You are on page 1of 12

Kebijakan Pendidikan : intervensi pemerintah dalam pendidikan

Oleh Rum Rosyid


Dalam perjalanan sejarah, sistem pendidikan di Indonesia berulang kali berganti. Mulai
dari rentetan kurikulum di era Orde Baru, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan
Kurikulum Terpadu Satuan Pendidikan (KTSP). Berubahnya kurikulum yang cepat
dalam rentang waktu yang pendek mengakibatkan kegagapan sistem di kalangan
pendidik serta pelajar.
Guru yang seharusnya mengawal proses pendidikan tidak menguasai sepenuhnya konsep
pendidikan yang digulirkan oleh pemerintah. Pendidikan bangsa pun tak jelas arahnya,
karena sistem yang dijalankan hanya merupakan adopsi sistem pendidikan dari luar
negeri yang sudah basi. Sistem pendidikan comotan dari luar negeri yang dipuja-puja
ternyata telah menjadi sampah di negeri asalnya. Institusi pendidikan semestinya berada
di garda terdepan dalam memproduk manusia beradab agar bisa membangun peradaban
yang bermartabat. Namun, masalahnya sistem dan paradigma pendidikan Indonesia yang
bercorak materialis saat ini cenderung menghasilkan cendekiawan yang pragmatis.

Peningkatan mutu sekolah tidak bisa melepaskan diri dari intervensi politik. Memang
pendidikan khususnya sekolah bukan lembaga atau organ politik, namun kebijakan
pemerintah yang harus dilaksanakan adalah merupakan kebijakan politik. Dalam banyak
hal sekolah tidak bisa menghindari dari politik ini. Artinya, sekolah mau tidak mau harus
tunduk dan patuh pada intervensi politik pemerintah. Betapapun sekolah, kepala sekolah
dan guru, meyakini bahwa kebijakan tersebut tidak baik dan tidak pas untuk sekolahnya,
tetap saja sekolah harus menerima dan melaksanakan. Sebutlah sebagai contoh, kebijakan
Ujian Nasional, KTSP, sertifikasi guru dengan porto folio, SBI, sekolah gratis dengan
membebankan pada sekolah. Sudah barang tentu intervensi politik dari pemerintah ini
tidak jarang menjadikan upaya peningkatan mutu sekolah semakin berat.

Peningkatan mutu sekolah, dapat disebut sebagai suatu perpaduan antara knowledge-
skill, art, dan entrepreneurship (Zamroni, 2009). Suatu perpaduan yang diperlukan untuk
membangun keseimbangan antara berbagai tekanan, tuntutan, keinginan, gagasan-
gagasan, pendekatan dan praktik. Perpaduan tersebut di atas berujung pada bagaimana
proses pembelajaran dilaksanakan sehingga terwujud proses pembelajaran yang
berkualitas. Semua upaya peningkatan mutu sekolah harus melewati variabel ini. Proses
pembelajaran merupakan faktor yang langsung menentukan kualitas sekolah.

Pembelajaran adalah proses yang kompleks rumit dimana berbagai variable saling
berinteraksi. Banyak variable dalam proses interaksi antara guru dan siswa berkaitan
dengan suatu materi tertentu yang tidak dapat dikendalikan secara pasti. Terdapat
keterkaitan berbagai yang sulit untuk diindentifikasi mana yang mempengaruhi dan mana
yang dipengaruhi. Hasil pembelajaran tidak bisa diestimasi secara matematis, pasti. Anak
yang kecapekan atau kurang gizi atau memiliki persoalan pribadi jelas akan
mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran. Demikian pula kemiskinan dan kondisi
keluarga akan berpengaruh. Siswa yang memiliki motivasi dan yang tidaki memiliki akan
berbeda dalam kaitan dengan proses dan hasil pembelajaran. Dengan singkat, apa
pengaruh eksternal dan internal dalam diri siswa yang akan mempengaruhi proses dan
hasil pembelajaran. Dan sekali lagi, tidak semua pengaruh tersebut dapat dikendalikan
oleh kepala sekolah dan guru.

Sebagai suatu proses interaksi antara siswa dan guru berkaitan dengan materi tertentu,
maka tidak hanya kondisi siswa yang berpengaruh, tetapi juga kondisi guru tidak kalah
pentingnya mempengaruhi kualitas pembelajaran. Pepatah mengatakan, “kalau ingin
melihat prestasi siswa lihatlah kualitas gurunya”. Kondisi guru yang bervariasi berarti
kualitas dan hasil pembelajaran juga akan bervariasi. Semakin tinggi kesenjangan
kualitas guru, semakin tinggi kesenjangan prestasi siswa. Kualitas interaksi juga
dipengaruhi oleh keberadaan dan kualitas fasilitas, termasuk kurikulum yang
dipergunakan.

Kualitas Pembelajaran : Inti reformasi pendidikan


Peningkatan mutu atau kualitas pembelajaran merupakan inti dari reformasi pendidikan
di negara manapun. Hal ini disebabkan oleh asumsi bahwa, peningkatan mutu sekolah
yang memiliki peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan nasional, tergantung
pada kualitas pembelajaran. Namun, peningkatan kualitas pembelajaran sangat bersifat
kontekstual, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kultural sekolah dan
lingkungannya. Berbagai penelitian menunjukan bagaimana bagaimana pentingnya
kondisi dan lingkungan sekolah mempengaruhi kualitas pembelajaran, seperti, dalam
penelitian tentang sekolah efektif (Purkey & Smith, 1983), kerja guru dan pembelajaran
(McLaughlin Talbert, 1993), retrukturisasi sekolah dan kinerja organisasi (Darling-
Hammond, 1996), yang semuanya ini bermuara pada suatu pernyataan “apabila ingin
meningkatkan kualitas pembelajaran, kualitas sekolah sebagai satu kesatuan dimana
pembelajaran berlangsung harus ditingkatkan”.

Sebagai lembaga internasional yang bergerak di bidang budaya dan pendidikan,


UNESCO banyak memberikan perhatian dan berupaya mendorong peningkatan mutu
sekolah di banyak negara, khususnya negara-negara sedang berkembang. Setiap tahun
UNESCO kantor Asia & Pasifik bekerjasama pemerintah China dan Thailand secara
bergantian menyelenggarakan seminar innovasi pendidikan yang difokuskan pada
peningkatan mutu sekolah. UNESCO memiliki resep bahwa untuk meningkatkan kualitas
sekolah diperlukan berbagai kebijakan, yang mencakup antara lain (UNESCO, 2001
dalam Zamroni, 2009):
1. Sekolah harus siap dan terbuka dengan mengembangkan a reactive mindset,
menanggalkan “problem solving” yang menekankan pada orientasi masa lalu, berubah
menuju “change anticipating” yang berorientasi pada “how can we do things differently”.
2. Pilar kualitas sekolah adalah Learning how to learn, learning to do, learning to be, dan
learning to live together.
3. Menetapkan standard pendidikan dengan indikator yang jelas.
4. Memperbaharui dan kurikulum sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat dan
peserta didik.
5. Meningkatkan pemanfaatan ICT dalam pembelajaran dan pengeloaan sekolah.
6. Menekankan pada pengembangan sistem peningkatan kemampuan professional guru.
7. Mengembangkan kultur sekolah yang kondusif pada peningkatan mutu.
8. Meningkatkan partisipasi orang tua masyakat dan kolaborasi sekolah dan fihak-fihak
lain.
9. Melaksanakan Quality Assurance.
Definisi tunggal kualitas sekolah yang diterima banyak fihak sulit untuk dirumuskan.
Apalagi, rumus definisi mutu sekolah amat terkait dengan tujuan dan strategi pendidikan
yang ada. Begitu pula kualitas sekolah dipersepsikan berbeda-beda menurut kepala
sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa.

Kualitas sekolah memiliki berbagai makna. Seperti, a)bisa berupa suatu konsensus tidak
tertulis atas kondisi-kondisi sekolah, yang kemudian menjurus sekolah favorit di satu
ujung dan dan sekolah “terlihat” di ujung lain; b)kualitas input yang ada; c)kualitas
proses yang terjadi; d)kualitas kurikulum yang tercermin dalam kegiatan sekolah sehari-
hari; e)kualitas output, baik dalam bentuk pencapaian ataupun dalam bentuk “gain score”;
f)value added, dalam, arti sejauh mana sekolah secara totalitas mengalami peningkatan;
dan, g)jumlah lulusan yang diterima Perguruan Tinggi ternama. (Prof. Zamroni, 2009).

Dalam kaitan dengan mutu sekolah, UNICEF mendeskripsikan sebagai suatu kondisi
dimana: a)siswa sehat, bergizi, dan siap mengikuti proses pembelajaran dan dapat
dukungan dari orang tua siswa dan masyarakat; b)lingkungan sekolah sehat, aman, tidak
bias gender dan fasilitas belajar tercukupi; c)kurikulum sekolah menjamin siswa
mendapatkan pelajaran yang memadai, khususnya pengetahuan dan ketrampilan untuk
hidup; d)proses dilaksanakan oleh guru yang terlatih dengan menekankan pada
pendekatan “learner-centered teaching”, manajemen kelas yang berkualitas, evaluasi dan
penilaian yang tepat, dan bisa mengurangi disparitas hasil dari berbagai latar belakang
yang ada; dan, e)outcome sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan aktif
berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.

Namun, selama ini pembicaraan mutu sekolah cenderung dititik beratkan pada
pengetahuan dan ketrampilan yang dikuasai oleh siswa. Memang, sangat sering
dibicarakan secara filosofis dan teoritis siswa harus memiliki cipta, karsa, rasa atau siswa
memiliki otak, hati dan budi, tetapi pada akhirnya tetap saja mutu kembali pada seberapa
jauh siswa sudah menguasai pengetahuan dan ketrampilan yang telah diajarkan di
sekolah. Lebih ironis lagi, pengetahuan yang dikuasai siswapun diestimasi dengan
pendekatan yang dangkal: kemampuan menghafal.

Makna mutu hanya diartikan sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan merupakan


suatu realitas. Secara sadar dan terencana kondisi ini harus diubah. Perubahan dalam
kaitan dengan mutu ini merupakan keharusan, khususnya apabila dikaitkan dengan masa
depan, era baru abad 21. Mereka yang tidak mau berubah akan menjadi terasing dan
tertinggal zaman. Dengan puitis, Eric Hoffer (1971) pemikir berkebangsaan Amerika
Serikat menyatakan: “In times of change, learners inherit the Earth, while the learned find
themselves beautifully equipped to deal with a world that no longer.” Seorang ahli
pendidikan, lebih spesifik tokoh manajemen dan kebijakan pendidikan, Michael Fullan
(1994), menegaskan bahwa perubahan tidak dapat dihindarkan. Banyak pendidik terbawa
arus perubahan masa depan, dengan berbagai euphoria, tetapi tidak menyadari masa
depan itu sendiri, dengan lebih senang mempertahankan status quo. Fullan mengingatkan
dengan keras bahwa “yesterday’s scores will not win tomorrow’s ball games.” Oleh
karena itu, “if you are not part of the future, you’re history!”. Berkaitan dengan
perubahan di dunia pendidikan, futurist Alvin Toffler (1999) menegaskan bahwa: “The
illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who
cannot learn, unlearn, and relearn.”

Pendidikan berfungsi untuk mempersiapkan generasi baru mampu hidup dan sukses
menjalani kehidupan di masa depan, maka sekolah harus memahami dan
mengidentifikasi kompetensi apa yang diperlukan untuk masa depan itu. Jose J. Soto
(2005) mengidentifikasi kompetensi yang diperlukan di abad 21 bagi kehidupan
masyarakat yang mulkultural, antara lain: a)memiliki integritas pribadi yang kokoh
dengan memegang teguh etika bertanggung jawab bagi kemajuan masyarakatnya dan
memegang teguh etika dalam perilaku pribadi dan profesionalnya; b)menjadi a learning
person, senantiasa memperluas dan memperdalam pengetahuan dan skills yang dimiliki;
c)memiliki kemampuan berkerjasama dengan segala perbedaan yang dimiliki;
d)menguasai dan memanfaatkan ITC; dan, e)mampu mengambil keputusan yang
senantiasa berlandaskan kepentingan masyarakat luas.

Lembaga lain, UNESCO menekankan pada empat pilar sebagai kemampuan dasar yang
harus dihasilkan oleh dunia pendidikan. Keempat pilar tersebut adalah: a)learning to do
(solve daily problems); b)learning to know (keep learning); c)learning to be (ethically
responsible) and d)learning to live together (the ability to respect and work with others).
Dalam suatu seminar berkaitan dengan reformasi pendidikan untuk meningkatkan
pendidikan yang bermutu, Kay (2008) menganalisis perkembangan yang akan terjadi di
abad 21 dan mengidentifikasi kompetensi apa yang diperlukan dan menjadi tugas
pendidikan untuk mempersiapkan warga negara dengan kompetensi tersebut.

Terdapat 5 kondisi atau konteks baru dalam kehidupan berbangsa, yang masing-masing
memerlukan kompetensi tertentu. Yakni, a)kondisi kompetisi global (perlu kesadaran
global dan kemandirian), b)kondisi kerjasama global (perlu kesadaran global,
kemampuan bekerjasama, penguasaan ITC), c)pertumbuhan informasi (perlu melek
teknologi, critiacal thinking & pemecahan masalah), d)perkembangan kerja dan karier
(perlu Critical Thinking & pemecahan masalah, innovasi & penyempurnaan, dan,
fleksibel & adaptable), e)perkembangan ekonomi berbasis pelayanan jasa, knowledge
economy (perlu Melek informasi, Critical Thinking dan pemecahan masalah).

Jadi menurut Kay diatas sekolah harus mempersiapkan siswa dengan kemampuan:
a)kesadaran global, b)watak kemandirian, c)kemampuan bekerjasama secara global,
d)kemampuan menguasai ITC, e)kemampuan melek teknologi, f)kemampuan intelektual
yang ditekankan pada critical thinking dan kemampuan memecahkan masalah,
g)kemampuan untuk melakukan innovasi & menyempurnakan, dan, h) memiliki
pengetahuan dan ketrampilan yang bersifat fleksibel & adaptabel.

Menurut Kay (2008) ini, mutu sekolah ditentukan bagaimana jawaban atas pertanyaan:
a)apakah siswa mampu berpikir kritis dan memecahkan masalah. b)apakah siswa
memiliki kesadaran global. c)apakah siswa memiliki kemandirian. d)apakah siswa
mampu bekerjasama dengan baik. e)apakah siswa melek teknologi. f)apakah siswa
memiliki watak pembaharu. g)apakah siswa mampu berkomunikasi secara efektif. Kalau
jawaban “ya”, maka sekolah itu bermutu. Semakin tinggi skore dekat dengan ya, semakin
bermutu sekolah itu. Selanjutnya, berdasarkan kemampuan tersebut diatas, Kay (2008)
mengidentifikasi 5 kemampuan yang amat penting dalam kehidupan, yakni, a)etika kerja,
b)kemampuan berkolaborasi, c)kemampuan berkomunikasi, d)tanggung jawab sosial,
dan, e)berpikir kritis dan memecahkan masalah.

Sejalan dengan kajian Kay ini, Departemen Pendidikan New Zealand melakukan
reformasi kurikulum dengan menekankan bahwa para siswa harus menguasai lima
kemampuan dasar. Yakni, a)kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah
(critical thinking dan problem solving)), b)kemampuan mempergunakan bahasa, symbol-
simbol dan teks, c)kemampuan mengendalikan diri sendiri (mampu memotivasi diri
sendiri, memiliki sikap “bisa mengerjakan” “a can-do attitude”, mampu merencanakan
masa depan), d)kemampuan berhubungan dan bekerjasama (kemampuan untuk
mendengarkan, kemampuan mengenali perbedaan pendapat, kemampuan bernegosiasi,
kemampuan berpikir bersama) dan, e)kemampuan berpartisipasi dan berkontribusi bagi
kesejahteraan masyarakatnya (kemampuan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan,
kemampuan berkontribusi, kemampuan menciptakan peluang). Kemampuan dasar ini
dikembangkan-diaplikasikan pada setiap mata pelajaran yang ada.

Barangkali akan muncul pertanyaan apakah perkembangan abad 21 diatas relevan bagi
bangsa Indonesia yang masih berstatus sebagai negara sedang berkembang.
Perkembangan dan perubahan kehidupan masyarakat mengarah pada satu trend besar dan
universal, yakni perubahan dan kemajuan. Sebagai negara terbuka, bangsa Indonesia
akan masuk arus besar tersebut. Pengalaman perkembangan teknologi selama ini
menunjukan tingkat perkembangan yang terjadi amat cepat dan dampaknya juga cepat
menyebar dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam aspek kultur. Oleh karena itu,
bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri dengan baik dan masuk arus perubahan
dengan cerdas agar bisa memanfaatkan peluang yang ada, tidak sekedar memperoleh
dampak negatif belaka.

Kompetensi abad ke 21 harus pula dijadikan acuan dalam pendidikan Indonesia. Sekolah,
khususnya kepala sekolah dan guru harus mulai mengubah mind set nya. Mengajar tidak
sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, teknologi dan ketrampilan, melainkan mengajar
juga mentransfer kehidupan. Implikasi yang paling dekat adalah semua guru, tidak
pandang mata pelajaran yang diampu, memiliki tanggung jawab membangun moral dan
karakter siswa. Dengan kata lain membangun karakter atau watak merupakan tujuan
utama dalam proses pembelajaran. Tapi sayangnya pengembangan karakter tidak bisa
diajarkan, melainkan dikembangkan lewat proses pembiasaan. Oleh karena itu, perilaku
guru harus bisa dijadikan tauladan bagi para siswanya. Sekolah, sendiri harus merupakan
kancah kehidupan tempat pembangunan karakter berlangsung.

Cara Pandang Interaktif terhadap Kualitas Output


Paradigma pendidikan sistemik-organik menekankan bahwa proses pendidikan formal,
sistem persekolahan, harus memiliki ciri-ciri: (1) pendidikan lebih menekankan pada
proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching); (2) pendidikan diorganisir
dalam struktur yang fleksibel; (3) pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai
individu yang memiliki karakter khusus dan mandiri; dan (4) pendidikan merupakan
proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan (Zamroni,
2000). Paradigma pendidikan sistemik-organik menuntut pendidikan bersifat double-
tracks, yaitu pendidikan sebagai proses yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan
dan dinamika masyarakatnya.

Karena makin rumit dan kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh dunia pendidikan,
dibutuhkan paradigma pendidikan masa depan yang dinilai lebih mampu menjawab
tantangan zaman, yaitu paradigma pendidikan sistemik-organik yang menekankan bahwa
segala objek, peristiwa, dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak
terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Dunia pendidikan senantiasa mengaitkan
proses pendidikan dengan masyarakat pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya.
Dengan system semacam ini, dunia pendidikan kita diharapkan mampu menghasilkan
lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas tinggi untuk menyesuaikan dengan
tuntutan zaman yang senantiasa berubah dengan cepat.

Proses pendidikan berlangsung di sekolah mencakup tiga komponen utama, proses


pembelajaran, manajemen sekolah dan kultur sekolah. Ketiga komponen ini saling
berinteraksi dan saling pengaruh mempengrahi, memiliki hubungan sebab akibat secara
timbal balik. Sekolah sebagai suatu entitas mandiri mendapatkan masukan berupa siswa
dan masukan instrumental seperti kurikulum, guru, buku, peralatan laboratorium.
Keberadaan dan kualitas masukan instrumental bisa mempengaruhi pula kualitas proses
yang ada di sekolah. Namun, bagaimana pengaruh kualitas masukan instrumental
terhadap proses yang berlangsung di sekolah akan sangat tergantung pada kepemimpinan
kepala sekolah. Artinya, pengaruh tidak bersifat linier dan pasti, melainkan dinamis
interaktif. Oleh karena itu, kondisi masukan yang sama diantara berberapa sekolah
dampaknya bisa berbeda bagi proses dan kualitas lulusan sekolah. Hal ini meneguhkan
bagaimana pentingnya peran posisi kepala sekolah dalam peningkatan mutu.

Cara pandang input prosesoutput yang bersifat linier harus ditinggalkan dan diganti
cara pandang yang dinamis interakti.(Zamroni, 2009). Sekolah bisa dilihat sebagai
institusi yang memiliki 3 level: level kelas, level mediator, dan level manajemen. Input
yang ada bisa langsung ke salah satu diantara level ini. Output sekolah, bermutu atau
tidak, sangat ditentukan oleh proses yang terjadi pada level kelas, dimana berlangsung
pembelajaran. Namun proses pembelajaran yang ada akan ditentukan oleh level mediator,
yakni keberadaan dan kualitas guru. Demikian pula, kinerja guru sangat ditentukan oleh
level manajemen. Dalam level manajemen inilah kultur sekolah memiliki pengaruh yang
amat besar.

Pencapaian kompetensi yang dihasilkan berkaitan erat dengan bagaimana pembelajaran


dilaksanakan, oleh karena itu kebijakan ke tiga adalah meningkatkan kemampuan guru
dalam mengelola proses pembelajaran. Sebagaimana dikemukakan diatas membangun
karakter menjadi tujuan penting bagi mata pelajaran apapun juga. Karakter yang perlu
ditanamkembangkan pada diri siswa adalah karakter yang diperlukan untuk abad 21,
sebagaimana dirumuskan Kay (2008). Yakni, a)etika kerja, b)kemampuan berkolaborasi,
c)kemampuan berkomunikasi, d)tanggung jawab sosial, dan, e)berpikir kritis dan
memecahkan masalah. Tujuan mewujudkan kompetensi ini menuntut proses
pembelajaran menekankan keseimbangan dari empat dasar: menghafal, analitis, kreatif,
dan praktis. Evaluasi pembelajaran harus pula bertumpu pada empat dasar ini.

Setelah sekolah memiliki kesadaran diri sebagai entitas utuh mandiri dan memiliki cara
pandang baru, termasuk tujuan sekolah tidak semata-mata menekankan pada kemampuan
ilmu dan teknologi, tetapi juga menekankan pada pengembangan moral siswa, dan telah
ada perubahan dalam penekanan pembelajaran, maka kebijakan keempat yang diperlukan
adalah meningkatkan kemampuan kepala sekolah untuk melakukan capacity building. Di
sekolah memiliki banyak dan berbagai macam kegiatan yang dilakukan oleh warga
sekolah. Guru memiliki tujuan, demikian pula siswa memiliki rencana yang akan dicapai.
Masing-masing kelas memiliki rencana dan tujuan kegiatan. Guru BP juga memiliki
kegiatan untuk mencapai tujun tertentu. Semua kegiatan tersebut diatas harus diatur,
ditata dan disinkronkan sehingga menuju satu tujuan terciptanya proses pembelajaran
yang berkualitas untuk mewujudkan prestasi yang berkualitas pula. Penyatuan dan
sinkronisasi menyatukan semua potensi inilah yang disebut dengan Capacity Building
(Zamroni, 2000).

Kebijakan ke lima dalam peningkatan mutu adalah menekankan peningkatan kemampuan


profesional guru yang berkesinambungan (Countinues professional development bagi
guru) berlangsung di sekolah. Untuk itu, budaya kolaborasi perlu dikembangkan di
kalangan sekolah. Kultur, watak dan semangat berkolaborasi perlu dikembangkan
diantara warga sekolah khususnya diantara para guru sangat penting karena merupakan
fondasi untuk berlangsungnya peningkatan kemampuan professional guru. Upaya
peningkatan kemampuan professional guru yang paling efektif adalah guru yang dikenal
lebih memiliki kemampuan melakukan observasi guru lain yang tengah melaksanakan
pembelajaran, kemudian observer memberikan masukan kepada yang bersangkutan.
Semangat berkolaborasi juga diperlukan diantara sekolah yang ada, khususnya yang
lokasinya berdekatan. Sebab, peningkatan kemampuan professional guru yang paling
efektif lagi efisien adalah apabila berlangsung di sekolah atau antar sekolah yang
berdekatan. Untuk itu, situasi dan semangat kompetisi yang berlebih-lebihan perlu untuk
dikendalikan, dan diganti dengan semangat berkolaborasi.

Kebijakan keenam dalam peningkatan mutu adalah mengembangkan sistem data dan
informasi yang baik yang dapat dipergunakan dalam pengelolaan sekolah termasuk dalam
proses pembelajaran. Semua kegiatan di sekolah dicatat, disusun dan ditransfer sebagai
data kuantitatif, sehingga netral, objektif dan memiliki mana yang sama bagi siapapun
juga. Proses peningkatan mutu dari waktu ke waktu mempergunakan dan mencermati
data ini. Perubahan dari waktu ke waktu merefleksikan perubahan yang terjadi di sekolah.
Dengan demikian proses peningkatan mutu berlangsung hari demi hari, terencana dan
secara faktual dapat diikuti dengan seksama.

Kebijakan sebagaimana dikemukakan diatas didasarkan pada satu asumsi bahwa sekolah
telah memiliki dan merumuskan secara singkat dan jelas visi dan missi sekolah. Warga
sekolah khususnya guru dan siswa memahami visi dan missi sehingga mereka memiliki
arah yang jelas kemana mereka menuju dan apa yang harus dilakukan agar tujuan dapat
dicapai. Tanpa pemahaman akan visi dan missi, kegiatan sekolah dalam peningkatan
mutu tidak memiliki arah. Akibatnya, kegiatan tidak akan efektif dan efisien.

Secara mendasar sekolah memang harus ditekankan untuk membangun karakter siswa,
sebagai basis membangun karakter bangsa. Sungguh, bangsa ini memerlukan karakter
yang kuat. Karakterlah yang memberikan arah kemana bangsa harus menuju, apa-apa
yang harus dikejar dan dicapai, dan sebaliknya apa-apa yang harus dihindari,
ditinggalkan dan dibuang jauh-jauh. Keroposnya karakter bangsa menyebabkan, bangsa
ini kehilangan arah, dan warga bangsa tidak memiliki lagi pegangan yang jelas apa yang
harus dikejar dan diraih, dan apa yang harus ditinggalkan. Oleh karena itulah visi
pendidikan nasional Indonesia menekankan keberadaan manusia berkualitas dalam
kecendekiawanan, kecerdasan spiritual, emosional, sosial, serta kinestetis (gerak tubuh)
dan kepiawaian, serta mampu menghadapi perkembangan dan persaingan global. Untuk
ini, sekolah harus mulai mengembangkan kompetensi abad 21yang menekankan pada
pengembangan karakter.
Kepustakaan
Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa
Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.
http://aliflukmanulhakim.blogspot.com
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at
11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/
Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb
September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan Pustaka Firdaus).
Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII),
Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.
_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta,
Penerbit ArgaWijaya Persada.
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &
Noble, Inc.
Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.
Yogjakarta. Hal. 28
Budiman, Hikmat , Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta : 2002
Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture
and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra.
University of Hawaii. Hawai. p. 173
Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and
Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.
Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,
Melbourne
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.
Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta : 1997
Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.
HaperCollins Publiser. London.
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya
Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Faklutas Filsafat
UGM, Yogyakarta
--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato
Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition),
Glasgow, Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III,
Malang, Laboratorium Pancasila.
---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July
11th, 2008
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage
Publications. London. P. 85-87
Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.com
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984
UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003)
Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit
Paradigma, Yogyakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam
Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney:
Prentice-Hall

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and


practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.

Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing,
Ltd.
Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric
Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.
Chicago Rand McNelly
Carter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of
Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta
analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational
Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching:


research, policy, and practice for democratic education. Educational
Researcher, 25, 6:5-Dewantara,
Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia
University-Teachers College Press
Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge &
Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub


Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO
Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of


Chicago Press
Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada
Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan
Ki Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian
Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,
Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian


Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki


Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP
IKIP Bandung
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC
Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan
Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited


by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_content
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php
http://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htm
http://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com
Koran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.
http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005
http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down
load pada tanggal 16 November 2005
http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal
16 November 2005
http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November
2005
http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

You might also like