You are on page 1of 23

KHITAN PEREMPUAN :

Kajian Kritis terhadap Hadis Khitan

Husni Mahbub, affan mastur, noer sachidin

ABSTRACT In this article, the writer tries to analize the Hadis (tradition)
of Khitan by using method of external criticism (al-naqd al-khârijî) and
internal criticism (al-naqd al-dâkhilî). Both of this analysis used for decided
the authority and validity of hadis, while approach to hadis exegesis use the
social-cultural approach. This approach used for explaining the relationship
between hadis and social-cultural contex. sehingga diperoleh pemahaman
yang utuh terhadap kandungan makna hadis.
The validity of hadis show that two of hadis dua hadis khitan yang
dijadikan dasar bagi pemberlakuan khitan di kalangan ulama fiqh, tidak
memiliki validitas yang kuat karena terdapat râwi yang tidak adil dan tidak
dhabit.
Perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum khitan
perempuan mengisyaratkan kemungkinan adanya intervensi tradisi dan
budaya yang mempengaruhi kebijakan pengambilan ijtihad mereka dalam
menerima dan memahami hadis-hadis nabi, karena tradisi khitan sudah
mengakar dalam masyarakat Yahudi, Arab dan masyarakat lain sebelum
Islam datang.
Pendahuluan
Khitan yang lebih populer (dalam masyarakat Jawa) dengan sebutan
“sunat/tetak” merupakan amalan atau praktek yang sudah sangat lama dikenal
dalam masyarakat dan mendapat legitimasi dari agama-agama di dunia.
Khitan tidak hanya berlaku bagi anak laki-laki, tetapi juga terhadap anak
perempuan. Dalam fenomena kebudayaan, peristiwa khitan sering kali
dipandang sebagai peristiwa sakral, seperti halnya peristiwa perkawinan.
Kesakralan khitan dapat dilihat dalam ritual yang diselenggarakan untuk
keperluan itu. Hanya saja, fenomena kesakralan dengan segala ritualnya
memang terlihat hanya berlaku pada khitan lelaki yang diselenggarakan
secara meriah. Sedang khitan perempuan jarang terlihat fenomena ritual yang
meriah seperti itu, bahkan cenderung tak terekspos sedikitpun.
Dalam masyarakat Muslim, amalan atau praktek khitan dikaitkan
dengan agama hanif Nabi Ibrahim a.s. yang dikenal sebagai bapak para Nabi
dan diperintahkan kepada kaum muslim untuk mengikutinya. Hal ini
dipertegas oleh Al-Qur’an sebagai berikut:
“Kemu dian
Kami
Wahyukan
kepadamu (Muhammad)” “Ikutilah agama Ibrahim yang hanif.” i
Ulama fiqh klasik dalam melegitimasi pelaksanaan khitan bagi lelaki
dan perempuan—dengan mengacu pada hadis—terbagi dalam tiga pendapat.
Pertama, wajib bagi lelaki dan perpempuan. Kedua, sunnah bagi keduanya,
dan ketiga, wajib bagi lelaki dan tidak wajib bagi perempuan. ii
Praktik khitan perempuan, akhir-akhir ini mendapat gugatan dan
tuntutan penghapusan dari berbagai lembaga dunia, terutama WHO dan LSM-
LSM yang bergerak dalam pemberdayaan perempuan. Para aktivis gerakan ini
juga menggunggat semua tatanan budaya dan tradisi yang dinilai memberikan
jalan pada berlangsungnya praktik yang sangat merugikan kaum perempuan
tersebut, termasuk di antaranya teks-teks agama, yang dalam hal ini adalah
hadis-hadis Nabi.
Namun dalam perkembangannya, muncul gugatan dari tokoh-tokoh
feminis yang mensinyalir bahwa fiqh klasik hanya memberikan kesempatan
seksual kepada lelaki untuk meningkatkan kesehatan dan kepuasan seksual
secara optimal, sedangkan kaum perempuan terus diredam, dilemahkan,
bahkan dikebiri agar agresivitas hasrat seksualnya bisa dikontrol oleh
komunitas yang sampai sekarang masih didominasi oleh kaum lelaki.
Jika ditarik akar persoalannya, maka dapat dikatakan bahwa
munculnya pro dan kontra khitan perempuan ini berasal dari perbedaan cara
pandang dalam memahami hadis khitan. Bagi yang pro khitan memahami
hadis secara tekstual, sedang yang kontra khitan memahaminya dengan
melihat aspek yang tersirat dalam teks hadis yang mengisyaratkan
kemungkinan adanya intervensi tradisi dan budaya khitan yang sudah
mengakar dalam masyarakat Yahudi dan Arab pra Islam.
Bertolak dari hal tersebut, pengkajian ulang terhadap hadis-hadis
khitan yang menjadi dasar para ulama fiqh dalam mengambil hukum khitan,
menjadi sesuatu keniscayaan. Hal tersebut agar diperoleh pemahaman yang
komprehensif terhadap maksud dan kandungan hadis, sehingga dapat
mendudukkan persoalan secara proporsional.

Sanad dan Matan Hadis


‫ب ب ُْن َع ْب; ِد‬‫ان ب ُْن َع ْب ِد ال ;رَّحْ َم ِن ال ِّد َم ْش ;قِ ُّي َو َع ْب; ُد ْال َوهَّا ِ‬
‫َح َّدثَنَا ُسلَ ْي َم ُ‬
‫ان َح; َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ب ُْن َح َّس ;انَ قَ;;ا َل َع ْب; ُد‬ ‫َّح ِيم اأْل َ ْش َج ِع ُّي قَااَل َح; َّدثَنَا َم;;رْ َو ُ‬
‫الر ِ‬
‫اريَّ ِة أَ َّن‬ ‫ْ;ر ع َْن أُ ِّم َع ِطيَّةَ اأْل َ ْن َ‬
‫ص; ِ‬ ‫ب ْال ُكوفِ ُّي ع َْن َعبْ; ِد ْال َملِ; ِ‬
‫ك ْب ِن ُع َمي ٍ‬ ‫ْال َوهَّا ِ‬
‫ك أَحْ ظَى‬
‫َت ت َْختِ ُن بِ ْال َم ِدينَ ِة فَقَا َل لَهَا النَّبِ ُّي ‪ ‬اَل تُ ْن ِه ِكي فَإ ِ َّن َذلِ ; َ‬
‫ا ْم َرأَةً َكان ْ‬
‫ال أَبو دَاود ر ُِو َ‬
‫ي ع َْن ُعبَ ْي ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم; ٍ‬
‫;رو ع َْن‬ ‫لِ ْل َمرْ أَ ِة َوأَ َحبُّ إِلَى ْالبَ ْع ِل قَ َ‬
‫َع ْب ِد ْال َملِ ِ‬
‫ك بِ َم ْعنَاهُ َوإِ ْسنَا ِد ِه (رواه أبو داود)‬

‫َّاج ع َْن أَبِي‬


‫َح; َّدثَنَا ُس; َر ْي ٌج َح; َّدثَنَا َعبَّا ٌد يَ ْعنِي ا ْبنَ ْال َع; َّو ِام ع َِن ْال َحج ِ‬
‫ي ‪‬قَ;;ا َل ْال ِختَ; ُ‬
‫;ان‬ ‫يح ب ِْن أُ َسا َمةَ ع َْن أَبِي ; ِه أَ َّن النَّبِ َّ‬
‫ْال َملِ ِ‬
‫ال َم ْك ُر َمةٌ لِلنِّ َسا ِء (رواه أحمد)‬
‫ُسنَّةٌ لِل ِّر َج ِ‬

‫‪Dari dua sampel hadis sebagaimana yang tertuang sebelumnya dapat‬‬


‫‪dibuat skema sanad sebagai berikut :‬‬

‫‪a. Jalur Abû Dawud‬‬

‫أم عطية‬

‫عبد امللك‬
‫حممد بن حسان‬
‫عبيد اهلل‬
‫مروان‬

‫عبد الوهاب‬ ‫سليمان‬

‫أبو داود‬

‫‪b. Jalur Ahmad bin Hanbal‬‬

‫أسامة بن عمري‬

‫عامر بن أسامة‬

‫حجاج بن أرطاة‬

‫عباد بن العوام‬

‫سريج‬
‫أمحد بن حنبل‬

Setelah dibuat rangkaian sanad pada dua jalur sebagaimana yang


terlihat dalam bagan di atas, dapat diketahui sejumlah 7 (tujuh) periwayat
hadis. Urutan nama periwayat dan urutan sanad hadis tersebut adalah :
1. Jalur Abû Dâwud
a. Ummu ‘At}iyyah sebagai periwayat ke-1 (sanad ke-5)
b. ‘Abd al-Malik sebagai periwayat ke-2 (sanad ke-4)
c. Muhammad bin Hasan dan ‘Ubaidulllâh, sebagai periwayat ke-3
(sanad ke-3)
d. Marwan sebagai periwayat ke-4 (sanad ke-2)
e. Sulaiman dan ‘Abd al-Wahhâb sebagai periwayat ke-5 (sanad ke-1)
f. Abû Dâwud sebagai periwayat ke-6 (mukharrij)
2. Jalur Ahmad bin Hanbal
a. Usâmah bin ‘Umair sebagai periwayat ke-1 (sanad ke-5)
b. ‘Âmir bin Usâmah sebagai periwayat ke-2 (sanad ke-4)
c. Hajjâj bin Art}aah sebagai periwayat ke-3 (sanad ke-3)
d. ‘Ibâd bin al-‘Awwam sebagai periwayat ke-4 (sanad ke-2)
e. Suraij sebagai periwayat ke-5 (sanad ke-1)
f. Ahmad bin Hanbal sebagai periwayat ke-6 (mukharrij)
Penelitian dan Persambungan Sanad

1. Jalur Abû Dâwud

a. Ummu ‘At}iyyah (w=?)


Nama lengkapnya adalah Nasîbah binti Ka’ab al-Ans}arî, yang
termasuk dalam kategori sahabat Nabi. Ia hidup dan menetap di Basrah.
Ummu ‘At}iyyah menerima hadis dari Nabi s.a.w. dan menyebarkan
hadis kepada Ismaîl bin ‘Abd al-Rah}mân Hasan bin ‘At}iyyah, Ummu
Syarâhîl, Hafs}ah binti Sîrîn, ‘Abd al-Malik bin ‘Umair bin Suwaid,
Muhammad bin Sîrîn maulâ Anas bin Malik.
Kualitas periwayatan ‘Ummu ‘At}iyyah tidak dapat diragukan lagi
karena kaidah umum yang disepakati oleh ulama hadis terhadap sahabat Nabi
iii
adalah al-sah}âbah kulluhum ‘udul

b. ‘Abd al-Malik (w.136 H.)


Nama lengkapnya adalah Abd al-Malik bin ‘Umair bin Suwaid. Ia
menetap di Kufah dan merninggal dunia di sana pada tahun 136 H.
‘Abd al-Malik menerima hadis dari ibn Abi al-Ma’lâ, Ibn akhî ‘Abd
Allâh bin Salâm, Abû Bakar bin ‘Imârah bin Ruwaibah, Jâbir bin Samrah
bin Janâdah, Ummu ‘At}iyyah, dan lain-lain.
‘Abd al-Malik menyampaikan hadis kepada Ibrâhim bin Muhammad
bin al-Hâris\, Isrâil bin Yûnus bin Abî Ishâq, Muhammad bin Hassân, dan
lain-lain.
Kualitas periwayatan ‘Abd al-Malik dapat dilihat dari pendapat Yahyâ
bin Ma’în yang menyatakan s\iqah akht}a’ fi hadîs au hadôsain; Abu
Hâtim al-Râzi yang mengatakan sâlih al-hadîs, laisa bi al-hâfiz; Al-Nasa-I
menyatakan laisa bihî ba’s; Al-Ijlî menyatakan sâlih al-hadîs tagayyar
hifzuhu qabla mautih.

c. Muh}ammad bin H}assân (w= ?)


Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Hassan. Sejarah
kehidupannya tidak banyak diketahui ulama. Yang pasti, ia tidak pernah
bertemu dengan sahabat Nabi.
Muh}ammad bin H}assân meneriam hadis dari Abd al-Malik bin
‘Umair bin Suwaid.
Abd al-Malik bin ‘Umair bin Suwaid menyampaikan hadis kepada
Marwân bin Mu’âwiyah bin al-H}âris\.
Kualitas periwayatannya menurut Abu Dâwud lemah (d}a-îf), dan ia
majhûl; al-Zahabî menyatakan la yu’raf (tidak dikenal).

d. ‘Ubaidullah (w. 180 H.)


Nama lengkapnya adalah ‘Ubaidullah bin ‘Amr bin Abî al-Walîd. Ia
menetap di Syam dan meninggal di al-Riqqah pada tahun 180 H.
‘Ubaidullah bin ‘Amr menerima hadis dari Ishâq bin Râsyid, Isrâ-il
bin Yûnus bin Abî Ishâq, ‘Abd al-Malik bin ‘Umair bin Suwaid, ‘Abd al-
Karîm bin Malik, dan lain-lain.
‘Ubaidullah bin ‘Amr menyampaikan hadis kepada Ahmad bin ‘Abd
al-Malik bin Wâqid, Sulaimân bin ‘Ubaidillah, “Ali bin Hajr bin Iyyâs,
dan lain-lain.
Kualitas periwayatannya dapat diketahui dari perkataan Yahyâ bin
Ma-în yang menyatakan s\iqah; Muhammad bin Sa’ad yang mengatakan
s\iqah s}adûq rubbamâ akht}a’; Al-Nasâ-I menyatakan s\iqah; dan Abû
H}âtim al-Râzi mengatakan s\iqah s}adûq.
e. Marwân (w. 193 H.)
Nama lengkapnya adalah Marwân bin Mu’âwiyah bin al-H}âris\ bin
Asmâ’ bin Khârijah. Ia menetap di Syam dan meninggal di Marwa al-Rûz\
pada tahun 193 H.
Marwân menerima hadis dari Ibrâhîm bin Yazîd, Azhar bin Râsyid,
Ismâ-îl bin Abî Khâlid, Nuhammad bin Hassân, dan lain-lain.
Marwân menyampaikan hadis kepada Ibrâhîm bin al-Munz\ir bin
‘Abd Allâh, Ahmad bin ‘Abd Allâh bin al-Hakam, Sulaimân bin ‘Abd al-
Rahmân bin ‘Îsâ bin Maimûn, ‘Abd al-Wahhâb bin ‘Abd al-Rahîm, dan
lain-lain.
Kualitas periwayatan Marwân dapat diketahui dari pernyataan Ahmad
bin Hanbal s\abat hâfiz; Yahyâ bin Ma’în mengatakan s\iqah; Al-‘Ijlî
menyatakan s\iqah s\abat.

f. Sulaimân (w. 233 H.)


Nama lengkapnya adalah Sulaimân bin ‘Abd al-Rahmân bin ‘Îsâ bin
Maimûn. Ia menetap di Syam dan meninggal pada tahun 233 H.
Sulaimân menerima hadis dari H}âtim bin Ismâ-îl bin Ubayy, Khâlid
bin Yazîd bin ‘Abd al-Rahmân, Marwân bin Mu’âwiyah bin al-H}âris\ bin
Asmâ’ bin Khârijah, dan lain-lain.
Sulaimân menyampaikan hadis kepada Muhammad bin Ismâ-îl bin
Ibrâhîm, Mahmûd bin Khâlid, Abû Dâwud, dan lain-lain.
Kualitas periwayatan Sulaimân dapat diketahui dari pendapat Yahyâ
bin Ma’în yang menyatakan s\iqah iz\â rawâ ‘an al-ma’rûfîn; Abû H}âtim
al-Râzi yang mengatakan s}ad mustaqîm al-hadîs; Abû Dâwud yang
menyatakan s\iqah yukht}i’; Al-Nasâ-I mengatakan s}adûq.

g. ‘Abd al-Wahhâb (w. 250 H.)


Nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Wahhâb bin ‘Abd al-Rah}îm. Ia
menetap di Syam dan meninggal pada tahun 250 H.
Abd al-Wahhâb menerima hadis dari Marwân bin Mu’âwiyah bin al-
H}âris\ bin Asmâ’ bin Khârijah. Ia adalah salah seorang guru Abû Dâwûd.
Kualitas periwayatan ‘Abd al-Wahhâb dapat diketahui dari perkataan
Al-Z|ahabî yang menyatakan s\iqah, dan Ibn Hibbân memasukkannya ke
dalam kitab siqât-nya.

h. Abû Dâwud (w. 275 H.)


Nama lengkapnya adalah Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy’as\ bin
Syaddâd al-Azdî al-Sijistânî. Ia lahir pada tahun 202 H. Ia malang
melintang ke berbagai negeri dan berulang kali keluar masuk Baghdad. Ia
tinggal di Basrah dan meninggal di sana pada 16 Syawwal 275 H.
Abû Dâwud menerima hadis dari Abu al-Walîd al-T}ayâlîsî, Mûsâ bin
Ismâ-îl, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain.
Abû Dâwud menyampaikan hadis kepada Ibrâhin bin Hamdân
al-‘Âqûlî, Abû Îsâ, dan lain-lain.
Penilaian ulama terhadap kualitas Abû Dâwud tidak bisa disangsikan
karena dia termasuk salah satu periwayat/perawi kitab hadis standar (al-
kutub al-sittah) yang menjadi kitab rujukan di bidang hadis.

2. Jalur Ahmad bin Hanbal

a. Usâmah
Nama lengkapnya adalah Usâmah bin ‘Umair bin ‘Âmir. Ia
termasuk salah seorang sahabat Nabi s.a.w. yang tinggal di Basrah.
Usâmah menerima hadis dari Nabi s.a.w. dan meriwayatkan hadis
kepada anaknya, ‘Âmir bin Usâmah bin ‘Umair.
Kualitas periwayatan Usâmah tidak dapat diragukan lagi karena
kaidah umum yang disepakati oleh ulama hadis terhadap sahabat Nabi
adalah al-sah}âbah kulluhum ‘udul

b. ‘Âmir (w.98 H.)


Nama lengkapnya adalah ‘Âmir bin Usâmah bin ‘Umair. Nama
kunyah-nya Abû al-Malîh}. Ia tinggal di Basrah dan meninggal di sana
pada tahun 98 H.
‘Âmir menerima hadis dari Usâmah bin ‘Umair bin ‘Âmir, Mu’az\
bin Jabal bin ‘Amr bin Aus, Yasar bin ‘Abd, ‘Âmir bin ‘Abd Allâh, Rûh
bin ‘Abid, dan lain-lain.
‘Âmir meriwayatkan hadis kepada Ibrâhim bin Abî al-‘Abbâs,
Hajjâj bin Art}âh bin S|ûr, dan lain-lain
Kualitas periwayatan ‘Âmir dapat diketahui dari pendapat Abû
Zar’ah yang menyatakan s\iqah; Al-Z|ahabî mengatakan s\iqah.

c. Al-Hajjâj (w. 145 H.)


Nama lengkapnya adalah Hajjâj bin Art}aah bin S|ûr. Ia termasuk
kibâr al-atbâ’ yang tinggal di Kufah dan meninggal pada tahun 145 H.
Al-Hajjâj menerima hadis dari Ibrâhîm bin ‘Âmir bin Mas’ûd,
Ibrâhîm bin Yazîd bin Qais, Sa’îd bin Jabîr bin Hisyâm, ‘Âmir bin
Usâmah bin ‘Umair, dan lain-lain.
Al-Hajjâj meriwayatkan hadis kepada Abû Bakar bin ‘Âli bin
‘At}â’, Sulaimân bin H}ayyân, ‘Abbâd bin al-‘Awwâm bin ‘Umar, dan
lain-lain.
Kualitas periwayatan Al-Hajjâj dapat diketahui dari perkataan Yahyâ
bin Ma’în yang menyatakan s}adûq, laisa bil qawiyy, yudallis ‘an ‘amr;
Abû Zar’ah al-Râzi mengatakan s}adûq, yudallis; Abû H}atim al-Râzî
menyatakan s}adûq, yudallis ‘an al-d}u’afâ’; Al-‘Ijlî mengatakan jâ-iz
al-hadis, yu’ibu al-nâs minhu al-tadlîs; ‘Alî al-Madînî mengatakan
taraktuhû ‘amadan.

d. ‘Abbâd
Nama lengkapnya adalah ‘Abbâd bin al-‘Awwâm bin ‘Umar. Ia
termasuk ke dalam kelompok tabi’in tengah (al-wust}â min al-atbâ’)
yang menetap di Hît dan meninggal pada tahun 185 H.
‘Abbâd menerima hadis dari Ismâîl bin Abî Khâlid, Hajjâj bin
Art}âh bin S|ûr, al-Hasan bin Abî Ja’far, dan lain-lain.
‘Abbâd meriwayatkan hadis kepada Ibrâhîm bin ‘Abd Allâh bin
H}âtim, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Suraij bin al-Nu’mân bin
Marwân, dan lain lain.
Kualitas periwayatan ‘Abbad dapat dilihat dari perkataan Yahyâ bin
Ma’în yang menyatakan s}iqah; Abû H}atim al-Râzî menyatakan s}iqah;
Abû Dâwud al-Sijistânî mengatakan s}iqah; Al-‘Ijlî mengatakan s}iqah.

e. Suraij (w. 217 H.)


Nama lengkapnya adalah Suraij bin al-Nu’mân bin Marwân. Nama
kunyah-nya adalah Abî al-H}usain. Ia termasuk kibâr tab’i al-atbâ’ yang
menetap di Baghdad dan meninggal pada tahun 217 H.
Suraij menerima hadis dari Buqyah bin al-Walîd bin S}â-id, al-
H}aris\ bin ‘Ubaid, al-H}akam bin ‘Abd al-Malik, H}ammâd bin Salmah
bin Dînâr, ‘Abbâd bin al-‘Awwâm bin ‘Umar, dan lain-lain.
Suraij meriwayatkan hadis kepada Ah}mad bin Manî’ bin ‘Abd al-
Rah}mân, ‘Abd Allâh bin Muh}ammad bin Abî Syaibah Ibrâhîm,
‘Ubaidullâh bin Fud}âlah bin Ibrâhîm, Muhammad bin Salâm bin al-
Faraj, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain.
Kualitas periwayatan Suraij dapat dilihat dari perkataan Yahyâ bin
Ma’în yang menyatakan s}iqah; Al-Nasâ-I menyatakan laisa bihî ba’s;
Abû Dâwud al-Sijistânî mengatakan s}iqah ghalau fî ahâdîs\; Al-‘Ijlî
mengatakan s}iqah; Muhammad bin Sa’ad mengatakan s}iqah; dan al-
Dâruqut}nî menyatakan s}iqah ma’mûn.

f. Ahmad bin Hanbal (w. 241 H.)


Nama lengkapnya Ahmad bin Hanbal Abû Abdillâh al-Syaibânî.
Ia lahir di Baghdad 20 Rabi’ul Awwal 164 H., dan dan meninggal di
Baghdad pada tanggal 22 Rabi’ul Awwal tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal menerima hadis dari Hasyim bin Basyîr,
Ibrahîm bin Sa’ad, Yahya bin Adam, Wakî’ bin al-Jarrâh, Abd al-Rahmân
bin Mahdi, Qâd}i Abû Yûsuf, Muhammad bin Ja’far, Suraij bin al-
Nu’mân bin Marwân, dan lain-lain.
Para ulama yang mengambil hadis dari Ahmad bin Hanbal antara
lain adalah para periwayat kutub al-sittah, ‘Ali al-Madîni, Yahya bin
Ma’în, Dah}îm al-Syâmî, Ahmad bin Abî al-Harâwî, Ahmad bin Sâlih al-
Misrî, dan lain-lain.
Karena termasuk salah seorang ulama fiqh dan hadis, maka tidak
ada satupun ulama yang menjarh Ahmad bin Hanbal, sehingga ia sangat
terpercaya.

Persambungan dan kualitas sanad dapat dilihat dari segi kualitas


periwayat dalam sanad, yakni dengan melihat ke-siqah-annya/kapasitas moral
dan kedhabit-annya/kapasitas intelektualnya dan melihat hubungan atau
kemungkinan bertemuanya periwayat satu dengan periwayat berikutnya
dengan mencermati riwayat hidup.
Transmisi hadis jalur Abû Dâwud dari ‘Ummu ‘At}iyyah kepada
periwayat sesudahnya (‘Âbd al-Malik) dan seterusnya, dilihat dari
kemungkinan liqa’ sangat besar terjadi antara periwayat satu dengan
periwayat berikutnya saling ketemu. Hal ini bisa dilihat dari masa hidup
masing-masing periwayat. Meski sanadanya muttasil (bersambung), namun
dari sisi kualitas sanadnya terdapat periwayat bernama Muhammad bin
Hassân yang banyak dijarh sendiri oleh mukharrij hadisnya (Abû Dâwud).
Dengan demikian, dilihat dari sanad, hadis ini lemah.
Adapun sanad dari jalur Ahmad bin Hanbal--meskipun sanadnya
muttasil dilihat dari persambungan sanad--akan tetapi, dalam sanad ini
terdapat periwayat bernama Al-Hajjaj (Hajjâj bin Art}aah bin S|ûr) yang
dinilai lemah oleh para ulama hadis. Karena terdapat periwayat yang lemah,
maka hadis ini dikategorikan hadis d}a’if (lemah).
Kesimpulan tersebut didukung oleh pendapat Sayid Sabiq yang
mengatakan bahwa “Semua hadis yang berkaitan dengan perintah khitan
perempuan adalah d}a’if (lemah), tidak ada satupun yang sahih.iv
Pendekatan Sosial-Budaya dalam Memahami Hadis Khitan
Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa
persoalan, baik dari segi substansi kejadian, perlakuan dan peran yang
diemban dalam masyarakat. Perbedaan tersebut mempunyai implementasi
dalam kehidupan sosial-budaya. Jika seseorang mempunyai atribut biologis,
seperti penis pada diri laki-laki atau vagina pada diri perempuan, maka itu
juga menjadi atribut jender yang bersangkutan dan selanjutnya akan
menentukan peran sosial dalam masyarakat.
Atribut jender yang merujuk kepada atribut jenis kelamin biologis
menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan dalam masyarakat. Penetapan
atribut jender yang merujuk kepada faktor biologis dinilai mengandung bias
jender yang merugikan perempuan, karena seorang laki-laki tidak saja secara
biologis dianggap memiliki penis, melainkan juga secara budaya memiliki
”penis budaya” (cultural penis).v Sementara itu, perempuan, di samping tidak
mempunyai penis, juga tidak memiliki “penis budaya”.
Salah satu perlakuan budaya yang dianggap merugikan perempuan
oleh para feminis adalah “khitan”. Kata khitan berasal dari bahasa Arab yang
secara umum berarti memotong. Dalam fiqh, secara umum khitan adalah
memotong sebagian anggota tubuh tertentu.
Pada level operasional, khitan lelaki berbeda dengan khitan
perempuan. Adapun Pelaksanaan khitan hampir sama di semua tempat, yaitu
pemotongan kulup (qulf) penis lelaki; sedangkan untuk perempuan berbeda di
setiap tempat, ada yang sebatas pembuangan sebagian dari klentit (clitoris)
dan ada yang sampai memotong bibir kecil vagina (labia minora).vi
Menurut beberapa ulama fiqih, seperti al-Mawardi Khitan lelaki
didefinisikan “Pemotongan kulit yang menutup hasyafah (kepala penis)”,
sedangkan khitan perempuan adalah: “pemotongan bagian paling atas (klentit)
dari faraj (kemaluan) perempuan, di atas tempat masuknya penis, yang
berbentuk seperti biji atau seperti jengger ayam jago.” vii
Menurut Sayyid Sabiq, khitan didefinisikan sebagai berikut :
“Khitan untuk lelaki adalah pemotongan kulit yang menutupi hasyafah agar
tidak menyimpan kotoran, mudah dibersihkan ketika kencing dan dapat
merasakan kenikmatan jima’ (bersetubuh) dengan tidak berkurang.
Sedangkan untuk perempuan adalah dengan memotong bagian teratas dari
faraj-nya. Khitan ini adalah tradisi kuno (sunnah qadi>mah).”viii
Jika dirunut, maka perlakuan budaya tersebut berasal dari perbedaan
pertimbangan dalam hal menentukan hukum khitan antara lelaki dan
perempuan. Apabila pertimbangan kemaslahatan yang menjadi dasar hukum
yang dalam hal ini mengacu pada kepuasan seksual, maka seharusnya
penentuan hukum khitan perempuan juga harus didasarkan pada
pertimbangan yang sama, karena hak untuk memperoleh kepuasan seksual
adalah sama antara lelaki dan perempuan. Apabila praktik khitan akan
menyebabkan perempuan tidak dapat atau kurang memperoleh kepuasan jima’
(bersetubuh), maka khitan tidak boleh dilaksanakan. ix
Berkenaan dengan hadis-hadis yang dijadikan dasar diberlakukkannya
khitan terhadap lelaki dan perempuan, Ibnu Hajar al-Asqalani dengan
mengutip pernyataan Ibnu al-Munzir yang menyatakan bahwa “tidak ada satu
hadis yang bisa menjadi rujukan dalam hal khitan, dan tidak ada satu pun
sanadnya yang bisa diikuti”.x Hal ini mengisyaratkan penafian terhadap teks
agama yng otoritatif dan valid yang menyatakan secara eksplisit bahwa khitan
perempuan adalah wajib.
Mayoritas ulama tidak memahami hadis yang berasal dari Ummu
‘At}iyyah, baik tersurat maupun tersirat adanya perintah untuk
mengkhitankan perempuan. Yang ada hanyalah tuntutan dan peringatan Nabi
Muhamad kepada juru khitan perempuan agar mengkhitan dengan cara yang
baik dan tidak merusak. Nabi membiarkan praktik khitan perempuan berjalan
di Madinah, tetapi diisyaratkan dengan jaminan tidak berlebihan, tidak
merusak, dan membiarkan sesuatu yang menjadi bagian kenikmatan seksual
perempuan ketika berhubungan intim dengan suaminya. Apabila syarat ini
dijadikan dasar, maka khitan bisa menjadi tidak diperbolehkan apabila
berlebihan, atau ternyata merusak dan tidak memberikan kenikmatan seksual
bagi perempuan.xi
Bagi lelaki, khitan dengan memotong kulup adalah sangat positif,
karena jika tidak dikhitan, ia selain berpotensi menyimpan penyakit kelamin,
juga menyebabkan terjadinya pemancaran dini (ejaculitio seminis), sebab
kepala penis yang berkulup lebih sensitif daripada yang tidak berkulup.
Dengan demikian, khitan dengan pemotongan kulup bagi lelaki secara medis
adalah sehat, dan akan menambah kenikmatan dan memperlama
berlangsungnya hubungan seksual sehingga secara optimal lelaki dapat
menikmati pemenuhan kebutuhan biologisnya. Sebaliknya, khitan pada
perempuan justru sangat negatif dari sudut kebutuhan seksual karena akan
mengurangi kenikmatan, bahkan bagi sebagian perempuan bisa menimbulkan
trauma psikologis yang berat. Karena ujung klentit adalah organ seks
perempuan yang cukup sensitif terhadap gesekan dan rangsangan yang akan
membawa kenikmatan prima. Dengan pemotongan organ tersebut, daerah
erogen akan berpindah dari muka (clitoris) ke belakang (liang vagina), dan
karena itu, rangsangan perempuan akan berkurang, gairahnya lemah, dan
susah memperoleh kenikmatan (orgasme) ketika hubungan kelamin. Apalagi
praktik khitan yang sampai memotong bibir kecil (labia minora), yang terjadi
di beberapa tempat di Afrika, sering menimbulkan trauma psikologis, karena
dengan praktik itu sangat memungkinkan perempuan tidak dapat menikmati
hubungan seksual sama sekali, bahkan praktik itu tidak sedikit yang
mengakibatkan kematian bayi.xii
Menurut dasar hukumnya, dalam hal ini hadis, pendapat yang
mengatakan bahwa khitan perempuan wajib xiii adalah pendapat yang sangat
lemah, karena tidak didukung oleh hadis yang sahih dan redaksi hadispun
tidak mendukung pendapat tersebut. Oleh karenanya, mazhab Hanafi, Maliki
dan Hanbali tidak mewajibkan khitan perempuan.
Wahbah al-Zuhailî memaparkan perbedaan ulama fiqh tentang hukum
khitan. Ia menulis bahwa “khitan bagi lelaki, menurut mazhab Hanafi dan
Maliki adalah sunnah muakkadah, bagi perempuan adalah suatu kemuliaan
(yang jika dilaksanakan) disunnahkan tidak berlebihan sehingga tidak
terpotong bibir vagina, agar tetap mudah merasakan kenikmatan jima’
(hubungan seksual). Menurut Syafi’i, khitan adalah wajib bagi lelaki dan
perempuan. Adapun Imam Ahmad berkata khitan wajib bagi lelaki dan suatu
kemuliaan bagi perempuan yang biasanya dilakukan di daerah-daerah
panas.”xiv
Dengan melihat situasi, kondisi dan setting sosial budaya masyarakat
pada saat atau sebelum hadis tersebut disabdakan dan dengan memahami
hadis melalui pendekatan sosial-budaya akan diperoleh informasi bahwa
perbedaan pendapat di kalangan ulama mengisyaratkan kemungkinan adanya
intervensi tradisi dan budaya yang mempengaruhi kebijakan pengambilan
ijtihad mereka dalam menerima dan memahami hadis-hadis nabi, karena
tradisi khitan sudah mengakar dalam masyarakat Yahudi, Arab dan
masyarakat lain sebelum Islam datang.
Selain itu, predikat “kemuliaan” sebagaimana yang disinyalir dalam
hadis dapat dipahami sebagai label budaya manusia yang terbatas ruang dan
waktu, ia bukan perintah Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, ada sebagian
ulama yang abstain ketika berbicara hukum khitan perempuan, dan hanya
sebatas menyatakan sebagai sunnah qadimah atau tradisi lama.xv Predikat
kemuliaan juga merupakan pengakuan sebuah komunitas terhadap peran
kaum perempuan yang mesti sangat besar dalam menjaga keharmonisan dan
kelangsungan komunitasnya yang mungkin banyak mengakomodasikan
privelege kaum lelaki. Sebaliknya, predikat itu juga menyiratkan kebesaran
hati hati kaum perempuan dengan kesediaan dan kemampuannya membatasi
hasrat seksualnya untuk kepentingan komunitasnya.xvi
i

ENDNOTES
.Q.S Al-Nahl (16) : 123
.Al-Syauka>ni>, Nail al-Aut}a>r ( Beirut : Da>r al-Ji>l, 1973) Juz I, hlm. 138 ii
iii
Sahabat dikatakan adil berdasarkan pendapat jumhur yang mengatakan bahwa
keadilan sahabat banyak disinggung dalam al-Qur’an dan Hadis. Di antara ayat al-
Qur’an yang menyebut hal itu adalah Q.S. al-Fath (48) : 29, al-Taubah (9) : 100, al-
Anfal (8) : 74, al-Hasyr (59) : 10. Demikian pula hadis yang menyatakan hal yang
senada. Lihat Muhammad Ajjaj al-Khatib , al-Sunnah Qabla al-Tadwîn (Beirut : Dar
.al-Fikr, 1981), hlm. 394-404
.Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah (Kairo : Dâr al-Fikr, 1987), Juz I, hlm. 26 iv
v
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender : Perspektif Al-Qur’an (Jakarta :
.Paramadina, 1999), hlm. 3
vi
Elga Sarapung dkk., Agama dan Kesehatan Reproduksi (Jakarta : Pustaka Sinar
.Harapan, 1999), hlm. 118
vii
Al-Asqala>ni>, Fath} al-Ba>ri> fi> Syrah} S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut :
.Dar al-Fikr, 1993), Juz XI, hlm. 530
.Sayyid Sabiq, op.cit, hlm. 36 viii
ix
Husein Muhammad, Fiqh Perepmpuan: Refleksi Kiau atas Wcana Agama dan
.Gender (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 50
x
Ibnu Hajar al-Asqalani, Talkhis al-H}abir (Madinah al-Munawwarah: t.p, 1964), Juz
.IV, hlm. 83
.Husein Muhammad, op.cit, hlm. 45 xi
xii
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
.Gender (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 41
xiii
Ada sebuah hadis yang dijadikan dasar kewajiban khitan perempuan yakni hadis
yang diriwayatkan oleh al-Zuhri bahwa Rasulullah bersabda : man aslama
falyakhtatin walau kâna kabîran (Lihat al-Asqalânî, op.cit. hlm. 82) Hadis ini
menurut pendapat beberapa pakar hadis dan fiqh tidak bisa dijadikan hujjah (dasar)
bagi kewajiban khitan baik lelaki maupun perempuan. Hal itu dikarenakan kesahihan
.hadis tersebut diragukan
Wahbah al-Zuhailî, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhû (Damaskus : Dâr al-Fikr, xiv
.1989), Juz III, hlm. 642
.Sayyid Sabiq, op.cit, Juz I, hlm. 26 xv

xvi
Husein Muhhammad, op.cit, hlm. 49.

BIBLIOGRAFI
Al-‘Asqalâlî, Ah}mad bin ‘Ali> bin H}ajar. (1964). Talkhi>s\ al-H}abi>r. Juz
IV. Madi>nah al-Munawwarah: t.p.
_________. (1978). al-Is}a>bah Fi> Tamyi>z al-S}ah}a>bah. Beirut : Da>r
al-Fikr, 1978.
_________. (1993). Fath} al-Ba>ri> bi Syarh} S}ah}i>h} al-Bukha>ri>. Juz
XI. Da>r al-Fikr.
_________. (t.t.). Tahz\i>b al-Tahz\i>b. Beirut : Da>r al-Sya’b.
‘Itr, Nuruddin. (1994). Manhaj al-Naqd Fi> ‘Ulu>m al-H}adi>s\. Terj.
Mujiyo. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Al-Adlabi, S}ala>h} al-Di>n bin Ah}mad. (1983). Manhaj Naqd al-Matn.
Beirut : Da>r al-Âfa>q al-Jadi>dah.
Al-Andalûsî, Abu> Dawud Sulaima>n bin H}asan. (1955). Tabaqa>t al-
Atibba>’ wa al-Hukama>’. Kairo : Mat}ba’ah al-‘ahdi wa al-Ilmi al-
Faransi li al-As\ar al-Syarqiyyah.
Azami, Muhammad Mustafa. (1977). Studies in Hadith Methodology and
Literature. Indianapolis : Islamic Teaching Center.
Azami, Muhammad Mustafa. (1978). Studies in Early Hadith Literature.
Indianapolis: Amirican Trust Publication.
Hanbal, Abu> ‘Abd Alla>h Ah}mad ibn. (1998). Musnad Ah}mad bin
H}anbal. Juz V Mesir: Da>r al-Syu’u>b.
Hitti, Philip K. (1974). History of The Arabs. London : The Macmillan Press
Ltd.
Ismail, M. Syuhudi. (1992). Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta :
Bulan Bintang.
Ismail, M. Syuhudi. (1995). Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual
(Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran yang Universal, Temporal,
dan Lokal). Jakarta : Bulan Bintang, 1994.
Ismail, M. Syuhudi. (1995). Kaedah Kesahihah Sanad Hadis. Jakarta : Bulan
Bintang.
Al-Maliki, ‘Alwi ‘Abba>s dan Hayy Sulaima>n al-Nu>ri al-. (t.t.). Iba>nah
al-Ahka>m Syarh} Bulu>gh al-Mara>m. Kairo : Syirkah al-Syamrali.
Muhammad, Husein. (2002). Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana
Agama dan Gender. Yogyakarta: LkiS.
Rahman, Budhy Munawar (Ed.). (1994). Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah. Jakarta : Paramadina.
Sâbiq, Sayyid. (1987). Fiqh al-Sunnah. Juz I. Kairo : Da>r al-Fikr, 1987.
Sarapung, Elga, dkk. (1999). Agama dan Kesehatan Reproduksi Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan.
Al-Sijistâni, Abu> Da>wud Sulaima>n bin al-Asy’as. (t.t.) Sunan Abi>
Da>wud. Beirut: Da>r al-Fikr.
Al-Syafi’i, Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad bin Idri>s al-Sya>fi’i>. (1975).
al-Umm. Beirut : Da>r al-Fikr.
________. (1983). Kita>b Ikhtila>f al-H}adi>s\. Beirut : Da>r al-Fikr.
Syauka>ni>, al. (1973). Nail al-Aut}a>r . Juz I. Beirut : Da>r al-Ji>l.
T}ahhân, Mah}mu>d. (1978). Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid. Aleppo :
al-Mat}ba’ah al-Arabiyyah.
T}ahhân, Mah}mu>d. (1979). Taisi>r Mus}t}alah al-H}adi>s\. Beirut : Da>r
al-Qur’a>n al-Kari>m.
Umar, Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender : Perspektif Al-
Qur’an Jakarta : Paramadina.
Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadis. Jakarta : Media Pratama, 1996.
Wensinck, A.J. (1936). al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z\} al-H}adi>s\ al-
Nabawi. Leiden : E.J. Brill.
Al-Z}ahabi, Abu> ‘Abd All>ah Muh}ammad bin Ah}mad . (1962). Mizan al-
I’tidal Fi Naqd al-Rijal. t.tp.: Isa al-Babi al-Halaby.
Al-Z}ahabi, Abu> ‘Abd All>ah Muh}ammad bin Ah}mad al>. (1971). al-
Mughni Fi> al-Du’afa>’. Suriah : Da>r al-Ma’a>rif.
Zahw, Muh}ammad Muh}ammad Abu>. (1984). al-H}adi>s\ wa al-
Muh}addis\u>n. Beirut : Da>r al-Kita>b al-’Arabi, 1984.

You might also like