Professional Documents
Culture Documents
Kepribadian merupakan sesuatu yang sangat rumit dan kompleks, sehingga tidak mud
ah dalam mendefinisikannya. Menurut Pervin (2000) :
Personality represent those characteristic of the person that account for consist
ent pattern of feeling, thinking and behaving.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepribadian merupakan penentu karak
teristik dari seseorang yang menentukan bagaimana ia merasa berfikir dan berting
kah laku.
Sedangkan Menurut Allport (dalam Chaplin, 2001), kepribadian adalah organisasi d
inamis didalam individu yang terdiri dari system-sistem psikofisik yang menentuk
an tingkah laku dan pikirannya secara karakteristik. Psikologi sebagai ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia, membahas kepribadian manusia melalui berbagai
macam pendekatan, yang salah satunya adalah pendekatan Psikodinamik. Dalam pend
ekatan ini, Carl Gustav Jung menjelaskan kepribadian manusia berdasarkan tujuann
ya dalam kehidupan yang dipengaruhi oleh masa lalu dan masa depan manusia. Jung
menjelaskan berbagai macam struktur dari Psyche, tipologi kepribadian manusia be
rdasarkan sikap dan fungsi dominan yang dimiliki oleh manusia itu, mekanisme per
gerakan energi psikis dan tahap perkembangan kepribadiannya.
Menurut Jung, psyche adalah kesatuan yang di dalamnya terdapat semua pikiran, pe
rasaan dan tingkah laku baik yang disadari maupun tidak disadari yang saling ber
interaksi satu sama lainnya. Struktur psyche menurut Jung terdiri dari :
1. Ego
Ego merupakan jiwa sadar yang terdiri dari persepsi, ingatan, pikiran dan perasa
an-perasaan sadar. Ego bekerja pada tingkat conscious Dari ego lahir perasaan id
entitas dan kontinyuitas seseorang. Ego seseorang adalah gugusan tingkah laku ya
ng umumnya dimiliki dan ditampilkan secara sadar oleh orang-orang dalam suatu ma
syarakat. Ego merupakan bagian manusia yang membuat ia sadar pada dirinya.
2. Personal Unconscious
Struktur psyche ini merupakan wilayah yang berdekatan dengan ego. Terdiri dari p
engalaman-pengalaman yang pernah disadari tetapi dilupakan dan diabaikan dengan
cara repression atau suppression. Pengalaman-pengalaman yang kesannya lemah juga
disimpan kedalam personal unconscious. Penekanan kenangan pahit kedalam persona
l unconscious dapat dilakukan oleh diri sendiri secara mekanik namun bisa juga k
arena desakan dari pihak luar yang kuat dan lebih berkuasa. Kompleks adalah kelo
mpok yang terorganisir dari perasaan, pikiran dan ingatan-ingatan yang ada dalam
personal unconscious. Setiap kompleks memilki inti yang menarik atau mengumpulk
an berbagai pengalaman yang memiliki kesamaan tematik, semakin kuat daya tarik i
nti semakin besar pula pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia. Kepribadian de
ngan kompleks tertentu akan didominasi oleh ide, perasaan dan persepsi yang dika
ndung oleh kompleks itu.
3. Collective Unconscious
Merupakan gudang bekas ingatan yang diwariskan dari masa lampau leluhur seseoran
g yang tidak hanya meliputi sejarah ras manusia sebagai sebuah spesies tersendir
i tetapi juga leluhur pramanusiawi atau nenek moyang binatangnya. Collective unc
onscious terdiri dari beberapa Archetype, yang merupakan ingatan ras akan suatu
bentuk pikiran universal yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bentuk pikir
an ini menciptakan gambaran-gambaran yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan
, yang dianut oleh generasi terentu secara hampir menyeluruh dan kemudian ditamp
ilkan berulang-ulang pada beberapa generasi berikutnya. Beberapa archetype yang
dominan seakan terpisah dari kumpulan archetype lainnya dan membentuk satu siste
m sendiri. Empat archetype yang penting dalam membentuk kepribadian seseorang ad
alah :
1. Persona yang merupakan topeng yang dipakai manusia sebagai respon terhadap
tuntutan-tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat serta terhadap kebutuhan arc
hetypal sendiri.
2. Anima & Animus merupakan elemen kepribadian yang secara psikologis berpeng
aruh terhadap sifat bisexual manusia. Anima adalah archetype sifat kewanitaan /
feminine pada laki-laki, sedangkan Animus adalah archetype sifat kelelakian / ma
skulin pada perempuan.
3. Shadow adalah archetype yang terdiri dari insting-insting binatang yang di
warisi manusia dalam evolusinya dari bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah k
ebentuk yang lebih tinggi.
4. Self, yang secara bertahap menjadi titik pusat dari kepribadian yang secar
a psikologis didefinisikan sebagai totalitas psikis individual dimana semua elem
en kepribadian terkonstelasi disekitarnya. Self membimbing manusia kearah self-a
ctualization, merupakan tujuan hidup yang terus-menerus diperjuangkan manusia te
tapi jarang tercapai.
Tipologi Jung
Menurut teori psikoanalisa dari Jung ada dua aspek penting dalam kepribadian yai
tu sikap dan fungsi. Sikap terdiri dari introvert dan ekstrovert, sedangkan fung
si terdiri dari thinking, feeling, sensing dan intuiting. Dari kedelapan hal ini
maka diperoleh tipologi Jung, yaitu :
1. Introversion-Thinking
Orang dengan sikap yang introvert dan fungsi thinking yang dominan biasanya tida
k memiliki emosi dan tidak ramah serta kurang bisa bergaul. Hal ini terjadi kare
na mereka memiliki kecenderungan untuk memperhatikan nilai abstrak dibandingkan
orang-orang dan lingkungan sekitarnya. Mereka lebih mengejar dan memperhatikan p
emikirannya tanpa memperdulikan apakah ide mereka diterima oleh orang lain atau
tidak. Mereka biasanya keras kepala, sombong dan berpendirian. Contoh dari orang
dengan kepribadian seperti ini adalah philosophers.
2. Extraversion-Thinking
Contoh orang dengan sikap extrovert dan fungsi thinking yang dominan adalah ilmu
wan dan peneliti. Mereka memiliki kecenderungan untuk muncul seorang diri, dingi
n dan sombong. Seperti pada tipe pertama, mereka juga me-repress fungsi feeling.
Kenyataan yang obyektif merupakan aturan untuk mereka dan mereka menginginkan o
rang lain juga berpikir hal yang sama.
3. Introversion-Feeling
Orang dengan introversion-feeling berpengalaman dalam emosi yang kuat, tapi mere
ka menutupinya. Contoh orang dengan sikap introvert dan fungsi feeling yang domi
nan adalah seniman dan penulis, dimana mereka mengekspresikan perasaannya hanya
dalam bentuk seni. Mereka mungkin menampilkan keselarasan didalam dirinya dan se
lf-efficacy, namun perasaan mereka dapat meledak dengan tiba-tiba.
4. Extraversion-Feeling
Pada orang dengan sikap extraversion dan fungsi feeling yang dominan perasaan da
pat berubah sebanyak situasi yang berubah. Kebanyakan dari mereka adalah aktor.
Mereka cenderung untuk emosional dan moody tapi terkadang sikap sosialnya dapat
muncul.
5. Introversion-Sensation
Orang ini cenderung tenggelam dalam sensasi fisik mereka dan untuk mencari hal y
ang tidak menarik dari dunia sebagai perbandingan. Biasanya mereka adalah orang-
orang yang tenang, kalem, self-controlled, tapi mereka juga membosankan dan kura
ng bisa berkomunikasi.
6. Extraversion-Sensation
Orang dengan tipe ini biasanya adalah businessman. Mereka biasanya realistik, pr
aktis, dan pekerja keras. Mereka menikmati apa yang dapat mereka indrai dari dun
ia ini, menikmati cinta dan mencari kegairahan. Mereka mudah dipengaruhi oleh pe
raturan dan mudah ketagihan pada berbagai hal.
7. Introversion-Intiuting
Pemimipi, peramal, dan orang aneh biasanya adalah orang dengan sikap introvert d
an fungsi intuitif yang dominan. Mereka terisolasi dalam gambaran-gambaran primi
tif yang artinya tidak selalu mereka ketahui namun selalu muncul dalam pikiran m
ereka. Mereka memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain, tidak pr
aktis namun memiliki intuisi yang sangat tajam dibandingkan orang lain.
8. Extraversion-Intuiting
Penemu dan pengusaha biasanya memiliki sikap extravert dan fungsi intuitif yang
dominan, mereka adalah orang-orang yang selalu mencari sesuatu yang baru. Mereka
sangat baik dalam mempromosikan hal-hal yang baru. Namun mereka tidak dapat ber
tahan pada satu ide, pekerjaan maupun lingkungan karena sesuatu yang baru merupa
kan tujuan hidup mereka.
Individuation adalah proses untuk mencapai kepribadian yang integral serta sehat
, dimana semua sistem atau aspek kepribadian harus mencapai taraf diferensiasi d
an perkembangan yang sepenuh-penuhnya, disebut juga proses pembentukan diri, ata
u penemuan diri.
Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan
tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang m
embuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mere
ka sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan
selalu curiga kepada orang lain.
Hal ini jangan dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa
ada kesalahan/cacat. Karena orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan me
nyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan s
ebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah me
mpunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, d
an akan memgunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti in
i. Dengan kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal te
rburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan ya
ng dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecuri
gaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya frusta
si, marah, sinis, maupun depresi.
Pada dasarnya setiap manusia pada tahap ini tidak dapat menghindari rasa kepuasa
n namun juga rasa ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpe
rcayaan. Akan tetapi, hal inilah yang akan menjadi dasar kemampuan seseorang pad
a akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Di mana setiap individu pe
rlu mengetahui dan membedakan kapan harus percaya dan kapan harus tidak percaya
dalam menghadapi berbagai tantangan maupun rintangan yang menghadang pada perput
aran roda kehidupan manusia tiap saat.
Adanya perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan antara kepercayaan dan
ketidakpercayaan terjadi pada tahap ini dapat mengakibatkan tumbuhnya pengharapa
n. Nilai lebih yang akan berkembang di dalam diri anak tersebut yaitu harapan da
n keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebag
aimana mestinya, tetapi mereka masih dapat mengolahnya menjadi baik.
Pada aspek lain dalam setiap tahap perkembangan manusia senantiasa berinteraksi
atau saling berhubungan dengan pola-pola tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu,
pada tahap ini bayi pun mengalami ritualisasi di mana hubungan yang terjalin de
ngan ibunya dianggap sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan ters
ebut terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan ters
endiri. Selain itu, Alwisol berpendapat bahwa numinous ini pada akhirnya akan me
njadi dasar bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain, dengan p
enuh penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut. Sebaliknya,
apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang
ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu pola kehidu
pan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal atau sendiri
dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan). Pemujaan ini dapat diartikan d
alam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya sendiri, atau sebaliknya anak akan
memuja orang lain.
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasany
a disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4
tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi)
sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin
suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik
, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua da
lam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengal
ami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh
anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizi
nkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan m
engubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau k
etidaktergantungan. Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengo
ntrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuanga
n anak terhadap pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi pada suatu tindakan
/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan
juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjala
n, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu
. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kema
ndirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu
atau tidak seharusnya bertindak sendirian.
Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian a
nak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang di
perlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang seringkali menjadi teguran maupun nasi
hat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya yakni tegas namun toleran . Makna dalam k
alimat tersebut ternyata benar adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa men
gembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, s
angat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, kare
na tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang
disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya
apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak baik
, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut Erikson compulsive
ness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan mer
eka selalu bergantung pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya
harus dilakukan secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka m
ereka tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa
malu dan ragu-ragu.
Jikalau dapat mengatasi krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu
dapat diatasi atau jika diantara keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai pos
itif yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminja
m kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa kemauan menyebabkan anak secar
a bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban .
Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bija
ksana dan legalisme. Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamann
ya untuk dapat menilai mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak ata
u perilaku orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila d
alam pola pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalis
me yakni merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada
pihak yang menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun p
ada penerapannya menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu ta
npa ampun, dan tanpa rasa belas kasih.
Inisiatif vs Kesalahan
Kerajinan vs Inferioritas
Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umu
r 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adal
ah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa re
ndah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dar
i lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki
peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian,
teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada aw
alnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia ba
hwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam bel
ajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhas
il, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak
dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih suk
ses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat me
ngembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun guru san
gatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia sep
erti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya m
enimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama teman-teman dari pa
da belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan orang tua maupun gu
ru dalam mengontrol mereka. Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak
memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut Erik
son disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa
giat dan rajin maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan kelembaman. M
ereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan masalah-masalah in
ferioritas . Maksud dari pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil p
ada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam tahap
ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karat
eristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikemba
ngkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.
Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap s
ebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan memperg
unakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada aturan
yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal dengan istil
ah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu mengerjakan segala sesua
tu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentuk
an untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan
hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebab
kan relasi dengan orang lain menjadi terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal d
engan istilah formalism.
Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa pube
r dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Pencapaian identitas pribadi dan meng
hindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap
ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, ka
rena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengert
iannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara ses
eorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tida
k hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat yang ada dal
am lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelum
nya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi di masa ka
nak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara aku, sehingga pada tahap i
ni mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi
kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain, selain itu juga anak pada jen
jang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang
lain. Semuanya itu terjadi karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya
. Identitas ego merupakan kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan eg
o sintesis. Dalam arti kata yang lain pencarian identitas ego telah dijalani sej
ak berada dalam tahap pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/t
ua. Oleh karena itu, salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila taha
p-tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, di
sebabkan anak tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya diteng
ah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity
confusion atau kekacauan identitas.
Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingka
n dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleran
si terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut
maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatis
isme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebal
iknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego mak
a Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memili
ki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat ak
ibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari
kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima d
an mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini
, jikalau antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara
seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup be
rdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekuran
gan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya. Ritualisasi yang nampak dalam tahap ado
lesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.
Keintiman vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memas
uki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 ta
hun. Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang la
in dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan a
danya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pa
caran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain
. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti ada
nya kerja sama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan
memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai
kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tum
buh sifat merasa terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif ya
ng muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terl
alu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan mer
asa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahaba
t, tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara d
ari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecender
ungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan
masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk da
ri kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan denga
n seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teoriny
a, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan ke
angkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini t
idak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua
, tetangga, sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada tahan ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afil
isiasi menunjukkan suatu sikap yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempert
ahankan cinta yang dibangun dengan sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan el
itisme menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap
orang lain.
Generativitas vs Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh oran
g-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Apabila pada tahap pertama samp
ai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa in
i dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimban
gan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa
(stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adala
h kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan dapa
t dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda
dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang da
pat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka tida
k punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah
penolakan, di mana seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan
kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya
kurang mendapat sambutan yang baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara ge
nerativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yait
u kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme.
Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyen
angkan antara orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. S
edangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang le
bih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan y
ang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewa
sa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan.
Integritas vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki ole
h orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Dalam teori Erikson, oran
g yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap s
ebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berup
aya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang sulit
dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa ter
asing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja dianggap tidak
dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat diatasi
jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi dalam teori Erikso
n terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan ole
h karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap in
i akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang
mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat. Kecenderungan terjadinya
integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan maladapti
f yang biasa disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghada
pi kesulitan dan kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan
lebih kuat dibandingkan dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut
dengan sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah da
n menyesali kehidupan sendiri.
Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan kecemasan itulah yang ingin
dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.
PENUTUP
Pada dasarnya pusat dari perumusan konsep Erikson meliputi beberapa bagian yang
dianggap memiliki aspek penting seiring berjalannya roda dalam kehidupan manusia
yaitu :
1. Identitas ego yang menurut Erikson berarti bahwa perkembangan setiap indiv
idu adalah di dalam kerangka lingkungan dan budaya di mana setiap individu dapat
menemukan dirinya yang sebenarnya.
2. Langkah-langkah guna mengembangkan psikososial yang epigenetik. Pada awaln
ya teori Erikson bermula dari teori Freud mengenai psikoseksual namun kemudian d
ikembangkan oleh Erikson ke luar dari pendapat tersebut dengan mempertimbangkan
perkembangan ego dalam konteks psikososial.
3. Perkembangan hidup manusia pada dasarnya berawal atau beredar dari masa ba
yi sampai masa usia senja/tua sesuai dengan delapan tahap perkembangan yang dike
mukakan oleh Erikson.
4. Kekuatan ego, yang menandai masing-masing delapan langkah-langkah perkemba
ngan manusia adalah kebaikan seperti harapan, akan tujuan dan kebijaksanaan (Chr
istopher F.Monte, Beneath The Mask an Introduction of Theories of Personality).
Sigmund Freud
B. Teori Kepribadian
Dalam mencoba memahami sistem kepribadian manusia, Frued membangun model kepriba
dian yang saling berhubungan dan menimbulkan ketegangan satu sama lain. Konflik
dasar dari tiga sistem kepribadian tersebut menciptakan energi psikis individu.
Energi dasar ini menjadi kebutuhan instink individu yang menuntut pemuasan.
Tiga sistem tersebut adalah id, ego dan superego. Meskipun memiliki ciri-ciri, p
rinsip kerja, fungsi dan sifat yang berbeda, ketiga sistem ini merupakan satu ti
m yang saling bekerja sama dalam memengaruhi prilaku manusia.
Id adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, dimana si
stem kerjanya dengan prinsip kesenangan pleasure principle , mencari pemuasan seger
a impuls biologi..
Ego adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, dimana sistem ker
janya pada dunia luar untuk menilai realita, menunda pemuasan sampai bisa dicapa
i dengan cara diterima masyarakat dan berhubungan dengan dunia dalam untuk menga
tur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego.
Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filte
r dari sensor baik- buruk, salah- benar, boleh- tidak (hati nurani;suara hati) s
esuatu yang dilakukan oleh dorongan ego. Jadi, jelas bahwa dalam dalam teori psi
koanalisis Frued, ego ini harus menghadapi konflik antara id ( yang berisi nalur
i, seksual dan agresif yang selalu minta disalurkan).
Menurut S. Hall dan Lindzey, dalam Sumadi Suryabarata, cara kerja masing-masing
struktur dalam pembentukan kepribadian adalah: (1) apabila rasa id-nya menguasai
sebahagian besar energi psikis itu, maka pribadinya akan bertindak primitif, im
plusif dan agresif dan ia akan mengubar impuls-impuls primitifnya, (2) apabila r
asa ego-nya menguasai sebagian besar energi psikis itu, maka pribadinya bertinda
k dengan cara-cara yang realistik, logis, dan rasional, dan (3) apabila rasa sup
er ego-nya menguasai sebagian besar energi psikis itu, maka pribadinya akan bert
indak pada hal-hal yang bersifat moralitas, mengejar hal-hal yang sempurna yang
kadang-kadang irrasional. Jadi untuk lebih jelasnya sistem kerja ketiga struktur
kepribadian manusia tersebut adalah:
Pertama, Id merupakan sistem kepribadian yang orisinil, dimana ketika manusia it
u dilahirkan ia hanya memiliki Id saja, karena ia merupakan sumber utama dari en
ergi psikis dan tempat timbulnya instink. Id tidak memiliki organisasi, buta, da
n banyak tuntutan dengan selalu memaksakan kehendaknya. Seperti yang ditegaskan
oleh A. Supratika, bahwa aktivitas Id dikendalikan oleh prinsip kenikmatan dan p
roses primer.
Kedua, Ego mengadakan kontak dengan dunia realitas yang ada di luar dirinya. Di
sini ego berperan sebagai eksekutif yang memerintah, mengatur dan mengendalikan ke
pribadian, sehingga prosesnya persis seperti polisi lalulintas yang selalu mengont
rol jalannya id, super- ego dan dunia luar. Ia bertindak sebagai penengah antara
instink dengan dunia di sekelilingnya. Ego ini muncul disebabkan oleh kebutuhan
-kebutuhan dari suatu organisme, seperti manusia lapar butuh makan. Jadi lapar a
dalah kerja Id dan yang memutuskan untuk mencari dan mendapatkan serta melaksana
kan itu adalah kerja ego.
Sedangkan yang ketiga, superego adalah yang memegang keadilan atau sebagai filte
r dari kedua sistem kepribadian, sehingga tahu benar-salah, baik-buruk, boleh-ti
dak dan sebagainya. Di sini superego bertindak sebagai sesuatu yang ideal, yang
sesuai dengan norma-norma moral masyarakat.