You are on page 1of 13

Dasar hukum SBKRI adalah Undang-Undang no.

62 tahun 1958 tentang "Kewarga-negaraan


Republik Indonesia" yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman G.A. Maengkom dan disahkan oleh
Presiden Soekarno.
Salah satu alasan utama yang selalu dikemukakan adalah bahwa kebijakan SBKRI merupakan
konsekuensi dari klaim politik pemerintahan Mao Zedong bahwa semua orang Tionghoa di seluruh
dunia termasuk Indonesia adalah warga negara Republik Rakyat Tiongkok karena asas ius
sanguinis (keturunan darah). Kebijaksanaan itu kemudian ditindaklanjuti dengan Perjanjian Dwi-
Kewarganegaraan RI-RRT antara Chou En Lai dan Mr. Soenario pada 1955.
Dalam Pasal 12 Bab II Peraturan Pemerintah No 20/1959 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
tentang Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok disebutkan bahwa
ada berbagai kelompok WNI yang dikelompokkan sebagai WNI tunggal atau mereka yang tidak
diperkenankan untuk memilih kewarganegaraan RI-RRT dan tetap menjadi WNI, yaitu untuk
mereka yang berstatus misalnya tentara, veteran, pegawai pemerintah, yang pernah membela nama
Republik Indonesia di dunia Internasional, petani atau bahkan secara implisit mereka yang sudah
pernah ikut Pemilu 1955. Tapi peraturan ini tidak dilaksanakan dan tetap saja perjanjian
dwikewarganegaraan dengan kewajiban memilih kewarganegaraan RI atau RRT diterapkan kepada
mereka.
Perjanjian Dwikewarganegaraan RI-RRT ini yang dituangkan dalam UU No 2/1958 pada tanggal 11
Januari 1958 dan diimplementasikan dengan PP No 20/1959 dengan masa opsi 20 Januari 1960
hingga 20 Januari 1962, sudah menyelesaikan permasalahan dwikewarganegaraan RI-RRT. Dengan
demikian, setelah perjanjian dwikewarganegaraan tersebut dibatalkan pada 10 April 1969 dengan
UU No 4/1969, permasalahan status WNI Tionghoa sudah terselesaikan dan anak-anak WNI
Tionghoa yang lahir setelah tanggal 20 Januari 1962 sudah menjadi WNI tunggal, yang setelah
dewasa tidak diperbolehkan lagi untuk memilih kewarganegaraan lain-selain kewarganegaraan
Indonesia (Penjelasan Umum UU No 4/1969) dan tidak perlu lagi membuktikan kewarganegaraan
dengan SBKRI.

[sunting] Kronologi
1946 - Indonesia pada tahun 1946 telah jelas mengundangkan bahwa Indonesia menganut azas ius
soli. Siapa saja yang lahir di Indonesia adalah warga negara Indonesia. Dengan demikian, secara
otomatis, orang Tionghoa yang ada di Indonesia sejak Proklamasi 1945 adalah WNI suku Tionghoa.
1949 - Belanda mengharuskan Indonesia mendasarkan peraturan kewarganegaraannya ke zaman
kolonial bila ingin mendapat pengakuan kedaulatan dari Belanda. Orang Tionghoa di Indonesia
kembali diharuskan memilih ingin jadi WNI atau tidak.
1955 - Perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara RRC dan Indonesia ditandatangani. Karena ada
klaim dari Mao Zedong bahwa RRC menganut azas ius sanguinis, siapa yang lahir membawa marga
Tionghoa (keturunan dari laki-laki Tionghoa) maka ia otomatis menjadi warga negara Tiongkok.
(Hal ini merupakan alasan politik untuk menggalang dukungan dari kalangan Tionghoa perantauan
seperti yang dilakukan oleh ROC Taiwan (nasionalis)). Di KAA Bandung, Zhou Enlai menyatakan
bahwa keturunan Tionghoa di Indonesia berutang kesetiaan pada negara leluhur. Mao di satu pihak
meluncurkan kebijakan ini, namun di lain pihak merasa keturunan Tionghoa di luar negeri adalah
masih memihak kepada ROC yang nasionalis.
1958 - Perjanjian dituangkan dalam UU, menegaskan bahwa orang Tionghoa di Indonesia kembali
diperbolehkan memilih kewarganegaraan Tiongkok atau Indonesia. Batas waktu pemilihan sampai
pada tahun 1962. Yang memilih menjadi WNI tunggal harus menyatakan diri melepaskan
kewarganegaraan Tiongkok.
1969 - Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dibatalkan. Yang memegang surat pernyataan Dwi
Kewarganegaraan menjadi stateless (tidak memiliki kewarganegaraan) bila tidak menyatakan
keinginan menjadi WNI.
1978 - Peraturan Menteri Kehakiman mewajibkan SBKRI bagi warga Tionghoa.
1983 - Keputusan Menteri Kehakiman , menegaskan bahwa SBKRI hanya wajib bagi mereka yang
mengambil surat pernyataan Dwi Kewarganegaraan lalu menyatakan keinginan menjadi WNI. Jadi
bagi WNI tunggal dan keturunannya (yang telah menyatakan menjadi WNI tunggal sebelum tahun
1962 dan yang keturunan mereka, serta semua orang Tionghoa yang lahir setelah tahun 1962) tidak
diperlukan SBKRI.
1992 - Keputusan Menteri Kehakiman , menegaskan bahwa anak2 keturunan dari orang Tionghoa
pemegang SBKRI cukup menyertakan SBKRI orang tua sebagai bukti mereka adalah WNI.
1996 - Penyertaan SBKRI tidak diberlakukan lagi atas Keputusan Presiden. Namun tidak banyak
yang tahu karena kurangnya sosialisasi dan sikap apatis dari orang Tionghoa sendiri.
1999 - Keputusan Presiden tahun 1996 itu diperkuat sekali lagi dengan Instruksi Presiden tahun
1999.

[sunting] Perkembangan terakhir


Pada tanggal 8 Juli 1996, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor
56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Di pasal 4 butir 2 berbunyi, "Bagi warga negara Republik Indoensia yang telah memiliki Kartu
Tanda Penduduk (KTP), atau Kartu Keluarga (KK), atau Akte Kelahiran, pemenuhan kebutuhan
persyaratan untuk kepentingan tertentu tersebut cukup menggunakan Kartu Tanda Penduduk, atau
Kartu Keluarga (KK), atau Akte Kelahiran tersebut."
Sedangkan pasal 5 berbunyi, "Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka segala peraturan
perundang-undangan yang untuk kepentingan tertentu mempersyaratkan SBKRI, dinyatakan tidak
berlaku lagi."
Pada 1999, dikeluarkan Instruksi Presiden No 4/1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No
56/1996 yang menginstruksikan tidak berlakunya SBKRI bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi
WNI.
Namun sebenarnya, praktek persyaratan SBKRI masih tetap ada di birokrasi pemerintahan karena
kurangnya sosialisasi pemberlakuan Keppres ini dan juga karena lemahnya sistem hukum Indonesia
yang menyebabkan peraturan perundang-undangan dapat begitu saja diabaikan.
April 12, 2008

Makna Pemberian Sertifikat


Kewarganegaraan RI
Oleh Mustofa Liem
Ada hal yang patut diapresiasi terkait status kewarganegaraan sejumlah
warga stateless Rabu (9/4). Dalam hal ini, pemberian status
kewarganegaraan RI kepada 139 warga stateless oleh Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Andi Mattalata di Surabaya (Jawa Pos, 10 April 2008)
patut disambut gembira.
Ada beberapa makna signifikan dari peristiwa tersebut. Pertama, yang
menerima sertifikat tentu sudah bebas dari kondisi "stateless". Kita bisa
membayangkan bagaimana susahnya orang hidup tanpa kelengkapan
administrasi seperti kartu tanda penduduk (KTP).
Mau berbisnis atau melakukan aktivitas sosial tentu tidak bisa bebas
sebagaimana yang punya KTP. Di luar 139 orang itu, tentu masih ada ribuan
orang yang statusnya tanpa kewarganegaraan.
Pada dasarnya, tidak ada seorang pun bisa dianggap "stateless". Sebab,
setiap orang pasti mendiami suatu negara. Dengan demikian, orang tersebut
secara de facto layak disebut sebagai warga negara.
Dalam pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 (Montevideo Convention on the
Rights and Duties of States) disebutkan syarat-syarat berdirinya sebuah
negara antara lain: (1) penduduk tetap; (2) wilayah; (3) pemerintahan; (4)
kedaulatan.
Dari konvensi tersebut, dapat diketahui betapa pentingnya arti warga bagi
sebuah negara. Unsur warga negara menjadi faktor utama berdirinya sebuah
negara. Dalam arti, tanpa adanya warga, negara sebenarnya tidak mungkin
ada.
Memang secara de jure, sebelumnya status kewarganegaraan ke-139 warga
"stateless" itu tidak diakui karena tidak memenuhi syarat-syarat administrasi
yang ditentukan negeri ini. Hal itu, misalnya, juga sedang dialami sekitar 200
ribu buruh migran Indonesia di Malaysia, mengingat mereka tidak
memperpanjang KTP atau paspor Indonesia.
Sikap Resmi Pemerintah
Lalu, makna kedua pemberian sertifikat kewarganegaraan itu bahwa
pemerintah RI sesungguhnya tidak pernah punya sikap atau kebijakan yang
diskriminatif. Hal itu tampak dari ucapan Menkum-HAM Andi Mattalata bahwa
pemerintah mau menerima siapa pun sebagai warga negara Indonesia.
Setiap orang yang lahir di Indonesia juga tak bakal didiskriminasi, tak peduli,
dia keturunan Tionghoa, Australia, maupun lainnya.
Pemberian sertifikat itu juga senada dengan pesan Presiden SBY. Pada
perayaan Imlek 2558 (2007), SBY mengirimkan pesan penting, "Sudah bukan
saatnya lagi ada diskriminasi. Sudah bukan saatnya saling mencurigai,
membeda-bedakan orang berdasar asal etnis dan keyakinan yang dianut."
(Jawa Pos, 25/02/2007). Pada perayaan Imlek 2559 (2008), SBY juga
menyatakan, "Jangan ada lagi diskriminasi." (Jawa Pos, 18/02/2008).
Baik pesan Presiden SBY maupun Menkum-HAM Andi Mattalata
memperlihatkan keseriusan pemerintah menuntaskan masalah diskriminasi.
Keseriusan itu sudah dirintis dengan adanya regulasi yang menjamin
diakhirinya segala bentuk diskriminasi. Yakni, UU No 12/2006 tentang
Kewarganegaraan yang disahkan DPR 11 Juli 2006 dan ditandatangani
Presiden SBY pada 1 Agustus 2006.
Bangsa ini memang harus belajar bahwa tidak ada kebajikan apa pun yang
lahir dari praktik diskriminasi. Persoalan hubungan antaretnis dan antara
kelompok etnis dan negara harus menemukan kata tuntas. Kalau tidak, hal
tersebut justru akan menjadi bom waktu bagi sebuah bangsa dan negara
yang multietnis-multikultural seperti Indonesia.
Becermin dari Negeri Jiran
Bangsa ini harus belajar banyak dari kasus yang menimpa negeri jiran
Malaysia. Di negeri tetangga ini, pola hubungan antaretnis dan antara
kelompok etnis dan negara masih menyisakan persoalan besar. Negara
beserta birokrasi yang dibentuknya lebih banyak didasarkan pada
pendekatan rasial.
Meski secara faktual Malaysia dibangun di atas tiga kelompok etnis (yakni
Melayu, Tiongkok, dan India) sebagai modal sosial-politiknya, orang Tiongkok
dan India masing-masing menjadi warga negara kelas dua dan tiga di negeri
jiran itu. Bom waktu pun tak bisa terhindarkan. Dan, gejolak politik beserta
kasus kerusuhan yang digerakkan kelompok etnis India pada bulan-bulan
terakhir ini menjadi bukti konkretnya.
Meski sudah ada jaminan dari pemerintah kita, bahkan didukung regulasi,
perjuangan melawan diskriminasi di tanah air tidak selalu mudah. Para
oknum birokrat kita di lapangan, khususnya di Imigrasi atau Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil, dikenal sangat licin dan pandai mencari
celah. Hukum dan kebijakan pemerintah di atas bisa antidiskriminasi, tapi di
bawah segalanya bisa lain.
Jika ada oknum, misalnya meminta SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan
RI), hal itu harus ditolak karena SBKRI sudah tidak diberlakukan lagi. Bahkan
jika masih ada yang meminta, mereka bisa dijerat secara hukum, seperti
diamanatkan UU No 12/2006.
Lalu pesan yang tak kalah penting, relasi antaretnis jangan hanya bersifat
legal formal dan hanya menonjolkan aspek administratif. Sertifikat
kewarganegaraan memang penting, namun yang lebih penting bagaimana
bisa terjalin komunikasi dan interelasi yang harmonis antarwarga bangsa di
negeri ini.
Maka dalam konteks ini, kita perlu terus menghayati semangat
multikulturalisme. Awalnya multikulturalisme di Indonesia memang
mengambil inspirasi dari Will Kymlicka (Liberalism Community and Culture,
1989). Bingkai kebudayaan ditaruh pada kesadaran tiap orang untuk merajut
hidup yang baik di tengah fakta keberagaman yang tak terbantahkan di
tengah masyarakat.
Sebagai sebuah konsep, multikulturalisme menjadi dasar bagi tumbuhnya
masyarakat sipil yang demokratis demi terwujudnya keteraturan sosial
sehingga bisa menjamin rasa aman bagi masyarakat untuk kemudian
menjamin kelancaran tata kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat.
Mustofa Liem, dewan Penasihat Jaringan Tionghoa untuk Kesetaraan, WNI
asal Jatim bekerja di Singapura
(jawa pos dotcom)
Tags: Jawa Pos dotcom, KTP, Oleh Mustofa Liem
Filed under Hukum by Wan Agus

Permalink Print Comment

March 5, 2008

Integritas Aparat Hukum Tambah Buram


Oleh Abdul Waid
Publik kembali dikejutkan dengan kasus suap-menyuap yang melibatkan aparat penegak
hukum. Urip Tri Gunawan, koordinator jaksa penyelidik kasus BLBI (bantuan likuiditas
Bank Indonesia), tertangkap tangan menerima suap USD 600 ribu (Jawa Pos, 3/3/2008).
Entah sudah berapa kali kasus semacam ini (baca: suap-menyuap) terjadi di negeri ini,
seakan publik telah "bosan" mendengar aparat penegak hukum yang menyelewengkan
amanah rakyat.
Kasus yang mencoreng penegakan hukum di Indonesia itu sebenarnya hanya repetisi.
Mari kita membuka daftar hitam praktik mafia peradilan di Indonesia. Tentu masih segar
dalam ingatan kita pada saat KPK menangkap pengacara yang sedang menyuap panitera
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan pegawai MA.
Kita tentu belum lupa dengan kasus dugaan suap-menyuap Irawady Joenoes, pejabat
koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim
Komisi Yudisial (KY), yang tertangkap basah menerima suap dari Freddy Santoso, penjual
tanah dari PT Persada Sembada, Jakarta, sebesar Rp 600 juta dan 30 ribu dolar AS
dalam pengadaan tanah untuk gedung KY.
Secara de facto, tentu mereka bukanlah orang yang tidak mengerti tentang supremasi
hukum. Mereka adalah orang "berpendidikan" yang secara sadar mengetahui bahwa
secara konstitusional terdapat UU No 31/1999 pasal 5 ayat 1 yang telah diamandemen
dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur
soal penyuapan dan pasal 11 UU No 31/1999 tentang Pemberian Hadiah.
Artinya, jika kasus penyuapan itu melibatkan orang awam, barangkali mereka masih
memiliki alasan tidak mengerti tentang hukum. Lalu, kenapa justru orang yang mengerti
hukum, bahkan aparat penegak hukum, yang secara terang-terangan melanggar
ketentuan hukum? Itulah potret bahwa Indonesia masih krisis integritas aparat penegak
hukum.
Di satu sisi, penangkapan Urip Tri Gunawan adalah prestasi berharga bagi pemerintah
saat ini dalam upaya memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Prestasi itu bisa
diasumsikan KPK memang terus mendukung upaya pemerintah untuk menciptakan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Agar dapat dipercaya bahwa pemerintahan
SBY-JK benar-benar menjalankan apa yang dicita-citakan masyarakat.
Langkah KPK tersebut telah mengindikasikan adanya bentuk keberanian dalam
mengawasi aparat penegak hukum, pejabat, agar pembiayaan dan anggaran bisa berjalan
dengan baik.
Pada sisi lain, kasus suap yang melibatkan Urip Tri Gunawan semakin mengikis rasa
hormat dan kepercayaan masyarakat kepada institusi-institusi hukum beserta individu-
individu di dalamnya. Bukan tidak mungkin, tercemarnya nama baik Kejaksaan Agung
sebagai sebuah institusi hukum, misalnya, adalah sebuah konsekuensi logis yang tidak
bisa dihindari karena ulah salah satu aparat kejaksaan yang dapat disuap.
Pertanyaannya, kepada siapa masyarakat layak menaruh harapan dalam penegakan
hukum jika aparat penegak hukum telah terbukti melanggar hukum?
Refleksi Kritis
Kasus suap yang melibatkan Urip Tri Gunawan harus diakui semua pihak bahwa
Indonesia masih krisis integritas aparat penegak hukum. Fenomena itu perlu dijadikan
refleksi bagi pihak terkait seperti DPR untuk membenahi sistem perekrutan orang-orang
yang akan duduk di lembaga hukum.
Subjektivitas personal, seperti kedekatan dengan salah satu partai, ataupun pemberitaan
media mengenai loyalitas kinerjanya, tidak harus menjadi acuan utama dalam memilih
orang-orang sebagai "penegak hukum". Sebab, belum tentu hal itu akan menjamin
integritas seseorang dalam menegakkan keadilan.
Terbukti, meski Urip Tri Gunawan telah menapaki karir sebagai jaksa di Kejaksaan Agung,
termasuk salah seorang jaksa yang "berteriak" menuntut mati Amrozi dan Imam Samudra,
ternyata dia masih "tergiur" dengan suap. Untuk itu, ke depan dalam sistem penempatan
para penegak hukum harus mempertimbangkan aspek-aspek lain, misalnya aspek etika
dan moral, aspek religiusitas, aspek dedikasi, maupun aspek-aspek lain.
Selain itu, meski kasus tersebut bersifat individual dan bukan institusional, publik tetap
menilai kasus itu melibatkan dua institusi penegak hukum, yaitu KPK dan Kejaksaan
Agung.
Untuk itu, keduanya perlu menunjukkan independensi dan sikap bijak sebagai lembaga
hukum. Meski tersangka adalah jaksa di Kejaksaan Agung, lembaga tersebut tetap harus
membantu KPK dalam pengusutan kasus penyuapan yang melibatkan anggotanya.
Artinya, sikap kooperatif harus ditunjukkan demi upaya penegakan hukum.
Masyarakat mungkin memprediksi akan terjadi kontradiktif antara KPK dan Kejaksaan
Agung dalam penanganan kasus Urip Tri Gunawan. Karena itu, semua pihak, khususnya
Kejaksaan Agung, harus menghormati segala proses hukum yang dilakukan KPK. KPK
juga harus menunjukkan profesionalisme dalam menangani kasus tersebut. Semoga !
Abdul Waid, alumnus Pondok Pesantren TMI Nurul Huda Pakandangan Barat, Sumenep
(E-Mail : a_waid04@yahoo.com)
Sumber : jawa pos dotcom
Filed under Hukum, Moralitas by Zaidan A

Permalink Print Comment

January 4, 2008

Penemuan Hukum ataukah Perilaku


"Chaos"?
Oleh Amir Syamsuddin
Mahkamah Agung mengklaim telah melakukan penemuan hukum tatkala memutus
perkara sengketa Pilkada Sulsel. Hal itu dilakukan demi memperoleh kebenaran
material/substansial yang tidak mungkin diperoleh jika hanya mengikuti peraturan formal.
Namun, banyak pihak menyatakan, Mahkamah Agung (MA) telah melampaui wewenang
dan sama sekali tidak mempertimbangkan peraturan perundang-undangan pilkada seperti
UU No 32 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya. Pertanyaannya, benarkah MA telah
melakukan penemuan hukum?
Proses konkretisasi
Penemuan hukum (rechtsvinding) merupakan proses pembentukan hukum dalam upaya
menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah
atau metode-metode tertentu, seperti interpretasi, argumentasi atau penalaran
(redenering), konstruksi hukum, dan lain-lain. Kaidah-kaidah dan metode-metode tersebut
digunakan agar penerapan aturan hukumnya terhadap peristiwanya tersebut dapat
dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum sehingga hasil yang diperoleh dari
proses tersebut juga dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum. Ini
artinya penemuan hukum dapat diartikan sebagai proses konkretisasi peraturan (das
sollen) ke dalam peristiwa konkret tertentu (das sein).
Dalam praktik, kita temukan banyak peristiwa yang belum diatur dalam hukum atau
perundang-undangan, atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas.
Oleh karena itu, peraturan hukum yang tidak ada harus diadakan, yang tidak jelas harus
dijelaskan, dan yang tidak lengkap harus dilengkapi, dengan jalan menemukan hukumnya
agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Dengan penemuan
hukum, kita berharap setiap putusan hakim harus mengandung aspek keadilan, kepastian
hukum, dan kemanfaatan.
Banyak metode yang dapat digunakan untuk menemukan hukum, namun setiap metode
tersebut tidak boleh mengabaikan asas-asas dan prinsip-prinsip hukum umum yang
berlaku universal, baik yang terkandung dalam setiap undang-undang, yurispurensi,
doktrin, perjanjian, kebiasaan, dan perilaku manusia yang beradab. Kita juga tidak dapat
mengabaikan begitu saja tujuan dari pembentuk dan pembentukan undang-undang
karena hal itu merupakan jiwanya. Tanpa ini, sebuah undang-undang tidak ada artinya.
Jika hukum diamini oleh Satjipto Rahardjo sebagai perilaku, apa yang dilakukan oleh MA
di dalam membuat putusan dalam kasus Pilkada Sulsel adalah sebuah bentuk perilaku
yang chaos. Dalam teori hukum, chaos bermakna kekacauan dan ketidakteraturan. Dunia
chaos dalam arti positif akan dipenuhi dengan energi kegelisahan, gairah, hasrat,
kehendak, dan ekstase yang mendorong bagi penjelajahan, pencarian sehingga
menciptakan peluang kreativitas, dinamisitas, dan produktivitas.
Apakah penemuan hukum dalam hal ini bisa dimaknai sebagai bagian dari ke-chaos-an?
Bisa ya dan bisa tidak. Namun, dari sisi negatif, dunia chaos bisa bermakna pada
ketidakteraturan dan kekacauan yang merusak tatanan nilai dan norma, artinya
bertentangan dengan teori tentang sistem hukum (theories of legal system). Oleh karena
itu, dunia chaos harus didasarkan pada energi kegairahan, bukan didasarkan pada energi
kepentingan/kekuatan.
Charles Sampford menggunakan teori chaos sebagai melle (disorder of law). Menurut
beliau, hukum pada dasarnya adalah kondisi ketidakteraturan karena begitu banyak faktor
yang memengaruhinya, termasuk kekuatan-kekuatan yang saling tarik- menarik dan
berbenturan di dalamnya (asimetris). Bagi penganut teori sistem hukum, pembentukan
perilaku yang diperankan oleh MA dalam kasus Pilkada Sulsel adalah perilaku chaos bagi
dunia hukum dan lawan bagi keteraturan.
Namun, perlu dipertanyakan, betulkah MA menyadari "teori chaos" semacam ini. Apabila
disadari, pengambilan putusan MA dalam kasus Pilkada Sulsel masih bisa dipahami.
Namun, apabila hal itu dikatakan sebagai suatu penemuan hukum sebagaimana dipahami
oleh teoretisi hukum selama ini, hal tersebut tidaklah dapat dimengerti.
Kebenaran substansial
Di dalam menyikapi putusan MA yang memerintahkan dilakukan pilkada ulang sebagai
bagian dari penemuan hukum, kami mempunyai pendapat sendiri. Peraturan perundang-
undangan pilkada di Indonesia seperti UU No 32 Tahun 2004 dan peraturan
pelaksanaannya telah mengatur tentang apa yang disebut sebagai sengketa
penghitungan suara/sengketa pilkada, sengketa administrasi, dan kasus pilkada.
Untuk penyelesaian sengketa penghitungan suara telah diatur mekanismenya melalui
upaya "keberatan", baik yang diajukan ke pengadilan tinggi maupun MA. Untuk sengketa
administratif telah diatur penyelesaiannya melalui peraturan dan keputusan KPU ataupun
KPUD. Adapun untuk kasus-kasus pilkada seperti penggelembungan, kecurangan, dan
tindakan-tindakan yang bersifat pidana diselesaikan melalui peradilan umum.
Oleh karena itu, dalam upaya penyelesaian sengketa penghitungan suara melalui
"keberatan" ke pengadilan tinggi ataukah ke MA, kebenaran yang dicari adalah kebenaran
angka, bukanlah kebenaran substansial sebagaimana yang dimaksudkan dalam putusan
MA dalam memeriksa upaya "keberatan" dalam Pilkada Sulsel. Sementara pencarian
kebenaran substansial hanyalah bisa dilakukan oleh peradilan umum untuk
menyelesaikan kasus-kasus pilkada yang bersifat pidana. Oleh karena itu, tidaklah salah
apabila banyak pihak menyatakan MA telah melampaui wewenangnya.
Jikalau MA kemudian menyatakan telah melakukan penemuan hukum di dalam
menyelesaikan sengketa penghitungan suara, penemuan hukum seperti apa yang
dimaksudkan oleh MA. Bagaimana mungkin sebuah sengketa "angka" dicari dalam
kebenaran substansial? Peraturan perundang-undangan pilkada kita telah mengatur
secara jelas dan lengkap bagaimana menyelesaikan sebuah "sengketa angka", bahkan
mengatur alat-alat bukti yang bisa dipakai di dalam mencari kebenaran angka tersebut.
Jadi, tidak ada hukum yang harus ditemukan, dicari, dilengkapi, ataupun dijelaskan.
Penemuan hukum ataupun perilaku chaos hanyalah dapat dipahami secara teoretis, tapi
benarkah putusan MA dalam kasus Pilkada Sulsel telah memberikan keadilan, kepastian,
dan kemanfaatan? Hanya publik yang bisa menilainya.
AMIR SYAMSUDDIN Praktisi Hukum, Jakarta
Sumber : KCM
Filed under Hukum by admin

Permalink Print Comment

Related Posts
• Parpol Besar di Padang Pasir (100%)

December 22, 2007

Anomali Sarimin Noda Hitam Penegak


Hukum
Oleh Hotman M. Siahaan

Raja monolog Butet Kartaredjasa dengan lakon Pengakuan Sarimin-nya


sempat diancam akan dicekal oleh kepolisian Surabaya. Meski tak menjadi
kenyataan, ancaman itu merupakan noda hitam penegak hukum terhadap
wajah kesenian yang patut diberi catatan buruk pada akhir 2007. Inilah
cacatan Hotman M. Siahaan.
———
Butet Kartaredjasa, sang raja monolog itu, kembali mengguncang Surabaya
dalam dua malam pementasannya, 14-15 Desember 2007, dengan penonton
membeludak lewat lakon Pengakuan Sarimin. Melalui Sarimin, si tandak
bedhes, Butet mengoyak kenyataan betapa kejamnya hukum bagi keluguan
rakyat, nurani kejujuran, bahkan nilai kemanusiaan.
Sarimin adalah representasi wong cilik yang masih punya nurani kejujuran,
percaya pada kebenaran, dan mengagungkan hukum. Nasibnya menemukan
KTP seorang hakim agung yang tercecer di lokalisasi, yang bagi orang
kebanyakan mungkin suatu ketidakpedulian. Namun, bagi Sarimin sebaliknya,
dengan kepeduliannya, dia hendak melaporkan dan menyerahkan KTP tersebut
ke kantor polisi.
Tapi, itulah awal bencana nasibnya yang malang, dilindas purbasangka
aparatur hukum, digencet mesin keadilan dan kebenaran yang bernama
hukum, dan Sarimin tergilas tanpa sisa.
Lewat Sarimin, Butet mencabik-cabik jubah keadilan dan kebenaran serta
mempertontonkannya sebagai borok yang busuk. Inilah konstruksi, hukum
yang anomali, yang di dalamnya kepedulian adalah bencana, keluguan adalah
prahara, dan kebenaran adalah kesalahan.
Bahkan, kebenaran Sarimin itu merupakan satu-satunya kesalahannya.
Sebagai wong cilik, yang hidupnya melata di jalanan berdebu dengan segala
kepapaan, di batin Sarimin masih tersisa sebongkah kepedulian sosial,
kejujuran manusiawi.
Tapi, di negeri dengan hukum yang anomali, ternyata kejujuran, kepedulian,
dan keluguan yang paling manusiawi sekalipun hanyalah bencana, angkara
murka, justru ketika Sarimin masih memercayai hukum dan aparaturnya.
Butet "Sarimin" Kartaredjasa, lewat kepiawaian monolognya yang tak
tertandingi, menyodorkan anomali hukum secara telanjang tanpa tedeng aling-
aling. Inilah kisah betapa rakyat yang lugu, punya kepedulian, namun
dipurbasangkai sebagai maling, sebagai pemeras.
Konstruksi aparatur hukum terhadap rakyat jelata ternyata bukanlah
konstruksi sebagai empati atas keluguan dan kejujuruan rakyat, tapi justru
konstruksi sebagai maling dan pemeras. Dan konstruksi itulah yang
dipaksakan terhadap Sarimin, bukan saja oleh aparat suatu institusi hukum
yang telah membuat Sarimin teronggok-onggok menunggu puluhan tahun, tapi
juga oleh pengacaranya yang atas nama keadilan dan demi penyelamatan
Sarimin memaksanya untuk mengakui kebenarannya sebagai kesalahan.
Sempurnalah anomali itu.
Sarimin merupakan cermin rakyat yang tidak berdaya, mengalami
keterasingan, alienated, justru karena kepercayaannya kepada hukum dan
aparatnya. Dia terjerembap ketika disodori solusi yang sungguh tidak dinyana,
yang makin membuat dirinya sebagai makhluk yang terjerembap dalam
keterasingan. Bukan hanya ditawari melakukan suap, tapi juga mengakui
kesalahan atas kebenarannya. Apa salah saya? Kata Sarimin menggerung
menembus batas segala nurani kebenaran.
Kesalahanmu satu-satunya adalah karena kau benar. Itulah jawaban bagi
Sarimin. Dan pernyataan itu justru dilontarkan oleh sang pengacara, yang
seharusnya melakukan pembelaan kepada Sarimin.
Kalau kebenaran adalah kesalahan, hukum macam apa pula yang masih
dipercaya di negeri ini? Kalau seorang rakyat miskin yang punya kepedulian
sosial dan masih memiliki secuil kepercayaan kepada aparat penegak hukum,
namun tiba-tiba dilindas hukum itu, ditawari solusi oleh aparat untuk
melakukan penyuapan sejumlah uang yang tidak mungkin bisa dipenuhi demi
kebebasannya, dipaksa pengacara untuk mengakui kesalahan demi keringanan
hukuman, keadilan macam apa pula yang masih dipercaya oleh rakyat
semacam Sarimin kepada hukum yang konon menjadi pilar utama bagi
keadilan dan kebenaran?
Butet "Sarimin" Kartaredjasa telah mencabik-cabik realitas yang selama ini
juga dimaklumi orang. Sarimin mempertontonkan kepada kita tampang yang
sesungguhnya mengenai realitas hukum beserta seluruh aparatur penegaknya.
Bukan hanya polisi, pengacara sekalipun dibelejeti di hadapan kita dan masya
Allah… kita tidak bisa mengingkari kenyataan yang disodorkan Sarimin itu.
Penonton Sarimin riuh rendah tertawa terpingkal-pingkal, meski sesungguhnya
kegetiran yang disodorkan, sekaligus kepiluan betapa wajah hukum dan
aparatur hukum di negeri ini mencapai kesempurnaan anomali.
Sarimin mengalami anomie yang amat dalam. Apa yang dia yakini sebagai
kebenaran ternyata di mata hukum adalah kesalahan. Untuk itu, dia harus
menanggung akibatnya yang tak terperikan. Masuk bui. Sarimin mengalami
alienasi ketika kepedulian sosialnya justru menjadi bencana bagi dirinya.
Secara tuntas, realitas itu disodorkan Butet kepada kita, lewat kepiawaian
monolognya yang tiada tara. Sekali lagi, Butet, lewat Sarimin, makin
mengukuhkan konstruksi kita tentang hukum di negeri ini, bahkan aparatur
penegak hukum, apakah polisi maupun pengacara, yang ternyata hidup dalam
rimba raya, siapa yang kuat dialah yang menang.
Seonggok kotoran dilemparkan Sarimin ke tampang hukum di negeri ini. Dan
itulah kenyataannya. Tinggal kita menyikapi wajah penuh kotoran tersebut,
mengakui ataukah tidak. Di tengah komitmen menegakkan hukum sebagai
upaya memberikan keadilan bagi rakyat dan kaum tertindas, di tengah
marginalisasi yang melanda rakyat yang terasing dan tidak berdaya, kita
menyaksikan para petinggi dan aparatur penegak hukum yang piawai
menggunakan hukum, meski tanpa rasa keadilan sekalipun.
Sarimin memang tidak paham bahwa tugas polisi amat banyak dan
kesibukannya seabrek, sehingga tidak punya waktu untuk meladeni kepedulian
sosialnya. Ketika aparat berpaling pada Sarimin, bukan keluguan Sarimin yang
dihargai, tapi konstruksi kejahatan yang dijejalkan kepada Sarimin.
Kalau kebenaran adalah kesalahan, kalau kejujuran dan keluguan adalah
bencana, kita menjadi amat maklum kalau pembalak hutan bisa bebas demi
hukum. Kita juga maklum kalau pengemplang pajak bisa menumpuk
kekayaan. Kita juga maklum kalau orang yang disodori kenyataan hukum yang
dipahami Sarimin menjadi marah kepada Butet "Sarimin" Kartaredjasa. Apalagi
karena Sarimin cuma seorang tandak bedhes. Bukankah ada peribahasa
monyet buruk rupa cermin dibelah?
Prof Dr Hotman M. Siahaan, guru besar FISIP Unair, Surabaya
Sumber : jawa pos dotcom
Filed under Blog, Hukum by admin

Permalink Print Comment

January 11, 2008

Soal Soeharto, Hukum Dikalahkan Politik


Oleh Samsul Wahidin

Menjelang dan setelah sekian hari Pak Harto dirawat di rumah sakit, masalahnya
berputar-putar pada angle kasus hukum yang sedang membelit beliau. Kasus perdata
atas penyimpangan dana Supersemar bahkan sedang disidangkan di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dan dipastikan jalan untuk memenangkan perkara ini oleh negara cq
Kejaksaan Agung masih panjang dan berliku.
Opini publik berkembang, apakah kasus itu dilanjutkan atau tidak. Berikutnya, bagaimana
dengan kasus-kasus terdahulu, khususnya perkara pidana yang di-SP3-kan jaksa agung
terdahulu. Perputaran itu telah beralih dari ranah hukum ke ranah politik, bahkan
beraroma kuat dipolitisasi. Ini tecermin dari menonjolnya tokoh-tokoh politik yang
berkomentar tentang itu.
Para ahli hukum kalah tempat dengan para politisi. Komentar otoritas hukum (Jaksa
Agung Hendarman Supanji) juga sangat singkat: kasus perdata Yayasan Supersemar
jalan terus dan ketika ditanya apa akan menjenguk Pak Harto, jawabnya belum tertarik.
Masalah Hukum
Sejauh yang disampaikan pakar hukum dan berkembang menjadi opini publik, masalah
Pak Harto dapat disederhanakan dengan memilih di antara dua: kasus Pak Harto
dilanjutkan atau tidak.
Jawaban atas pemasalahan itu -bagi praktisi hukum- juga sederhana dan sangat jelas.
Pertama, asas penyelesaian kasus pidana di dunia ini adalah bahwa penyidikan,
penuntutan, dan persidangan berhenti demi hukum ketika tersangka atau terdakwa
meninggal dunia.
Pertanggungjawaban pidana hanya dapat dibebankan kepada subjek yang melakukan,
turut melakukan, menyediakan sarana untuk kejahatan, atau tahu adanya kejahatan tetapi
tidak melapor. Masing-masing dengan konstruksi hukum yang disertai dengan alat bukti
dan keyakinan hakim.
Pada klausula khusus, penghentian kasus bisa dilakukan jika subjek hukum tidak mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya, misalnya, karena kondisi kesehatan yang tidak
memungkinkan. Ini pun harus didukung kondisi objektif dan bersifat sementara. Ketika
kondisi fisik memungkinkan, proses pidana harus berjalan kembali sampai pada
dijatuhkannya putusan tentang besalah atau tidaknya seseorang.
Pada kasus Pak Harto jelas, aspek pidananya tidak bisa dimintakan tanggung jawabnya
kepada beliau karena sakit permanen. Nawaitu untuk tetap meneruskan perkara pidana
-meskipun sekadar niat dan janji- masih tetap akan dilakukan nanti jika kesehatan Pak
Harto memungkinkan.
Artinya, dalam hal ini, SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) tidak bersifat
permanen. Sewaktu-waktu masih bisa dibuka kembali kalau beliau sudah tidak sakit.
Sebagai produk administratif, sifat keputusan yang dibuat otoritas hukum itu tidak
langgeng. Jika pemegang kebijakan berikutnya menilai kebijakan peng-SP3-an itu tidak
tepat, bisa dicabut kembali. Maknanya, penyidikan terhadap kasus tersebut bisa
dilanjutkan. Dengan catatan tidak melanggar prinsip dasar hukum pidana yang harus
ditegakkan melalui fair trial.
Kedua, pada aspek perdata jelas bahwa penuntutan terhadap terjadinya wanprestasi
(ingkar janji), onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum), dan klausula lain yang
menjadi dasar penuntutan perkara perdata tidak hapus karena meninggal atau invalidnya
tergugat.
Dalam kaitan ini, boedel (harta warisan) yang diterima ahli waris meliputi aktiva dan pasiva
dari pewaris. Ahli waris tidak boleh menerima aktiva dengan menghindarkan diri dari
tanggung jawab terhadap utang-utang, termasuk perkara atas harta kekayaan pewaris.
Secara teknis memang melalui proses lebih panjang karena semua ahli waris harus
digugat dan menyebut secara pasti siapa saja yang menerima warisan tanpa kecuali.
Kesulitannya ialah pada pemisahan harta kekayaan dari tergugat ketika meninggal. Objek
gugatan itu berada pada penguasaan siapa. Dalam hal Pak Harto, meskipun suatu ketika
beliau tidak ada, proses persidangan perdata tetap jalan dengan subjek tergugat baru,
yaitu para ahli warisnya.
Dalam hubungannya dengan aspek perdata ini, ada dimensi lain dari penyelesaian
hukum, yaitu lewat Alternative Dispute Resolution (ADR). Namun secara psikologis,
khususnya bagi kubu Pak Harto, ada gambaran menurunnya bargaining jika upaya ini
ditempuh. Toh dengan cara hukum konvensional ini, sulit dibuktikan terjadinya
pelanggaran hukum perdata.
Jalan untuk memenangkan perkara itu bagi negara masih begitu panjang. Sementara
biaya perkara yang harus dikeluarkan menjadi keharusan dan itu jumlahnya tidak sedikit.
Masalah Politik
Bahwa Pak Harto, sang smiling general itu, adalah seorang tokoh politik sentral, tak ada
yang mengingkari. Namun, ujung kehidupan mantan presiden yang sedang dirundung
begitu banyak kasus hukum itu hendaknya tidak lagi dipolitisasi. Hukum memang produk
politik, namun kerancuan sistem pemikiran di tanah air adalah adanya pengambilan
keputusan hukum oleh otoritas politik. Bahkan, otoritas politik menyampaikannya tanpa
beban dan seolah sudah benar.
Kita simak, pengampunan atas berbagai kasus, atau pemilahan sebagian diampuni dan
sebagian diteruskan, disampaikan oleh para politisi yang kalau mau jujur justru merupakan
pelanggaran hukum.
Paling tidak, kesalahan leading sector ini menjadi tindakan yang bersifat intrutif
(perembesan), bahkan campur tangan politik terhadap hukum. Betapa sulitnya
menyadarkan kondisi demikian pada para politisi kita yang begitu cerdas membaca situasi
untuk kepentingan politik jangka pendek.
Ketokohan politik Pak Harto pada masa lalu masih akan membekas kuat dan "layak jual".
Itu seharusnya juga dijadikan sebagai media pembelajaran politik, terutama untuk tidak
memolitisasi kasus tersebut secara tidak proporsional. Biarkan hukum terus berproses
menyelesaikan kasus itu berdasar prinsip-prinsip litigasi dan fair. Di sepanjang sejarah,
manakala intrusi politik sudah masuk ke ranah hukum, apa lagi ketika proses peradilan
sudah berlangsung, senantiasa berakibat pada jatuhnya putusan yang tidak adil. Kalaulah
tidak sekarang, pada suatu saat nanti sandiwara yang merekayasa kasus demi
kepentingan politik akan terungkap. Betapa sulitnya kita belajar dari kondisi itu.

You might also like