You are on page 1of 12

MENGHIDUPKAN KEMBALI

TRADISI CINA/TIONGHOA DI INDONESIA

Oleh: Shaifuddin Bahrum (Makassar)

Pendahuluan
Tidak lagi dipungkiri bahwa masyarakat Cina/Tionghoa yang berada di seluruh
Indonesia adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyaraklat Indonesia lainnya.
Sekalipun suku bangsa ini bukan lahir dari kandungan tanah air Ibu Pertiwi akan tetapi
sejarah panjangnya bermukim dibumi nusantara yang telah berabad-abad membuat tak
bedanya seperti suku/ etnik yang ada di Indonesia. (Joice Gani, 1990, dan Hari
Poerwanto, 2003)

Orang Cina/Tionghoa yang ada di Indonesia juga mengembangkan kebudayaan


mereka yang bersumber dari budaya nenek moyang mereka di negeri China atau
Tiongkok yang kemudian beberapa diantara dapat berasimilasi dan berakulturasi dengan
kebudayaan setempat di mana mereka bermukim. Sehingga orang Cina di Indonesia
dapat di bagi menjadi orang Cina Jawa, Cina Sunda, Cina Batak, Cina Bali, Cina
Singkawang, Cina Makassar dan lain-lain sebagainya. Masing kelompok etnis Cina
tersebut memiliki kesamaan pola social dan budaya akan tetapi merekapun memiliki
perbedaan-perbedaan yang diakibatkan oleh pergaulannya dengan masyarakat dan
budaya setempat (Shaifuddin Bahrum; 2003)

Persamaan dan perbedaan atau kajian-kajian terhadap berbagai aspek kebudayaan


orang Cina di Indonesia merupakan kajian menarik di Indonesia ketimbang hanya
mempersoalkan etnis ini dalam pola-pola konflik social atau dalam peta politik
kekuasaan di Indonesia. Kajian budaya secara holistic dengan pendekatan sinkronik dan
diakronik masih terasa sangat sedikit dilakukan dan dipublikasikan. Padahal kajian-kajian
tersebut sangat dibutuhkan untuk memulihkan buruknya kondisi social antaretnis
diberbagai wilayah di Indonesia.
Beberapa Ritual
Dalam era reformasi dewasa ini masyarakat Cina di Indonesia khusunya Makassar
berupaya untuk kembali mengangkat berbagai upacara ritual mereka yang selama Orde
Baru tidak diperbolehkan oleh pemerintah untuk dilaksanakan. Upacara seperti Tahun
Baru telah dilakukan secara meriah dan terbuka sejak tahun 1999 atau 2550 Imlek, dan
puncak kemeriahan pelaksanaan Imlek terlihat pada tahun 2003 atau 2552.

Pada tahun tersebut masyarakat Tionghoa di Makassar bersepakat untuk


mengarak arca-arca dewa keluar dari klenteng atau vihara. Arak-arakan ini dilaksanakan
pada acara Cap Gop Meh atau upacara hari ke 15 Imlek. Arak-arakan ini berlangsung ±
8 Km mengelilingi Wilayah Pecinan atau Kampong Cina (China Town). Masyarakat
Kota Makassar ketika itu tumpah ruah ke jalan menyaksikan arak-arakan tersebut yang
diramaikan dengan arak-arakan arca dari sejumlah klenteng dan vihara, pertunjukan
barongsai dan ular naga, pawai kendaraan hias, dan pertunjukan para manusia sakti yang
menusuk-nusuk dirinya dengan berbagai benda tajam.

Dalam pawai tersebut bukan hanya masyarakat Cina di Makassar yang terlibat
dalam pawai akan tetapi juga sejumlah, masyarakat setempat ikut terlibat di dalamnya.
Tim kesenian tradisi Bugis-Bakassar ikut terlibat dalam perayaan Imlek ini. Misalnya
Komunitas Bissu dari Kabupaten Pangkep, Kelompok Kesenian I Lologading dan Musik
Tanjidor dari Makassar, dan Kelompok Tari Pakarena dari Kabupaten Takarar.

Pada tahun 2004 perayaan Imlek tidak lagi dilaksanakan secara meriah karena
pada tahun tersebut bertepatan dengan bencana alam Tsunami di Aceh yang menjadikan
Indonesia secara keseluruhan berduka-cita. Perayaan Imleh dilaksanakan secara
sederhana saja dan kegiatan sosial lebih ditonjolkan, bahkan masyarakat Tionghoa di
Makassar mengumpulkan dana yang kemudian disumbangkan ke Aceh.

Dua tahun berikutnya pelaksanaan Imlek dilaksanakan secara sederhana saja


dengan mengambil tema-tema kebersamaan. Pada acara-acara Imlek dilaksanakan
beberapa kegiatan selain acara ritual di klenteng atau di vihara. Acara-acara tersebut
antara lain acara malam resepsi, diskusi budaya, dan bakti sosial.

Selain acara Imlek dan Cap Go Meh masih terdapat sejumlah upacara ritual yang
sering dilaksanakan oleh masyarakat Cina di Makassar antara lain;
- Sembahyang meja tinggi tanggal 9 bulan Imlek,
- Ching Beng (sembahyang arwah leluhur) tanggal 4-5 bulan 4 Imlek
- Tuan Ui Cie (Makan kue Bakcang) tanggal 5 bulan 5
- Chong Yen Cie (Sembahyang Arwah/ bagi-bagi beras)
tanggal 15 bulan 7 imlek
- Cong Cin Cie (makan Kue Bulan) tanggal 15bulan ke 8
- Chong Yan Cie (Sembayang Kelahiran Dewa Naga)
tanggal 9 Bulan 9 Imlek
- Tong Tzu Cie (Makan Onde Kecil berwarna-warni)
10 hari menjelang tahun baru Masehi

Beberapa upacara ritual di atas dilatar belakangi oleh sejarah yang kemudian
menjadi mitos yang dihormati dalam masyarakat di China. Meskipun cerita-cerita rakyat
yang menyebar itu telah dituliskan akan tetapi penyebarannya dilakukan secara lisan.

Di Indonesia demikian halnya. Tradisi menjalar dalam masyarakat melalui tuturan


orang-orang tua mereka kepada generasinya. Sebenarnya tradisi ini tercatat dalam kitab-
ajaran kepercayaan Khonghucu atau Budha yang ditulis dalam aksara China. Akan tetapi
buku tersebut hanya dimiliki secara terbatas oleh orang-orang tertentu. Sementara
kebanyakan orang-orang tua mereka hanya merekam dalam ingatan pelajaran yang
pernah ia dapatkan ketika belajar di sekolah yang diasuh oleh orang China puluhan tahun
yang lalu.

Meskipun oleh generasi yang berusia diatas 50 tahun masih ada yabf sempat
membaca buku-buku teks yang beraksara Mandarin, akan tetapi pada generasi yang lebih
muda sudah banyak yang tidak tahu membaca aksara tersebut. Sehingga orang-orang tua
tersebut hanya bisa melisankan cerita-cerita yang berasal dari negeri leluhur mereka.

Pada masa orde baru, beberapa upacara tidak lagi pernah dilakukan kecuali
ibadah-ibadah yang di wajibkan seperti Imlek, Cap Gomeh, sembahyang leluhur yang
dilaksanakan 2 kali dalam sebulan yakni pada setiap tanggal 1 dan 15 dalam bulan Imlek,
dan sembahyang arwah leluhur (Ching beng). Sementara tradisi seperti Tuan Ui Cie,
Cong Cin Cie, Chong Yan Cie, dan Tong Tzu Cie, tidak lagi dilaksanakan secara meluas
dalam masyarakat. Mereka hanya melaksanakan tradisi-tradisi ini jika ada kesempatan
dalam rumah tangga mereka sendiri-sendiri atau pada klenteng yang memiliki
kesempatan dan kesiapan.

Setelah sekian lama tradisi ini tidak dilaksanakan maka banyak masyarakat
Tionghoa yang tidak lagi memperhatikan jadwal pelaksanaannya sehingga tidak
melakukan tradisi tersebut. Terutama mereka yang sudah beralih agama menjadi pemeluk
agama Kristen ataupun Islam. Karena mereka menganggap tradisi ini masih terkait
langsung dengan tradisi agama nenek moyang mereka Konghucu ataupun Tao.
Sementara mereka yang masih beragama Budha, Konghucu, ataupun Tao tidak
semua melaksanakan tradisi-tradisi di atas, karena menganggap tradisi tersebut cukup
rumit dan mahal. Kalaupun mereka laksanakan pastilah banyak urutan yang terpotong.

Dua Ritual
Dalam tulisan ini disajikan dua buah tradisi masyarakat Tionghoa yang mulai
terabaikan. Padahal jika dikaji lebih mendalam kedua upacara ini memiliki makna dan
nilai-nilai yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan social, berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Kedua upacara tersebut adalah Tuan Ui Cie dan Cong Cin Cie.

a. Tuan Ui Cie
Upacara Tuan Ui Cie atau upacara makan kue bakcan didasari oleh sebuah
kisah untuk menghargai seorang pejuang bangsa (Perdana Menteri) yang ingin
menyelamatkan negerinya dari kehancuran akibat merajalelanya berbagai tindak korupsi
dan perbuatan-perbuatan yang merugikan negara. Akan tetapi karena raja tidak mau
ditegur dan mendapat pengaruh dari para pengawalnya yang lain, maka sang perdana
menteri tersebut yang justru mendapat hukuman, dibuang, dan ditenggelamkan ke dasar
sungai/laut.

Melihat hal tersebut maka masyarakat yang mengagumi perjuangan sang


perdana mentri berlomba-lomba mendayung perahunya untuk menyelamatkan sang
pahkawan tersebut, namun malangnya mereka tak menemukannya lagi, mereka
beranggapan beranggapan ia telah diambil oleh Dewa Laut. Lalu kemudian masyarakat
pantaipun kembali ke rumah mereka masing-masing untuk memasak karena mereka
berpikir sang Perdana Mantri akan kelaparan nantinya di alam Dewa Laut. Setelah selesai
memasak nasi mereka kembali berlomba-lomba menuju tempat pembuangan itu untuk
membawakan makanan tersebut.

Ketika makanan yang dibawa dibuang ke air, maka nasi itupun bertebaran
kemana-mana hanyut terbawa arus sungai/laut. Sehingga merekapun segera kembali lalu
membungkus nasi tersebut dengan daun bamboo yang banyak terdapat di kampung
mereka, kemudian mereka kembali berlomba ke wilayah tempat orang yang mereka
hormati dibuang lalu lememparkan makanan yang dibawanya ke air. Nasi Bakcan itupun
tenggelam ke dasar sungai/laut dan menganggap kiriman mereka sudah sampaui ke
tujuannya.

Pada versi cerita yang lain masyarakat yang melihat yang Perdana Mentri itu di
buang mereka berlomba untuk pergi menyelamatkannya. Karena tidak ditemukan segera
mereka segera kembali membuat kue/ nasi bakcan untuk dilemparkan ke laut agar sang
pahlawan tidak termakan oleh ikan dan ikan hanya memakan nasi itu.

Dalam pelaksanaan tradisi di atas tidak lagi sepenuhnya melakukan


pengulangan seperti yang di kisahkan di atas. Masyarakat Tionghoa yang ada di
Makassar hanya melakukan tradisi makan nasi bakcan dan membuangnya beberapa buah
ke sungai atau ke laut. Sementara di beberapa tempat di Indonesia yang memiliki sungai
yang besar atau pantai melengkapinya dengan perlombaan perahu naga.

Di Makassar sesungguhnya bisa saja dilaksanakan lomba perahu naga karena di


kota ini terdapat pantai Losari yang indah dan juga terdapat sungai Jeneberang dan
Sungai Tallo yang cukup lebar akan tetapi masyarakat Tionghoa Makassar belum bisa
melaksanakannya dengan berbagai kendala. Tentu saja kendala utama adalah pendanaan
untuk mengadakan perahu naga, selain itu mereka masih belum yakin apakah kegiatan
seperti itu akan di dukung oleh masyarakat lainnya di kota ini (mereka masih mengalami
kendala psikologis).

b. Cong Cin Cie


Upacara lain yang tidak kalah menariknya adalah upacara Cong Cin Cie (Makan
Kue Bulan). Upacara ini sesungguhnya bukan hanya upacara makan kue bulan tetapi
lebih diperkaya dengan saling berkiriman kepada saudara, keluarga, dan tetangga-
tetangga.

Tradisi ini dilatar belakangi oleh cerita rakyat yang berkembang dan hidup di
daratan Cina. Pada suatu ketika memerintah seorang kaisar yang zalim, yang amat besar
kekuasaannya. Kaisar ini memerintah drngan semena-mena dan melakukan korupsi,
memungut pajak yang tinggi dari rakyatnya sehingga rakyat Cina mengalami penderitaan
yang sangat.

Meskipun demikian rakyat tidak mampu berbuat apa-apa untuk menuntut


haknya pada raja. Karena sang raja sangat berkuasa dan dilindungi oleh pengawal, dan
tentara yang sangat kuat. Sehingga kekuasan raja tak dapat dilawan sedikitpun, barang
siapa yang akan melawan maka dia akan menanggung resikonya, pasti akan dihukum
berat atau dihukum mati. Tak ada rakyat yang berani sedikitpun.

Sekalipun demikian tidak berarti rakyat China tinggal diam, para tokoh
masyarakat mencari jalan keluar dan melakukan diskusi-diskusi gelap. Dari diskusi-
diskusi itu kemudian dihasilkan satu kesimpulan bahwa kekuasaan Raja tidak mungkin
dapat dilawan apalagi untuk menggulingkannya dari kursi kekuasaannya. Hanya ada satu
jalan untuk menurunkan raja dari tahtanya yakni melakukan perlawanan bersama seluruh
rakyat China dan harus dilakukan secara serentak dalam waktu bersamaan.

Persoalan lain muncul. Bagaimana mengkoordinir dan menggerakkan rakyat


secara serempak tanpa tercium oleh pihak penguasa mengingat Kerajaan China yang
sangat luas. Akhirnya ditemukanlah cara bahwa untuk menyebarkan informasi waktu
penyerangan dilakukan dengan cara rahasia pula. Caranya adalah melalui kue bulan.
Maka pada malam bulan purnama ketika itu masyarakat membuat kue yang mirip bulan
purnama. Kue tersebut terbuat dari tepung beras yang kemudian di dalamnya diberi isian
dengan ayam, atau kacang ijo yang dicampur dengan gula merah.

Di dalam isian kue Bulan tersebut kemudian di selipkan secarik bilahan bamboo
kecil atau kertas yang bertuliskan hari dan tanggal serta waktu penyerangan. Maka
dengan cara itu informasi segera menebar ke seluruh negeri sampai ke pelosok. Sehingga
seluruh rakyat China sudah mulai melakukan persiapan sesuai kemampuan mereka, baik
mental maupun senjata yang akan digunakannya. Rakyat di mana-mana sudah
menentukan dan membidik sasaran mereka masing-masing.

Ketika saatnya tiba seluruh rakyat China melakukan gerakan bersama menyerbu
pusat-pusat kekuasaan melakukan perlawanan menggulikan raja yang zalim. Para
pengawal dan tentara tidak memiliki persiapan perlawanan sehingga mereka dengan
mudah ditaklukkan. Sampai pada akhirnya raja dapat ditaklukkan pula dan diturunkan
dari singgasana kekuasaannya dan diganti dengan raja yang baru yang lebih
memperhatikan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.

Tradisi berkirim dan makan kue bulan kemudian dilakukan secara turun
menurun di negeri China hingga kini. Meskipun di dalamnya sudah tidak lagi menitipkan
pesan yang ditulis pada secarik kertas atau sebilah bambo tipis kecil.
Indonesia khususnya di Makassar, tradisi ini juga masih dilaksanakan oleh
sebagian masyarakat Tionghoa. Adapun tradisi berkirim sudah mereka tidak lakukan lagi
mengingat harga kue Bulan yang cukup mahal. Mereka hanya membeli kue Bulan
beberapa biji lalu kemudian mereka makan bersama-sama dalam keluarga, untuk
mngenang tradisi yang lalu.

Nilai-nilai yang Terkandung dalam Tradisi


Jika mengacu pada fungsi folklore atau cerita rakyat William R. Bascom (dalam
James Dananjaya, 1986;19) maka cerita-cerita rakyat di atas telah memproyeksikan suatu
keinginan kolektif dari masyarakat China, juga menunjukkan pranata-pranata dan
lembaga-lembaga masyarakat dan kebudayaan. Dalam kedua cerita/trasisi di atas yang
telah bergulir dalam masyarakat juga berfungsi sebagai sarana pendidikan dalam
masyarakatnya serta mengajarkan norma-norma yang seharusnya mereka patuhi dan
laksanakan dalam kehidupan sebagai orang China, baik yang ada di negeri China maupun
mereka yang sudah tersebar dan menetap diberbagai tempat, termasuk yang ada di
Indonesia.

Kedua tradisi diatas yang kami jadikan sample dari sejumlah tradisi masyarakat
Cina/Tionghoa di Indonesia terlihat adanya nilai-nilai budaya yang sudah semestinya
diangkat kepermukaan agar generasi muda masyarakat Tionghoa dapat memahami dan
menjadikannya sebagai jati diri dari kehidupan mereka bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Meskipun tradisi ini adalah tradisi nenek moyang mereka di negeri China akan
tetapi aplikasi dari nilai-nilai itu dapat diterapkan dalam kehidupan mereka di Indonesia.
Kedua cerita di atas dapat ditarik sejumlah nilai, antara lain adalah:

1. Nilai Penghormatan Kepada Orang Tua


Pada dasarnya ajaran-ajaran Konghucu dan Tao berintikan penghormatan
pada orang tua. Orang tua dalam kehidupan masyarakat Cina memiliki
peranan yang sangat tinggi. Betapa tidak karena dialah maka kehidupan kita
hadir di mukabimi ini. Dari rahim seorang ibu terlahir seorang anak bahkan
dapat tahap selanjutnya orang tua senantiasa mengasuh dan membesarkan
serta mendidiknya. Sehingga sang anak dapat hidup mandiri
menjalanikehidupan selanjutnya. Untuk itulah maka diajarkan bahwa anak
harus menghormati orang tuanya.
Dalam arti yang luas orang tua tidak sekedar hanya ayah dan ibu, akan tetapi
juga orang-orang telah berjasa memberikan ilmunya seperti guru atau
mereka yang telah memimpin kita ke jalan yang benar. Sehingga orang tua
juga adalah para guru dan para pemimpin, mereka juga pantas mendapat
penghormatan dalam kehidupan sebagai orang tua. Seperti halnya sang
Perdana Menteri yang melakukan otokritik terhadap sang raja dan kemudian
di buang dan ditenggelamkan ke sungai/ laut. Ia telah memberikan pelajaran
bahwa jika ada raja yang zalim maka ia patut untuk ditegur, dikritik, dan
ditunjukkan jalan kebenaran, meskipun kemudian akibatnya adalah
kematian. Sehingga sebagai guru Pendana menteri itu pantas untuk selalu
dikenang dan didoakan dalam sepanjang kehidupan.

2. Nilai Kesetiakawanan dan kebersamaan


Kedua cerita di atas menunjukkan nilai kesetiakawanan dan kebersanaan
untuk membangun suatu kebaikan dan membangun negara. Pada cerita
pertama masyarakat secara bersama-sama ingin menolong pahlawannya
yang dibuang ke dasar sungai/laut, sekalipun gagal iapun bersama ingin
memberinya makanan nasi bakcan. Dengan melakukan kembali lomba
Perahu Naga maka dengan jelas kerja sama di antara mereka dapat
tercerminkan dalam kegiatan ini.
Juga pada cerita kedua juga jelas dipaparkan kebersamaan para rakyat China
untuk menggulingkan kaisar yang menyengsarakan mereka dan memerintah
dengan sewenang-wenang. Tanpa kebersamaan maka perjuangan untuk
mendapatkan hidup yang lebih baik tidak mungkin dapat tercapai.

3. Nilai Kecintaan pada Negara


Cinta pada Negara adalah nilai yang juga tersurat dan tersirat pada kedua
cerita di atas. Rakyat sangat mencintai negaranya sehingga ia selalu
memperperbaiki system pemerintahannya. Jika terjadi kesalahan dalam
system maka mereka akan melakukan kritik dan perbaikan dengan berbagai
cara. Mereka tidak pernah putus asa meskipun kemudian ia tahu resikonya
mengancam jiwa mereka.

4. Nilai Kecintaan pada Kebenaran


Tergambar pula dalam kedua cerita di atas tentang ajaran agar selalu
mencintai kebenaran, dan meyakini bahwa memperjuangkan kebenaran
pasti tidaklah sia-sia. Memperjuangkan kebenaran pasti akan mendapat
banyak tantangan dan rintangan sehingga dibutuhkan keuletan dan
kesabaran untuk meraihnya. Tentu saja kebenaran yang dimaksud adalah
kebenaran sesuai dengan nilai kebenaran yang berlaku dalam masyarakat
yang dituntun oleh nilai budaya dan norma-norma agama/kepercayaan yang
dianut serta aturan hukum yang berlaku.
5. Nilai Cinta Pada Lingkungan
Pada cerita di atas tersirat ajaran agar kita senantias amencintai linghungan
hidup dimana kita berada. Sehingga setiap orang berkewajiban untuk
menjaga dan melindungi kelestariannya. Buklan malah sebaliknya dengan
melakukan pengrusakan, mengotori dan lain-lain sebagainya. Masyarakat
Cina sangat percaya (dalam fengsui) bahwa lingkungan yang rusak dan
kotor akan membawa energi yang negatif yang berdampak buruk dalam
kehidupan manusia.

Nilai-nilai di atas yang muncul dalam tradisi masyarakat China di Tiongkok tentu
saja dapat bersifat universal. Sehingga masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia dapat
menerjemahkan nilai-nilai tersebut di atas dalam kehidupan sosial, berbangsa dan
bernegara di Indonesia sesuai dengan kondisi yang berlaku.
Jika nilai-nilai ini kemudian diresapi oleh setiap individu warga Tionghoa dan
kemudian dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia maka akan
muncul rasa hormat-menghormati dalam masyarakat, muncul rasa gotong royong dan
rasa kebersamaan bukan hanya dengan sesamanya orang Cina/Tionghoa akan tetapi
dengan etnis lainnya dimana ia berada. Maka kesan eksklusisme akan terhapus dengan
sendirinya. Secara bersama-sama mereka akan memperbaiki lingkungan hidupnya,
memperbaiki sistem kenegaran, dan bersama-sama membangun bangsa Indonesia.

Maka tidaklah heran jika nantinya akan banyak orang Tionghoa yang akan anti
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), anti kekerasan, dan anti apa saja yang bisa
merusak bangsa dan negara ini. Dengan demikian orang Tionghoa bersama-sama dengan
suku bangsa lainnya memperatasnamakan rakyat Indonesia membangun negeri ini
dengan menegakkan kebenaran dan keadilan.

Penutup
Maka kedepan masyarakat dan pemerintah Indonesia mendorong masyarakat
Cina/Tionghoa di Indonesia untuk kembali menyemarakkan pelaksanaan upacara-upacara
tradisi mereka dan mengajarkan kembali nilai-nilai yang terhandung di dalamnya untuk
resapi dalam setiap pribadi dan keaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Salah satu fungsi ritual atau upacara keagamaan yang diajarkan oleh Konghucu adalah
pembentukan keluhuran budi (Raymon Dasen, 1999; 45). Di dalam upacara seseorang
akan menaklukkan dirinya sendiri dan tunduk pada nilai-nilai ritual (upacara). Siapapun
yang berbudi luhur akan selalu diterima dalam masyarakat.
Dengan demikian maka dengan menyemarakkan tradisi Cina/Tionghoa ini akan
lebih memperkaya kebudayaan Indonesia dimasa yang akan datang.
Daftar Pustaka:
• Bahrum, Shaifuddin, 2003, Cina Peranakan Makassar, Pembauran Melalui
Perkawinan Antarbangsa, Baruga Nusantara, Makassar.
• Dananjaya, James, 1986, Folklor di Indonesia,Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-
lain, Pustaka Grafitipers, Jakarta.
• Dawson, Raymond, 1999, Kong Hu Cu, Penata Budaya Kerajaan Langit,
Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
• Gani, Joice, 1990, Cina Makassar: Suatu Kajian Tentang Masyarakat Cina di
Indonesia, 1906-1959, Skripsi Fakultas Sastra Universitas
Hasanuddin.
• Purwanto, Hari, 2003, Orang Cina di Indonesia dan Masalah Integrasi
Nasional, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fak. Ilmu Budaya
Univ. Gajah Mada.

You might also like