Professional Documents
Culture Documents
Oleh: IsanNajmi
Kenaikan Tarif Dasar Listrik akan diberlakukan terhitung 1 Juli 2010. Hal ini menimbulkan
banyak pertanyaan terkait keputusan tersebut. Pasalnya akar permasalahan serta maksud
dari penaikan TDL ini belum juga tersosialisasikan dengan baik di tengah masyarakat.
Kenaikan tarif dasar listrik menjadi sebuah ironi di tengah melimpahnya sumber energi di
Indonesia.
Berdasarkan perhitungan subsidi listrik RAPBN perubahan 2010 Biaya Pokok Penyediaan
tenaga listrik adalah 144,35 triliun. Tingkat pendapatan yang dibutuhkan adalah sebesar
155,90 triliun. Sedangkan pendapatan dari penjualan tenaga listrik hanya sekitar 95,8 triliun.
Sehingga, masih dibutuhkan dana sekitar 60 triliun untuk menutupi kekurangan biaya
tersebut. Namun, alokasi dana dari APBN perubahan 2010 hanya sekitar 55,15 triliun. Maka
masih terdapat biaya yang belum tertutupi jika hanya mengandalkan alokasi dana dari
APBN. Lalu apakah dengan mempertahankan angka alokasi subsidi untuk listrik merupakan
langkah yang tepat sasaran untuk mensejahterakan rakyat? Dan apakah kenaikan TDl
merupakan solusi yang tepat?
Pengendalian subsidi
Subsidi secara umum dipahami sebagai suatu bantuan keuangan yang diberikan oleh
pemerintah dalam bentuk pengeluaran/pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah kepada
institusi rumah tangga ataupun swasta yang ditujukan untuk menggerakkan konsumsi 1.
Yang perlu kita perhatikan dalam hal ini adalah prinsip kehati-hatian dalam
mengeluarkannya. Dampak negatif subsidi yang diwaspadai adalah adanya distorsi
perekonomian yang selanjutnya hanya akan menghasilkan kondisi ekonomi berbiaya
tinggi. Hal ini disebabkanoleh harga barang yang akan terus merangkak naik sebagai
respon dari permintaan barang yang meningkat. Pada akhirnya ketika harga sudah tidak
terkendali maka akan terjadi inefisiensi dalam anggaran. Padahal selain melakukan proteksi
pada kesejahteraan masyarakat, Negara pun harus mendewasakan masyarakat dengan
menghantarkan masyarakat dalam realitas secara bertahap dan proporsional tanpa
mencederai hak-haknya. Terutama bagi mereka yang memang belum mampu.
Saat ini negara telah menghabiskan hampir sepertiga APBN untuk subsidi dan membayar
bunga utang. Pada tahun 2010 Anggaran belanja Negara2 adalah sebesar 1.126 Trilyun
rupiah dan terjadi defisit dalam perbandingan anggaran dan pendapatan negara sebesar
133 Trilyun Rupiah. Ironisnya, 201 Trilyun rupiah dihabiskan untuk subsidi. Hal itu terdiri
dari Subsidi BBM dan LPG 90 trilyun Rupiah, listrik 55 trilyun Rupiah, dan lain-lain. Jika
subsidi ini tidak dikendalikan bagaimana pemrintah dapat memenuhi kebutuhan pokok
1
Samuelson dan Nordhaus, 2001: 777
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-undang
nomor 47 Tahun 2009 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010
rakyat lainnya? Misalnya untuk pendidikan dan kesehatan. Untuk itu memang dibutuhkan
kebijaksanaan Pemerintah untuk mengalokasikan anggaran sehingga lebih tepat sasaran.
PT PLN Persero adalah Perusahaan negara yang selalu menyumbangkan kerugian finansial
kepada negara. Dengan diterapkannya kebjakan pemrintah untuk mengurangi subsidi listrik,
kondisi keuangan PLN tidak akan sanggup jika menjalani manajemen yang sama seperti
saat ini. Dengan demikian diajukanlah usulan untuk menaikkan tarif dasar listrik. Pemerintah
melalui Kementerian ESDM bersama-sama dengan komisi VII DPR minus Fraksi PKS dan
PDIP telah menyetujui kenaikan TDL yang berlaku per 1 Juli mendatang. Berikut rincian
kenaikan TDL baru yang bakal diterima pelanggan listrik per 1 Juli 2010 mendatang:
Kenaikan TDL hanya diberlakukan untuk Pelanggan yang memasang daya lebih dari
900VA. Kebijakan ini ditempuh oleh pemerintah dengan asumsi bahwa pengguna daya 450
VA dan 900 VA adalah golongan menengah ke bawah yang layak menerima subsidi dan
patut diproteksi. Namun apakah mereka yang tidak mampu adalah pengguna daya 450 dan
900 VA saja?
Kekhwatiran lainnya adalah multiplier effect di sektor industri dan perekonomian. Naiknya
harga listrik sebagai kebutuhan pokok sebuah industri akan memicu peningkatan inflasi.
Bank Indonesia memprediksi kenaikan tarif dasar listrik yang sudah disetujui Dewan
Perwakilan Rakyat akan memicu inflasi berada pada kisaran 5 persen. Angka inflasi tersebut
masuk ke dalam golongan inflasi ringan. Jadi, secara umum penurunan nilai mata uang
tidakakan terjadi dengan singnifikan. Bahkan kadang inflasi ringan dapat membawa
kebaikan, yaitu dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan
nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan
investasi. Dengan catatan bahwa bank Indonesia mampu memerankan fungsinya dengan
baik sebagai Bank sentral untuk mengendalikan inflasi dan harga-harga.
Jika kita melihat dalam kacamata yang luas seperti di atas, tentu saja tidak banyak masalah
yang terlihat. Tapi jika analisis tersebut kita detailkan, akan ada banyak konflik yang sangat
mungkin terjadi selama proses inflasi tersebut. Dalam hal ini industri kecil dan menengah.
Jika harga listrik dinaikkan maka biaya produksi akan meningkat pula, belum lagi jika
dikalkulasikan dengan kenaikan bahan baku lainnya akibat kenaikan listrik. Otomatis para
pelaku pelaku industri pun harus menaikkan harga jual barang. Hal ini akan berulang
berkali-kali lipat dari produksi hulu hingga hilir hingga ke tangan konsumen puncak dengan
inflasi sebesar 5 %. Namun apakah mekanisme tersebut dapat berlaku dengan ideal? Belum
tentu semua industri akan bertahan menghadapi kenaikan harga. Belum tentu pendapatan
akan bertambah pula. Perlu kita ingat bahwa kita telah memasuki era perdagangan bebas
(ACFTA), pemerintah telah melepaskannya pada mekanisme pasar. Kecil kemungkinan
industri kecil dan menengah lokal mampu bersaing dengan produk-produk impor yang akan
tetap murah karena di negara asalnya tidak ada kenaikan bahan pokok.
Berdasarkan amanat UUD 1945 pasal 33, Negara wajib menguasai kekayaan alam untuk
dimanfaatkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian kepentingan rakyat
Indonesia adalah poin utama yang harus diperhatikan. Indonesia sendiri merupakan negara
berkembang yang tingkat kemiskinannya masih tinggi,selain itu pengembangan usaha kecil
dan menengah menjadi salah satu perhatian utama. Mengingat hal tersebut pengadaan
energi listrik yang terjangkau, berkelanjutan dan efisien tentu saja menjadi sangat penting.
Indonesia dalah negara yang kaya. Selain memiliki potensi energi fosil, Indonesia juga
memiliki potensi energi nonfosil yang cukup besar dan beragam. Melihat potensi Sumber
daya Energi yang ada di Indonesia, rasanya tidak masuk akal jika kita terjerat dalam krisis
energi. Apalagi jika rakyatnya tidak memiliki akses yang cukup terhadap energi.
PRODUKSI
CADANGAN Potensial
ENERGI FOSIL SUMBER DAYA
Terbukti (Probable+Possible)
(per Tahun)
Minyak Bumi 56,6 miliar barel 3,7 miliar barel 4,5 miliar barel 357 juta barel
Batubara 104,5 miliar ton 5,5 miliar ton 13,3 miliar ton 229,2 juta ton
KAPASITAS
ENERGI NON FOSIL SUMBER DAYA SETARA
TERPASANG
Kenaikan Tarif Dasar Listrik yang akan diberlakukan 1 Juli 2010 menjadi sangat
membingungkan ditengah potensi yang dimiliki Indonesia. Padahal dapat saja pemerintah
mengusahakan efisiensi dalam investasi Pembangkit Listrik, Sistem transmisi dan distribusi
listrik dengan menggunakan Energi primer yang terjangkau dan penguasaan teknologi.
Selain itu ditunjang pula dengan perawatan yang baik. Saat ini PLN sebagai perusahaan
yang diamanahkan oleh negara justru mengalami berbagi kerugian akibat dominasi Bahan
bakar minyak sebagai energi primernya. Bahan bakar minyak, selain harganya relatif lebih
mahal juga sangat fluktuatif. Indonesia pun bukanlah negara yang menghasilkan minyak
dalam jumlah yang besar, bukan seperti negara-negara di Timur Tengah.
Saat ini, PLN sudah memiliki pembangkit dngan sistem dual firing dengan kapasitas
6500MW. Bila dioperasikan dengan Gas (Harga USD 5,5/MMBTU) Biaya Operasinya adalah
Rp. 8,5 Trilyun/Thn. Sedangkan bila dioperasikan dengan Minyak/BBM (Dengan Asumsi
Minyak USD 95/Barrel) Biaya Operasinya adalah Rp. 81 Trilyun//thn. Artinya, jika
pembangkit itu dioptimakan dengan menggunakan gas, kita dapat menghemat Rp. 72,5
Trilyun/thn. Dengan demikian dana subsidi yang dialokasikan untuk listrik dapat dialirkan
untuk kebutuhan lainnya,seperti pendidikan atau kesehatan.
Namun untuk menyediakan gas tersebut kita justru terhambat oleh kebijakan sendiri. Dalam
UU no.22 tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas, pasal 22, diatur tentang bahwa Badan
Usaha yang memproduksi minyak dan gas hanya wajib menyediakan 25 % dari produksinya
tersebut untuk kebutuhan Domestik, sisanya akan di ekspor. Kebutuhan dalam negeri jelas
sangat jauh di atas angka tersebut sehingga terpaksa melakukan impor. Untuk kebutuhan
gas domestik pemerintah belum mampu memenuhinya, sehingga banyak pabrik pupuk
yangg tutup akibat tidak terpenuhinya pasokan gas. Hal ini terjadi pula di PLN yang
sebenarnya lebih efisien jika menggunakan gas, tidak pernah dijamin ketersediaan energi
primernya.
Kondisi keuangan PLN selalu tidak sehat, selalu rugi. Terlepas dari permaslahan birokrasi di
tubuh PLN sendiri (baca: korupsi), PLN memang dibuat untuk terus merugi. Bagaimana
tidak? Selama ini PLN membeli energi primer selalu dengan harga pasar, sedangkan listrik
yang dijual harus di bawah harga pasar (lihat biaya pokok produksi dan harga jual di daftar
kenaikan TDL). Pemerintah pun tidak menyediakan pasokan energi primer yang jelas dan
efisien. Maka sangat wajar jika ternyata perusahaan negara ini belum mampu memfasilitasi
100% kebutuhan listrik rumah tangga yang ada di Indonesia, Menurut Badan Pusat Statistik,
PLN baru mampu menyediakan listrik untuk 60% rumah tangga saja. Tentu saja hal ini
sangat membingungkan. Berikut adalah persentase listrik yang disalurkan PLN ke rumah
tangga.
Dalam membuat suatu kebijakan energi, PLN memiliki dua induk yaitu kementrian BUMN
dan ESDM. Ketika PLN bermasalah, tentu saja kedua lembaga ini turut bertanggung jwab
sebagai sebuah tim yang mengelola energi di negara kita. PLN hanyalah sebagai pelaksana
sedangkan penentu kebijakannya adalah pemerintah.
Penutup
Satu Juli 2010 tarif dasar listrik akan dinaikkan, tentu saja pemerintah menyadari dampak
yang mungkin terjadi seperti yang telah dijelaskan di depan. Kita semua tentu saja berharap,
kalaupun memang TDL harus dinaikkan, Pemerintah siap untuk menyelamatkan rakyatnya
dari kebangkrutan, lewat kebijakannya yang lain. Tapi, jika kita melihat kondisi saat ini,
apakah TDL memang harus dinaikkan?