You are on page 1of 26

Puisi Asrul Sani

Asrul Sani (lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1926, meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004) adalah
seorang sastrawan dan sutradara film asal Indonesia. Menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Indonesia (1955). Pernah mengikuti seminar internasional mengenai kebudayaan di
Universitas Harvard (1954), memperdalam pengetahuan tentang dramaturgi dan sinematografi di
Universitas California Selatan, Los Angeles, Amerika Serikat (1956), kemudian membantu Sticusa di
Amsterdam (1957-1958).

Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia mendirikan "Gelanggang Seniman" (1946) dan secara bersama-
sama pula menjadi redaktur "Gelanggang" dalam warta sepekan Siasat. Selain itu, Asrul pun pernah
menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967),
dan terakhir sebagai pemimpin umum Citra Film (1981-1982).

Asrul pernah menjadi Direktur Akademi Teater Nasional Indonesia, Ketua Lembaga Seniman Budayawan
Muslimin Indonesia (Lesbumi), anggota Badan Sensor Film, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, anggota
Dewan Film Indonesia, dan anggota Akademi Jakarta (seumur hidup).

Karyanya: Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin, 1950), Dari Suatu
Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972), Mantera (kumpulan sajak, 1975), Mahkamah (drama,
1988), Jenderal Nagabonar (skenario film, 1988), dan Surat-Surat Kepercayaan (kumpulan esai, 1997).

Buku mengenai Asrul: M.S. Hutagalung, Tanggapan Dunia Asrul Sani (1967) dan Ajip Rosidi dkk. (ed.),
Asrul Sani 70 Tahun, Penghargaan dan Penghormatan (1997).

Di samping menulis sajak, cerpen, dan esai, Asrul juga dikenal sebagai penerjemah dan sutradara film.
Terjemahannya: Laut Membisu (karya Vercors, 1949), Pangeran Muda (terjemahan bersama Siti Nuraini;
karya Antoine de St-Exupery, 1952), Enam Pelajaran bagi Calon Aktor (karya Ricard Boleslavsky, 1960),
Rumah Perawan (novel Yasunari Kawabata, 1977), Villa des Roses (novel Willem Elschot, 1977), Puteri
Pulau (novel Maria Dermount, 1977), Kuil Kencana (novel Yukio Mishima, 1978), Pintu Tertutup (drama
Jean Paul Sartre, 1979), Julius Caesar (drama William Shakespeare, 1979), Sang Anak (karya
Rabindranath Tagore, 1979), Catatan dari Bawah Tanah (novel Fyodor Dostoyeski, 1979), Keindahan dan
Kepiluan (novel Yasunari Kawabata, 1980), dan Inspektur Jenderal (drama Nicolai Gogol, 1986).

Film yang disutradarainya: "Pagar Kawat Berduri" (1963), "Apa yang Kau Cari, Palupi" (1970), "Salah
Asuhan" (1974), "Bulan di Atas Kuburan" (1976), "Kemelut Hidup" (1978), "Di Bawah Lindungan Kaabah"
(1978), dan lain-lain.

Tahun 2000 Asrul menerima penghargaan Bintang Mahaputra dari Pemerintah RI.

DONGENG BUAT BAYI ZUS PANDU


Sintawati datang dari Timur,

Sintawati menyusur pantai

la cium gelombang melambung tinggi

la hiasi dada dengan lumut muda,

la bernyanyi atas karang sore dan pagi,

Sintawati telah datang dengan suka sendiri

Sintawati telah lepaskan ikatan duka

Sintawati telah belai nakhoda tua,

Telah cumbu petualang berair mata

Telah hiburkan perempuan-perempuan bernantian

di pantai senja

Jika turun hujan terlahir di laut

Berkapalan elang pulang ke benua

Sintawati telah tunggu dengan wama biang-lala,

Telah bawa bunga, telah bawa dupa

Sintawati mengambang di telaga gunung,

Dan panggil orang utas yang beryakinkan kelabu

Telah menakik haruman pada batang tua,

Telah dendangkan syair dari gadis remaja

Sintawati telah menyapu debu dalam kota

Telah mendirikan menara di candi-candi tua,

Sintawati telah bawa terbang cuaca,

Karena Sintawati senantiasa bercinta


Sintawati datang dari Timur,

Sintawati telah datang ..........

.......... datang,

Sinta

datang ......!

MANTERA

Raja dari batu hitam,

Di balik rimba kelam,

Naga malam,

mari kemari!

Aku laksamana dari lautan menghentam malam hari

Aku panglima dari segala burung rajawali

Aku tutup segala kota, aku sabar segala api,

Aku jadikan belantara, jadi hutan mati

Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa

Budak-budak tidur di pangkuan bunda

siapa kenal daku, akan kenal bahagia

Tiada takut pada pitam,

Tiada takut pada kelam

pitam dan kelam punya aku


Raja dari batu hitam,

Di balik rimba kelam,

Naga malam,

Mari kemari!

Jaga segala gadis berhias diri,

Biar mereka pesta dan menari

Meningkah rebana

Aku akan bernyanyi,

Engkau berjaga daripada api timbul api

Mereka akan terima cintaku

Siapa bercinta dengan aku,

Akan bercinta dengan tiada akhir hari

Raja dari batu hitam,

Di balik rimba kelam,

Naga malam,

Mari kemari,

Mari ke mari,

mari!

ANAK LAUT

Sekali ia pergi tiada bertopi

Ke pantai landasan matahari

Dan bermimpi tengah hari


Akan negeri di jauhan

Pair dan air seakan

Bercampur. Awan

tiada menutup

mata dan hatinya rindu

melihat laut terbentang biru

"Sekali aku pergi

dengan perahu

ke negeri jauhan

dan menyanyi

kekasih hati

lagu merindukan

daku"

"Tenggelam matahari

Ufuk sana tiada nyata

bayang-bayang bergerak perlahan

aku kembali kepadanya”

Sekali ia pergi tiada bertopi

Ke pantai landasan matahari

Dan bermimpi tengah hari

Akan negeri di jauhan

ORANG DALAM PERAHU


Hendak ke mana angin

buritan ini membawa daku

sedang laut tawar tiada mau tahu

dan bintang, tiada

pemberi pedoman tentu

Ada perempuan di sisiku

sambil tersenyum

bermain-main air biru

memandang kepada panji-panji

di puncak tiang buritan

dan berkata

"Ada burung camar di jauhan!”

Cahaya bersama aku

Permainan mata di tepi langit

akan hilang sekejap waktu

Aku berada di bumi luas,

Laut lepas

Aku lepas

Hendak ke mana angin

buritan membawa daku

ON TEST

Engkau akan kubawa pergi

Dari candi ini


Ke tempat di mana manusia ada

Coba, coba

Di sana kata

Tidak hanya punya kita

Dan cinta mungkin kabur

Dalam kabut debu

Dan hidup menderu

Melingkungi engkau dan aku

Jalan panjang

Sampai di mana dunia terkembang?

Mata terlalu

Singkat untuk itu

Panjang jangan reka

Tujuan jangan terka

Pandang, di sana ada mereka,

Di sana ada mereka

Engkau akan kubawa pergi

Dari candi ini

Ke dunia: hidup air-dan-api

ELANGLAUT

Ada elang laut terbang

senja hari
antara jingga dan merah

surya hendak turun,

pergi ke sarangnya

Apakah ia tahu juga,

bahwa panggilan cinta

tiada ditahan kabut

yang rnenguap pagi hari?

Bunyinya menguak suram

lambat-lambat

mendekat, ke atas runyam

karang putih,

makin nyata

Sekali ini jemu dan keringat

tiada akan punya daya

tapi topan tiada mau

dan rnengembus ke alam luas

Jatuh elang laut

ke air biru, tenggelam

dan tiada tirnbul lagi

Rumahnya di gunung kelabu

akan terus sunyi, .

Satu-satu akan jatuh rnembangkai

ke bumi, bayi-bayi kecil tiada

bersuara
Hanya anjing,

malam hari meraung menyalak bulan

yang melengkung sunyi

Suaranya melandai

turun ke pantai

Jika segala

senyap pula,

berkata pemukat tua:

"Anjing meratapi orang mati!"

Elang laut telah

hilang ke lunas kelam

topan tiada bertanya

hendak ke mana dia

Dan makhluk kecil

yang membangkai di bawah

pohon eru, tiada pula akan

berkata:

"Ibu kami tiada pulang"

SURAT DARI IBU

Pergi ke dunia luas, anakku sayang

pergi ke dunia bebas!

Selama angin masih angin buritan

dan matahari pagi menyinar daun-daunan

dalam rimba dan padang hijau


Pergi ke laut lepas, anakku sayang

pergi ke alam bebas!

Selama hari belum petang

dan warna senja belum kemerah-merahan

menutup pintu waktu lampau

Jika bayang telah pudar

dan elang laut pulang ke sarang

angin bertiup ke benua

Tiang-tiang akan kering sendiri

dan nakhoda sudah tahu pedoman

boleh engkau datang padaku!

Kembali pulang, anakku sayang

kembali ke balik malam!

Jika kapalmu telah rapat ke tepi

Kita akan bercerita

“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari"

PENGAKUAN

Akulah musafir yang mencari Tuhan

Atas runtuhan gedung dan dada yang remuk

Dalam waktu tiada kenal berdiam dan samadi

Serta kepercayaan pada cinta yang hilang bersama

kabut pagi

Akulah yang telah berperi

Tentang kerinduan akan penyelesaian yang tamat,


Dari manusia, dari dunia dan dari Tuhan

Ah, bumi yang mati,

Lazuardi yang kering

Bagaimana aku masih dapat,

Menyayangkan air mata berlinang dari kembang

kerenyam yang kering

Sedang kota-kota dan rumah-rumah bamboo lebih

rendah dari wajah lautan

Satu-satu masih terbayang antara pelupuk mata

telah hampir terkatup,

Karena murtad. karena tiada percaya

Karena lelah, karena tiada punya ingatan,

Suatu lukisan dari deru air berlayar atas lunas

berganti-ganti bentuk

Dari suatu lembah gelap dan suram

Menguapkan kabut mati dari suatu kerahasiaan,

Tuhan yang berkata

Akulah musafir yang mencari Tuhan,

Dalam negeri batu retak

Lalang dan api yang siap bertemu

Suatu kisah sedih dari sandiwara yang lucu,

Dari seorang pencari rupa,

Dari rupa yang tiada lagi dikenalmya

Perawan ringan, perawan riang J


Berlagulah dalam kebayangan

Berupawarena

Berupa wareni,

Dan berlupalah sebentar akan kehabisan umur

Marilah bermain

Marilah berjalin tangan

Jangan ingat segala yang sedih,

Biarkanlah lampu-lampu kelip

Lebih samar dari sinar surya senja

Kita akan bermain,

Dan tidur pulas, sampai

Datang lagi godaan:

"Akulah musafir yang mencari Tuhan”

Bogor, 22 Februari 1949

VARIASI ATAS SUATU TANGGAPAN-SESAAT

Petandang mendendangkan kuda kampung di jalan

sunyi

Pada malam yang jatuh kerut merut ke bumi

Serta rindu dendam dan matahari

Nanti berakhir pada burung bernyanyi, dan budak-

kecil sunyi sendiri

Lamban jatuh tali-temali

Dan berduka camar yang bertengger di tiang tinggi

Serta rindu dendam gelombang dan matahari


Nanti berakhir pada arus tiada berperi, dan pemukat

sunyi sendiri

Ambillah keluhan dan buang segala sedu-sedan

Berlupa sementara akan keliling yang mengikat

Dan kita mau berlepas untuk suatu kenyataan-

merdeka,

Selamat saat masih sibuk dengan asmara sendin

Jangan tunggu sampai kuda kampung bebas dari

bersunyi,

Burung camar tiada lagi bertengger di tiang tinggi,

Harga besar, tetapi waktu singkat

Lambai kekasih! Putar kemudi dan mari berlari

Kuda dan camar telah berlepas dari yang sementara

Dan kini larut dari lesu dan kerja

Kita juga tidak lagi mau perduli,

Ada ruang dalam kelemahan malam untuk

persiapan besok pagi!

POTRET SENDIRI AKHIR TAHUN '50

Tiada lagi, kenangan! Tiada lagi

Jalan kembali telah terkunci,

Pasir mersik beterbangan melarikan jejak kaki,

Tulang-tulang dada sampai meranggah,

Berderik merih karena cekikan


Tetapi pandangan terakhir telah terlupa

Memang kota yang kudekati,

telah kelabu tenggelam dalam peresapan

Serta perburuan si pongang telapak

pada dinding dan ruh-ruh yang telah penasaran

Jalan-jalan lengang, di lorong-lorong tiada lagi

terdengar pekikan

Toh aku mesti jalan,

Kaki berpasang-pasangan, mata ikuti sosok

tubuhku,

Tapi ini mata pun mata mati

mati dari mulut yang tiada akan bercerita lagi

Ada hati, kalau betul ada hati

la merasa kasihan dengan tiada perlu

Dalam mencari kawan baru

Aku hanya ingin menafaskan udara lain

Orang liwat jurang dan tinggalkan dataran

Jika hasil adalah: belati tadi ada di sisi

sekarang tertancap di dada sendiri

Maka kata akhir bukan lagi padaku

Hasil boleh datang kapan ia mau

J Rummi
Jika secara lahir isterimu yang kauatur, maka secara batin engkaulah yang diatur isterimu yang
kaudambakan itu

Inilah ciri khas Manusia: pada jenis binatang lain cinta kurang terdapat, dan itu menunjukkan rendahnya
derajat mereka.

Nabi bersabda bahwa wanita mengungguli orang bijak, sedangkan laki-laki yang sesat mengunggulinya;
karena pada mereka kebuasan bintang tetap melekat.

Cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang.

Wanita adalah seberkas sinar Tuhan: dia bukan kekasih duniawi. Dia berdaya cipta: engkau boleh
mengatakan dia bukan ciptaan.

TUHAN DI ATAS PUJIAN

Jika sinar Yang Maha Bijak menyambar tanah dan lempung

Mau menerima benih, Bumi menepati janjinya;

Di musim semi seluruh simpanan ia keluarkan kembali,

Begitulah ajaran Keadilan abadi.

Wahai Engkau yang Rahmat-Mu mengajari gumpalan yang tak berakal.

Yang kemurkaan-Mu membutakan hati dan penglihatan batin,

Pujianku bukan memuji-Mu, O Tuhan Yang Mahakuasa;

Karena pujian itu wujud, dan mewujud itu dosa.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 508

SAAT BERSATU

Aku tak sama dengan Sang Raja – bahkan jauh berbeda – meskipun kuperoleh cahaya dari sinar-Nya.

Keserbasamaan bukanlah dalam hal bentuk dan esensi: air menjadi serba-sama dengan tanah dalam
tetumbuhan.

Karena jenisku bukan jenis Rajaku, egoku musnah (fana') demi Ego-Nya.

Egoku musnah, Dia sajalah yang tinggal: aku mengepul seperti debu di bawah kaki kuda-Nya.

Kepribadian-diri menjadi debu: hanya bekasnya tampak pada cap kaki-Nya di atas debu.
Jadilah debu di bawah kaki-Nya demi cap-kaki itu dan jadilah laksana mahkota di atas kepala Sang
Kaisar!

TAK TAHU

Lihatlah, karena aku tak tahu tentang diriku, dengan nama Tuhan apa yang harus kuperbuat kini?

Aku tidak menyembah Salib ataupun Sabit; aku bukan seorang Gabar maupun seorang Yahudi.

Rumahku bukan di Timur ataupun di Barat, bukan di daratan maupun di lautan; aku tak bersanak-
keluarga dengan Malaikat ataupun jembalang.

Aku bukan ditempa dari api ataupun busa, aku dibentuk bukan dari debu maupun embun.

Aku lahir bukan di Cina yang jauh, bukan di Bulgaria bukan di Saqsin.

Bukan di India, yang bersungai lima, bukan di Irak ataupun di Khurasan aku tumbuh dewasa.

Bukan di dunia ini atau di dunia sana Aku tinggal, bukan di Surga atau di Neraka;

Bukan dari Firdaus ataupun Ridwan aku jatuh, bukan pula dari Adam aku bernenek-moyang.

Di suatu tempat yang ada di balik tempat, di suatu bidang tanpa jejak dan hayang,

Jiwa dan tubuh yang meninggi aku tinggal di dalam jiwa Kekasihku Yang Maha Esa!

DOKTRIN TENTANG DIAM

Jika berita datang dari wajah Syamsuddin, matahari di Langit Keempat menyembunyikan diri karena
malu.

Sejak namanya hadir ke dalam hidupku, harus aku sampaikan isyarat karunianya itu.

Jiwaku merenggut jubahku: ia menangkap parfum gamisnya Yusuf.

Ia berkata: ”Demi persahabatan kita yang telah bertahun-tahun, ceritakanlah salah satu dari
kegembiraan yang luar biasa,

Agar bumi dan langit dapat tertawa dengan gembira, supaya akal dan ruh serta penglihatan dapat
meningkat seratus kali.”

Aku berkata: ”Janganlah meletakkan tugas kepadaku, karena aku telah hilang dari diriku (fana);
kepandaianku tumpul, aku tak tahu bagaimana memuji.

Adalah tak pantas, apabila seseorang yang belum kembali ke kesadaran memaksakan diri untuk
berperan sebagai pembual.

Bagaimana aku dapat – tanpa sadar – melukiskan Sang Teman yang tanpa tolak bandingnya itu?

Penggambaran tentang luka hati yang sepi ini sebaiknya kutunda hingga lain waktu,”
Ia menyahut: ”Berilah aku makanan, karena aku lapar, dan cepatlah, karena waktu (waqt) adalah sebilah
pedang yang tajam.

Sufi adalah anak sang ’waktu’ (ibnul-waqt), Wahai teman: bukan cara kebiasaannya untuk berkata
besok.

Maka, apakah engkau bukan seorang Sufi? Apa yang ada di tangan jadi habis berkurang karena
tertundanya pembayaran?

Aku berkata kepadanya: ”Lebih baik rahasia Teman tetap tersamar: dengarkanlah karena ia termasuk
dalam isi cerita.

Lebih baik rahasia para pencinta diceritakan (secara alegoris) dalam pembicaraan orang lain.”

Ia berseru: ”Ceritakanlah dengan jelas dan terus terang tanpa kebohongan: jangan membuatku
menunggu, O orang yang lalai!

Angkatlah selubung dan bicaralah terus terang. Aku tak berpakaian ketika tidur bersama Yang Maha
Terpuji.”

Aku berkata: ”Apabila Dia harus telanjang dalam pandanganmu, takkan tahan dada dan pinggangmu.

Mintalah, tapi mintalah secara wajar: sehelai jerami takkan dapat menyangga sebuah gunung.

Jika Matahari, yang menyebabkan dunia ini bersinar, lebih dekat sedikit saja, semua yang ada akan
terbakar.

Janganlah mencari kesulitan dan kerusuhan serta pertumpahan darah: janganlah bicara lagi tentang
Matahari dari Tabriz!”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 123

DAYA TARIK CINTA

Cinta dan khayalan menciptakan ribuan bentuk indah seperti Yusuf; sesungguhnya mereka adalah ahli
sihir yang lebih mahir daripada Harut dan Marut.

Di depan matamu mereka menghidupkan bayangan Sang Kekasih; engkau terpesona dan
mengungkapkan seluruh rahasiamu kepadanya.

Bagai seorang ibu, di depan kuburan anaknya yang baru meninggal dunia,

Berbicara kepadanya benar-benar dan sungguh-sungguh; karena dilanda dukacita, ia membayangkan


tanahnya menjadi hidup.

Dan di dalam hatinya percaya sang anak mendengarkannya. Lihatlah, daya tarik itu disebabkan oleh
Cinta!
Dengan mesra dan penuh air mata, berulang kali dengan bijak ia letakkan bibirnya, di atas tanah segar
makam anaknya.

Sebegitu rupa, seakan selama hidup sang anak tersayang, tidak pernah ia menciumnya.

Namun cinta kepada yang mati takkan bertahan lama: ketika hari-hari berkabungnya telah berlalu,
kobaran dukacitanya pun lenyap.

Cinta membawa pergi pesonanya: apinya pun hilang, hanya tinggal abunya.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 3260

TUHAN DI DUNIA

Dunia itu beku, namanya jamad (tidak berjiwa): jamid berarti ”beku”, O tuan.

Tunggulah sampai terbitnya matahari Kebangkitan, sehingga engkau dapat menyaksikan gerakan tubuh
dunia.

Karena Tuhan menciptakan Manusia dari debu, maka sebaiknya engkau kenali sifat sejati setiap partikel
alam semesta,

Yang dari satu sisi mereka tampak mati, dari sisi lainnya mereka hidup: di sini diam, di Sana berbicara.

Jika Dia menurunkan mereka ke dunia kita, tongkat Nabi Musa menjadi seekor naga dalam pandangan
kita,

Gunung-gunung bertasbih bersama Nabi Dawud, besi jadi bagai lilin di tangannya;

Angin menjadi kendaraan bagi Sulaiman, laut pun paham apa yang Tuhan titahkan pada Musa.

Rembulan mematuhi isyarat yang diberikan Muhammad, api unggun (Namrud) menjadi taman mawar
bagi Ibrahim.

Mereka semua berseru, “Kami mendengar dan melihat serta mematuhi, meskipun bagi kalian, orang
yang belum mengetahui, kami adalah benda mati.

Mendakilah dari dunia benda ke dunia ruh, dengarkan suara keras dari alam semesta;

Maka engkau akan mengetahui bahwa Tuhan diagungkan oleh segala benda mati: kesangsian yang
dibuat para penafsir palsu tidak akan memperdayakanmu.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 1008


CINTA: LAUTAN TAK BERTEPI

Cinta adalah lautan tak bertepi, langit hanyalah serpihan buih belaka.

Ketahuilah langit berputar karena gelombang Cinta: andai tak ada Cinta, dunia akan membeku.

Bila bukan karena Cinta, bagaimana sesuatu yang organik berubah menjadi tumbuhan? Bagaimana
tumbuhan akan mengorbankan diri demi memperoleh ruh (hewani)?

Bagaimana ruh (hewani) akan mengorbankan diri demi nafas (Ruh) yang menghamili Maryam?

Semua itu akan menjadi beku dan kaku bagai salju, tidak dapat terbang serta mencari padang ilalang
bagai belalang.

Setiap atom jatuh cinta pada Yang Maha Sempurna dan naik ke atas laksana tunas.

Cita-cita mereka yang tak terdengar, sesungguhnya, adalah lagu pujian Keagungan pada Tuhan.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 3853

TEKA-TEKI TUHAN

Siapa saja yang kebingungan dan kesulitan, Tuhan telah membisikkan sebuah teka-teki ke dalam
telinganya,

Sehingga dia mungkin menjebaknya dalam dua kesangsian pikiran- ”Akan atau tidakkah kulaksanakan
apa yang telah Dia ceritakan kepadaku?”

Dengan Takdir Tuhan salah satu dari kedua pilihan itu akan memiringkan pertimbangan, dan dia
menyetujuinya.

Kalau pikiranmu tak terganggu, jangan kau sumbat pendengaran ruhanimu dengan kapas mentah.

Agar engkau dapat memahami teka-teki-Ny serta membaca tanda-tanda baik yang samar maupun yang
jelas nyata.

Lalu turunlah wahyu pada pendengaranmu. Apakah wahyu itu? Sebuah suara yang tak tertangkap oleh
tanggapan pancaindera.

Kata ”paksaan” (jabr) membuat diriku tak sabar demi Sang Cinta: hanya orang yang mencintailah yang
tak terbelenggu oleh paksaan.

Inilah hubungan akrab dengan Tuhan, bukan paksaan: cahaya dari bulan, bukan sebongkah awan:
Atau, apabila ia paksaan, bukanlah paksaan biasa: ia bukanlah paksaan yang didesak oleh keinginan-diri,
yang mendorong kita ke dosa.

Wahai anakku, hanya mereka yang mata-hatinya telah dibukakan oleh Tuhan-lah yang mengetahui arti
paksaan yang sebenarnya.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 1456

DUABELAS AJARAN INJIL

Sang musuh agama ’Isa menyusun duabelas Kitab Injil, masing-masing dari awal hingga akhir saling
bertentangan.

Dalam kitab yang satu dia menjadikan asketisme dan puasa sebagai sumber penyesalan dan syarat
keselamatan.

Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Asketisme adalah sia-sia di Jalan ini tiada keselamatan kecuali hanya
melalui kasih-sayang.”

Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Baik pengekangan nafsumu maupun kasih-sayangmu menyatakan
bahwa engkau menghubungkan kedua aktivitasmu ini dengan-Nya, Dia-lah Tujuan dari ibadahmu.

Selain tawakal dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan dalam kesengsaraan maupun kegembiraan,
semuanya adalah kebohongan dan perangkap belaka.”

Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Engkau harus berbakti kepada Tuhan; gagasan tawakal kepada-Nya
adalah mencurigakan.

Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan itu bukan untuk
dilaksanakan, melainkan hanya untuk menunjukkan ketidakmampuan kita untuk memenuhinya,

Sehingga kita dapat mengenal kelemahan kita dan mengakui kekuatan Yang Maha Kuasa.

Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Jangan pikirkan kelemahanmu: memikirkannya merupakan suatu
perbuatan yang tidak berterima kasih. Hati-hatilah!

Pandanglah kekuatanmu dan ketahuilah bahwa Dia Yang Maha Mutlak yang memberikannya
kepadamu.”

Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Lupakanlah keduanya: apapun yang mencakup pencerapan
pancaindera adalah berhala.”

Dalam kitab lainnya dia berkata: ”jangan padamkan kemampuan pencerapan pancaindera: ia dapat
menerangi jalan menuju perenungan yang paling dalam.

Apabila engkau terlalu cepat membuang sensasi dan fantasi, kau akan memadamkan lampu penyatuan
di tengah malam.”
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Padamkanlah ia – jangan takut – agar engkau dapat ribuan kali lipat
penglihatan sebagai gantinya;

Karena dengan memadamkannya, cahaya ruhmu bertambah tak terhingga: dengan mengorbankan
kepentinganmu sendiri Layla (Kekasih)-mu menjadi Majnun (pencinta)-mu.”

Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Carilah seorang guru untuk mengajarimu: di antara berbagai sifat yang
berasal dari leluhur engkau tidak akan menemukan pengetahuan melihat ke masa depan.”

Setiap golongan agama hanya meramalakan tujuan sebagaimana diri mereka memahaminya: akibatnya
mereka jatuh menjadi tawanan ketakutan.

Untuk meramalkan tujuan tidaklah semudah menyilangkan kedua belah tangan: bila tidak, bagaimana
bisa terdapat banyak ajaran yang berbeda?

Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Jadilah manusia, jangan menjadi hamba manusia! Ambillah jalanmu
sendiri, jangan sibuk mengembara mencari seorang guru!”

Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Semua bentuk yang bermacam-macam itu hanya satu: siapapun yang
melihatnya ganda adalah orang-orang yang matanya rusak.”

Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Bagaimana seratus bisa menjadi satu? Dia yang beranggapan begitu
sesungguhnya gila.”

Orang yang tidak paham akan kesucian ’Isa: dia bukanlah yang dikaruniai lautan kimia dari tong ’Isa,

Yang daripadanya pakaian dari seratus celupan akan muncul sederhana dan satu warna sebagaimana
cahaya.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 463

MASAKLAH SEMUANYA”

Karena engkau tak mampu mengemban Cahaya yang terbuka, minumlah kata-kata Hikmah, karena
cahayanya terselubung.

Hingga akhirnya engkau mampu menerima Cahaya, dan melihat apa yang kini tersembunyi tanpa
kerudung.

Serta melintasi langit laksana sebuah bintang; bukan, perjalanan mutlak, tanpa angkasa.

Demikianlah engkau menjadi ada dari ketiadaan. Bagaimana engkau datang? Engkau datang secara tak
sadar.

Jalan kedatanganmu tak engkau ingat, namun aku ingin memberimu sebuah tanda.

Biarkanlah pikiranmu pergi, kemudian waspadalah! Tutuplah telingamu, kemudian dengar!

Tidak, sebaiknya aku tak bercerita, karena engkau masih mentah; engkau masih dalam musim semimu,
engkau tak dapat melihat musim panas.

Dunia ini laksana pohon: kita adalah laksana buah yang setengah matang melekat padanya.
Buah-buah yang masih mentah melekat erat pada cabang pohon, karena untuk Istana mereka belumlah
pantas;

Namun ketika mereka ranum dan menjadi manis serta lezat – maka, mereka akan kehilangan cabang.

Sama seperti kerajaan duniawi yang akan kehilangan kelezatannya bagi mereka yang mulutnnya telah
menjadi manis oleh kebahagiaan yang tiada terkira.

Ada yang tetap tak terkisah, namun Ruh Qudus akan menceritakan kepadamu tanpa aku sebagai
perantara.

Bukan, engkau akan menceritakannya kepada telingamu sendiri – bukan aku ataupun orang lain, Wahai
engkau yang bersatu denganku –

Seperti, ketika engkau tertidur, engkau pergi dari hadapan dirimu ke hadapan dirimu

Dan mendengar dari dirimu bahwa apa yang engkau pikirkan diceritakan secara rahasia kepadamu oleh
seseorang dalam mimpi.

Wahai teman yang baik, engkau bukanlah ”engkau” semata: engkau adalah langit dan lautan yang
dalam.

Kekuasaan ”Engkau”-mu yang maha luas adalah lautan yang di dalamnya ribuan ”engkau” tenggelam.

Janganlah berbicara, hingga engkau dapat mendengar dari Sang Pembicara apa yang tak dapat
diucapkan atau dibayangkan.

Janganlah berbicara, sehingga Ruh mau bercakap padamu: dalam bahtera Nabi Nuh berhentilah
berenang!

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 1286

Lautan Jilbab

Para malaikat Allah tak bertelinga,

tapi mereka mendengar suara nyanyian beribu-ribu jilbab

Para malaikat Allah tak memiliki mata,

tapi mereka menyaksikan derap langkah beribu jilbab

Para malaikat Allah tak punya jantung,

tapi sanggup mereka rasakan degub kebangkitan

jilbab yang seolah berasal dari dasar bumi

Para malaikat Allah tak memiliki bahasa dan budaya,

tapi dari galaksi mereka seakan-akan terdengar suara:


ini tidak main-main! ini lebih dari sekedar kebangkitan sepotong kain!

Para malaikat Allah seolah sedang bercakap-cakap di antara mereka

kebudayaan jilbab itu, bersungguh-sungguhkah mereka?

O, amatilah dengan teliti: ada yang bersungguh-sungguh,

ada yang akan bersungguh-sungguh,

ada yang tidak bisa tidak bersungguh-sungguh

Sedemikian pentingkah gerakan jilbab di negeri itu?

O, sama pentingnya dengan kekecutan hati semua kaum yang tersingkir,

sama pentingnya dengan keputusasaan kaum gelandangan,

sama pentingnya dengan kematian jiwa orang-orang malang

yang dijadikan alas kaki sejarah

Bagaimana mungkin ada kelahiran di bawah injakan kaki Dajjal?

bagaimana mungkin muncul kebangkitan dari rantai belenggu kejahiliyahan?

O, kelahiran sejati justru dari rahim kebobrokan,

kebangkitan yang murni justru dari himpitan-himpitan

alamkah yang melahirkan gerakan itu atau manusia?

O, alam dalam diri manusia.

Alam tak boleh benar-benar takluk oleh setajam apapun

pedang peradaban manusia,

alam tak diperkenankan sungguh-sungguh

tunduk di bawah kelicikan tuan-tuannya

Apakah burung-burung ababil akan menabur dari langit

untuk menyerbu para gajah yang durjana?

O, burung-burung ababil melesat keluar dari kesadaran pikiran,

dari dzikir jiwa dan kepalan tangan

Para malaikat Allah yang jumlahnya tak terhitung,

berseliweran melintas-lintas ke berjuta arah di seputar bumi

Para malaikat Allah yang amat lembut sehingga seperjuta atom


tak sanggup menggambarkannya

Para malaikat Allah yang besarnya tak terkirakan oleh matematika ilmu manusia sehingga seluruh jagat
raya ini disangga di telapak tangannya

Tergetar, tergetar sesaat, oleh raungan sukma dari bumi

Para malaikat Allah seolah bergemeremang bersahut-sahutan di antara mereka

apa yang istimewa dari kain yang dibungkuskan di kepala?

O, hanya ketololan yang menemukan jilbab sekedar sebagai pakaian badan

lihatlah perlahan-lahan makin banyak manusia yang memakai jilbab, lihatlah kaum lelaki

berjilbab, lihatlah rakyat manusia berjilbab, lihatlah ummat-ummat berjilbab, lihatlah Siapapun saja
yang memerlukan perlindungan, yang memerlukan genggaman keyakinan, yang memerlukan cahaya
pedoman, lihatlah mereka semua berjilbab

Adakah jilbab itu semacam tindakan politik, semacam perwujudan agama,

atau pola perubahan kebudayaan?

Para malaikat Allah yang bening bagai cermin segala cermin,

seolah memantulkan suara-suara:

Jilbab ini lagu sikap kami, tinta keputusan kami,

langkah-langkah dini perjuangan kami

jilbab ini surat keyakinan kami, jalan panjang belajar kami,

proses pencarian kami

jilbab ini percobaan keberanian di tengah pendidikan ketakutan

yang tertata dengan rapi

jilbab ini percikan cahaya dari tengah kegelapan,

alotnya kejujuran di tengah hari-hari dusta

jilbab ini eksperimen kelembutan untuk meladeni jam-jam brutal dari kehidupan

jilbab ini usaha perlindungan dari sergapan-sergapan

Dunia entah macam apa, menyergap kami

sejarah entah ditangan siapa, menjaring kami

kekuasaan entah dari napsu apa, menyerimpung kami

kerakusan dengan ludah berbusa-busa, mengotori wajah kami


langkah kami terhadang, kaki kami terperosok di

pagar-pagar jalan protokol peradaban ini

buku-buku pelajaran memakan kami

tontonan dan siaran melahap kami

iklan dan barang jualan menggiring kami

panggung dan meja-meja birokrasi mengelabui kami

mesin pembodoh kami sangka bangku sekolah

ladang-ladang peternakan kami sangka rumah ibadah

mulut kami terbungkam, mata kami nangis darah

Hidup adalah mendaki pundak orang-orang lain

hari depan ialah menyuap, disuap, menyuap, disuap

kalau matahari terbit kami sarapan janji

kalau matahari mengufuk, kami dikeloni janji

kalau pagi bangkit, kami ditidurkan

ketika hari bertiup, kami dininabobokan

kaum cerdik pandai suntuk mencari permaafan atas segala kebobrokan

kaum ulama sibuk merakit ayat-ayat keamanan

para penyair pahlawan berkembang menjadi pengemis

tidak ada perlindungan bagi kepala kami yang ditaburi virus-virus

tak ada perlindungan bagi akal pikiran kami yang dibonsai

tak ada perlindungan bagi hati nurani kami yang

dipanggang diatas tungku api congkak kekuasaan

tungku api kekuasaan yang halus, lembut dan kejam

Tak ada perlindungan bagi iman kami yang dicabik-cabik dengan pisau-pisau beracun

tak ada perlindungan bagi kuda-kuda kami yang digoyahkan

oleh keputusan sepihak yang dipaksakan

tak ada perlindungan bagi akidah kami yang ditempeli topeng-topeng, yang dirajam, dimanipulir oleh
rumusan-rumusan palsu yang memabukkan
tak ada perlindungan bagi padamnya matahari hak kehendak kami yang diranjau

maka inilah jilbab. inilah jilbab!

Ini furqan, pembeda antara haq dan bathil

jarak antara keindahan dengan kebusukan

batas antara baik dan buruk, benar dan salah

kami menyarungkan keyakinan dikepala kami

menyarungkan pilihan, keputusan, keberanian dan istiqamah, dinurani dan jiwaraga kami

Ini jilbab ilahi rabbi, jilbab yang mengajarkan ilmu menapak dalam irama

ilmu untuk tidak tergesa, ilmu tak melompati waktu dan batas realitas

ilmu bernapas setarikan demi setarikan, selangkah demi selangkah, hikmah demi hikmah

rahasia demi rahasia, kemenangan demi kemenangan

Para malaikat Allah yang lembut melebihi kristal, para malaikat allah yang suaranya tak bisa didengarkan
oleh segala macam telinga, berbisik-bisik di antara mereka

Wahai! anak-anak tiri peradaban! anak-anak jadah kemajuan dan perkembangan!

anak-anak yatim sejarah, sedang menghimpun akal sehat

menabung hati bening, menerobos ke masa depan yang kasat mata

lautan jilbab! lautan jilbab! gelombang perjuangan, luka pengembaraan, tak mungkin bisa dihentikan
wahai! sunyi telah memulai bicara!

http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/cgi-bin/library?e=d-00000-00---0skripsi--00-1--0-10-0---0---0prompt-10---
4-------0-1l--11-en-50---20-about---00-3-1-00-11-1-0utfZz-8-
00&a=d&d=HASH124f2fc0fad6348cd3f772&showrecord=1

You might also like