You are on page 1of 6

Rancangan Perda AIDS Prov Banten Tidak Menukik ke Akar Masalah AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap*

Pemprov Banten akan menelurkan peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan HIV
dan AIDS. Jika Perda ini disahkan oleh DPRD Banten maka ini merupakan Perda ke 38
di Indonesia. Seperti halnya perda-perda yang sudah ada: Apakah perda ini nasibnya juga
akan sama dengan perda-perda lain? Untuk itulah perda ini perlu dibuat secara
komprehensif agar tidak hanya sebagai copy-paste dari perda yang sudah ada.

Perda yang komprehensif akan bisa dipakai sebagai pijakan hukum untuk mendorong
penduduk Prov. Banten agar ikut serta secara aktif memutus mata rantai penyebaran HIV
secara horizontal antar penduduk. Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS yang mencapai
1.800 per Juni 2010 menunjukkan epidemi HIV di Prov. Banten tidak bisa lagi dipandang
dengan sebelah mata. Angka ini pun hanya sebagian kecil karena epidemi HIV erat
kaitannya dengan fenomena gunung es. Yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus
yang ada di masyarakat.

Perilaku Berisiko

Dalam semua perda yang sudah ada, termasuk Ranperda AIDS Prov Banten, tidak ada
pasal yang menukik ke akar persoalan terkait dengan epidemi HIV, yaitu: (a) tidak ada
mekanisme untuk mendeteksi kasus HIV dan AIDS yang tersembunyi di masyarakat, (b)
tidak ada cara pencegahan melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah yang
akurat, dan (c) tidak ada cara untuk memutus mata rantai penyebaran HIV secara
horizontal.

Kasus-kasus HIV dan AIDS yang tersembunyi di masyarakat terjadi karena banyak orang
yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Soalnya, tidak ada gejala-gejala yang
khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular
HIV). Tapi, mereka sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui: (a) hubungan
seks tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, (b) transfusi darah yang didonorkan pada
masa jendela, (c) jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang dipakai secara bergantian, dan
(d) air susu ibu (ASI).

Penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk terjadi karena ada penduduk, laki-laki
dan perempuan, yang menjadi mata rantai yaitu mereka yang sudah mengidap HIV tapi
tidak terdeteksi. Dalam kehidupan sehari-hari mereka bisa sebagai seorang suami atau
istri, lajang, duda atau remaja. Laki-laki yang sudah mengidap HIV akan menularkan
HIV kepada istrinya bagi yang beristri, kepada pacar atau pekerja seks. Laki-laki yang
kemudian melakukan hubungan seks dengan pekerja seks yang sudah tertular HIV
berisiko pula tertular HIV. Ini menambah mata rantai penyebaran HIV.

Tingkat probabilitas tertular HIV tergantung kepada keseringan penduduk melakukan


hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-
ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks dan pelaku

1
kawin-cerai. Kegiatan ini disebut perilaku berisiko tinggi tertular HIV yang bisa saja
dilakukan penduduk Banten di wilayah Banten, di luar Banten atau di luar negeri.

Upaya untuk mencegah penyebaran HIV melalui hubungan seks berisiko secara
horizontal antar penduduk tidak ada dalam rancangan perda ini. Padahal, inilah mata
rantai yang mendorong penyebaran HIV.

Pada pasal 6 ayat a disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui kegiatan
promosi yang meliputi komunikasi, informasi dan edukasi dalam rangka menumbuhkan
sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat.” Materi penyuluhan yang akurat memang
menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kepedulian masyarakat dalam
menanggulangi epidemi HIV yaitu. agar penduduk tidak lagi melakukan perilaku
berisiko tinggi tertular HIV. Jadi, bukan untuk ‘menumbuhkan sikap dan perilaku hidup
bersih dan sehat’. Ini mitos (anggapan yang salah) karena tidak ada kaitan langsung
antara ‘sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat’ dengan penularan HIV. Lagi pula pasal
ini akan mendorong stigmatitasi (pemberian cap negatif atau buruk) serta diskriminasi
(membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena ada kesan mereka
tidak hidup bersih dan sehat sehingga tertular HIV.

Maka pasal 6 ayat a akan berbunyi: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui
kegiatan promosi yang meliputi komunikasi, informasi dan edukasi dengan materi HIV
dan AIDS yang akurat untuk mendorong masyarakat tidak melakukan perilaku berisiko
tinggi tertular HIV.”

Di pasal 6 ayat b disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui penggunaan
kondom bagi Kelompok Beresiko Tinggi dalam setiap hubungan seks.” Pada pasal 1 ayat
13 disebutkan kelompok berisiko tinggi al. ‘penjaja seks dan pelanggan atau
pasangannnya, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, warga binaan di
lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan.’ Pertama, yang harus memakai kondom
bukan pekerja seks tapi laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks.
Kedua, selain pada laki-laki dengan laki-laki juga pada laki-laki yang berhungan seks
dengan waria. Ketiga, hubungan seks yang berisiko tertular HIV bukan hanya pada
sanggama dengan pekerja seks, laki-laki dengan laki-laki, laki-laki dengan waria tapi
juga dengan pasangan yang berganti-ganti. Keempat, hubungan seks yang berisiko
tertular HIV juga terjadi pada sanggama di dalam dan di luar nikah dengan seseorang
yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pelaku kawin-cerai, dan ‘cewek’ sebagai
pekerja seks tidak langsung yaitu mereka yang tidak ‘mangkal’ di lokalisasi atau tempat-
tempat tertentu.

Alat Baru

Bertolak dari fakta di atas maka pasal 6 ayat b akan berbunyi: “Pencegahan HIV dan
AIDS dilakukan melalui kewajiban bagi setiap orang untuk memakai kondom pada setiap
hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau
dengan seseorang yang sering bergani-ganti pasangan.”

2
Pasal 6 ayat d disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui pengurangan
resiko penularan HIV dan AIDS dari ibu ke anak.” Didukung pasal 8 ayat c: “Dalam hal
Penanganan HIV dan AIDS, Pemerintah Daerah didukung layanan berupa klinik
pencegahan dari ibu yang positif HIV kepada bayi yang dikandungnya.”

Persoalannya adalah di Indonesia, termasuk dalam rancangan perda ini, tidak ada cara
untuk mendeteksi HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga (istri) yang hamil. Berbeda
dengan Malaysia yang menjalankan survailans tes HIV dengan rutin dan sistematis
terhadap pasien klinik PMS (penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks,
seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.), pengguna narkoba suntikan, polisi,
narapidana, pasien TBC dan perempuan hamil.

Maka, untuk mendeteksi HIV di kalangan ibu-ibu hamil harus ada pasal berbunyi:
“Setiap perempuan hamil diwajibkan mengikuti survailans tes HIV melalui konseling.”
Konseling yang komprehensif diberikan kepada perempuan-perempuan hamil yang
datang ke tempat-tempat pelayanan kesehatan, seperti Posyandu, Puskesmas, praktek
bidan, rumah sakit, dan rumah bersalin. Setelah mereka memahami HIV dan AIDS, risiko
yang akan timbul, serta dukungan pemerintah jika mereka terdeteksi HIV-positif mereka
pun mengikuti survailans tes HIV dengan asas anonimitas (contoh darah tidak diberi
tanda atau label yang menunjukkan pemilik contoh darah), dan konfidensialitas (hasil tes
bersifat rahasia, hanya diketahui konselor dan dokter). Ibu hamil yang terdeteksi HIV-
positif pada tes survailans ditawarkan untuk mengikuti tes konfirmasi lanjutan.

Di pasal 8 ayat a disebutkan: “Dalam hal Penanganan HIV dan AIDS, Pemerintah Daerah
didukung layanan berupa klinik VCT dan CST.” Karena penemuan kasus HIV dan AIDS
melalui tes HIV merupakan salah satu langkah dalam memutus mata rantai penyebaran
HIV maka pasal ini harus berbunyi: “Dalam hal Penanganan HIV dan AIDS, Pemerintah
Daerah didukung layanan berupa klinik VCT dan CST yang gratis.”

Di pasal 8 ayat g disebutkan: “Dalam hal Penanganan HIV dan AIDS, Pemerintah Daerah
didukung layanan berupa jaminan kesehatan bagi orang terinfeksi HIV.” Jaminan
kesehatan secara umum berlaku untuk semua penduduk sebagai hak, tapi khusus untuk
orang-orang yang terdeteksi HIV-positif ada beberapa hal yang harus ditanggulangi
karena biayanya mahal, yaitu: tes CD4, obat antiretroviral/ARV (jika kelak tidak ada lagi
donor asing), obat-obat infeksi oportunistik, biaya persalinan melalui operasi caesar, dll.

Di pasal 8 ayat d disebutkan: “Dalam hal Penanganan HIV dan AIDS, Pemerintah Daerah
didukung layanan berupa skrining HIV pada sample darah .....” Selama ini unit-unit
transfusi darah (UTD) Palang Merah Indonesia (PMI) sudah melakukan skrining HIV
terhadap darah donor. Tapi, ada masalah besar karena skrining HIV terhadap darah donor
tidak bisa menjadi jaminan karena hasil skrining bisa negatif palsu (HIV sudah ada pada
contoh darah donor tapi tidak terdeteksi dengan rapid test atau ELISA). Ini sudah terjadi
di sebuah rumah sakit di Malaysia. Seorang perempuan guru mengaji tertular HIV
melalaui transfusi. Negeri jiran itu terpaksa membayar ganti rugi RM 100 juta dan
pengobatan gratis seumur hidup bagi perempuan tadi.

3
Untuk itulah UTD PMI harus menerapkan ‘skrining’ awal terhadap donor yaitu
diwajibkan menjawab pertanyaan: Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seks tanpa
kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasnagan yang berganti-ganti atau dengan
seseorang yang sering berganti-ganti pasangan?” Kalau jawabannya di bawah tiga bulan
maka donor itu ditolak karena hasil skrining terhadap darahnya bisa negatif palsu
sehingga berbahaya kalau ditransfusikan karena di dalam darah itu ada HIV tapi tidak
terdeteksi.

Pasal 18 berbunyi: “Setiap orang yang menggunakan alat cukur, jarum suntik, jarum tato
dan jarum akupuntur, secara bergantian wajib menggunakannya dalam keadaan steril.”
Ini tidak tegas maka pasal ini sebaiknya berbunyi: a. “Setiap orang diwajbikan
menggunakan alat cukur, jarum suntik, jarum tattoo, jarum tindik, dan jarum akupuntur
yang steril atau yang baru.” b. “Setiap orang dilarang menggunakan alat cukur, jarum
suntik, jarum tattoo, jarum tindik, dan jarum akupuntur secara bergantian.”

Pasal 19 disebutkan: “Semua kegiatan dan perilaku yang berpotensi menimbulkan


penularan HIV dan AIDS wajib melaksanakan skrining sesuai dengan prosedur dan
standar kesehatan yang baku.”, serta pasal 20: “Setiap orang yang berisiko tinggi terjadi
penularan IMS wajib memeriksakan kesehatannya secara rutin.”

Cara Baru

Kedua pasal itu bisa dijadikan satu pasal, yaitu: “Setiap orang, laki-laki dan perempuan,
yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar
nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-
ganti pasangan diwajibkan menjalani tes HIV dengan konseling.” Ada pula pasal yang
berbunyi: “Setiap orang yang pernah atau sering memakai jarum suntik secara bergantian,
seperti pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya), diwajibkan
menjalani tes HIV dengan konseling.” Ini untuk ‘menjaring’ penduduk yang sudah
tertular HIV.

Pasal 21: “Setiap pemilik dan atau pengelola tempat hiburan, atau sejenisnya yang
menjadi tempat berisiko tinggi, wajib memberikan informasi atau penyuluhan secara
berkala mengenai pencegahan HIV dan AIDS kepada semua pekerjanya.”, dan pasal 22:
“Setiap pemilik dan atau pengelola tempat hiburan, atau sejenisnya yang menjadi tempat
berisiko tinggi, wajib mendata pekerja yang menjadi tanggungjawabnya untuk dilakukan
pemeriksaan kesehatan oleh petugas.”

Kedua pasal ini merupakan ‘jiplakan’ dari program yang dikembangkan Thailand untuk
menurunkan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa yaitu melalui ‘wajib kondom
100 persen’ pada hubungan seks di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Dua pasal ini
menunjukkan ambiguitas yang dibalut dengan moral. Tidak ada tempat yang berisiko
HIV dan AIDS karena penularan HIV tergantung pada perilaku seks orang per orang.

Yang dilakukan pemerintah Thailand untuk memantau program di adalah tes IMS
(infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.) secara rutin

4
terhadap pekerja seks di lokalisasi dan rumah bordir. Jika ada pekerja seks yang
terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan ada pekerja seks yang meladeni laki-
laki ‘hidung belang’ tanpa kondom. Pengelola lokalisasi dan rumah bordir akan diberi
sanksi mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha. Ini tidak bisa dilakukan di Prov.
Banten khususnya dan di Indonesia umumnya karena tidak ada lokalisasi pelacuran dan
rumah bordir yang mengantongi izin usaha.

Pasal 24: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang
mendonorkan darah, produk darah, cairan mani, organ dan jaringan tubuhnya kepada
orang lain.”, dan pasal 25: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV
dan AIDS dilarang dengan sengaja menularkan infeksinya kepada orang lain.” Persoalan
besar pada epidemi HIV adalah lebih dari 90 persen kasus penularan HIV justru terjadi
tanpa disadari. Banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Yang
biasa didonorkan adalah sperma bukan air mani atau cairan sperma. Di dalam sperma
tidak ada HIV sehingga tidak perlu dicantumkan dalam perda.

Maka, pasal 24 dan 25 dilebur menjadi: “Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang
pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam dan atau di luar
nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-
ganti pasangan dilarang mendonorkan darah, organ dan jaringan tubuh.” Satu lagi:
“Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering memakai jarum suntik
pada penyalahgunaan narkoba dilarang mendonorkan darah, organ dan jaringan tubuh.”

Pada pasal 29 ayat 1 butir disebutkan: “Masyarakat bertanggungjawab untuk berperan


serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA
dan OHIDHA dengan cara: a. meningkatkan iman dan taqwa; b. berperilaku hidup sehat;
c meningkatkan ketahanan keluarga.”

Butir a, b, dan c tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV. Untuk butir
a: 1. Apa alat ukur (kadar atau tingkat) iman dan taqwa? 2. Siapa yang berhak mengukur
(kadar atau tingkat) iman dan taqwa? 3. Bagaimana ukuran atau tingkat iman dan taqwa
yang bisa mencegah penularan HIV? Hal yang sama juga dipertanyakan pada butir b dan
c. Pasal ini justru mendorong masyarakat untuk melakukan stigma dan diskriminasi
terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena dianggap mereka tertular HIV karena
tidak beriman, tidak bertaqwa, tidak hidup sehat dan tidak mempunyai ketahanan
keluarga. Bagaimana dengan istri-istri yang tertular dari suaminya? Begitu pula dengan
orang-orang yang tertular melalui transfusi darah, apakah mereka tertular karena tidak
beriman dan tidak bertaqwa, karena tidak hidup bersih dan sehat, atau karena tidak
mempunyai ketahanan keluarga?

Pasal 29 sebaiknya berbunyi: “Masyarakat bertanggungjawab untuk berperan serta dalam


kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara: a. “Tidak melakukan hubungan
seks tanpa kondom di dalam dan atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti
atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.” b. “Tidak memakai jarum
suntik, jarum tindik, jarum tattoo, jarum akupunktur dan alat-alat kesehatan yang tidak

5
steril.” c. “Tidak memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum tattoo, jarum akupunktur dan
alat-alat kesehatan secara bergantian.”

Pasal 29 ayat 3: “Masyarakat mendorong setiap orang yang beresiko terhadap penularan
HIV dan IMS untuk memeriksakan kesehatannya ke klinik VCT.” Ini bisa menimbulkan
masalah di masyarakat, seperti fitnah dll. Pasal ini tidak perlu karena sudah di atur di
pasal sebelumnya.

Sanksi pidana untuk pelanggaran terkait dengan asas anonimitas dan konfidensialitas.
Sedangkan sanksi administatrif dengan fungsi yang mendidik diberikan kepada yang
melanggar pasal larangan melakukan perilaku berisiko, seperti pada pasal 6 yaitu
pemerintah daerah tidak membiaya pengobatan penduduk, kecuali perempuan hamil,
yang tertular IMS dan HIV.

Karena upaya untuk mendeteksi kasus HIV dan AIDS di masyarakat bukan hal yang
mudah maka belakangan dikembangkan cara baru yang dikenal sebagai Provider
Initiated Testing and Counseling (PITC). Ini adalah cara baru untuk ‘menjaring’
penduduk yang tertular HIV yaitu melalui tes HIV atas rekomendasi atau inisiatif petugas
kesehatan. Dokter yang melihat gejala AIDS pada pasien dengan riwayat perilaku yang
berisiko dianjurkan tes HIV. Ini langkah baru mendeteksi kasus HIV yang sudah
direkomandasikan WHO (Badan Kesehatan Dunia PBB). Ada baiknya ini dimasukkan ke
perda sebagai langkah maju untuk memutus mata rantai penyebaran HIV.

Untuk menjalankan PITC ini diatur melalui pasal yang berbunyi: “Setiap dokter yang
praktek di rumah sakit, puskesmas, poliklinik, klinik swasta, dan praktek pribadi wajib
menjalankan PITC dan melaporkan hasilnya ke dinas kesehatan setempat.” ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro”


Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

You might also like