You are on page 1of 2

Upayanya begitu, ini kalau ditilik dari sudut efisiensi dan rendemen

ekonomis semata-mata.
5). Tetapi andai kata kita pergunakan kepandaian-kepandaian kita ini
dengan cara demikian maka nasib kita tak ubah dari nasib induk ayam
menetaskan telor itik.
Sebab pekerjaan kita mempunyai aspek lain, dan menafaskan jiwa lain.
Kita berusaha di urat masyarakat. Menumbuhkan kekuatan yang terpendam
dikalangan yang lemah. Kita ingin berhubungan dengan para dhu’afa ini dalam
bentuk yang lain dari pada ; “meminta nasi bungkus”. Selain daripada itu
pekerjaan kita ini adalah di dukung oleh cita-cita hendak menjelmakan tata-cara
hidup kemasyarakatan yang berdasarkan :
a. hidup dan memberi hidup, (ta’awun) bukan falsafah berebut hidup;
b. tanggung jawab tiap-tiap anggota masyarakat atas kesejahteraan lahir
batin dari masyarakat sebagai keseluruhan dan sebaliknya (takaful dan
tadhamun);
c. keragaman dan ketertiban yang bersumber kepada disiplin jiwa dari
alam, bukan lantaran penggembalaan dari luar;
d. ukhuwwah yang ikhlas, bersendikan Iman dan Taqwa ;
e. keseimbangan (tawazun) antara kecerdasan otak dan kecakapan
tangan, antara ketajaman akal dan ketinggian akhlak, antara amal dan ibadah,
antara ikhtiar dan do’a;
Ini wijhah yang hendak di tuju.
Ini shibgah yang hendak di pancangkan ;
Tidak seorangpun yang berpikiran sehat di negeri kita ini yang akan
keberatan terhadap penjelmaan masyarakat yang semacam itu. Suatu bentuk
dan susunan hidup berjama’ah yang diredhai Allah yang dituntut oleh “syari’at”
Islam, sesuai dengan Adat basandi Syara’ dan Syara’ nan basandi Kitabullah.

6). Kita sekarang merintis, merambah jalan guna menjelmakan hidup


berjama’ah sedemikian yang belum kunjung terjelma di negeri kita ini, kecuali
dalam khotbah alim-ulama, pepatah petitih ahli adat, dan pidato para cerdik
cendekia.
Kita rintiskan dengan cara dan alat-alat sederhana tetapi dengan api cita-
cita yang berkobar-kobar dalam dada kita masing-masing.
Ini nawaitu kita dari semula. Kita jagalah agar api nawaitu jangan padam
atau berubah di tengah jalan.
Nilai amal kita, besar atau kecil, terletak dalam niat yang menjadi motif
untuk melakukannya. Tinggi atau rendahnya nilai hasil yang dicapai sesuai pula
dengan tinggi atau rendahnya mutu niat orang yang mengejar hasil itu.
Amal kita yang sudah-sudah dan yang akan datang akan kering dan
hampa, sekiranya amal lahirnya kita lakukan, tetapi tujuan nawaitu-nya kita
anjak..
Semoga di jauhkan Allah jualah kita semua dan keluarga kita dari
kehilangan nawaitu di tengah jalan, Amin !
Dan andaikata ada kelihatan di antara keluarga-keluarga kita tanda-tanda
akan kehilangan nawaitu-nya, dan mulai tampak gejala-gejala seperti yang kita
bayangkan pada angka (4) tadi itu, maka kewajiban kitalah lekas-lekas
memanggilnya kembali, agar jangan yang berserak sampai terseret hanyut oleh
arus pengejaran benda-benda yang berserak bertebaran semata-mata, dengan
mempergunakan jalan-jalan yang kita rintiskan ini. Asal hal-hal yang semacam
itu lekas-lekas dapat dipintasi, Insya Allah mereka akan masuk shaf kembali ;
“kok io kito ka-badun sanak juo ..........!”

7). Keadaan masing-masing kita ini tidak banyak berbeda dari keadaan
umat yang hendak kita rintiskan jalannya itu. Sebab masing-masing kita adalah
sebahagian dari mereka juga. Maka tidaklah salah, malah mungkin berkat
kemurahan Ilahi dengan usaha ini juga dapur masing-masing kita akan turut
berasap. Akan tetapi rasa bahagian kia yang tertinggi, ialah apabila kita dapat
melihat bahwa itu hanyalah salah satu dari ribuan dapur yang berasap
karenanya.
Sedikit sama di cacah, banyak sama di lapah.
Tak ada bahagia dalam kekenyangan sepanjang malam, bila si-jiran setiap
akan tidur diiringi lapar. Dalam rangka inilah harus kita pahamkan apa yang
terkandung dalam kalimat-kalimat sederhana dari “bai’atul qurba”, bai’at
kekeluargaan yang kita hendak ikrarkan ini.

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Yang Maha Mengetahui dan


menyaksikan apa yang diucapkan oleh lidah dan tergores dalam hati kita
masing-masing, senantiasa akan membimbing kita dalam menerjemahkan
bai’atul qurba ini ke dalam amal dan perbuatan, yang ditujukan kepada
keridhaan Nya jua, Amin!. Begitu Pak Natsir mulai merintiskan melalui rintisan
qalbu, sebagai landasan ibadah rohani.
Bismillah!
Dari sini kita mulai !
Semakin dipelajari, semakin nampak persoalan-persoalan yang dihadapi,
semakin terasa kesulitan yang harus dilalui.
Semuanya sudah dilalui dengan memperoleh berbagai pengalaman-
pengalaman berharga yang mahal, telah kita sirami dengan keringat dan air
mata, sehingga dengan demikian itu tumbuhlah dalam hati ;
“rasa berpantang putus asa,
bertawakkal dalam melakukan kewajiban sepenuh hati,
dengan tekad tidak terhenti sebelum sampai,
yang ditujukan kepada keridhaan Allah jua”.

You might also like