Professional Documents
Culture Documents
Dakwah dan jihad adalah dua kata yang selamanya harus terpatri
dalam diri seorang muslim yang menghendaki al-manzliatul ‘ulya
(kedudukan yang tinggi) di sisi Allah swt. Setiap mukmin yang
memahami dan menghayati hakikat kehidupan pasti akan
menempuh jalan kebahagiaan abadi di sisi Allah swt. Ia akan
mendekat, berlari dan terbang menuju keridhoan-Nya “fa firruu
ilaLlaah.” (QS. Adz-Dzariyat: 50). Dan setiap orang yang di dalam
relung hatinya terhunjam keyakinan bahwa kematian itu kepastian
yang cuma terjadi sekali, maka ia akan memilih seni kematian yang
paling mulia di sisi Allah swt.
Adakah jalan lain yang lebih mulia dan dapat membawa kita menuju
puncak kebahagiaan selain jalan dakwah yang telah ditempuh oleh
Rasulullah saw dan yang beliau nyatakan sebagai jalan
pengikutnya? Dan adakah kematian yang lebih terpuji di sisi-Nya
yang selalu didambakan oleh hamba-hamba yang beriman sejak
dulu hingga hari kiamat selain mati dalam jihad fi sabilillah? (QS.
Yusuf: 108 dan At-Taubah 19-20)
Namun, kesigapan menyambut seruan dakwah dan jihad itu
bukanlah suatu hal yang yang muncul begitu saja, melainkan adalah
buah keimanan kepada Allah sebagai Pemberi dan Pencipta
kehidupan, serta buah keimanan yang kokoh kepada hari akhir saat
terwujudnya kehidupan dan kebahagiaan hakiki dan sejati.
kesigapan itu lahir dari hati yang tidak lalai dari hakikat ini berkat
taufiq dan ri’ayah rabbaniyah (pemeliharaan langsung oleh Allah).
Maka kita patut bertanya dan mengevaluasi diri. Seberapa kuatkah
hakikat kehidupan abadi di akhirat telah tertanam dalam hati
sehingga kita berhak mendapatkan ri’ayah rabbaniyah itu? sehingga
ruhul istijabah menjadi karakter yang kuat dalam diri kita? Seberapa
kuat hakikat ini mewarnai dan menjadi shibghoh (QS. Al-Baqoroh:
138) bagi diri dan prilaku kita sehingga segala resiko duniawi dalam
dakwah dan jihad fi sabilillah menjadi kecil di mata kita?
Kekuatan inilah yang menyebabkan Anas bin Nadhir ra. memberi
respon spontan kepada Saad bin Muadz tatkala pasukan mukmin
terdesak oleh musyrikin di perang Uhud dengan ucapan “Ya Saad!
surga…surga… aku mencium baunya di bukit Uhud.” Kemudian dia
maju menjemput maut syahid sehingga jenazahnya tidak dapat
dikenali kecuali oleh saudara perempuannya lewat jari tangannya.
(Muttafaq Alaih- Riyadhus Shalihin, Kitab al-Jihad. hadits no. 1317)
Hal itu pula yang menjadikan Handzolah ‘sang Ghasiil Al-Malaikat’
(yang dimandikan malaikat) segera merespon panggilan jihad,
meski ia baru menikmati malam pengantin dan belum sempat mandi
hadats besar. Perhatikan pula respon Umair bin Hamam tatkala ia
mendengar sabda Rasulullah “Quumuu ilaa jannatin ‘arduhas-
samawaatu wal ardl” (Bangkitlah menuju surga yang luasnya seluas
langit dna bumi). Maka ia mengucapkan “Bakh-Bakh” (ungkapan
takjub terhadap kebaikan dan pahala). Semata-mata karena ingin
menjadi penghuni surga, ia segera membuang beberapa biji kurma
yang sedang dikunyahnya sambil berkata, “La-in anaa hayiitu hattaa
aakula tamaraati haadzhi: innahaa lahayaatun thowilah.”(jika saya
hidup sampai selesai makan kurma-kurma ini, oh betapa lamanya).
Lalu ia maju hingga gugur di perang Badar.
Ikhwah fillaah, beban kehidupan dunia yang kita hadapi, apapun
bentuknya, jangan sampai membuat kita kehilangan kepekaan dan
kesigapan memenuhi seruan dakwah dan jihad. Ingatlah selalu
kecaman Allah dan Rasulullah terhadap orang-orang munafik yang
selalu mencari-cari alasan (tafannun fil ‘udzr) untuk menghindar dari
kebutuhan berdakwah dan berjihad (QS. At-Taubah: 94). Tadaburi
pula ayat lainnya dalam surat At-Taubah, terutama ayat 41 s.d. 47,
yang mengungkapkan kemalasan dan keengganan mereka agar kita
senantiasa terhindar dari dari sifat-sifat mereka.
Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-
istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah
tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada
Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq. (QS. At-Taubah:
24)