You are on page 1of 47

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN i
FORMULIR PENILAIAN PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK iii
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................................ix
DAFTAR TABEL......................................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan Masalah 2
1.3. Tujuan Penelitian 2
1.4. Manfaat Penelitian 2
1.5. Batasan dan Asumsi Masalah 3
1.6. Sistematika Pembahasan 3
BAB II DATA UMUM PERUSAHAAN...................................................................................5
2.1. Jadwal Kerja Praktek 5
2.2. Lingkup Pekerjaan Perusahaan 5
2.2.1. Profil Perusahaan 5
2.2.2. Sejarah Perusahaan 6
2.2.3. Visi, Misi, dan Tujuan Perusahaan 7
2.2.3.1. Visi Perusahaan 7
2.2.3.2. Misi Perusahaan 7
2.2.3.3. Tujuan Perusahaan 7
2.2.4. Struktur Organisasi dan Jumlah Karyawan 7
2.2.4.1 Struktur Organisasi 7
2.2.4.2. Jumlah Karyawan 8
2.2.5. Proses Bisnis 8
2.3. Ruang Lingkup Pekerjaan yang Dilakukan Penulis 9
BAB III METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH 11
3.1. Dasar Teori 11
3.1.1. Definisi dan Tujuan Line Balancing 11
3.1.2. Terminologi 12

1
3.1.3. Metode Line Balancing 13
3.2. Metodologi Pemecahan Masalah 16
3.2.1. Langkah Pemecahan Masalah 16
3.2.2. Flowchart17
BAB IV PEMECAHAN MASALAH 19
4.1. Pengolahan Data 19
4.1.1. Kondisi Existing Penjahitan Upper Sepatu 19
4.1.2. Pengukuran Waktu Elemen dan Pehitungan Waktu Aktual 20
4.1.3. Perhitungan Waktu Siklus 22
4.1.4. Perhitungan Jumlah Stasiun Kerja Minimum 22
4.1.5. Perhitungan Terhadap Kondisi Existing Penjahitan Upper Sepatu 23
4.1.6. Line Balancing Metode Helgeson-Birnie 24
4.1.7. Line Balancing Metode Largest Candidate Rule 28
4.1.8. Line Balancing Metode Region Approach 32
4.2. Analisis 36
4.2.1. Analisis Kondisi Existing 36
4.2.1.1. Analisis Penyebab Ketidakseimbangan Lintas Produksi 38
4.2.1.2. Analisis Penanggulangan Ketidakseimbangan Lintas Produksi 38
4.2.2. Analisis Hasil Perhitungan (Pemilihan Lintas Terbaik) 39
4.2.3. Analisis Perbandingan Kondisi Existing dan Hasil Perhitungan39
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 41
5.1. Kesimpulan 41
5.2. Saran 41
DAFTAR PUSTAKA 43
LAMPIRAN 45

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gantt Chart Kegiatan Selama Kerja Praktek II-1


Gambar 3.1 Flowchart Pemecahan Masalah III-8
Gambar 4.1 Precedence Diagram Penjahitan Upper Sepatu IV-1
Gambar 4.2 Hasil Pembentukan Kolom-Kolom Region pada IV-14
Precedence Diagram

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jadwal Kerja Praktek II-1


Tabel 2.2 Profil Perusahaan II-2
Tabel 4.1 Nomor dan Nama Proses Penjahitan Upper IV-1
Tabel 4.2 Hasil Pengukuran Waktu Elemen IV-2
Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Waktu Aktual IV-3
Tabel 4.4 Perhitungan Kriteria Performansi Existing Penjahitan Upper Sepatu IV-5
Tabel 4.5 Hasil Pembobotan Posisi IV-6
Tabel 4.6 Hasil Sorting Bobot Posisi IV-6
Tabel 4.7 Iterasi I Metode Helgeson-Birnie IV-7
Tabel 4.8 Iterasi II Metode Helgeson-Birnie IV-7
Tabel 4.9 Iterasi III Metode Helgeson-Birnie IV-8
Tabel 4.10 Iterasi IV Metode Helgeson-Birnie IV-9
Tabel 4.11 Hasil Identifikasi Jumlah Predecessor Tiap Elemen Kerja IV-10
Tabel 4.12 Hasil Sorting Berdasarkan Waktu Elemen dan Jumlah Predecessor IV-11
Tabel 4.13 Iterasi I Metode Largest Candidate Rule IV-11
Tabel 4.14 Iterasi II Metode Largest Candidate Rule IV-12
Tabel 4.15 Iterasi III Metode Largest Candidate Rule IV-13
Tabel 4.16 Iterasi IV Metode Largest Candidate Rule IV-13
Tabel 4.17 Hasil Pengurutan Elemen Pada Tiap Region Berdasarkan Waktu Terbesar IV-15
Tabel 4.18 Iterasi I Metode Region Approach IV-15
Tabel 4.19 Iterasi II Metode Region Approach IV-16
Tabel 4.20 Iterasi III Metode Region Approach IV-17
Tabel 4.21 Iterasi IV Metode Region Approach IV-17
Tabel 4.22 Hasil Perhitungan Kriteria Performansi Kondisi Existing Penjahitan UpperIV-18
Sepatu
Tabel 4.23 Ringkasan Kriteria Performansi Lintasan Hasil Perhitungan IV-21
Tabel 4.24 Perbandingan Kriteria Performansi Existing dan Hasil Perhitungan IV-21
Tabel 5.1 Usulan Rancangan Lintas Penjahitan Upper Sepatu Levi’s Horse Kid V-2

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Dalam satu tahun terakhir, industri sepatu di tanah air mulai mengalami kebangkitan setelah
sempat turun dalam kurun waktu antara tahun 2004 sampai 2008. Hal ini ditandai dengan
meningkatnya permintaan ekspor sepatu di pasar dunia. Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik diketahui bahwa nilai ekspor sepatu nasional pada bulan Oktober 2009 naik 49%
menjadi US$ 133 juta dibandingkan dengan bulan September 2009. Peningkatan permintaan
ekspor ini disinyalir akibat adanya peralihan atau relokasi permintaan produk sepatu oleh
pembeli Amerika Serikat dan Eropa dari Cina ke Indonesia karena faktor ketersediaan bahan
baku serta murahnya biaya buruh dan bahan baku. Dengan meningkatnya permintaan ekspor
sepatu ini maka Indonesia menempatkan dirinya pada posisi ke-5 sebagai pemasok sepatu
terbesar ke Amerika Serikat setelah Brazil, Italia, Vietnam, dan Cina serta menyerap tambahan
tenaga kerja sebanyak 15.000 orang sehingga total tenaga kerja yang terserap oleh industri
sepatu mencapai jumlah 450.000 orang.

PT Prima Inreksa Industries merupakan salah satu perusahaan produsen sepatu yang turut serta
berperan dalam naik turunnya kondisi industri sepatu di Indonesia. Perusahaan yang berlokasi di
kawasan Tangerang ini terkenal sebagai produsen sepatu bagi perusahaan asal Jerman, Adidas,
sejak tahun 1997. Dengan jumlah buruh yang sempat mencapai jumlah 7.000 orang perusahaan
ini mampu memproduksi 500.000 pasang sepatu tiap bulannya. Namun pada pertengahan tahun
2008 PT Prima Inreksa Industries mengalami permasalahan manajemen yang berakibat pada
pemutusan kontrak kerja dengan Adidas pada Desember 2008. Hal ini menyebabkan
pemberhentian hubungan kerja dengan sekitar 6.000 orang tenaga kerjanya.

Dalam mengatasi permasalahan dalam perusahaan, PT Prima Inreksa Industries perlahan-lahann


membenahi manajemen perusahaannya dan kembali mencari pesanan produksi kepada
perusahaan-perusahaan sepatu dari Inggris, Perancis, Jerman, dan Amerika Serikat. Pada awal
tahun 2009, pemegang merk pakaian terkemuka asal Amerika Serikat, Levi’s, akhirnya
menunjuk PT Prima Inreksa Industries untuk memproduksi sepatu dengan merk yang sama. Pada
kontrak kerja yang disepakati antara kedua perusahaan, pesanan yang diterima PT Prima Inreksa
Industries adalah sebesar 200.000 pasang sepatu per bulan dalam tiga bulan pertama. Evaluasi
akan dilakukan terhadap kemampuan perusahaan dalam memenuhi target dan kualitas sepatu
yang dihasilkan untuk menentukan apakah akan dilakukan perpanjangan kontrak atau tidak.

Dengan jumlah target produksi yang sangat besar ini kelancaran produksi merupakan suatu hal
yang perlu dipertahankan dan ditingkatkan agar perusahaan dapat memenuhi target produksi
dengan tetap memberikan kualitas terbaik bagi buyer nya, dan salah satu faktor yang paling
berpengaruh terhadap kelancaran produksi tersebut adalah keseimbangan lintas produksi.
Keseimbangan lintas produksi memiliki pengaruh yang besar terhadap kelancaran produksi

4
karena berpotensi untuk menimbulkan delay bagi waktu produksi jika mengalami ketidak
seimbangan atau fenomena bottleneck.

Pada pengamatan yang dilakukan terhadap salah satu lintas penjahitan upper sepatu Levi’s Horse
Kid pada PT Prima Inreksa Industries, Small Group (SG) 5 Cell 9, didapati bahwa pada beberapa
stasiun kerja dalam SG5-C9 terjadi fenomena-fenomena bottleneck yang disebabkan terdapatnya
perbedaan waktu pengerjaan yang sangat besar antar stasiun kerja. Hal ini mengakibatkan
terjadinya penumpukan barang setengah jadi (work-in-process) pada suatu stasiun kerja
sementara stasiun kerja lainnya menganggur.

Untuk memecahkan permasalahan bottleneck ini, penulis menggunakan bantuan dari para
pekerja pada SG5-C9 dan pembimbing dari divisi Industrial Engineering pada PT Prima Inreksa
Industries serta ilmu Line Balancing yang diterima dalam perkuliahan. Dengan dilakukannya
proses Line Balancing pada lintas penjahitan upper sepatu Levi’s Horse Kid di SG5-C9
diharapkan perusahaan mendapatkan sebuah rancangan lintasan yang lebih baik daripada kondisi
aktual (existing) sehingga dapat mendukung kelancaran produksi demi memenuhi target produksi
dari buyer.

1.2. Perumusan Masalah


Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada Subbab 1.1. Latar Belakang, maka
pertanyaan utama yang ingin dijawab pada pengamatan ini adalah:

1. Apakah yang diperlukan oleh Small Group 5 Cell 9 pada PT Prima Inreksa Industries untuk
mendapatkan sebuah lintas produksi penjahitan upper sepatu Levi’s Horse Kid yang baik dan
seimbang dalam upaya memenuhi target produksi yang telah ditetapkan buyer?

1.3. Tujuan Pengamatan


Tujuan yang ingin dicapai dalam pengamatan ini adalah:

1. Merancang sebuah lintas produksi penjahitan upper sepatu Levi’s Horse Kid pada Small
Group 5 Cell 9 bagi PT Prima Inreksa Industries sehingga perusahaan dapat memenuhi target
produksi yang telah ditetapkan oleh buyer yaitu Levi’s.

1.4. Manfaat Pengamatan


Manfaat dilakukannya pengamatan ini bagi penulis adalah:
1. Memperluas pengetahuan penulis mengenai kondisi nyata perusahaan dalam bidang
manufaktur.
2. Melatih dan meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mengidentifikasi permalasahan
dalam suatu sistem, melakukan analisa terhadap permasalahan tersebut, dan mencari solusi
yang tepat.
3. Meningkatkan keyakian mahasiswa terhadap materi-materi perkuliahan yang selama ini
telah diterima pada kegiatan perkuliahan di kampus.

5
Manfaatnya dilakukan pengamatan ini bagi perusahaan adalah:
1. Mendapatkan masukan-masukan untuk perbaikan yang bermanfaat untuk meningkatkan
produktivitas perusahaan sesuai dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh penulis selama
pelaksanaan Kerja Praktek.
2. Sebagai salah satu sarana pertimbangan bagi perusahaan dalam hal penilaian kualitas
mahasiswa yang pada akhirnya berhubungan pada penerimaan tenaga kerja fresh graduate.
3. Sebagai salah satu bentuk kewajiban sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility).

1.5. Batasan dan Asumsi Masalah


Pada pelaksanaan dan penulisan laporan pengamatan yang dilakukan, ditetapkan beberapa
batasan dan asumsi masalah dengan tujuan untuk memfokuskan masalah yang dikaji serta agar
masalah tidak teralalu kompleks. Batasan-batasan yang digunakan adalah:
1. Pengamatan dilakukan pada pabrik PT Prima Inreksa Industries, Jl. Industri Raya IV blok
AG no.8 KM 8, Desa Bunder, Kecamatan Cikupa, Tangerang.
2. Pengamatan hanya dilakukan pada Small Group 5 Cell 9 saat memproduksi upper sepatu
Levi’s Horse Kid.
3. Pengamatan dilakukan selama waktu kerja praktek penulis berlangsung.
4. Rancangan yang diajukan penulis hanya berupa usulan dan belum diaplikasikan pada
perusahaan.

Asumsi yang digunakan pada pengamatan ini adalah:


1. Jumlah operator yang bekerja pada Small Group 5 Cell 9 selalu sama setiap harinya yaitu
sebanyak 39 orang.
2. Small Group 5 Cell 9 hanya memproduksi upper sepatu Levi’s Horse Kid.
3. Kinerja operator pada Small Group 5 Cell 9 adalah sama untuk seluruh kondisi kerja.
4. Tidak terdapat produk yang harus diperbaiki (repair) atau dikerjakan ulang (rework).
5. Tidak terdapat batasan bagi pekerja untuk hanya bekerja menggunakan satu mesin jahit.
6. Tidak perlu dilakukan Uji Kecukupan Data dengan asumsi bahwa data yang diperoleh penulis
adalah cukup.

1.6. Sistematika Pembahasan


Bab I Pendahuluan
Pendahuluan merupakan bagian pertama dari laporan ini yang menjabarkan tentang latar
belakang permasalahan yang mendorong penulis untuk melakukan pengamatan pada perusahaan,
perumusan masalah, tujuan dari pengamatan yang dilakukan, manfaat pengamatan baik bagi
penulis maupun bagi perusahaan, batasan serta asumsi yang digunakan dalam pengamatan, dan
sistematika pembahasan pengamatan.

Bab II Data Umum Perusahaan


Bab ini menjabarkan tentang data perusahaan tempat dilakukannya perusahaan secara garis besar
mulai dari profil perusahaan, sejarah singkat perusahaan, visi perusahaan, misi perusahaan,
tujuan perusahaan, struktur organisasi perusahaan, serta proses bisnis perusahaan. Selain itu pada
bab ini juga diberikan jadwal pelaksanaan kerja praktek serta ruang lingkup kerja praktek yang
dilakukan penulis.

6
Bab III Dasar Teori
Bab ini menjelaskan tentang dasar teori yang digunakan penulis dalam melakukan pemecahan
masalah yang ditemukan dalam perusahaan serta tahapan-tahapan yang dilakukan penulis dalam
memecahkan masalah tersebut.

Bab IV Pemecahan Masalah


Bab ini menunjukkan tentang proses pemecahan masalah yang dilakukan penulis mulai dari
pengumpulan data terhadap kondisi aktual (existing), pengolahan data dengan menggunakan
metode-metode yang dimiliki berdasarkan dasar teori, serta analisis terhadap hasil pengolahan
data.

Bab V Kesimpulan dan Saran


Bab ini memberikan kesimpulan dari pengamatan dan proses pemecahan masalah yang
dilakukan penulis di dalam perusahaan serta saran-saran bagi perusahaan mengenai
permasalahan yang ditemukan penulis dalam pelaksanaan kerja praktek.

7
BAB II

DATA UMUM PERUSAHAAN

2.1. Jadwal Kerja Praktek


Jadwal kerja praktek yang dilaksanakan penulis pada PT Prima Inreksa Industries adalah sebagai
berikut:
Tanggal 14 Juli 2010 – 8 Agustus 2010
Hari Senin – Jumat
Waktu (Senin –
08.00 – 15.00 WIB (istirahat 12.00 – 13.00 WIB)
Jumat)
Tabel 2.1 – Jadwal Kerja Praktek
Dalam pelaksanaan kerja praktek waktu yang tersedia dalam melakukan kerja praktek, kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh penulis dapat ditunjukkan melalui gantt chart di bawah ini:

Gambar 2.1 – Gantt Chart Kegiatan Selama Kerja Praktek


Dengan rentang waktu yang cukup singkat untuk melakukan kerja praktek serta adanya
keperluan-keperluan mendadak yang mengharuskan penulis untuk kembali ke Bandung, penulis
berusaha sedapat mungkin untuk memadatkan kegiatan pengumpulan data pada perusahaan PT
Prima Inreksa Industries. Dalam waktu pelaksanaan kerja praktek, khususnya pada masa
pelaksanaan pengolahan data, analisis, penarikan kesimpulan dan saran, serta penulisan laporan
penelitian, penulis juga meminta agar diberikan izin untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut
di rumah dengan catatan akan datang ke perusahaan bila dinilai perlu.

2.2. Lingkup Pekerjaan Perusahaan


2.2.1. Profil Perusahaan
PT Prima Inreksa Industries merupakan sebuah perusahaan kontraktor sepatu yang melakukan
kegiatan produksinya berdasarkan pesanan dari perusahaan-perusahaan sepatu khususnya yang
berasal luar negeri. Profil singkat PT Prima Inreksa Industries adalah sebagai berikut:

8
Nama Perusahaan PT PRIMA INREKSA INDUSTRIES

Logo Perusahaan

Alamat Kantor
Jl. Tanah Abang II no.98, Jakarta
Pusat
Jl. Industri Raya IV blok AG no.8 KM8,
Alamat Pabrik Desa Bunder, Kecamatan Cikupa
Tangerang - Banten
Telepon/Fax 021-5901939 / 021-5901945
Tabel 2.2 – Profil Perusahaan

2.2.2. Sejarah Perusahaan


PT Prima Inreksa Industries didirikan atas akte notaris Kartini Muladi, SH. pada tanggal 14
Desember 1988 dengan nomor akte 070. Pembangunan parbik dimulai pada bulan yang sama
dan dilakukan di atas tanah seluas sepuluh hektar di kabupaten Tangerang, Banten. Proses
pembangunan pabrik diselesaikan dalam jangka waktu 11 bulan yaitu pada bulan November
1989 dan pabrik mulai beroperasi pada bulan Januari 1990.

Dalam penentuan kawasan kabupaten Tangerang sebagai lokasi pendirian pabrik, perusahaan
memiliki beberapa faktor yang menjadi dasar pertimbangan yaitu:
 Berdasarkan pengamatan yang dilakukan perusahaan pada masa studi kelayakan investasi,
diketahui bahwa pada tahun 1980an kabupaten Tangerang sedang dalam proses pembangunan
menjadi kawasan industri sehingga harga tanah relatif lebih murah bagi perusahaan-
perusahaan manufaktur.
 Lokasi kawasan industri Tangerang memiliki letak yang strategis karena memiliki akses yang
sangat mudah ke Jalan Tol Jakarta – Merak.
 Dengan pemukiman penduduk yang cukup padat di sekitar kawasan industri maka perusahaan
cenderung mudah dalam memperoleh tenaga kerja yang dibutuhkan baik untuk proses
manufaktur di dalam pabrik maupun untuk pegawai kantor.
 Dengan banyaknya perusahaan-perusahaan lainnya di sekitar PT Prima Inreksa Industries
maka perusahaan memiliki kemudahan dalam memperoleh bahan baku yang dibutuhkan
dalam kegiatan produksinya.

Perusahaan yang sedang memasuki usia ke-22 sejak pendirian pabriknya dilakukan ini telah
melakukan kerjasama dengan berbagai perusahaan sepatu antara lain:
 LA GEAR, produksi dimulai pada tahun 1991.
 FILA, produksi dimulai pada tahun 1993.
 NIKE, produksi dimulai pada tahun 1996.
 ADIDAS, produksi dimulai tahun 1997.
 LEVI’S, produksi dimulai tahun 2009.

9
2.2.3. Visi, Misi, dan Tujuan Perusahaan
Sebagai sebuah perusahaan dan organisasi, PT Prima Inreksa Industries memiliki visi, misi, dan
tujuan yang menjadi landasan berdiri dan beroperasinya perusahaan/organisasi sebagaimana
perusahaan-perusahaan dan organisasi-organisasi lainnya. Adapun visi, misi, dan tujuan dari PT
Prima Inreksa Industries adalah sebagai berikut:

2.2.3.1. Visi Perusahaan


Visi PT Prima Inreksa Industries adalah:
Menjadi yang paling kompetitif dan terpercaya dalam memanufaktur sepatu olahraga dengah
harga menengah kebawah.

2.2.3.2. Misi Perusahaan


Misi PT Prima Inreksa Industries adalah memberikan pelayanan kualitas dan harga terbaik pada
pelanggannya dengan selalu:
 Mencari dan menerima, mempertahankan, melatih, dan menghargai karyawan yang terbaik
dalam bidangnya.
 Menerapkan sistem perburuhan yang terbaik.
 Peduli pada masyarakan dan lingkungan sekitar.
 Menciptakan produk bermutu tinggi dengan inovasi dan kreatifitas.
 Memperbaiki biaya, mutu dan proses pada tahap pengembangan (development).
 Menerapkan perbaikan berlanjut pada proses produksi.
 Fokus pada efisiensi dan mutu.

2.2.3.3. Tujuan Perusahaan


Tujuan PT Prima Inreksa Industries adalah:
 Mendapatkan keutungan bagi perusahaan sebagai sumber pengembangan perusahaan dan
kelangsungan hidup tenaga kerjanya.
 Memberikan kesempatan kerja dan keterampilan kerja pada bidang industri bagi masyarakat
sekitar untuk membantu pemerintah dalam mengatasi masalah pengangguran.
 Membantu pemerintah dalam menghidupi industri lainnya melalui aktivitas jual beli yang
dilakukan PT Prima Inreksa Industries dengan perusahaan pendukungnya seperti perusahaan
penyedia bahan baku dan sebagainya.
 Membantu peningkatan devisa negara dalam sektor ekspor non-migas karena orientasi
perusahaan adalah pasar luar negeri.

2.2.4. Struktur Organisasi dan Jumlah Karyawan


2.2.4.1. Struktur Organisasi
Struktur organisasi pada PT Prima Inreksa Industries pada umumnya terbagi atas 3 bagian yaitu
Top Management, Management, dan Departement. Bagian pertama, yaitu Top Management,
mencakup jabatan tertinggi di perusahaan President Director serta beberapa jabatan yang berada
di bawahnya antara lain Business Managing Director, Vice President Operation, dan Finance
Director. Bagian kedua, yaitu Management, mencakup jabatan Factory Manager yang berada di
bawah Vice President Director dan Cost Control yang berada di bawah Finance Director.

10
Bagian ketiga, yaitu Departement, terbagi untuk Business Managing Director, Vice President
Operation, dan Finance Director. Departemen yang berada di bawah Business Managing
Director adalah Development, Marketing, Costing Material Control, dan Purchasing.
Departemen yang berada di bawah Vice President Operation adalah Planning, Cell, Sabina,
Subcon, Maintenance, Support, Bottom, General Affaris, Human Resources Development
(HRD), Management Information System (MIS), Industrial Engineering (IE), QC, Lab, dan
Bonding. Sedangkan departemen yang berada di bawah Finance Director adalah Finance dan
Accounting.

Berikut adalah organigram dari struktur organisasi PT Prima Inreksa Industries:


(Terlampir: Gambar A)

2.2.4.2. Jumlah Karyawan


Karyawan yang bekerja pada PT Prima Inreksa Industries merupakan karyawan yang direkrut
melalui proses pelatihan dan penyeleksian terlebih dahulu. Proses pelatihan dan penyeleksian ini
dilakukan terutama bagi pekerja yang berhubungan langsung dengan mesin-mesin produksi
untuk menjaga agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan dalam bekerja yang dapat menimbulkan
kerugian bagi perusahaan maupun pekerja.

Jumlah karyawan yang dimiliki PT Prima Inreksa Industries saat ini adalah sebanyak 2.785
orang. Sebanyak 2.423 orang merupakan karyawan non-staff yang terdiri dari 616 orang laki-laki
dan 1.807 orang perempuan dan sebanyak 352 orang karyawan staff yang terdiri dari 228 orang
laki-laki dan 124 orang perempuan. Jumlah ini telah mengalami penurunan yang drastis sejak
bulan Januari 2009 dimana sebelumnya terdapat 6.076 orang keryawan yang terdiri dari 5.561
orang karyawan non-staff dan 515 orang karyawan staff. Penyebab utama penurunan jumlah
pekerja ini adalah hengkangnya Adidas sebagai kontraktor sepatu paling besar yang pernah
bekerja sama dengan perusahaan ini dalam kurun waktu tahun 1997 sampai 2009.

2.2.5. Proses Bisnis


Proses bisnis PT Prima Inreksa Industries mencakup seluruh proses yang dilakukan perusahaan
mulai dari penerimaan pesanan dari perusahaan yang memberikan order (buyer), penerimaan
bahan baku dari pemasok (supplier) sampai pada pengiriman produk jadi kepada buyer.

Proses bisnis diawali dengan penerimaan pesanan dari buyer. Perusahaan kemudian akan
melakukan perhitungan-perhitungan finansial untuk menentukan harga yang akan dikenakan
kepada buyer atas pesanannya tersebut. Jika buyer menyetujui harga maka pesanan akan
dilanjutkan kepada departemen development yang akan mencari dan menentukan bahan baku
yang akan digunakan sesuai dengan spesifikasi yang diberikan oleh buyer. Perusahaan kemudian
akan melakukan produksi sampel sebagai bahan pertimbangan bagi buyer akan kualitas sepatu
yang dapat dihasilkan oleh PT Prima Inreksa Industries. Setelah buyer menyetujui sampel maka
produksi massal sepatu dimulai pada lantai produksi.

Bahan baku yang dikirimkan pemasok (supplier) diterima di area receiving untuk dilakukan
inspeksi dan input data ke dalam komputer. Setelah inspeksi dan input data kemudian bahan
baku akan disimpan dalam gudang bahan baku sampai ada permintaan dari administrasi logistik
untuk mengeluarkan bahan baku untuk keperluan produksi. Ketika administrasi logistik

11
mengeluarkan permintaan bahan baku, maka bahan baku ditransfer ke dalam gudang transit
untuk dikelompokkan sesuai dengan tujuannya (upper atau bottom).

Bahan baku untuk bagian bottom pada umumnya adalah bahan-bahan yang dibutuhkan dalam
pembuatan karet sepatu dan proses produksinya dimulai pada proses penimbangan bahan baku
dan rolling baik rolling rubber (vulcanize dan cold cement) maupun rolling EVA Sponge. Proses
rolling akan dilanjutkan dengan proses extruder, cutting, pressing, dan stockfit yang disesuaikan
dengan kebutuhan dan jenis sepatu yang akan dihasilkan sebelum akhirnya ditransfer menuju
area assembly.

Bahan baku bagian upper pada umumnya adalah bahan sintetik (synthetic) dan kulit (leather).
Proses produksi upper diawali dengan penentuan target produksi per jam oleh departemen
Industrial Engineering (IE) yang disesuaikan dengan jumlah pesanan yang diberikan oleh buyer
dan jumlah tenaga kerja yang ada kepada tiap cell. Dalam tiap cell produksi terdapat 4 small
group (SG) yang akan memasok upper sepatu pada satu assembly line. Kegiatan produksi pada
tiap SG dimulai pada proses cutting bahan baku. Bahan-bahan yang telah keluar dari proses
cutting kemudian akan diteruskan pada proses penjahitan (sewing) yang terdiri dari berbagai
macam proses yang disesuaikan dengan jenis sepatu yang akan dihasilkan. Bagian upper sepatu
yang telah melalui seluruh proses penjahitan kemudian ditransfer ke rak-rak sepatu sebelum
akhirnya ditransfer ke area assembly.

Seperti telah dinyatakan sebelumnya, tiap assembly line menerima pasokan dari satu cell (4
small group) upper yang kemudian akan dirakit dengan bagian bottom yang berasal dari stockfit.
Sepatu yang telah selesai dirakit lalu dimasukkan ke dalam box sepatu yang kemudian akan
dikelompokkan dan dimasukkan ke dalam kardus-kardus yang lebih besar untuk kemudian
dilakukan inspeksi final (final inspection) sebelum dimasukkan ke gudang (warehouse) dan
dikirim ke negara tujuan.

2.3. Lingkup Pekerjaan yang Dilakukan Penulis


Lingkup pekerjaan yang dilakukan penulis dalam kegiatan Kerja Praktek pada PT Prima Inreksa
Industries marupakan bagian dari kegiatan pemecahan masalah. Pemecahan masalah yang
dilakukan dimulai dari kegiatan identifikasi permasalahan yang terjadi di dalam perusahaan
untuk kemudian dianalisis guna mencari solusi terbaik dengan menggunakan metode-metode
yang pernah diperoleh penulis melalui kegiatan perkuliahan, studi literatur, maupun wawancara.

Berdasarkan kegiatan studi pendahuluan yang dilakukan terhadap kegiatan produksi pada pabrik
PT Prima Inreksa Industries, penulis memilih untuk berfokus pada kegiatan penjahitan (sewing)
upper sepatu Levi’s Horse Kid. Penentuan fokus penelitian ini adalah berdasarkan pengamatan
dan wawancara mengenai salah satu small group penjahitan yang menunjukkan tingkat
produktivitas yang tidak cukup dalam memenuhi target produksi yang telah diberikan. Masalah
utama yang teridentifikasi adalah keseimbangan lintasan pada proses penjahitan yang rendah
pada small group tersebut. Oleh karena itu penulis memutuskan untuk melakukan proses line
balancing dengan harapan dapat meningkatkan produktivitas small group dengan sedapat
mungkin menjaga jumlah tenaga kerja (operator) yang terlibat dalam proses seminimal mungkin.

12
13
14
BAB III

METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

3.1. Dasar Teori


Dalam mencari solusi terhadap permasalahan kebutuhan akan kesimbangan lintasan produksi
serta peningkatan produktivitas yang ditemukan penulis pada pelaksanakan Kerja Praktek pada
PT Prima Inreksa Industries, penulis menggunakan dasar teori Line Balancing pada lintas
penjahitan (sewing) upper sepatu Levi’s Horse Kid pada Small Group 5 Cell 9 (SG5-C9).

3.1.1. Definisi dan Tujuan Line Balancing


Line Balancing pada dasarnya merupakan suatu usaha penyeimbangan lintasan produksi
terutama dalam proses produksi perakitan dengan cara memindahkan suatu kegiatan yang
terdapat pada sebuah stasiun kerja menuju stasiun kerja lainnya sehingga waktu yang dihabiskan
pada stasiun kerja tersebut sama dengan waktu yang akan dihabiskan pada stasiun kerja lainnya.
Walaupun dinyatakan bahwa proses line balancing lebih diutamakan kepada proses produksi
perakitan, namun hal ini tidak menutup kemungkinan bagi proses line balancing untuk dilakukan
terhadap proses produksi permesinan. Proses line balancing tetap dapat dilaksanakan namun
harus diikuti dengan perubahan-perubahan secara mekanikal dan teknikal karena proses produksi
permesinan memiliki ketergantungan yang kuat terhadap urutan mesin yang digunakan.

Seperti telah dinyatakan sebelumnya tujuan proses line balancing adalah untuk menghasilkan
waktu antar stasiun yang sama. Hal ini penting untuk dilakukan karena lintasan produksi yang
tidak seimbang akan menyebabkan terjadinya penumpukan barang setengah jadi (Work In
Process/WIP) pada stasiun kerja tertentu sementara pada saat yang sama stasiun kerja lain
menganggur atau dengan kata lain akan terjadi fenomena bottleneck pada stasiun-stasiun kerja
tertentu. Fenomena ini dapat menimbulkan dampak psikologis bagi para pekerja, lingkungan
kerja yang menjadi tidak kondusif, dan dapat menyebabkan ongkos produksi yang lebih tinggi.

Terdapat dua tipe permasalahan dalam penyeimbangan lintasan perakitan (Simple Assemlby Line
Balancing/SALB) yaitu:
1. SALB-I
Simple Assembly Line Balancing I (SALB-I) bertujuan untuk menentukan jumlah stasiun
kerja minimal yang diperlukan untuk menjaga laju produksi yang diinginkan dengan
memperhatikan precedence constraint.
2. SALB-II
Simple Assembly Line Balancing II (SALB-II) bertujuan untuk menetapkan pekerjaan ke
dalam stasiun kerja yang jumlahnya telah ditetapkan untuk memaksimalkan laju produksi
dengan memperhatikan precendence constraint.
Tipe permasalahan SALB-I merupakan tipe yang lebih umum ditemukan dibandingkan dengan
tipe SALB-II.

15
3.1.2. Terminologi
Dalam proses line balancing terdapat beberapa istilah-istilah yang penting untuk dipahami demi
tercapainya tujuan pelaksanaan line balancing. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:

 Elemen Kerja
Elemen Kerja adalah sebuah bagian dari keseluruhan pekerjaan/proses yang dilakukan pada
lintas produksi.
 Stasiun Kerja
Stasiun Kerja adalah sebuah lokasi pada lintas produksi dimana elemen-elemen kerja
dilakukan pada produk.
 Waktu Siklus
Waktu Siklus (Cycle Time/CT) adalah waktu antara penyelesaian dua proses produksi yang
diasumsikan bernilai sama untuk seluruh proses.
Rumus yang digunakan dalam menghitung waktu siklus adalah:
Total waktu kerja yang tersedia
Waktu siklus=
Demand
 Waktu Stasiun
Waktu Stasiun (Station Time/ST) adalah jumlah dari seluruh waktu elemen kerja yang
dilakukan dalam sebuah stasiun kerja yang sama. ST ≤ CT.
 Waktu Elemen
Waktu Elemen (Element Time/ET) adalah waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan
sebuah elemen pekerjaan. ET ≤ ST.
 Waktu Aktual
Waktu Aktual adalah ukuran waktu yang menunjukkan besarnya waktu yang dibutuhkan
dalam menyelesaikan sebuah elemen pekerjaan dengan memperhitungkan efisiensi stasiun
kerja serta faktor penyesuaian dan kelonggaran yang diberikan kepada operator/pekerja.
Rumus yang digunakan dalam menghitung waktu aktual adalah sebagai berikut:

Waktu aktual=waktu elemen x efisiensi x penyesuaian x allowance

 Efisiensi Stasiun Kerja


Efisiensi stasiun kerja menunjukkan tingkatan produktivitas sebuah stasiun kerja dalam
menyelesaikann pekerjaannya.
 Faktor Penyesuaian
Faktor penyesuaian merupakan sebuah faktor yang diperhitungkan jika pengamat berpendapat
bahwa operator bekerja dalam keadaan tidak wajar sehingga hasil pengukuran perlu
disesuaikan atau dinormalkan agar diperoleh rata-rata waktu yang wajar.
 Kelonggaran
Kelonggaran (allowance) merupakan suatu faktor yang diperhitungkan sebagai waktu yang
diberikan kepada operator untuk melakukan kebutuhan pribadi seperti menghilangkan lelah
(fatigue) dan gangguan-gangguan lain yang tidak dapat dihindari oleh operator.
 Precedence Diagram (PD)
Precedence Diagram (PD) adalah sebuah diagram yang mendeskripsikan urutan pelaksanaan
elemen pekerjaan pada sebuah lintas produksi. Diagram ini menunjukkan bahwa beberapa
elemen tidak dapat dilaksanakan sebelum elemen pendahulunya (predecessor) selesai
dilaksanakan.

16
3.1.3. Metode Line Balancing
Secara umum tedapat dua metode dasar yang dapat digunakan untuk menyeimbangkan lintas
produksi, yaitu:
1. Metode Analitik
Metode analitik merupakan metode yang dapat menghasilkan solusi optimal. Contoh dari
metode ini adalah metode Branch & Bound dan metode Pemrograman Linear (Linear
Programming).

2. Metode Herusitik
Metode heuristik merupakan metode yang dapat menghasilkan solusi terbaik namun belum
tentu optimal. Beberapa metode heuristik yang umum digunakan beserta langkah
pengerjaannya antara lain:

 Largest Candidate Rule


Largest Candidate Rule merupakan metode heuristik yang paling sederhana.
Pengelompokan elemen kerja pada stasiun kerja hanya berdasarkan waktu elemen.
Langkah-langkah yang dilakukan pada metode Largest Candidate Rule adalah sebagai
berikut :
1. Urutkan seluruh elemen pekerjaan berdasarkan waktu elemen mulai dari waktu
elemen terbesar.
2. Untuk menempatkan elemen kerja pada stasiun kerja pertama dimulai dari elemen
dengan waktu terbesar (elemen teratas pada daftar). Kemudian masukkan elemen kerja
yang berada pada urutan di bawahnya. Elemen kerja yang dimasukkan tidak boleh
melanggar presedence constraint dan jumlah waktu elemen-elemen tersebut tidak boleh
melebihi waktu siklus.
3. Lanjutkan proses pengelompokan seperti pada langkah ke – 2.
4. Ulangi langkah 2 dan 3 untuk stasiun kerja lainnya hingga seluruh elemen
dikelompokkan.

 Region Approach
Region Approach merupakan metode heuristik yang menempatkan elemen pekerjaan pada
stasiun kerja berdasarkan posisi pada Precedence Diagram. Elemen yang terletak lebih
awal pada diagram ditempatkan lebih dulu pada stasiun kerja pertama. Hal ini mengatasi
kelemahan pada metode Largest Candidate Rule dimana elemen yang terletak di ujung
precedence diagram dapat menjadi kandidat pada stasiun pertama akibat nilai waktu
elemen yang besar.

Langkah-langkah yang dilakukan pada metode Region Approach adalah sebagai berikut:
1. Membuat kolom-kolom atau region pada precedence diagram. Kolom 1 memuat
elemen-elemen pekerjaan yang tidak memiliki predecessor. Kolom 2 memuat elemen
pekerjaan dengan predecessor kolom 1 dan seterusnya. Untuk elemen kerja yang
memiliki precedence yang identik ditempatkan dalam 1 kolom.
2. Untuk mengelompokkan elemen pada stasiun kerja dimulai dengan elemen pada
region 1. Kemudian jumlahkan waktu elemen-elemen tersebut. Apabila jumlah waktu
tersebut masih lebih kecil dari waktu siklus, lihat waktu elemen-elemen kerja pada
region 2. Masukkan elemen kerja pada region 2 yang waktu elemennya memungkinkan
untuk ditambahkan pada stasiun kerja pertama.

17
3. Lakukan evaluasi dan pertukaran elemen kerja antar stasiun kerja bila perlu.

Berbeda dengan metode Largest Candidate Rule, pada metode ini kita tidak perlu
mengelompokkan elemen kerja dengan mempertimbangkan precedence diagram karena
telah diatur dengan adanya pembagian region.

 Metoda Helgeson – Birnie / Ranked Positional Weight ( RPW )


Metode ini lebih menitikberatkan pada pembatasan daerah berdasarkan precedence
diagram. Setiap stasiun kerja dikelompokkan masing-masing sesuai dengan ada tidaknya
predecesor dan kesamaan urutan.

Setiap proses iterasi dilakukan berdasarkan precedence diagram dimana hanya setiap
stasiun kerja yang berdekatan dan yang memungkinkan dari segi urutan dan waktu siklus
yang akan digabungkan. Jadi titik beratnya adalah kedekatan dan jangkauan daerah antar
stasiun kerja.
Langkah-langkah untuk menyusun lintas perakitan menggunakan metoda ini adalah sebgai
berikut:
1. Lakukan pembobotan posisi untuk tiap elemen pekerjaan. Bobot posisi
merupakan jumlah waktu elemen-elemen pada rantai terpanjang mulai dari elemen
tersebut sampai elemen terakhir.
2. Urutkan elemen pekerjaan mulai dari bobot tertinggi hingga bobot terendah
(decreasing).
3. Lakukan pengelompokan elemen pekerjaan menjadi stasiun kerja sesuai dengan
urutan bobot posisinya dengan tetap memperhatikan precedence constraints dan waktu
siklus.

Kriteria performansi yang digunakan dalam Line Balancing adalah :

 Waktu menganggur
Besar waktu menganggur menunjukkan total waktu menunggu dari setiap stasiun akibat
selisih waktu stasiun terbesar dengan waktu setiap stasiun. Lintas produksi yang sempurna
tidak memiliki waktu menganggur yang berarti waktu setiap stasiun kerja sama. Semakin
besar waktu menganggur menunjukkan bahwa lintas produksi kurang efisien karena
banyak waktu yang terbuang untuk menunggu stasiun kerja yang memiliki waktu stasiun
terbesar menyelesaikan elemen pekerjaannya.

Rumus yang digunakan dalam menghitung waktu menganggur adalah:


n
Waktu Menganggur=n .CT −∑ ST i
i=1

Keterangan:
n = Jumlah stasiun kerja
CT = Waktu siklus (Cycle Time)
STi = Waktu statiun kerja i
i = 1, 2, 3, …, n.

18
 Keseimbangan waktu senggang
Waktu senggang adalah ukuran ketidakefisienan lintas produksi yang dihasilkan oleh
pekerjaan yang tidak sempurna di antara seluruh stasiun kerja. Besar keseimbangan waktu
senggang menunjukkan persentase waktu menganggur terhadap waktu produksi komponen
sejak memasuki stasiun kerja pertama sampai stasiun kerja terakhir. Lintas produksi yang
sempurna memiliki keseimbangan waktu senggang sebesar nol yang berarti tidak ada
waktu menganggur pada seluruh stasiun kerja. Hal ini terjadi bila waktu semua stasiun
bernilai sama. Adanya precedence constraint tidak memungkinkan kita untuk
mendapatkan waktu yang sama untuk seluruh stasiun. Namun, kita harus berusaha
merancang lintas produksi dengan keseimbangan waktu senggang yang rendah dengan
mengatur kombinasi elemen pekerjaan antar stasiun kerja tanpa melanggar precedence
constraint.

Rumus yang digunakan dalam menghitung keseimbangan waktu senggang adalah:


Waktu Menganggur
Keseimbangan Waktu Senggang= x 100 %
n .CT
Keterangan:
n = Jumlah stasiun kerja
CT = Waktu siklus (Cycle Time)

 Line Efficiency
Line Efficiency merupakan sebuah perbandingan antara jumlah seluruh waktu stasiun kerja
dengan perkalian antara waktu siklus dengan jumlah stasiun kerja. Lintas produksi yang
baik adalah yang memiliki nilai line efficiency yang tinggi yang menunjukkan bahwa
seluruh stasiun kerja memiliki waktu yang sama dengan waktu siklus yang telah
ditetapkan.

Rumus yang digunakan dalam menghitung line efficiency adalah sebagai berikut:
n

∑ ST i
Line Efficiency= i=1 x 100 %
n . CT
Keterangan:
n = Jumlah stasiun kejra
CT = Waktu siklus (Cycle Time)
STi = Waktu statiun kerja i
i = 1, 2, 3, …, n.

 Smoothness Index
Smoothness Index menunjukkan tingkat kelancaran (smoothness) dari keseimbangan lintas
produksi yang dibentuk. Lintas produksi yang baik adalah yang memiliki nilai smoothness
index yang mendekati angka 0.

19
Rumus yang digunakan dalam menghitung smoothness index adalah sebagai berikut:
n
Smoothness Index= √∑ i=1
(STmax −STi)2

Keterangan:
n = Jumlah stasiun kerja
STmax = Waktu stasiun kerja terbesar
STi = Waktu statiun kerja i
i = 1, 2, 3, …, n.

 Produktivitas
Produktivitas menunjukkan tingkat kemampuan lintas produksi dalam memenuhi demand
yang telah ditetapkan untuk setiap jam kerjanya.

Rumus yang digunakan dalam menghitung tingkat produktivitas adalah sebagai berikut:

Demand
Produktivitas=
Jumlah stasiun kerja

3.2. Metodologi Pemecahan Masalah


3.2.1. Langkah Pemecahan Masalah
Langkah-langkah pemecahan masalah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Studi Lapangan
Langkah pertama ini merupakan tahapan dimana penulis melakukan pengamatan ke lantai
produksi penjahitan upper sepatu Levi’s Horse Kid untuk mengetahui kondisi aktual
(existing) dari sistem yang akan diteliti serta mengidentifikasi permasalahan yang terdapat
dalam sistem yang akan diteliti.
2. Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, dan Pembatasan Masalah
Langkah ini merupakan tahapan dimana penulis melakukan perumusahn terhadap
permasalahan yang dipilih untuk dipecahkan, menetapkan tujuan penelitian, serta melakukan
pembatasan terhadap permasalahan sehingga pengamatan yang dilakukan dapat terfokus.
3. Studi Literatur
Langkah ketiga ini merupakan tahapan dimana penulis mencari informasi mengenai metode
yang sesuai untuk digunakan dalam memecahkan permasalahan yang ditemukan.
4. Perumusan Elemen Kerja
Langkah ini merupakan tahapan dimana penulis mengidentifikasi dan merumuskan elemen-
elemen kerja pada tiap stasiun kerja pada lintas penjahitan upper sepatu serta melakukan
pengukuran waktu tiap elemen.
5. Perhitungan Waktu Aktual, Waktu Siklus, dan Jumlah Stasiun Kerja Minimum
Langkah ini merupakan tahapan dimana penulis waktu aktual dari tiap elemen kerja,
menghitung waktu siklus maksimum untuk setiap stasiun kerja, serta menghitung jumlah
stasiun kerja minimum yang dibutuhkan dalam lintas penjahitan upper sepatu.
6. Perhitungan Line Balancing dengan Metode Heuristik
Langkah ini merupakan tahapan dimana penulis melakukan perhitungan-perhitungan dengan
metode Helgeson-Birnie, Largest Candidate Rule, dan Region Approach sehingga diperoleh

20
jumlah stasiun kerja yang dibutuhkan, elemen kerja pada tiap stasiun, serta kriteria
performansi dari lintasan tersebut.
7. Analisis
Langkah ini merupakan tahapan dimana penulis memilih lintasan terbaik dari berbagai
metode yang digunakan serta membandingkan kriteria performansi lintasan terbaik tersebut
dengan kriteria performansi yang dimiliki kondisi aktual.
8. Kesimpulan dan Saran
Langkah ini merupakan tahapan terakhir dimana penulis menarik kesimpulan terhadap hasil
pengamatan dan pemecahan masalah yang telah dilakukannya serta memberikan saran
perbaikan bagi perusahaan dalam menghadapi permasalahan yang didapati oleh penulis.

3.2.2. Flowchart
Berikut adalah flowchart dari pengamatan serta proses pemecahan masalah yang dilakukan
penulis dalam melakukan kerja praktek pada PT Prima Inreksa Industries.

21
START

Precedence Elemen
Diagram Kerja

Mengukur waktu elemen

Menghitung waktu aktual

Menghitung waktu siklus

Menghitung jumlah stasiun


kerja minimum

Line Balancing Metode Line Balancing Metode Line Balancing Metode


Helgeson-Birnie Largest Candidate Rule Region Approach

Melakukan 4 iterasi Melakukan 4 iterasi Melakukan 4 iterasi


perhitungan perhitungan perhitungan

Menghitung kriteria Menghitung kriteria Menghitung kriteria


performansi performansi performansi

Menganalisis hasil
pengolahan data

Menentukan alternatif
terbarik dari seluruh iterasi
dan metode

Membandingkan alternatif
terbaik dengan kondisi
existing

Memberikan kesimpulan
dan saran

FINISH

Gambar 3.1 – Flowchart Pemecahan Masalah

22
BAB IV

PEMECAHAN MASALAH

4.1. Pengolahan Data


4.1.1. Kondisi Existing Penjahitan Upper Sepatu
Dalam melakukan penelitian terhadap keseimbangan lintasan pada proses penjahitan (sewing)
upper sepatu yang terjadi pada Small Group 5 Cell 9 (SG5-C9), terlebih dahulu diperlukan
gambaran mengenai tahapan-tahapan proses penjahitan yang terjadi di dalam SG5-C9 tersebut
pada waktu pengamatan dilakukan (exsting). Gambaran mengenai urutan proses penjahitan
upper sepatu dapat dilihat pada Precedence Diagram (PD) berikut,

10a 11a 12a

2 3 4 5 6 8 9 10b 11b 12b 13 14 15 28 29 30 31 32 33

7 12c

23a 25a

16 17 18 19 23b 24 25b 26 27

20 21 22

Gambar 4.1 – Precedence Diagram Penjahitan Upper Sepatu

Keterangan mengenai nomor dan nama proses yang digambarkan pada precedence diagram
dapat dilihat pada tabel berikut,

23
Tabel 4.1 – Nomor dan Nama Proses Penjahitan Upper

4.1.2. Pengukuran Waktu Elemen dan Perhitungan Waktu Aktual


Selain gambaran mengenai tahapan-tahapan proses penjahitan yang terjadi pada SG5-C9, agar
dapat dilakukan penyeimbangan lintasan penjahitan, juga diperlukan data mengenai waktu
elemen dan waktu aktual dari tiap proses pada lintasan tersebut. Pengukuran waktu elemen
dilakukan sebanyak lima kali untuk tiap proses dan waktu yang ditetapkan menjadi waktu
elemen suatu proses adalah rata-rata dari kelima pengukuran terhadap proses tersebut. Hasil
pengukuran waktu elemen tiap proses dapat dilihat pada tabel berikut,

24
Tabel 4.2 – Hasil Pengukuran Waktu Elemen

Setelah dilakukan pengukuran waktu elemen, dilakukan perhitungan waktu aktual dari tiap
proses yang terjadi pada SG5-C9 dengan menggunakan rumus:

Waktu aktual=waktu elemen x efisiensi x penyesuaian x allowance

Dengan menetapkan efisiensi sebesar 85%, penyesuaian sebesar 1.2 dan allowance sebesar 1.1
diperoleh data waktu aktual untuk tiap proses dalam penjahitan upper sepatu Levi’s Horse Kid
sebagai berikut:

25
Tabel 4.3 – Hasil Perhitungan Waktu Aktual

4.1.3. Perhitungan Waktu Siklus


Perhitungan waktu siklus maksimum dilakukan dengan menggunakan rumus

Total waktu kerja yang tersedia


Waktu siklus=
Demand

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari perusahaan, diketahui bahwa perusahaan memiliki 22
hari kerja/bulan, 8 jam/hari dan 1 shift/hari. Selain itu juga diketahui bahwa perusahaan memiliki
demand penjahitan sepatu yang ingin dipenuhi sebesar 60 pasang/jam. Berdasarkan data-data
tersebut serta rumus yang telah dinyatakan di atas, maka dapat dilakukan perhitungan waktu
siklus maksimum sebagai berikut:
22 x 8 x 1 x 3600
Waktu siklus ¿ =60 detik / pasang
60 x 8 x 22

Jadi waktu siklus maksimum adalah 60 detik.

4.1.4. Perhitungan Jumlah Stasiun Kerja Minimum


Perhitungan jumlah stasiun kerja maksimum dilakukan dengan menggunakan rumus:

total waktu elemen


Jumlah min¿
waktu siklus max

Berdasarkan perhitungan-perhitungan yang telah dilakukan sebelumnya, maka diperoleh jumlah


stasiun minimum sebagai berikut
1409.68
Jumlah min¿ =23.49 ≈ 24 stasiun
60

Jadi, jumlah stasiun kerja minimum pada SG5-C9 adalah sebanyak 23.49 stasiun ≈ 24 stasiun.

26
4.1.5. Perhitungan Terhadap Kondisi Existing Penjahitan Upper Sepatu
Berdasarkan pembentukan precedence diagram dan hasil perhitungan waktu aktual yang telah
dilakukan maka dapat dilakukan perhitungan kriteria performansi yang terdiri dari efisiensi
lintasan, waktu menganggur, keseimbangan waktu senggang, smoothness index, dan tingkat
produktivitas terhadap kondisi lintasan pada saat dilaksanakan pengamatan (existing) dengan
hasil dari perhitungan adalah sebagai berikut:

Tabel 4.4 – Perhitungan Kriteria Performansi Existing Penjahitan Upper Sepatu

27
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa lintas penjahitan upper sepatu memiliki efisiensi
lintasan sebesar 60% dengan waktu menganggur sebesar 930.32 detik, keseimbangan waktu
senggang sebesar 40%, smoothness index sebesar 168.84, dan tingkat produktivitas sebesar 1.54
pasang/manhour.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada saat pelaksanaan Kerja Praktek didapati bahwa
dengan kondisi lintasan penjahitan upper sepatu Levi’s Horse Kid seperti ini, SG5-C9 tidak
dapat memenuhi target produksi yang telah ditetapkan oleh perusahaan yaitu sebesar 60 pasang
sepatu untuk setiap jamnya.

4.1.6. Line Balancing Metode Helgeson-Birnie


Perhitungan metode Helgeson-Birnie dilakukan dengan memberikan bobot posisi pada tiap
elemen kerja berdasarkan Precendence Diagram, melakukan sorting mulai dari elemen yang
memiliki bobot paling besar ke paling kecil, kemudian mengelompokkan elemen kerja menjadi
stasiun kerja sesuai urutannya dengan tetap memperhatikan Precedence Constraints dan waktu
siklus. Hasil pembobotan posisi terhadap tiap elemen kerja adalah sebagai berikut:

Tabel 4.5 – Hasil Pembobotan Posisi


Hasil sorting bobot posisi elemen kerja adalah sebagai berikut:

Tabel 4.6 – Hasil Sorting Bobot Posisi

Pengelompokan elemen kerja ke dalam stasiun-stasiun kerja dilakukan berdasarkan 4 iterasi


untuk memperoleh kemungkinan pengelompokan dengan tingkat efisiensi lintasan, waktu

28
menganggur, keseimbangan waktu senggang, smoothness index, dan tingkat produktivitas yang
terbaik. Keempat iterasi pengelompokan yang dilakukan dapat dilihat pada tabel-tabel berikut:

Tabel 4.7 – Iterasi I Metode Helgeson- Birnie

29
Tabel 4.8 – Iterasi II Metode Helgeson-Birnie

30
Tabel 4.9 – Iterasi III Metode Helgeson-Birnie

31
Tabel 4.10 – Iterasi IV Metode Helgeson-Birnie

4.1.7. Line Balancing Metode Largest Candidate Rule


Perhitungan metode Largest Candudate Rule dilakukan dengan cara mengurutkan elemen kerja
berdasarkan waktu elemen tertinggi dan jumlah elemen kerja predecessor-nya. Kemudian
dilakukan pengelompokan elemen kerja menjadi stasiun kerja berdasarkan waktu elemen paling
tinggi dan jumlah predecessor paling sedikit dengan memperhatikan precedence constraints dan
waktu siklus.

Tabel 4.11 – Hasil Identifikasi Jumlah Predecessor Tiap Elemen Kerja

32
Hasil sorting elemen kerja dengan waktu elemen terbesar dan jumlah predecessor terendah
adalah sebagai berikut:

Tabel 4.12 – Hasil Sorting Berdasarkan Waktu Elemen dan Jumlah Predecessor

Sama halnya dengan metode Helgeson-Birnie, pada line balancing dengan menggunakan metode
Largest Candidate Rule dilakukan iterasi pengelompokan elemen ke dalam stasiun kerja
sebanyak 4 kali memperoleh kemungkinan pengelompokan dengan tingkat efisiensi lintasan,
waktu menganggur, keseimbangan waktu senggang, smoothness index, dan tingkat produktivitas
yang terbaik. Keempat iterasi pengelompokan yang dilakukan dapat dilihat pada tabel-tabel
berikut:

33
Tabel 4.13 – Iterasi I Metode Largest Candidate Rule

Tabel 4.14 – Iterasi II Metode Largest Candidate Rule

34
Tabel 4.15 – Iterasi III Metode Largest Candidate Rule

35
Tabel 4.16 – Iterasi IV Metode Largest Candidate Rule

4.1.8. Line Balancing Metode Region Approach


Metode Region Approach dilakukan dengan cara membuat kolom-kolom region pada
Precedence Diagram, mengurutkan tiap elemen kerja pada satu region berdasarkan waktu
elemen tertinggi dan kemudian mengelompokkan elemen kerja menjadi stasiun kerja sesuai
urutan dengan memperhatikan precedence constraints dan waktu siklus.

Berdasarkan penerapan langkah-langkah tersebut, maka diperoleh data dan hasil perhitungan
sebagai berikut:

10a 11a 12a

2 3 4 5 6 8 9 10b 11b 12b 13 14 15 28 29 30 31 32 33

7 12c

23a 25a

16 17 18 19 23b 24 25b 26 27

20 21 22

Gambar 4.2 – Hasil Pembentukan Kolom-Kolom Region pada Precedence Diagram

36
Tabel 4.17 – Hasil Pengurutan Elemen Pada Tiap Region Berdasarkan Waktu Terbesar

Sama halnya dengan metode Helgeson-Birnie serta metode Largest Candidate Rule, pada line
balancing dengan menggunakan metode Region Approach dilakukan iterasi pengelompokan
elemen ke dalam stasiun kerja sebanyak 4 kali memperoleh kemungkinan pengelompokan
dengan tingkat efisiensi lintasan, waktu menganggur, keseimbangan waktu senggang,
smoothness index, dan tingkat produktivitas yang terbaik. Keempat iterasi pengelompokan yang
dilakukan dapat dilihat pada tabel-tabel berikut:

37
Tabel 4.18 – Iterasi I Metode Region Approach

Tabel 4.19 – Iterasi II Metode Region Approach

38
Tabel 4.20 – Iterasi III Metode Region Approach

39
Tabel 4.21 – Iterasi IV Metode Region Approach

4.2. Analisis
4.2.1. Analisis Kondisi Existing
Berdasarkan hasil pengukuran waktu dan perhitungan waktu aktual maka dapat dilakukan
perhitungan kriteria performansi yang terdiri dari efisiensi lintasan, waktu menganggur,
keseimbangan waktu senggang, smoothness index, serta tingkat produktivitas SG5-C9 dalam
rangkaian proses penjahitan upper sepatu Levi’s Horse Kid pada saat pengamatan dilakukan
(existing). Hasil perhitungan ditunjukkan pada tabel berikut:

40
Tabel 4.22 – Hasil Perhitungan Kriteria Performansi Kondisi Existing Penjahitan Upper
Sepatu

Tabel yang menampilkan hasil perhitungan terhadap kondisi existing di atas dengan jelas
menunjukkan bahwa lintasan penjahitan upper sepatu Levi’s Horse Kid pada saat dilakukan
pengamatan memiliki kondisi yang kurang baik (tidak seimbang). Sebagaimana yang telah
diketahui bahwa lintas produksi yang baik memiliki efisiensi lintasan yang tinggi serta waktu
menganggur, keseimbangan waktu senggang, dan smoothness index yang mendekati angka 0.
Sementara itu hasil perhitungan terhadap kondisi existing menunjukkan bahwa lintasan memiliki
nilai efisiensi lintasan yang rendah serta waktu menganggur, keseimbangan waktu senggang, dan
smoothness index yang cukup tinggi.

Kondisi lintasan produksi seperti ini dapat menimbulkan dampak yang buruk baik bagi para
pekerja maupun pada pemenuhan target produksi yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
Dampak buruk bagi para pekerja dapat berupa:
 Beban mental dan fisik yang besar bagi para pekerja pada stasiun kerja yang
mengalami kondisi bottleneck, dimana mereka dituntut untuk meningkatkan performansi
kerjanya demi tercapainya target produksi SG5-C9.
 Turunnya motivasi kerja para pekerja pada stasiun kerja yang sering menganggur.

Sedangkan dampak buruk bagi pemenuhan target produksi pada dasarnya timbul akibat
terjadinya fenomena bottleneck pada stasiun-stasiun tertentu sehingga terjadi delay pada waktu
penyelesaian tiap pasang sepatu yang dijahit pada SG5-C9. Dengan meningkatnya waktu

41
penyelesaian penjahitan tiap pasang sepatu maka kemungkinan terpenuhinya target produksi
sebesar 60 pasang/jam akan semakin sulit untuk dipenuhi.

4.2.1.1. Analisis Penyebab Ketidakseimbangan Lintas Produksi


Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap SG5-C9 didapati bahwa penyebab utama
terjadinya ketidakseimbangan pada lintas produksi penjahitan upper sepatu Levi’s Horse Kid
adalah terjadinya fenomena-fenomena bottleneck atau penumpukan work-in-process pada
beberapa stasiun kerja. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya fenomena ini antara lain:
 Tidak seimbangnya waktu antar stasiun kerja.
Fenomena bottleneck pada dasarnya terjadi ketika aliran work-in-process keluar dari satu
stasiun kerja dengan waktu stasiun yang rendah menuju stasiun kerja dengan waktu stasiun
yang lebih besar dan kemudian menuju stasiun kerja dengan waktu stasiun yang lebih rendah.
Hal ini menyebabkan penyumbatan atau penumpukan work-in-process pada bagian input
stasiun kerja yang memiliki waktu stasiun yang lebih besar dan menganggurnya stasiun kerja
berikutnya yang memiliki waktu stasiun lebih kecil.
 Perbedaan kemampuan pekerja.
Masing-masing pekerja pada SG5-C9 memiliki tingkat kemampuan tersendiri dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu pada umumnya berasal dari pengalaman dalam
melakukan pekerjaan tersebut. Penempatan pekerja dengan kemampuan yang kurang pada
suatu stasiun kerja yang berpotensi untuk menimbulkan bottleneck akan memberikan dampak
yang buruk bagi keseimbangan proses penjahitan sepatu.

4.2.1.2. Analisis Penanggulangan Ketidakseimbangan Lintas Produksi


Dalam menciptakan suatu lintas produksi yang seimbang maka fenomena bottleneck harus
dihindari karena dapat menghambat kelancaran aliran work-in-process pada penjahitan upper
sepatu serta menimbulkan delay pada penyelesaian tiap pasang sepatu. Hal-hal yang dapat
dilakukan dalam menanggulangi terjadinya bottleneck adalah sebagai berikut:
 Menyeimbangkan waktu antar stasiun kerja.
Penyeimbangan waktu antar stasiun kerja dapat dilakukan dengan pelaksanaan berbagai
metode line balancing pada lintas produksi serta menerapkan hasil line balancing yang
terbaik dari seluruh metode yang telah dilakukan. Dengan diterapkannya hasil line balancing,
walaupun tidak diperoleh hasil yang benar-benar seimbang, diharapkan lintas produksi dapat
lebih baik daripada sebelumnya dan dapat mendukung pemenuhan target produksi yang telah
ditetapkan perusahaan dengan lebih baik.
 Penempatan pekerja pada stasiun kerja dengan tepat.
Stasiun-stasiun kerja yang berpotensi untuk menimbulkan fenomena bottleneck sebaiknya
ditangani oleh pekerja yang memiliki kemampuan yang sangat baik dalam bidangnya
sehingga kemungkinan timbulnya fenomena bottleneck dapat diminimalisir dan kalaupun
fenomena tersebut terjadi, pekerja tersebut dengan secepat mungkin dapat meningkatkan
performansinya.
 Pelatihan pekerja.
Pelatihan terhadap pekerja sebaiknya tetap dilakukan khususnya bagi pekerja yang baru
bergabung pada perusahaan sehingga kemampuan bekerjanya dapat seimbang dengan
pekerja-pekerja yang telah lebih berpengalaman dalam melakukan proses penjahitan sepatu.

42
4.2.2. Analisis Hasil Perhitungan (Pemilihan Lintas Terbaik)
Setelah dilakukan proses line balancing terhadap lintas penjahitan upper sepatu Levi’s Horse
Kid dengan berbagai metode heuristik maka dilakukan pemilihan hasil line balancing yang
menunjukkan solusi terbaik. Pemilihan solusi terbaik didasarkan atas berbagai kriteria
performansi seperti efisensi lintasan, waktu menganggur, keseimbangan waktu senggang,
smoothness index, dan tingkat produktivitas lintasan. Ringkasan kriteria performansi lintasan
berdasarkan berbagai metode adalah sebagai berikut:

Tabel 4.23 – Ringkasan Kriteria Performansi Lintasan Hasil Perhitungan

Berdasarkan perbandingan terhadap kriteria performansi lintasan dengan berbagai iterasi dan
metode line balancing yang dilakukan pada lintas produksi maka dapat dinyatakan bahwa iterasi
4 pada metode Helgeson-Birnie merupakan lintasan yang terbaik.

4.2.3. Analisis Perbandingan Kondisi Existing dan Hasil Perhitungan


Perbandingan kondisi existing lintas penjahitan upper sepatu Levi’s Horse Kid dengan hasil
perhitungan dapat dilakukan dengan membandingkan kriteria performansi antara kedua lintasan
tersebut seperti yang ditampilkan pada tabel berikut:

Tabel 4.24 – Perbandingan Kriteria Performansi Existing dan Hasil Perhitungan

43
Berdasarkan perbandingan tabel di atas dapat dilihat bahwa lintasan hasil perhitungan lebih baik
daripada lintasan kondisi aktual. Analisis terhadap tiap masing-masing kriteria performansi
adalah sebagai berikut:
 Efisiensi Lintasan
Efisiensi lintasan merupakan perbandingan antara jumlah seluruh waktu stasiun kerja dengan
perkalian antara waktu siklus dengan jumlah stasiun kerja. Lintas produksi yang baik adalah
yang memiliki nilai efisiensi lintasan yang tinggi yang menunjukkan bahwa seluruh stasiun
kerja memiliki waktu yang sama dengan waktu siklus yang telah ditetapkan. Sehingga dapat
dinyatakan bahwa semakin tinggi efisiensi lintasan maka performansi lintasan tersebut
semakin baik. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh peningkatan efisiensi lintasan sebsar
18% yaitu dari 60% menjadi sebesar 78%.
 Waktu Menganggur
Nilai waktu menganggur menunjukkan total waktu menunggu dari setiap stasiun akibat selisih
waktu stasiun terbesar dengan waktu setiap stasiun. Lintas produksi yang sempurna tidak
memiliki waktu menganggur yang berarti waktu setiap stasiun kerja sama. Semakin besar
waktu menganggur menunjukkan bahwa lintas produksi kurang efisien karena banyak waktu
yang terbuang untuk menunggu stasiun kerja yang memiliki waktu stasiun terbesar
menyelesaikan elemen pekerjaannya. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh penurunan
nilai waktu menganggur sebesar 540 detik dari 930.32 detik menjadi 390.32 detik.
 Keseimbangan Waktu Senggang
Waktu senggang adalah ukuran ketidakefisienan lintas produksi yang dihasilkan oleh
pekerjaan yang tidak sempurna di antara seluruh stasiun kerja. Besar keseimbangan waktu
senggang menunjukkan persentase waktu menganggur terhadap waktu produksi komponen
sejak memasuki stasiun kerja pertama sampai stasiun kerja terakhir. Lintas produksi yang
sempurna memiliki keseimbangan waktu senggang sebesar nol yang berarti tidak ada waktu
menganggur pada seluruh stasiun kerja. Dengan kata lain semakin kecil nilai keseimbangan
waktu senggang maka performansi lintasan semakin baik. Berdasarkan hasil perhitungan
diperoleh penurunan nilai keseimbangan waktu senggang sebesar 18% dari 40% menjadi
22%.
 Smoothness Index
Smoothness Index menunjukkan tingkat kelancaran (smoothness) dari keseimbangan lintas
produksi yang dibentuk. Lintas produksi yang baik adalah yang memiliki nilai smoothness
index yang mendekati angka 0. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa semakin kecil nilai
smoothness index maka performansi lintasan semakin baik. Berdasarkan hasil perhitungan
diperoleh penurunan nilai smoothness index sebesar 86.94 dari 168.84 menjadi 81.91.
 Produktivitas
Produktivitas menunjukkan tingkat kemampuan lintas produksi dalam memenuhi demand
yang telah ditetapkan untuk setiap jam kerjanya. Semakin besar nilai produktivitas dari
lintasan menunjukkan lintasan yang semakin baik. Berdasarkan perhitungan diperoleh
peningkatan produktivitas sebesar 0.46 pasang/manhour dari 1.54 pasang/manhour menjadi
2.00 pasang/manhour.

44
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Proses Line Balancing merupakan suatu proses yang sangat perlu untuk dilakukan untuk
mencapai terbentuknya suatu lintasan produksi yang seimbang dan terhindar dari terjadinya
fenomena bottleneck yang dapat memberikan dampak negatif bagi kelangsungan proses produksi
seperti peningkatan biaya produksi serta dampak-dampak lain yang dapat ditimbulkan terhadap
pekerja seperti beban mental dan fisik bagi para pekerja.

Proses Line Balancing dapat dilakukan dengan berbagai metode baik metode analitik maupun
heuristik. Metode heuristik yang umum digunakan adalah metode Helgeson-Birnie, Largest
Candidate Rule, dan Region Approach. Masing-masing metode memiliki langkah pengerjaan
yang berbeda-beda namun memiliki kriteria pengukuran performansi yang sama. Pada akhirnya,
metode yang terbaik ditentukan berdasarkan perbandingan kriteria-kriteria performansi yang
dihasilkan oleh metode-metode tersebut.

Dalam lintas penjahitan upper sepatu Levi’s Horse Kid pada PT Prima Inreksa Industries,
metode Line Balancing yang menunjukkan kriteria performansi terbaik adalah metode Helgeson-
Birnie dengan kriteria performansi sebagai berikut:
1. Efisiensi lintasan terbesar yaitu 78%.
2. Waktu menganggur terendah yaitu 390.32 detik.
3. Keseimbangan waktu senggang terendah yaitu 22%.
4. Smoothness Index terendah yaitu 80.01 detik.
5. Produktivitas tertinggi yaitu 2 pasang/manhour.

5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan penulis kepada PT Prima Inreksa Industries terkait dengan
keseimbangan lintasan pada proses penjahitan upper sepatu Levi’s Horse Kid di Small Group 5
Cell 9 (SG5-C9) adalah sebagai berikut:
 Untuk meningkatkan keseimbangan lintas penjahitan upper sepatu Levi’s Horse Kid di SG5-
C9 ada baiknya bila perusahaan menetapkan rancangan lintasan sebagai berikut:

45
Tabel 5.1 – Usulan Rancangan Lintas Penjahitan Upper Sepatu Levi’s Horse Kid

Karena terdapat pengurangan sebanyak 9 stasiun kerja jika dibandingkan dengan kondisi awal
sebelum dilakukan line balancing maka diperlukan penyesuaian terhadap tata letak stasiun
kerja pada lintas penjahitan upper sepatu. Berikut adalah usulan tata letak lintasan setelah
dilakukan line balancing:
(Terlampir: Gambar B)
 Agar tingkat performansi lintasan dapat ditingkatkan menjadi lebih baik lagi, sebaiknya
perusahaan senantiasa memberikan pelatihan kepada pekerja yang dinilai memiliki
performansi yang kurang sehingga dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan lebih cepat lagi.
 Pada saat pelaksanaan kerja praktek, penulis terkadang mendapati pimpinan SG5-C9 bersifat
emosional terhadap para pekerja pada lintasan akibat tekanan target produksi yang tidak dapat
terpenuhi. Hal ini menyebabkan pekerja yang mendapatkan tekanan dari pimpinan SG5-C9
menjadi kaku dalam bekerja dan cenderung melakukan kesalahan. Ada baiknya bila pimpinan
SG5-C9 dapat meredam emosinya dan lebih memilih untuk memberikan dorongan positif
bagi para pekerja di lintasan sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan kerja dapat
dikurangi.

46
DAFTAR PUSTAKA

Bedworth, David D. & Bailey, James A. 1987. Integrated Producion Control System. Canada:
John Wiley & Sons.
Groover, Mikell P. 2001. Automation, Production System, and Computer-Integrated
Manufacturing 2nd edition. New Jersey: Prentice-Hall.
Handout Kuliah TI-3122 Perancangan dan Pengendalian Produksi.
Http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/03/16/09243578/Levis.Pesan.Sepatu.Pada.Pabrik.I
ndonesia.
Http://www.apakabar.ws/forums/viewtopic.php?f=2&t=49500
Http://mobile.kontan.co.id/keuangan/news/2278/Industri-Alas-Kaki-Akan-Dapat-Dana-
Restrukturisasi
Http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/01/28/08584478/Industri.Sepatu.Mulai.Bangkit
Modul 7 Praktikum TI 3104 Perancangan Teknik Industri 1, Perancangan Sistem Produksi
Perakitan.
Sutalaksana, I.Z. et, al. 2006. Teknik Perancangan Sistem Kerja. Bandung: Penerbit ITB.

47

You might also like