You are on page 1of 6

Ruhul Istijabah (Semangat Menyambut

Seruan Dakwah dan Jihad)


12 April 2009 oleh sambungrasa

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan


Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang member
kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah kalau sesungguhnya Allah
membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-
Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (Q.S. Al-Anfal : 24)

Dakwah dan jihad adalah dua kata yang selamanya harus terpatri
dalam diri seorang muslim yang menghendaki al-manzliatul ‘ulya
(kedudukan yang tinggi) di sisi Allah swt. Setiap mukmin yang
memahami dan menghayati hakikat kehidupan pasti akan
menempuh jalan kebahagiaan abadi di sisi Allah swt. Ia akan
mendekat, berlari dan terbang menuju keridhoan-Nya “fa firruu
ilaLlaah.” (QS. Adz-Dzariyat: 50). Dan setiap orang yang di dalam
relung hatinya terhunjam keyakinan bahwa kematian itu kepastian
yang cuma terjadi sekali, maka ia akan memilih seni kematian yang
paling mulia di sisi Allah swt.
Adakah jalan lain yang lebih mulia dan dapat membawa kita menuju
puncak kebahagiaan selain jalan dakwah yang telah ditempuh oleh
Rasulullah saw dan yang beliau nyatakan sebagai jalan
pengikutnya? Dan adakah kematian yang lebih terpuji di sisi-Nya
yang selalu didambakan oleh hamba-hamba yang beriman sejak
dulu hingga hari kiamat selain mati dalam jihad fi sabilillah? (QS.
Yusuf: 108 dan At-Taubah 19-20)
Namun, kesigapan menyambut seruan dakwah dan jihad itu
bukanlah suatu hal yang yang muncul begitu saja, melainkan adalah
buah keimanan kepada Allah sebagai Pemberi dan Pencipta
kehidupan, serta buah keimanan yang kokoh kepada hari akhir saat
terwujudnya kehidupan dan kebahagiaan hakiki dan sejati.
kesigapan itu lahir dari hati yang tidak lalai dari hakikat ini berkat
taufiq dan ri’ayah rabbaniyah (pemeliharaan langsung oleh Allah).
Maka kita patut bertanya dan mengevaluasi diri. Seberapa kuatkah
hakikat kehidupan abadi di akhirat telah tertanam dalam hati
sehingga kita berhak mendapatkan ri’ayah rabbaniyah itu? sehingga
ruhul istijabah menjadi karakter yang kuat dalam diri kita? Seberapa
kuat hakikat ini mewarnai dan menjadi shibghoh (QS. Al-Baqoroh:
138) bagi diri dan prilaku kita sehingga segala resiko duniawi dalam
dakwah dan jihad fi sabilillah menjadi kecil di mata kita?
Kekuatan inilah yang menyebabkan Anas bin Nadhir ra. memberi
respon spontan kepada Saad bin Muadz tatkala pasukan mukmin
terdesak oleh musyrikin di perang Uhud dengan ucapan “Ya Saad!
surga…surga… aku mencium baunya di bukit Uhud.” Kemudian dia
maju menjemput maut syahid sehingga jenazahnya tidak dapat
dikenali kecuali oleh saudara perempuannya lewat jari tangannya.
(Muttafaq Alaih- Riyadhus Shalihin, Kitab al-Jihad. hadits no. 1317)
Hal itu pula yang menjadikan Handzolah ‘sang Ghasiil Al-Malaikat’
(yang dimandikan malaikat) segera merespon panggilan jihad,
meski ia baru menikmati malam pengantin dan belum sempat mandi
hadats besar. Perhatikan pula respon Umair bin Hamam tatkala ia
mendengar sabda Rasulullah “Quumuu ilaa jannatin ‘arduhas-
samawaatu wal ardl” (Bangkitlah menuju surga yang luasnya seluas
langit dna bumi). Maka ia mengucapkan “Bakh-Bakh” (ungkapan
takjub terhadap kebaikan dan pahala). Semata-mata karena ingin
menjadi penghuni surga, ia segera membuang beberapa biji kurma
yang sedang dikunyahnya sambil berkata, “La-in anaa hayiitu hattaa
aakula tamaraati haadzhi: innahaa lahayaatun thowilah.”(jika saya
hidup sampai selesai makan kurma-kurma ini, oh betapa lamanya).
Lalu ia maju hingga gugur di perang Badar.
Ikhwah fillaah, beban kehidupan dunia yang kita hadapi, apapun
bentuknya, jangan sampai membuat kita kehilangan kepekaan dan
kesigapan memenuhi seruan dakwah dan jihad. Ingatlah selalu
kecaman Allah dan Rasulullah terhadap orang-orang munafik yang
selalu mencari-cari alasan (tafannun fil ‘udzr) untuk menghindar dari
kebutuhan berdakwah dan berjihad (QS. At-Taubah: 94). Tadaburi
pula ayat lainnya dalam surat At-Taubah, terutama ayat 41 s.d. 47,
yang mengungkapkan kemalasan dan keengganan mereka agar kita
senantiasa terhindar dari dari sifat-sifat mereka.
Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-
istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah
tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada
Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq. (QS. At-Taubah:
24)

Empat aspek Ruhul Istijabah:


1. Istijabah Fikriyah (menyambut dengan pikiran)
Seorang kader ketika menyambut seruan untuk dakwah dan jihad
mesti faham akan seruan tersebut. Begitu juga, ketika mendapat
tugas dari pimpinan ia tidak hanya sekadar melaksanakan perintah
dan tugas, tetapi sadar betul bahwa apa yang dikerjakannya adalah
dalam rangka taat kepada Allah dan meraih ridho-Nya.
Allah swt berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa 59)
Setelah setiap orang yakin bahwa ketaatan kepada Allah tercermin
kepada ketaatan kepada sunah Rasulullah, maka pastilah akan lahir
dalam hatinya kesadaran bahwa ketaatan kepada Allah dan kepada
rasul-Nya itu akan sempurna dengan ketaatan kepada
pemimpinnya. Sebab Allah menghendaki perjuangan menegakkan
agama, dakwah dan jihad ini terstruktur dalam sebuah barisan yang
kokoh. Sebab Allah mencintai para pejuang yang berbaris kokoh
seperti bangunan yang berdiri megah dengan kekuatan yang
mantap. Allah berfirman
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya
dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu
bangunan yang tersusun kokoh”. (QS. Ash-Shaff 4)
Namun, tentu saja ketaatan kepada pemimpin itu mesti disandarkan
kepada pemahaman yang benar. Pemahaman yang bersumber dari
pemahaman kepada kehendak Allah dan rasul-Nya, pemahaman
kepada al-Quran dan Sunnah. Bukan ketaatan yang membabibuta,
pemahaman yang sesuai hawa nafsu. Sebab seringkali terjadi,
ketika ketika instruksi pemimpin itu tak sesuai hawa nafsunya,
ketaatan pun hilang. Padahal instruksi pemimpin itu adalah jalan
menuju tegaknya Islam, dakwah dan jihad.

2. Istijabah Nafsiyah (menyambut dengan perasaan)


Seorang kader yang mendapat perintah/ tugas hendaknya
menyambut seruan itu dengan perasaan senang gembira, karena
pada hakikatnya ia sedang melaksanakan ketaatan kepada Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, Apakah sebabnya bila dikatakan
kepadamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu
merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas
dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat?
Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan
kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.
jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa
kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum
yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan
kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) Maka Sesungguhnya
Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin
Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang Dia salah seorang
dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu Dia
berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita,
Sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan
keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan
tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan
orang-orang kafir Itulah yang rendah. dan kalimat Allah Itulah yang
tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun
berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah.
yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
(QS. At-Taubah 38-41)

3. Istijabah Maaliyah (menyambut dengan harta)


Berkorban dengan harta dan jiwa sudah menjadi satu paket yang
tidak boleh dipisahkan satu dari yang lainnya. Allah swt berfirman,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri
dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka
berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh.
(Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil
dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain)
daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah
kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar”. (QS. At-
Taubah 111)
Dalam ayat yang lain Allah menyatakan
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu
perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?
(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di
jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui”. (QS. Ash-Shaf 10-11)

4. Istijabah Harakiyah (menyambut dengan gerakan dan aktifitas)


Kondisi saat ini, dimana kebatilan merajalela dan ancaman terhadap
Islam dan ajarannya begitu mengglobal, menuntut kesungguhan
dan keseriusan serta mobilitas dakwah dan jihad yang tinggi. Jika
tidak maka kekuatan batil yang akan berkuasa di muka bumi.
Jangan sampai kita hanya menjadi problem speaker (pembicara
masalah), apalagi problem maker (pembuat masalah) dan tak
pernah menjadi problem solver (pemberi jalan keluar bagi masalah),
karena Islam tidak butuh kepada orang-orang yang hanya
membicarakan masalah tanpa ada sedikitpun usaha untuk
memecahkan masalaah umat. (QS. Ash-Shaf 1-4, Al-Hajj 76)
Allah swt berfirman
“telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa
saja yang ada di bumi; dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-
apa yang tidak kamu kerjakan.
Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya
dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu
bangunan yang tersusun kokoh”. (QS. Ash-Shaf 1-4)
“Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di
belakang mereka. dan hanya kepada Allah dikembalikan semua
urusan”. (QS. Al-Hajj 76)

You might also like