artinya antara hakekat posisi manusia di alam

semesta, hakekat akal, dan konsepsi ilmu menyatu dalam menciptakan dunia

yang maju dengan nuansa ilahi.

D. PENDIDIK DAN SITERDIDIK

Ikhwan al-Shafa meyakini bahwa tiap-tiap anak dilahirkan dengan

attitudesnya, artinya dengan potensi yang harus diaktualisasikan.63 Dengan akal

dan emosi anak akan mampu berkembang mulai dari stage intellect in habitu,

kemudian ke intellect in actu, dan terakhir sampai pada acquired intellect.

Dengan demikian posisi anak berangkat dari siterdidik akan meningkat

menjadi pendidik bagi dirinya sendiri dimana bentuknya sangat bervariasi

mulai dari dirinya mampu belajar secara otodidak atau dirinya mampu

mengambil keputusan tanpa dipengaruhi oleh orang lain.

Pemikiran Ikhwan al-Shafa ini kemudian berkembang dalam dunia

pendidikan secara luas bahwa emosi dan intelligent siterdidik harus

dikembangkan secara optimal.64 Hal ini untuk memacu siterdidik mampu

mandiri baik dari aspek kehidupan sehari-hari sampai pada menjaga tauhid

dalam dirinya. Hasilnya akan lahir manusia-manusia yang cenderung optimis

dan tidak segera putus asa atau menyerah dalam menghadapi berbagai bentuk

63
C.A. Qadir, Philosophy and Science in Islam, 58.
64
Lihat Quantum Learning

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


47

tantangan. Dalam bentuk lain akan tercipta manusia-manusia yang memiliki

kecenderungan belajar seumur hidup.

Oleh karenanya, guru ataupun pendidik memiliki fungsi membantu

siterdidik mengembangkan potensinya secara optimal baik melalui metodologi

yang digunakan maupun melalui ilmu yang sedang dipelajari. Pendidik

tidak harus mengisi otak siterdidik dengan ide-idenya akan tetapi share

dengan siterdidik menemukan kebutuhan, potensinya yang harus

dikembangkan. Hal ini sebagaimana yang telah diyakini banyak pemikir

pendidikan seperti dalam bahasan pada bab tiga tentang siterdidik dan

pendidik, utamanya fungsi pendidik.

Dalam pengembangan potensi anak didik, pendidik harus mengikuti

ritme bahwa dalam empat tahun pertama anak tanpa sadar menyerap pikiran

dan perasaan lingkungan sosialnya. Setelah itu, anak mulai menirukan orang-

orang disekitarnya sebagaimana orang dewasa biasanya mengikuti orang yang

lebih dewasa, khususnya yang memiliki otoritas. Dalam konteks pendidikan,

orang yang memiliki otoritas adalah guru-gurunya (baik guru secara formal

maupun informal) dan orang tuanya.

Pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang bahwa anak didik cenderung meniru

pendidiknya seakan bertentangan dengan pemikirannya bahwa pendidikan

mengarahkan pada kemandirian tingkah laku dan tauhid. Jika dikaji lebih jauh

Ikhwan al-Shafa sebenarnya menghendaki bagaimana guru-guru dan orang tua

menuntut dirinya untuh menjadi contoh yang baik, baik dalam perilaku

maupun dalam kepribadiaannya.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


BAB V

KESIMPULAN

Ikhwan al-Shafa sebagai kelompok pemikir muslim yang memiliki

konsentrasi di bidang filsafat dan tasawuf telah banyak menghasilkan konsep-

konsep penting yang dapat dijadikan landasan praktek pendidikan Islam. Konsep-

konsep dimaksud dapat dikaji dari karya terpentingnya yaitu Rasail. Karya ini

telah menjadi rujukan para pemikir muslim diantaranya Ibn Sina, Sayyed Hossein

Nasr, dan Ismail al-Faruqi.

Pada tataran landasan filosofis yang dapat mempengaruhi konsep dan

praktek pendidikan, tiga aspek pemikiran Ikhwan al-Shafa menjadi dasar dalam

mengkaji pemikiran pendidikannya. Tiga aspek tersebut adalah aspek metafisika,

aspek epistemologi, dan aspek aksiologi. Pada aspek metafisika dipaparkan bahwa

alam eksis melalui proses emanasi. Pemikiran ini mempengaruhi cita-cita

pendidikan yang memiliki ultimate goal bahagia di dunia dan bahagia di akherat.

Sedangkan pada aspek epistemologi Ikhwan al-Shafa memaparkan bahwa ilmu

bersumber dari tiga: sense, pure, reason dan initiation and authority. Pada aspek

aksiologi, pemikiran Ikhwan al-Shafa dapat dirumuskan bahwa baik dan buruk

dapat dijelaskan oleh akal, sehingga akal mampu merumuskan konsep moral.

Secara ringkas pemikiran Ikhwan al-Shafa di bidang pendidikan dapat

dipahami dari konsepnya tentang posisi manusia di alam semesta sebagai landasan

utama dalam meletakkan pola pendidikan dimana manusia memiliki posisi

sebagai manifestasi Tuhan. Selain itu terdapat tiga aspek penting lagi yaitu akal

dan kemampuannya, konsep ilmu, dan konsepsi pendidik dan terdidik.

48
49

Yang menarik dari pemikiran Ikhwan al-Shafa adalah bahwa manusia

sebagai jelmaan atau ciptaan Tuhan bisa memahami ke-Esaan Tuhan melalui

konsepsi bilangan. Pada aspek ini namapak bahwa akal memiliki peranan penting

dalam mengembangkan agama dan ilmu dikaitkan dengan pengembangan diri

manusia. Maka pendidik kemudian memiliki fungsi membantu siterdidik untuk

merealisasikan upaya pengembangan diri tersebut.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


50

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Angeles, Petter A. Dictionary of Philosophy, New York: Harper Collins, 1981.

Barnadib, Imam. FUs of at Pendidikan Suatu Tinjauan. Yogyakarta: Andi Offset,


1986.

Bobbi, de Porte & Mike Hernacki. Quantum Learning: Membiasakan


Belajar Nyaman don Menyenangkan. Diterjemahkan dari Quantum
Learning: Unleasing the Genius in You oleh Alwiyah Abdur Rahman.
Bandung: Penerbit Kaifa, 1992.

Bogdan, Robert J. & Taylor, Steven J. Introduction to Qualitative Research. New


York: Inteiscience Publication Jon Wiley and Son, tt.

C.A., Qadir. Philosophy and Science in The Islamic World. London: Routledge,
1990.

Corbin, 1161117, Avecenna and the Visionary Recital. Diterjemahkan dari bahasa
perancis oleh Williard R. Trask. Princeton: Princeton University Press,
1988.

Alfarabi, al-Madinah al-Fadhilah.

Al-Ghazali. Mishkat at-Anwar (The Niche for Light). Translated with introduction
by W.H.T. Gairdner. London: The Royal Asiatic Society, 1924.

Gohlman, William E. The Life of Ibn sina: A Critical Edition and Annotated
Translation. Albany, New York: State University1' of New York Press.
1974.

Hourani, Islamic Rationalism.

Jalaludin & Said, Usman. Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan
Pemikirannya. Jakarta: Raja Grafmdo Persada, 1994.

Langgulung, Hasan. Kreativitas dan Pendidikan Islam: Analisis Psikologi dan


Falsa/ah. Jakarta: Pustaka al-Hasan, 1991.

________ . Manusia dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka al-Husna,


1986.

Mardalis. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara, 1990.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


51

Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: al-


Maarif, 1989.

Maramra, Michael. Ibn Sina: Fi Jthbat al-Mubuwwat. Toronto: University of


Toronto, 1968.

Moeloeng, Leky J. Metode Penelitian Kwalitatif. Bandung: Remaja Kosda Karya,


1990.

Muhadjir, Noeng. Melodologi Penelitian Kwalitatif. Yogyakarta: Bake Sarasih,


1992.

Muttahhari, Murtadla. Perspektif al-Qur'an tentang Manusia dan agama.


Bandung: Mizan, 1992.

Nasr, Sayyed Hossein. Science and Civilization in Islam, Massachusetta:


Institute of Technology. 1996.

Netton, Ian Richard. Allah Transcendent: Studies in the Structure and


Semiotics of Islamic Philosophy, Theology, and Cosmology. London
and New York: Routledge Inc., 1988.

Rahman, Fazlur. Avicenna 's Psychology. London: Oxford University Press, 1952.

__________ . Major Themes of the Holy Qur'an. Chicago: Bibliotica,


1980.
__________. Prophecy in Islam: Philosophy and Oriodoxy. London: George
Allen & Unwin Ltd., 1957.

Al-Shafa, lkhwan. Risalat al-Jami'ak. Damascus: al-Taraqqi Press, 1949.

Syam, Mohammad Noor, Filsafat Pendidikan dan Do.sar Filsafai


Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1986.

Team Penyusun Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, Jkl. II . Jakarta:


Iiitan, 1994.

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


52

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


53

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


54

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


55

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


56

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


57

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com


58

Publised by, http://harispradipta.blogspot.com

You might also like