Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT In this article, the writer tries to analize the Hadis (tradition)
of Khitan by using method of external criticism (al-naqd al-khârijî) and
internal criticism (al-naqd al-dâkhilî). Both of this analysis used for decided
the authority and validity of hadis, while approach to hadis exegesis use the
social-cultural approach. This approach used for explaining the relationship
between hadis and social-cultural contex. sehingga diperoleh pemahaman
yang utuh terhadap kandungan makna hadis.
The validity of hadis show that two of hadis dua hadis khitan yang
dijadikan dasar bagi pemberlakuan khitan di kalangan ulama fiqh, tidak
memiliki validitas yang kuat karena terdapat râwi yang tidak adil dan tidak
dhabit.
Perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum khitan
perempuan mengisyaratkan kemungkinan adanya intervensi tradisi dan
budaya yang mempengaruhi kebijakan pengambilan ijtihad mereka dalam
menerima dan memahami hadis-hadis nabi, karena tradisi khitan sudah
mengakar dalam masyarakat Yahudi, Arab dan masyarakat lain sebelum
Islam datang.
Pendahuluan
Khitan yang lebih populer (dalam masyarakat Jawa) dengan sebutan
“sunat/tetak” merupakan amalan atau praktek yang sudah sangat lama dikenal
dalam masyarakat dan mendapat legitimasi dari agama-agama di dunia.
Khitan tidak hanya berlaku bagi anak laki-laki, tetapi juga terhadap anak
perempuan. Dalam fenomena kebudayaan, peristiwa khitan sering kali
dipandang sebagai peristiwa sakral, seperti halnya peristiwa perkawinan.
Kesakralan khitan dapat dilihat dalam ritual yang diselenggarakan untuk
keperluan itu. Hanya saja, fenomena kesakralan dengan segala ritualnya
memang terlihat hanya berlaku pada khitan lelaki yang diselenggarakan
secara meriah. Sedang khitan perempuan jarang terlihat fenomena ritual yang
meriah seperti itu, bahkan cenderung tak terekspos sedikitpun.
Dalam masyarakat Muslim, amalan atau praktek khitan dikaitkan
dengan agama hanif Nabi Ibrahim a.s. yang dikenal sebagai bapak para Nabi
dan diperintahkan kepada kaum muslim untuk mengikutinya. Hal ini
dipertegas oleh Al-Qur’an sebagai berikut:
“Kemu dian
Kami
Wahyukan
kepadamu (Muhammad)” “Ikutilah agama Ibrahim yang hanif.” i
Ulama fiqh klasik dalam melegitimasi pelaksanaan khitan bagi lelaki
dan perempuan—dengan mengacu pada hadis—terbagi dalam tiga pendapat.
Pertama, wajib bagi lelaki dan perpempuan. Kedua, sunnah bagi keduanya,
dan ketiga, wajib bagi lelaki dan tidak wajib bagi perempuan. ii
Praktik khitan perempuan, akhir-akhir ini mendapat gugatan dan
tuntutan penghapusan dari berbagai lembaga dunia, terutama WHO dan LSM-
LSM yang bergerak dalam pemberdayaan perempuan. Para aktivis gerakan ini
juga menggunggat semua tatanan budaya dan tradisi yang dinilai memberikan
jalan pada berlangsungnya praktik yang sangat merugikan kaum perempuan
tersebut, termasuk di antaranya teks-teks agama, yang dalam hal ini adalah
hadis-hadis Nabi.
Namun dalam perkembangannya, muncul gugatan dari tokoh-tokoh
feminis yang mensinyalir bahwa fiqh klasik hanya memberikan kesempatan
seksual kepada lelaki untuk meningkatkan kesehatan dan kepuasan seksual
secara optimal, sedangkan kaum perempuan terus diredam, dilemahkan,
bahkan dikebiri agar agresivitas hasrat seksualnya bisa dikontrol oleh
komunitas yang sampai sekarang masih didominasi oleh kaum lelaki.
Jika ditarik akar persoalannya, maka dapat dikatakan bahwa
munculnya pro dan kontra khitan perempuan ini berasal dari perbedaan cara
pandang dalam memahami hadis khitan. Bagi yang pro khitan memahami
hadis secara tekstual, sedang yang kontra khitan memahaminya dengan
melihat aspek yang tersirat dalam teks hadis yang mengisyaratkan
kemungkinan adanya intervensi tradisi dan budaya khitan yang sudah
mengakar dalam masyarakat Yahudi dan Arab pra Islam.
Bertolak dari hal tersebut, pengkajian ulang terhadap hadis-hadis
khitan yang menjadi dasar para ulama fiqh dalam mengambil hukum khitan,
menjadi sesuatu keniscayaan. Hal tersebut agar diperoleh pemahaman yang
komprehensif terhadap maksud dan kandungan hadis, sehingga dapat
mendudukkan persoalan secara proporsional.
أم عطية
عبد امللك
حممد بن حسان
عبيد اهلل
مروان
أبو داود
أسامة بن عمري
عامر بن أسامة
حجاج بن أرطاة
عباد بن العوام
سريج
أمحد بن حنبل
a. Usâmah
Nama lengkapnya adalah Usâmah bin ‘Umair bin ‘Âmir. Ia
termasuk salah seorang sahabat Nabi s.a.w. yang tinggal di Basrah.
Usâmah menerima hadis dari Nabi s.a.w. dan meriwayatkan hadis
kepada anaknya, ‘Âmir bin Usâmah bin ‘Umair.
Kualitas periwayatan Usâmah tidak dapat diragukan lagi karena
kaidah umum yang disepakati oleh ulama hadis terhadap sahabat Nabi
adalah al-sah}âbah kulluhum ‘udul
d. ‘Abbâd
Nama lengkapnya adalah ‘Abbâd bin al-‘Awwâm bin ‘Umar. Ia
termasuk ke dalam kelompok tabi’in tengah (al-wust}â min al-atbâ’)
yang menetap di Hît dan meninggal pada tahun 185 H.
‘Abbâd menerima hadis dari Ismâîl bin Abî Khâlid, Hajjâj bin
Art}âh bin S|ûr, al-Hasan bin Abî Ja’far, dan lain-lain.
‘Abbâd meriwayatkan hadis kepada Ibrâhîm bin ‘Abd Allâh bin
H}âtim, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Suraij bin al-Nu’mân bin
Marwân, dan lain lain.
Kualitas periwayatan ‘Abbad dapat dilihat dari perkataan Yahyâ bin
Ma’în yang menyatakan s}iqah; Abû H}atim al-Râzî menyatakan s}iqah;
Abû Dâwud al-Sijistânî mengatakan s}iqah; Al-‘Ijlî mengatakan s}iqah.
ENDNOTES
.Q.S Al-Nahl (16) : 123
.Al-Syauka>ni>, Nail al-Aut}a>r ( Beirut : Da>r al-Ji>l, 1973) Juz I, hlm. 138 ii
iii
Sahabat dikatakan adil berdasarkan pendapat jumhur yang mengatakan bahwa
keadilan sahabat banyak disinggung dalam al-Qur’an dan Hadis. Di antara ayat al-
Qur’an yang menyebut hal itu adalah Q.S. al-Fath (48) : 29, al-Taubah (9) : 100, al-
Anfal (8) : 74, al-Hasyr (59) : 10. Demikian pula hadis yang menyatakan hal yang
senada. Lihat Muhammad Ajjaj al-Khatib , al-Sunnah Qabla al-Tadwîn (Beirut : Dar
.al-Fikr, 1981), hlm. 394-404
.Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah (Kairo : Dâr al-Fikr, 1987), Juz I, hlm. 26 iv
v
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender : Perspektif Al-Qur’an (Jakarta :
.Paramadina, 1999), hlm. 3
vi
Elga Sarapung dkk., Agama dan Kesehatan Reproduksi (Jakarta : Pustaka Sinar
.Harapan, 1999), hlm. 118
vii
Al-Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri> fi> Syrah} S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut :
.Dar al-Fikr, 1993), Juz XI, hlm. 530
.Sayyid Sabiq, op.cit, hlm. 36 viii
ix
Husein Muhammad, Fiqh Perepmpuan: Refleksi Kiau atas Wcana Agama dan
.Gender (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 50
x
Ibnu Hajar al-Asqalani, Talkhis al-H}abir (Madinah al-Munawwarah: t.p, 1964), Juz
.IV, hlm. 83
.Husein Muhammad, op.cit, hlm. 45 xi
xii
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
.Gender (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 41
xiii
Ada sebuah hadis yang dijadikan dasar kewajiban khitan perempuan yakni hadis
yang diriwayatkan oleh al-Zuhri bahwa Rasulullah bersabda : man aslama
falyakhtatin walau kâna kabîran (Lihat al-Asqalânî, op.cit. hlm. 82) Hadis ini
menurut pendapat beberapa pakar hadis dan fiqh tidak bisa dijadikan hujjah (dasar)
bagi kewajiban khitan baik lelaki maupun perempuan. Hal itu dikarenakan kesahihan
.hadis tersebut diragukan
Wahbah al-Zuhailî, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhû (Damaskus : Dâr al-Fikr, xiv
.1989), Juz III, hlm. 642
.Sayyid Sabiq, op.cit, Juz I, hlm. 26 xv
xvi
Husein Muhhammad, op.cit, hlm. 49.
BIBLIOGRAFI
Al-‘Asqalâlî, Ah}mad bin ‘Ali> bin H}ajar. (1964). Talkhi>s\ al-H}abi>r. Juz
IV. Madi>nah al-Munawwarah: t.p.
_________. (1978). al-Is}a>bah Fi> Tamyi>z al-S}ah}a>bah. Beirut : Da>r
al-Fikr, 1978.
_________. (1993). Fath} al-Ba>ri> bi Syarh} S}ah}i>h} al-Bukha>ri>. Juz
XI. Da>r al-Fikr.
_________. (t.t.). Tahz\i>b al-Tahz\i>b. Beirut : Da>r al-Sya’b.
‘Itr, Nuruddin. (1994). Manhaj al-Naqd Fi> ‘Ulu>m al-H}adi>s\. Terj.
Mujiyo. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Al-Adlabi, S}ala>h} al-Di>n bin Ah}mad. (1983). Manhaj Naqd al-Matn.
Beirut : Da>r al-Âfa>q al-Jadi>dah.
Al-Andalûsî, Abu> Dawud Sulaima>n bin H}asan. (1955). Tabaqa>t al-
Atibba>’ wa al-Hukama>’. Kairo : Mat}ba’ah al-‘ahdi wa al-Ilmi al-
Faransi li al-As\ar al-Syarqiyyah.
Azami, Muhammad Mustafa. (1977). Studies in Hadith Methodology and
Literature. Indianapolis : Islamic Teaching Center.
Azami, Muhammad Mustafa. (1978). Studies in Early Hadith Literature.
Indianapolis: Amirican Trust Publication.
Hanbal, Abu> ‘Abd Alla>h Ah}mad ibn. (1998). Musnad Ah}mad bin
H}anbal. Juz V Mesir: Da>r al-Syu’u>b.
Hitti, Philip K. (1974). History of The Arabs. London : The Macmillan Press
Ltd.
Ismail, M. Syuhudi. (1992). Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta :
Bulan Bintang.
Ismail, M. Syuhudi. (1995). Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual
(Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran yang Universal, Temporal,
dan Lokal). Jakarta : Bulan Bintang, 1994.
Ismail, M. Syuhudi. (1995). Kaedah Kesahihah Sanad Hadis. Jakarta : Bulan
Bintang.
Al-Maliki, ‘Alwi ‘Abba>s dan Hayy Sulaima>n al-Nu>ri al-. (t.t.). Iba>nah
al-Ahka>m Syarh} Bulu>gh al-Mara>m. Kairo : Syirkah al-Syamrali.
Muhammad, Husein. (2002). Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana
Agama dan Gender. Yogyakarta: LkiS.
Rahman, Budhy Munawar (Ed.). (1994). Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah. Jakarta : Paramadina.
Sâbiq, Sayyid. (1987). Fiqh al-Sunnah. Juz I. Kairo : Da>r al-Fikr, 1987.
Sarapung, Elga, dkk. (1999). Agama dan Kesehatan Reproduksi Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan.
Al-Sijistâni, Abu> Da>wud Sulaima>n bin al-Asy’as. (t.t.) Sunan Abi>
Da>wud. Beirut: Da>r al-Fikr.
Al-Syafi’i, Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad bin Idri>s al-Sya>fi’i>. (1975).
al-Umm. Beirut : Da>r al-Fikr.
________. (1983). Kita>b Ikhtila>f al-H}adi>s\. Beirut : Da>r al-Fikr.
Syauka>ni>, al. (1973). Nail al-Aut}a>r . Juz I. Beirut : Da>r al-Ji>l.
T}ahhân, Mah}mu>d. (1978). Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid. Aleppo :
al-Mat}ba’ah al-Arabiyyah.
T}ahhân, Mah}mu>d. (1979). Taisi>r Mus}t}alah al-H}adi>s\. Beirut : Da>r
al-Qur’a>n al-Kari>m.
Umar, Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender : Perspektif Al-
Qur’an Jakarta : Paramadina.
Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadis. Jakarta : Media Pratama, 1996.
Wensinck, A.J. (1936). al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z\} al-H}adi>s\ al-
Nabawi. Leiden : E.J. Brill.
Al-Z}ahabi, Abu> ‘Abd All>ah Muh}ammad bin Ah}mad . (1962). Mizan al-
I’tidal Fi Naqd al-Rijal. t.tp.: Isa al-Babi al-Halaby.
Al-Z}ahabi, Abu> ‘Abd All>ah Muh}ammad bin Ah}mad al>. (1971). al-
Mughni Fi> al-Du’afa>’. Suriah : Da>r al-Ma’a>rif.
Zahw, Muh}ammad Muh}ammad Abu>. (1984). al-H}adi>s\ wa al-
Muh}addis\u>n. Beirut : Da>r al-Kita>b al-’Arabi, 1984.