Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Tidak lagi dipungkiri bahwa masyarakat Cina/Tionghoa yang berada di seluruh
Indonesia adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyaraklat Indonesia lainnya.
Sekalipun suku bangsa ini bukan lahir dari kandungan tanah air Ibu Pertiwi akan tetapi
sejarah panjangnya bermukim dibumi nusantara yang telah berabad-abad membuat tak
bedanya seperti suku/ etnik yang ada di Indonesia. (Joice Gani, 1990, dan Hari
Poerwanto, 2003)
Dalam pawai tersebut bukan hanya masyarakat Cina di Makassar yang terlibat
dalam pawai akan tetapi juga sejumlah, masyarakat setempat ikut terlibat di dalamnya.
Tim kesenian tradisi Bugis-Bakassar ikut terlibat dalam perayaan Imlek ini. Misalnya
Komunitas Bissu dari Kabupaten Pangkep, Kelompok Kesenian I Lologading dan Musik
Tanjidor dari Makassar, dan Kelompok Tari Pakarena dari Kabupaten Takarar.
Pada tahun 2004 perayaan Imlek tidak lagi dilaksanakan secara meriah karena
pada tahun tersebut bertepatan dengan bencana alam Tsunami di Aceh yang menjadikan
Indonesia secara keseluruhan berduka-cita. Perayaan Imleh dilaksanakan secara
sederhana saja dan kegiatan sosial lebih ditonjolkan, bahkan masyarakat Tionghoa di
Makassar mengumpulkan dana yang kemudian disumbangkan ke Aceh.
Selain acara Imlek dan Cap Go Meh masih terdapat sejumlah upacara ritual yang
sering dilaksanakan oleh masyarakat Cina di Makassar antara lain;
- Sembahyang meja tinggi tanggal 9 bulan Imlek,
- Ching Beng (sembahyang arwah leluhur) tanggal 4-5 bulan 4 Imlek
- Tuan Ui Cie (Makan kue Bakcang) tanggal 5 bulan 5
- Chong Yen Cie (Sembahyang Arwah/ bagi-bagi beras)
tanggal 15 bulan 7 imlek
- Cong Cin Cie (makan Kue Bulan) tanggal 15bulan ke 8
- Chong Yan Cie (Sembayang Kelahiran Dewa Naga)
tanggal 9 Bulan 9 Imlek
- Tong Tzu Cie (Makan Onde Kecil berwarna-warni)
10 hari menjelang tahun baru Masehi
Beberapa upacara ritual di atas dilatar belakangi oleh sejarah yang kemudian
menjadi mitos yang dihormati dalam masyarakat di China. Meskipun cerita-cerita rakyat
yang menyebar itu telah dituliskan akan tetapi penyebarannya dilakukan secara lisan.
Meskipun oleh generasi yang berusia diatas 50 tahun masih ada yabf sempat
membaca buku-buku teks yang beraksara Mandarin, akan tetapi pada generasi yang lebih
muda sudah banyak yang tidak tahu membaca aksara tersebut. Sehingga orang-orang tua
tersebut hanya bisa melisankan cerita-cerita yang berasal dari negeri leluhur mereka.
Pada masa orde baru, beberapa upacara tidak lagi pernah dilakukan kecuali
ibadah-ibadah yang di wajibkan seperti Imlek, Cap Gomeh, sembahyang leluhur yang
dilaksanakan 2 kali dalam sebulan yakni pada setiap tanggal 1 dan 15 dalam bulan Imlek,
dan sembahyang arwah leluhur (Ching beng). Sementara tradisi seperti Tuan Ui Cie,
Cong Cin Cie, Chong Yan Cie, dan Tong Tzu Cie, tidak lagi dilaksanakan secara meluas
dalam masyarakat. Mereka hanya melaksanakan tradisi-tradisi ini jika ada kesempatan
dalam rumah tangga mereka sendiri-sendiri atau pada klenteng yang memiliki
kesempatan dan kesiapan.
Setelah sekian lama tradisi ini tidak dilaksanakan maka banyak masyarakat
Tionghoa yang tidak lagi memperhatikan jadwal pelaksanaannya sehingga tidak
melakukan tradisi tersebut. Terutama mereka yang sudah beralih agama menjadi pemeluk
agama Kristen ataupun Islam. Karena mereka menganggap tradisi ini masih terkait
langsung dengan tradisi agama nenek moyang mereka Konghucu ataupun Tao.
Sementara mereka yang masih beragama Budha, Konghucu, ataupun Tao tidak
semua melaksanakan tradisi-tradisi di atas, karena menganggap tradisi tersebut cukup
rumit dan mahal. Kalaupun mereka laksanakan pastilah banyak urutan yang terpotong.
Dua Ritual
Dalam tulisan ini disajikan dua buah tradisi masyarakat Tionghoa yang mulai
terabaikan. Padahal jika dikaji lebih mendalam kedua upacara ini memiliki makna dan
nilai-nilai yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan social, berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Kedua upacara tersebut adalah Tuan Ui Cie dan Cong Cin Cie.
a. Tuan Ui Cie
Upacara Tuan Ui Cie atau upacara makan kue bakcan didasari oleh sebuah
kisah untuk menghargai seorang pejuang bangsa (Perdana Menteri) yang ingin
menyelamatkan negerinya dari kehancuran akibat merajalelanya berbagai tindak korupsi
dan perbuatan-perbuatan yang merugikan negara. Akan tetapi karena raja tidak mau
ditegur dan mendapat pengaruh dari para pengawalnya yang lain, maka sang perdana
menteri tersebut yang justru mendapat hukuman, dibuang, dan ditenggelamkan ke dasar
sungai/laut.
Ketika makanan yang dibawa dibuang ke air, maka nasi itupun bertebaran
kemana-mana hanyut terbawa arus sungai/laut. Sehingga merekapun segera kembali lalu
membungkus nasi tersebut dengan daun bamboo yang banyak terdapat di kampung
mereka, kemudian mereka kembali berlomba ke wilayah tempat orang yang mereka
hormati dibuang lalu lememparkan makanan yang dibawanya ke air. Nasi Bakcan itupun
tenggelam ke dasar sungai/laut dan menganggap kiriman mereka sudah sampaui ke
tujuannya.
Pada versi cerita yang lain masyarakat yang melihat yang Perdana Mentri itu di
buang mereka berlomba untuk pergi menyelamatkannya. Karena tidak ditemukan segera
mereka segera kembali membuat kue/ nasi bakcan untuk dilemparkan ke laut agar sang
pahlawan tidak termakan oleh ikan dan ikan hanya memakan nasi itu.
Tradisi ini dilatar belakangi oleh cerita rakyat yang berkembang dan hidup di
daratan Cina. Pada suatu ketika memerintah seorang kaisar yang zalim, yang amat besar
kekuasaannya. Kaisar ini memerintah drngan semena-mena dan melakukan korupsi,
memungut pajak yang tinggi dari rakyatnya sehingga rakyat Cina mengalami penderitaan
yang sangat.
Sekalipun demikian tidak berarti rakyat China tinggal diam, para tokoh
masyarakat mencari jalan keluar dan melakukan diskusi-diskusi gelap. Dari diskusi-
diskusi itu kemudian dihasilkan satu kesimpulan bahwa kekuasaan Raja tidak mungkin
dapat dilawan apalagi untuk menggulingkannya dari kursi kekuasaannya. Hanya ada satu
jalan untuk menurunkan raja dari tahtanya yakni melakukan perlawanan bersama seluruh
rakyat China dan harus dilakukan secara serentak dalam waktu bersamaan.
Di dalam isian kue Bulan tersebut kemudian di selipkan secarik bilahan bamboo
kecil atau kertas yang bertuliskan hari dan tanggal serta waktu penyerangan. Maka
dengan cara itu informasi segera menebar ke seluruh negeri sampai ke pelosok. Sehingga
seluruh rakyat China sudah mulai melakukan persiapan sesuai kemampuan mereka, baik
mental maupun senjata yang akan digunakannya. Rakyat di mana-mana sudah
menentukan dan membidik sasaran mereka masing-masing.
Ketika saatnya tiba seluruh rakyat China melakukan gerakan bersama menyerbu
pusat-pusat kekuasaan melakukan perlawanan menggulikan raja yang zalim. Para
pengawal dan tentara tidak memiliki persiapan perlawanan sehingga mereka dengan
mudah ditaklukkan. Sampai pada akhirnya raja dapat ditaklukkan pula dan diturunkan
dari singgasana kekuasaannya dan diganti dengan raja yang baru yang lebih
memperhatikan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Tradisi berkirim dan makan kue bulan kemudian dilakukan secara turun
menurun di negeri China hingga kini. Meskipun di dalamnya sudah tidak lagi menitipkan
pesan yang ditulis pada secarik kertas atau sebilah bambo tipis kecil.
Indonesia khususnya di Makassar, tradisi ini juga masih dilaksanakan oleh
sebagian masyarakat Tionghoa. Adapun tradisi berkirim sudah mereka tidak lakukan lagi
mengingat harga kue Bulan yang cukup mahal. Mereka hanya membeli kue Bulan
beberapa biji lalu kemudian mereka makan bersama-sama dalam keluarga, untuk
mngenang tradisi yang lalu.
Kedua tradisi diatas yang kami jadikan sample dari sejumlah tradisi masyarakat
Cina/Tionghoa di Indonesia terlihat adanya nilai-nilai budaya yang sudah semestinya
diangkat kepermukaan agar generasi muda masyarakat Tionghoa dapat memahami dan
menjadikannya sebagai jati diri dari kehidupan mereka bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Meskipun tradisi ini adalah tradisi nenek moyang mereka di negeri China akan
tetapi aplikasi dari nilai-nilai itu dapat diterapkan dalam kehidupan mereka di Indonesia.
Kedua cerita di atas dapat ditarik sejumlah nilai, antara lain adalah:
Nilai-nilai di atas yang muncul dalam tradisi masyarakat China di Tiongkok tentu
saja dapat bersifat universal. Sehingga masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia dapat
menerjemahkan nilai-nilai tersebut di atas dalam kehidupan sosial, berbangsa dan
bernegara di Indonesia sesuai dengan kondisi yang berlaku.
Jika nilai-nilai ini kemudian diresapi oleh setiap individu warga Tionghoa dan
kemudian dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia maka akan
muncul rasa hormat-menghormati dalam masyarakat, muncul rasa gotong royong dan
rasa kebersamaan bukan hanya dengan sesamanya orang Cina/Tionghoa akan tetapi
dengan etnis lainnya dimana ia berada. Maka kesan eksklusisme akan terhapus dengan
sendirinya. Secara bersama-sama mereka akan memperbaiki lingkungan hidupnya,
memperbaiki sistem kenegaran, dan bersama-sama membangun bangsa Indonesia.
Maka tidaklah heran jika nantinya akan banyak orang Tionghoa yang akan anti
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), anti kekerasan, dan anti apa saja yang bisa
merusak bangsa dan negara ini. Dengan demikian orang Tionghoa bersama-sama dengan
suku bangsa lainnya memperatasnamakan rakyat Indonesia membangun negeri ini
dengan menegakkan kebenaran dan keadilan.
Penutup
Maka kedepan masyarakat dan pemerintah Indonesia mendorong masyarakat
Cina/Tionghoa di Indonesia untuk kembali menyemarakkan pelaksanaan upacara-upacara
tradisi mereka dan mengajarkan kembali nilai-nilai yang terhandung di dalamnya untuk
resapi dalam setiap pribadi dan keaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Salah satu fungsi ritual atau upacara keagamaan yang diajarkan oleh Konghucu adalah
pembentukan keluhuran budi (Raymon Dasen, 1999; 45). Di dalam upacara seseorang
akan menaklukkan dirinya sendiri dan tunduk pada nilai-nilai ritual (upacara). Siapapun
yang berbudi luhur akan selalu diterima dalam masyarakat.
Dengan demikian maka dengan menyemarakkan tradisi Cina/Tionghoa ini akan
lebih memperkaya kebudayaan Indonesia dimasa yang akan datang.
Daftar Pustaka:
• Bahrum, Shaifuddin, 2003, Cina Peranakan Makassar, Pembauran Melalui
Perkawinan Antarbangsa, Baruga Nusantara, Makassar.
• Dananjaya, James, 1986, Folklor di Indonesia,Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-
lain, Pustaka Grafitipers, Jakarta.
• Dawson, Raymond, 1999, Kong Hu Cu, Penata Budaya Kerajaan Langit,
Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
• Gani, Joice, 1990, Cina Makassar: Suatu Kajian Tentang Masyarakat Cina di
Indonesia, 1906-1959, Skripsi Fakultas Sastra Universitas
Hasanuddin.
• Purwanto, Hari, 2003, Orang Cina di Indonesia dan Masalah Integrasi
Nasional, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fak. Ilmu Budaya
Univ. Gajah Mada.