Menyimpan Energi untuk Bumi
VICTOR SAMUEL
“If you think mitigated climate change is expensive,
try unmitigated climate change”—Richard Gammon
Di tengah perdebatan
saintifik mengenai isu per-
ubahan iklim, kenaikan
temperatur rata-rata bumi 130
tahun terakhir jelas bukan ilusi.
Temperatur tertinggi tercatat
pada tahun 2005. Ini bukan hal
yang baik—bahkan bagi negara
beriklim dingin.
Selama tahun 2000, WHO
mengestimasikan 150 ribu jiwa
mati akibat perubahan iklim.
Kenaikan temperatur air
laut juga mengakibatkan
meningkatnya volum air laut.
Ini berarti ancaman serius bagi
semua kota di dunia yang
terletak di pinggir pantai. Perlu
diingat bahwa Indonesia ada-
lah negara dengan garis pantai
terbesar kedua setelah Kanada.
Pola vegetasi kena imbas.
Petani adalah korban paling
langsung dari anomali iklim—
akibat proses stabilisasi atas
kenaikan temperatur. Gejala
iklim yang sulit diprediksi
membuat mereka gagal
panen—dan makin miskin.
Kenaikan temperatur bukan
saja mengancam keberadaan
beruang kutub, tetapi juga
orangutan kita! Anomali pola
vegetasi membuat hewan-
hewan hutan tropis dapat
kekurangan makanan pada
jangka waktu yang cukup
panjang. Belum lagi kebakaran
hutan akibat panas dan udara
yang kering (Suhud dan Saleh,
2007).
Ini hanyalah segelintir
contoh dari banyak dan
kompleksnya masalah yang
ditimbulkan oleh perubahan
iklim.
Menghadapi bersama
Ancaman yang ditimbulkan
dari perubahan iklim bukan
masalah satu dua negara. Ini
masalah global! Sehingga,
usaha untuk menstabilisasikan
kondisi iklim seharusnya
menjadi proyek semua orang di
semua negara.
Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB) menyadari hal itu.
Sehingga dibentuklah pakta
internasional United Nations
Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC) di
Rio De Janeiro pada Juni 1992
untuk mendorong setiap ne-
gara berpartisipasi dalam me-
lawan perubahan iklim. Pakta
ini sendiri tidak mengatur
batas emisi gas rumah kaca
bagi setiap negara dan tidak
memiliki mekanisme yang
mengikat.
Tetapi, pakta UNFCCC bisa
diperbarui atau diberi tam-
bahan—yang disebut protokol.
Pada 1997, UNFCCC
menambahkan Protokol Kyoto
untuk memaksa 37 negara
industri mengurangi emisi gas
rumah kaca.
Peran konservasi energi
Gas rumah kaca yang
berlebihan di atmosfer adalah
penyebab perubahan iklim.
Penggunaan energi dengan
bahan bakar fosil—yang masih
menjadi primadona dunia—
sumber emisi CO2 antrofogenik
yang terbesar. Sehingga, pe-
ningkatan efisiensi dalam
menggunakan energi, atau
yang biasa dikenal dengan
“konservasi energi”, tentunya
dapat berdampak signifikan
dalam menekan laju perubahan
iklim.
Secara umum, ada dua cara
untuk melakukan konservasi
energi.
Yang pertama, gunakan
teknologi yang memiliki efi-
siensi energinya tinggi.
Misalnya dalam bidang trans-
portasi. Mobil-mobil konven-
sional jaman sekarang hanya
memiliki efisiensi sekitar 13%.
Ini berarti, hanya 13% energi
hasil pembakaran bahan bakar
yang dimanfaatkan untuk me-
laju, sisanya terbuang percuma.
Dengan mobil hybrid, efisiensi
dapat dinaikkan, mengingat
konversi dari tenaga listrik
sangat efisien.
Yang kedua, miliki kebiasa-
an atau sikap menghemat
energi.
Kedua cara ini dapat
dilakukan dalam skala nasional
(peraturan, undang-undang),
korporat (pabrik, kantor, dsb),
sampai skala individual.
Makin besar cakupannya,
makin sulit perencanaan dan
pelaksanaannya. Namun bukan
berarti tidak dilaksanakan.
Harus tetap ada political will
pemerintah untuk itu.
Tetapi, semakin banyak
individu yang memiliki kesada-
ran akan pentingnya kon-
servasi energi, akan semakin
mudah bagi perusahaan dan
pemerintah untuk mengaplika-
sikannya dalam skala nasional.
Tugas kita
Bagi sebagian orang,
memang kewajiban konservasi
energi dilakukan secara sis-
temik dan struktural. Namun,
adalah kewajiban bagi setiap
kita untuk melakukan itu
dimulai dari hal-hal yang
sederhana dan sehari-hari.
Ingat, konservasi energi di-
lakukan untuk mengusahakan
common good, bukan untuk
sekedar menghemat kas pri-
badi. Ada agenda global di
dalamnya yang memang
seharusnya dikerjakan dengan
serius oleh setiap penduduk
bumi.
Victor Samuel
Mahasiswa Teknik Fisika ITB
13307105