You are on page 1of 9

Pendidikan dan Pembangunan Ekonomi

TESIS bahwa pendidikan memberi kontribusi secara signifikan terhadap pembangunan ekonomi telah
menjadi kebenaran yang bersifat aksiomatik. Berbagai kajian akademis dan penelitian empiris telah
membuktikan keabsahan tesis itu.

Buku terakhir William Schweke, Smart Money: Education and Economic Development (2004), sekali lagi
memberi afirmasi atas tesis ilmiah para scholars terdahulu, bahwa pendidikan bukan saja akan
melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta
menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi
pertumbuhan ekonomi.

Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi
komunitas bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan
meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan
dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan
melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare
dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.

MEMASUKI abad ke-21, paradigma pembangunan yang merujuk knowledge-based economy tampak
kian dominan. Paradigma ini menegaskan tiga hal. Pertama, kemajuan ekonomi dalam banyak hal
bertumpu pada basis dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, hubungan kausalitas antara
pendidikan dan kemajuan ekonomi menjadi kian kuat dan solid. Ketiga, pendidikan menjadi penggerak
utama dinamika perkembangan ekonomi, yang mendorong proses transformasi struktural berjangka
panjang. Sebagai ilustrasi, Jepang adalah negara Asia pertama yang menjadi pelopor pembangunan
perekonomian berbasis ilmu pengetahuan. Setelah Jepang, menyusul negara-negara Asia Timur lain
seperti Singapura, China, Taiwan, Hongkong, dan Korea Selatan.

Melalui artikel ini penulis bermaksud mencermati kontribusi pendidikan terhadap pembangunan ekonomi
dengan melihat perbandingan antara Korea mewakili Asia serta Kenya dan Zimbabwe mewakili Afrika.
Pilihan tiga negara ini menarik karena semula Korea, yang secara ekonomi tertinggal, ternyata mampu
mengungguli dan kemudian meninggalkan kedua negara Afrika itu. Beberapa indikator ekonomi makro
menunjukkan perubahan amat signifikan antara ketiga negara berbeda benua itu. Yang-Ro Yoon,
seorang peneliti ekonomi Bank Dunia, dalam Effectiveness Born Out of Necessity: A Comparison of
Korean and East African Education Policies (2003), mengemukakan sejumlah temuan menarik
berdasarkan observasi di tiga negara itu. Pada dekade 1960-an GNP per kapita Korea hanya 87 dollar
AS, sementara Kenya 90 dollar AS. Memasuki dekade 1970-an GNP per kapita Korea mulai meningkat
menjadi 270 dollar AS, namun masih lebih rendah dibanding Zimbabwe yang telah mencapai 330 dollar
AS.

Indikator lain seperti gross savings rate (persentase terhadap GDP) juga menunjukkan, Korea lebih
rendah dibanding kedua negara Afrika itu. Pada pertengahan 1970-an, gross savings rate masing-masing
negara adalah: Korea 8 persen, Kenya 15 persen, dan Zimbabwe 14 persen.

Meski demikian, dalam hal pembangunan pertanian Korea relatif lebih unggul. Sektor pertanian memberi
sumbangan terhadap GDP sebesar 37 persen di Korea, 35 persen di Kenya, dan 20 persen di Zimbabwe.

Memasuki dekade 1980-an, pembangunan ekonomi di Korea berlangsung amat intensif dan pesat.
Bahkan antara periode 1980 dan 1996 dapat dikatakan sebagai masa keemasan saat negeri gingseng itu
mampu melakukan transformasi ekonomi secara fundamental. Pada tahun-tahun itu pertumbuhan
ekonomi Korea melesat jauh meninggalkan Kenya dan Zimbabwe.
Pada tahun 1996 GNP per kapita Korea telah mencapai 10,600 dollar AS (meski lalu menurun menjadi
7.980 dollar AS tahun 1998 saat terjadi krisis moneter). Sedangkan GNP per kapita Kenya dan Zimbabwe
masing-masing 320 dollar AS dan 610 dollar AS.

Perbedaan yang signifikan juga terlihat pada gross savings rate yakni 36 persen di Korea, 12 persen di
Kenya, dan 17 persen di Zimbabwe. Pertumbuhan ekonomi Korea yang mengesankan ini terkait
keberhasilan dalam menurunkan angka pertumbuhan penduduk selama tiga dekade: dari 2,7 persen
tahun 1962 menjadi 0,9 persen pada 1993.

Sementara pertumbuhan penduduk di Kenya justru meningkat dari 3,2 persen tahun 1965 menjadi 4,2
persen tahun 1980, meski kemudian menurun menjadi 2,6 persen pada tahun 1995.

TIDAK diragukan lagi, salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi di Korea adalah komitmen
yang kuat dalam membangun pendidikan. Berbagai studi menunjukkan, basis pendidikan di Korea
memang amat kokoh. Pemerintah Korea mengambil langkah-langkah ekspansif antara 1960-an dan
1990-an guna memperluas akses pendidikan bagi segenap warga negara. Program wajib belajar
pendidikan dasar (universal basic education) sudah dilaksanakan sejak lama dan berhasil dituntaskan
tahun 1965, sementara Indonesia baru mulai tahun 1984. Sedangkan wajib belajar jenjang SLTP berhasil
dicapai tahun 1980-an; dan jenjang SLTA juga hampir bersifat universal pada periode yang sama. Yang
menakjubkan, pada jenjang pendidikan tinggi juga mengalami ekspansi besar-besaran; lebih dari
setengah anak-anak usia sekolah pada level ini telah memasuki perguruan tinggi.

Komitmen Pemerintah Korea terhadap pembangunan pendidikan itu tercermin pada public expenditure.
Pada tahun 1959, anggaran untuk pendidikan mencapai 15 persen dari total belanja negara, guna
mendukung universal basic education dan terus meningkat secara reguler menjadi 23 persen tahun 1971.
Setelah program ini sukses, Pemerintah Korea mulai menurunkan anggaran pendidikan pada kisaran
antara 14 sampai 17 persen dari total belanja negara atau sekitar 2,2 sampai 4,4 persen dari GNP.
Menyadari bahwa pendidikan dasar merupakan bagian dari public good, tercermin pada social return
lebih tinggi dibanding private return, maka Pemerintah Korea mengalokasikan anggaran untuk pendidikan
dasar jauh lebih besar dibanding level menengah dan tinggi.

Penting dicatat, selain faktor basis pendidikan yang lebih kuat, kelas menengah ekonomi di Korea juga
terbentuk dengan baik dan mapan. Pada dekade antara 1960-an dan 1980-an, kalangan pengusaha
Korea telah membangun hubungan dagang dan membuka akses pasar ke negara-negara kawasan
seperti Jepang, bahkan telah menyeberang ke Amerika dan Eropa.

Korea sukses melakukan inovasi teknologi (otomotif dan elektronik) karena memperoleh transfer
teknologi melalui hubungan dagang dengan negara-negara maju tersebut.

Bercermin pada pengalaman Korea, Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah strategis
dalam upaya membangun pendidikan nasional. Investasi di bidang pendidikan secara nyata berhasil
mendorong kemajuan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan sosial.

Untuk itu, investasi di bidang pendidikan harus didukung pembiayaan memadai, terutama yang
diperuntukkan bagi penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Mengikuti
agenda Millenium Development Goals (MDGs), tahun 2015 Pemerintah Indonesia harus menjamin
bahwa seluruh anak usia sekolah dasar akan memperoleh pendidikan dasar.

Bersamaan dengan itu, akses ke pendidikan menengah dan pendidikan tinggi juga harus diperluas, guna
mendukung upaya menciptakan knowledge society yang menjadi basis akselerasi pembangunan
ekonomi di masa depan.
Pendidikan dan Pembangunan Ekonomi
TESIS bahwa pendidikan memberi kontribusi secara signifikan terhadap pembangunan ekonomi telah
menjadi kebenaran yang bersifat aksiomatik. Berbagai kajian akademis dan penelitian empiris telah
membuktikan keabsahan tesis itu.

Buku terakhir William Schweke, Smart Money: Education and Economic Development (2004), sekali lagi
memberi afirmasi atas tesis ilmiah para scholars terdahulu, bahwa pendidikan bukan saja akan
melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta
menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi
pertumbuhan ekonomi.

Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi
komunitas bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan
meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan
dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan
melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare
dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.

MEMASUKI abad ke-21, paradigma pembangunan yang merujuk knowledge-based economy tampak
kian dominan. Paradigma ini menegaskan tiga hal. Pertama, kemajuan ekonomi dalam banyak hal
bertumpu pada basis dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, hubungan kausalitas antara
pendidikan dan kemajuan ekonomi menjadi kian kuat dan solid. Ketiga, pendidikan menjadi penggerak
utama dinamika perkembangan ekonomi, yang mendorong proses transformasi struktural berjangka
panjang. Sebagai ilustrasi, Jepang adalah negara Asia pertama yang menjadi pelopor pembangunan
perekonomian berbasis ilmu pengetahuan. Setelah Jepang, menyusul negara-negara Asia Timur lain
seperti Singapura, China, Taiwan, Hongkong, dan Korea Selatan.

Melalui artikel ini penulis bermaksud mencermati kontribusi pendidikan terhadap pembangunan ekonomi
dengan melihat perbandingan antara Korea mewakili Asia serta Kenya dan Zimbabwe mewakili Afrika.
Pilihan tiga negara ini menarik karena semula Korea, yang secara ekonomi tertinggal, ternyata mampu
mengungguli dan kemudian meninggalkan kedua negara Afrika itu. Beberapa indikator ekonomi makro
menunjukkan perubahan amat signifikan antara ketiga negara berbeda benua itu. Yang-Ro Yoon,
seorang peneliti ekonomi Bank Dunia, dalam Effectiveness Born Out of Necessity: A Comparison of
Korean and East African Education Policies (2003), mengemukakan sejumlah temuan menarik
berdasarkan observasi di tiga negara itu. Pada dekade 1960-an GNP per kapita Korea hanya 87 dollar
AS, sementara Kenya 90 dollar AS. Memasuki dekade 1970-an GNP per kapita Korea mulai meningkat
menjadi 270 dollar AS, namun masih lebih rendah dibanding Zimbabwe yang telah mencapai 330 dollar
AS.

Indikator lain seperti gross savings rate (persentase terhadap GDP) juga menunjukkan, Korea lebih
rendah dibanding kedua negara Afrika itu. Pada pertengahan 1970-an, gross savings rate masing-masing
negara adalah: Korea 8 persen, Kenya 15 persen, dan Zimbabwe 14 persen.

Meski demikian, dalam hal pembangunan pertanian Korea relatif lebih unggul. Sektor pertanian memberi
sumbangan terhadap GDP sebesar 37 persen di Korea, 35 persen di Kenya, dan 20 persen di Zimbabwe.

Memasuki dekade 1980-an, pembangunan ekonomi di Korea berlangsung amat intensif dan pesat.
Bahkan antara periode 1980 dan 1996 dapat dikatakan sebagai masa keemasan saat negeri gingseng itu
mampu melakukan transformasi ekonomi secara fundamental. Pada tahun-tahun itu pertumbuhan
ekonomi Korea melesat jauh meninggalkan Kenya dan Zimbabwe.
Pada tahun 1996 GNP per kapita Korea telah mencapai 10,600 dollar AS (meski lalu menurun menjadi
7.980 dollar AS tahun 1998 saat terjadi krisis moneter). Sedangkan GNP per kapita Kenya dan Zimbabwe
masing-masing 320 dollar AS dan 610 dollar AS.

Perbedaan yang signifikan juga terlihat pada gross savings rate yakni 36 persen di Korea, 12 persen di
Kenya, dan 17 persen di Zimbabwe. Pertumbuhan ekonomi Korea yang mengesankan ini terkait
keberhasilan dalam menurunkan angka pertumbuhan penduduk selama tiga dekade: dari 2,7 persen
tahun 1962 menjadi 0,9 persen pada 1993.

Sementara pertumbuhan penduduk di Kenya justru meningkat dari 3,2 persen tahun 1965 menjadi 4,2
persen tahun 1980, meski kemudian menurun menjadi 2,6 persen pada tahun 1995.

TIDAK diragukan lagi, salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi di Korea adalah komitmen
yang kuat dalam membangun pendidikan. Berbagai studi menunjukkan, basis pendidikan di Korea
memang amat kokoh. Pemerintah Korea mengambil langkah-langkah ekspansif antara 1960-an dan
1990-an guna memperluas akses pendidikan bagi segenap warga negara. Program wajib belajar
pendidikan dasar (universal basic education) sudah dilaksanakan sejak lama dan berhasil dituntaskan
tahun 1965, sementara Indonesia baru mulai tahun 1984. Sedangkan wajib belajar jenjang SLTP berhasil
dicapai tahun 1980-an; dan jenjang SLTA juga hampir bersifat universal pada periode yang sama. Yang
menakjubkan, pada jenjang pendidikan tinggi juga mengalami ekspansi besar-besaran; lebih dari
setengah anak-anak usia sekolah pada level ini telah memasuki perguruan tinggi.

Komitmen Pemerintah Korea terhadap pembangunan pendidikan itu tercermin pada public expenditure.
Pada tahun 1959, anggaran untuk pendidikan mencapai 15 persen dari total belanja negara, guna
mendukung universal basic education dan terus meningkat secara reguler menjadi 23 persen tahun 1971.
Setelah program ini sukses, Pemerintah Korea mulai menurunkan anggaran pendidikan pada kisaran
antara 14 sampai 17 persen dari total belanja negara atau sekitar 2,2 sampai 4,4 persen dari GNP.
Menyadari bahwa pendidikan dasar merupakan bagian dari public good, tercermin pada social return
lebih tinggi dibanding private return, maka Pemerintah Korea mengalokasikan anggaran untuk pendidikan
dasar jauh lebih besar dibanding level menengah dan tinggi.

Penting dicatat, selain faktor basis pendidikan yang lebih kuat, kelas menengah ekonomi di Korea juga
terbentuk dengan baik dan mapan. Pada dekade antara 1960-an dan 1980-an, kalangan pengusaha
Korea telah membangun hubungan dagang dan membuka akses pasar ke negara-negara kawasan
seperti Jepang, bahkan telah menyeberang ke Amerika dan Eropa.

Korea sukses melakukan inovasi teknologi (otomotif dan elektronik) karena memperoleh transfer
teknologi melalui hubungan dagang dengan negara-negara maju tersebut.

Bercermin pada pengalaman Korea, Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah strategis
dalam upaya membangun pendidikan nasional. Investasi di bidang pendidikan secara nyata berhasil
mendorong kemajuan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan sosial.

Untuk itu, investasi di bidang pendidikan harus didukung pembiayaan memadai, terutama yang
diperuntukkan bagi penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Mengikuti
agenda Millenium Development Goals (MDGs), tahun 2015 Pemerintah Indonesia harus menjamin
bahwa seluruh anak usia sekolah dasar akan memperoleh pendidikan dasar.

Bersamaan dengan itu, akses ke pendidikan menengah dan pendidikan tinggi juga harus diperluas, guna
mendukung upaya menciptakan knowledge society yang menjadi basis akselerasi pembangunan
ekonomi di masa depan.
Refleksi Pendidikan Bersama Paulo Freire
SECARA kebetulan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei bertepatan dengan meninggalnya filosof pendidikan
terkemuka abad ke-20, Paulo Freire, pada 2 Mei 1997. Tulisan ini dimaksudkan sebagai renungan
memperingati Hardiknas dengan mendiskusikan pemikiran Freire dan kemungkinan dikontekstualisasikan
di Indonesia.

Untuk menggambarkan betapa pentingnya Freire dalam dunia pendidikan bisa disimak dari statemen
Moacir Gadotti dan Carlos Alberto Torres (1997) "Educators can be with Freire or against Freire, but not
without Freire." Pernyataan ini menunjukkan signifikansi Freire dalam diskursus pendidikan di dunia,
termasuk di Indonesia (ada sembilan buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia). Sebagai
seorang humanis-revolusioner, Freire menunjukkan kecintaannya yang tinggi kepada manusia. Dengan
kepercayaan ini ia berjuang untuk menegakkan sebuah dunia yang "menos feio, menos malvado, menos
desumano" (less ugly, less cruel, less inhumane).

Mengapa Freire punya banyak pengikut? Menurut kesaksian Martin Carnoy (1998), dikarenakan dia
mempunyai arah politik pendidikan yang jelas. Inilah yang membedakannya dengan Ivan Illich. Arah
politik pendidikan Freire berporos pada keberpihakan kepada kaum tertindas (the oppressed). Kaum
tertindas ini bisa bermacam- macam, tertindas rezim otoriter, tertindas oleh struktur sosial yang tak adil
dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, jender, ras, dan sebagainya.

Paling tidak ada dua ciri orang tertindas. Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan
lingkungannya. Mereka tidak bisa menjadi subyek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain.

Kedua, mereka mengalami self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa. Padahal, saat
mereka telah berinteraksi dengan dunia dan manusia lain, sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bejana
kosong atau empty vessel, tetapi telah menjadi makhluk yang mengetahui. Pertanyaannya, bagaimana
mengemansipasi mereka yang tertindas?

Untuk menjawab pertanyaan itu, Freire berangkat dari konsep tentang manusia. Baginya, manusia
adalah incomplete and unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi
subyek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya. Menjadi subyek atau makhluk yang lebih
manusiawi, dalam pandangan Freire, adalah panggilan ontologis (ontological vocation) manusia.

Sebaliknya, dehumanisasi adalah distorsi atas panggilan ontologis manusia. Filsafat pendidikan Freire
bertumpu pada keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya.

Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subyek. Untuk
mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan
kesadaran kritis peserta didik sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan
penindasan itu berlangsung. Sebab, kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan
lingkungan. Ia punya potensi untuk berkembang dan mempengaruhi lingkungan, tetapi ia juga bisa
dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial atau miliu tempat ia berkembang. Untuk itulah emansipasi
dan transendensi tingkat kesadaran itu harus melibatkan dua gerakan ganda ini sekaligus.

Idealitas itu bisa dicapai jika proses pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen dan peserta
didik yang bersifat subyek-subyek, bukan subyek- obyek. Tetapi, konsep ini tidak berarti hanya
menjadikan guru sebagai fasilitator an sich, karena ia harus terlibat (bersama- sama peserta didik) dalam
mengkritisi dan memproduksi ilmu pengetahuan.

Guru, dalam pandangan Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada
anak didik, tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers). Mereka
harus sadar, pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai aksi kultural untuk pembebasan
atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem
sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo.

Jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi
fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan
kehidupan publik yang lebih demokratis. Untuk itu, dalam pandangan Freire, "reading a word cannot be
separated from reading the world and speaking a word must be related to transforming reality." Dengan
demikian, harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan di kelas
harus dikaitkan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada dialektika antara teks dan konteks, teks
dan realitas.

PELAJARAN yang bisa ditarik Freire untuk konteks pendidikan kita paling tidak adalah komitmennya
terhadap kaum marjinal. Lewat perspektif Freirean kita bisa bertanya: kepada siapa sesungguhnya
pendidikan kita saat ini berpihak? Apakah negara sudah sungguh-sungguh mengamalkan salah satu
pasal UUD 1945 kita yang berbunyi "anak-anak telantar dipelihara oleh negara"? Mengapa ada
kesenjangan yang luar biasa tinggi dalam pendidikan kita, di satu sisi ada sekolah yang luar biasa mahal,
dengan fasilitas lengkap, dan hanya orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah itu,
namun di sisi yang lain ada sekolah dengan fasilitas seadanya yang dihuni kaum marjinal?

Bukankah dengan membiarkan kesenjangan itu terus berlangsung sama dengan membenarkan tesisnya
Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam Schooling in Capitalist America (1976), bahwa sekolah hanya
berfungsi sebagai alat untuk melayani kepentingan masyarakat dominan dalam rangka mempertahankan
dan mereproduksi status quo?

Ada dua kelompok kaum marjinal yang tereksklusi dan jarang mendapatkan perhatian serius oleh publik
dalam hal pendidikan:

Pertama, penyandang cacat. Kelompok ini termasuk mereka yang kurang beruntung mendapatkan
pendidikan yang memadai. Mereka mengalami apa yang disebut segregasi pendidikan. Pendidikan
mereka dibedakan dengan kaum "normal." Segregasi pendidikan ini telah berlangsung sekian lama
dengan asumsi, mereka yang cacat tidak mampu bersaing dengan yang normal karena ada bagian
syaraf tertentu yang tidak bisa bekerja maksimal.

Jika asumsi ini benar, bukankah tugas sekolah untuk memaksimalkan mereka yang tidak mampu? Jika
ada yang tidak mampu, mengapa solusinya dengan cara pengeksklusian, bukan dengan pemberdayaan?
Jika asumsi itu salah, bukankah itu sama saja menutup peluang mereka untuk mendapat pendidikan
yang sama seperti yang diperoleh orang normal? Tidakkah ini berarti diskriminasi?

Dampak lain dari segregasi pendidikan adalah para penyandang cacat menjadi terasing dari lingkungan
sosial, mereka tereksklusi dari sistem sosial orang-orang normal. Jadilah mereka sebagai warga kelas
dua. Anak-anak normal juga tidak mendapat pendidikan pluralitas yang memadai. Bagaimana mereka
bisa berempati dan bersimpati kepada penyandang cacat, jika mereka tidak pernah bergaul dengan
kelompok ini karena hanya bergaul dengan sejenisnya di sekolah.

Kedua, anak-anak jalanan. Secara kuantitas kelompok ini kian banyak, terutama di kota-kota besar.
Mereka adalah kaum miskin kota dan sudah terbiasa dengan kekerasan, seks dan mabuk-mabukan. Di
mana peran negara dalam memberi pendidikan yang layak buat mereka? Meski negara bukan satu-
satunya aktor yang bertanggung jawab, tetapi bukankah negara telah diamanati UUD?

Jika kita memakai perspektif Paulo Freire, kunci utama agar kedua kelompok itu bisa menjadi subyek
yang otonom dan bisa mengkritisi realitas eksistensialnya adalah dengan cara mengembangkan
kesadaran kritisnya dan mentransformasi struktur sosial yang tidak adil.
Kaum marjinal harus diyakinkan bahwa mereka berhak dan mampu menentukan nasib sendiri, berhak
mendapatkan keadilan, berhak melawan segala bentuk diskriminasi.

Saya pesimistis jika kedua kelompok itu telah terakomodir secara maksimal dalam RUU Sisdiknas.
Jarang sekali mereka disinggung dalam perdebatan RUU ini. Karena itu, sudah saatnya kita
memperhatikan sungguh-sungguh masa depan kedua kelompok ini. Pendidikan kita sudah seharusnya
berpihak kepada mereka, bukan mengabdi kepentingan masyarakat dominan.

Bangsa yang Merendahkan Etos Kerja


Perilaku sebuah bangsa tidak tercipta dalam waktu singkat, namun terbentuk sepanjang tahun melalui
kebudayaan dan pendidikan.

Bangsa ini kembali terpuruk dalam potret kecil olahraga di arena SEA Games XXIII yang berakhir Senin
(5/12) di Manila. Dalam gambaran besar, bangsa ini dijuluki bangsa yang berperilaku tidak menghargai
proses, tidak suka kerja keras, tetapi ingin serba instan. Mengapa semua itu bisa terjadi?

Lihatlah kondisi perguruan tinggi yang sudah lama mengalami ”kecelakaan”. Sebanyak 99 persen dari
dosennya merupakan lulusan sendiri yang mengambil S2 dan S3 di dalam negeri. Sebagian besar dari
mereka kemudian mengajar dan menguji.

Sementara itu daya serap mahasiswa terhadap mata kuliah yang disuapi dosennya hanya 20-30 persen.
Situasi ini diperparah oleh perilaku sebagian besar mahasiswa yang tidak senang membaca buku.
Padahal buku merupakan jendela dunia.

Seorang panelis yang sebagian besar hidupnya dicurahkan di perguruan tinggi mengamati, baik dosen
maupun mahasiswa kini tidak lagi menghargai disiplin. Sebelum tahun 1970-an atau pada zaman
Soekarno, sikap ini masih bagus, dalam arti mereka tahu disiplin. Mengapa begitu, karena pelajaran dari
bangsa Jepang dan Belanda masih menetes kepada para pemimpin bangsa saat itu.

Akan tetapi, sejak tahun 1970-an perilaku unggul itu mulai merosot. Mereka mulai malas bekerja dan
malas berdisiplin. Baik mahasiswa maupun dosen sering bolos. Menurut penelitiannya, selama 40 tahun
mengajar tidak ada satu mahasiswa pun yang mengikuti kuliah tiap minggu dalam satu semester
lengkap.

”Paling banyak kehadiran mahasiswa hanya 10 kali dalam satu semester. Padahal saya sudah
melakukan peringatan, sindiran atau marah, dan sebagainya, tidak digubris,” keluhnya. Artinya, dorongan
bermalas-malas di kalangan sivitas akademika sangat kuat. Yang paling parah, para dosennya sendiri
juga suka bolos.

Gejala umum ini ternyata tidak hanya di kalangan perguruan tinggi, tapi merembet ke sekolah- sekolah
rendah dan menengah. Ada suatu anggapan bahwa setelah SMA dan masuk perguruan tinggi, mereka
semua bisa hidup bebas. Mau datang kuliah, mau bolos, tidak apa-apa. Ini amat mengherankan, gejala
itu tumbuh subur pada saat negeri ini membangun pada masa Orde Baru.

Demikian juga perilaku pegawai di perguruan tinggi yang harusnya datang pukul 07.00, pada umumnya
datang pada pukul 09.00. Kalau kita membicara- kan jadwal kuliah, tidak ada dosen yang mau mengajar
pada pukul 07.00. Maunya mereka mengajar di atas pukul 09.00 atau pukul 10.00. Ketika panelis ini
mengajar pada jadwal pukul 07.00, dari 50-80 mahasiswa yang datang tepat waktu cuma 10 orang.

Menurut pengalamannya, setelah satu jam, masuklah mereka satu demi satu. Masuknya juga unik,
setelah buka pintu langsung duduk. Tidak ada yang minta maaf karena keterlambatan itu. Mereka
menganggap, kuliah ini hak kita, jadi bebas mau kuliah atau tidak. Lebih jauh lagi, pada umumnya
mereka tidak mau belajar keras serta tidak senang membaca buku.

”Pernah sekali waktu saya periksa diktat yang sudah saya bagikan. Benar-benar mengherankan, saya
lihat diktat itu bersih sekali. Tidak ada catatan dari dia sehingga waktu ujian banyak yang tidak bisa
jawab. Padahal semuanya ada di diktat,” tuturnya.

Pendidikan antikerja

Sebuah analisis terhadap perilaku masyarakat di negara maju menyatakan, mayoritas penduduknya
sehari-hari mengikuti prinsip-prinsip dasar kehidupan. Misalnya, menghargai etika, kejujuran dan
integritas, bertanggung jawab, hormat pada aturan dan hukum masyarakat, hormat pada hak
orang/warga lain, cinta pada pekerjaan, berusaha keras menabung dan investasi, bekerja keras hingga
tepat waktu.

Para mahasiswa di negara-negara maju menyebut belajar itu bekerja. Di Amerika Serikat, misalnya,
kalau mahasiswa itu berkata, I must to work, itu artinya belajar atau kuliah. Namun, di republik ini para
mahasiswa tidak menganggapnya demikian. Pernah seorang menteri pendidikan menyatakan, anak-anak
lebih suka sekolah, tapi tidak suka kerja. Celakanya, dalam kurikulum, mulai dari sekolah dasar hingga
perguruan tinggi, terkesan anti- kerja.

Dalam kurikulum, program manual work hampir tidak pernah ada. Malah yang ada pun terus dianjurkan
agar dihapus. Dulu yang mengadakan kurikulum jenis ini Pemerintah Kolonial Belanda. Oleh negeri
bekas jajahannya, mulai tahun 1970-an, kemudian diganti dengan nama resmi keterampilan atau
kerajinan seni rupa. Pernah dalam diskusi IKIP seluruh Indonesia, bidang keterampilan kerajinan
dipisahkan dari seni rupa.

Pada zaman Ode Baru, semua media koran, televisi, radio dan sebagainya memublikasikan pembedaan
itu. Jadi sekolah itu hanya untuk kerja mental, bukan kerja fisikal. Pernah ada pelajaran hasta karya. Tapi
kemudian tidak boleh dipakai oleh murid-murid untuk melakukan apa-apa yang menghasilkan apa-apa.

Yang mengatakan bahwa pelajaran seni dan hasta karya di sekolah-sekolah itu harus bebas berekspresi.
Katanya yang penting bukan hasil, tapi proses, seraya tidak peduli hasilnya apa. Proses rasa bebas itu
artinya kerja sembarangan dalam pelajaran seni rupa kerajinan dan sebagainya.

Di kalangan masyarakat ada hubungan antara harkat manusia dan kerja manual. Makin banyak kerja
manual manusia itu makin rendah harkatnya. Makin kurang kerja manual atau sama sekali tidak kerja
manual, makin tinggi harkatnya. Kerja intelektual atau kerja mental, misalnya belajar ilmu, teori, filsafat,
banyak sekali peminatnya karena makin tinggi harkatnya.

Namun, yang kerja fisikal hanya sedikit saja karena harkatnya rendah. Kerja fisik itu bukan hanya
dianggap rendah, tapi juga merupakan kerja orang-orang jelata. Itu kerja orang-orang miskin, sedangkan
kerja orang-orang yang tidak begitu harus menjauhkan diri dari yang manual, dari yang fisikal.

Situasi ini sama dengan zaman Yunani dan Romawi dulu. Di zaman Yunani kuno tersebut semua kerja
yang bersifat fisikal manual dianggap tidak bermartabat.
 

Bernilai rendah

Ironisnya, dunia pendidikan di republik ini juga ”memusuhi” program yang berorientasi pasar. Sejumlah
ahli design pernah mengeluhkan tentang perilaku di kampusnya yang tidak market friendly. Mereka
merasa tertekan sebab kalau membuat design berorientasi pasar itu dianggap rendah. Yang bagus dan
dihargai kalau design dibuat klasik atau bersifat scientific.

Situasi ini berbeda dengan di luar negeri. Di negara maju itu hampir semua mahasiswanya bekerja. Yang
tidak bekerja hanya mahasiswa Indonesia yang kebetulan dapat beasiswa dari pemerintah. Malah
mereka bisa anteng bekerja di perpustakaan seperti menyusun buku yang secara fisik tidak mau
dikerjakan mahasiswa Indonesia.

”Di AS, para mahasiswa S3 biasa mengobrol, pada last summer ia akan bekerja sebagai kontraktor
membangun jembatan. Mereka tidak tahu bahwa kita menganggapnya rendah. Dalam hati saya, kok
mahasiswa Amerika tingkatan doktor mau kerjaan seperti itu,” panelis ini mengungkapkan
pengalamannya. Begitu juga mahasiswa Korea ketika libur, ada yang bekerja sebagai tukang kebun,
yang umumnya tidak disukai oleh mahasiswa Indonesia.

Bangsa ini menganggap kerja itu mempunyai nilai rendah. Artinya, kerja itu beban, kerja itu suatu
keterpaksaan, kerja itu suatu siksaan. Manusia Indonesia pada umumnya bermimpi hidup senang, hidup
enak, tanpa kerja. Lalu siapa yang menghasil- kan makanan dan sebagainya? Seperti pada zaman
Yunani kuno, ya orang-orang rendah, rakyat jelata itu. Merekalah yang disuruh kerja, menghasilkan padi,
misalnya.

Nilai paling tinggi itu hidup senang. Hidup senang artinya punya banyak uang. Bagaimana menciptakan
harta banyak tanpa kerja, ya korupsi itu....

You might also like