You are on page 1of 30

Parallel Session IVA : Urban & Regional

13 Desember 2007, Jam 13.00-14.30


Wisma Makara, Kampus UI – Depok

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN KABUPATEN/ KOTA DI PROPINSI JAWA


TENGAH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN
EKONOMI REGIONAL

Yoenanto Sinung Noegroho


Bappenas
Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi – FEUI

Lana Soelistianingsih
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui disparitas pendapatan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa
Tengah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi regional selama periode 1993-2005.
Dengan menghitung nilai entropi total Theil dari kelompok eks. karesidenan, BAKORLIN dan daerah
kaya miskin yang kemudian didekomposisi ke dalam indeks ketidakmerataan antar dan intra
kelompok serta analisa dinamis melalui pooled data ditemukan bahwa disparitas pendapatan
kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah masih tergolong rendah yaitu berkisar antara 0,5995 -
0,6605 dan mempunyai kecenderungan yang terus naik dari tahun ke tahun. Indeks entropi Theil
yang rendah tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapatan yang terlalu jauh
antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dan laju pertumbuhan ekonomi masing-masing
kabupaten/ kota masih dipandang relatif seimbang. Hasil estimasi dengan data panel melalui metode
efek acak (random effect) menunjukkan bahwa faktor kesenjangan pendapatan, migrasi keluar dan
pengeluaran pemerintah daerah mempunyai pengaruh yang positif signifikan bagi pertumbuhan
ekonomi regional, sebaliknya inflasi regional mempunyai pengaruh yang negatif . Terdapat 14
kabupaten/ kota yang pertumbuhan ekonominya lebih besar dari rata-rata pertumbuhan ekonomi
kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah, sedang 21 kabupaten/ kota lainnya mempunyai rata-rata
pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.

Kata Kunci : Disparitas Pendapatan, Entropi Total Theil, Indeks Ketidakmerataan


Between dan Within, Pertumbuhan Ekonomi Regional, Jawa Tengah
Panel Data, Random Effect.
Klasifikasi JEL : C23, E25, R11

1
LATAR BELAKANG
Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang
semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Kebijaksanaan pembangunan dilakukan untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan cara memanfaatkan potensi dan sumber daya
yang ada. Namun hasil pembangunan kadang belum dirasakan merata dan masih terdapat
kesenjangan antar daerah.

Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita merupakan masalah yang
berbeda dari masalah distribusi pendapatan. Apabila terjadi distribusi pendapatan yang sempurna
(absolute equality) maka tiap orang akan menerima pendapatan yang sama besarnya. Angka
pendapatan per kapita yang ada selama ini merupakan angka rata-rata yang tidak mencerminkan
pendapatan yang diterima oleh tiap-tiap penduduk. Seberapa yang diterima oleh tiap penduduk
sebenarnya sangat berkaitan dengan masalah merata atau tidak meratanya distribusi pendapatan
tersebut. Oleh karenanya pemerataan pendapatan adalah masalah yang penting dalam
pembangunan. Tambunan (2001) menyatakan bahwa pada dekade 1980-an sampai pertengahan
dekade 1990-an Indonesia menikmati laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi dengan tingkat
kesenjangan yang semakin besar.

Pendapatan per kapita dan disparitas merupakan fungsi dari waktu. Pada tahap awal
pembangunan, perbedaan laju pertumbuhan ekonomi regional yang cukup besar antar daerah telah
mengakibatkan disparitas dalam distribusi pendapatan antar daerah. Namun dalam jangka panjang,
ketika faktor-faktor produksi di daerah semakin dioptimalkan dalam pembangunan maka perbedaan
laju pertumbuhan output antar daerah akan cenderung menurun. Hal itu ditandai dengan semakin
meningkatnya pendapatan per kapita rata-rata di setiap daerah seiring dengan waktu yang berjalan
(Etharina,2005). Kondisi tersebut sesuai dengan hipotesa Kuznet yang dikenal dengan hipotesa U
terbalik (Interved U hypothesis Kuznets), yang menyatakan bahwa kesenjangan pendapatan dan
tingkat pendapatan per kapita mempunyai hubungan yang berbentuk U terbalik seiring waktu yang
berjalan.
Pembangunan di Propinsi Jawa Tengah yang berlangsung secara menyeluruh dan
berkesinambungan telah meningkatkan perekonomian masyarakat. Pencapaian hasil-hasil
pembangunan yang sangat dirasakan masyarakat merupakan agregat pembangunan dari 35
kabupaten/ kota di Jawa Tengah yang tidak terlepas dari usaha keras secara bersama-sama antara
pemerintah dan masyarakat. Potensi daerah dan kekayaan alam dapat dilihat sebagai keunggulan
komparatif bagi daerah, namun di sisi lain berbagai kendala seperti sumber daya manusia dan
sumber modal untuk memanfaatkan potensi tersebut masih dihadapi oleh penentu kebijakan baik di
tingkat propinsi maupun di tingkat daerah kabupaten/ kota. Akibatnya kondisi perekonomian
masyarakat secara umum belum mencapai tingkat pemerataan pendapatan yang sama dan masih
ditemui kekurangan, diantaranya kesenjangan antar wilayah kabupaten/ kota dalam pencapaian
tingkat perekonomian.

Disparitas ekonomi dan sosial di Propinsi Jawa Tengah juga berdampak terhadap mobilitas
sosial yang kurang menguntungkan dengan adanya para migran. Arus migrasi bergerak dari daerah
yang tingkat perekonomiannya lebih rendah menuju ke daerah yang tingkat perekonomiannya lebih
tinggi. Masalah yang ditimbulkan oleh arus migrasi ini adalah pemukiman kumuh, kejahatan,
penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai, lingkungan dan lainnya. Masalah tersebut tentu tidak
mudah diselesaikan dan dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu berbagai
upaya untuk mengatasi disparitas ekonomi antar daerah kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah
sudah saatnya dilakukan dengan intensif.

2
Kesenjangan pendapatan antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah haruslah menjadi
salah satu pertimbangan dalam perencanaan pembangunan. Isu kesenjangan perekonomian dan
distribusi pendapatan antar daerah berkaitan dengan pengentasan kemiskinan, pertumbuhan
ekonomi dan harmonisasi sosial. Dengan tingkat pendapatan tertentu, kenaikan kesenjangan akan
selalu berimplikasi pada kenaikan kemiskinan dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah.

PERUMUSAN MASALAH
Data Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993-2004 menunjukkan bahwa
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita dari 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa
Tengah sangatlah bervariasi. Hal itu berarti masih terdapat kesenjangan pendapatan yang ditunjang
oleh perbedaan potensi antar daerah yang dimiliki baik potensi sumber daya alam, potensi sumber
daya manusia maupun infrastruktur yang ada. Dengan perbedaan potensi daerah tersebut,
kesenjangan antar daerah juga semakin besar, baik kesenjangan dalam pertumbuhan ekonomi,
investasi dan Pendapatan Asli Daerah. Demikian juga masih terdapat kesenjangan non ekonomi
lainnya seperti pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, birokrasi dan jasa-jasa lainnya.
Gambaran kesenjangan seperti ini sangat dibutuhkan oleh pemerintah kabupaten/ kota di Propinsi
Jawa Tengah agar perencanaan pembangunan daerah dapat ditentukan prioritasnya, khususnya
dalam era otonomi daerah saat ini dimana pemerintah kabupaten/ kota diberi kesempatan seluas-
luasnya untuk menentukan arah kebijaksanaan pembangunan agar tercapai laju pertumbuhan
ekonomi yang tinggi tetapi juga diikuti dengan semakin rendahnya kesenjangan pendapatan.

Adapun yang menjadi perumusan masalah adalah :

1. Seberapa besar kesenjangan pendapatan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah,


2. Apakah terdapat pengaruh dari kesenjangan pendapatan kabupaten/ kota dan faktor-faktor
lainnya terhadap pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Tengah.
3. Seberapa besar tingkat pertumbuhan ekonomi regional dari 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa
Tengah,

TINJAUAN PUSTAKA
Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Pendapatan penduduk tidak selalu merata, bahkan yang sering terjadi justru sebaliknya.
Manakala pendapatan terbagikan secara merata kepada seluruh penduduk di wilayah tersebut, maka
dikatakan distribusi pendapatannya merata, sebaliknya apabila pendapatan regional tersebut terbagi
secara tidak merata (ada yang kecil, sedang dan besar) dikatakan ada ketimpangan dalam distribusi
pendapatannya. Semakin besar perbedaan pembagian pendapatan regional tersebut berarti semakin
besar pula ketimpangan distribusi pendapatan. Terdapat berbagai ukuran kesenjangan regional mulai
dari yang paling sederhana hingga paling rumit.

Theil’s Coefficient of Concentration telah menjadi indeks yang sangat populer untuk
menganalisa distribusi spasial dan memiliki keunggulan dibanding dengan indeks kesenjangan
lainnya. Indeks Theil merupakan suatu analisa statis yang digunakan untuk mengukur kesenjangan
pendapatan dengan menggunakan ukuran entropi dari ketidak-merataan (Etharina, 2005). Koefisien
Theil dapat diintepretasikan sebagai logaritma dari rata-rata geometri tertimbang dari pendapatan per
kapita regional yang dideflasikan dengan rata-rata pendapatan per kapita nasional. Lebih lanjut
Wibisono (2003) menyatakan bahwa untuk pendapatan per kapita yang merata sempurna, indeks
Theil diberikan bobot nilai nol. Indeks Theil mempunyai beberapa keunggulan yaitu (1) sifatnya

3
yang tidak sensitif terhadap skala daerah dan tidak terpengaruh oleh nilai-nilai ekstrim. (2) indeks
Theil independen terhadap jumlah daerah-daerah sehingga dapat digunakan sebagai pembanding
disparitas dari sistem regional yang berbeda-beda. (3) indeks Theil dapat didekomposisi ke dalam
indeks ketidakmerataan antar dan intra kelompok daerah menjadi disparitas between dan disparitas
within wilayah kelompok atau grup secara simultan. Wibisono (2003) dalam studi empirisnya
menemukan bahwa karena sifatnya yang bisa didekomposisi maka indeks Theil memberikan
tambahan informasi bahwa kesenjangan dalam pendapatan per kapita regional lebih banyak diserap
oleh kesenjangan di dalam kelompok wilayah (within inequality) daripada kesenjangan antar
kelompok wilayah (between inequality).

Teori Pertumbuhan Ekonomi


Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka
panjang. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian
yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran
masyarakat menjadi meningkat. Jadi pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan
suatu perekonomian. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara untuk
menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan oleh
faktor-faktor produksi akan selalu mengalami pertambahan dalam jumlah dan kualitasnya. Investasi
akan menambah barang modal dan teknologi yang digunakan juga berkembang. Di samping itu
tenaga kerja bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk seiring pengalaman kerja dan
pendidikan menambah ketrampilan mereka. Dalam analisis makro, tingkat pertumbuhan ekonomi
yang dicapai oleh suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai
suatu negara (Sukirno, 2002).

Terdapat dua periode dimana studi teori pertumbuhan dilakukan secara intensif, periode
pertama pada akhir 1950-an sampai 1960-an yang menghasilkan teori pertumbuhan neoklasik dan
periode kedua pada akhir 1980-an sampai 1990-an yang menghasilkan teori pertumbuhan
endogenous.

Konvergensi Pertumbuhan Ekonomi


Wibisono (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi regional didekati dengan
hipotesa konvergensi, yang terbagi atas dua hal yaitu absolute convergence berdasarkan teori
pertumbuhan neoklasik dan conditional convergence yang berdasarkan pada teori pertumbuhan
endogenous. Kedua hipotesa konvergensi diatas termasuk dalam analisa dinamis. Absolute
convergence diartikan sebagai konvergensi yang terjadi pada daerah dalam satu negara, yang
walaupun terjadi perbedaan dalam teknologi, preferensi dan intuisi antar daerah, namun perbedaan
itu relatif lebih kecil dibanding dengan perbedaan antar negara (bersifat lebih homogenitas).
Konvergensi absolut digunakan untuk studi antar daerah dalam satu negara (Barro dan Sala-i-Martin,
1992). Hipotesis konvergensi absolut ini sulit diterima karena dalam kenyataan pertumbuhan
ekonomi regional hanya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan per kapita awal saja. Bila kita
melakukan hal ini, model akan rawan terhadap bias spesifikasi.

Konvergensi kondisional adalah konvergensi yang dilakukan dengan melihat perilaku dan
karakteristik antar negara atau antar daerah dalam suatu negara. Perbedaan antar negara adalah
terbukti dan eksis. Wibisono (2003) menyatakan dengan melakukan tes hipotesis konvergensi
kondisional maka akan mendapatkan manfaat yang lebih besar, yaitu dapat mengetahui faktor-faktor
penentu apa saja yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi regional dalam jangka panjang,

4
dengan cara memasukkan variabel-variabel terpilih yang dianggap mempengaruhi tingkat
pertumbuhan ekonomi regional ke dalam persamaan. Konvergensi dikatakan kondisional apabila
tingkat pertumbuhan lebih tinggi pada propinsi yang memiliki level pendapatan yang lebih rendah

Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi


A. Disparitas Pendapatan
Konvergensi pendapatan regional per kapita dipelajari dengan dua pendekatan utama, yaitu
menggunakan regresi cross section antara tingkat pertumbuhan dengan tingkat awal pendapatan per
kapita dan menggunakan analisa disparitas pendapatan per kapita (Wibisono, 2003). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa referensi klasik dari penelitian jenis kedua ini adalah artikel dari J.G. Williamson
(1965) dimana ia menjelaskan bahwa proses konvergensi regional terkait dengan proses
pembangunan. Ia memprediksi bahwa disparitas pendapatan regional akan memudar (konvergen)
setelah melalui tiga fase dari tahap awal pembangunan hingga tahap kematangan (maturity). Akita
dan Lukman (1995) menemukan bahwa disparitas PDRB per kapita mengalami penurunan yang
kontinu antara 1975-1992. Hal yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Garcia dan Soelistianingsih
(1998) yang mendapatkan fakta bahwa antara 1975-1993 tendensi penurunan disparitas sempat
terhenti pada 1983.

Wibisono (2003) menemukan bahwa kesenjangan terlihat menurun dengan cepat sejak
1975 sampai pertengahan 1980-an. Mulai periode 1985-1997, tren penurunan disparitas mengalami
stagnasi, terlihat dari penurunan indeks yang melambat bahkan sempat mengalami kenaikan pada
1992. Indeks kembali mengalami kenaikan pada tahun 1997-1998. Secara singkat dapat dikatakan
bahwa penurunan disparitas yang cepat terjadi pada pertengahan 1970-an hingga 1980-an. Setelah
itu penurunan disparitas mengalami perlambatan pada pertengahan 1980-an hingga 1990-an. Pada
tahun-tahun dimana perekonomian mengalami guncangan eksternal indeks entropi terlihat
mengalami kenaikan.
Studi empirik disparitas pendapatan regional yang diukur dengan indeks Gini mempunyai
pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional (Puspita, 2006).

B. Inflasi Regional
Inflasi adalah kenaikan dalam keseluruhan tingkat harga. Inflasi menjadi salah satu
fenomena moneter yang menjadi perhatian utama para ekonom dan pembuat kebijakan (Mankiw,
2000). Sedangkan Puspita (2005) menyatakan bahwa inflasi adalah kenaikan harga barang-barang
yang bersifat umum dan terus menerus. Inflasi regional diukur oleh tingkat pertumbuhan dari deflator
PDRB. Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang mempunyai dampak yang luas terhadap makro
ekonomi, termasuk pertumbuhan ekonomi. Boediono (1982) menggolongkan inflasi berdasarkan
lajunya per tahun menjadi empat bagian yaitu (1) infllasi ringan (dibawah 10% setahun), (2) inflasi
sedang (10%-30% setahun), (3) inflasi berat (30%-100% setahun) dan (4) hiperinflasi (lebih 100%
setahun).
Inflasi ditengarai memiliki efek negatif bagi perekonomian. Setyowati, dkk. (2000)
menyatakan dampak inflasi antara lain (1) inflasi dapat mendorong penanaman modal spekulatif
yang tidak berdampak terhadap pendapatan nasional, (2). inflasi menyebabkan tingkat bunga yang
meningkat dan akan mengurangi tingkat investasi, (3) inflasi menimbulkan ketidakpastian keadaan
ekonomi di masa yang akan datang, (4) inflasi menimbulkan masalah dalam neraca perdagangan, (5)
inflasi memperburuk distribusi pendapatan, (6) inflasi menyebabkan pendapatan riil merosot. Secara
umum rumah tangga dan perusahaan akan memiliki kinerja yang buruk ketika terjadi inflasi tinggi dan
tidak dapat diprediksikan (hiperinflasi).

5
Studi empirik menunjukkan bahwa tingkat inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi (Wibisono, 2005).

C. Migrasi keluar
Variabel migrasi mengacu pada data migrasi seumur hidup yaitu jumlah penduduk yang
pada saat pencacahan bertempat tinggal di daerah yang berbeda dengan daerah tempat
kelahirannya. Data migrasi diasumsikan sebagai jumlah penduduk transmigran yang berasal dari
suatu daerah keluar menuju daerah tersebut. Migrasi pekerja dengan mutu modal manusia yang
rendah dari daerah miskin ke daerah kaya akan memberikan efek positip pada tingkat pertumbuhan
daerah asal migran dan efek negatif bagi daerah penerima.

Dalam hal ini migrasi memiliki arah yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu
daerah. Wibisono (2003) menemukan bahwa variabel migrasi/ urban ini mempunyai efek dan arah
yang ambigu yang mengindikasikan fenomena brain drain. Kecenderungan migrasi di Indonesia
adalah tenaga kerja terdidik dari luar jawa umumnya pindah ke Jawa. Sebaliknya, migran yang keluar
dari Jawa umumnya adalah tenaga kerja yang berpendidikan rendah (seperti para transmigran).
Angka migrasi keluar mengkonfirmasikan bahwa migran memainkan peranan yang tidak kecil bagi
pertumbuhan ekonomi regional.

D. Konsumsi pengeluaran pemerintah daerah (government purchase)


Pengeluaran pemerintah diukur dari total belanja rutin dan belanja pembangunan dari
pemerintah daerah. Variabel ini digunakan untuk mengukur pengeluaran pemerintah yang tidak
memperbaiki produktivitas perekonomian. Semakin besar pengeluaran pemerintah daerah yang tidak
produktif, semakin kecil tingkat pertumbuhan perekonomian daerah. Anaman (2004) menyatakan
bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah yang terlalu kecil akan merugikan pertumbuhan ekonomi,
pengeluaran pemerintah yang proporsional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
pengeluaran konsumsi pemerintah yang boros akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Tetapi
pada umumnya pengeluaran pemerintah membawa dampak positip bagi pertumbuhan ekonomi.

METODOLOGI PENELITIAN
Untuk mengukur besarnya kesenjangan pendapatan digunakan Indeks Theil sebagai alat
analisis utama yang memakai ukuran entropi dari ketidakmerataan. Sedangkan untuk mengetahui
pertumbuhan ekonomi regional kabupaten/ kota digunakan analisa dinamis melalui pooled data yang
merupakan sebuah set data yang berisi data sampel individu dari 35 kabupaten/ kota dengan
periode waktu antara tahun 1993-2005. Untuk menghitung indeks disparitas, pembagian grup
dilakukan berdasarkan (1). Group wilayah eks.karesidenan di Jawa Tengah, yaitu Karesidenan
Banyumas, Karesidenan Kedu, Karesidenan Surakarta, Karesidenan Semarang, Karesidenan Pati
dan Karesidenan Pekalongan. (2). Group wilayah Badan Koordinasi Lintas (Bakorlin) di Propinsi
Jawa Tengah, yaitu Bakorlin I, Bakorlin II dan Bakorlin III (3). Group daerah kaya dan miskin. Merujuk
pada Etharina (2005), batasan daerah kaya dan miskin adalah dengan membandingkan rata-rata
pendapatan per kapita daerah kabupaten/ kota sebagai prosentase dari rata-rata pendapatan per
kapita propinsi pada kurun waktu tahun yang sama. Indeks pendapatan per kapita propinsi adalah
100. Daerah kabupaten/ kota yang mempunyai rata-rata pendapatan per kapita di atas rata-rata
pendapatan per kapita propinsi dikelompokkan sebagai kabupaten/ kota yang kaya. Sebaliknya
daerah kabupaten/ kota yang mempunyai rata-rata pendapatan per kapita di bawah rata-rata
pendapatan per kapita propinsi dikelompokkan sebagai kabupaten/ kota yang miskin. Pembagian
wilayah seperti ini digunakan untuk melihat apakah disparitas yang terjadi semakin mengecil atau
bahkan semakin melebar.

6
Menurut Terrasi (1999), koefisien Theil diukur dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :

yi ……………………………………… (1)


==+
ICyICIC ∑i ibrwr log 
xi Yr
………………………………………………… (2)
ICY brir= ∑ log 
  X……………………………………..
yyY / (3)
ICY = ∑∑  log
r r
iir
Dimana : wrr
ri   YxX
rir /
IC == disparitas total (total koefisien Theil)

ICbr = disparitas antar (between) wilayah atau grup kabupaten/ kota

ICwr= disparitas di dalam (within) wilayah atau grup kabupaten/ kota

yi xi pangsa
dan pendapatan dan penduduk kabupaten/ kota terhadap pendapatan dan
penduduk propinsi

Yr X r= pangsa
dan pendapatan dan penduduk dalam kelompok (grup) kabupaten/ kota terhadap
pendapatan dan penduduk propinsi

Wilayah yang diamati dalam penelitian ini adalah 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa
Tengah. Adapun analisa disparitas distribusi pendapatan memakai indeks entropi Theil dilakukan
dengan tiga group wilayah yang berbeda, yaitu group wilayah eks.karesidenan (6 eks.karesidenan),
group wilayah BAKORLIN (3 Bakorlin) dan group/ kelompok daerah kaya – miskin berdasarkan rata-
rata PDRB per kapita terhadap rata-rata PDRB perkapita propinsi.
Model ekonometri yang diaplikasikan merupakan modifikasi model yang dihasilkan oleh
Wibisono (2005) yang mengacu pada pendekatan klasik model konvergensi dari Barro dan Sala-i-
Martin (1992). Tingkat konvergensi dari Barro dan Sala-i-Martin didapatkan dari model Ramsey
(1928) dengan menggabungkan model pertumbuhan Solow-Swan (1956) dan optimisasi rumah
tangga. Mengikuti Barro dan Sala-i-Martin, estimasi linier terhadap dinamika transisional model
Solow-Swan didapatkan variabel X yang merupakan variabel-variabel yang mempengaruhi steady
state perekonomian i. Selanjutnya model disesuaikan dengan data dan kondisi perekonomian
kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah menjadi model analisa dinamis sebagai berikut :

α ι1234
=+β+β+β+β+ε
GrowthTheilInflasiLnMigLnGOVT
dimana : itititititit
...... (4)
()()
Growth:: pertumbuhan ekonomi regional

Theil : indeks entropi total Theil


inflasi regional
Inflasi: migrasi keluar
LnMig: pengeluaran pemerintah daerah
i LnGOVT
= 1,…,N : banyaknya data kerat lintang, dalam hal ini kabupaten/ kota
t = 1,…,T : banyaknya deret waktu

7
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, sedangkan sumber data berasal dari
publikasi Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah. Selanjutnya data diolah dengan analisa
entropi Theil untuk mencari tingkat disparitas dan estimasi data panel untuk mencari hubungan
pertumbuhan ekonomi dengan variabel bebasnya.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pooling data, data panel atau
longitudinal data, dimana data deret waktu (time series) dan data kerat lintang (cross section)
digabungkan. Data time series adalah data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu
individu, dalam hal ini data 13 tahun yaitu tahun 1993-2005. Sedangkan data cross section adalah
data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu, dalam hal ini 35 kabupaten/ kota
di Propinsi Jawa Tengah. Sehingga dalam data panel jumlah observasinya adalah deret waktu T > 1
dan jumlah observasi deret lintang N > 1.

HASIL
Pengolahan data dilakukan melalui dua tahapan, yaitu pengolahan indeks disparitas
memakai indeks Theil dan pengolahan data pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan software
Eviews 4.1.

Analisis Disparitas Distribusi Pendapatan Regional dengan Indeks Theil


Pengukuran disparitas dengan Indeks Theil dapat dilakukan dekomposisi faktor inter
(between inequality ) atau intra (within inequality ). Indeks Theil menggambarkan tingkat
=T
ketidakmerataan dan polabpembagian pendapatan penduduk
=T w suatu daerah. Semakin kecil nilai
indeks koefisien Theil maka kesenjangan semakin rendah dan semakin merata distribusi
pendapatannya.
(1). Group/ Kelompok Eks.Karesidenan
Berdasarkan kelompok Eks.Karesidenan, Jawa Tengah sejak tahun 1994 sampai tahun
1999 terbagi atas enam wilayah Karesidenan yaitu Eks.Karesidenan Banyumas, Eks.Karesidenan
Kedu, Eks.Karesidenan Surakarta, Eks.Karesidenan Semarang, Eks.Karesidenan Pati dan
Eks.Karesidenan Pekalongan. Hasil koefisien indeks disparitas Theil untuk masing-masing
Eks.Karesidenan dalam Tabel 1.
Indeks total Theil dilakukan dekomposisi untuk mendapatkan nilai koefisien inter (between
inequality) dan koefisien intra (within inequality) yang kemudian ditansformasikan dalam persentase
terhadap total Theil (Tabel 2).
Tabel 1 Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Eks.Karesidenan
di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005

Total Between Within


Tahun
Theil Karesidenan Banyumas Kedu Surakarta Semarang Pati Pekalongan
1993 0.5995 0.0798 0.1437 0.0232 0.0521 0.1436 0.1172 0.0399
1994 0.6111 0.0874 0.1367 0.0221 0.0526 0.1460 0.1266 0.0398
1995 0.6238 0.0930 0.1226 0.0200 0.0548 0.1594 0.1308 0.0432
1996 0.6376 0.0994 0.1180 0.0203 0.0560 0.1671 0.1325 0.0444
1997 0.6353 0.0998 0.1060 0.0213 0.0560 0.1828 0.1241 0.0452
1998 0.6206 0.0940 0.1360 0.0225 0.0513 0.1583 0.1154 0.0430
1999 0.6283 0.0954 0.1412 0.0227 0.0499 0.1613 0.1132 0.0446
2000 0.6326 0.1060 0.1529 0.0225 0.0510 0.1590 0.1085 0.0327
2001 0.6225 0.1110 0.1473 0.0202 0.0545 0.1361 0.1174 0.0359
2002 0.6375 0.1190 0.1543 0.0197 0.0543 0.1387 0.1177 0.0338

8
2003 0.6392 0.1187 0.1617 0.0208 0.0556 0.1273 0.1229 0.0322
2004 0.6514 0.1176 0.1669 0.0208 0.0551 0.1303 0.1300 0.0308
2005 0.6605 0.1201 0.1734 0.0215 0.0541 0.1320 0.1295 0.0299
Sumber : Data diolah

Tabel 2 Persentase Koefisien Total Theil, Between dan Within Group


eks.Karesidenan di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005
.
Total Between (%) Within (%)
Tahun
Theil Karesidenan Banyumas Kedu Surakarta Semarang Pati Pekalongan
1993 100.00 13.31 23.97 3.86 8.69 23.95 19.55 6.65
1994 100.00 14.30 22.38 3.62 8.60 23.89 20.72 6.51
1995 100.00 14.91 19.66 3.21 8.78 25.55 20.98 6.93
1996 100.00 15.59 18.51 3.18 8.78 26.20 20.78 6.96
1997 100.00 15.71 16.69 3.35 8.82 28.78 19.54 7.11
1998 100.00 15.15 21.92 3.62 8.27 25.51 18.60 6.93
1999 100.00 15.19 22.47 3.61 7.95 25.67 18.02 7.09
2000 100.00 16.75 24.17 3.55 8.07 25.14 17.15 5.17
2001 100.00 17.83 23.67 3.25 8.76 21.87 18.87 5.76
2002 100.00 18.66 24.21 3.10 8.52 21.76 18.46 5.30
2003 100.00 18.58 25.29 3.25 8.69 19.92 19.23 5.04
2004 100.00 18.05 25.62 3.19 8.46 20.00 19.96 4.73
2005 100.00 18.19 26.25 3.26 8.20 19.98 19.60 4.53
Rata-rata 16,32 22,68 3,39 8,51 23.71 19,34 6.05
Sumber : Data diolah
(2) Group Wilayah Bakorlin

Tabel 3 Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Bakorlin


di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005

Total Between Within


Tahun
Theil Bakorlin Bakorlin I Bakorlin II Bakorlin III
1993 0.5995 0.0943 0.2630 0.0762 0.1660
1994 0.6111 0.0994 0.2737 0.0792 0.1589
1995 0.6238 0.0548 0.2923 0.0839 0.1928
1996 0.6376 0.0634 0.3024 0.0855 0.1864
1997 0.6353 0.0698 0.3121 0.0855 0.1679
1998 0.6206 0.0492 0.2772 0.0790 0.2152
1999 0.6283 0.0497 0.2784 0.0779 0.2223
2000 0.6326 0.0448 0.2714 0.0802 0.2362
2001 0.6225 0.0474 0.2570 0.0864 0.2316
2002 0.6375 0.0493 0.2607 0.0850 0.2425
2003 0.6392 0.0442 0.2553 0.0879 0.2518
2004 0.6514 0.0415 0.2607 0.0885 0.2607
2005 0.6605 0.0387 0.2621 0.0882 0.2716
Sumber : Data diolah

9
Tabel 4 Persentase Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Bakorlin
di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005

Total Between Within


Tahun
Theil Bakorlin Bakorlin I Bakorlin II Bakorlin III
1993 100.00 15.73 43.86 12.72 27.69
1994 100.00 16.26 44.78 12.97 25.99
1995 100.00 8.78 46.86 13.45 30.91
1996 100.00 9.94 47.42 13.41 29.23
1997 100.00 10.99 49.12 13.46 26.43
1998 100.00 7.93 44.66 12.73 34.67
1999 100.00 7.91 44.31 12.40 35.37
2000 100.00 7.08 42.91 12.68 37.34
2001 100.00 7.62 41.29 13.88 37.20
2002 100.00 7.73 40.89 13.34 38.04
2003 100.00 6.91 39.94 13.75 39.40
2004 100.00 6.37 40.03 13.59 40.02
2005 100.00 5.86 39.68 13.35 41.12
Rata-rata 9.16 43.52 13.21 34.11
Sumber : Data diolah

Berdasarkan group wilayah Bakorlin, maka gambaran disparitas distribusi pendapatan


Propinsi Jawa Tengah dan tren penyebarannya sama seperti pada group eks.karesidenan, yaitu
terlihat relatif masih rendah.
(3). Kelompok Daerah Kaya - Miskin
Tabel 5 Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Daerah Kaya - Miskin
di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005

Total Between Within


ahun Theil Ky-Mskin Kaya Miskin
1993 0.5995 0.2897 0.2111 0.0987
1994 0.6111 0.3030 0.2117 0.0965
1995 0.6238 0.3233 0.2079 0.0925
1996 0.6376 0.3344 0.2089 0.0944
1997 0.6353 0.3353 0.2079 0.0922
1998 0.6206 0.3215 0.2089 0.0902
1999 0.6283 0.3236 0.2113 0.0934
2000 0.6326 0.3353 0.2114 0.0859
2001 0.6225 0.3433 0.1944 0.0847
2002 0.6375 0.3557 0.2007 0.0812
2003 0.6392 0.3563 0.2019 0.0810
2004 0.6514 0.3617 0.2131 0.0766
2005 0.6605 0.3634 0.2207 0.0764
Sumber : Data diolah

10
Selanjutnya indeks total Theil dilakukan dekomposisi untuk mendapatkan nilai koefisien inter
(between inequality) dan koefisien intra (within inequality). Untuk mempermudah cara analisis maka
koefisien between dan koefisien within dari group daerah kaya-miskin ditansformasikan dalam
persentase terhadap total Theil.

Tabel 6 Persentase Koefisien Total Theil, Between dan Within Group Daerah
Kaya- Miskin di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 -2005

Total Between Within


Tahun
Theil Ky-Mskin Kaya Miskin
1993 100.00 48.33 35.21 16.47
1994 100.00 49.58 34.63 15.78
1995 100.00 51.83 33.33 14.83
1996 100.00 52.44 32.75 14.81
1997 100.00 52.78 32.72 14.51
1998 100.00 51.80 33.66 14.54
1999 100.00 51.50 33.64 14.86
2000 100.00 53.01 33.42 13.58
2001 100.00 55.15 31.23 13.61
2002 100.00 55.78 31.48 12.74
2003 100.00 55.75 31.59 12.67
2004 100.00 55.53 32.71 11.76
2005 100.00 55.02 33.41 11.57
Sumber : data diolah

Hasil Pengujian Model


Pengujian model dilakukan dengan menggunakan data panel. Penelitian meliputi 35
kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dari tahun 1993 sampai tahun 2005. Pengolahan data
dilakukan dengan menggunakan software Eviews 4.1 dengan metode random effect untuk data panel
di atas. Hasil pengujian model terdiri dari pengujian dengan uji Chow atau uji yang kemudian
dilanjutkan dengan uji Hausmann.
F
stat
(1) Uji Chow
Untuk mengetahui ada tidaknya efek individual dari 35 kabupaten/ kota di Propinsi Jawa
Tengah dalam pertumbuhan ekonomi regional, maka dilakukan uji statistik dengan membandingkan
nilai dari
2 model pooled dan model variabel dummy (fixed) atau dilakukan dengan uji Chows atau
uji Rsetelah dilakukan penghitungan dengan pilihan common dan fixed effect. Hasilnya sebagai
F
berikut :
stat
Tabel 7 Hasil Uji (pooled vs fixed) atau uji Chow
Fstat
diterima /
Model R 2 pooled R 2 fixed Fstat Hditolak
Ftab (0.05) 0
Pertumbuhan 0,430122 0,983606 N = 35
finvk α
(,) −−
NNTN
1, H ditolak

Ekonomi T = 13
α= 0,05 0

11
k = 5 Ftab (0.05) = 1,457
Fstat = 412,104
Kesimpulan - Fstat > Ftab (0.05) , sehingga tolak H 0
- terdapat efek individual dalam model yang dibuat
- Dilanjutkan dengan uji Hausmann
Sumber : Data diolah

Dari hasil pengujian melalui (pooled vs fixed) atau uji Chow terlihat bahwa ada terjadi efek
individual dalam model pertumbuhan
F
stat ekonomi dengan beberapa variabel bebasnya. Dengan
demikian spesifikasi model yang dibuat akan mempunyai intersep yang bervariasi terhadap individu
namun tetap mengasumsikan bahwa slope koefisien adalah konstan antar individu kabupaten/ kota,
sehingga model yang digunakan dalam analisis ini adalah model fixed effect atau random effect.
Adapun hasil estimasi dari model fixed effect dan random effect disajikan pada Tabel 8 berikut :

Tabel 8 Estimasi fixed effect dan random effect

Fixed Effect Random Effect


No Variabel
Koefisien Standar Error Koefisien Standar Error
1 C - - 12,76853 0,131483
2 Theil 3,590932 0,543468 4,159880 0,534245
3 Inflasi -0,000713 0,000196 -0,000709 0,000203
4 Migrasi 0,017089 0,002879 0,016808 0,002970
5 Govt 0,080602 0,004126 0,080000 0,004256
6 R2 0,983606 0,981111
Sumber : Data diolah

(2) Uji Hausmann


Untuk menentukan secara tepat spesisifasi model yang akan digunakan apakah model fixed
effect atau random effect maka dilakukan uji Hausmann untuk menguji model yang paling baik yang
digunakan dalam mengestimasi pertumbuhan ekonomi regional. Uji Hausmann akan memberikan
penilaian dengan menggunakan Chi-square statistics sehingga keputusan pemilihan model dapat
ditentukan secara benar. Hasil uji Hausmann disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Hasil Uji Hausmann Terhadap Model Pertumbuhan Ekonomi Regional

Uji Hausmann H 0 diterima/


Model χ tabel
2
Kesimpulan
χ hitung
2 (0.05,5)
ditolak
Pertumbuhan 0,398784 9,487728 χχhittabel
22
< maka Random effect
Ekonomi diterima
Sumber : Data diolah
H0
Berdasarkan hasil uji Hausmann dapat disimpulkan bahwa estimasi model pertumbuhan
ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah adalah menggunakan model random effect. Dalam
random effect diasumsikan bahwa komponen error individual tidak berkorelasi satu sama lain dan

12
tidak ada otokorelasi baik cross section maupun time series (Pindyck dan Rubenfield, 1998). Kedua
variabel random tersebut yaitu variabel cross section dan variabel time series diasumsikan
berdistribusi normal dengan derajad bebas yang tidak berkurang. Model random effect dapat
diestimasi sebagai regresi GLS (Generalized Least-Square) yang akan menghasilkan penduga yang
memenuhi sifat Best Linier Unbiased Estimation (BLUE). Dengan demikian adanya gangguan asumsi
klasik dalam model ini telah terdistribusi secara normal, sehingga tidak diperlukan lagi treatment
terhadap model bagi pelanggaran asumsi klasik, yaitu asumsi adanya autokorelasi, multikolinearitas
dan heterokedastik.
(3) Uji Hipotesa Dan Signifikansi
Tabel 10 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi Regional

Variabel Terikat : Laju Pertumbuhan Ekonomi (Growth)


No Variabel Bebas Koefisien Standar error tstat Probabilitas
1. C 12,76853 0,131483 97,11194 0,0000
2. Entropi Theil 4,159880 0,534245 7,786471 0,0000
3. Inflasi -0,000709 0,000203 -3,500268 0,0005
4. Migrasi keluar 0,016808 0,002970 5,658968 0,0000
5. Govt spending 0,080000 0,004256 18,79680 0,0000
R-square = 0,981111
Sumber : Data diolah

(3.1) Uji secara parsial (uji t)

Tabel 10 menunjukkan bahwa hasil estimasi terhadap faktor-faktor yang mem-pengaruhi


pertumbuhan regional menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan
99% untuk semua variabel yaitu entropi Theil, inflasi, migrasi keluar, pengeluaran pemerintah.
Sedang variabel dummy krisis (DK) hanya mampu menunjukkan signifikansi pada tingkat
kepercayaan yang sangat rendah dibawah 50% saja. Tanda minus (-) pada koefisien regresi variabel
Inflasi menunjukkan arah hubungan yang terjadi yaitu negatif/ berlawanan arah, berarti akan
menghambat pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

(3.2) Uji secara serempak

Karena model yang paling baik yang didapat berdasarkan uji Hausmann adalah random
effect maka berarti komponen error individual tidak berkorelasi satu sama lain dan tidak ada
otokorelasi baik cross section maupun time series sehingga diasumsikan berdistribusi normal dengan
derajad bebas yang tidak berkurang. Model diestimasi dengan random effect dan uji secara
serempak ini ditunjukkan oleh nilai uji Hausmann ( 2 = 0,340978) yang ternyata lebih kecil
dibanding dengan 2 (11,070483).
χ hitung
χ (0.05,)k

(3.3) Uji Kesesuaian ( )2


R
Tabel 10 menunjukkan bahwa hasil estimasi pertumbuhan ekonomi regional memiliki 2
yang sangat tinggi, yaitu sebesar 0,981111. Nilai ini menunjukkan bahwa model memiliki kemampuanR
menjelaskan variasi pertumbuhan ekonomi regional sebesar 98,1111% sedangkan sisanya sebesar
1,8889% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ikut disertakan dalam model. Hal ini menunjukkan

13
bahwa model estimasi yang dihasilkan sangatlah representatif dan dapat dipercaya. Dari hasil
estimasi diatas juga terlihat bahwa tanpa adanya pengaruh dari variabel bebas yang dimodelkan,
pertumbuhan ekonomi regional tetap akan terjadi pada kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dan
masing-masing kabupaten/ kota mempunyai pengaruh yang bervariasi.

PEMABAHASAN
Disparitas Koefisien Entropi Theil
Masalah ketimpangan distribusi pendapatan tidak hanya tampak pada wajah ketimpangan
antara pulau Jawa dan luar Jawa saja melainkan juga antara wilayah di dalam Pulau Jawa itu sendiri.
Bahkan ketimpangan juga sering terjadi secara nyata antara daerah kabupaten/ kota di dalam
wilayah propinsi itu sendiri (Alisjahbana, 2005). Lebih lanjut dikatakan bahwa kesenjangan antar
daerah terjadi sebagai konsekuensi dari pembangunan yang terkonsentrasi. Berbagai program yang
dikembangkan untuk menjembatani kesenjangan baik kesenjangan distribusi pendapatan maupun
kesenjangan wilayah belum banyak membawa hasil yang signifikan. Bahkan yang sering terjadi
adalah kebijakan pembangunan yang dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi justru
dapat menambah kesenjangan baik terhadap distribusi pendapatan maupun kesenjangan wilayah,
termasuk kondisi di Propinsi Jawa Tengah.

Analisis kesenjangan pendapatan memakai koefisien entropi total menghasilkan koefisien


entropi total yang berkisar antara 0,5995 hingga 0,6605 baik dianalisis berdasarkan group
eks.karesidenan, group BAKORLIN maupun group daerah kabupaten/ kota kaya–miskin (Tabel 1,
Tabel 3 dan Tabel 5). Nilai entropi total tersebut sebenarnya memberikan indikasi bahwa
kesenjangan yang terjadi antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah masih relatif rendah dalam
kurun waktu tahun 1993 sampai tahun 2005. Hal itu sesuai pengukuran kesenjangan pendapatan di
Propinsi Jawa Tengah dengan menggunakan angka Gini yang menunjukkan bahwa selama lima
tahun terakhir (tahun 2000 sampai tahun 2005) ketimpangan pendapatan di Jawa Tengah masih
termasuk dalam kategori rendah (BPS, 2005).Demikian juga sejalan dengan studi empiris yang
dilakukan Theil (1992) terhadap lebih dari 100 negara di Amerika Serikat, Eropa Barat, Afrika,
Amerika Latin dan Asia Selatan selama periode 1980 - 1985 yang menemukan nilai entropi
kesenjangan yang rendah berkisar antara 0,53 hingga 0,65. Sebagai gambaran Kuncoro (2004)
menemukan bahwa koefisien entropi total di Indonesia terhadap konsentrasi spasial distribusi
geografis dalam kegiatan industri selama periode 1976 -1999 mencapai angka yang jauh lebih tinggi
yaitu mencapai 2,5.

Wibisono (2003) menyatakan bahwa untuk pendapatan per kapita yang merata sempurna,
koefisien Theil diberikan bobot nilai nol. Koefisien entropi Theil hanya menggambarkan tingkat
ketimpangan distribusi pendapatan yang berdasarkan rataan pendapatan, tanpa melihat pengaruh
faktor demografi seperti kelahiran, kematian ataupun migrasi. Kondisi kesenjangan distribusi
pendapatan yang antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah, meskipun relatif rendah banyak
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : laju pertumbuhan PDRB per kapita yang berbeda-
beda, perbedaan keunggulan komparatif masing-masing kabupaten/ kota yang meliputi keunggulan
komparatif atas sumber daya alam ataupun sumber daya manusia (human resources), demikian juga
adanya perbedaan dalam pengambilan pola kebijakan dan prioritas pembangunan yang dilakukan
terhadap sektor ekonomi pada era otonomi daerah ini.

Gambar 1 Tren Kesenjangan Pendapatan Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 – 2005

14
0.6700
koef. Theil

0.6400

0.6100

0.5800
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

tahun

Indeks Theil

Sumber : data Tabel 1


Pada periode tahun 1993 - 1996 koefisien entropi total meningkat, yang berarti
kesenjangan yang terjadi semakin besar. Hal itu disebabkan pola kebijakan yang masih terjebak
pada nalar sentralistis dan top down birokrasi. Pola itu mengindikasikan pada gagalnya Pemerintah
Pusat dan Propinsi untuk merespon dinamika sosial dan politik di level lokal sehingga kebijakan level
atas tidak bisa diimplementasikan secara maksimal di daerah. Kebijakan yang ada lebih merupakan
blue print yang berlaku secara menyeluruh bagi daerah kabupaten/ kota, meski kurang memberi
kesempatan partisipasi dari bawah yang lebih membuka peluang bagi kekhasan daerah. Padahal
setiap daerah memiliki dinamika sosial, budaya, ekonomi, politik yang berbeda dan membutuhkan
pemahaman dan penanganan yang kontekstual. Hal ini justeru hanya akan menimbulkan rendahnya
responsibilitas terhadap kebijakan yang dibuat dan juga mematikan inisiatif lokal dalam
menumbuhkan gagasan dan praktek yang otentik untuk memajukan ekonomi di wilayahnya masing-
masing.

Pada masa krisis ekonomi tahun 1997 sampai tahun 1999, koefisien entropi total
cenderung mengalami penurunan. Penurunan ketimpangan tersebut dan semakin meratanya
distribusi pendapatan bukan semata-mata disebabkan karena meningkatnya pendapatan masyarakat
golongan menengah ke bawah, tetapi lebih disebabkan berkurangnya pendapatan masyarakat
golongan menengah ke atas. Hal ini bisa dilihat dari penurunan PDRB Kabupaten/ kota pada saat
krisis ekonomi terjadi (lihat Gambar 4.5). Adapun faktor-faktor yang menyebabkan relatif meratanya
distribusi pendapatan tersebut antara lain :

(1) Jatuhnya investasi yang sangat besar dalam proyek-proyek yang padat modal.
Pada saat krisis ekonomi, proyek-proyek padat modal sebagian besar jatuh dan ambruk. Maka
persentase pendapatan modal dari investasi yang dimiliki oleh kelompok kaya menurun drastic
dan menyebabkan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan menurun.

(2) Terdapatnya sektor informal yang dijalankan oleh mayoritas masyarakat golongan ke bawah
yang semakin besar, sedangkan sektor informal adalah salah satu sektor yang mendapat
pengaruh kecil dari krisi ekonomi sehingga pendapatan masyarakat menengah ke bawah yang
bergerak dalam sektor informal juga tidak menurun pendapatannya secara drastis.

(3) Terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran pada masa krisis ekonomi
yang menimpa tenaga kerja yang berpendidikan, yang termasuk dalam golongan menengah ke
atas, sehingga jurang ketimpangan pendapatan semakin menurun.

15
(4) Pola konsumsi yang tinggi nilai impornya bagi penduduk yang berpendapatan tinggi. Padahal
pada masa krisis ekonomi, nilai tukar memburuk sehingga berdampak negatif bagi pendapatan
masyarakat golongan kaya. Tingkat konsumsi mereka menjadi melambung tinggi.

(5) Kebijakan harga yang diterapkan oleh pemerintah pada masa krisis ekonomi dimana terjadi
kebijakan inflasi yang sangat tinggi menyebabkan jatuhnya beberapa badan usaha yang
sebagian besar dimiliki oleh masyarakat golongan kaya, karena harga-harga bahan baku yang
diperlukan dalam berproduksi semakin tinggi.

(6) memburuknya nilai tukar dalam perdagangan yang diakibatkan oleh ketidakelastisan
permintaan Negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor dalam negeri seperti industri
besar.

(7) Terjadinya kontraksi dalam sektor industri yang mengakibatkan peranan sektor industri dalam
pembentukan PDRB di kabupaten/ kota di Jawa Tengah menjadi menurun, sehingga tingkat
kekayaan relatif masyarakat golongan kaya juga menjadi menurun.

Pada periode sesudah krisis ekonomi tahun 2001 sampai sekarang kecenderungan
koefisien entropi mengikuti pola sebelum krisis yang meningkat. Periode ini adalah masa
diberlakukannya otonomi daerah (otda) dimana daerah otonom diberikan kewenangan dan
kesempatan untuk mengembangkan gagasan dan mengaplikasikan di daerahnya masing-masing
dengan segala sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dipunyainya. Hal ini
mengakibatkan daerah yang mempunyai natural resources dan human resources yang tinggi akan
mampu menciptakan nilai tambah produksi yang lebih baik bagi daerah dibandingkan dengan daerah
yang minim natural resources dan human resources. Minimnya natural resources dan human
resources menjadikan produktivitas daerah juga turut menjadi rendah. Dengan demikian kesenjangan
pendapatan yang terjadi cenderung semakin membesar antar daerah kabupaten/ kota di Propinsi
Jawa Tengah, mesti tidak signifikan terhadap kesenjangan itu sendiri.
Koefisien Disparitas Between dan Within
(1). Group/ Kelompok Eks.Karesidenan
Persentase koefisien Theil between group eks.karesidenan terhadap total disparitas regional
di Propinsi Jawa Tengah dari tahun 1993 sampai tahun 2005 adalah rendah, yaitu berkisar antara
13,31 persen sampai 18,19 persen dengan rata-rata 16,32 persen. Sedangkan sisanya sebesar
83,68 persen merupakan koefisien within dari enam eks.karesidenan yang ada. Hal itu sangat
penting dan menunjukkan fenomena bahwa disparitas justru terjadi di dalam kelompok atau group
eks.karesidenan, bukan antar wilayah atau antar group eks.karesidenan. Group eks.Karesidenan
Semarang mempunyai rata-rata koefisien within tertinggi dibanding lima eks.karesidenan lainnya
yaitu sebesar 23,71 persen. Sedangkan eks.Karesidenan Kedu memberikan kontribusi rata-rata
koefisien within yang paling kecil sebesar 3,39 persen. Hal ini berarti bahwa group eks.Karesidenan
Semarang mempunyai tingkat kesenjangan pendapatan yang paling tinggi dan eks.Karesidenan
Kedu mempunyai tingkat kesenjangan yang paling rendah.
Hal itu dapat dipahami bahwa Semarang sebagai daerah ibu kota propinsi dan sekitarnya
telah menjadi tujuan urbanisasi yang menyebabkan banyaknya aglomerasi (konsentrasi/ pemusatan)
baik tenaga kerja maupun modal yang menyatu dalam kegiatan industri. Ketika industrialisasi
dijalankan, maka faktor produksi yang paling berkuasa adalah modal dan dianggap sebagai
instrument penting yang mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Akibat dominasi modal
dibanding faktor produksi yang lain maka pemilik modal akan mendapatkan bagian yang paling besar

16
terhadap hasil proses produksi. Sedangkan tenaga kerja dan pemilik tanah menikmati sewa dan
upah yang kecil. Hal itu yang semakin menyebabkan ketimpangan pandapatan antar masyarakat
ditinjau dari pijakan pembagian keuntungan antar faktor produksi yang tidak adil. Demikian juga lebih
bervariasinya tingkat sosial dan ekonomi masyarakat dalam wilayah eks.Karesidenan Semarang
menambah kontribusi ketimpangan yang semakin besar di Propinsi Jawa Tengah. Namun demikian
dari Gambar 2 terlihat tren koefisien entropi eks.Karesidenan Semarang yang semakin menurun.

Gambar 2 Tren Koefisien Within Enam Eks.Karesidenan Tahun 1993 – 2005


30.00
persen indeks within

bymas 25.00
kedu 20.00
solo
15.00
smg
pati 10.00
pkl 5.00

-
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
tahun

Sumber : Data Tabel 2

Gambar 2 memperlihatkan kontribusi masing-masing koefisien within dari enam group


wilayah eks.karesidenan yang masih cukup tinggi bagi kondisi kesenjangan distribusi pendapatan
yang terjadi di Propinsi Jawa Tengah, meskipun menunjukkan kecenderungan dengan pola yang
semakin menurun. Untuk group wilayah eks.Karesidenan Kedu dan Surakarta fluktuasi koefisien
within dari tahun 1993 sampai tahun 2005 cenderung mempunyai pola yang relatif stabil.
Eks.Karesidenan Pekalongan dan Pati mempunyai fluktuasi sedang dan eks.Karesidenan Banyumas
dan Semarang mempunyai fluktuasi yang sangat tajam.

(2). Group/ Kelompok BAKORLIN


Persentase koefisien between group BAKORLIN terhadap total disparitas regional di Propinsi
Jawa Tengah dari tahun 1993 sampai tahun 2005 adalah sangat rendah, yaitu berkisar antara 5,86
persen sampai 16,26 persen dengan rata-rata 9,16 persen. Sedangkan sisanya sebesar 90,84
persen merupakan koefisien within dari tiga group BAKORLIN yang ada. Hal itu sangat penting dan
menunjukkan bahwa disparitas justru terjadi di dalam wilayah atau group BAKORLIN, bukan antar
wilayah atau antar group BAKORLIN. Group wilayah BAKORLIN I mempunyai rata-rata koefisien
within tertinggi dibanding dua group wilayah BAKORLIN lainnya yaitu sebesar 43,52 persen, disusul
BAKORLIN III dengan 34,11 persen. Sedangkan BAKORLIN II mempunyai kontribusi rata-rata
koefisien within yang paling kecil sebesar 13,21 persen.

Dari data lapangan terlihat bahwa BAKORLIN I meliputi kabupaten/ kota yang mempunyai
industri-industri besar yang padat modal maupun padat tenaga kerja, antara lain Kota Semarang,
Kota Salatiga, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Kendal. Dengan adanya proses
industrialisasi mendorong aglomerasi baik modal dan tenaga kerja dan dimulailah ketimpangan
pendapatan yang semakin meningkat apabila terjadi praktik pembagian pendapatan yang tidak adil

17
antar faktor-faktor produksi. Demikian pula proses aglomerasi yang semakin padat menimbulkan
berbagai varian dalam distribusi pendapatan yang tidak merata.

Gambar 2 memperlihatkan kontribusi masing-masing koefisien within dari tiga group wilayah
BAKORLIN yang masih relatif rendah bagi kondisi kesenjangan distribusi pendapatan yang terjadi di
Jawa Tengah, dan menunjukkan kecenderungan dengan pola yang semakin menurun, kecuali untuk
wilayah BAKORLIN III yang mempunyai tren meningkat sejak masa krisis ekonomi tahun 1997. Untuk
group wilayah BAKORLIN II fluktuasi koefisien within dari tahun 1993 sampai tahun 2005 cenderung
mempunyai pola yang relatif stabil. Sedangkan wilayah BAKORLIN I mempunyai fluktuasi penurunan
yang cukup tajam dibanding sebelum masa krisis ekonomi.

Gambar 3 Tren Koefisien Within dari 3 BAKORLIN di Jawa Tengah


Tahun 1993 – 2005

50.00

40.00
indeks within (%)

30.00 bakorlin1
bakorlin 2
20.00 bakorlin 3

10.00

-
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Sumber : Data Tabel 2

(3). Kelompok Daerah Kaya - Miskin


Persentase koefisien between group daerah kaya-miskin terhadap total disparitas regional di
Propinsi Jawa Tengah dari tahun 1993 sampai tahun 2005 adalah relatif lebih tinggi, yaitu berkisar
antara 48,33 persen sampai 55,78 persen dengan rata-rata 55,02 persen. Sedangkan sisanya
sebesar 44,98 persen merupakan koefisien within dari daerah kaya dan miskin. Hal itu menjadi
sangat penting dan menunjukkan perbedaan dengan dua group terdahulu dimana disparitas justru
terjadi lebih dominan pada antar group kaya-miskin (between inequality, bukan dalam group kaya-
miskin (within inequality) seperti yang terjadi dari group eks.karesidenan dan group BAKORLIN. Hal
ini berarti kesenjangan lebih dominant disebabkan oleh perbedaan antar group kabupaten/ kota yang
kaya-dan miskin, sedangkan kesenjangan yang terjadi dalam group lebih kecil.

Kabupaten/ kota yang kaya mempunyai rata-rata koefisien within lebih tinggi dibandingkan
dengan group kabupaten/ kota miskin yaitu sebesar 33,41 persen dibandingkan dengan 11,57
persen. Hal itu berarti bahwa dalam group kabupaten/ kota yang kaya mempunyai kesenjangan yang
lebih besar. Besaran PDRB sebagai alat penentu suatu daerah disebut kaya-miskin hanya
mengasumsikan besarnya pertumbuhan ekonomi tanpa melihat pemerataan pendapatan itu sendiri.
Kemakmuran masyarakat suatu daerah selain tergantung pada besar kecilnya pendapatan daerah

18
(PDRB) juga tergantung dari pemerataan pendapatan yang diterima oleh penduduknya. Pendapatan
per kapita hanyalah sebagai patokan sederhana yang dihitung dari total pendapatan dibagi dengan
jumlah penduduknya, dengan asumsi terjadi pemerataan pendapatan yang sempurna bagi setiap
orang di daerah tersebut. Padahal nilai pendapatan per kapita yang dipublikasikan selama ini
hanyalah rata-rata statistik yang masih jauh dari kenyataan terjadinya distribusi pendapatan yang
merata sempurna.

Alisjahbana (2005) menyatakan bahwa di samping antar kabupaten/ kota (between


inequality), maka kesenjangan juga terjadi antara daerah perkotaan dan pedesaan. Daerah
perkotaan lebih berkembang dari segi ekonomi, karena terdapat investasi Negara dan swasta, dan
fasilitas infrastruktur yang terkonsentrasi tinggi. Peluang ekonomi dan fasilitas infrastruktur yang
terdapat di sebuah kota telah menarik lebih banyak orang dari pedesaan dan menambah masalah
urbanisasi. Jika kota-kota gagal dalam mengatasi masalah yang diakibatkan oleh urbanisasi, maka
hal ini akan menciptakan masalah sosioekonomi yang lebih kompleks di perkotaan. Di sisi lain kota
yang mampu mengelola masalah urbanisasi dapat lebih banyak berperan sebagai pusat
pertumbuhan bagi daerah-daerah di sekitarnya (daerah penyangga) dan mengurangi masalah akibat
kesenjangan yang tajam antara perkotaan dan perdesaan.
Gambar 4 di bawah memperlihatkan kontribusi masing-masing koefisien within dari dua
daerah kabupaten/ kota yang kaya-miskin yang masih tinggi bagi kondisi kesenjangan distribusi
pendapatan yang terjadi, meskipun menunjukkan kecenderungan dengan pola yang semakin
menurun. Dalam periode tahun 1993 – 2005 ternyata proporsi yang diberikan oleh daerah kaya dan
daerah miskin terhadap koefisien entropi total relatif stabil dan konstan sepanjang tahunnya.

Gambar 4 Tren Koefisien Within dari 3 Daerah Kaya-Miskin di Jawa Tengah


Tahun 1993 – 2005

40.00
indeks within (%)

30.00

20.00

10.00

-
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

kaya miskin
Sumber : Data Tabel 2

Alisjahbana (2005) menyatakan kesenjangan intra daerah (within inequality) terjadi karena
adanya beberapa kabupaten atau kota yang kaya dengan jumlah penduduk yang terbatas dalam
sebuah propinsi. Kabupaten atau kota ini akan menonjol dalam hal PDRB per kapita relatif terhadap
kabupaten/ kota lainnya dalam propinsi yang sama.Propinsi yang tidak mempunyai kabupaten/ kota
yang menonjol cenderung memiliki kesenjangan yang lebih kecil. Sedangkan faktor-faktor yang

19
mempengaruhi kesenjangan wilayah disebutkan antara lain kepemilikan sember daya alam yang
tidak merata antar daerah, sumber daya manusia (human resources), disparitas gender dalam
pendidikan di sekolah, distribusi asset yang tidak merata dan prioritas kebijakan (policity priorities).
Hasil Pengujian Model
Berdasarkan Tabel 10 tentang Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi Regional dengan
menggunakan model random effect. maka dihasilkan regresi data panel dari variabel-variabel
bebasnya terhadap variabel pertumbuhan ekonomi regional sebagai variabel terikat sebagai berikut :
Tabel 11 Hasil Regresi Data Panel

No Intercept dan Variabel Notasi Koefisien Probabilitas Signifikansi


Bebas
1 Intercept C 12,76853 0,0000 signifikan
2 Entropi Theil Theil 4,159880 0,0000 signifikan
3 Inflasi regional Inflasi -0,000709 0,0005 signifikan
4 Migrasi keluar LnMig 0,016808 0,0000 signifikan
5 Pengeluaran Pemda LnGOVT 0,080000 0,0000 signifikan
R 2 = 0,981111
Sumber : Data diolah

sehingga bentuk umum persamaan dari model estimasi signifikan adalah :


= 12,76853 + 4,159880 - 0,000709 + 0,016808 + 0,080000
Growth Theil Inflasi
................................................................
LnMig
(5)
LnGOVT
Adapun intepretasi hasil estimasi disajikan dalam Tabel 12 di bawah.

Tabel 12 Intepretasi Hasil Estimasi

Notasi Deskripsi
R2 Model memiliki kemampuan untuk menjelaskan variasi pertumbuhan ekonomi
1
regional akibat variabel-variabel bebas sebesar 98,1111%
2 Entropi Mempunyai pengaruh positip dan signifikan sebesar 4,159880 pada tingkat
Theil kepercayaan 99%. Setiap kenaikan 1% dari indeks entropi Theil akan menaikkan
pertumbuhan ekonomi regional sebesar 4,159880%, sedangkan variabel lain
diasumsikan ceteris paribus.
3 Inflasi Mempunyai pengaruh negatif sebesar -0,000709. Setiap kenaikan 1% dari inflasi
akan menurunkan pertumbuhan ekonomi regional sebesar 0,000709%,
sedangkan variabel lain diasumsikan ceteris paribus.
4 LnMig Mempunyai pengaruh positip dan signifikan sebesar 0,016808 pada tingkat
kepercayaan 99%. Setiap kenaikan 1% dari migrasi keluar akan menaikkan
pertumbuhan ekonomi regional sebesar 0,016808%, sedangkan variabel lain
diasumsikan ceteris paribus.
5 LnGovt Mempunyai pengaruh positip dan signifikan sebesar 0,08 pada tingkat
kepercayaan 99%. Setiap kenaikan 1% dari pengeluaran pemerintah daerah akan
menaikkan pertumbuhan ekonomi regional sebesar 0,08%, sedangkan variabel
lain diasumsikan ceteris paribus.
Sumber : Data diolah

20
Berdasarkan Tabel 11 koefisien entropi , , migrasi keluar- dan
pengeluaran pemerintah daerah-
TheilInflasi LnMig
dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi regional.
LnGOVT
Adapun tanda koefisien yang dihasilkan adalah positif untuk entropi , migrasi keluar dan
pengeluaran pemerintah sedang Theil
adalah negatif.
Inflasi
(1). Tingkat ketimpangan (koefisien entropi Theil)

Terdapat keterkaitan yang sangat erat antara pertumbuhan ekonomi dengan distribusi
pendapatan. Hipotesis awal yang menyatakan kesenjangan pendapatan kabupaten/ kota di Jawa
Tengah berpengaruh secara positif atau negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional didapatkan
hasil yang positif signifikan. Sedangkan nilai entropi total dari semua kabupaten/ kota di Propinsi
Jawa Tengah masih relatif rendah dan boleh dikatakan tidak terjadi kesenjangan yang berarti. Hasil
tersebut sesuai dengan Garcia dan Soelistianingsih (1998) yang menemukan bahwa kesenjangan
regional periode 1975-1993 ternyata cukup rendah pada awal-awal periode pertumbuhan.

Sama seperti nilai koefisien Gini yang menyatakan bahwa semakin mendekati nilai nol berarti
berarti semakin tidak ada ketimpangan pendapatan secara sempurna dan semakin nilai koefisiennya
lebih tinggi berarti semakin mendekati ketimpangan pendapatan sempurna, maka koefisien entropi
Theil juga demikian. Semakin tinggi koefisien entropi Theil maka semakin terjadi kesenjangan
pendapatan yang makin parah.

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan distribusi pendapatan yang


bertanda positif sesuai dengan hipotesa Kuznets bahwa pada tahap-tahap awal pembangunan,
semakin baik distribusi pendapatan akan diikuti dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi.

Gambar 5 Kurva Kuznets

indeks
ketimpangan

GNP per kapita


Barro (1999) menyatakan bahwa data panel yang meliputi banyak negara menunjukkan
adanya hubungan yang lemah antara laju pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan. Untuk
pertumbuhan ekonomi, terdapat indikasi bahwa ketimpangan memperlambat pertumbuhan di negara
miskin, tetapi mendorong pertumbuhan di negara kaya (Barro, 1999). Penelitian Kristin J. Forbes
(2000) dengan menggunakan data panel yang cukup besar menemukan bahwa ketimpangan
pendapatan dengan pertumbuhan mempunyai hubungan yang positif.
Indeks entropi Theil yang rendah di Propinsi Jawa Tengah, berkisar antara 0,5995-0,6605
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapatan yang terlalu jauh antar kabupaten/ kota di
Propinsi Jawa Tengah. Laju pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/ kota masih dipandang
relatif seimbang meski menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Hanya terdapat 11 kabupaten/
kota yang pendapatan per kapitanya di atas pendapatan per kapita rata-rata, sedangkan 24
kabupaten/ kota lainnya masih tergolong dibawah pendapatan per kapita rata-rata. Hal tersebut
mengakibatkan pencapaian hasil pembangunan ekonomi kabupaten/ kota menjadi berbeda-beda

21
pula. Kabupaten/ kota Propinsi Jawa Tengah dikelompokkan menjadi empat kuadran menurut PDRB
per kapita dan pertumbuhan ekonominya. Kuadran (I) dengan PDRB perkapita yang rendah tetapi
pertumbuhan ekonomi tinggi (Kabupaten Kebumen, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Tegal dan
Kota Tegal). Kuadran (II) mempunyai PDRB per kapita yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi tinggi
(Kabupaten Cilacap dan Kota Surakarta). Kuadran (III) dengan PDRB per kapita yang tinggi tetapi
pertumbuhan ekonomi rendah (Kabupaten Kudus, Kabupaten Kendal, Kota Magelang, Kota Salatiga,
Kota Semarang dan Kota Pekalongan). Sedangkan kuadran (IV) adalah PDRB per kapita rendah dan
pertumbuhan ekonomi rendah (Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten
Banjarnegara, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten
Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen,
Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara,
Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang, Kabupaten
Pekalongan, Kabupaten Pemalang dan Kabupaten Brebes).

(2). Inflasi Regional


Koefisien dari variabel bebas inflasi hasil regresi mempunyai tanda negatif signifikan dan
sesuai dengan salah hipotesa awal.

Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang mempunyai dampak yang luas terhadap makro
ekonomi, termasuk pertumbuhan ekonomi. Mankiw (2000) menyatakan bahwa inflasi merupakan
kenaikan dalam keseluruhan tingkat harga, sedangkan Dornbusch et.al (2004) menyatakan bahwa
inflasi adalah persentase kenaikan harga tingkat umum.

Laju inflasi menunjukkan stabilitas harga yang merupakan ukuran keberhasilan ekonomi
makro suatu negara. Inflasi yang tinggi biasanya ditengarai memiliki efek negatif bagi perekonomian
sebab inflasi yang tinggi akan mengganggu mobilisasi dana domestik dan tingkat investasi. Prospek
pembangunan ekonomi jangka panjang akan memburuk jika terjadi inflasi yang tinggi yang tidak
dikendalikan, sebab akan mengurangi investasi produktif, mengurangi eksport dan menaikkan impor
barang sehingga akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Secara umum rumah tangga dan
perusahaan akan memiliki kinerja yang buruk ketika terjadi inflasi tinggi (hiperinflasi) dan tidak dapat
diprediksikan.

Sukirno (1994) menggolongkan inflasi atas dasar sebab terjadinya menjadi dua macam, yaitu
inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) dan inflasi desakan biaya (cost push inflation).
Demand pull inflation yaitu inflasi yang timbul karena adanya permintaan masyarakat (demand side)
akan berbagai barang terlalu kuat dimana permintaan masyarakat ini tidak bisa diimbangi dengan
tersedianya barang yang disediakan oleh perekonomian, sehingga akan mengakibatkan perpindahan
kurva permintaan agregat (agregat demand=AD) naik dan mendorong kenaikan harga-harga.
Perusahaan-perusahaan akan beroperasi pada kapasitas yang maksimal sehingga berdampak positif
dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Sebaliknya cost push inflation adalah inflasi yang timbul karena adanya kenaikan biaya
produksi (suplai side). Pertambahan biaya produksi akan mendorong perusahaan-perusahaan untuk
menaikkan harga atas barang yang diproduksi walaupun mereka menghadapi ancaman resiko
pengurangan permintaan atas barang-barang yang diproduksi tersebut. Tindakan ini akan
mengakibatkan perpindahan kurva penawaran agregat (agregat suplai=AS) ke atas sehingga
mengakibatkan harga-harga naik tetapi outputnya justru menurun dan berdampak negatif.

22
Badan Pusat Statistik (2005) menyatakan bahwa tingkat inflasi yang berfluktuasi tinggi
menggambarkan besarnya ketidakpastian nilai uang, tingkat produksi, distribusi dan arah
perkembangan ekonomi sehingga dapat menimbulkan ekspetasi keliru dan manipulasi yang dapat
membahayakan perekonomian secara keseluruhan. Sebaliknya inflasi yang rendah juga tidak
menguntungkan perekonomian karena menggambarkan rendahnya daya beli dan permintaan
masyarakat akan barang dan jasa yang pada gilirannya memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Sukirno (1994) mengatakan bahwa inflasi yang sangat lambat berlakunya dipandang sebagai
stimulator dan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu kenaikan harga-harga yang
tidak segera diikuti oleh kenaikan upah pekerja sehingga keuntungan akan bertambah. Pertambahan
keuntungan akan menggalakkan investasi di masa mendatang dan ini akan mewujudkan percepatan
dalam pertumbuhan ekonomi.

Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah telah mengindentifikasi laju inflasi pada empat
lokasi kota terpilih sebagai gambaran umum laju inflasi yang terjadi setiap saat. Dari keempat kota
tersebut dapat digeneralisasikan laju inflasi yang terjadi di sebuah kabupaten/ kota yang berdekatan
regionnya. Keempat kota tersebut adalah Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Purwokerto dan Kota
Tegal. Dari data yang diperoleh di lapangan dibuat gambaran tren inflasi dari empat kota pada kurun
waktu tahun 1993 sampai tahun 2005 yang hasilnya disajikan dalam gambar 5.6 di bawah.

Gambar 6 Trend Laju Inflasi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 1993 – 2005

70.00
laju inflasi (%)

45.00

20.00

(5.00)
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

tahun
semarang surakarta purwokerto tegal

Terlihat bahwa tren inflasi di empat kota relatif sama. Keadaaan menyolok terjadi pada tahun
1998 ketika terjadi krisis ekonomi. Inflasi empat kota mencapai angka yang tinggi antara 66,38% di
Kota Surakarta sampai 80,39% di Kota Purwokerto. Selebihnya di luar tahun tersebut laju inflasi
kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah berfluktuasi stabil dan dapat dikendalikan. Laju inflasi yang
terjadi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2004 sebesar 5,98% dan pada tahun 2005 meningkat menjadi
16,46%, namun masih lebih rendah dibanding laju inflasi nasional yang mencapai 17,11% (BPS,
2005). Laju inflasi tersebut termasuk dalam tingkat inflasi sedang (Boediono, 1982).

(3). Migrasi Keluar


Migrasi keluar merupakan migrasi pekerja dengan mutu modal manusia yang rendah dari
daerah miskin ke daerah kaya akan memberikan efek positif bagi tingkat pertumbuhan ekonomi
daerah asal migran dan memberikan efek negatif bagi penerimanya (Wibisono, 2003). Dalam

23
penelitian ini migrasi keluar (transmigrasi) diprediksi memiliki arah positip, dan hasilnya adalah positif
signifikan juga.

Kecenderungan migrasi yang terjadi di Indonesia adalah tenaga kerja terdidik dari luar Jawa
umumnya pindah ke Pulau Jawa, sebaliknya migran yang keluar dari Jawa adalah tenaga kerja yang
berpendidikan rendah para transmigran. Angka koefisien migrasi yang positif menunjukkan bahwa
migrasi keluar dengan nyata ikut memainkan peranan bagi pertumbuhan ekonomi regional.

(4). Pengeluaran Pemerintah Daerah


Pengeluaran pemerintah relatif penting berperan dalam sektor perekonomian dan
pertumbuhan ekonomi (Dar and Amir Khalkhali, 2002). Pengeluaran pemerintah daerah yang tidak
efisien tidak akan memperbaiki produktivitas perekonomian daerah. Semakin besar pengeluaran
pemerintah yang tidak produktif, maka semakin besar tingkat pertumbuhan ekonomi yang akan
berkurang (Wibisono,2003).
Konsumsi pemerintah daerah dalam penelitian ini terlihat memiliki efek positif signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kepercayaan lebih dari 99%.
.Sukirno (1994) menyatakan bahwa dalam setiap perekonomian terdapat beberapa jenis
pendapatan dan pengeluaran yang akan secara otomatik menciptakan kestabilan pada
perekonomian yang disebut kebijakan fiskal penstabilan otomatik (automatic stabilizer). Tanpa
adanya automatic stabilizer perubahan akan menjadi lebih besar atau bahkan menjadi lebih kecil.
Dengan adanya penstabil otomatik maka gerak naik turun perekonomian diperkecil sehingga
mengurangi konjungtur perekonomian yang terjadi dari waktu ke waktu. Automatic stabilizer terkait
nilai pertambahan output
()∆Y
akibat adanya pengeluaran pemerintah sehingga besarnya menjadi
lebih kecil dari pertambahan output yang diharapkan.
()∆Y
Gambar 7 Rata-Rata Proporsi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota
Propinsi Jawa Tengah Periode 1993-2005.

12
rerata proporsi govt (%)

10
8
6
4
2
0
o
Ka ebu a

b. R rang

em g
Se ndal
b. D a

l
Ka . Wo en
urb ap

Ka ang
Ko b. K k

Ko bes
ara arjo

Ka lang
b. B g

Su yar
Ka . Suk lali

ga
em s ob

Ka udu
Ka k art
b. K gg

b. P tan
Ka m a
Ka gun
m
b. P lac

Te
o

Ko ngan
Ka alin

re
b
b. K oh

Ka b. Ba
a
oy

a
e
b. T no

b. K
ra
g

em
Ka b. Ci

b. B

ta
an
Ka

ta

ta
b
b

Ka
Ka

Gambar 7 memperlihatkan rata-rata proporsi pengeluaran pemerintah daerah kabupaten/


kota periode 1993-2005. Apabila dilihat proporsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB-nya
selama kurun waktu tahun 1993–2005 menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran pemerintah daerah
mempunyai rata-rata sebesar 1,3 persen (Kabupaten Cilacap) sampai 11,0 persen (Kota Tegal) serta

24
rata-rata keseluruhan sebesar 6,4 persen, masih dibawah 12 persen seperti yang dikatakan Anaman
(2004). Anaman (2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah
yang terlalu kecil proporsinya akan merugikan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang
proporsional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah yang terlalu
boros akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Dampak negatif oleh pengeluaran pemerintah
dihasilkan oleh daerah-daerah yang memiliki proporsi pengeluaran pemerintah terhadap GDP-nya di
atas 12 persen, sedang dampak positif dihasilkan oleh daerah-daerah yang memiliki proporsi
pengeluaran pemerintah terhadap GDP-nya di bawah 12 persen.
Gambar 8 Rata-rata Laju Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota
Propinsi Jawa Tengah Periode 1993-2005.

40
rerata laju govt (%)

30

20

10

0
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu kebijakan fiskal selain pajak yang kedua-
duanya dapat bersifat ekspansif atau kontraktif. Perubahan kebijakan fiskal yang ditetapkan
pemerintah mempengaruhi level output melalui perubahan kurva IS melalui peningkatan permintaan
agregat. Dikatakan ekspansif apabila membuat kurva IS bergeser ke kanan sehingga akan
meningkatkan output perekonomian, antara lain melalui peningkatan pengeluaran pemerintah atau
pemotongan pajak. Gambar 8 menunjukkan rata-rata laju pengeluaran pemerintah daerah dari
kabupaten/ kota periode 1993-2005. Terlihat bahwa laju pengeluaran konsumsi pemerintah terendah
terjadi pada tahun 2004 sebesar 7,4 persen sedangkan laju pengeluaran pemerintah daerah tertinggi
dicapai tahun 1998 ketika terjadi krisis ekonomi sebesar hampir 40,1 persen.

5.2.2. Efek Individu Kabupaten/ Kota


Apabila variabel-variabel bebas tidak mengalami perubahan, maka masing-masing
kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda.
Tingkat pertumbuhan yang berbeda tersebut merupakan selisih dari pertumbuhan masing-masing
kabupaten/ kota dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi semua kabupaten/ kota di Propinsi Jawa
Tengah.
Tabel 13 Efek Individu Kabupaten/ Kota
Selisih thd Selisih thd
No Kab/ Kota Rata-Rata No Kab/ Kota Rata-Rata
Pertumbuhan Pertumbuhan

25
1 Kabupaten Kudus 1.054296 19 Kabupaten Pati -0.104860
2 Kota Magelang 0.831472 20 Kabupaten Rembang -0.118597
3 Kota Pekalongan 0.706991 21 Kabupaten Banjarnegara -0.187519
4 Kota Surakarta 0.654384 22 Kabupaten Klaten -0.192163
5 Kota Semarang 0.625065 23 Kabupaten Magelang -0.200478
6 Kabupaten Cilacap 0.575258 24 Kabupaten Demak -0.211244
7 Kota Salatiga 0.484475 25 Kabupaten Sragen -0.286732
8 Kabupaten Semarang 0.391075 26 Kabupaten Blora -0.428441
9 Kabupaten Karanganyar 0.376238 27 Kabupaten Wonosobo -0.432079
10 Kabupaten Kendal 0.357562 28 Kabupaten Brebes -0.437826
11 Kabupaten Sukoharjo 0.304179 29 Kabupaten Wonogiri -0.438863
12 Kota Tegal 0.128808 30 Kabupaten Purbalingga -0.485490
13 Kabupaten Boyolali 0.089607 31 Kabupaten Banyumas -0.513791
14 Kabupaten Jepara 0.022940 32 Kabupaten Pemalang -0.531056
15 Kabupaten Pekalongan -0.006583 33 Kabupaten Kebumen -0.573961
16 Kabupaten Batang -0.047061 34 Kabupaten Tegal -0.611992
17 Kabupaten Purworejo -0.060300 35 Kabupaten Grobogan -0.655229
18 Kabupaten Temanggung -0.078088
Sumber : Data diolah
Dari tabel 13 di atas terlihat bahwa Kabupaten Kudus memiliki selisih terbesar positip dengan
rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota se-Propinsi Jawa Tengah. Periode tahun 1993–
2005 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kudus paling tinggi, sedang Kabupaten Grobogan
mempunyai pertumbuhan ekonomi yang paling rendah. Terdapat 14 kabupaten/ kota yang
pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota, ditandai dengan nilai
koefisien yang positif, antara lain Kabupaten Kudus, Kota Magelang, Kota Pekalongan, Kota
Surakarta, Kota Semarang, Kabupaten Cilacap, Kota Salatiga, Kabupaten Semarang, Kabupaten
Karanganyar, Kabupaten Kendal, Kabupaten Sukoharjo, Kota Tegal, Kabupaten Boyolali, Kabupaten
Jepara. Sisanya sebanyak 21 daerah kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah mempunyai
pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi semua kabupaten/ kota di Jawa
Tengah.
Meskipun Kabupaten Cilacap atau Kota Semarang mempunyai nilai PDRB per kapita yang
paling besar dibanding dengan PDRB per kapita kabupaten/ kota lainnya, namun terlihat bahwa kota
Magelang dan Kota Surakarta mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dibanding
Kabupaten Cilacap dan Kota Semarang. Hal itu sesuai dengan temuan Garcia dan Soelistianingsih
(1998) yang menyatakan bahwa daerah dengan pendapatan per kapita yang lebih kecil justeru
memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dalam rangka mengejar (catch up)
ketertinggalannya dengan daerah lain sehingga akan terjadi konvergensi .
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Berbagai analisis disparitas pendapatan regional menggunakan indeks entropi Theil baik
pembagian atas group eks.karesidenan, group BAKORLIN maupun group daerah kaya-miskin
menemukan bahwa koefisien entropi total kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah berkisar
antara 0,5995 – 0,6605. Hal itu berarti kesenjangan yang terjadi masih relatif rendah.
Sedangkan indeks kesenjangan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah pada periode tahun
1993 – 2005 terus mengalami peningkatan dan mempunyai tren yang naik. Indeks entropi Theil
yang rendah di Propinsi Jawa Tengah, berkisar antara 0,5995-0,6605 menunjukkan bahwa

26
tidak terdapat perbedaan pendapatan yang terlalu jauh antar kabupaten/ kota di Propinsi Jawa
Tengah. Laju pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/ kota masih dipandang relatif
seimbang meski menunjukkan kecenderungan yang meningkat.

2. Group eks.karesidenan dan group BAKORLIN mempunyai koefisien entropi within yang lebih
tinggi dibanding koefisien between, artinya bahwa kondisi kesenjangan yang terjadi di antar
wilayah eks.karesidenan dan BAKORLIN ternyata lebih kecil dibanding kesenjangan yang
terjadi di dalam wilayah eks.karesidenan dan BAKORLIN itu sendiri. Sebaliknya group daerah
kaya-miskin mempunyai koefisien between yang lebih tinggi dari koefisien within yang artinya
bahwa kondisi kesenjangan yang terjadi di antar derah kaya-miskin ternyata lebih besar
dibanding kesenjangan yang terjadi di dalam daerah kaya-miskin itu sendiri.

3. Koefisien entropi Theil memiliki pengaruh positif signifikan sebesar 4,15988 pada tingkat
kepercayaan 99%. Hal itu berarti bahwa setiap kenaikan 1% indeks entropi akan menaikkan
pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah sebesar 4,15988%.

4. Tingkat inflasi regional memiliki pengaruh negatif sebesar -0,000709 pada tingkat kepercayaan
99%. Hal itu berarti bahwa setiap kenaikan 1% tingkat inflasi akan menurunkan pertumbuhan
ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah sebesar 0,000709%. Dampak inflasi tersebut
menunjukkan terjadinya cost push inflation yaitu inflasi yang timbul karena adanya kenaikan
biaya produksi (suplai side). Pertambahan biaya produksi akan mendorong perusahaan-
perusahaan untuk menaikkan harga atas barang yang diproduksi walaupun mereka
menghadapi ancaman resiko pengurangan permintaan atas barang-barang yang diproduksi
tersebut. Tindakan ini akan mengakibatkan perpindahan kurva penawaran agregat ke atas
sehingga mengakibatkan harga-harga naik tetapi outputnya justru menurun dan berdampak
negatif.

5. Migrasi keluar memiliki pengaruh positif signifikan sebesar 0,016808 pada tingkat kepercayaan
99%. Hal itu berarti bahwa setiap kenaikan 1% migrasi keluar akan menaikkan pertumbuhan
ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah sebesar 0,016808%. Migrasi keluar oleh para
pekerja dengan mutu modal manusia yang rendah dari kabupaten/ kota memberikan efek
positif bagi tingkat pertumbuhan ekonomi regional kabupaten/ kota yang ditinggalkan, terkait
dengan kinerja dan produktivitas migran keluar.

6. Pengeluaran pemerintah kabupaten/ kota memiliki pengaruh positif signifikan sebesar 0,08
pada tingkat kepercayaan 99%. Hal itu berarti setiap kenaikan 1% pengeluaran pemerintah
kabupaten/ kota akan menaikkan pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Tengah
sebesar 0,08%. Dalam hal ini pengeluaran pemerintah menjadi fungsi fiskal stimulus yang
cukup optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

7. Terdapat 14 kabupaten/ kota yang pertumbuhan ekonominya lebih besar dari rata-rata
pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah, sedang 21 kabupaten/ kota
lainnya mempunyai rata-rata yang lebih rendah.

Keterbatasan Studi
1. Pengukuran entropi kesenjangan yang dilakukan penulis hanya dengan indeks Theil,
sedangkan masih banyak indeks entropi kesenjangan lain. Oleh karenanya perlu mengadakan
komparasi dengan melakukan pengukuran disparitas melalui indeks kesenjangan selain Theil.

27
2. Masih banyak faktor/ variabel lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sehingga
apabila ditambahkan menjadi variabel bebas maka akan kemungkinan akan memberikan hasil
yang lebih baik dan dapat menghasilkan model estimasi yang lebih mencerminkan keadaan
yang sebenarnya.

3. Model estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model linier, sehingga perlu
dilakukan dengan model lain yang tidak linier untuk mendapatkan gambaran pertumbuhan
ekonomi yang lebih tepat.

4.1 Saran

1. Pemerintah kabupaten/ kota diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional


tanpa harus memperbesar kesenjangan distribusi pendapatan. Demikian juga selalu
mengadakan pengkajian terhadap besaran kesenjangan yang terjadi di daerahnya untuk
pengambilan kebijakan yang lebih komprehensif.

2. Pemerintah kabupaten/ kota diharapkan mampu mempertahankan tingkat inflasi yang rendah,
stabil dan dapat dikendalikan, karena semakin tidak stabilnya laju inflasi akan mengurangi
kepercayaan pasar untuk berinvestasi sehingga dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi
regional.

3. Pemerintah kabupaten/ kota diharapkan mampu mengalokasikan anggaran untuk belanja


pemerintah yang proporsional sehingga mampu memberikan efek positif terhadap
pertumbuhan ekonomi regional, suatu alokasi anggaran belanja pemerintah yang tidak
terkesan boros ataupun pelit.

4. Pemerintah kabupaten/ kota diharapkan mampu menumbuhkan dan memelihara sikap


kompetitif dan kooperatif antar daerah, sehingga pada saat perekonomian sedang sulit seperti
krisis ekonomi maka dapat saling bahu membahu mengatasinya secara bersama-sama.

DAFTAR PUSTAKA

Achjar Nuzul. 2006. “ Diktat Kuliah Ekonomi Regional : Disparitas Regional. Pascasarjana Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro.

Akita, Takahiro dan Rizal A. Lukman. “Interregional Inequalities in Indonesia : A Sektoral


Decomposition Analysis for 1975 – 1992” Bulletin of Indonesia Economic Studies, 1995.
Vol.31(2).

Akita, Takahiro dan Rizal A. Lukman. “Spatial Patterns of Expenditure Inequalities in Indonesia :
1987, 1990 and 1993” Bulletin of Indonesia Economic Studies, August 1999. Vol.35(2).

Anaman, K.A., 2004. Determinant of Economic Growth in Brunei Darussalam, Journal of Asian
Economics 15, 777-796.

28
Bappenas. 2006. Bappenas Official Website : Perkembangan Ekonomi Indonesia.

Barro, R.J. 1999. Inequality, Growth and Investment . NBER Working Paper (online) 7038. Available :
http:\//www.nber.org/papers/w708.

Barro, Robert J and Xavier Sala-i-Martin. “Convergence” The Journal of Political Economiy, April
1992. Vol.100, pp.223-251.

Boediono, 1982. Ekonomi Makro. BPFE-UGM, Yogyakarta.

BPS dan Bappeda Kabupaten Kebumen, 2003. Studi Ketimpangan Distribusi Penduduk Tahun 2003.

BPS dan Bapeda Propinsi Jawa Tengah. 2005. Jawa Tengah Dalam Angka. Semarang

Dar, A.A. and S. Amir Khakhali, 2002. Government size, factor accumulation, ang economis growth :
evidence from OECD countries, Journal of Policy Modeling 24, 679 - 692.

Dornbusch R, Stanley Fischer dan Richard Startz, 2000. Makroekonomi, edisi keempat. PT. Media
Global Edukasi, Jakarta.

Etharina. ”Disparitas Pendapatan Antardaerah di Indonesia” Jurnal Kebijakan Ekonomi, Agustus


2005, I(1), hal.59-74.

Forbes, Kristin J. 2000. A Reassessment of The Relationship Between Inequality and Growth, The
American Economic Review.

Garcia, Jorge Garcia and Lana Soelistianigsih “Why Do Differences in Provincial Income Persist in
Indonesia?” Bulletin of Indonesia Economic Studies, 1998. Vol.34(2) pp.95-102.

Kuncoro, 2004. Adakah Perubahan Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur di Indonesia, 1976-
2001?. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol.19 No.4, Oktober 2004.

Mankiw. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Nachrowi , Nachrowi J. dan Usman, Hardius. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometri. : Pendekatan
Populer dan Praktis dilengkapi Teknik Analisis dan Pengolahan Data dengan Menggunakan
Paket Program SPSS Ed-1, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Puspita, Klarawidya. “Pengaruh Distribusi Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Propinsi di


Indonesia 1993-2002”. Depok, Universitas Indonesia, 2006.

Santoso, Bambang H. “ The Role of The Government in Provincial Economic Growth in Indonesia :
Some Evidence from Cross Section and Time Series Data.

Setyowati, E., Rianasari Damayanti, Subagyo, Rudi Badrudin, Suryawati K, Algifari, Haryono
Subiyakto, Sri Fatmasari, Astuti Purnamawati. 2000. Ekonomi Makro : Pengantar. STIE
Yayasan Keluarga Pahlawan Negara. Yogyakarta.

29
Sigit, H. 1990. Masalah Penghitungan Distribusi Pendapatan Indonesia, Prisma. Jakarta, Januari.

Sukirno, S. 1994. Pengantar Teori Makroekonomi edisi kedua. PT. rajawali Grasindo Persada.
Jakarta.

Syaparuddin. 2003. Advance Makroeconomics : Intisari dari Buku Advanced Macroeconomis David
Romer. Program Pasca sarjana Universitas Padjajaran Bandung.

Tambunan, Tulus. 2001, Perekonomian Indonesia : Teori dan Temuan Empiris. Penerbit PT. Ghalia
Indonesi, Jakarta.

Tasrif, M.A. 2006. Determinan Struktur Parsial. Bahan Asistensi Ekonomi Regional PPS IE FEUI
Program Bappenas.

Terrasi, Marinella. “Convergence and Divergence Across Italian Regions, The Annals of Regional
Science, Spinger Verlag.

Wibisono, Yusuf. ”Konvergensi di Indonesia: Beberapa Temuan Awal dan Implikasinya” Jurnal
Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Januari 2003, Vol.51, hal.53-82.

Wibisono, Yusuf. ”Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Regional : Studi Empiris Antar Propinsi di
Indonesia, 1984-2000” Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Januari 2005, Vol.02,
hal.91-120

30

You might also like