You are on page 1of 15

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Guru merupakan sosok yang begitu dihormati lantaran memiliki andil yang sangat besar
terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu
perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Ketika orang
tua mendaftarkan anaknya ke sekolah, pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar
anaknya dapat berkembang secara optimal (Mulyasa, 2005:10).

Minat, bakat, kemampuan, dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara
optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara
individual. Tugas guru tidak hanya mengajar, namun juga mendidik, mengasuh, membimbing,
dan membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia
(SDM).

Ironisnya kekawatiran di dunia pendidikan kini menyeruak ketika menyaksikan tawuran


antar pelajar yang bergejolak dimana-mana. Ada kegalauan muncul kala menjumpai realitas
bahwa guru di sekolah lebih banyak menghukum daripada memberi reward siswanya. Ada
kegundahan yang membuncah ketika sosok guru berbuat asusila terhadap siswanya.

Dunia pendidikan yang harusnya penuh dengan kasih sayang, tempat untuk belajar
tentang moral, budi pekerti justru sekarang ini dekat dengan tindak kekarasan dan asusila. Dunia
yang seharusnya mencerminkan sikap-sikap intelektual, budi pekerti, dan menjunjung tinggi nilai
moral, justru telah dicoreng oleh segelintir oknum pendidik (guru) yang tidak bertanggung
jawab. Realitas ini mengandung pesan bahwa dunia guru harus segera melakukan evaluasi ke
dalam. Sepertinya, sudah waktunya untuk melakukan pelurusan kembali atas pemahaman dalam
memposisikan profesi guru.

Kesalahan guru dalam memahami profesinya akan mengakibatkan bergesernya fungsi


guru secara perlahan-lahan. Pergeseran ini telah menyebabkan dua pihak yang tadinya sama-
sama membawa kepentingan dan salng membutuhkan, yakni guru dan siswa, menjadi tidak lagi
saling membutuhkan. Akibatnya suasana belajar sangat memberatkan, membosankan, dan jauh
dari suasana yang membahagiakan. Dari sinilah konflik demi konflik muncul sehingga pihak-
pihak didalamnya mudah frustasi lantas mudah melampiaskan kegundahan dengan cara-cara
yang tidak benar.

Untuk itulah makalah ini saya susun sebagai bahan kajian bagi guru atau pendidik agar
dapat berperilaku dan bersikap profesional dalam menjalankan tugas mulia ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka permasalahan yang hendak dikaji
adalah:

1. Bagaimana sikap dan perilaku guru yang profesional itu?


2. Mengapa sikap dan perilaku guru bisa menyimpang?

C. Manfaat dan Tujuan

1. Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:


a. Mendeskripsikan penyebab sikap dan perilaku guru bisa menyimpang.
b. Mendeskripsikan sikap dan perilaku guru yang profesional.
2. Manfaat penyusunan makalah ini secara:
a. Teoretis, untuk mengkaji sikap dan perilaku guru yang profesional.
b. Praktis, bermanfaat bagi: (1) para pendidik agar pendidik dapat bersikap
dan berperilaku profesional, (2) para kepala sekolah, untuk memberikan
pembinaan kepada para pendidik.
BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Sikap dan Perilaku

Thursthoen dalam Walgito (1990: 108) menjelaskan bahwa, sikap adalah gambaran
kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu
keadaan atau suatu objek. Berkowitz, dalam Azwar (2000:5) menerangkan sikap seseorang pada
suatu objek adalah perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon atau
kecenderungan untuk bereaksi. Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua
alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakan atau
menjauhi/menghindari sesuatu.

Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah kecenderungan, pandangan,
pendapat atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai
dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu
objek.

Struktur sikap siswa terhadap konselor terdiri dari tiga komponen yang terdiri atas:

1. Komponen kognitif

Komponen ini berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, dan keyakinan tentang


objek. Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana orang mempersepsi objek sikap.

2. Komponen afektif

Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap
sikap. Perasaan tersebut dapat berupa rasa senang atau tidak senang terhadap objek, rasa
tidak senang merupakan hal yang negatif.. komponen ini menunjukkan ke arah sikap
yaitu positif dan negatif. Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif
seseorang terhadap suatu objek sikap (Azwar, 2000:26), secara umum komponen afektif
disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun pengertian perasaan
pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap.

3. Komponen konatif

Komponen ini merupakan kecenderungan seseorang untuk bereaksi, bertindak


terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu besar kecilnya
kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Komponen-
komponen tersebut di atas merupakan komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga
komponen tersebut saling berhubungan dan tergantung satu sama lain. Saling
ketergantungan tersebut apabila seseorang menghadapi suatu objek tertentu, maka
melalui komponen kognitifnya akan terjadi persepsi pemahaman terhadap objek sikap.

Hasil pemahaman sikap individu mengakui dapat menimbulkan keyakinan-


keyakinan tertentu terhadap suatu objek yang dapat berarti atau tidak berarti. Dalam
setiap individu akan berkembang komponen afektif yang kemudian akan memberikan
emosinya yang mungkin positif dan mungkin negatif. Bila penilaiannya positif akan
menimbulkan rasa senang, sedangkan penilaian negatif akan menimbulkan perasaan tidak
senang.

Akhirnya berdasarkan penilaian tersebut akan mempengaruhi konasinya, melalui


inilah akan mendapat diketahui apakah individu ada kecenderungan bertindak dalam
bertingkah laku, baik hanya secara lisan maupun bertingkah laku secara nyata.

Katz (dalam Walgito, 1990:110) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai empat fungsi,
yaitu:

a. Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian, atau fungsi manfaat.

Fungsi ini berkaitan dengan sarana tujuan. Di sini sikap merupakan sarana untuk
mencapai tujuan. Orang memandang sampai sejauh mana objek sikap dapat digunakan
sebagai sarana dalam mencapai tujuan. Bila objek sikap dapat membantu seseorang dalam
mencapai tujuannya, maka orang akan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut.
Demikian sebaliknya bila objek sikap menghambat dalam pencapaian tujuan, maka orang
akan bersikap negatif terhadap objek sikap tersebut. Fungsi ini juga disebut fungsi
manfaat, yang artinya sampai sejauh mana manfaat objek sikap dalam mencapai tujuan.
Fungsi ini juga disebut sebagai fungsi penyesuaian, artinya sikap yang diambil seseorang
akan dapat menyesuaikan diri secara baik terhadap sekitarnya.

b. Fungsi pertahanan ego

Ini merupakan sikap yang diambil oleh seseorang demi untuk mempertahankan
ego atau akunya. Sikap diambil seseorang pada waktu orang yang bersangkutan terancam
dalam keadaan dirinya atau egonya, maka dalam keadaan terdesak sikapnya dapat
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego.

c. Fungsi ekspresi nilai

Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk
mengekspresikan nilai yang ada dalam dirinya. Dengan mengekspresikan diri seseorang
akan mendapatkan kepuasan dan dapat menunjukkan keadaan dirinya. Dengan mengambil
nilai sikap tertentu, akan dapat menggambarkan sistem nilai yang ada pada individu yang
bersangkutan.

d. Fungsi pengetahuan

Fungsi ini mempunyai arti bahwa setiap individu mempunyai dorongan untuk
ingin tahu. Dengan pengalamannya yang tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh
individu, akan disusun kembali atau diubah sedemikian rupa sehingga menjadi konsisten.
Ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, menunjukkan
tentang pengetahuan orang tersebut objek sikap yang bersangkutan.
Proses timbulnya atau terbentuknya sikap dapat dilihat pada bagan sikap berikut ini

 Faktor Internal
o Fisiologis
o Psikologis
 Objek Sikap
 Sikap
 Faktor Eksternal
o Pengalaman
o Situasi
o Norma-norma
o Hambatan
o Pendorong

Faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis serta faktor eksternal. Faktor
eksternal dapat berwujud situasi yang dihadapi oleh individu, norma-norma yang ada dalam
masyarakat, hambatan-hambatan atau pendorong-pendorong yang ada dalam masyarakat.

Semuanya ini akan berpengaruh terhadap sikap yang ada pada diri seseorang. Sementara
itu reaksi yang diberikan individu terhadap objek sikap dapat bersifat positif, tetapi juga dapat
bersifat negatif. Sikap yang diambil pada diri individu dapat diikuti dalam bagan berikut ini:

• Keyakinan
• Proses Belajar
• Cakrawala
• Pengalaman
• Pengetahuan
• Objek Sikap
• Persepsi
• Faktor- Faktor lingkungan yang berpengaruh
• Kepribadian
• Kognisi
• Afeksi
• Konasi
• Sikap

Dalam persepsi objek sikap individu akan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman,
keyakinan, proses belajar, dan hasil proses persepsi ini akan merupakan pendapat atau keyakinan
individu mengenai objek sikap dan ini berkaitan dengan segi kognisi. Afeksi akan mengiringi
hasil kognisi terhadap objek sikap sebagai aspek evaluatif, yang dapat bersifat positif atau
negatif. Hasil evaluasi aspek afeksi akan mengait segi konasi, yaitu merupakan kesiapan untuk
memberikan respon terhadap objek sikap, kesiapan untuk bertindak dan untuk berperilaku.
Keadaan lingkungan akan memberikan pengaruh terhadap objek sikap maupun pada individu
yang bersangkutan.

Bringham dalam Azwar (2000:138) menjelaskan tipe ukuran sikap yang paling sering
dipakai adalah questioner self-report yang disebut skala sikap dan biasanya meliputi respon
setuju atau tidak dalam beberapa kelompok-kelompok. Ukuran self-report mudah digunakan
namun ukuran itu dapat memiliki sifat kemenduaan (ambiguity) atau adanya ukuran lain. Sikap
dari skala sikap ini adalah isi pernyataan yang berupa pernyataan langsung yang jelas tujuan
ukuran atau pernyataan tidak langsung yang kurang jelas untuk tujuan ukurannya bagi
responden.

Mengukur sikap bukan suatu hal yang mudah sebab sikap adalah kecenderungan,
pandangan pendapat, atau pendirian seseorang untuk meneliti suatu objek atau persoalan dan
bertindak sesuai dengan penilaiannya, dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam
menghadapi suatu objek. Dalam penelitian sikap, tergantung pada kepekaan dan kecermatan
pengukurannya. Perlu diperhatikan metode yang berhubungan dengan pengukuran sikap,
bagaimana instrumen itu dapat dikembangkan dan digunakan untuk mengukur sikap. Azwar
(2000:90) menjelaskan bahwa, metode yang bisa digunakan untuk pengungkapan sikap yaitu:
1. Observasi perilaku

Kalau seseorang menampakkan perilaku yang konsisten (terulang) misalnya tidak


pernah mau diajak nonton film Indonesia, bukanlah dapat disimpulkan bahwa ia tidak menyukai
film Indonesia. Orang lain yang selalu memakai baju warna putih, bukankah dia memperlihatkan
sikapnya terhadap warna putih. Perilaku tertentu bahkan kadang-kadang sengaja ditampakkan
untuk menyembunyikan sikap yang sebenarnya. Dengan demikian, perilaku yang diamati
mungkin saja dapat menjadi indikator sikap dalam kontek situasional tertentu, tetapi interpretasi
sikap warna sangat berhati-hati apabila hanya didasarkan dari pengamatan terhadap perilaku
yang ditampakkan oleh seseorang.

2. Pertanyaan langsung

Asumsi yang mendasari metode pertanyaan langsung guna pengungkapan sikap,


pertama adalah asumsi bahwa individu merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya
sendiri, dan kedua adalah asumsi keterusterangan bahwa manusia akan mengemukakan secara
terbuka apa yang dirasakannya.

3. Pengungkapan langsung

Suatu metode pertanyaan langsung adalah pengungkapan langsung (direct assessment)


secara tertulis yang dapat dilakukan dengan menggunakan item tunggal maupun dengan
menggunakan item ganda. Prosedur pengungkapan langsung dengan item ganda sangat
sederhana. Responden diminta untuk menjawab langsung suatu pernyataan sikap tertulis dengan
memberi tanda setuju atau tidak setuju.

Penyajian dan pemberian respondennya yang dilakukan secara tertulis memungkinkan


individu untuk menyatakan sikap secara lebih jujur. Pengukuran sikap yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan pengungkapan langsung yaitu dengan menggunakan
skala psikologis yang diberikan pada objek.
B. Sikap dan Perilaku Guru yang Profesional

Pemerintah sering melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru, antara
lain melalui seminar, pelatihan, dan loka karya, bahkam melalui pendidikan formal bahkan
dengan menyekolahkan guru pada tingkat yang lebih tinggi. Kendatipun dalam pelakansaannya
masih jauh dari harapan, dan banyak penyimpangan, namun paling tidak telah menghasilkan
suatu kondisi yang yang menunjukkan bahwa sebagian guru memiliki ijazah perguruan tinggi.

Latar belakang pendidikan ini mestinya berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan,
bersamaan dengan faktor lain yang mempengaruhi. Walaupun dalam kenyataannya banyak guru
yang melakukan kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang seringkali tidak disadari oleh
guru dalam pembelajaran ada tujuh kesalahan. Kesalahan-kesalahan itu antara lain:

1. mengambil jalan pintas dalam pembelajaran,


2. menunggu peserta didik berperilaku negatif,
3. menggunakan destruktif discipline,
4. mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik,
5. merasa diri paling pandai di kelasnya,
6. tidak adil (diskriminatif), serta
7. memaksakan hak peserta didik (Mulyasa, 2005:20).

Untuk mengatasi kesalahan-kesalahan tersebut maka seorang guru yang profesional


harus memiliki empat kompetensi. Kompetensi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dosen
dan Guru, yakni:

1. kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik,


2. kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia,
arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik,
3. kompetensi profesional adalah kamampuan penguasaan materi pelajaran luas mendalam,
4. kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara
efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan
masyarakat sekitar.
Sikap dikatakan sebagai suatu respons evaluatif. Respon hanya akan timbul, apabila
individu dihadapkan pada suatu stimulus yang dikehendaki adanya reaksi individual. Respon
evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbul didasari oleh
proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk
nilai baik buruk, positif negati, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal
sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2000: 15).

Sedangkan perilaku merupakan bentuk tindakan nyata seseorang sebagai akibat dari
adanya aksi respon dan reaksi. Menurut Mann dalam Azwar (2000) sikap merupakan
predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap
dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya
ditentukan oleh sikap semata namun juga ditentukan faktor eksternal lainnya.

Menurut penuturan R.Tantiningsih dalam Wawasan 14 Mei 2005, ada beberapa upaya
yang dapat dilakukan agar beberapa sikap dan perilaku menyimpang dalam dunia pendidikan
dapat hindari, diantaranya: Pertama, menyiapakan tenaga pendidik yang benar-benar profesional
yang dapat menghormati siswa secara utuh. Kedua, guru merupakan key succes factor dalam
keberhasilan budi pekerti. Dari guru siswa mendapatkan action exercise dari pembelajaran yang
diberikan. Guru sebagai panutan hendaknya menjaga image dalam bersikap dan berperilaku.
Ketiga, Budi pekerti dijadikan mata pelajaran khusus di sekolah. Kempat, adanya kerjasama dan
interaksi yang erat antara siswa, guru (sekolah), dan orang tua.

Terkait dengan hal di atas, Hasil temuan dari universitas Harvard bahwa 85 % dari
sebab-sebab kesuksesan, pencapaian sasaran, promosi jabatan, dan lain-lain adalah karena sikap-
sikap seseorang. Hanya 15 % disebabkan oleh keahlian atau kompetensi teknis yang dimiliki
(Ronnie, 2005:62).

Namun sayangnya justru kemampuan yang bersifat teknis ini yang menjadi primadona
dalam istisusi pendidikan yang dianggap modern sekarang ini. Bahkan kompetensi teknis ini
dijadikan basis utama dari proses belajar mengajar. Jelas hal ini bukan solusi, bahkan akan
membuat permasalahan semakin menjadi. Semakin menggelembung dan semakin sulit untuk
diatasi.
Menurut Danni Ronnie M ada enam belas pilar agar guru dapat mengajar dengan hati.
Keenam belas pilar tersebut menekankan pada sikap dan perilaku pendidik untuk
mengembangkan potensi peserta didik. Enam belas pilar pembentukan karakter yang harus
dimiliki seorang guru, antara lain:

1. kasih sayang,
2. penghargaan,
3. pemberian ruang untuk mengembangkan diri,
4. kepercayaan,
5. kerjasama,
6. saling berbagi,
7. saling memotivasi,
8. saling mendengarkan,
9. saling berinteraksi secara positif,
10. saling menanamkan nilai-nilai moral,
11. saling mengingatkan dengan ketulusan hati,
12. saling menularkan antusiasme,
13. saling menggali potensi diri,
14. saling mengajari dengan kerendahan hati,
15. saling menginsiprasi,
16. saling menghormati perbedaan.

Jika para pendidik menyadari dan memiliki menerapkan 16 pilar pembangunan karakter
tersebut jelas akan memberikan sumbangsih yang luar biasa kepada masyarakat dan negaranya.

C. Faktor Penyebab Sikap dan Perilaku Guru Menyimpang

Pendidikan merupakan upaya untuk mencerdaskan anak bangsa. Berbagai upaya


pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan telah dilaksanakan walapun belum
menunjukkan hasil yang optimal. Pendidikan tidak bisa lepas dari siswa atau peserta didik. Siswa
merupakan subjek didik yang harus diakui keberadaannya. Berbagai karakter siswa dan potensi
dalam dirinya tidak boleh diabaikan begitu saja.
Tugas utama guru mendidik dan mengembangkan berbagai potensi itu. Jika ada
pendidik (guru) yang sikap dan perilakunya menyimpang karena dipengaruhi beberapa faktor.
Pertama, adanya malpraktik (meminjam istilah Prof Mungin) yaitu melakukan praktik yang
salah, miskonsep. Guru salah dalam menerapkan hukuman pada siswa. Apapun alasannya
tindakan kekerasan maupun pencabulan guru terhadap siswa merupakan suatu pelanggaran.

Kedua, kurang siapnya guru maupun siswa secara fisik, mental, maupun emosional.
Kesiapan fisik, mental, dan emosional guru maupun siswa sangat diperlukan. Jika kedua belah
pihak siap secara fisik, mental, dan emosional, proses belajar mengajar akan lancar, interaksi
siswa dan guru pun akan terjalin harmonis layaknya orang tua dengan anaknya.

Ketiga, kurangnya penanaman budi pekerti di sekolah. Pelajaran budi pekerti sekarang
ini sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada sifatnya hanya sebagai pelengkap, lantaran diintegrasikan
dengan berbagai mata pelajaran yang ada. Namun realitas di lapangan pelajaran yang didapat
siswa kabanyakan hanya dijejali berbagai materi. Sehingga nilai-nilai budi pekerti yang harus
diajarkan justru dilupakan.

Selain dari ketiga faktor di atas, juga dipengaruhi oleh tipe-tipe kejiwaan seperti yang
diungkapkan Plato dalam "Tipologo Plato", bahwa fungsi jiwa ada tiga, yaitu: fikiran, kemauan,
dan perasaan. Pikiran berkedudukan di kepala, kemauan berkedudukan dalam dada, dan perasaan
berkedudukan dalam tubuh bagian bawah. Atas perbedaan tersebut Plato juga membedakan
bahwa pikiran itu sumber kebijakasanaan, kemauan sumber keberanian, dan perasaan sumber
kekuatan menahan hawa nafsu.

Jika pikiran, kemauan, perasaan tidak sinkron akan menimbulkan permasalahan.


Perasaan tidak dapat mengendalikan hawa nafsu, akibatnya kemauan tidak terkendali dan pikiran
tidak dapat berpikir bijak. Agar pendidikan di Indonesia berhasil, paling tidak pendidik
memahami faktor-faktor tersebut. Kemudian mampu mengantisipasinya dengan baik. Sehingga
kesalahan-kesalahan guru dalam sikap dan perilaku dapat dihindari.
Bagaimanapun juga kualitas pendidikan di Indonesia harus mampu bersaing di dunia
internasional. Sikap dan perilaku profesional seorang pendidik akan mampu membawa dunia
pendidikan lebih berkualitas. Dengan demikian diharapkan mampu mewujudkan tujuan
pendidikan nasional Indonesia yaitu membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap dan perilaku guru yang profesional
adalah mampu menjadi teladan bagi para peserta didik, mampu mengembangkan kompetensi
dalam dirinya, dan mampu mengembangkan potensi para peserta didik. Sikap dan perilaku guru
yang profesional mencakup enam belas pilar dalam pembangun karakter. Keenam belas pilar
tersebut, yakni kasih sayang, penghargaan, pemberian ruang untuk mengembangkan diri,
kepercayaan, kerjasama, saling berbagi, saling memotivasi, saling mendengarkan, saling
berinteraksi secara positif, saling menanamkan nilai-nilai moral, saling mengingatkan dengan
ketulusan hati, saling menularkan antusiasme, saling menggali potensi diri, saling mengajari
dengan kerendahan hati, saling menginsiprasi, saling menghormati perbedaan.

Sikap dan perilaku guru dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang
mempengaruhinya berupa faktor eksternal dan internal. Oleh karena itu pendidik harus mampu
mengatasi apabila kedua faktor tersebut menimbulkan hal-hal yang negatif.
DAFTAR PUSTAKA

 Azwar Saifuddin, 2000. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


 Mar'at, 1981. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukuran. Jakarta: Ghalia Indonesia.
 Mulyasa, 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
 Ronnie M. Dani, 2005. Seni Mengajar dengan Hati. Jakarta: Alex Media Komputindo.
 R. Tantiningsih, 2005. Guru Cengkiling dan Amoral. Koran Harian Sore Wawasan. 14
Mei 2005.
 Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: BP. Media
Pustaka Mandiri.
 Walgito, Bimo 1990. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan
Fakultas Psikologi UGM
 Artikel Pendidikan Network - SIKAP DAN PERILAKU GURU YANG
PROFESIONAL

You might also like