Professional Documents
Culture Documents
Asrul Sani (lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1926, meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004) adalah
seorang sastrawan dan sutradara film asal Indonesia. Menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Indonesia (1955). Pernah mengikuti seminar internasional mengenai kebudayaan di
Universitas Harvard (1954), memperdalam pengetahuan tentang dramaturgi dan sinematografi di
Universitas California Selatan, Los Angeles, Amerika Serikat (1956), kemudian membantu Sticusa di
Amsterdam (1957-1958).
Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia mendirikan "Gelanggang Seniman" (1946) dan secara bersama-
sama pula menjadi redaktur "Gelanggang" dalam warta sepekan Siasat. Selain itu, Asrul pun pernah
menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967),
dan terakhir sebagai pemimpin umum Citra Film (1981-1982).
Asrul pernah menjadi Direktur Akademi Teater Nasional Indonesia, Ketua Lembaga Seniman Budayawan
Muslimin Indonesia (Lesbumi), anggota Badan Sensor Film, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, anggota
Dewan Film Indonesia, dan anggota Akademi Jakarta (seumur hidup).
Karyanya: Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin, 1950), Dari Suatu
Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972), Mantera (kumpulan sajak, 1975), Mahkamah (drama,
1988), Jenderal Nagabonar (skenario film, 1988), dan Surat-Surat Kepercayaan (kumpulan esai, 1997).
Buku mengenai Asrul: M.S. Hutagalung, Tanggapan Dunia Asrul Sani (1967) dan Ajip Rosidi dkk. (ed.),
Asrul Sani 70 Tahun, Penghargaan dan Penghormatan (1997).
Di samping menulis sajak, cerpen, dan esai, Asrul juga dikenal sebagai penerjemah dan sutradara film.
Terjemahannya: Laut Membisu (karya Vercors, 1949), Pangeran Muda (terjemahan bersama Siti Nuraini;
karya Antoine de St-Exupery, 1952), Enam Pelajaran bagi Calon Aktor (karya Ricard Boleslavsky, 1960),
Rumah Perawan (novel Yasunari Kawabata, 1977), Villa des Roses (novel Willem Elschot, 1977), Puteri
Pulau (novel Maria Dermount, 1977), Kuil Kencana (novel Yukio Mishima, 1978), Pintu Tertutup (drama
Jean Paul Sartre, 1979), Julius Caesar (drama William Shakespeare, 1979), Sang Anak (karya
Rabindranath Tagore, 1979), Catatan dari Bawah Tanah (novel Fyodor Dostoyeski, 1979), Keindahan dan
Kepiluan (novel Yasunari Kawabata, 1980), dan Inspektur Jenderal (drama Nicolai Gogol, 1986).
Film yang disutradarainya: "Pagar Kawat Berduri" (1963), "Apa yang Kau Cari, Palupi" (1970), "Salah
Asuhan" (1974), "Bulan di Atas Kuburan" (1976), "Kemelut Hidup" (1978), "Di Bawah Lindungan Kaabah"
(1978), dan lain-lain.
Tahun 2000 Asrul menerima penghargaan Bintang Mahaputra dari Pemerintah RI.
di pantai senja
.......... datang,
Sinta
datang ......!
MANTERA
Naga malam,
mari kemari!
Naga malam,
Mari kemari!
Meningkah rebana
Naga malam,
Mari kemari,
Mari ke mari,
mari!
ANAK LAUT
Bercampur. Awan
tiada menutup
dengan perahu
ke negeri jauhan
dan menyanyi
kekasih hati
lagu merindukan
daku"
"Tenggelam matahari
sambil tersenyum
dan berkata
Laut lepas
Aku lepas
ON TEST
Coba, coba
Di sana kata
Jalan panjang
Mata terlalu
ELANGLAUT
senja hari
antara jingga dan merah
pergi ke sarangnya
lambat-lambat
karang putih,
makin nyata
bersuara
Hanya anjing,
Suaranya melandai
turun ke pantai
Jika segala
senyap pula,
berkata:
PENGAKUAN
kabut pagi
berganti-ganti bentuk
Berupawarena
Berupa wareni,
Marilah bermain
sunyi
sunyi sendiri
merdeka,
bersunyi,
terdengar pekikan
tubuhku,
J Rummi
Jika secara lahir isterimu yang kauatur, maka secara batin engkaulah yang diatur isterimu yang
kaudambakan itu
Inilah ciri khas Manusia: pada jenis binatang lain cinta kurang terdapat, dan itu menunjukkan rendahnya
derajat mereka.
Nabi bersabda bahwa wanita mengungguli orang bijak, sedangkan laki-laki yang sesat mengunggulinya;
karena pada mereka kebuasan bintang tetap melekat.
Cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang.
Wanita adalah seberkas sinar Tuhan: dia bukan kekasih duniawi. Dia berdaya cipta: engkau boleh
mengatakan dia bukan ciptaan.
SAAT BERSATU
Aku tak sama dengan Sang Raja – bahkan jauh berbeda – meskipun kuperoleh cahaya dari sinar-Nya.
Keserbasamaan bukanlah dalam hal bentuk dan esensi: air menjadi serba-sama dengan tanah dalam
tetumbuhan.
Karena jenisku bukan jenis Rajaku, egoku musnah (fana') demi Ego-Nya.
Egoku musnah, Dia sajalah yang tinggal: aku mengepul seperti debu di bawah kaki kuda-Nya.
Kepribadian-diri menjadi debu: hanya bekasnya tampak pada cap kaki-Nya di atas debu.
Jadilah debu di bawah kaki-Nya demi cap-kaki itu dan jadilah laksana mahkota di atas kepala Sang
Kaisar!
TAK TAHU
Lihatlah, karena aku tak tahu tentang diriku, dengan nama Tuhan apa yang harus kuperbuat kini?
Aku tidak menyembah Salib ataupun Sabit; aku bukan seorang Gabar maupun seorang Yahudi.
Rumahku bukan di Timur ataupun di Barat, bukan di daratan maupun di lautan; aku tak bersanak-
keluarga dengan Malaikat ataupun jembalang.
Aku bukan ditempa dari api ataupun busa, aku dibentuk bukan dari debu maupun embun.
Aku lahir bukan di Cina yang jauh, bukan di Bulgaria bukan di Saqsin.
Bukan di India, yang bersungai lima, bukan di Irak ataupun di Khurasan aku tumbuh dewasa.
Bukan di dunia ini atau di dunia sana Aku tinggal, bukan di Surga atau di Neraka;
Bukan dari Firdaus ataupun Ridwan aku jatuh, bukan pula dari Adam aku bernenek-moyang.
Di suatu tempat yang ada di balik tempat, di suatu bidang tanpa jejak dan hayang,
Jiwa dan tubuh yang meninggi aku tinggal di dalam jiwa Kekasihku Yang Maha Esa!
Jika berita datang dari wajah Syamsuddin, matahari di Langit Keempat menyembunyikan diri karena
malu.
Sejak namanya hadir ke dalam hidupku, harus aku sampaikan isyarat karunianya itu.
Ia berkata: ”Demi persahabatan kita yang telah bertahun-tahun, ceritakanlah salah satu dari
kegembiraan yang luar biasa,
Agar bumi dan langit dapat tertawa dengan gembira, supaya akal dan ruh serta penglihatan dapat
meningkat seratus kali.”
Aku berkata: ”Janganlah meletakkan tugas kepadaku, karena aku telah hilang dari diriku (fana);
kepandaianku tumpul, aku tak tahu bagaimana memuji.
Adalah tak pantas, apabila seseorang yang belum kembali ke kesadaran memaksakan diri untuk
berperan sebagai pembual.
Bagaimana aku dapat – tanpa sadar – melukiskan Sang Teman yang tanpa tolak bandingnya itu?
Penggambaran tentang luka hati yang sepi ini sebaiknya kutunda hingga lain waktu,”
Ia menyahut: ”Berilah aku makanan, karena aku lapar, dan cepatlah, karena waktu (waqt) adalah sebilah
pedang yang tajam.
Sufi adalah anak sang ’waktu’ (ibnul-waqt), Wahai teman: bukan cara kebiasaannya untuk berkata
besok.
Maka, apakah engkau bukan seorang Sufi? Apa yang ada di tangan jadi habis berkurang karena
tertundanya pembayaran?
Aku berkata kepadanya: ”Lebih baik rahasia Teman tetap tersamar: dengarkanlah karena ia termasuk
dalam isi cerita.
Lebih baik rahasia para pencinta diceritakan (secara alegoris) dalam pembicaraan orang lain.”
Ia berseru: ”Ceritakanlah dengan jelas dan terus terang tanpa kebohongan: jangan membuatku
menunggu, O orang yang lalai!
Angkatlah selubung dan bicaralah terus terang. Aku tak berpakaian ketika tidur bersama Yang Maha
Terpuji.”
Aku berkata: ”Apabila Dia harus telanjang dalam pandanganmu, takkan tahan dada dan pinggangmu.
Mintalah, tapi mintalah secara wajar: sehelai jerami takkan dapat menyangga sebuah gunung.
Jika Matahari, yang menyebabkan dunia ini bersinar, lebih dekat sedikit saja, semua yang ada akan
terbakar.
Janganlah mencari kesulitan dan kerusuhan serta pertumpahan darah: janganlah bicara lagi tentang
Matahari dari Tabriz!”
Cinta dan khayalan menciptakan ribuan bentuk indah seperti Yusuf; sesungguhnya mereka adalah ahli
sihir yang lebih mahir daripada Harut dan Marut.
Di depan matamu mereka menghidupkan bayangan Sang Kekasih; engkau terpesona dan
mengungkapkan seluruh rahasiamu kepadanya.
Bagai seorang ibu, di depan kuburan anaknya yang baru meninggal dunia,
Dan di dalam hatinya percaya sang anak mendengarkannya. Lihatlah, daya tarik itu disebabkan oleh
Cinta!
Dengan mesra dan penuh air mata, berulang kali dengan bijak ia letakkan bibirnya, di atas tanah segar
makam anaknya.
Sebegitu rupa, seakan selama hidup sang anak tersayang, tidak pernah ia menciumnya.
Namun cinta kepada yang mati takkan bertahan lama: ketika hari-hari berkabungnya telah berlalu,
kobaran dukacitanya pun lenyap.
Cinta membawa pergi pesonanya: apinya pun hilang, hanya tinggal abunya.
TUHAN DI DUNIA
Dunia itu beku, namanya jamad (tidak berjiwa): jamid berarti ”beku”, O tuan.
Tunggulah sampai terbitnya matahari Kebangkitan, sehingga engkau dapat menyaksikan gerakan tubuh
dunia.
Karena Tuhan menciptakan Manusia dari debu, maka sebaiknya engkau kenali sifat sejati setiap partikel
alam semesta,
Yang dari satu sisi mereka tampak mati, dari sisi lainnya mereka hidup: di sini diam, di Sana berbicara.
Jika Dia menurunkan mereka ke dunia kita, tongkat Nabi Musa menjadi seekor naga dalam pandangan
kita,
Gunung-gunung bertasbih bersama Nabi Dawud, besi jadi bagai lilin di tangannya;
Angin menjadi kendaraan bagi Sulaiman, laut pun paham apa yang Tuhan titahkan pada Musa.
Rembulan mematuhi isyarat yang diberikan Muhammad, api unggun (Namrud) menjadi taman mawar
bagi Ibrahim.
Mereka semua berseru, “Kami mendengar dan melihat serta mematuhi, meskipun bagi kalian, orang
yang belum mengetahui, kami adalah benda mati.
Mendakilah dari dunia benda ke dunia ruh, dengarkan suara keras dari alam semesta;
Maka engkau akan mengetahui bahwa Tuhan diagungkan oleh segala benda mati: kesangsian yang
dibuat para penafsir palsu tidak akan memperdayakanmu.
Cinta adalah lautan tak bertepi, langit hanyalah serpihan buih belaka.
Ketahuilah langit berputar karena gelombang Cinta: andai tak ada Cinta, dunia akan membeku.
Bila bukan karena Cinta, bagaimana sesuatu yang organik berubah menjadi tumbuhan? Bagaimana
tumbuhan akan mengorbankan diri demi memperoleh ruh (hewani)?
Bagaimana ruh (hewani) akan mengorbankan diri demi nafas (Ruh) yang menghamili Maryam?
Semua itu akan menjadi beku dan kaku bagai salju, tidak dapat terbang serta mencari padang ilalang
bagai belalang.
Setiap atom jatuh cinta pada Yang Maha Sempurna dan naik ke atas laksana tunas.
Cita-cita mereka yang tak terdengar, sesungguhnya, adalah lagu pujian Keagungan pada Tuhan.
TEKA-TEKI TUHAN
Siapa saja yang kebingungan dan kesulitan, Tuhan telah membisikkan sebuah teka-teki ke dalam
telinganya,
Sehingga dia mungkin menjebaknya dalam dua kesangsian pikiran- ”Akan atau tidakkah kulaksanakan
apa yang telah Dia ceritakan kepadaku?”
Dengan Takdir Tuhan salah satu dari kedua pilihan itu akan memiringkan pertimbangan, dan dia
menyetujuinya.
Kalau pikiranmu tak terganggu, jangan kau sumbat pendengaran ruhanimu dengan kapas mentah.
Agar engkau dapat memahami teka-teki-Ny serta membaca tanda-tanda baik yang samar maupun yang
jelas nyata.
Lalu turunlah wahyu pada pendengaranmu. Apakah wahyu itu? Sebuah suara yang tak tertangkap oleh
tanggapan pancaindera.
Kata ”paksaan” (jabr) membuat diriku tak sabar demi Sang Cinta: hanya orang yang mencintailah yang
tak terbelenggu oleh paksaan.
Inilah hubungan akrab dengan Tuhan, bukan paksaan: cahaya dari bulan, bukan sebongkah awan:
Atau, apabila ia paksaan, bukanlah paksaan biasa: ia bukanlah paksaan yang didesak oleh keinginan-diri,
yang mendorong kita ke dosa.
Wahai anakku, hanya mereka yang mata-hatinya telah dibukakan oleh Tuhan-lah yang mengetahui arti
paksaan yang sebenarnya.
Sang musuh agama ’Isa menyusun duabelas Kitab Injil, masing-masing dari awal hingga akhir saling
bertentangan.
Dalam kitab yang satu dia menjadikan asketisme dan puasa sebagai sumber penyesalan dan syarat
keselamatan.
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Asketisme adalah sia-sia di Jalan ini tiada keselamatan kecuali hanya
melalui kasih-sayang.”
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Baik pengekangan nafsumu maupun kasih-sayangmu menyatakan
bahwa engkau menghubungkan kedua aktivitasmu ini dengan-Nya, Dia-lah Tujuan dari ibadahmu.
Selain tawakal dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan dalam kesengsaraan maupun kegembiraan,
semuanya adalah kebohongan dan perangkap belaka.”
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Engkau harus berbakti kepada Tuhan; gagasan tawakal kepada-Nya
adalah mencurigakan.
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan itu bukan untuk
dilaksanakan, melainkan hanya untuk menunjukkan ketidakmampuan kita untuk memenuhinya,
Sehingga kita dapat mengenal kelemahan kita dan mengakui kekuatan Yang Maha Kuasa.
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Jangan pikirkan kelemahanmu: memikirkannya merupakan suatu
perbuatan yang tidak berterima kasih. Hati-hatilah!
Pandanglah kekuatanmu dan ketahuilah bahwa Dia Yang Maha Mutlak yang memberikannya
kepadamu.”
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Lupakanlah keduanya: apapun yang mencakup pencerapan
pancaindera adalah berhala.”
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”jangan padamkan kemampuan pencerapan pancaindera: ia dapat
menerangi jalan menuju perenungan yang paling dalam.
Apabila engkau terlalu cepat membuang sensasi dan fantasi, kau akan memadamkan lampu penyatuan
di tengah malam.”
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Padamkanlah ia – jangan takut – agar engkau dapat ribuan kali lipat
penglihatan sebagai gantinya;
Karena dengan memadamkannya, cahaya ruhmu bertambah tak terhingga: dengan mengorbankan
kepentinganmu sendiri Layla (Kekasih)-mu menjadi Majnun (pencinta)-mu.”
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Carilah seorang guru untuk mengajarimu: di antara berbagai sifat yang
berasal dari leluhur engkau tidak akan menemukan pengetahuan melihat ke masa depan.”
Setiap golongan agama hanya meramalakan tujuan sebagaimana diri mereka memahaminya: akibatnya
mereka jatuh menjadi tawanan ketakutan.
Untuk meramalkan tujuan tidaklah semudah menyilangkan kedua belah tangan: bila tidak, bagaimana
bisa terdapat banyak ajaran yang berbeda?
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Jadilah manusia, jangan menjadi hamba manusia! Ambillah jalanmu
sendiri, jangan sibuk mengembara mencari seorang guru!”
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Semua bentuk yang bermacam-macam itu hanya satu: siapapun yang
melihatnya ganda adalah orang-orang yang matanya rusak.”
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Bagaimana seratus bisa menjadi satu? Dia yang beranggapan begitu
sesungguhnya gila.”
Orang yang tidak paham akan kesucian ’Isa: dia bukanlah yang dikaruniai lautan kimia dari tong ’Isa,
Yang daripadanya pakaian dari seratus celupan akan muncul sederhana dan satu warna sebagaimana
cahaya.
MASAKLAH SEMUANYA”
Karena engkau tak mampu mengemban Cahaya yang terbuka, minumlah kata-kata Hikmah, karena
cahayanya terselubung.
Hingga akhirnya engkau mampu menerima Cahaya, dan melihat apa yang kini tersembunyi tanpa
kerudung.
Serta melintasi langit laksana sebuah bintang; bukan, perjalanan mutlak, tanpa angkasa.
Demikianlah engkau menjadi ada dari ketiadaan. Bagaimana engkau datang? Engkau datang secara tak
sadar.
Jalan kedatanganmu tak engkau ingat, namun aku ingin memberimu sebuah tanda.
Tidak, sebaiknya aku tak bercerita, karena engkau masih mentah; engkau masih dalam musim semimu,
engkau tak dapat melihat musim panas.
Dunia ini laksana pohon: kita adalah laksana buah yang setengah matang melekat padanya.
Buah-buah yang masih mentah melekat erat pada cabang pohon, karena untuk Istana mereka belumlah
pantas;
Namun ketika mereka ranum dan menjadi manis serta lezat – maka, mereka akan kehilangan cabang.
Sama seperti kerajaan duniawi yang akan kehilangan kelezatannya bagi mereka yang mulutnnya telah
menjadi manis oleh kebahagiaan yang tiada terkira.
Ada yang tetap tak terkisah, namun Ruh Qudus akan menceritakan kepadamu tanpa aku sebagai
perantara.
Bukan, engkau akan menceritakannya kepada telingamu sendiri – bukan aku ataupun orang lain, Wahai
engkau yang bersatu denganku –
Seperti, ketika engkau tertidur, engkau pergi dari hadapan dirimu ke hadapan dirimu
Dan mendengar dari dirimu bahwa apa yang engkau pikirkan diceritakan secara rahasia kepadamu oleh
seseorang dalam mimpi.
Wahai teman yang baik, engkau bukanlah ”engkau” semata: engkau adalah langit dan lautan yang
dalam.
Kekuasaan ”Engkau”-mu yang maha luas adalah lautan yang di dalamnya ribuan ”engkau” tenggelam.
Janganlah berbicara, hingga engkau dapat mendengar dari Sang Pembicara apa yang tak dapat
diucapkan atau dibayangkan.
Janganlah berbicara, sehingga Ruh mau bercakap padamu: dalam bahtera Nabi Nuh berhentilah
berenang!
Lautan Jilbab
Para malaikat Allah yang besarnya tak terkirakan oleh matematika ilmu manusia sehingga seluruh jagat
raya ini disangga di telapak tangannya
lihatlah perlahan-lahan makin banyak manusia yang memakai jilbab, lihatlah kaum lelaki
berjilbab, lihatlah rakyat manusia berjilbab, lihatlah ummat-ummat berjilbab, lihatlah Siapapun saja
yang memerlukan perlindungan, yang memerlukan genggaman keyakinan, yang memerlukan cahaya
pedoman, lihatlah mereka semua berjilbab
jilbab ini eksperimen kelembutan untuk meladeni jam-jam brutal dari kehidupan
Tak ada perlindungan bagi iman kami yang dicabik-cabik dengan pisau-pisau beracun
tak ada perlindungan bagi akidah kami yang ditempeli topeng-topeng, yang dirajam, dimanipulir oleh
rumusan-rumusan palsu yang memabukkan
tak ada perlindungan bagi padamnya matahari hak kehendak kami yang diranjau
menyarungkan pilihan, keputusan, keberanian dan istiqamah, dinurani dan jiwaraga kami
Ini jilbab ilahi rabbi, jilbab yang mengajarkan ilmu menapak dalam irama
ilmu untuk tidak tergesa, ilmu tak melompati waktu dan batas realitas
ilmu bernapas setarikan demi setarikan, selangkah demi selangkah, hikmah demi hikmah
Para malaikat Allah yang lembut melebihi kristal, para malaikat allah yang suaranya tak bisa didengarkan
oleh segala macam telinga, berbisik-bisik di antara mereka
lautan jilbab! lautan jilbab! gelombang perjuangan, luka pengembaraan, tak mungkin bisa dihentikan
wahai! sunyi telah memulai bicara!
http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/cgi-bin/library?e=d-00000-00---0skripsi--00-1--0-10-0---0---0prompt-10---
4-------0-1l--11-en-50---20-about---00-3-1-00-11-1-0utfZz-8-
00&a=d&d=HASH124f2fc0fad6348cd3f772&showrecord=1