You are on page 1of 10

Pelangi Mewarnaiku

By.

Aida M Affandi

Rahmat sering datang pada kita dalam bentuk kesedihan,..

kesakitan dan kehilangan,…jika kita mau bersabar

Maka kita akan menemukan bentuk aslinya

“Riris, besok pagi-pagi sekali kamu bisa kan assesment kebutuhan masyarakat di beberapa desa
tertinggal yang kita fasilitasi, mungkin kamu bisa mulai di pulau A”. atasanku menyodorkan
beberapa lembar kertas yang bertuliskan tentang surat tugas dan beberapa data yang harus
aku selesaikan selama dua hari di pulau A.

Hampir jam 6 pagi, sedikit terburu-buru aku mengejar perahu pak Mardi seorang nelayan yang
akan berangkat ke pulau A, untuk ke pulau A memang harus menumpang perahu nelayan atau
menyewa boat kecil, karena belum ada transportasi menuju ke sana, apalagi beberapa desa di
sana masih sangat tertinggal. Perahu ini hanya berkapasitas 6 orang penumpang, kalau tidak
terbiasa mungkin akan takut setengah mati saat perahu oleng ke kiri dan ke kanan, tak jarang
seluruh badan basah oleh hempasan gelombang tinggi.
Namun perjalanan yang penuh tantangan ini selalu ku nikmati, bahkan aku tak menggunakan
pelampung samasekali persis seperti pak Mardi dan anak laki-lakinya yang perahunya
kutumpangi saat ini. Sesekali aku kaget melihat ikan terbang yang muncul tenggelam di
permukaan air, kulirik ke kedalaman laut terlihat ikan-ikan yang berenang bebas, terumbu
karang yang masih perawan. Sembari mencicipi kopi buatan pak Mardi dan beberapa potong
roti bakar yang sengaja kubawa dari rumah pagi tadi. Sungguh ini perjalanan yang
mengesankan bagiku.

“Baru pertama kali neng ke desa Ranggan?” pak Mardi melirik padaku, giginya terlihat coklat
akibat kebanyakan menghisap nikotin, kulitnya kering bersisik dan hitam terbakar jilatan
matahari. Rambutnya kusut seperti lupa kapan terakhir kali ia bertemu sisir. Wajahnya keras,
persis seperti yang kubayangkan perawakan seorang pelaut.

“Iya pak, tapi nanti saya dijemput staf Logistic yang stay nya di desa Ranggan” aku menjawab
sekenanya saja sambil menghirup udara pagi di tengah deburan gelombang yang membasahi
wajahku.

“Kalau dapat tangkapan Lobster, jangan lupa bagi saya ya pak” aku tersenyum ke arah anak
laki-laki pak Mardi yang sedari tadi tersenyum melihat tingkahku yang sangat takjub dengan
ciptaan Allah. Kulihat pak Mardi ikut tersenyum dengan guyonanku.

 -----------

“Bila jiwamu ingin melakukan kemaksiatan, maka ingatlah kepada Allah SWT,..bila jiwamu
belum juga kembali (pada jalan Allah SWT), maka ingatlah akan akhlak para ulama. Bila
belum juga reda, maka ingatlah konsekuensi ketika skandal ini terkuak oleh khalayak ramai.
Maka ketika jiwa belum juga kembali, ketahuilah bahwa anda pada saat itu telah berubah
menjadi hewan”(DR. Mustafa As-Sibai).

“Rama, logistic officer ….kata laki-laki itu sambil menyodorkan tangannya kepadaku sebagai
tanda perkenalan.

Wajahnya bersih, alisnya tumbuh lebat bertaut satu sama lain. Matanya sangat tajam, bahkan
kupikir seperti mata elang. Postur tubuhnya kecil tak lebih tinggi dariku di angka 165 cm, cukup
pendek untuk ukuran tinggi laki-laki. Rama memang ramah, bahkan ku pikir sangat ramah saat
membawaku keliling Ranggan siang ini. Kupikir itu wajar karena kami sama-sama di satu project
tentu harus saling koordinasi dan saling support.

Beberapa kali aku mendapatinya mencuri pandang ke arahku. Bahkan terkadang menatapku
lama saat aku berbincang dengan beberapa pemuka adat dan penduduk desa Ranggan. Kembali
ku acuhkan walaupun akhirnya aku bertanya juga.

“ada apa? Tanyaku pura-pura saja saat Rama kembali menatapku lebih agresif dari sebelumnya.
“Kamu cantik..”katanya

“oh, terimakasih..aku sudah tahu karena kamu orang ke dua ratus tiga puluh enam yang
ngomong begitu kepadaku” aku balas menatapnya sambil tersenyum lalu segera mengalihkan
arah pembicaraan.

“ohya, bye the way guest room ada yang nempati ga??tanyaku memastikan penginapanku.

“pakai saja kamarku, guest room belum dibersihkan karena dua hari yang lalu dipakai untuk
beberapa barang penting yang ga bisa ditaruh di gudang” ucap Rama menawarkan.

Setelah percakapan itu aku tak melihatnya lagi. Mungkin dia sibuk kembali dengan pekerjaanya
dan aku kembali keliling desa untuk bertegur sapa dengan penduduk desa. Wajah polos anak-
anak semakin membuatku betah di desa. Tegur sapa mereka sangat tulus, tanpa ada maksud-
maksud tertentu. Terasa sangat berbeda dengan masyarakat kota yang lebih individualistis.

----------

Kepengecutan paling besar adalah ketika kita membuktikan kekuatan kita pada kelemahan
oranglain (Jagques audiberti)

Matahari mulai condong ke barat saatku menatap langit yang berkilauan cahaya merah di sela-
sela Altocolombus yang berkepul-kepul dan tidak rata. Ini selalu menjadi ritualku ketika berada
di pinggir pantai menghilangkan kepenatan seharian dengan menatap ombak dan menyaksikan
matahari terbenam. Kembali aku berdecak kagum. Sungguh sangat luar biasa ciptaan Allah, aku
sungguh pengagum sejati.

Kurapikan semua dokumentasi yang kuperoleh hari ini, siap-siap memulai dengan ritual
selanjutnya menyelesaikan laporanku hari ini sebelum merebahkan tubuh di kasur. Atasanku
yang perfeksionis terkadang memberikan manfaat yang berbeda untukku, agar tidak berleha-
leha dengan waktu yang diberikan. Namun terkadang juga membuat aku tak bisa tidur karena
harus menyerahkan laporan tanpa cacat padanya.

Aku bergerak mundur dari posisi dudukku, dalam keremangan malam di sudut kamar yang
dibuat dari container snock down, aku menggigil kedinginan perlahan dan secara ekstrim angin
laut menusuk sendi dan tulang igaku, sesekali terdengar suara jangkrik yang bernyanyi atau
suara kodok yang bersahutan ingin kawin. Tak kurasakan lagi beberapa serangan nyamuk
mendarat di kaki dan tanganku. Malam kelam dalam pasungan nafsu yang menderu
mengejarku.

Telingaku begitu jelas merasakan langkah seseorang yang mendekat ke ruangan yang mungkin
pantas disebut kamar tidur. Tiba-tiba aku menyesali diri, mengapa aku sendiri saat ini. Semakin
kurapatkan kaki dan tanganku. Langkah itu semakin dekat, begitu jelas berada di depan pintu
kamarku. Nafasku menderu, berkejaran dengan kemelut takut yang mencekamku sangat
dalam.
“tok,..tok,…tok,..” pintu itu diketuk perlahan, sangat perlahan seolah-olah jika diketuk dengan
tekanan yang sedikit lebih keras akan membangunkan semua orang di pemukiman itu.

“Riris,..Riris,..”suara itu memanggilku,..setengah berbisik, namun entah mengapa aku


merasakan suara itu tepat di telingaku.

“Riris,..tolong bukakan pintu untukku”,..suara itu milik laki-laki yang siang tadi bersamaku, tapi
mau apa dia ingin bertemu denganku pada jam 2 pagi seperti ini. Bahkan aku belum sempat
tidur nyenyak setelah sebelumnya menyelesaikan beberapa laporan kegiatanku di pulau ini.

“Siapa..??” jawabku sedikit gemetar.

“ini aku Rama, aku ingin mengambil charger handphoneku di lemari, apa kau bisa bukakan
pintu untukku??” laki-laki itu kembali setengah berbisik menjawab pertanyaanku.

Degub jantungku perlahan kembali normal, mungkin benar Rama ingin mengambil charger
handphonenya, bagaimanapun ini kamar tidurnya yang diperuntukkan proyek untuknya selama
menjadi staf logistik lapangan di pulau ini. Aku hanya menumpang tidur untuk malam ini saja
dan malam selanjutnya di guest room, karena hanya di perumahan staf yang memiliki aliran
listrik sementara rumah penduduk belum memiliki fasilitas itu. Apa boleh buat aku harus
menginap di kamar laki-laki yang menurutku agak aneh ini karena laporan yang harus
diserahkan esok pagi.

“hayoo,..kau mau membukakan pintu berapa lama lagi??”,..handphoneku low batt dan aku
sedang online dengan perempuanku, bisakah kau bukakan pintu segera??” rama semakin
memaksaku.

“iya,..ya, tunggu sebentar” kusambar kerudungku kupakai sekedarnya saja, tanpa


merapikannya.

Pintu ku buka perlahan, suara deritnya terdengar agak nyaring. Rama langsung menyambar
masuk dan kembali mengunci pintu kamar dari dalam. Wajahku pucat pasi, mendadak aku
mundur. Perasaanku sebagai seorang wanita mengatakan bahwa aku sedang berada dalam
posisi yang sangat berbahaya.

Rama masih berdiri di depan pintu, menatap ke arahku sembari tersenyum manis. Oh tidak, itu
bukan senyum manis tapi itu senyum yang sedang dipenuhi birahi liar yang dikomandoi oleh
syaitan. Matanya tajam menelanjangi tubuhku, sesekali dia menggigit bibirnya. Semakin
membuatku jijik bukan kepalang.

“mau apa kau?? Bukankah chargermu di lemari?? Kenapa hanya berdiri seperti patung saja di
depan pintu??”

Rama semakin tersenyum menatapku, seolah-olah dia bertemu anak kecil yang hilang ibunya.
Gelisah mencari perlindungan, mencoba mencari ketenangan dengan pura-pura mengacuhkan
maksud gila yang tersembunyi dibalik senyum nakal laki-laki itu.
“tenang Riris,..”aku hanya ingin memandangmu sebentar saja.

Kata-katanya semakin membuat aku gentar, bagaimana aku harus meminta tolong jika laki-laki
ini berniat jahat padaku. Sementara pemukiman penduduk letaknya berjauhan dengan
perumahan ini. Aku semakin gusar, Rama semakin mendekat padaku. Oh Tuhan tolong aku
lirihku lemah.

Laki-laki gila itu menghampiriku, tingkahnya yang aneh semakin menggila. Awal-awalnya masih
mencoba merayuku namun berakhir kekecewaan yang berbuah perlakuan kasar yang
mendesakku padanya. Laki-laki itu seperti harimau kelaparan yang sedang menemukan mangsa
yang lezat.

“aku bersumpah akan berteriak biar semua orang akan membunuhmu” ancamku sungguh-
sungguh.

Tak berhasil dengan ancamanku, Rama bahkan semakin mendekatiku. Aku menjauh tiap kali dia
mendekat, bahkan entah berapa kali putaran ruangan ini kami jelajahi. Kucoba dekati pintu tapi
tetap tak berhasil. Mataku liar mencari benda yang tajam, namun tak kutemukan. Semakin
dekat dia padaku semakin membuat teriakanku kuat dan kencang.

“Ya Allah,..tolong aku…………tolong aku,..aku berteriak menyebut namaNya karena ku tahu


hanya dia yang mampu menyelamatkanku.

Nafas lelaki gila itu terdengar kencang di telingaku, dia memburuku semakin memburuku.
Pergelangan tanganku terasa sakit akibat lelah melawan setiap cengkraman tangannya yang
kuat.

“kau suka kan,..jangan bohong kau menyukainya juga kan,..”Rama menyeringai ganas, semakin
membuatku muak.

“kau menyakitiku, kau laki-laki gila,..enyahkan tubuh kotormu dari tubuhku” lepaskan aku,
teriakanku semakin tak terkendali saat Rama terus menyakiti diriku, air mataku semakin
bercucuran. Ku menyesal mengapa lemahnya kekuatanku sebagai seorang wanita.

“Dimana dirimu ya Allah,..bukankah kau selalu menolong hamba-hamba yang teraniaya”…aku


terpekur pasrah menyadari diriku tanpa arti saat ini.

“Dimana pertolonganMu ya Allah,..apakah kau telah menggariskan fase hidup yang seperti ini
dalam diri hamba. Ku rasakan jantungku merasakan tekanan yang berat seolah-olah telah diberi
suntikan kalium klorida atau insulin, aku hampir mati do’aku pun tak sanggup kuucapkan lagi.

Rama menjamahiku, merasuki diriku dengan nafsu syaitan yang membahana di sekujur tubuh
dan pikirannya. Aku sakit, sangat sakit dengan perlakuan manusia yang sadis ini. Seluruh
tubuhku menolak total perlakuan biadabnya. Dimana akal sehatnya ia letakkan saat ini, apa dia
tak berfikir akan akibat yang telah ditempuhnya saat ini??.. aku menangis, karena gagal
membela kehormatanku sebagai seorang wanita.
Rama tersenyum puas melihat aku meringis kesakitan. Perbuatan yang sangat kejam untuk
seorang yang terpelajar seperti seorang Rama. Ternyata sebuah lirikan pagi hari tadi di
pelabuhan kota menghadirkan cerita yang lain dari hidupku. Kisah yang membekas seumur
hidup seperti sebuah patrian yang sangat kuat di memoriku.

Aku merangkak perlahan menahan perih di selangkanganku, rasa perih itu semakin membuatku
ingin menangis, bukan hanya tubuhku yang sakit tapi sepenuh hati dan jiwaku meronta
dilinangi air mata. Rama pergi begitu saja meninggalkanku dalam ketakberdayaanku setelah
melepaskan nafsu bejat.

Aku terkungkung dalam kehampaanku, entah berapa jam sudah aku duduk meratapi nasibku di
sudut kamar ini. Tubuhku bergetar menahan cucuran air mata yang tiada henti. Tubuhku
bergetar merasakan amarah yang menyelimuti seluruh hati dan jiwaku.

Aku berdiri dari posisi dudukku, ku tatap wajahku di cermin. Aku merasakan sesuatu
menyelinap masuk ke saraf-sarafku lalu memenuhi setiap kapiler-kapiler darahku, kurasakan
hawanya hingga di pori-pori kulitku. Kulihat wajahku yang lain di cermin menatapku tajam.

“lihat dirimu…” kata wajah yang di dalam cermin.

“apa kau akan berdiam diri seperti ini setelah apa yang dilakukan laki-laki gila itu padamu?? Apa
kau hanya akan menyesali dirimu tanpa melakukan apapun??” wajah itu menatapku tajam dan
aku masih diam.

“lihat keluar sana, mungkin saja dia sedang bersenang-senang tanpa merasa bersalah
sedikitpun. Lihatlah keluar sana karena baginya kau tak akan mampu melakukan apapun, apa
kau akan biarkan laki-laki itu tertawa menertawakan ketakberdayaanmu” wajah itu sekarang
tertawa menertawakanku.

Dadaku bergerak naik turun melihat wajah di cermin yang tak lain adalah wajahku sendiri yang
sedang tertawa menertawakanku. Kepalaku berat menahan kesedihan yang luar biasa. Mataku
berkunang-kunang, semua terasa gelap semakin gelap.

----------

Aku berdiri di dermaga kecil, pundakku penuh dengan ransel dan beberapa barang lainnya.
Dengan kekuatan yang kembali ku susun, dengan keyakinan yang ku yakin-yakinkan aku
memutuskan kembali ke kantor pusat. Hatiku marah menyala, aku sempat berpapasan dengan
Rama di depan kantor logistik. Semakin membuatku ingin membunuhnya, Rama tanpak tenang
seolah-olah tidak terjadi apapun.

“pulang hari ini?” Rama seolah-olah mengejekku dengan pertanyaannya kali ini, kubalas dia
dengan tatapan tajam.
“jangan kau pikir seorang wanita akan diam saja…tunggu dan lihat nanti” jawabku tanpa
bersahabat.

Rama seolah tak terpengaruh dengan ancamanku. Aku fikir dia sudah terbiasa melakukan hal ini
pada beberapa wanita yang lain. Tapi tidak denganku, aku tak akan pernah membiarkan dia
menghancurkanku. Aku tak akan pernah membiarkan dia tenang menikmati hari-harinya.

Perahu pak Mardi kembali kutumpangi sore ini. Aku hanya diam, bibirku tak berucap namun
kepalaku tak henti-hentinya berfikir. Sesekali pak Mardi melirik ke arahku, mungkin dia bingung
melihat sikapku yang tidak seperti biasanya. Mataku lurus ke depan menatap batas dari lautan,
di ujung sana kulihat langit bertaut dengan lautan yang membiru laksana permadani yang
terhampar luas di depan mata. Hatiku berkata aku harus melakukan sesuatu, aku bukan wanita
yang lemah. Aku sangat kuat, bahkan aku mampu bertahan walaupun telah dihancurkan seperti
ini.

Perahu telah tertambat, kekuatan baru memenuhi tiap pori-pori tubuhku. Seperti mengepulkan
energi yang tiada tara. Aku bergegas melakukan sesuatu yang mungkin tak akan pernah
disangka-sangka oleh laki-laki bejat yang mungkin telah menghabisi banyak wanita sebagai
korban kelainan seksualnya.

Ku telpon atasanku untuk segera bertemu. Aku hanya mengisyaratkan bahwa ini pertemuan
yang sangat urgen untuk perusahaan. Syukurnya atasanku menyetujui permintaanku. Bergegas
kurapikan sebuah kronologis yang kuketik secara cepat untuk segera diserahkan kepada
Pimpinan perusahaan.

“Ini laporan saya selama dua hari di Ranggan pak,..dan ini hal yang sangat penting yang harus
saya sampaikan”..atasanku tersenyum puas dengan hasil kerjaku, tapi tiba-tiba wajahnya
berubah ketika membaca kertas lainnya yang berisikan kronolgis abuse yang dilakukan Rama
padaku.

“apa yang terjadi Riris??” apa kau benar-benar,…sampai di situ atasanku berhenti bicara.
Matanya tak lepas menatapku, iris matanya yang berwarna hitam memandangku lekat seolah-
olah kembali meyakinkan hatinya bahwa hal ini tidak benar.

“itu benar pak,…mungkin bapak tidak percaya karena saya masih terlihat tegar. Jika saja ada
yang melihat bagaimana kondisi saya setelah kejadian itu, saya yakin betapa bapak iba
terhadap saya. Saya minta Rama dikeluarkan dari perusahaan ini, saya yakin perusahaan tidak
mentolerir kebiadaban semacam itu” aku berbicara dengan nada yang datar, tanpa emosi dan
tanpa air mata.

Atasanku diam sejenak. Mungkin sedang berfikir panjang. Rama juga salah satu the best officer
di perusahaan ini, tapi apa hanya karena itu lalu perusahaan akan tetap mempertahankannya.
Aku masih menunggu keputusan atasanku.
“ok,..saya akan bicarakan pada team leader supaya secepatnya mencari pengganti Rama, saya
yakin team leader akan setuju dengan sikapmu ini, tapi harus ada pengakuan dari Rama sendiri
bahwa dia mengakui apa yang telah dilakukannya padamu” atasanku yang tinggi jangkung itu
melirik ke arahku, mungkin mencoba mencari kebenaran yang baru saja kusampaikan.

“dia harus mengaku,..”

“jika tidak saya siap mempidanakannya” balasku lantang.

----------

Real Power does not hit hard, But straight to the point

Kekuatan sesungguhnya tidak memukul dengan keras, tapi tepat sasaran.

“aku mohon Riris,..jangan pidanakan ini, aku mengakui kebiadabanku ini, aku khilaf semua
karena syaitan yang membisikkan sesuatu padaku, aku merasa kau juga menginginkanku, Riris,
…aku menyesal, sungguh sangat menyesal….” Rama memelas di kakiku di hadapan beberapa
orang staf kantor yang memaksanya untuk menandatangani surat perjanjian dan pengakuan
kronologis abuse terhadap diriku.

Aku berdiri tetap tegap di ambang kesadaranku, beribu kali ku kuatkan hatiku. Mengeluarkan
tangisanpun aku tak sudi lagi. Mungkin karena terlalu sakitnya hatiku menerima takdir yang
dituliskan saat ini padaku. Ku tatap semu wajah yang menunggu tindakan yang akan ku ambil.

“sekarang juga tandatangan semua berkas ini, aku tak mau melihat kamu lagi” aku berlalu dari
hadapan laki-laki yang telah merenggut sebagian kebahagiaanku di dunia ini.

Semenjak hari itu, aku tak pernah melihat Rama lagi. Bahkan dia sama sekali tidak mendapat
rekomendasi terbaik untuk pekerjaannya selama ini. Ya,..Rama tak akan pernah diterima
bekerja di perusahaan apapun karena kelakuannya itu. Memang aku tidak mempidanakannya
tapi aku menjegalnya dalam hal pekerjaan aku hanya ingin ia merasakan penyesalan seumur
hidupnya sehingga benar-benar menemui taubat nasuha.

-----------

Aku memang bukan Tuhan yang mampu memaafkan siapa saja hamba yang sudi memohon
ampun padaNya. Aku hanya manusia, yang ketika memberi maaf itu merupakan hal yang
sangat sulit dalam hidupku. Memaafkan Rama bukan hal yang mudah bagiku. Trauma
kejahatannya masih terlintas hadir di benakku walaupun entah berapa kali aku menangis di
ruang konsultasi phsykiaterku.
Dear Riris,…

Aku masih menyimpan kartu namamu. Aku masih ingat alamat emailmu dan aku juga masih
ingat bagaimana kau tersenyum. Sampai dengan saat ini, hanya kau satu-satunya wanita yang
membuat ku sadar akan kebrutalan nafsuku.

Entah bermaksud membuatku jera atau tidak, pada kenyataannya aku memang tak pernah
memperoleh pekerjaanku lagi seperti dulu. Setiap lamaran yang kuajukan seperti selembar
kertas kotor yang langsung dibuang ke tong sampah.

Riris,..terimakasih telah membuat aku menyadari betapa berharganya sebuah kehormatan bagi
seorang wanita. Walaupun kau tak mempidanakan kasusku tapi aku yakin ada pembalasan
yang setimpal untukku di akhirat kelak. Aku menyadarinya saat aku menikahi seorang wanita
yang juga menjadi korban keganasan laki-laki seperti diriku.

Susah payah aku mengembalikan kepercayaan diri istriku. Susah payah aku membantu
memulihkan kejiwaannya akan trauma itu. Aku benar- benar teringat akan dirimu Riris,..tentu
dengan susah payah kau menata hatimu kembali, sehingga seolah-olah apa yang telah terjadi
itu tak memberi pengaruh apapun dalam hidupmu. Namun aku tahu, itu hal yang sangat sulit
untuk dilakukan.

Sampai kapanpun kau boleh membenciku Riris,..aku tahu, maaf pun mungkin tak akan cukup
memperbaiki dan membayar semua kesalahanku yang dulu. Aku ikhlas jika Allah
menghukumku sedikit demi sedikit di dunia ini. Aku hanya berharap semoga Allah selalu
memberikanku hidayah agar selalu berjalan dalam koridor syari’atNya.

Terimakasih Riris, kamu sudi membaca emailku.

Regard

Rama

Entah mengapa setelah delapan tahun yang lalu, baru kali ini aku menangis lagi di luar ruang
therapyku. Email Rama membuat aku menangis. Mengapa Allah membuat seseorang taubat
lalu dibayar dengan kehormatanku???,…Oh,..apa Allah perlu bertanya kepada kita ketika garis
itu ditetapkannya??...

Diam-diam aku bangga pada diriku dan wanita yang lain yang bersikap sama seperti aku. Berani
mengungkapkan kebenaran walaupun harus pura-pura mengacuhkan rasa malu akan aib yang
diemban saat ini, terkadang tak jarang butuh tenaga ekstra saat bertubi penghalang mencoba
menghancurkannya. Selalu berbuah manis atas setiap kebenaran yang terungkap. Semoga
Rama-rama yang lain juga ikut bertaubat mencari kasih sayang Allah.
Ku tutup layar notebookku. Ada sedikit miris di hatiku ketika dulu sempat benci dengan takdir
ini. Aku malu karena dulu pernah bertanya pada Tuhan, mengapa Tuhan hanya diam saja
seolah-olah membiarkan semua ini terjadi padaku. Sekarang aku mengerti, bahwa hidup selalu
berwarna. Warna-warna itu ibarat pelangi menghiasi indah dinding hati untuk belajar warna
kekuatan, warna keikhlasan dan warna memaafkan.

Untuk semua wanita korban perkosaan

Bangkitlah dari mimpi buruk itu,…

Di luar sana langit bersinar cerah,…

 Jakarta, 4 Maret 2010

Aida_affandi

***

You might also like