You are on page 1of 5

I'TIKAF, Mengapa Tidak?

Mengapa?

Kita sudah relatif jauh berjalan. Banyak yang sudah kita lihat dan yang sudah kita raih.
Tapi, banyak juga yang masih kita keluhkan: rintangan yang menghambat, goncangan
yang melelahkan fisik dan jiwa, suara-suara gaduh yang memekakkan telinga dari
mereka yang mengobrol tanpa ilmu, dan tikungan-tikungan tajam yang menegangkan.
Sementara, banyak pemandangan indah yang terlewatkan dan tak sempat kita potret.

Jadi mari kita berhenti sejenak di sini! Beri’tikaf. Kita memerlukan saat-saat itu: saat di
mana kita melepaskan kepenatan yang mengurangi ketajaman hati; saat di mana kita
membebaskan diri dari rutinitas yang mengurangi kepekaan spiritual, saat di mana kita
melepaskan sejenak beban kehidupan yang selama ini kita pikul dan mungkin menguras
stamina kita.

Kita memerlukan saat-saat seperti itu, karena kita perlu membuka kembali peta
perjalanan kita; melihat-lihat jauhnya jarak yang telah kita tempuh dan sisa perjalanan
yang masih harus kita lalui; menengok kembali hasil-hasil yang telah kita raih; meneliti
rintangan yang mungkin menghambat laju pertumbuhan kita; memandang ke alam
sekitar karena banyak aspek dari lingkungan strategis kita telah berubah.

Sesungguhnya, bukan hanya kita yang perlu berhenti. Para pelaku bisnis pun punya
kebiasaan itu. Orang-orang yang mengurus dunia itu memerlukannya untuk menata
ulang bisnis mereka. Mereka menyebutnya ’penghentian’. Tapi sahabat-sahabat
Rasulullah saw –generasi pertama yang telah mengukir kemenangan-kemenangan
dakwah dan karenanya berhak meletakkan kaidah-kaidah dakwah– menyebutnya
’majlis iman’. Maka Ibnu Mas’ud berkata, ”Duduklah bersama kami, biar kita beriman
sejenak”.

I’tikaf kita butuhkan untuk dua keperluan. Pertama, untuk memantau keseimbangan
antara berbagai perubahan pada lingkungan strategis dengan kondisi internal dakwah
serta laju pertumbuhannya. Yang ingin kita capai dari upaya ini adalah memperbarui
dan mempertajam orientasi kita; melakukan penyelarasan dan penyeimbangan
berkesinambungan antara kapasitas internal dakwah, peluang yang disediakan
lingkungan eksternal, dan target-target yang dapat kita raih.

Kedua, untuk mengisi ulang hati kita dengan energi baru sekaligus membersihkan debu-
debu yang melekat padanya selama menapaki jalan dakwah. Yang ingin kita raih adalah
memperbarui komitmen dan janji setia kita kepada Allah swt. Bahwa kita akan tetap

I’tikaf, Kenapa Tidak? 1


teguh memegang janji itu; bahwa kita akan setia memikul beban dakwah ini; bahwa kita
akan tetap tegar menghadapi semua tantangan; bahwa yang kita harap dari semua ini
hanyalah ridhaNya.
Hari-hari panjang yang kita lalui bersama ini menguras semua tenaga jiwa yang kita
punya, maka i’tikaf adalah tempat kita berhenti sejenak untuk mengisi hati dengan
energi yang tercipta dari kesadaran baru, semangat baru, tekad baru, harapan baru, dan
keberanian baru.

Karena itu, i’tikaf harus menjadi tradisi yang semakin kita butuhkan ketika perjalanan
hidup sudah semakin jauh. Pertama, kita hidup di sebuah masa dengan karakter tidak
stabil. Perubahan-perubahan besar di lingkungan strategis berlangsung dalam durasi
dan tempo yang sangat cepat. Dan perubahan-peruabahan itu selalu menyediakan
peluang dan tantangan yang sama besarnya. Dan, apa yang dituntut dari kita adalah
melakukan pengadaptasian, penyelarasan, penyeimbangan, dan –pada waktu yang
sama– meningkatkan kemampuan untuk memanfaatkan momentum.

Kedua, karena kita mengalami seleksi dari Allah swt secara kontinyu sehingga banyak
du’at yang berguguran, juga banyak yang berjalan tertatih-tatih.
Semua itu membutuhkan perenungan yang dalam. Maka, dalam i’tikaf ini, kita
mengukuhkan sebuah wacana bagi proses pencerahan pikiran, penguatan kesadaran,
penjernihan jiwa, pembaruan niat dan semangat jihad. Dan inilah yang dibutuhkan oleh
dakwah kita saat ini.

Tradisi i’tikaf ini harus kita lakukan dalam dua tingkatan; individu atau jama’ah. Pada
tingkatan individu, tradisi ini dikukuhkan melalui kebiasaan merenungi, menghayati,
dan menyelami telaga akal kita untuk menemukan gagasan baru yang kreatif, matang,
dan aktual di samping kebiasaan muhasabah, memperbarui niat, menguatkan kesadaran
dan motivasi, serta memelihara kesinambungan semangat jihad. Hasil-hasil inilah yang
kemudian kita bawa ke dalam majlis iman untuk kita bagi kepada yang lain, sehingga
akal individu melebur dalam akal kolektif, dan kreativitas individu menjelma menjadi
kreativitas kolektif.

Kalau ada pemaknaan yang aplikatif terhadap hakikat kekhusyukan yang disebutkan Al
Quran, maka inilah salah satunya. Penghentian seperti inilah yang mewariskan
kemampuan berpikir strategis, penghayatan emosional yang menyatu secara kuat
dengan kesadaran dan keterarahan yang senantiasa terjaga di sepanjang jalan dakwah
yang berliku dan curam.

Maka, Allah swt. mengatakan, ”Belumkah datang saat bagi orang-orang beriman untuk
mengkhusyu’kan hati dalam mengingat Allah dan dalam (menjalankan) kebenaran yang
diturunkan. Dan bahwa hendaklah mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang telah
diberikan Alkitab sebelumnya (di mana) ketika jarak mereka (dengan sang Rasul) telah
jauh, maka hati-hati mereka jadi keras, dan banyak dari mereka yang jadi fasik.” (QS. Al

I’tikaf, Kenapa Tidak? 2


Hadid: 16)

Beginilah akhirnya kita memahami mengapa Rasulullah saw. mensunnahkan umatnya


melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan; atau mengapa Allah
swt menanamkan kegemaran berkhalwat pada diri Rasulullah saw tiga tahun sebelum
diangkat menjadi rasul; atau bahkan mengapa Umar bin Khattab r.a. mempunyai
kebiasaan i’tikaf di Masjidil Haram sekali sepekan di masa jahiliyahnya.
Di masa Islam, Allah mensyariatkan i’tikaf sepuluh hari terakhir pada setiap bulan
Ramadhan. Dan di antara nazar yang dilakukan para sahabat adalah beri’tikaf. Begini
pula akhirnya kita memahami mengapa majlis-majlis kecil para shabat Rasulullah saw.
di masjid atau di rumah-rumah berubah menjadi wacana yang melahirkan gagasan-
gagasan besar atau tempat merawat kesinambungan iman dan semangat jihad.

Maka ucapan mereka, kata Ali bin Abi Thalib, adalah dzikir, dan diam mereka adalah
perenungan. Tradisi inilah yang hilang di antara kita, sehingga diam kita berubah
menjadi imajinasi yang liar, ucapan kita kehilangan arah dan makna. Maka, dakwah
kehilangan semua yang ia butuhkan berupa pikiran-pikiran baru yang matang dan
brilian, kesadaran yang senantiasa melahirkan kepekaan, dan semangat jihad yang tak
pernah padam di sepanjang jalan dakwah yang jauh dan berliku.

I’tikaf dan Pencarian Jati Diri

I’tikaf dapat dijadikan persinggahan dalam perjalanan mencari kesejatian jiwa. Namun
ia tidak akan berpengaruh apa-apa jika tidak memenuhi empat elemen mendasar dalam
membangkitkan jiwa sejati. Keempat elemen itu adalah:

Pertama, al-yaqzhah, artinya kegalauan hati setelah terjaga dari tidur yang lelap. Setelah
tersadarkan dari maksiat yang selama ini ditekuni, setelah teringat bahwa sekian
lamanya menjadi muslim –namun belum ada prestasi amal yang patut dibanggakan.
Hal ini sangat penting dalam pembenahan perilaku. Barangsiapa yang merasakannya,
berarti dia telah merasakan satu keberuntungan. Jika tidak, berarti dia tetap
dicengkeram kelalaian. Tidak adanya kegalauan hati memikirkan diri inilah yang
seringkali membuat diri gersang walaupun sudah beri’tikaf sekian lama. Sebaliknya,
ketika kegalauan ini terusik, maka ia telah siap menempuh perjalanan panjang dalam
memperbaiki diri.

Kedua, adalah al-’azm. Ia adalah tekad bulat untuk melakukan perjalanan. Siap
menghadapi segala rintangan dan mencari penuntun yang dapat menghantarkan ke
tujuan. Seberapa jauh seseorang memiliki kesadaran, maka sejauh itu pula tekadnya.
Dan seberapa jauh tekad yang dimilikinya, maka sejauh itu pula persiapan yang

I’tikaf, Kenapa Tidak? 3


dilakukannya. Kesiapan telah terpancang kuat. I’tikaf tidak lagi menjadi barang ’mewah’
yang hanya dinikmati dari kisah salafusshalih dalam menemukan jati diri. Dengan tekad
bulat, tidak ada rintangan yang menghalangi. Keengganan mampu disingkirkan. Setan
pun lewat, tidak mampu lagi menggoyahkan iman sang hamba yang siap menjadi hamba
pilihan.

Setelah tekad bulat, i’tikaf melahirkan al-fikrah. Yakni pandangan hati yang hanya
tertuju ke sesuatu yang hendak dicari, sekalipun dia belum memiliki gambaran jalan
yang menghantarkannya ke sana. Pandangan tentang hidup mulai berubah. Bahkan siap
diubah 180 derajat. Kalau dahulu yang menjadi cita-cita dalam hidup adalah memenuhi
kebutuhan makan dan kenikmatan duniawi. Maka pandangan ini berubah menjadi
memenuhi kebutuhan dunia demi meraih ibadah kepada Allah. Kalau dahulu hanya
berpikir untuk menumpuk kekayaan, namun setelah i’tikaf berubah menjadi menambah
kekayaan plus memperbanyak multilevel pahala sekaligus.

Pandangan hidup ini telah mengubah jati diri menjadi sosok ’pemburu pahala’. Rukuk,
sujud, kekhusyukan dalam ibadah, amal kebajikan, jihad fi sabiliLlah, menjadi rentetan
amal yang terus dilakukan tiada henti. Ia benar-benar telah siap berjual beli dengan
Allah swt, dengan mewakafkan diri, potensi dan hartanya di jalan Allah.

Jika fikrahnya telah lempang, i’tikaf melahirkan al-bashirah, yaitu cahaya di dalam hati
untuk melihat janji dan ancaman, surga dan neraka, apa yang telah dijanjikan Allah
terhadap para wali dan musuh-Nya. Dengan semua ini seakan-akan dia bisa melihat apa
yang terjadi pada hari akhirat, semua orang dibangkitan dari kuburnya, para malaikat
didatangkan, api neraka dikobarkan. Di dalam hatinya, seakan ada mata yang dapat
melihat berbagai kejadian akhirat, dan dia juga melihat bagaimana keduniaan ini yang
begitu cepat berlalu.

Al-Bashirah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hati, sehingga


seseorang bisa melihat hakikat pengabaran para rasul, seakan-akan dia bisa melihatnya
dengan mata kepala sendiri. Dengan begtu dia bisa mengambil manfaat dari seruan para
rasul dan melihat adanya bahaya yang mengancamnya jika dirinya bertentangan dengan
mereka.

Untuk meraih al-bashirah ini, maka saat i’tikaf dan saat-saat di luar i’tikaf, sepatutnya
menyempurnakan tiga objek inti bashirah. Pertama, bashirah tentang asma’ dan sifat.
Artinya imanmu tidak dipengaruhi syubhat yang bertentangan dengan sifat-sifat yang
diberikan Allah kepada diri-Nya sendiri dan juga yang disifati Rasul-Nya. Sebab syubhat
dalam hal ini sama degan keragu-raguan tentang wujud Allah. Kedua, bashirah tentang
perintah dan larangan. Artinya membebaskan hati dari penentangan karena melakukan
takwail, taklid, atau mengikuti hawa nafsu, sehingga di dalam hatinya tidak ada syubhat
yang bertentangan dengan ilmu tentang perintah dan larangan Allah. Tidak pula
dikuasai nafsu yang menghalanginya untuk melaksanakan perintah dan larangan itu,

I’tikaf, Kenapa Tidak? 4


tidak pula mengikuti taklid yang membuatnya merasa tidak perlu berusaha menggali
hukum dari nash. Ketiga, bashirah tentang janji dan ancaman. Artinya engkau
mempersaksikan penanganan Allah terhadap apapun yang dilakukan setiap manusia,
yang baik maupun yang buruk, di dunia maupun di akhirat. Ini merupakan konsekuensi
Ilahiyah dan Rububiyah-Nya, keadilan dan hikmah-Nya.

Bila ketiga bashirah di atas dimiliki, niscaya ia terbebas dari kebingungan dan
kegalauan. Ia akan mengambil maksud dan kehendak yang tulus dalam tiga strata
sekaligus. Pertama, maksud yang membangkitkan keteguhan dan membebaskan diri
dari keragu-raguan. Kedua, maksud yang mendorongnya mencari pengetahuan dan mau
mendengarkan nasihat dari orang yang lebih bijaksana. Ketiga, maksud yang karenanya
semua rintangan akan disingkirkan dan semua penghalang akan dihadapi.

Jika maksud sudah kuat, maka ia berubah menjadi tekad yang bulat, lalu
mengharuskannya memulai perjalanan sambil disertai tawakkal kepada Allah.
Sebagaimana firman-Nya, ”Kemudian apabila kamu sudah membulatkan tekad, maka
bertawakal-lah kepada Allah.” (Ali Imran, 3: 159)

artikel ini dikoleksi dari berbagai sumber. (sejak tahun 2005)


seingatku adalah tulisan Pak Anis Matta, dan penulis yg lainnya.

Dikumpulkan ulang, oleh: http://RioPurboyo.com/

I’tikaf, Kenapa Tidak? 5

You might also like