You are on page 1of 11

JOURNAL READING

Pendekatan Sederhana dan Evolusional untuk Merekanalisasi

Obstruksi Duktus Nasolakrimalis

Pembimbing :
dr. Muhammad Edrial, SpM

Penyusun :
Putri Yuliani
030.05.174

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata

Rumah Sakit Otorita Batam

Periode 31 Mei – 3 Juli 2009

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti


Pendekatan Sederhana dan Evolusional untuk
Merekanalisasi Obstruksi Duktus Nasolakrimalis
Br J Ophthalmol 2009;93:1438–1443.
DOI:10.1136/bjo.2008.149393

D Chen, J Ge, L Wang, Q Gao, P Ma, N Li, D-Q Li, Z Wang

Abstrak

Tujuan. Untuk mengevaluasi pendekatan baru rekanalisasi obstruksi duktus nasolakrimalis


(RC-NLDO) dalam penatalaksanaan obstrusi duktus nasolakrimalis (NLDO) dan dakriosistitis
kronik.

Metode. 583 pasien dengan 641 mata yang menderita NLDO dan dakriosistitis kronik
diikutertakan dalam studi ini. RC-NLDO dilakukan pada 506 mata, dengan 135 mata
menjalani dakriosistorhinostomi (EXDCR) sebagai kontrol. Tindaklanjut pasien setelah
tindakan dalam 54 bulan dievaluasi berdasarkan gejala, dye dissappearance test, irigasi
lakrimal dan substraksi digital dakriosistogram. RC-NLDO juga dilakukan pada 12 monyet
rhesus untuk pemeriksaan histopatologik.

Hasil. Ratio keberhasilan adalah 93.1% dalam 506 kasus dengan RC-NLDO dan 91.11% dalam
135 kasus dengan EX-DCR. Ratio keberhasilan untuk pembedahan kedua adalah 85.19%
untuk RC-NLDO dan 40.0% untuk EX-DCR. Tidak ditemukan komplikasi mayor intra- atau
pascaoperasi pada kelompok dengan RC-NLDO. Durasi rata-rata operasi RC-NLDO adalah
12.5 menit dan untuk EX-DCR adalah 40.3 menit ( p<0.001). Studi patologis pada monyet
rhesus menunjukkan bahwa jaringan epitel duktus nasolakrimal yang terluka dalam
prosedur RC-NLDO sembuh sempurna dalam 1 bulan tanpa terbentuk jaringan granulasi.

Kesimpulan. Temuan ini menunjukkan bahwa RC-NLDO adalah pendekatan yang terbukti
sederhana dan efektif untuk merekanalisasi obstruksi duktus narolakrimalis dibandingkan
dengan EX-DCR.

Obstruksi duktus nasolakrimalis (NLDO) dan dakriosistitis kronik merupakan penyakit


oftalmik yang umum. Sejak tahun 1904, seperti yang dilaporkan oleh Toti, tindakan
dakriosistorhinostomi eksternal (EX-DCR) merupakan tindakan bedah yang paling efektif dan
merupakan tindakan standar untuk kondisi ini. 1Namun, EX-DCR merupakan prosedur yang
invasif, relatif kompleks, dan memakan waktu yang menyebabkan bekas luka pada kulit
wajah. Banyak penderita yang memilih untuk tetap menderita penyakit ini dibandingkan
harus menjalani bedah tersebut.2,3Saat ini telah dibuat perbaikan dari DCR, seperti
endonasal DCR dan endokanalikular laser DCR. Pendekatan ini awalnya cukup menjanjikan
tetapi tetap membutuhkan tindakan bone removal dan memerlukan peralatan yang cukup
mahal. Prosedur bedah ini dilaporkan memiliki hasil yang kurang efektif dibandingkan EX-
DCR dan melibatkan suatu learning curve.4-9Pendekatan dari EX-DCR dan prosedur-prosedur
baru ini adalah untukmembuat sistem drainase bypass, bukan untuk merestorasi obstruksi
duktus nasolakrimalis. Rekanalisasi obstruksi duktus nasolakrimalis (RC-NLDO) adalah
pendekatan bedah yang evolusional untuk menatalaksana kondisi ini untuk merestorasi
duktus nasolakrimalis, menggunakan instrumen yang sederhana, kanaliser lakrimal, yang
diciptakan pada tahun 1994. 10Sejak itu, pendekatan ini telah diadopsi secara luas oleh
banyak oftalmologis di China karena dinilai aman, sederhana, efektif, dan invasi minimal. 11-15
Pada studi ini, kami melaporkan hasil tindak-lanjut jangka panjang dari RC-NLDO dalam
terapi klinis untuk 506 kasus NLDO dan dakriosistitis kronik, begitu juga dengan temuan
histopatologis dari eksperimen hewan. Juga didiskusikan indikasi relatif, kontraindikasi,
teknik bedah, perawatan pascaoperasi, komplikasi, keuntungan, dan kerugian dari RC-NLDO.

Material dan Metode

Pasien

Studi ini sesuai dengan prinsip Declaration Of Helsinki dan telah disetujui oleh Institutional
Review Board (IRB)/ Komite Etik dari Pusat Oftalmik Zhongshan, Universitas Sun Yat-sen.
Semua kasus dipilih dari pasien rawat jalan yang telah didiagnosa menderita NLDO dan/atau
dakriosistitis kronik. Semua pasien menjalani pemeriksaan preoperatif intranasal dan
oftalmik secara komprehensif. Dakriosistogram atau substraksi digital dakriosistogram
dilakukan pada beberapa kasus.

Total 641 mata dari 583 pasien diambil dari bulan Juli 2003 sampai bulan Juni 2006 dengan
informed consent yang telah ditandatangani, termasuk 135 mata dari 126 pasien menjalani
EX-DCR dan 506 dari 457 pasien menjalani RC-NLDO. Tidak ditemukan adanya perbedaan
demografik secara statistik pada kedua kelompok pasien ini. Ratio laki-laki-perempuan
kurang-lebih sekitar 1:3, dan usia rata-rata adalah 50 tahun. Durasi gejala adalah dari 6
bulan hingga 26 tahun (rata-rata 5.1 tahun) pada kelompok RC-NLDO dan dari 6 bulan
hingga 17 tahun (rata-rata 4.7 tahun) pada kelompok EX-DCR.

Instrumen yang digunakan untuk RC-NLDO

Instrumen yang digunakan untuk rekanalisasi obstruksi duktus nasolakrimalis adalah


kanaliser lakrimal yang terdiri dari sebuah console dan aksesorisnya (fig.1). Alat ini memiliki
power discharge 50-150 W dengan frekuensi 500kHz. Probe high-frequent lacrimal (HFL)
dibuat dengan campuran perak-tembaga dengan diameter 1.2 mm dan panjang 140 mm.
Ujungnya memiliki panjang 2.0 mm, halus, tumpul dan telanjang (tanpa diberi lapisan pada
permukaannya), sehingga memungkinkan alat ini untuk mengkauterisasi jaringan yang
tersumbat pada duktus nasolakrimalis.
Prosedur Bedah

EX-DCR dilakukan dalam anestesia lokal. 9 RC-NLDO dilakukan dalam anestesi lokal infiltrasi
dengan lidokain HCl 2%. Meatus nasi inferior diterapi dua kali dengan tetes mata Alcaine
0.5% (Alcon, Fort Worth, Texas) dan cairan Efedrin HCl 1% yang diteteskan pada kasa, dan
kemudian ditutup dengan menggunakan kasa yang sama untuk melindungi dasar hidung.
Probe HFL dimasukkan kedalam duktus nasolakrimal sampai kasa tersebut bergerak,
mengindikasikan bahwa ujung probe telah mencapai kavum nasi. Kemudian, dilakukan
elektrokauterisasi sambil probe ditarik secara retrograd. Jaringan yang tersumbat pada
duktus nasolakrimal dengan mudah dapat dikauterisasi oleh energi tersebut dan
membentuk suatu tuba dengan pinggir yang sedikit terbakar. Kauterisasi dihentikan ketika
probe tersebut sudah hampir keluar dari duktus nasolakrimal. Probe HFL kemudian
dimasukkan kembali kedalam duktus nasolakrimal untuk memeriksa apakah masih terdapat
obstruksi. Apabila ditemukan adanya tahanan, prosedur elektrokauterisasi diulang sampai
probe HFL dapat melewati duktus nasolakrimali dengan bebas tanpa hambatan. Sistem
drainase lakrimal kemudian diirigasi dengan cairan antibiotik.

Perawatan Pascaoperasi

Semua pasien mendapat pengobatan tetes mata antibiotik topikal dan astringent untuk
mukosa nasal empat kali sehari selama 10 hari. Pasase lakrimal diirigasi dengan cairan
antibiotik setiap minggu dalam setengah bulan pertama setelah operasi. Evaluasi
pascaoperasi dan tindak-lanjut jangka panjang dilakukan oleh dokter yang sama.
Kriteria Definisi dari Efek Klinis

Keberhasilan secara klinis didefinisikan berdasarkan hasil dari dye disappearance test, irigasi
lakrimal dan gejala pada pasien. ”Full success” ditentukan apabila ditemukan pulasan
fluoresens positif dalam waktu 5 menit, mengindikasikan pasase nasolakrimal lancar, dan
gejala lainnya sudah tidak ada. Irigasi lakrimal dilakukan apabila tidak ditemukan pulasan
fluoresens, atau baru terlihat
dalam waktu lebih dari 10
menit.”Partial success” ditentukan
apabila terdapat fluroesens pada
kasa setelah dilakukan irigasi
lakrimal dan tidak ditemukan
refluks.”Partial success” juga
ditentukan pada pasien yang
memiliki beberapa gejala tetapi
tidak ditemukan adanya refluks
pada irigasi lakrimal.”Failure”
ditentukan apabila tidak
didapatkan perbiakan atau terjadi
mata berair yang rekuren dengan
refluks berat pada irigasi saat
kontrol terakhir.

Studi Histopatologis setelah RC-


NLDO pada Monyet Rhesus

Dua belas monyet rhesus (usia 1.5-


2 tahun dan berat 4-6 kg)
didapatkan dari Guangdong
Medical Laboratory Animal Center,
Guangdong, China. Prosedur
eksperimental dilakukan seusai
dengan pernyataan ARVO terhadap
Use of Animals in Ophtlamic and
Vision Research. Dipilih satu mata
secara acak dari setiap monyet untuk dilakukan RC-NLDO, dan mata lainnya digunakan
sebagai kontrol. Operasi dan perawatan pascaoperasi dilakukan dengan cara yang sama
dengan pasien-pasien di atas. Binatang-binatang tersebut kemudian dibunuh dengan
barbiturat overdosis pada hari ke-7, 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan setelah operasi.
Spesimen-spesimen yang terdiri dari kanalikuli, sakus lakrimalis dan duktus nasolakrimalis
diambil secara hati-hati untuk pemeriksaan histopatologis.
Hasil

Kondisi Pascaoperasi Pasien

Kondisi pascaoperasi pasien dirangkum dalam tabel 1. Durasi gejala berkisar dari 6 bulan
sampai 26 tahun (rata-rata 5.1 tahun) pada kelompok RC-NLDO, dan dari 6 bulan sampai 17
tahun pada kelompok EX-DCR. Terdapat 49 (9.67%) kasus yang menderita tearing rekuren
dari operasi sebelumnya (EX-CDR atau intubasi silikon) pada kelompok RC-NLDO,dan 10
kasus (7.41%) rekuren pada grup EX-DCR. Periode follow-up setelah operasi berkisar dari 12
sampai 54 bulan (rata-rata 28.5 bulan).

Efek klinis dari RC-NLDO dan EX-DCR

Hasil dari operasi dirangkum dalam tabel 2. Durasi operasi pada RC-NLDO berkisar 8 sampai
19 menit (rata-rata 12.5 menit dengan SD 2.6 menit), secara signifikan lebih singkat dari
kelompok EX-DCR yang berdurasi 30-50 menit (rata-rata 40.3 menit dengan SD 4.7 menit)
(p<0.001). Pada kelompok RC-NLDO, didapatkan full success pada 440 mata (86.96%),
partial success pada 31 kasus (6.13%) dan rekuren pada 35 kasus (6.92%). Tingkat
keberhasilan total adalah 93.08% (471/506) dengan terapi tunggal. Sebanyak 27 kasus gagal
menjalani operasi kedua 3 bulan kemudian. Setelah operasi kedua, 20 (74.07%) kasus
mencapai full success; tiga (11.11%) kasus mencapai partial success, dan hanya 4 kasus
(14.81%) yang mengalami kegagalan. Rasio keberhasilan total pada terapi kedua adalah
85.19%. Pada kelompok EX-DCR, full success mencapai 118 (87.14%) kasus, partial success
mencapai lima kasus (3.70%) dan yang mengalami kegagalan adalah 12 (8.89%) kasus.
Sebanyak 10 dari kasus yang gagal menjalani operasi kedua, dimana terdapat empat (40.0%)
kasus berhasil, dan 6 (60.0%) kasus gagal. Tidak ditemukan perbedaan secara statistik dalam
hasil operasi antara kedia kelompok ini pada operasi primer (p=0.816), sementara
ditemukan perbedaan yang cukup signifikan pada pasien yang mengalami rekuren (p <
0.013). Substraksi digital dakriosistogram menunjukkan bahwa rongga rekonstruksi duktus
nasolakrimalis pada RC-NLDO jauh lebih lebar dibanding normal (fig.2).
Komplikasi dari RC-NLDO dan EX-DCR

Pada grup EX-DCR, satu pasien (0.74%) mengalami perdarahan pascaoperasi segera setelah
operasi; delapan pasien (5.93%) dilaporkan mengeluh nyeri transien pada segmen superior
pada os maxilla, tetapi masih dapat ditoleransi; dan 30 pasien (22.22%) mengeluhkan bekas
luka operasi yang tampak jelas. Tidak ditemukan infeksi atau perdarahan yang tidak
terkontrol. Pada grup RC-NLDO, empat pasien (0.79%) mengalami hematoma subkutaneus
periokular pascaoperasi. Tidak ditemukan komplikasi lainnya pada grup ini.

Hasil histopatologis pada monyet rhesus yang menjalani RC-NLDO

Pada monyet rhesus normal, sakus lakrimal dibatasi oleh sel epitel kolumnar berlapis yang
berisikan sel-sel goblet yang tersebar pada membrana basalis sementara duktus
nasolakrimalis dibatasi oleh dua lapis epitel, lapisan superfisial oleh sel kolumnar dan lapisan
basal oleh sel skuamosa non-keratinisasi (fig 3A,B). Dibedakan secara histologis dengan
sakus lakrimal dalam kurangnya jumlah sel goblet.
Proses penyembuhan dari epitel pada duktus nasolakrimalis setelah RC-NLDO pada monyet
rhesus dievaluasi dengan pemeriksaan histopatologis. Potongan melintang dari spesimen
diambil segera setelah RC-NLDO menunjukkan epitel duktus nasolakrimal yang intak dan
hampir semua epitel duktus nasolakrimal yang hilang dengan sedikit sel sisa tampak sebagai
pulau kcil pada membrana basalis (fig 3C,D). Potongan spesimen yang diambil 1 minggu
setelah operasi menunjukkan adanya migrasi sel dari epitel residual. Sel-sel epitel
membentuk satu lapisan dan menutupi permukaan membrana basalis secara longgar.
Tampak sel-sel inflamasi menginfiltrasi pada lamina propria (fig 3E,F). Spesimen yang
diambil 1 bulan setelah operasi menunjukkan epitel yang telah sembuh sempurna dengan
dua lapis sel yang sama dengan spesimen kontrol normal. Tidak tampak infiltrasi sel-sel
inflamasi pada lamina propria (3G,H). Epitel pada spesimen yang diambil 2-3 bulan
kemudian normal secara morfologi dan histologi (fig 3I-L). Tidak terdapat jaringan granulasi
pada semua spesimen.
Diskusi

Terapi ideal untuk NLDO adalah rekanalisasi duktus yang tersumbat dan merestorasi
struktur anatomis dan fungsi fisiologis normal dari sistem drainase lakrimal. EX-DCR
merupakan tindakan operasi dengan tingkat keberhasilan 80-95%, namun tindakan ini
memiliki prosedur yang relatif kompleks dan membutuhkan insisi kulit dan bone removal
untuk membuat fistula mukosa dari sakus lakrimalis langsung ke kavum nasi, dimana
akhirnya meninggalkan bekas luka pada kulit wajah dan mengganggu anatomi canthal
medial.1,5,6,16,17

Maka, untuk mengatasi kekurangan ini, sejumlah pengembangan terapeutik pada DCR telah
dilaporkan saat ini, seperti endonasal (endoskopik) DCR dan endokanalikuler laser
DCR.9,18Namun, teknik-teknik baru tersebut memiliki kekurangan yang jelas, seperti
memakan waktu lama dan membutuhkan learning curve.5-9. Sebagai tambahan, EX-DCR dan
pendekatan baru ini tidak merestorasi obstruksi duktus nasolakrimal tetapi membuat
bypass sistem drainase, dimana bukan pasase fisiologis dari air mata.

Rekanalisasi obstruksi duktus nasolakrimal (RC-NLDO) merupakan pendekatanyang


sederhana dan evolusional untuk menatalaksana NLDO dan dakriosistitis kronik. Dalam 5
tahun terakhir, kami telah melaksanakan studi ini dengan follow-up jangka panjang (hingga
54 bulan) untuk mengevaluasi RC-NLDO dibandingkan dengan EX-DCR. Temuan kami
mendemonstrasikan bahwa RC-NLDO memiliki keberhasilan tinggi dengan tingkat
kesuksesan 93.18% pada operasi primer dan 85.19% pada operasi kedua. Studi patologis
pada monyet rhesus lebih jauh lagi memastikan bahwa epitel yang terluka saat operasi pada
duktus nasolakrimalis mulai sembuh dalam satu minggu dan sembuh sempurna dalam 1
bulan, membuat suatu rongga rekanalisasi yang lebar.

RC-NLDO telah mencapai tingat keberhasilan yang tinggi dibandingkan dengan EX-DCR. Hal
ini mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut. Pertama, dibuat lumen yang lebih besar
(fig 2B). Pada terapi laser, rongga yang dibentuk lebih sempit karena diameter yang terbatas
(0.4-0.6mm) dari fiber laser. Namun, pada RC-NLDO, diameter probe HFL adalah 1.2 mm.
Menurut formula “S=πr2”, area yang terbuka ( S=1.13 mm 2) dari rongga duktus pada
potongan melintang oleh RC-NLDO adalah 4-9 kali lebih besar dari yang dihasilkan oleh laser
(0.13-0.28mm2). Menurut hukum Poiseuille, resistensi aliran adalah berbanding terbalik
secara proporsional dengan radius dari duktus, resistensi aliran airmata melalui rongga yang
dibuat dengan RC-NLDO akan 16-81 kali lebih rendah dibandingkan dengan yang dihasilkan
oleh terapi laser. Kedua, insidens pembentukan pasase yang salah lebih rendah. Tidak
terdapat pembentukan false passage merupakan kunci dari keberhasilan. Pada kondisi
normal, soft tissue pada membranosa duktus nasolakrimal melekat kuat pada tulang-tulang
disekelilingnya. Karena itu, apabila tidak terbentuk false passage, arah dari komtraksi luka
operasi menjadi asentris, yang mana akan menarik soft tissue ke dinding tulang-tulang
duktus nasolakrimalis, sehingga kontraksi asentris dari luka operasi tidak akan
mengobstruksi rongga dan tidak akan mengurangi tingkat keberhasilan. Apabila terbentuk
false passage, arah dari kontraksi luka operasi akan menarik dirinya sendiri ke arah sentral
dari duktus nasolakrimalis yang sudah direkonstruksi, yang akhirnya dapat mempersempit
atau menyumbat rongga tersebut. False passage dapat dihindari pada sebagian besar kasus
apabila elektrokauterisasi dilakukan secara simultan sambil secara perlahan menarik probe
HFL setelah ujungnya dimasukkan ke dalam kavum nasi selama prosedur RC-NLDO.

Teknik RC-NLDO memiliki beberapa keuntungan, seperti (1) trauma minimal dan tidak ada
luka pada kulit wajah karena operasi dilakukan tanpa insisi kulit dan eksisi tulang;(2) lebih
sedikit gangguan pada fungsi pompa lakrimal karena operasi merestorasi pasase air mata
fisiologis tanpa membuat sistem drainage bypass;(3) lebih sederhana, mudah, dan cepat
(rata-rata 12.5 menit) dibanding prosedur lain. Biasanya, kanalikuli inferior terletak lebih
tinggi pada drainase air mata (sekitar 75%). Maka, kanalikuli superior yang dipilih untuk
dilewati probe HFL, yang mana melindungi fungsi dari drainase airmata apabila terjadi
kerusakan yang tak terduga. Titik yang paling terobstruksi dapat dipenetrasi dengan
manipulasi rotasional dengan sedikit tenaga dalam elektrokauterisasi. Dalam prosedur ini,
jaringan yang tersumbat dikauterisasi untuk membakar tepi rongga sehingga melekat erat
pada dinding rongga baru saja dibuka, dan menjadi membran penahan pada dinding duktus
nasolakrimalis. Selain itu, saat probe HFL ditarik keluar, manipulasi rotasional dapat menjaga
rongga tersebut tetap intak dan meminimalisasi risiko perdarahan pascaoperasi, inflamasi
dan sinekia.

RC-NLDO juga merupakan terapi pilihan pada pasien yang menderita mucocele pada sakus
lakrimal, obstruksi duktus lakrimal dengan rhinitis atrofi atau sakus lakrimal yang kecil. RC-
NLDO sesuai untuk pasien yang tidak berespon dengan terapi EX-DCR. RC-NLDO kurang
sesuai untuk menatalaksana obstruksi tulang-tulang duktus nasolakrimalis yang dapat
diterapi dengan EX-DCR. Kontraindikasi untuk RC-NLDO termasuk dakriosistitis akut,
hipertensi atau penyakit jantung berat (khususnya yang menggunakan pace-maker).

Kesimpulannya, pendekatan RC-NLDO yang sederhana dan evolusional telah dievaluasi


dengan follow-up jangka panjang pada pasien dengan populasi besar dan pemeriksaan
patologis pada binatang, dan temuannya mendemonstrasikan bahwa pendekatan baru ini
terbukti dapat merekanalisasi onstruksi duktus nasolakrimali. Ketika dibandingkan dengan
EX-DCR, RC-NLDO adalah pilihan baru untuk menatalaksana NLDO dan dakriosistitis kronik
dengan tingkat keberhasilan yang sama atau lebih baik. Keuntungannya termasuk
efektivitasnya, invasi minimal, keamanan, dan sederhana. RC-NLDO juga merupakan pilihan
optimal untuk pasien yang mengalami rekuren yang gagal untuk merespon terapi EX-DCR
dan untuk pasien dengan sakus lakrimalis yang kecil atau rhinitis atrofi yang kurang sesuai
diterapi dengan EX-DCR.

You might also like