You are on page 1of 12

ARTIKEL ILMIAH

PERBANDINGAN TINGKAT SENSITIVITAS


OFLOKSASIN DENGAN KLORAMFENIKOL
TERHADAP ISOLAT Pseudomonas aeruginosa
PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
DI RSMS PURWOKERTO

Oleh :
Monika Yoke Lusiani
K1A006004

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO

2010
PERBANDINGAN TINGKAT SENSITIVITAS
OFLOKSASIN DENGAN KLORAMFENIKOL
TERHADAP ISOLAT Pseudomonas aeruginosa
PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK

Monika Yoke Lusiani 1), Anton Budi Darmawan 2), Dwi Utami Anjarwati 3)
1) Mahasiswa, Jurusan Kedokteran FKIK UNSOED
2) SMF Ilmu THT RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto
3) Bagian Mikrobiologi, Jurusan Kedokteran FKIK UNSOED

Abstrak

Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri penyebab terbanyak otitis


media supuratif kronik (OMSK) pada anak dan dewasa. Obat yang digunakan
dalam terapi OMSK adalah tetes telinga ofloksasin dan kloramfenikol. Resistensi
terhadap kloramfenikol sudah banyak ditemukan pada penelitian di beberapa
negara. Puskesmas di Purwokerto dan RSMS lebih banyak menggunakan tetes
telinga kloramfenikol daripada ofloksasin karena harganya yang terjangkau.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan tingkat sensitivitas
ofloksasin dan kloramfenikol terhadap isolat Pseudomonas aeruginosa di klinik
THT RSMS. Metode yang digunakan adalah cross sectional terhadap 25 pasien
OMSK di klinik THT RSMS periode bulan November 2009-Januari 2010.
Pengambilan sampel dilakukan dengan swab telinga. Pembuatan isolat dilakukan
di Laboratorium Mikrobiologi FK UNSOED. Uji sensitivitas terhadap ofloksasin
dan kloramfenikol dilakukan dengan metode cakram secara difusi. Analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Marginal Homogeneity. Hasil penelitian
didapatkan sensitivitas ofloksasin sebesar 40,9% dan kloramfenikol sebesar
18,18%. Nilai P=0,024 (P<0,05) menunjukkan adanya perbedaan tingkat
sensitivitas yang bermakna antara ofloksasin dan kloramfenikol. Ofloksasin
merupakan antibiotik yang lebih sensitif dibandingkan dengan kloramfenikol pada
pasien OMSK di klinik THT RSMS.

Kata kunci : Pseudomonas aeruginosa, tingkat sensitivitas, otitis media supuratif


kronik, ofloksasin, kloramfenikol.
COMPARISON OF SENSITIVITY STAGE
OFLOXACIN AND CHLORAMPHENICOL
TO ISOLATE Pseudomonas aeruginosa
AT CHRONIC SUPPURATIVE MIDDLE OTIC INFLAMATION

Monika Yoke Lusiani 1), Anton Budi Darmawan 2), Dwi Utami Anjarwati 3)
1) Mahasiswa, Jurusan Kedokteran FKIK UNSOED
2) SMF Ilmu THT RSUD Margono Soekarjo, Purwokerto
3) Bagian Mikrobiologi, Jurusan Kedokteran FKIK UNSOED

Abstract

Pseudomonas aeruginosa are the most common cause of bacterial chronic


suppurative middle otic inflammation (CSMO) among children and adults.
Ofloxacin and chloramphenicol ear drops are usually use for treatment CSMO.
Resistance to chloramphenicol have been recovered from research in many
countries. Community health center in Purwokerto and RSMS more common use
chloramphenicol ear drops than ofloxacin because chloramphenicol cheaper than
ofloxacin. The aim of this research was to know the comparison of sensitivity
stage between ofloxacin and chloramphenicol to Pseudomonas aeruginosa in
ENT clinic RSMS. The method used in this research was cross sectional study
toward 25 patient CSMO in ENT clinic RSMS from November 2009-Januari
2010. Sampling was taken from ear swabs. The isolate was made in microbiology
laboratories Faculty of Medicine and Health Sciences Jenderal Soedirman
University. Sensitivity tes towards was tested by the disk-diffusion method.
Marginal Homogeneity was used to analyze the data. The results showed that
ofloxacin sensitivity was 40,9% and chloramphenicol was 18,18% with P-value
0,024 (P<0,05). These was a significant comparison of sensitivity between
ofloxacin and chloramphenicol. Ofloxacin is a more sensitive antibiotic compared
to chloramphenicol in patient with CSMO in ENT clinic RSMS.

Key word : Pseudomonas aeruginosa, sensitivity stage, chronic suppurative


middle otic inflamation, ofloxacin, chloramphenicol.
PENDAHULUAN

Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah infeksi kronik di telinga

tengah lebih dari 2 bulan. Infeksi ini ditandai dengan adanya perforasi membran

timpani dan keluarnya sekret dari telinga yang terus menerus atau hilang timbul.

Sekret dapat berbentuk encer atau kental, bening atau berupa nanah (Helmi,

2001). OMSK merupakan penyakit Telinga Hidung Tenggorokan (THT) yang

paling banyak di negara berkembang. Prevalensi OMSK pada beberapa negara

antara lain dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, suku, tempat tinggal yang

padat, hygiene dan nutrisi yang jelek (Dugdale, 2004).

Menurut data survei kesehatan nasional indera penglihatan dan

pendengaran, prevalensi OMSK di Indonesia antara 3,0-5,20%. Kira-kira kurang

lebih 6,6 juta penduduk Indonesia menderita OMSK (Depkes R.I, 2005). Bakteri

aerob penyebab OMSK antara lain : Pseudomonas aeruginosa (50 %),

Staphylococcus aureus (25 %), Proteus sp (20 %) (Lutan, 2001). Perbandingan

kuman gram negatif dan positif penyebab OMSK adalah 3 : 1 (Loy, 2002).

Pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri adalah menggunakan

antibiotik. Penggunaan terapi antibiotik harus secara rasional dan diberikan sesuai

dengan dosis terapi. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional pada strain tertentu

bisa mengakibatkan terjadinya resistensi, hal ini terjadi karena adanya mekanisme

pertahanan diri di dalam bakteri agar tetap bertahan (Soleha et al., 2006).

Beberapa hal yang dapat menimbulkan peningkatan resistensi terhadap antibiotik

adalah perubahan ekologi, pemanasan global, serta perubahan pola hidup manusia
termasuk pola makan yang merupakan sarana penyebaran bakteri patogen

(Struelens dan Eldere, 2005).

Pada dasarnya keberhasilan pengobatan penyakit infeksi bakteri dengan

antibiotik merupakan hasil akhir dari 3 komponen, yaitu penderita, bakteri dan

antibiotika. Hal ini disebabkan karena penyakit infeksi bakteri adalah hasil dari

interaksi antara penderita dan bakteri. Pengobatan infeksi dibutuhkan antibiotika

yang tepat. Syarat minimal pemilihan antibiotik yang tepat adalah mengetahui

jenis bakteri penyebab penyakit. Pemilihan antibiotik akan lebih baik lagi apabila

disertai dengan adanya hasil uji kepekaan antibiotik (Nursiah, 2003).

Otitis media supuratif kronik dipilih pada penelitian ini karena merupakan

penyakit infeksi telinga tengah yang sering diderita oleh anak-anak dan orang

dewasa. Bakteri penyebab OMSK tersering adalah Pseudomonas aeruginosa.

Untuk mengobati OMSK yang disebabkan oleh bakteri, sebagian besar rumah

sakit terutama Rumah Sakit Margono Soekarjo Purwokerto dan puskesmas di

Purwokerto menggunakan tetes telinga yang berisi antibiotik kloramfenikol.

Padahal kloramfenikol memiliki efek samping ototoksik. Oleh karena itu, peneliti

memilih ofloksasin dan kloramfenikol tetes telinga sebagai preparat antibiotik

dalam penelitian ini. Pemilihan antibiotik tersebut disesuaikan dengan jenis

kuman yang ditemukan pada pemeriksaan kultur dan resistensi seseorang terhadap

antibiotik tertentu.
METODE

Jenis Penelitian ini adalah studi analitik observasional dengan pendekatan

cross sectional study, yaitu penelitian dimana variabel dependen (Isolat

Pseudomonas aeruginosa) dan variabel independen (Tingkat sensitivitas

antibiotik ofloksasin dan kloramfenikol) diteliti dalam waktu yang bersamaan.

Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien anak dan dewasa yang menderita

otitis media supuratif kronik di klinik THT RSMS bulan November 2009 sampai

Januari 2010.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien yang menderita

otitis media supuratif kronik dan memenuhi kriteria inklusi di klinik THT Rumah

Sakit Margono Soekarjo Purwokerto. Jumlah sampel penelitian menggunakan

total sampling dari periode November 2009 sampai Januari 2010.

Materi dan bahan diperoleh dengan mengambil sekret telinga pasien otitis

media supuratif kronik lalu diletakkan dalam media transport untuk dibawa ke

laboratorium mikrobiologi fakultas kedokteran dan ilmu-ilmu kesehatan

UNSOED.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan analisis

bivariat yaitu Marginal Homogeneity (skala ordinal dan ordinal) untuk

mengetahui bermaknakah perbedaan tingkat sensitivitas tetes telinga ofloksasin

dengan kloramfenikol secara statistik. Marginal Homogeneity digunakan karena

tabel yang digunakan tabel 3x3 dan berpasangan.


HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL

Bakteri yang diisolasi dari pasien otitis media supuratif kronik

didapatkan hasil yang memenuhi kriteria bakteri Pseudomonas aeruginosa

sebanyak 22 sampel dari 25 sampel. Koloni yang tumbuh berbentuk bulat

halus berwarna fluoresensi kehijauan, permukaan rata, dan tumbuh pada suhu

42°C. Hasil identifikasi selanjutnya menunjukkan pewarnaan gram (-) dan sel

berbentuk batang lurus atau lengkung, pada uji katalase hasilnya (+) yang

artinya menghidrolisis hidrogen peroksida, uji oksidase hasilnya juga (+).

Isolat yang didapat kemudian dilakukan uji sensivitas dengan

antibiotik ofloksasin dan kloramfenikol. Tingkat sensitivitas antibiotik diukur

dengan menghitung diameter zona hambat antibiotik terhadap pertumbuhan

Pseudomonas aeruginosa.

Kloramfenikol memiliki persentase tingkat resistensi yang cukup

tinggi (50%). Ofloksasin lebih sensitif dibandingkan dengan kloramfenikol.

Tingkat sensitivitas ofloksasin dan kloramfenikol dilihat dari terbentuknya

zona jernih di sekitar kertas cakram. Berdasarkan hasil analisis statistik

dengan menggunakan Marginal Homogeneity di atas didapatkan nilai P=0,024

(P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna

tingkat sensitivitas ofloksasin dengan kloramfenikol.


B. PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan Pseudomonas aeruginosa lebih resisten

terhadap kloramfenikol dibandingkan dengan ofloksasin. Selain itu,

didapatkan zona hambat yang relatif kecil pada kloramfenikol, yaitu 6,5 mm.

Kedua hal tersebut disebabkan karena P.aeruginosa resisten terhadap

kloramfenikol. Selain itu, zona hambat yang relatif kecil tersebut dapat

disebabkan karena pengukuran dilakukan kurang dari 20 jam, sehingga efek

obat antibiotik belum maksimal (Lorian, 2007). Mekanisme resistennya antara

lain P. aeruginosa mengembangkan perubahan enzim peptidil transferase

sehingga tetap dapat membentuk ikatan-ikatan peptida pada proses sintesis

protein. Selain itu dapat juga terjadi resistensi kromosom melalui mutasi

genetik pada P. aeruginosa. Hal ini sesuai dengan pendapat Gulimand (2007).

Resistensi terhadap kloramfenikol sering terjadi karena kloramfenikol

tetes telinga lebih dipilih oleh pemerintah untuk pengobatan OMSK di RSMS

dan puskesmas di Purwokerto karena harganya murah. Padahal kloramfenikol

dapat langsung menembus koklea sehingga menyebabkan kerusakan saraf

pendengaran (ototoksik). Penggunaan kloramfenikol dalam jangka waktu yang

lama dapat menyebabkan ketulian. Penggunaannya yang irasional, seperti

pengobatan dengan antibiotik tanpa mengetahui etiologinya, dosis yang

berlebih, serta peresepan yang salah dapat menyebabkan flora normal menjadi

patogen dan menyebabkan mikroorganisme yang awalnya sensitif menjadi

resisten (Yuen, 2004).


Berdasarkan hasil penelitian, ofloksasin lebih sensitif terhadap

Pseudomonas aeruginosa dibandingkan dengan kloramfenikol. Hal ini

disebabkan karena ofloksasin sensitif untuk bakteri gram negatif seperti

Pseudomonas aeruginosa. Penggunaan ofloksasin tetes telinga belum menjadi

perhatian pemerintah karena harganya yang cukup tinggi serta ketidaktahuan

pemerintah mengenai efek samping tidak toksiknya ofloksasin (Triatmodjo,

2006).

Dalam penelitian ini didapatkan juga hasil resistensi Pseudomonas

aeruginosa terhadap ofloksasin sebanyak 9,09 %. Mekanisme resistensi

terhadap ofloksasin dapat terjadi antara lain dengan mikroorganisme

mengembangkan perubahan enzim (DNA girase) sehingga tetap dapat

melakukan fungsi metabolismenya. Sealin itu juga dapat terjadi dengan cara

mutasi pada DNA atau membran sel kuman. Hal ini sesuai dengan pendapat

Ruiz (2007).

Dari hasil penelitian, didapatkan zona intermediet pada ofloksasin dan

kloramfenikol. Zona ini merupakan zona antara sensitif dan resisten. Zona

intermediet dapat terjadi karena virulensi mikroorganisme sudah mencapai

tahap yang cukup tinggi, sehingga kurang berespon terhadap antibiotik. Zona

intermediet dapat juga terjadi karena dosis yang diberikan dalam konsentrasi

tinggi, tetapi relatif tidak toksik terhadap tempat infeksi (Reese, 2000).

Pencegahan resistensi antibiotik pada pasien OMSK, memerlukan

penetapan etiologi yang tepat untuk menghindari penyalahgunaan antibiotik.

Pengobatan antibiotik sebaiknya tidak segera diberikan sebelum mengetahui

etiologi yang pasti. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan dosis yang efektif
dan menghindari pemberian dosis terapi yang berlebihan sehingga dapat

memicu terjadinya resistensi terhadap mikroorganisme (Lestari, 2009).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

Ofloksasin lebih sensitif daripada kloramfenikol pada isolat Pseudomonas

aeruginosa pada pasien otitis media supuratif kronik di Klinik THT RSMS.
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Depkes R. I. 2005. Pedoman upaya Kesehatan Telinga dan Pencegahan gangguan


Pendengaran untuk Puskesmas.

Dudley, M. N. 1991. Pharmacodynamics and Pharmacokinetics of Antibiotics


With Special Reference to The Fluoroquinolones. American Journal
Medicine. 91 : 45S-50S.

Gulimand, Marc, Guy Gerbaud, Martine Guibourdenche, Jeani Yves Riou, and
Patrice Courvalin. 2007. High-Level Chloramphenicol Resistance in
Neisseria meningitides. The New England Journal of Medicine. 340 : 824.

Helmi. 2001. Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis dan Mastoiditis. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 5.
Jakarta : FKUI. Hal 63-73.

Lestari, E. S., and J. A. Severin. 2009. Prevalence, determinants and genetic basis:
Antimicrobial Resistance in Indonesia. Thesis to obtain the degree of
Doctor from the Erasmus University Rotterdam.

Lorian, Victor, and Lois Strauss. 2007. Increased Bacterial Density at the Edge of
Antibiotic Zones of Inhibition. Journal of Bacteriology. Vol. 92, No 4.

Loy, A. H. C, A. L. Tan, and P. K. S. Lu. 2002. Microbiology of Chronic


Suppurative Otitis Media in Singapore. Singapore Medical Journal. Vol
43(6) : 296-9.

Lutan, Ramsi, and Farid Wajdi. 2001. Pemakaian Antibiotika Topikal Pada Otitis
Media Supuratif Kronik Jinak Aktif. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. Cermin Dunia Kedokteran. No. 132, 41.

Madigan, M. T., Martinko J. M., and Parker J. 2003. Brock Biology of


Microorganisms. Southern Illinois University Carbondale, Pearson
Education, Inc. Upper. Saddle River, NJ. 370, 633-7, 673, 745.

Nursiah, Siti. 2003. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan Terhadap
Beberapa Antibiotika di Bagian THT FK USU/RSUP H. Adam Malik
Medan. Program Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Studi Ilmu Penyakit
THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Reese, R., R. F. Betts, and B. Gumustop. Handbook of Antibiotics Third Edition.
Lippincott Williams and Wilkins. Philadelpia.

Reese, R., R. F. Betts, and B. Gumustop. Handbook of Antibiotics Third Edition.


Lippincott Williams and Wilkins. Philadelpia.

Ruiz, Joaquim., Liliana Capitano, and Dolores Castro. 2007. Mecanisms of


Resistance to Ampicillin, Chloramphenicol, and Quinolones in
Multiresistant Salmonella typhimurium Strains Isolated From Fish.
Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 43, 699-702.

Soleha M. 2006. Pola Resistensi Bakteri Terhadap Antimikroba di Jakarta.


Puslitbang Biomedis dan Farmasi Badan Litbang Kesehatan.

Struelens J, J. Van Eldere and Participant in the Workshop. 2005. Progress


Towards Meeting the Challenges in Clinical Microbiology and Infectious
Deseases. European Society of Clinical Microbiology and Infectious
Disease. 11. 1-2.

Triatmodjo, Pudjarwoto. 2006. Distribusi Geografis Pola Resistensi Pseudomonas


aeruginosa Terhadap Beberapa Jenis Antibiotik di Jakarta dan Jawa Barat.
Cermin Dunia Kedokteran. No 89, 49.

Yuen, Po Wing., Sai Kit Lau, Pak Yin Chau, Yau Hui, Shu Fai Wong, and Simon
Wong. 2004. Ofloxacin Eardrop Treatment for Active Chronic Suppurative
Otitis Media. The American Journal of Otology. Vol 15.

You might also like