You are on page 1of 37

TEORI BELAJAR ALIRAN PSIKOLOGI BEHAVIORISTIK,

KOGNITIFISTIK DAN HUMANISTIK


Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“ Psikologi Belajar Pendidikan Agama Islam ”

Oleh:
Rida Ulfa Ulum : D01208118
Athik Winarsih : D01208123
Kuteb Syarifuddin : D01208124
Devi Agusdina M : D01208125

Dosen Pembimbing:
Drs. Syaifuddin, M. Pd. I

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2009
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
lantunan syukur kami haturkan kepada-Nya sehingga kita masih dalam lingkaran
shirot al-mustaqim.
Sholawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada junjungan
seluruh umat, sang penegak kebenaran, Nabi Muhammad SAW karena ajaran
beliaulah kita selamat dari kedzaliman dunia dan akhirat.
Begitu sulitnya menyempurnakan makalah ini sehingga terlalu jauhdari
kata layak dan pantas untuk dikonsumsi oleh para pembaca dan kami menyadari
sepenuhnya bahwa makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan
semua pihak, untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu demi terselesaikannya penyusunan makalah ini, yang terlalu
banyak untuk disebutkan satu persatu.
Dengan selesainya makalah ini, kami berharap membawa manfaat bagi
pembaca dan kami sendiri khususnya. Kritik dan saran yang bersifat membangun
akan kami terima dengan senang hati.

Surabaya, 12 Oktober 2009

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Teori belajar adalah teori yang prakmatik dan eklektik. Teori dengan
sifat demikian ini hampir dipastikan tidak pernah mempunyai sifat ekstrim.
Tidak ada teori belajar yang secara ekstrim memperhatikan aspek siswa saja,
aspek guru saja, aspek kurikulum saja dan sebagainya.
Titik fokus yang menjadi pusat perhatian suatu teori selalu ada. Ada
yang lebih mementingkan proses belajar, ada yang lebih mementingkan sistem
informasi yang diolah dalam proses belajar, dan lain-lain. Namun faktor-
faktor lain du luar titik fokus itu juga selalu diperlukan untuk menjelaskan
seluruh persoalan belajar yang dibahas.
Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam
hubungannya manusia sebagai makhluk sosial, terkandung suatu maksud
bahwa manusia bagaimanapun juga tidak lepas dari individu yang lainnya.
Secara kodrati manusia akan selalu hidup bersama. Hidup bersama antar
manusia akan berlangsung dalam berbagai bentuk komunikasi dan situasi.
Dalam kehidupan semacam inilah terjadi interaksi. Dengan demikian kegiatan
hidup manusia akan selalu disertai dengan proses interaksi atau komunikasi,
baik interaksi dengan alam lingkungan, interaksi dengan sesama, maupun
interaksi dengan tuhannya, baik itu sengaja maupun tidak disengaja.
Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ketidak terbatasannya akal
dan keinginan manusia, untuk itu perlu difahami secara benar mengenai
pengertian proses dan interaksi belajar. Belajar dan mengajar adalah dua
kegiatan yang tunggal tapi memang memiliki makna yang berbeda. Belajar
diartikan sebagai suatu perubahan tingkah-laku karena hasil dari pengalaman
yang diperoleh. Sedangkan mengajar adalah kegiatan menyediakan kondisi
yang merangsang serta mangarahkan kegiatan belajar siswa/subjek belajar
untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang dapat
membawa perubahan serta kesadaran diri sebagai pribadi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi teori belajar psikologi behavioristik?
2. Apa definisi teori belajar psikologi kognitifistik?
3. Apa definisi teori belajar psikologi humanistik?
4. Bagaimana konsep teori belajar behavioristik, kognitifistik dan
humansitik?
5. Apa kelebihan dan kekurangan dari teori belajar untuk materi
pembelajaran tertentu di sekolah?
6. Bagaimana implikasi dari teori-teori belajar tersebut?

C. Tujuan Pembahasan
1. Memahami ciri dan konsep ketiga teori belajar psikologi.
2. Mampu mengaplikasikan sebuah teori terhadap pembelajaran di
sekolah.
3. Mengetahui suatu keunggulan dan kekurangan dari masing-masing
teori tentang belajar.
4. Mengetahui bagaimana cara menerapkan teori-teori belajar dalam
pendidikan.
5. Mendeskripsikan implikasi teori belajar.
6. Mengkaji implikasi dari teori-teori belajar.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Belajar Behaviorisme


1. Teori Behaviorisme
Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinspip
umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan
penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan
1
peristiwa belajar.
Teori belajar behaviorisme adalah sebuah teori yang dicetuskan
oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
2
pengalaman.
Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami
perilaku individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena
jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme
tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam
suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian
rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Teori kaum behavoris
lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah
hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh
lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau
jelek, rasional atau emosional, behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana
perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.
Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku
manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon
terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku
mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri
dari teori ini adalah

1
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, 2009 . (PT: Raja Grafindo Pustaka:Jakarta). Hal. 92.
2
Gage, N.L., & Berliner, D. Educational Psychology. Second Edition, (Chicago: Rand
Mc. Nally), 1979.
a. Mementingkan faktor lingkungan
b. Menekankan pada faktor bagian
c. Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan
mempergunakan metode obyektif.
d. Bersifat mekanis
e. Mementingkan masa lalu
f. Mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil
g. Mementingkan pembentukan reaksi atau respon
h. Menekankan pentingnya latihan
i. Mementingkan mekanisme hasil belajar
j. Mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh
adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah
laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau
reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar
terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya.
Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa
merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.
2. Tokoh-Tokoh Teori Belajar Behaviorisme
a. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan
Rusia. Ia mengemukakan bahwa dengan menerapkan strategi ternyata
individu dapat dikendalikan melalui cara stimulus alami dengan
stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang
diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan
3
oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
Pavlov mengadakan percobaan laboratories terhadap anjing.
Dalam percobaan ini anjing di beri stimulus bersarat sehingga terjadi
reaksi bersarat pada anjing. Contoh situasi percobaan tersebut pada

3
Baharuddin, Nur Wahyuni, Teori Belaar danPembelajaran, 2008 . (Ar-Ruz
Media:Jogjakarta). Hal, 57.
manusia adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu tanpa disadari
menyebabkan proses penandaan sesuatu terhadap bunyi-bunyian yang
berbeda dari pedagang makan, bel masuk, dan antri di bank. Dari
contoh tersebut diterapkan strategi Pavlo ternyata individu dapat
dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus
yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan.
Sementara individu tidak sadar dikendalikan oleh stimulus dari luar.
Belajar menurut teori ini adalah suatu proses perubahan yang terjadi
karena adanya syarat-syarat yang menimbulkan reaksi.Yang terpenting
dalam belajar menurut teori ini adalah adanya latihan dan
pengulangan. Kelemahan teori ini adalah belajar hanyalah terjadi
secara otomatis keaktifan dan penentuan pribadi dihiraukan.

b. Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya
asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulus dan respon.
Thorndike menggambarkan proses belajar sebagai proses pemecahan
masalah. Dalam penyelidikannya tentang proses belajar, pelajar harus
diberi persoalan, dalam hal ini Thorndike melakukan eksperimen
dengan sebuah puzzlebox. Eksperimen yang dilakukan adalah dengan
kucing yang dimasukkan pada sangkar tertutup yang apabila pintunya
dapat dibuka secara otomatis bila knop di dalam sangkar disentuh.
Percobaan tersebut menghasilkan teori Trial dan Error. Ciri-ciri belajar
dengan Trial dan Error Yaitu : adanya aktivitas, ada berbagai respon
terhadap berbagai situasi, ada eliminasai terhadap berbagai respon
yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.
Atas dasar percobaan di atas, Thorndike menemukan hukum-
hukum belajar :
1) Hukum Kesiapan (Law of Readiness)
Jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat
untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan
menimbulkan kepuasan individu sehingga asosaiasi cenderung
diperkuat.
2) Hukum Latihan
Hukum latihan akan menyebabkan makin kuat atau makin
lemah hubungan S-R. Semakin sering suatu tingkah laku dilatih
atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin kuat. Hukum ini
sebenarnya tercermin dalam perkataan repetioest mater studiorum
atau practice makes perfect.
3) Hukum akibat ( Efek )
Hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila
akibat menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya
tidak memuaskan. Rumusan tingkat hukum akibat adalah, bahwa
suatu tindakan yang disertai hasil menyenangkan cenderung untuk
dipertahankan dan pada waktu lain akan diulangi. Jadi hokum
akibat menunjukkan bagaimana pengaruh hasil suatu tindakan bagi
perbuatan serupa.

c. Skinner (1904-1990)
Skinner menganggap reward dan reinforcement merupakan
faktor penting dalam belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan
psikologi adalah meramal, mengontrol tingkah laku. Pada teori ini
guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan
lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning.
Operant conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operant
yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali
atau menghilang sesuai keinginan.
Operant conditing menjamin respon terhadap stimuli. Bila tidak
menunjukkan stimuli maka guru tidak dapat membimbing siswa untuk
mengarahkan tingkah lakunya. Guru memiliki peran dalam mengontrol
dan mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tercapai tujuan
yang diinginkan.
Prinsip belajar Skinners adalah :
1) Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah
dibetulkan jika benar diberi penguat.
2) Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi
pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
3) Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas
sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu
diubah untuk menghindari hukuman.
4) Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan
sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal
variable ratio reinforcer.
5) dalam pembelajaran digunakan shapping.

3. Analisis Tentang Teori Behavioristik


Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses
perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi
stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang
masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan
kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil
yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-
bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang
komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para
pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling
besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik.
Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran
berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak
pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor
penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang
menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu
menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau
hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat
diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak
mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam
hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya
variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman
penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa
dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang
relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga
dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan
behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat
diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk
berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan
teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu
membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga
menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal
banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak
sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik
memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan
pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif
(negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir
dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam
proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak
sependapat dengan Guthrie, yaitu:
a. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat
sementara.
b. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi
bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
c. Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain
(meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan
kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal
lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang
diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat
negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya
terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon
yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat
negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi
semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena
melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan
kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi
(bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk
memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif.
Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive
reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun
bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif
adalah mengurangi agar memperkuat respons.

4. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran


Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap
arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga
kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan
model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku
akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila
dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran
tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi
pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang
tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap,
tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar
adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag
sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah,
sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan
oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan
akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang
harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai
objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari
pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang
terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam
proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan
dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang
dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran
dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar
untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya
sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis
dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti
kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk
berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah
terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu
secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan
pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk
perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan
dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta
didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga
kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri
pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”,
yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan
yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi
atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau
akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan.
Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas
belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku
wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara
terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil
belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar
menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini
menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari
kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan
pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar
secara individual.

B. Teori Belajar Kognitivisme


Ada beberapa ahli yang belum merasa puas terhadap penemuan
para ahli sebelumnya mengenai belajar sebagai sebuah proses hubungan
stimulus-response-reinforcement. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku
seseorang tidak hanya dikontrol oleh reward dan reinforcement. Menurut
mereka tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognitif, yaitu
tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu
terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu
dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Jadi kaum kognitifis
berpandangan, bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada
pemahaman terhadap hubungan – hubunganyang ada didalam suatu
situasi. Mereka memberi tekanan pada organisasi pegamatan atas stimuli
di dalam lingkungan serta pada faktor yang mempengaruhi pengematran
tersebut.
1. Teori kognitif Gestalt
Teori kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar
gestalt. Peletak dasar teori gestalt adalah Merx Wertheimer (1880-1943)
yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya
diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci
tentang hokum-hukum pengamatan, kemudian Wolfgang Kohler (1887-
1959) yang meneliti tentang insight pada simpase. Kaum gestaltis
berpendapat bahwa pengalaman itu berstuktur yang terbentuk dalam suatu
keseluruhan. Menurut pandangan gestaltis, semua kegiatan belajar
menggunakan pemahaman terhadap hubungan hubungan, terutama
hubungan antara bagian dan keseluruhan. Intinya, menurut mereka, tingkat
kejelasan dan keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar
adalah lebih meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada
dengan hukuman dan ganjaran.
2. Teori belajar Cognitive-field dari Lewin
Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar
kognitiv-field dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan
psikologi social. Lewin memandang masing-masing individu berada di
dalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana
individu bereaksi disebut life space. Life space mencankup perwujudan
lingkungan di mana individu bereaksi, misalnya ; orang – orang yang
dijumpainya, objek material yang ia hadapi serta fungsi kejiwaan yang ia
miliki. Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari
perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan sruktur kognitif itu adalah
hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur medan kognisi itu sendiri,
yang lainya dari kebutuhan motivasi internal individu. Lewin memberikan
peranan lebih penting pada motivasi dari reward.
3. Teori Belajar Cognitive Developmental dari Piaget
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai
aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak.
Piaget adalah ahli psikolog developmentat karena penelitiannya
mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang
mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget,
pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental
yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektuan adalah tidak
kuantitatif, melainkan kualitatif. Pada intinya, perkembangan kognitif
bergantung kepada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area
yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tak daapat belajar
dari apa yang telah diketahuinya.
4. Jerome Bruner dengan Discovery Learningnya
Yang menjadikan dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari Piaget
yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif di dalam belajar
di kelas. Untuk itu bruner memakai cara dengan apa yang disebutnya
discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasi bahan pelajaran
yang dipelajarai dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat
kemajuan anak tersebut. Bruner menyebutkan hendaknya guru harus
memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang
problem solver, seorang scientist, historian atau ahli matematika. Biarkan
murid kita menemukan arti bagi diri mereka sendiri dan memungkinkan
mereka mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang mereka
4
mengerti.
Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari
kehidupan manusia. Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup
manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup dan
mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan
aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui
belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau
mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan ketrampilan.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu
teori belajar aliran behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar
behavioristik menekankan pada pengertian belajar merupakan perubahan
tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati
dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti
yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar
adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil
pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar
merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti
juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu
aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan
lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan
4
Oemar Hamalik, Psikologi Belajar Mengajar, (Sinar Baru Algesindo:Bandung), 2004.
Hal. 49.
pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara
relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah
suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam
diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan
lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk
pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang
bersifat relatif dan berbekas.
Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar matematika
lebih cenderung termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan
hasilnya tidak dapat dilihat langsung dalam konteks perubahan tingkah
laku. Berikut adalah beberapa teori belajar kognitif menurut beberapa
pakar teori belajar kognitif:
5. Teori Belajar Piaget
Jean Piaget adalah seorang ilmuwan perilaku dari Swiss, ilmuwan
yang sangat terkenal dalam penelitian mengenai perkembangan berpikir
khususnya proses berpikir pada anak.
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan
berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan
tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang keberhasilannya
pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun
tahapan-tahapan tersebut adalah:
a. Tahap Sensori Motor(dari lahir sampai kurang lebih umur
dua tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat
sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba
atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan
kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta
motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif yang penting muncul
pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku yang
tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya
dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan
bergeser darinya.
b. Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur dua tahun
hingga tujuh tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan
anak-anak itu untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya
mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan
ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang
lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia
tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda
dengannya.
c. Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih tujuh sampai sebelas
tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran
logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka
tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari
pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi
konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu
bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan
bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi
misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika
atau penalaran, tetapi jarang mengetahui bila membuat kesalahan.
d. Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur sebelas tahun
sampai limabelas tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu
berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah
dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka
dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan
pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat
kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat
hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal yang bersifat
abstrak.
Berdasarkan uraian diatas, Piaget membagi tahapan
perkembangan kemampuan kognitif anak menjadi empat tahap
yang didasarkan pada usia anak tesebut.
Teori belajar Piaget memberikan pengaruh yang luar biasa
terhadap perkembangan teori pembelajaran kognitif. Hal ini
terbukti dengan banyaknya peneliti yang tertarik melakukan
analisis serta memperluas teori tersebut. salah satu kritik yang
cukup tajam terhadap teori Piaget adalah berkenaan dengan asumsi
bahwa pengertian akan suatu struktur yang sama akan diperoleh
pada usia yang sama dalam berbagai domain intelektual. Implikasi
dari hal ini adalah ketika seorang anak sudah dapat mengawetkan
besaran suatu unsur dengan mengenali bahwa besaran dari benda
tersebut sama terlepas dari bentuknya anak secara rasional dapat
diduga akan mengawetkan konsep berat, karena struktur antara
konsep besaran dan berat sama. Ternyata bersadar pada studi
eksperimental yang dilakukan oleh para peneliti hal ini tidak
sepenuhnya benar. Hal ini dianggap sebagai sebuah penyimpangan.
Penyimpangan yang dimaksud adalah terjadinya perbedaan cara
dalam memperoleh sebuah struktur yang sama oleh seorang
individu. Dari beberapa hasil pengembangan penelitian dalam teori
ini ternyata penyimpangan ini lazim terjadi sebagaimana
diungkapkan oleh Biggs dan Collis (1982). Fakta ini memicu
sebuah pengembangan teori dari teori Piaget yang dikenal dengan
neo-Piagetian theories.
Biggs dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan
analisis teori belajar Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji oleh
kedua peneliti ini berkaitan dengan struktur kognitif. Teori mereka
dikenal dengan Structure of Observed Learning Outcomes
(SOLO). Biggs dan Collis (1982: 22) membedakan antara
“generalized cognitive structure” atau struktur kognitif umum anak
dengan “actual respon” atau respon langsung anak ketika diberikan
perintah-perintah. Mereka menerima kebeadaan konsep struktur
kognitif umum namun mereka menyakini bahwa hal tersebut tidak
dapat diukur langsung sehingga perlu mengacu pada sebuah
“hypothesized cognitive structure” (HCS) atau struktur kognitif
hipotesis. Menurut mereka HCS ini relative lebih stabil dari waktu
ke waktu serta bebas dari pengaruh pembelajaran disaat anak
diukur menggunakan taxonomi SOLO dalam menyelesaikan suatu
tugas tertentu. Penekan pada suatu tugas tertentu sangat penting
seperti yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa
penampilan seseorang sangatlah beragam dalam menyelesaikan
satu tugas dengan tugas lainnya, hal ini berkaitan erat dengan
logika yang mendasarinya, selanjutnya asumsi ini juga meliputi
penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:
Siswa dapat saja berada pada awal level formal dalam
matematika namun berada pada level awal konkrit dalam sejarah,
atau bahkan dapat terjadi, suatu hari siswa berada pada level formal
di matematika namun dilain hari dia masih berada pada level yang
konkrit pada topik yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak
dapat mengindikasikan terdapatnya “pertukaran” dalam
perkembangan kognitif yang berlangsung, tetapi sedikit pertukaran
terjadi pada konstruksi yang lebih proximal , pembelajaran,
penampilan atau motivasi. Biggs & Collis (1991:60)
Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa teori
tersebut lebih menekankan pada analisis terhadap kualitas respon
anak. Untuk melihat respon anak diperlukan butir-butir
rangsangan. Dan butir-butir rangsangan dalam konteks ini tidak
difokuskan untuk melihat kebenaran dari jawaban saja melainkan
lebih pada melihat struktur alamiah dari respon siswa dan
perubahannya dari waktu ke waktu.
Untuk menjelaskan konsep “pertukaran” yang terjadi dalam
pertumbuhan kognitif yang tidak biasa diantara anak-anak sekolah,
Biggs & Collis (1991: 60) menyediakan suatu level tersendiri yang
diberi nama “post formal mode”. Bagaimanapun juga terdapat satu
perbedaan penting dari teori yang dikemukakan Piaget yaitu ketika
mode atau level baru mulai muncul, ini tidak akan menggantikan
level yang lama begitu saja melainkan dapat berkembang
bersamaan. Oleh karena itu mode-model tersebut tumbuh sejak
lahir hingga dewasa. Level terakhir adalah batas tertinggi dari
proses abstraksi yang dapat ditunjukkan anak, bukan seluruh
penampilan yang harus menyesuaikan dengan level-nya. Secara
khusus, ketika semakin banyak mode yang memungkinkan maka
multi-modal fungsioning menjadi normanya.
Berikut adalah 5 mode yang diutarakan oleh Biggs dan
Collis:
1). Mode Sensorimotor
Focus perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik
sekitar anak. Anak membangun kemampuan untuk melakukan
koordinasi dan mengatur interaksinya dengan lingkungan sekitar.
Perkembangan yang berkelanjutan pada mode ini ditunjukkan oleh
kegiatan-kegiatan fisik ketika diperolehnya tacit knowledge.
2). Mode Iconic
Pada mode ini symbol-simbol dan gambar digunakan untuk
merepresentasikan elemen-elemen yang diperolehnya pada mode
sensorimotor. Tanda-tanda tersebut digunakan sebagai peran
pengganti dari komunikasi oral. Cirri-ciri dari anak yang berada
pada mode ini antara lain sering menggunakan strategi menebak,
senang menggunakan alat peraga dan senang membuat gambaran-
gambaran mental. Mode sensorimotor dan iconic adalah mode-
mode alamiah dari seorang manusia yang berkembang secara
alamiah juga. Sedangkan target pertama dari sekolah formal ada
pada mode concrete symbolic.
3). Mode Concrete Symbolic
Pada mode ini anak mengalami “pertukaran” dalam proses
abstraksi. Mereka mulai merepresentasikan dunia fisik melalui
bahasa oral ke dalam bentuk tulisan, yaitu sebuah system symbol
yang akan mereka gunakan dalam kehidupannya di dunia.
Sebuah system symbol memiliki tingkatan dan logika
internal yang dapat memfasilitasi sebuah hubungan antara sistem
simbol dan lingkungan fisik di sekitarnya. Sistem symbol yang
digunakan di sekolah antara lain adalah matematika dan bahasa.
Mode concrete symbolic adalah mode terbesar sebagai target dari
matematika sekolah. Karena dalam matematika anak
menggambarkan dan mengoperasikan objek-objek yang berada di
sekitarnya.
4). Mode Formal
Pada mode ini titik berat kemampuan sesorang adalah pada
kemampuan mengkonstruksi teori tanpa bantuan contoh benda
konkrit. Kemampuan berpikir pada tahap ini meliputi membuat
formula hipotesis dan membuat penalaran yang proporsional. Oleh
karena itu kemampuan ini dituntut pada mahasiswa-mahasiswa di
Perguruan Tinggi.
5). Mode Post Formal
Keberadaan mode ini lebih menekankan pada pembuatan
hipotesis secara deduktif dari pada penyusunan teori berdasarkan
bukti-bukti empiris. Karakteristik terpenting dari mode ini adalah
kemampuan untuk bertanya tentang prinsip-prinsip mendasar dari
sesuatu hal.
Taksonomi SOLO ini terdiri dari lima tahap yang dapat
menggambarkan perkembangan kemampuan berpikir kompleks
pada siswa dan dapat diterapkan di berbagai bidang.
Berikut adalah tahapan respon berpikir berdasar taksonomi
SOLO:
1). Tahap Pre-Structural.
Pada tahap ini siswa hanya memiliki sangat sedikit sekali
informasi yang bahkan tidak saling berhubungan, sehingga tidak
membentuk sebuah kesatuan konsep sama sekali dan tidak
mempunyai makna apapun.
2). Tahap Uni-Structural
Pada tahap ini terlihat adanya hubungan yang jelas dan
sederhana antara satu konsep dengan konsep lainnya tetapi inti
konsep tersebut secara luas belum dipahami. Beberapa kata kerja
yang dapat mengindikasi aktivitas pada tahap ini adalah;
mengindentifikasikan, mengingat dan melakukan prosedur
sederhana.
3). Tahap Multi-Structural
Pada tahap ini siswa sudah memahami beberapa komponen
namun hal ini masih bersifat terpisah satu sama lain sehingga
belum membentuk pemahaman secara komprehensif. Beberapa
koneksi sederhana sudah terbentuk namun demikian kemampuan
meta-kognisi belum tampak pada tahap ini. Adapun beberapa kata
kerja yang mendeskripsikan kemampuan siswa pada tahap ini
antara lain; membilang atau mencacah, mengurutkan,
mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat daftar,
menggabungkan dan melakukan algoritma.
4). Tahap Relational.
Pada tahap ini siswa dapat menghubungkan antara fakta
dengan teori serta tindakan dan tujuan. Pada tahap ini siswa dapat
menunjukan pemahaman beberapa komponen dari satu kesatuan
konsep, memahami peran bagian-bagian bagi keseluruhan serta
telah dapat mengaplikasikan sebuah konsep pada keadaan-keadaan
yang serupa. Adapun kata kerja yang mengidikasikan kemampuan
pada tahap ini antara lain; membandingkan, membedakan,
menjelaskan hubungan sebab akibat, menggabungkan,
menganalisis, mengaplikasikan, menghubungkan.
5). Tahap Extended Abstract
Pada tahap ini siswa melakukan koneksi tidak hanya
sebatas pada konsep-konsep yang sudah diberikan saja melainkan
dengan konsep-konsep diluar itu. Dapat membuat generalisasi serta
dapat melakukan sebuah perumpamaan-perumpamaan pada situasi-
situasi spesifik. Kata-kerja yang merefleksikan kemampuan pada
tahap ini antara lain, membuat suatu teori, membuat hipotesis,
membuat generalisasi, melakukan refleksi serta membangun suatu
konsep.

C. Teori Belajar Humanisme


Pengertian humanistik yang beragam membuat batasan-batasan
aplikasinya dalam dunia pendidikan mengundang berbagai macam arti pula.
Sehingga perlu adanya satu pengertian yang disepakati mengenai kata
humanistik dala pendidikan. Dalam artikel “What is Humanistik Education?”,
Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan
bersifat humanistik dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukkan bahwa ada
beberapa tipe pendekatan humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai
pendekatan-pendekatan ini terangkum dalam psikologi humanistik.
Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic
Psychologist” Abraham Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan
behavioristik. Menurut Abraham, yang terpenting dalam melihat manusia
adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi
perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada
“ketidaknormalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisa
Freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu
bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang
positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi
manusia dan para pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan
penganjarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.
Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi
positif yang terdapat dalam domain afektif, misalnya ketrampilan membangun
dan menjaga relasi yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan
kepercayaan, penerimaan, keasadaran, memahami perasaan orang lain,
kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya adalah
meningkatkan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari.
Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidikan
yang beraliran humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang
membantu anak didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat,
berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan, dan berfantasi.
Pendidik humanistik mencoba untuk melihat dalam spektrum yang luas
mengenai perilaku manusia. “Berapa banyak hal yang bisa dilakukan
manusia? Dan bagaimana aku bisa membantu mereka untuk melakukan hal-
hal tersebut dengan lebih baik?
Melihat hal-hal yang diusahakankan oleh para pendidik humanistik,
tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia
pendidikan. Freudian melihat emosi sebagai hal yang mengganggu
perkembangan, sementara humanistik melihat keuntungan pendidikan emosi.
Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang
nampak dari para pendidik beraliran humanistik. Karena berpikir dan
merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan
mengabaikansalah satu potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar
menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan
humanistik ini sama seperti yang kita dapatkan dari pendidikan yang
menitikberatkan kognisi.
Tokoh Teori Belajar Humanistik:

a. Arthur Combs (1912-1999)


Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan
banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah
konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi
individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak
relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah
bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa
sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku
buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk
melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba
memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah
perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa
yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs
berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa
siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan
sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran
itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk
memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan
menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti
dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil
(1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah
persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin
berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai
sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
b. Abraham Maslow
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya
untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing
orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha
atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan
apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga
memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah
berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia
luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).
Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi
humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan
menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai
dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan).
Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau
hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang
paling tinggi (aktualisasi diri). Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Kebutuhan fisiologis / dasar

2) Kebutuhan akan rasa aman dan tentram

3) Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi

4) Kebutuhan untuk dihargai

5) Kebutuhan untuk aktualisasi diri


c. Carl Rogers
Carl Ransom Rogers dilahirkan di Oak Park, Illinois, pada tahun 1902
dan wafat di LaJolla, California, pada tahun 1987. Semasa mudanya, Rogers
tidak memiliki banyak teman sehingga ia lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk membaca. Dia membaca buku apa saja yang ditemuinya
termasuk kamus dan ensiklopedi, meskipun ia sebenarnya sangat menyukai
buku-buku petualangan. Ia pernah belajar di bidang agrikultural dan sejarah di
University of Wisconsin. Pada tahun 1928 ia memperoleh gelar Master di
bidang psikologi dari Columbia University dan kemudian memperoleh gelar
Ph.D di dibidang psikologi klinis pada tahun 1931.
Pada tahun 1931, Rogers bekerja di Child Study Department of the
Society for the prevention of Cruelty to Children (bagian studi tentang anak
pada perhimpunan pencegahan kekerasan tehadap anak) di Rochester, NY.
Pada masa-masa berikutnya ia sibuk membantu anak-anak bermasalah/nakal
dengan menggunakan metode-metode psikologi. Pada tahun 1939, ia
menerbitkan satu tulisan berjudul “The Clinical Treatment of the Problem
Child”, yang membuatnya mendapatkan tawaran sebagai profesor pada
fakultas psikologi di Ohio State University. Dan pada tahun 1942, Rogers
menjabat sebagai ketua dari American Psychological Society.
Carl Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang menekankan
perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan
terapist) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah
kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban
atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapist hanya membimbing
klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik
assessment dan pendapat para terapist bukanlah hal yang penting dalam
melakukan treatment kepada klien.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah
pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
1) Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar.
Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.

2) Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.


Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan
dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa

3) Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan


dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.

4) Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar


tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-
prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah :
1) Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.

2) Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan


murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.

3) Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai


dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.

4) Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan


dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin
kecil.

5) Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat


diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah
proses belajar.

6) Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.

7) Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan


ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.

8) Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik


perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan
hasil yang mendalam dan lestari.

9) Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih


mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan
mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara
kedua yang penting.

10) Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini
adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus
menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri
mengenai proses perubahan itu.

D. Teori Belajar Konstruktivisme


Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa
siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya
berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa
tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai
ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga
penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut.
1. Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara
bermakna.
2. Pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian
secara bermakna.
3. Mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan
dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme.
Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif
oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan
membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya
keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan
pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara
spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah
mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui
orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru,
pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya
proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan
dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan
sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu
1. Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan
ide yang mereka miliki
2. Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti
3. Strategi siswa lebih bernilai, dan
4. Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling
bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme,
Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan
rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan
gagasannya dengan bahasa sendiri.
2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang
pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif.
3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
4. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang
telah dimiliki siswa.
5. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka,
dan
6. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih
menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan
pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang
telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih
diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.
1. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompok dalam
teori pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori
konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru
dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak
lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan
pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan
segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.
Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan
informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner
(Slavin dalam Nur, 2002: 8).
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting
dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar
memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri
pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan
untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan
atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi
sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke
pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus
memanjat anak tangga tersebut Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa
siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya
berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain,
siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan
berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan
tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut.
Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan
secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan
dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan
antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan
mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar
konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif,
tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi
bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman
nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya
keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan
dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan
secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih
mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah
diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang
baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi
terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan
dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan
sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa
mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang
mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa
mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai
kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu
pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme,
Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan
rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2)
memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya
sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan
kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong
siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih
menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan
pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang
telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih
diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Teori belajar humanisme dan behaviorisme memiliki ciri khas masing-
masing . Teori belajar humanisme berusaha memahami perilaku belajar dari
sudut pandang perilakunya bukan sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama
para pendidik adalah mambantu siswa untuk mengembangkan dirinya yaitu
membantu masing- masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri
sebagai manusia yang unik & membantu dalam mewujudkan potensi- potensi
yang ada pada diri mereka. Sedangkan teori belajar behavioristik merupakan
proses perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus
dengan respons yang menyebabkan siswa mempunyai pengalaman baru.
Aplikasinya dalam pembelajaran adalah bahwa guru memiliki kemampuan
dalam mengelola hubungan stimulus respons dalam situasi pembelajaran
sehingga hasil belajar siswa dapat optimal.
Teori konstruktivisme memiliki cirri khas dengan penekanan pada
konteks dimana keterampilan akan dipelajari dan diaplikasikan dan
menempatkan belajar dalan konteks yang bermakna. Sedangkan teori
kognitivisme didasarkan pada kognisi,yaitu tindakan mengenal atau memikirkan
situasi dimana tingkah mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu
terjadi.
Manfaat dari beberapa teori belajar adalah :
1. Membantu guru untuk memahami bagaimana siswa belajar,
2. Membimbing guru untuk merancang dan merencanakan proses
pembelajaran,
3. Memandu guru untuk mengelola kelas,
4. Membantu guru untuk mengevaluasi proses, perilaku guru sendiri
serta hasil belajar siswa
5. yang telah dicapai,
6. Membantu proses belajar lebih efektif, efisien dan produktif,
7. Membantu guru dalam memberikan dukungan dan bantuan kepada
siswa sehingga dapat
8. mencapai hasil prestasi yang maksimal.
Implikasi perkembangan teori pembelajaran sekarang sangatlah
beragam. Guru dapat menerapkan menurut aliran-aliran teori tertentu. Seperti
teori behavioristik dalam pembelajaran guru memperhatikan tujuan belajar,
karakteristik siswa, dan sebagainya.

B.Saran

Pengertian, prinsip, dan perkembangan teori pembelajaran hendaknya


dipahami oleh para pendidik dan diterapkan dalam dunia pendidikan dengan
benar, sehingga tujuan pendidikan akan benar-benar dapat dicapai. Dengan
memahami berbagai teori belajar, prinsip-prinsip pembelajaran dan
pengajaran, pendidikan yang berkembang di bangsa kita niscaya akan
menghasilkan out put-out put yang berkualitas yang mampu membentuk
manusia Indonesia seutuhnya.
DAFTRAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Supriono, Widodo. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta:


Rineka Cipta.
Baharuddin dan Wahyuni, Nur. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran.
Jogajakarta : Ar-Ruz Media Group.
Hamalik, Oemar. Psikologi Belajar dan Mengajar. 2007. Bandung:Sinar Baru
Algesindo Offset
Sudjana, Nana. 1989. Teori-teori Belajar Untuk Pengajaran. Jakarta: UI Press.
Syah,Muhibbin. 2009. Psikologi Belajar. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada

You might also like