Professional Documents
Culture Documents
Hal ini terlihat bahwa sejak krisis terjadi tahun 1997, keadaan gizi kurang
hanya 17,68 persen, gizi buruk 0,52 persen, dan tahun 1998 menunjukkan
lonjakan tinggi, yakni gizi kurang meningkat 7,07 persen menjadi 24,76
persen dan gizi buruk meningkat 1,34 persen menjadi 1,86 persen.
Dengan melihat kondisi itu, katanya, upaya pengentasan kasus gizi buruk
harus dilakukan dengan penanganan yang lebih komprehensif dengan
meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi dari sektor terkait.
Keadaan kasus gizi buruk yang terjadi di Jateng pada tahun 2003
menunjukkan penurunan sebesar 0,55 persen dari 1,86 persen (1998)
menjadi 1,31 persen, katanya.
Perubahan yang terjadi pada kasus gizi buruk dari tahun ke tahun memang
tidak sedrastis pada gizi kurang, meskipun demikian fluktuasinya
menunjukkan kecenderungan yang terus menurun.
"Kondisi ini terlihat pada tahun 2003 yang status gizinya kurang sudah turun
sebesar 12 persen dari sebanyak 24,76 persen menjadi 12,76 persen," kata
dia.
Prevalensi gizi kurang khususnya pada balita yang dipantau melalui kegiatan
pemantauan status gizi (PSG) pos pelayanan terpadu (posyandu) yang
dilakukan secara rutin setiap tahun sekali menunjukkan penurunan signifikan,
katanya.
Oleh
Web Warouw
Pontianak – Tak akan ada yang mengira, anak laki-laki lucu dan montok bernama Rafita ini pernah
mengalami gizi buruk. Ketika ditemukan, Rafita berumur empat bulan badannya hanya dibalut kulit
dengan tulang-tulang yang menonjol tanpa daging dengan berat 1,8 kg dan tinggi badan 48 cm. Namun
setelah dirawat di Puskesmas Sui Durian, Kabupaten Pontianak, selama 50 hari berat badannya
meningkat menjadi 4,8 kg dengan tinggi badan 60 cm.
Itu merupakan salah satu kasus gizi buruk anak negeri dari ribuan, bahkan jutaan, yang mengalami hal
yang sama. Keterpurukan ekonomi menjadi salah satu penyebab menurunnya daya beli masyarakat dan
berpengaruh langsung terhadap kualitas hidup. Kemampuan masyarakat kini menurun, terutama di
pedesaan.
Bangkrutnya industri perkayuan di Kalimantan Barat semakin memperparah tingkat kemiskinan. Khusus
di Kabupaten Pontianak saja, bukan hanya Rafita yang mengalami. Beberapa anak gizi buruk lainnya
sempat dirawat di puskesmas itu.
Mereka hanya salah satu dari 120 anak dengan gizi buruk yang pernah dan berhasil ditangani oleh oleh
Pusat Perawatan Gizi Buruk, yang didirikan oleh Puskesmas Sui Durian, di Kecamatan Sungai Raya,
Kabupaten Pontianak, pada saat meledak kasus gizi buruk.
Dari jumlah tersebut, 75 anak gizi buruk murni, dan 45 anak lainnya gizi buruk dengan penyakit penyerta
seperti pneumonia berat, TBC, dan jantung. Puskesmas Sungai Durian adalah satu dari 30 puskesmas di
Kabupaten Pontianak. Kasus serupa juga diyakini cukup banyak di seluruh kabupaten lainnya hingga ke
pelosok nusantara.
Perawatan TFC dilaksanakan dengan 3 aspek, yaitu asuhan medis, asuhan nutrisi dan asuhan
keperawatan.
“Tujuannya adalah menurunkan angka kematian akibat gizi buruk, menegakkan tata laksana gizi buruk
dan memperbaiki dan meningkatkan status gizi masyarakat,” demikian Kepala Puskesmas, Suwarto,
Selasa (10/7) lalu.
Ia menjelaskan bahwa TFC ini menyediakan rawat inap 20-45 hari, dengan asuhan medis selama 24 jam.
Asupan nutrisi 24 jam penuh setiap hari meliputi penyediaan makanan anak sesuai kondisi, menyiapkan
sarana bermain anak, melatih orang tua menyiapkan makanan formula, paket makanan anak saat
pemulangan, menyiapkan bahan makanan orang tua pasien, sarana hiburan orang tua dan konsultasi gizi
paska perawatan.
Selain itu, TFC ini juga harus menerima pasien gizi buruk dari luar wilayahnya. “Sulitnya tenaga medis
sering berganti sehingga perlu pelatihan ulang. Dana APBD/APBN belum terlokasi secara khusus. Masih
terjadi kasus pulang paksa karena pola hidup orang tua yang berbeda,” Suwarto menjelaskan hambatan-
hambatan yang ditemui.
Kepala Bina Gizi, Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, Henry Hadad menjelaskan bahwa
Prevalensi gizi buruk di Kalimantan Barat 2006 adalah 2,51% dari total penduduk, dengan 1.200 kasus.
Pada tahun 2005, ada 600 kasus dengan prevalensi sebesar 2,81%.
Henry Hadad menegaskan bahwa untuk keluarga miskin tidak dipungut bayaran sepeserpun karena ini
merupakan program nasional dan pemerintah menanggungnya. Namun, kasus gizi buruk itu bukan
semata-mata karena kemiskinan. Ada juga ditemukan kasus gizi buruk pada anak anggota dewan
(DPRD) di Pontianak. Anak anggota dewan ini sempat dirawat karena mengalami gizi buruk.
“Kalau bukan karena kemiskinan, maka gizi buruk bisa disebabkan oleh pola makan anak yang tidak
benar,” jelasnya.
Tetapi sejauh ini, peningkatan gizi buruk di masyarakat pedesaan maupun perkotaan, umumnya karena
kemiskinan, terutama saat krisis ekonomi melanda Indonesia sejak beberapa tahun silam. Kondisi itu
diperburuk lagi dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM dalam rangka mengurangi
beban subsidi. Dampaknya, ekonomi rakyat miskin yang sudah terpuruk makin terjerembab lebih dalam,
sehingga kasus gizi buruk dan kasus lainnya terus meningkat. n