You are on page 1of 2

POLITIK SEBAGAI KEBAJIKAN

Oleh Radhar Tribaskoro 

"Saya mengikuti pemilu ini untuk menyeru kepada para pelobi korporasi bahwa hari-hari mereka mengatur
agenda Washington telah berakhir. Saya telah bekerja jauh lebih keras daripada kandidat lain untuk melawan
para pelobi itu - dan menang. Mereka tidak akan mendanai kampanye saya, mereka tidak akan mendapatkan
kontrak pekerjaan dari Gedung Putih saya, dan mereka tidak akan bisa menyingkirkan suara rakyat Amerika
selama saya menjadi Presiden." (Barrack Obama, 10 November 2007)

Pernyataan Obama tersebut mengiang kembali di telinga saya selepas membaca rekomendasi Musyawarah
Nasional Majelis Ulama Indonesia ke-VIII yang berakhir, pekan lalu. Bagian rekomendasi yang
mengingatkan saya kepada pidato Obama itu adalah saran MUI kepada pemerintah untuk meninjau ulang
pemilihan kepala daerah (pemilukada) secara langsung. Menurut MUI, pemilukada telah menimbulkan
praktik kapitalisme dan liberalisme dalam perpolitikan kita. Praktik tersebut menyebabkan dominasi
kekuatan modal ketimbang kapabilitas, kapasitas, dan integritas calon, serta terjadinya konflik horizontal dan
pemborosan keuangan negara dan masyarakat.

Sesungguhnya seruan yang mempersoalkan pemilukada langsung bukanlah hal baru. Semula saya berpikir
bahwa itu pernyataan yang wajar dari kelompok yang melemah akibat tergerus kepentingannya. Namun
pernyataan MUI kemarin menyadarkan saya bahwa salah paham tentang pemilihan umum langsung telah
menjangkau kalangan yang menjadi panutan rakyat banyak.

Saya juga menyadari, pemilu kita belumlah sempurna. Ada banyak ekses seperti biaya yang mahal, konflik
horizontal, kerusuhan, sidang gugatan, dan yang paling berbahaya: politik uang. Hal itulah yang
mengingatkan saya kepada Obama, bahwa politik kita umumnya dan pemilu kita khususnya akan terus
terancam oleh belitan kekuatan modal. Apakah dengan segala ekses itu kita perlu membatalkan pemilu
langsung?

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada pendapat yang berbeda, saya ingin menegaskan, pemilu
langsung adalah implikasi logis dari cita-cita konstitusional untuk mewujudkan negara demokrasi.
Pembatalan pemilu langsung hanya berarti penolakan atas tekad kita untuk mewujudkan negara demokrasi.

Menyucikan politik

Keprihatinan kita akan politik uang jelas tidak unik. Sinyalemen Obama menunjukkan bahwa negara
demokrasi termaju seperti Amerika Serikat sekalipun memiliki keprihatinan yang sama. Politik dan
keterlibatan uang di dalamnya harus diakui bersifat universal dan eternal.

Politik uang adalah sisi lain dari politik sebagai kebajikan, seperti kata Plato, Confucius, dan Empu
Prapanca. Strategi kita dalam perang melawan politik uang itu tidak bisa lain kecuali terus memuliakan dan
menyucikan politik sebagai kebajikan. Ruang-ruang gelap dunia politik harus kita singkap, perilaku pejabat
publik terus disorot, sikap kritis masyarakat dan media massa dikedepankan, tatanan pemerintahan
diperbaiki.

Melawan politik uang tidak dapat dilakukan dengan mendegradasi politik kebajikan. Mengubah pemilu
langsung menjadi pemilu tak langsung adalah contoh degradasi politik. Apakah memilih kepala daerah oleh
DPRD akan melenyapkan politik uang? Jawabnya jelas tidak. Apakah konflik horisontal akan menurun? Ini
pun tidak. Apakah pemilu langsung terlalu mahal? Apa definisi kita tentang mahal? Anggaran Pemilukada
Bandung 2010 hanya berkisar Rp15.000/penduduk. Mereka yang menganggap biaya itu mahal menurut saya
telah mendegradasi atau menurunkan nilai politik. Akibatnya, ruang politik yang sekarang sedikit terbuka
akan menutup lagi. Dalam ruang gelap, politik transaksional justru akan lebih meruyak.

Paradoks pemilukada

Isu tentang biaya pemilu sejatinya menyangkut dua komponen, yaitu biaya penyelenggaraan dan biaya
kampanye kandidat. Biaya penyelenggaraan pemilu pada dasarnya bukan masalah karena nilainya tidak
signifikan terhadap keuangan negara. Walaupun demikian biaya tersebut masih bisa dihemat dengan
menyerentakkan pemilu, penggunaan teknologi informasi, dan sentralisasi pendaftaran pemilih.

Titik berat isu tentang politik uang terletak pada tingginya biaya kampanye. Kandidat menutupi kebutuhan
kampanyenya dengan menggalang dana sumbangan dan dari kantungnya sendiri. Ironisnya, sebagian besar
biaya yang diperoleh dari sumbangan itu justru dipergunakan untuk menyumbang kepada konstituen. Inilah
paradoks pemilih dalam pemilu kita, mereka bukannya menyumbang sebaliknya malah mengharapkan
sumbangan dari kandidat.

Paradoks kedua pernah dikemukakan Mendagri Gamawan Fauzi yaitu, sebaiknya kita sebut, paradoks
kandidat. Menurut dia, kandidat harus mengeluarkan uang besar sekali untuk memenangkan pemilukada,
padahal penghasilannya sebagai kepala daerah jauh tidak mencukupi untuk menutupi pengeluarannya itu.

Paradoks pemilih dan paradoks kandidat menunjukkan, memang ada yang salah dalam sistem pemilukada
kita. Kedua paradoks itu menjelaskan betapa besar peran pemilik modal dalam pemilukada. Kenyataan
bahwa hampir tidak ada kepala daerah kita yang menjadi lebih miskin setelah menjabat dibandingkan
dengan sebelumnya, memperkuat peran pemilik modal karena mereka pula kiranya yang menutup
pengeluaran pribadi kandidat.

Biang keladi meruyaknya kedua paradoks itu adalah kegagalan sistem politik kita mengusung politik sebagai
kebajikan (virtue). Politik memang diharapkan mengedepankan resiprositas. Kesepakatan atau kontrak yang
terjalin antara pemimpin dan yang dipimpin mengandaikan adanya hubungan timbal-balik saling
menguntungkan. Dalam politik kebajikan, asas timbal balik itu menuntut pemimpin untuk memberikan
pelayanan terbaik kepada konstituen dan seluruh rakyat. Pemimpin menawarkan akhlak tanpa cela, cita-cita
mulia, program kerja, dan kapasitas untuk menjalankannya. Pemilih mendukung pemimpin dengan
memberikan kepercayaan, juga dana mereka.

Sistem politik kita gagal melahirkan pemimpin-pemimpin seperti itu. Politikus-politikus kita hanya sibuk
mengejar kedudukan dan mengemas citra. Hampir tidak ada yang terlibat dalam wacana yang mencerahkan
masyarakat.

Politik di dalam lingkaran partai-partai itu adalah politik yang banal, tidak memiliki kedalaman dan
kemuliaan. Banalitas politik berjalan beriring dengan politik uang. Politikus banal tidak memiliki alternatif
lain mempengaruhi pemilih kecuali menyuapnya dengan uang.

Kesimpulan kita, akar masalah politik uang terletak pada kebanalan partai-partai politik. Mengikis politik
uang tidak dapat dilakukan dengan membatalkan pemilu langsung. Langkah itu justru akan makin
menjauhkan partai politik dan politikus mereka untuk membenahi diri. Alhasil kita akan lebih jauh
terperosok ke dalam kebanalan.***

Penulis, Ketua Forum Aktivis Bandung.

Cat.: Dimuat di Pikiran Rakyat, 2 Agustus 2010

You might also like