You are on page 1of 7

‫ربَّنا وَال جتعلنَا من الذين فزَّقُوا دِينَهم وَكانُوا شِ َيعّا كُلُّ حِزِبٍ ِبمَا َلدَيِ ِهمِ فَزِحُون‬

MEWASPADAI GERAKAN POLITIK ISLAM RADIKAL


HIZBUT TAHRIR INDONESIA

Kalimatu al-Haq, uridu biha al-bathil (kalimatnya benar, tetapi digunakan


untuk tujuan yang tidak benar), pepatah itu mungkin dapat mewakili
penjelasan terhadap maraknya fikrah (pemikiran) dan harakah (gerakan) yang
mengatasnamakan Islam. Salah satunya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
kelompok Islam garis keras yang saat ini sedang mempropagandakan paham
ajarannya kepada masyarakat, termasuk warga NU hingga ke desa-desa.
Bagaimana gerakan ini muncul dan didirikan? Apa misi yang diembannya, serta
apa saja penyimpangan yang harus diwaspadai? Tulisan ini dimaksudkan
sebagai pembinaan internal terkait pembentengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
terhadap warga dan pengurus Nadhlatul Ulama’.
Hizbut Tahrir Indonesia merupakan bagian dari jaringan internasional
Hizbut Tahrir yang didirikan pada tahun 1953 di Jerussalem. Pendirinya adalah
Taqiyuddin Al-Nabhani bersama para koleganya yang merupakan sempalan
dari organisasi Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir. Al-Nabhani sendiri
adalah lulusan Al-Azhar Mesir yang berprofesi sebagai guru sekolah agama dan
hakim. Ia berasal dari Ijzim, Palestina Utara.
Hizbut Tahrir menghabiskan dirinya sebagai partai politik dengan Islam
sebagai ideologinya dan kebangkitan bangsa Islam sebagai tujuannya.
Meskipun selalu mengusung nama Islam, syari’ah dan dakwah, namun secara
tegas, mereka mengatakan bukan sebagai organisasi kerohanian (seperti
Jam’iyyah Thoriqoh), bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan dan
bukan pula lembaga sosial kemasyarakatan (Brosur HTI: Mengenal Gerakan
Dakwah Internasional Hizbut Tahrir, DPP HTI, Jakarta, 2007). Hal ini jelas
berbeda dengan Nahdlatul Ulama yang ditegaskan sebagai Jam’iyyah Diniyyah
Ijtima’iyyah (organisasi keagamaan-kemasyarakatan) dan bukan organisasi
politik.
Sistem keanggotaan merupakan ciri khas dari organisasi ini. Untuk
mencapai tujuannya, para pemimpin organisasi ini mengambil bahan-bahan
ideologis, yang mengikat anggotanya. Pada pelajar sekolah menengah,
mahasiswa, serta para sarjana mendominasi latar belakang anggota organisasi
ini. Namun tahun-tahun belakangan, organisasi ini telah menyebarkan target
rekruitmen anggota ke masyarakat umum, khususnya pedesaan, termasuk
kepada anggota dan warga Nahdlatul Ulama’.
Modus penyebaran dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan
pengenalan, penyebaran dan pembai’atan (indoktrinasi) ide-ide dan pemikiran
Hizbut Tahrir kepada masyarakat umum. Untuk menyebarkan itu, mereka giat
mencetak dan menyebarkan media informasi yang dibagikan secara gratis dan
berkala sebagaimana Buletin Dakwah Al-Islam yang disebarkan ke masjid-
masjid, organisasi keagamaan dan tokoh-tokoh masyarakat. Mereka juga
mengadakan kajian (halaqah) di masjid-masjid yang sudah berhasil ‘dikuasai’
dengan menampilkan tema-tema yang sekilas luhur sebagamana Khilafah
Islamiyah, Penjajahan Bangsa Melalui Perempuan, dan sebagainya.
Selain itu, mereka aktif merekrut kader-kader militan yang tersebar
hingga di kecamatan bahkan desa sebagai ‘agen’ penyebaran ide baik melalui
pamflet, bulletin dan majalah maupun penjelasan langsung door to door.
Mereka juga memiliki media umum, sebagaimana majalah bulanan Al Wa’ie,
hingga situs internet www.hizbut-tahrir.or.id dan www.al-islam.or.id. Dalam
media-media mereka, kerap mengusung slogan-slogan indah, sebagaimana
dakwah Islam, khilafah Islamiyah, Kembali ke Syari’at Islam dan Menerapkan
Islam Secara Menyeluruh (Islam Kaffah). Dengan berbungkus slogan tersebut,
ternyata mereka banyak menuai simpati, khususnya dari warga yang tidak teliti
melihat gerakan ini.

GERAKAN ISLAM POLITIK-RADIKAL


Hizbut Tahrir adalah salah satu di antara paket fikrah (pemikiran) dan
harakah (gerakan) Islamiyah mutakhir luar negeri yang masuk ke Indonesia
dalam kurun dasa warsa terakhir. Dari gerakannya, jelas sekali mereka muncul
dan terbentuk dari situasi politik dan perkembangan Islam di Timur Tengah,
khususnya konflik Arab-Israel serta semangat anti Barat dan Amerika.
Ketertindasan Islam di daerah konflik timur tengah khususnya di Palestina
cukup mendorong mereka untuk membentuk pemerintahan islam
internasional, yang sering disebut dengan istilah Khilafah Internasional.
Dengan asumsi tersebut, maka seluruh umat Islam di seluruh dunia harus
dimobilisasi untuk mendukung khilafah yang nantinya akan dipimpin oleh
khalifah yang akan diangkat sebagai pemimpin Islam.
Mereka menganggap kaum muslimin saat ini hidup di alam Darul Kufur
(Negeri Kafir) hanya karena diterapkannya hukum-hukum Negara yang tidak
berdasarkan Islam. Kondisi ini mereka rumuskan dengan cara menganalogkan
secara sempit dengan periode Nabi SAW ketika di Makkah. Sebagai contoh,
untuk Indonesia, mereka menganggap UUD 1945 dan Pancasila sebagai bagian
dari hukum-hukum kufur yang oleh karena itu harus diganti, baik konstitusi
dan Dasar Negara maupun pemerintahannya.
Misi inilah yang berlawanan dengan Nahdlatul Ulama’ sebagai jam’iyyah
yang telah berhasil mengislamkan Indonesia sejak era walisongo. Dakwah NU
lebih mengarah kepada pelaksanaan syari’at Islam bagi warganya dan dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Lihat Maklumat
Nahdlatul Ulama Keputusan Konferensi Besar NU Tahun 2006). Bahkan melalui
Muktamar NU pada tahun 1935 di Banjarmasin, NU telah menyatakan
Indonesia (yang waktu itu masih dikuasai oleh penjajahan Belanda) sebagai
Darul Islam (Negara yang dihuni oleh ummat Islam) dimana ada kebebasan
bagi warganya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan aturan syari’at Islam,
tanpa harus mempermasalahkan struktur negara.
Sebaliknya, pandangan radikal Hizbut Tahrir memaksa mereka untuk
selalu memandang struktur Negara (politik) sebagai tujuan. untuk
merealisasikan misinya, mereka menetapkan tiga tahapan yang bila diamati
dapat dikatagorikan sebagai sebuah gerakan kudeta berbungkus Islam
terhadap pemerintahan yang sah. Dimulai dengan tahapan pembinaan dan
pengkaderan (Marhalah At-Tatsqib) yang diambil dari mereka para
simpatisannya, kemudian dilanjutkan tahapan berinteraksi dengan
ummat(Marhalah Tafa’ul Ma’al Ummah). Kalau dua tahap itu berhasil mereka
lampaui, barulah disiapkan tahapan ketiga, yakni pengambilalihan kekuasaan
(kudeta), yang dikemas dalam bahasa Marhalah Istilam Al-Hukm. Jelas sekali,
organisasi ini murni organisasi politik yang berorientasi kepada kekuasaan
(walaupun dikemas dengan tema khilafah Islamiyah) sehingga tidak dapat
disejajarkan dengan Jam’iyah Diniyyah Ijtima’iyyah sebagaimana Nahdlatul
Ulama’.

PENYIMPANGAN AJARAN DAN AQIDAH


Untuk mendukung misi politiknya, maka Hizbut Tahrir menggunakan
pemahaman syar’i yang dapat mendukung membenarkan langkah-langkah
politiknya. Salah satunya, mereka selalu mendesak kaum Muslim untuk
berijtihad dalam mengkaji syari’at secara terus menerus. Mereka juga
meniadakan semua bentuk ijma’ (konsensus) kecuali ijma’ para sahabat Nabi
saw, dan menolak illat (alasan rasional) sebagai dasar bagi qiyas (analog).
Publikasi utama organisasi ini antara lain adalah Al-Takattu al-Hizbi
(Formasi Partai), Al-Syakhsiyah al-Islamiyah (Cara Hidup Islam), Nidhom al-
Islam (Tatanan Islam), Mafahim Hizbu al-Tahrir (Konsep-Konsep
Partai/Organisasi Pembebasan Islam), Nidhomu al-Hukmi fi al-Islam (Sistem
Pemerintahan Dalam Islam), Nadharat Siyasiyah li Hizbi al-Tahrir (Refleksi-
Refleksi Politis Partai Pembebasan Islam), dan Kaifa Hudimat al-Khilafah
(Bagaimana Kekhilafahan Dihancurkan).
Menurut kesaksian seorang ulama’ Ahlus sunnah wal jama’ah, yakni Syech
Muhamad Abdullah al-Syiby al-Ma’ruf bi al-Habasyi dalam kitabnya Al-’Aroh al-
Imaniyah fi Mafasid al-Tahririyah, dikatakan pendiri organisasi ini telah
mengaku sebagai mujtahid mutlak dan melakukan penyelewengan terhadap
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, serta mengingkari ijma’ di berbagai persoalan
pokok agama dan persoalan furu’ agama.
Syech Muhammad juga dapat membuktikan beberapa kebathilan aqidah
Hizbut Tahrir dari sisi ajaran dengan mengutip kitab mereka, yakni Kitab
Syakhsiyah Islamiyah. Dalam juz l hal 71-72, disebutkan: Dan semua perbuatan
manusia ini tidak ada campur tangan qodlo’ (kepastian) Allah. Karena setiap
manusia dapat menentukan kemauan dan keinginannya sendiri”. Lebih lanjut
pada halaman 74 tertulis: “Maka mengkaitkan pahala atau siksa Allah dengan
hidayah atau kesesatan menunjukkan bahwa hidayah atau kesesatan adalah
perbuatan manusia sendiri bukan dari Allah swt “.
Pendapat sebagaimana dalam kitab mereka merupakan pendapat kaum
Qodariyah. Sementara Qadariyah adalah salah satu firqah yang menyimpang
dari ajaran Ahlussunnah wal jama’ah, karena bertentangan dengan al-Qur’an
dan hadits.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, sesungguhnya beliau berkata:
“Sesungguhnya perkataan kaum Qodariyah adalah kufur.”
Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan Imam Malik bin Anas dan
Imam Awza’I: “Sesungguhnya mereka itu diminta untuk bertobat, jika tidak
mau maka dibunuh.”
Diriwayatkan dari Ma’mar, dari Thowus, dari ayahnya: Sesungguhnya
seorang laki-laki telah berkata kepada Ibnu Abbas: “Banyak orang mengatakan
perbuatan buruk bukan dengan qodar (kepastian) Allah swt.” Maka Ibnu Abbas
menjawab: “Yang membedakan aku dengan pengikut Qodariyah adalah ayat
ini: (sambil membacakan Al Qur’an Surat Al An’am ayat 149, yang artinya)
“Katakanlah: Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia
menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya”.
Hizbut Tahrir juga tercatat pernah berfatwa tentang pergaulan yang
bertentangan dengan konsep makarimal akhlaq. Dalam salah satu edaran
fatwanya, tahun 1969 mereka menulis: “Tidak haram hukumnya berjalan
dengan tujuan akan berzina atau berbuat mesum dengan seseorang. Yang
tergolong maksiyat adalah perbuatannya”.
Selanjutnya, dalam edaran fatwa Hizbut Tahrir tertanggal 24 Rabi’ul awal
1390 H, pemimpin mereka menghalalkan berciuman meskipun disertai
dengan syahwat. Sementara Dalam edaran fatwa tanggal 8 Muharam 1390 H,
ditulis: “Dan barang siapa mencium orang yang baru tiba dari bepergian, baik
laki-laki atau perempuan, serta tidak untuk bermaksud melakukan tujuan
zina, maka hukumnya adalah halal”.
Bukan itu saja, dalam hal penetapan hokum syar’i, mereka cenderung
ceroboh dan menganggap enteng. Dalam kitab Al-Tafkir hal. 149, dijelaskan:
“Sesungguhnya apabila seseorang mampu menggali hukum dari
sumbernya, maka telah menjadi mujtahid. Oleh karenaya, maka menggali
hukum atau ijtihad dimungkinkan bagi siapapun, dan mudah bagi siapaun,
apalagi setelah mempunyai beberapa kitab lughot (tata bahasa arab) dan fiqh
Islam”. Perkataan ini mengesankan terbukanya kemungkinan untuk berijtihad
meskipun dengan modal pengetahuan yang sedikit.

sumber Asli klik tautan ini http://www.solusiummat.org/2010/01/mewaspadai-gerakan-


politik-islam-radikal-hizbut-tahrir-indonesia/ )

You might also like