You are on page 1of 8

Ufuk Senja

Kata-kata itu seperti menusuk telingaku dan membakar sulur nadiku. Lebih
terbakar lagi bersama segelas arak yang kutenggak. Mana mungkin itu terjadi??? Aku
tak percaya. Tapi semua orang telah menjadi saksi atas peristiwa itu. Semua orang
mengelilingiku dan mengatakan hal yang sama. Hal yang tiba-tiba saja membuatku
takut.
"Ayahku pulang!!!"
Pak Nur, tetangga sebelah rumahku yang mengatakannya. Dengan terburu-buru
dia mencariku di warung cak Dan yang berjarak cukup jauh dari rumahku, tempat
dimana biasanya aku menenggak air neraka. Sekitar 5 km jaraknya. Dia tidak datang
sendiri, istrinyapun ikut mencariku. Bahkan pak Hadi, yang rumahnya berada di
belakang rumah pak Nur pun sampai ikut ingin mengabarkan berita itu. Dengan
sedikit gugup mereka mengatakan hal itu padaku.
“Dari kemarin lusa ibumu mencari, tapi kamu belum juga pulang. Handphone-mu
juga sedang tak aktif. Untung saja Toni bilang kalau kamu biasanya nongkrong disini.
Jadi kami langsung kemari.” Pak Nur berkata dengan sedikit tergagap. “ Ayahmu
sekarang sudah pulang!” Dia sedikit kegirangan.
Sudah 22 tahun sejak aku dan ibuku hanya tinggal berdua saja. Ayahku pergi
berlayar kata ibu, hingga saat ini baru kudengar lagi kabarnya. Gembira, sekaligus
takut dan juga marah karena aku merasa ditelantarkan sejak usiaku baru menginjak
setahun. Kenapa dia tiba-tiba saja pulang? Apa dia mau minta maaf kepadaku dan
ibu? Jika saja dengan maaf kesalahan seseorang akan tertebus, mungkin semua orang
akan menjadi penjahat. Mudah sekali dia datang dan ingin meminta maaf. Dia tidak
tahu sama sekali penderitaan apa yang kami alami.
Sepeninggal ayahku, ibu yang menjadi tulang punggung keluarga. Dengan sedikit
ketrampilan yang dia miliki, dia bekerja sendiri untuk menghidupi keluarga. Mulai
dari menjahit sampai membuat kue-pun ia lakukan. Sehari biasanya ibu hanya
melayani satu sampai dua pesanan kue. Malam harinya ibu menjahit baju yang sudah
dititipkan selama sehari. Ibu tidak mengambil untung yang terlalu banyak, yang
penting cukup untuk makan sehari-hari. Ketika aku masuk sekolah SMA, pekerjaan
ibu semakin menumpuk. Biasanya dalam seminggu hanya 2-3 baju yang dijahitnya
kali ini ia menjahit 5-8 baju seminggu. Dari pagi aku berangkat sekolah, hingga larut
malam ia tak lepas dari pekerjaan. Rp200.000 per minggu. Ia membutuhkan biaya
yang tidak sedikit untuk menyekolahkanku. Rp. 50.000,- per bulan untuk spp, belum
lagi uang buku yang selalu diberikan oleh guruku setiap minggunya. Padahal buku itu
bias digunakan sampai cawu (catur wulan/empat bulan) berikutnya. Mungkin para
guru di sekolah itu mencari untung dari berjualan buku. Serakah. " maklumlah, itu
kan memang sekolah elit. wajar saja kalau spp-nya mahal, bukunya juga banyak. yang
penting kamu bisa belajar dengan maksimal." ibuku selalu bilang. Pengorbanan yang
luar biasa dari seorang manusia biasa.
setiap pagi sebelum aku bangun, ibu sudah terbangun. dia selalu menunggu
matahari dengan sholat dan mengaji. kemudian masak dan membangunkanku. Sore
hari sebelum ufuk senja hilang, ibu juga sering terlihat sedang mengaji. Pernah sekali
aku bertanya padanya " bu, kenapa ibu sering sekali mengaji?" dia hanya menjawab
dengan senyuman saja. ketika aku bertanya lagi," apakah ibu mengaji untuk ayah?"
raut wajahnya pun langsung berubah dan dia lebih banyak menghindar." ayahmu
sedang berlayar." dia bilang sambil berbenah. Kami ber-dua sudah menganggap ayah
tiada ditelan oleh gelombang tsunami yang terjadi waktu itu.
Aku tidak pernah ingat dengan sosok ayahku. Yang ada hanya dua sosok
bersanding di pelaminan yang sudah terlihat buram pada foto hitam putih yang
dipajang di ruang tamu kami. Bahkan wajahnyapun tak jelas. itukah ayahku? sayang
sekali ibu tak memiliki foto lain yang menggambarkan wajah ayah. Kata orang-orang,
ayahku memiliki badan yang tegap, kulitnya putih, dan dia berkumis. dia tak pernah
membiarkan rambut panjangnya dipotong. Lebih mirip seorang yang tak mau diatur
menurutku. Orang-orang selalu bilang jika ayahku adalah seorang yang pemberani
dan jujur. Dia tak mau ditindas oleh orang lain. Karenanya ketika dia menjadi seorang
kapten kapal, dia berkata kepada para ABK-nya untuk menegur ayahku jika saja dia
melakukan kesalahan dan berpesan kepada mereka agar jangan mau untuk ditindas.
Hanya budaklah yang diam saja ketika ditindas. Ayah juga adalah orang yang
memilki disiplin yang tinggi. Jika dia berkata akan berangkat pukul 9, maka dia akan
berangkat tepat pada pukul sembilan. Setidaknya itulah ayahku mnurut versi dari
beberapa orang yang pernah mengenalnya.
Aku, mulai dari tiga hari kemarin tidak pulang menemui ibu. Aku takut ibu
kecewa karena aku sudah dikeluarkan dari perusahaan tempatku bekerja. Sulit untuk
memberitahukan hal ini kepada ibu. Semenjak setahun yang lalu aku melarang ibu
untuk bekerja terlalu keras, karena aku sudah memiliki pekerjaan. Gajinya cukup
untuk membayar cicilan utang ibuku kepada pihak bank.
Ketika aku masuk bangku kuliah, pesanan kue dan menjahit pada ibu mulai sepi.
Sehingga untuk membayar spp, ibuku terpaksa hutang di salah satu bank dengan
jaminan rumah kecil kami. Jika saja dia berkata padaku terlebih dahulu, tentu saja aku
akan memutuskan untuk berhenti kuliah saja. Sebab, beasiswapun sulit untuk
didapatkan disini. "Jika kamu tidak mengenal baik lek Tomin, jangan harap kamu
akan mendapatkan beasiswa." itu sentilan seniorku yang sering kudengar saat ada
pengumuman tentang beasiswa ditempel. Lek Tomin adalah kepala bagian
kemahasiswaan yang diberi tanggung jawab untuk menyeleksi siapa saja yang berhak
untuk mendapatkan beasiswa. Dan itu memang terjadi padaku. Entah mungkin aku
tidak mengenal baik orang itu, atau mungkin ada anak lain yang membutuhkan
beasiswa lebih daripada aku. Aku tidak pernah mendapatkan beasiswa.
Sekali lagi yang membuat aku semakin benci terhadap sistem di negeri ini.
KOLUSI. Ketika uang beasiswa dibagikan, seorang anak yang lebih mampu dari
mahasiswa yang lain, mendapatkan beasiswa yang dikhususkan bagi yang mahasiswa
kurang mampu. Memang dia adalah anak yang dikenal oleh banyak orang di Fakultas
ini. Tapi itu bukan sebuah alasan untuk mendapatkan apa yang bukan “hak-nya”.
Ketika dia dan teman-temannya berkumpul di kantin, bergelas susu hangat dan
beberapa piring makanan tersedia memadati meja. Menari dia atas penderitaan orang
lain. Mungkin itu pepatah yang tepat untuknya.
Daripada harus mengikuti kebobrokan sistem disini, aku lebih memilih untuk
bekerja dan tidak membiarkan biaya kuliahku ditanggung oleh ibuku sendiri. salah
satu perusahaan pengiriman barang dan travel menjadi pilihanku saat itu. akhirnya
setelah lulus aku diterima menjadi pegawai tetap di sana. tetapi kemarin, ketika aku
masuk kantor pagi hari, atasanku datang dan memberikan sebuah amplop.
Aku dipecat!
“Mas budi, kemarin ada yang bilang kalau mas Budi ternyata suka mengkonsumsi
alkohol, saya takut itu nanti akan menghambat pekerjaan mas disini, dan itu pasti
akan berefek pada perusahaan dan pekerja yang lain. Karenanya saya sudah
menggantikan mas Budi dengan orang lain. Saya harap mas bisa mendapatkan
pekerjaan yang lebih layak di tempat lain.” Atasanku berkata padaku. Sebuah alasan
yang tidak masuk akal disuguhkan pada surat itu. Setidaknya menurutku. Ingin
kusumpal mulut orang itu dengan surat yang ia suguhkan. Tapi aku lebih memilih
untuk diam dan menahan emosiku.
Bagaimana nanti jika ibu tahu aku tidak bekerja lagi! Apa aku harus memeras
keringat orang yang sudah bekerja separuh hidupnya demi seorang anak yang belum
berguna ini ? aku takut mengatakannya kepada ibu. Daripada membuat ibu bersedih
mendengarkan aku berkeluh kesah, aku memilih untuk berbohong padanya dan tidak
pulang rumah sementara sampai aku mendapatkan pekerjaan." aku sedang ada rapat
bu, aku belum bisa pulang." ibu hanya bisa menarik nafas panjang dan memberi
pesan, " jangan lupa sholat, dan jaga kesehatanmu le." Pesan yang sederhana tapi
sering terlupakan.
Selama tiga hari ini, setiap paginya aku datang dari kantor ke kantor. Melamar
sebuah tempat di tengah jarring-jaring kapitalisme. Yang besar selalu benar, yang tua
pasti punya kuasa, dan yang ber-uang pasti menang. Malam harinya aku pergi ke
warung cak Dan sekedar untuk menghilangkan suntukku selama sehari tadi.
*****
Sampai pintu pagar, jantungku berdegup lebih kencang. Rasanya seperti gemuruh
saat badai. Tidak, seperti gunung yang meletus. Bukan juga, ini seperti aku disuruh
memilih antara dua pilihan yang akan menentukan hidupku nanti. Bingung mau
menentukan. Semuanya sama-sama salah, dua-duanya juga bisa menjadi benar.
Langkahku masih terhenti di depan pintu pagar. Matahari sudah hamper sampai di
peraduannya. Jingga sore itu mewarnai hatiku yang kacau.
“Kriiiiek!” Suara pintu pagar yang terbuat dari kayu dan sudah berumur lebih dari
sepuluh tahun. Tanganku masih enggan untuk melepas daun pintu pagar itu. Ada yang
ingin pergi dari tempat itu, tapi ada pula yang menarikku supaya aku terus melangkah
dan menyambut tamu yang baru saja datang. Ah, tak ada salahnya kusambut ia. Toh
aku juga ingin tahu, seperti apa muka ayahku. Apakah memang benar dia seorang
yang gagah seperti yang dibicarakan oleh orang-orang? Apakah wajahnya mirip
dengan wajahku? Apa ia masih memelihara kumisnya? Apa dia masih berambut
panjang? Pertanyaan itu timbul melayang-layang di otakku.
“Assalamualaikum” tiba-tiba saja aku sudah berada di depan pintu rumah.
Seorang gadis kecil membukakan pintu. Kira-kira dia berumur lima tahun. Ibuku
menyusul di belakangnya. Tak luput juga “Ayahku”. “wa alaikum salam” jawab anak
itu. “ Ayah, ibu, ada tamu”. Ibuku buru-buru menjawab ”itu masmu Ziz, namanya
Budi. Panggil aja mas Budi”.
“Yah, ini anak kita. Sudah besar kan.” Seraya ibu menggaet tangan lelaki yang
ada di belakangnya.
“Budi!” lelaki itu berkata. Terlihat jelas di matanya ada sekumpulan Kristal-kristal
air mata. Entah itu air mata palsu atau bukan. Aku hanya terdiam. Tercengang.
Lelaki itu hampir sama sekali beda dengan yang digambarkan oleh orang-orang.
Dia bukan seorang yang terlihat tegar dan tegas. Raut wajahnya sudah dipenuhi
keriput. Matanya pun terlihat sayu. Dia bukan seorang yang gondrong. Kepalanya
hampir botak dengan ditumbuhi beberapa rambut berwarna putih. Lengannya tak
kekar seperti lengan pelaut. Kulitnyapun hitam. Dia jelas jauh beda dengan apa yang
digambarkan orang tentang ayahku.
Azizah berlari ke arah ayahnya. “ yah, apa itu masku? Kenapa dia diam saja?” dia
berkata sambil meminta digendong. “ Budi, itu ayahmu. Dia sudah pulang dari
berlayar. Jangan diam saja di depan pintu le.”
“Budi, maaf aku baru bisa pulang. Aku akan mengganti hari yang dulu hilang
sekarang. Aku tak akan pergi lagi.”
Haaah… akan mengganti? Munafik! Kenapa tidak dari dulu saja dia kembali, saat
aku butuh sosok seorang ayah sebagai panutan. Ketika ibuku harus membanting
tulang dan memeras keringatnya untuk menghidupi keluarga. Kenapa baru sekarang?
Mana kedisiplinan yang dibicarakan orang tentangnya? lebih baik aku tahu kalau dia
sudah mati saja. itu akan lebih mudah buatku untuk menerima. Tambah lagi, dia
sudah punya seorang anak. Betapa memang seorang lelaki tidak kuat menahan
syahwat! Dia tidak menghargai penderitaan dan kesetiaan ibu. “aaagghhhhh!!!!” aku
berteriak dan berlari keluar. Aku tak bisa menerima semua itu seperti ibuku yang
selalu sabar.
Gila!
Bagiku dunia ini sudah mulai gila. Bukan hanya aku dengan arak. Bukan hanya
kedatangan ayahku dengan anak”barunya”. Juga ibu yang dengan sabarnya menerima
kembali suami yang sudah lama meninggalkannya, membiarkannya hidup dalam
kesusahan, dan sekarang, setelah 22 tahun dia datang dengan seorang gadis kecil di
pangkuannya. Aku memilih untuk pergi. Entah sementara atau untuk selamanya.
Yang pasti, saat ini aku masih belum bias menerima kenyataan hidupku.
*****
Genap sebulan aku tak pulang menjenguk ibu, ayah dan adik baruku. Mungkin
Tuhan masih menyayangiku, aku sudah mendapatkan pekerjaan lain berbekal ijazah
dari FKIP. Menjadi seorang guru ternyata tidak mudah. Aku harus tahu bagaimana
cara berpikir para siswaku. Aku juga harus paham bahwa tidak semua siswaku
memiliki tingkat kecerdasan yang sama. Sebagai seorang guru di sekolah swasta, aku
dituntut untuk lebih disiplin terhadap waktu. Seorang guru lain yang lebih tua dariku
berkata, “ Jika kita ingin merubah suatu bangsa, maka kita harus merubah pola pikir
masyarakatnya. Jika kita ingin merubah pola pikir masyarakat, maka kita harus
memulainya dari sekolah. Jangan jadikan sekolah hanya sebagai tempat mencari nilai
dan prestasi. Tapi jadikan sekolah sebagai tempat untuk membuat orang selalu
tergerak untuk belajar.” Ada benarnya juga menurutku. Untuk saat ini, aku hanya
ingin agar anak didikku bisa memahami setiap pelajaran yang diberikan. Walaupun
dengan usaha yang keras.
Saat jam pelajaran berakhir, aku tak langsung pulang. Aku memilih untuk
berlama-lama di taman sekolah. Menikmati kesendirian. Menjadi orang yang
terbuang. Sebatang rokok menyempurnakan kesendirianku.
“Mas Budi, nggak pulang mas?” Tanya pak Amin penata kebersihan kebun
sekolah, sedikit mengagetkanku.
“Eh, belum pak. Masih ingin menikmati taman yang bapak tata kemarin. Bagus
sekali.” Jawabku sekenanya.
“Mas, maaf ya mas. Bukan bermaksud mau ikut campur. Tapi mas Budi ini
terlihat seperti orang yang punya muka dua lho.” Ujarnya dengan jujur.
“Eh…” aku sedikit kaget dengan apa yang dia ucapkan.” Maksud bapak?”
“Mas Budi waktu mengajar wajahnya cerah sekali. Waktu berkumpul dengan
orang lain juga begitu. Tapi, ketika saya melihat mas Budi sendiri, Wajah mas Budi
terlihat sayu. Sepertinya ada sebuah pikiran yang sangat berat gitu…” Pak Amin
berkata dengan lugu. “Mas, maaf ni mas, kalau menurut saya, semua masalah itu pasti
ada jalan keluarnya. Tuhan tidak menciptakan pikiran untuk diam saja ketika ada
masalah. Kalau mas Budi menganggap itu masalah kecil, maka akan jadi kecil. Kalau
dianggap sebagai masalah yang besar, maka mas Budi akan sulit menghadapinya.”
Sedikit sok tahu dari seorang lulusan sekolah dasar seperti dia. Siapapun juga
sudah tahu jika segala sesuatu pasti ada jalannya. Aku hanya menjawab untuk
menghargai dia.
“iya pak Amin.” Aku kembali terdiam. Menghisap rokokku dalam-dalam.
Kenangan pertemuan dengan ayahku sebulan kemarin terbayang di otakku.
“Pak, misalkan pak Amin punya seorang ayah, tapi kemudian ditinggal ketika pak
Amin masih umur setahun, kemudian baru sekarang pak Amin ketemu lagi dengan
ayah pak Amin. Padahal dulu perjuangan pak Amin untuk hidup sangat berat. Tiba-
tiba saja ayah pak Amin datang membawa adik baru dan mau minta maaf. Apa yang
pak Amin lakukan?”
“mas, bagaimanapun juga dia kan ayah saya toh. Mau saya marah kek, mau saya
pergi kek, yang pasti dia tetap ayah saya mas. Kewajiban seorang anak kan berbakti
kepada orangtuanya. Kalau saya sih, mungkin akan memaafkan dia. Toh dia minta
maaf, kan dosa kalau kita nggak memaafkan.”
Sejenak aku terdiam. Ada sesuatu yang terlupakan. Ada sesuatu yang terlalu
menggebu-gebu dalam diriku dan ketika itu terlepas, aku memilih untuk lari dari
hadapan ayahku. Aku lupa bahwa bagaimanapun juga aku adalah seorang anak. Apa
salahnya memberikan kesempatan kedua bagi orang yang ingin berubah.
“Mas, saya pulang dulu ya. Nanti kalau mau pulang, kuncinya ada di kantor.”
“Pak, tunggu. Saya ikut ke terminal.”
Di atas bis, aku memikirkan bagaimana caraku menyambut ayah. Dengan
pelukan, atau mencium tangannya, atau bersimpuh di kedua kakinya. Apakah aku
akan menemuinya dengan tangisan ataukah kegembiraan? Bagaimana aku akan
menghaturkan maaf pada ibu? Bagaimana aku akan memeluk si kecil adikku.
Semuanya berkecamuk dan memenuhi pikiranku. Semoga saja ibu tak marah padaku
karena aku lari begitu saja tak menghiraukan panggilannya. Semoga ayah juga tak
marah padaku. Semoga saja adikku nanti memanggilku kakak. Ah tidak lebih baik
“mas” saja. lebih enak di telingaku. Telinga orang yang hidup di budaya campuran. Di
benakku penuh sekali pengharapan-pengharapan. Penuh dengan bayangan-bayangan.
Kulihat arloji di tanganku. Pukul 17.00. Bis yang kutumpangi sampai di terminal
Tawang Alun. Akhirnya aku tiba di kota kelahiranku. Jember. Tak ada yang beda
dengan penampilan kota ini. Tak ada yang terlalu istimewa. Tapi entah, aku begitu
gembira sampai di sini. Ada sebuah euphoria dalam hatiku. Seperti perasaan kekasih
yang baru bertemu setelah sekian waktu lamanya berpisah. Seperti kegembiraan anak
kecil yang baru saja mendapatkan mainan. Di tambah lagi bayangan-bayangan
tentang bagaimana aku harus menyapa tiga orang yang ada di rumah nanti.
Sembari menunggu angkutan kota, aku menyulut sebatang rokok. Menghisapnya
perlahan. Aku masih memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menemui keluarga
“baruku”. Kulihat mentari berwarna jingga seperti wana mentari saat aku pergi dari
rumah. Tiba-tiba saja muncul perasaan bersalah kepada orangtuaku. Tak terasa tangan
mengusap air yang berlinang di pelupuk mata. Aku ingin segera bertemu dengan
mereka.
Tubuhku tergeletak di aspal seberang jalan terminal. Aku terjatuh ketika ada
seseorang yang menabrakku karena di kejar-kejar seperti seorang copet. Orang-orang
di trotoar berteriak, tapi aku tak bias mendengar mereka. Aku masih melihat langit
senja yang berwarna jingga. Aku bangun, dan tiba-tiba saja aku berada di trotoar.
Semua orang mengerumuniku. Tapi aku tak bias melihat wajah mereka dengan jelas.
Aku hanya mendengar mereka berbicara satu sama lain.
“Cepat bawa ke rumah sakit!”
“panggil ambulan!”
“Panggil pak polisi!”
Siapa yang membutuhkan rumah sakit, ambulan bahkan polisi? Aku butuh ayah,
ibu dan adikku. Bayangan keluargaku di rumah semakin terlihat jelas. Mereka
menyambutku dengan senyum hangat dan meja makan yang penuh dengan masakan.
Ibu memakai baju yang baru dibuatnya. Dia mengulurkan tangan menyambutku dan
tersenyum. Ayahku tak lagi beruban dan gundul. Rambutnya panjang sebahu hitam
lebat. Dia datang menghampiriku dan mendekapku. Azizah tersenyum dan
memanggilku, “ mas Budi!”. Menjadi sebuah keluarga yang kudambakan.
Sekarang hanya terlihat langit yang berwarna jingga. Kemudian gelap.
Aku menunggu mereka di ufuk senja.

Jember, 10-06-2010

You might also like