You are on page 1of 5

RITUAL DI PUNCAK GUNUNG KELIMUTU

Gunung Kelimutu merupakan daerah terpencil yang berada di kawasan Taman


Nasional Kelimutu, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Daerah sekitar puncak Kelimutu ini banyak ditumbuhi rerumpunan arngoni
(Vacinium varingiaefolium), tumbuhan khas yang hanya tumbuh di daerah bertanah
kering dan diyakini sebagai makanan para dewa atau arwah leluhur di Danau
Kelimutu. Hari itu, kawasan ini sudah dipenuhi oleh kehadiran para mosalaki pu’u
(tetua adat) yang berkumpul di areal helipad di zona inti kawasan Taman Nasional
Kelimutu.

Sambil menunggu ritual dimulai, para penduduk dan masyarakat yang datang
memanfaatkan waktu dengan melihat-lihat keindahan panorama tiga kawah danau
dengan air berbeda warna, tiada duanya di dunia. Kawasan Nasional Kelimutu secara
administratif berada dalam wilayah 5 kecamatan, yakni Kecamatan Wolowaru,
Kelimutu, Ndona Timur, Ndona, dan Detusoko.

Menjelang tengah hari ritual baru dimulai. Hari itu untuk pertama kalinya di
puncak Gunung Kelimutu, dengan ketinggian 1.777 meter di atas permukaan laut,
digelar Pati Ka Ata Mata, upacara adat memberi makan bagi arwah leluhur atau orang
yang sudah meninggal.

Wisatawan domestik maupun mancanegara pun tumpah ruah di area helipad.


Mereka tidak ingin ketinggalan mengabadikan peristiwa bersejarah itu. Begitu juga
masyarakat sekitar dan juga para media. Prosesi ritual diawali sembilan mosalaki
yang mewakili sembilan suku dengan pakaian tradisional diberi sesaji untuk dibawa
ke dakutatae, sebuah batu alam sebagai tugu tempat sesaji yang akan
dipersembahkan. Sesaji yang dipersembahkan berupa nasi, daging hewan kurban
(biasanya daging babi), moke (sejenis tuak lokal), rokok, sirih, buah pinang, dan
kapur.

Sembilan mosalaki pu’u itu secara bersama-sama menuju tugu batu dan
bersama-sama pula meletakkan sesaji di tugu tersebut, yang artinya dari sembilan
mosalaki itu kedudukannya tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Ritual
adat ini diikuti oleh seluruh komunitas adat di kawasan Kelimutu. Sekaligus ritual ini
merupakan aset seni budaya daerah dan juga nasional yang patut dilestarikan. Ritual
ini juga dapat mempersatukan suku-suku di Kelimutu. Wilayah Kabupaten Ende
terdiri dari dua suku asli, yakni Ende dan Lio. Kawasan suku Ende dominan di bagian
barat ke selatan, sedangkan suku Lio dari Kota Ende ke timur hingga utara.

Setelah upacara pemberian makan leluhur yang dilakukan oleh para mosalaki,
kemudian para pengunjung ditawari pula untuk turut menikmati sesaji sebagai tanda
bersukaria bersama dengan para leluhur. Tahapan ritual itu lalu dilanjutkan dengan
gawi, tari bersama para mosalaki tersebut dengan mengelilingi tugu batu.

Sejumlah mosalaki mengatakan, Pati Ka Ata Mata yang digelar dimaksudkan


untuk menaikkan doa kepada arwah leluhur, selain untuk menolak bala, juga agar
wilayah Ende dijauhkan dari bencana serta disuburkan alamnya yang dapat
memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Pasalnya, tahun 1996 seorang turis
laki-laki asal Belanda tewas di Danau Kelimutu. Tahun 2004 warga Desa Pemo,
Kecamatan Kelimutu, bunuh diri di danau tersebut. Pada akhir 2008 juga ditemukan
tewas seorang warga Desa Tenda, Kecamatan Wolojita, di danau warna hijau muda
atau danau tempat arwah anak muda (Tiwu Nua Muri Koo Fai). Semua jenazah
korban tetap tinggal di dalam danau karena sulitnya medan sehingga jenazah tidak
dapat dievakuasi.

Dari mitos yang diyakini turun-temurun oleh masyarakat Ende Lio, kawasan
puncak Danau Kelimutu merupakan tempat tinggal atau berkumpulnya para arwah
orang yang sudah meninggal. Pintu gerbang (pere konde) Danau Kelimutu dijaga oleh
Konde Ratu, sang penguasa.

Di puncak Gunung Kelimutu terdapat tiga kawah danau, selain Tiwu Nua
Muri Koo Fai, terdapat Tiwu Ata Polo yang kini berwarna hijau tua, yang diyakini
sebagai tempat berkumpuk orang jahat. Danau ketiga, Tiwu Ata Mbupu, berwarna tua
hijau kehitam-hitaman yang merupakan tempat berkumpulnya arwah orang tua.

Itu sebabnya masyarakat setempat menilai begitu sakral dan keramat areal
puncak Gunung Kelimutu. Mereka juga tidak berani berbuat yang aneh-aneh atau
sembrono di situ. Letak Danau Kelimutu sekitar 55 kilometer arah timur Kota Ende.
Kegiatan ritual ini digelar oleh Pemerintah Kabupaten Ende sebagai bentuk
pelestarian budaya daerah. Dari upacara adat yang telah berlangsung turun-temurun,
pemberian makan kepada leluhur hanya dilakukan di tiap rumah warga, kampung,
atau suku. Kini digelar upacara adat di puncak Kelimutu yang melibatkan suku-suku
Lio. Selanjutnya, ritual ini akan digelar rutin tiap tahun sekali dan tradisi ini juga
menjadi agenda pariwisata Ende. Ritual Pati Ka Ata Mata diharapkan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan untuk meningkatkan pendapatan
mereka dari sektor pariwisata.

Upacara Pati Ka Ata Mata diharapkan diadakan setelah semua acara adat
serupa di setiap suku selesai digelar sehingga upaca adat di Danau Kelimutu itu
benar-benar sebagai rangkaian ritual puncak atau akhir. Ritual tersebut diharapkan
turut meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama di sekitar Danau Kelimutu. Hal
itu perlu difasilitasi secara serius oleh dinas kebudayaan dan pariwisata setempat.

Mereka harus melakukan komunikasi yang baik dengan para pengusaha biro
perjalanan dan wisata serta hotel-hotel sehingga agenda tahunan ritual adat ini bisa
turut dipromosikan ke luar. Warga sekitar kawasan juga perlu dibina sehingga mereka
benar-benar dapat menerima, menyambut, dan memberikan pelayanan yang
memuaskan kepada wisatawan.

Di kawasan tersebut juga terdapat kebun hortikultura milik warga sekitar


kawasan Danau Kelimutu yang dapat dimanfaatkan sehingga wisatawan mancanegara
selain melihat –lihat Danau Kelimutu juga dapat diarahkan untuk menikmati aneka
buah dan sayuran milik warga. Kesenian setempat juga harus digalakkan, apakah itu
seni tari ataupun sani musik yang akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Diharapkan kesenian di kawasan itu dapat memebri nilai tambah kepada
masyarakatnya.

Upacara adat yang digelar memang masih banyak terdapat kekurangan, salah
satunya ketidaktepatan waktu pelaksanaan. Jadwal semula pukul 08.00, ketika
masyarakat maupun wisatawan antusias memadati lokasi pada pagi itu, ternyata ritual
baru digelar pukul 11.00.

Yang disayangkan pula, ritual di puncak gunung relatif singkat. Semestinya


rangkaian upacara adat mulai dari pemotongan hewan kurban, memasak, hingga
persiapan sesaji dapat dikemas menjadi satu rangkaian wisata budaya menarik yang
dapat diikuti masyarakat luas.

Selain itu, segala atribut yang berhubungan dengan pakaian adat radisioanal
yang dikenakan mosalaki dalam ritual itu, seperti destar, sarung, dan baju dari kain
tenun ikat tradisional, semestinya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dengan
menjualnya kepada wisatawan. Pihak Taman Nasional Kelimutu atau pemkab Ende
dapat memfasilitasi dengan menyediakan tempat penjualannya.
TUGAS MATA KULIAH ILMU SOSIAL DAN BUDAYA
DASAR

ARTIKEL TENTANG UNSUR KEBUDAYAAN DAN WUJUD


KEBUDAYAAN

Oleh :

Putu Aan Pustiari ( 0908505074 )

JURUSAN FARMASI FAKULTAS MIPA


UNIVERSITAS UDAYANA
BUKIT JIMBARAN
2009

You might also like