You are on page 1of 9

Bahaya Laten Kekerasan Antar

Agama
Oleh : Adi Surya
Ketua DPC GMNI Sumedang 2007-2009

Kita tidak sedang menghadapi bahaya laten


komunisme. Kita sedang menghadapi bahaya laten
kekerasan antar agama. Peristiwa konflik dengan
membawa simbol agama belakangan ini membuat kita
kembali mengajukan tanya republik Indonesia ini milik
siapa ?. Indonesia dibangun berdasarkan kesepakatan
semua pihak. Tanah bangunanya terbentang mulai dari
ujung Aceh sampai Merauke. Pondasinya terbuat dari
lima sila yang digali dari buminya ibu pertiwi.
Sedangkan batu batanya tersusun dari beragam suku,
etnis, budaya dan agama dengan segala
kemajemukanya dilapisi semen keinginan atau
perasaan senasib akibat penjajahan untuk hidup
bersatu sebagai sebuah bangsa. Artinya, Indonesia
tidak elok jika dikatakan milik sepihak saja. Indonesia
adalah satu untuk semua dan semua untuk satu (one
for all and all for one)

Dengan pemahaman Indonesia ber-bhineka


tunggal ika, konsekuensinya memang tidaklah mudah.
Ragam perbedaan memang melahirkan dua sisi yang
kadang mudah untuk dibenturkan, yakni ekslusivitas
kelompok dan tuntutan untuk hidup berdampingan
dengan damai. Ekslusivitas yang salah arah melahirkan
keyakinan mayoritas-minoritas yang juga salah arah.
Hubungan yang seharusnya sejajar, dibelokkan menjadi
“penguasa” dan “yang dikuasai”. Apalagi jika dikaitkan
dengan agama. Hal ini tentunya menjadi sangat sensitif
karena menyangkut sisi teologis yang sudah menjadi
keyakinan para pemeluknya. Kasus Ambon dan Poso
bisa menjadi sejarah kelam bagaimana hal itu bisa
terjadi di negeri yang cinta damai.

Kasus konflik antara jemaat HKBP dengan


beberapa orang yang diidentifikasi sebagai ormas salah
satu agama tidak berpijak dari ruang kosong.
Sederhanya konflik bermula dari persoalan keinginan
mendirikan rumah ibadah oleh jemaat HKBP. Keinginan
ini direspon warga sekitar dengan melakukan protes
dengan beralaskan Surat Keputusan Bersama (SKB)
dua menteri bahwasanya pendirian tempat ibadah
harus memenuhi persayaratan administratif dan teknis.
Sayangnya, konflik antar kedua pihak berlarut-larut
dengan absenya negara sebagai penjaga tegaknya rasa
damai bagi para warganya.
Negara gagal

Dalam laporan Setara Institute pada siaran pers


tanggal 26 Juli 2010 menyatakan bahwa sejak
memasuki tahun 2010, eskalasi penyerangan terhadap
rumah ibadah, khususnya jemaat Kristiani terus
meningkat jika dibandingkan pada tahun sebelumnya.
Pada tahun 2008, terdapat 17 tindakan, pada tahun
2009 terdapat 18 tindakan pelanggaran-pelanggaran
yang menyasar Jemaat Kristiani dalam berbagai
bentuk, tahun 2010 antara Januari – Juli terdapat 28
kasus yang sama. Berdasarkan catatan Persekutuan
Gereja- Gereja di Indonesia (PGI), ada 16 kasus
pelarangan beribadah dan penutupan gereja dan
lembaga Kristiani tahun 2010.

Data di atas patut kita waspadai, dalam konteks


sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai macam latar
belakang etnik, agama, ras, budaya dan bahasa yang
menyimpan bahaya laten konflik harizontal.Kerap kali
bentrokan dengan nada egoisme kelompok menyimpan
api dalam sekam dalam perjalanan kita sebagai
bangsa. Api dalam sekam ini jika tidak pernah disirami
dengan pemahaman dan komunikasi yang baik, akan
terus menggores tinta sejarah kelam.
Fakta di lapangan, kebanyakan konflik terjadi
karena negara seperti tidak berani masuk dalam
wilayah konflik. Kepala daerah terjebak dalam tirani
mayoritas (atas nama desakan masyakarat banyak)
kemudian membuat kebijakan yang mengandung
standar ganda. Sedangkan dalam tataran yang lebih
tinggi, presiden sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan terkesan lambat dalam merespon kasus
ini. Bandingkan dengan Presiden Obama yang langsung
berbicara tegas tentang kontroversi pembangunan
mesjid dan pembakaran Al-Quran.

Para pemimpin seharusnya membaca kembali


tujuan negara dibentuk adalah untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia. Artinya, negara harus
memiliki kemauan politik untuk bertindakan tegas guna
melindungi setiap dan seluruh warga negaranya dari
ancaman dan tindakan kekerasan dari individu atau
kelompok warga lainnya. Jika negara tidak bisa
memainkan peranya sebagai pelindung, kita akan
tergelincir menjadi negara gagal (failed stated). Bisa
dibayangkan apa jadinya kehidupan berbangsa dan
bernegara jika negara tidak memiliki kekuatan untuk
mengatur. Disinilah kemudian celah anarkisme masuk
sebagai alat monopoli kebenaran.
Pemahaman Keberagaman

Pemaknaan atas realitas masih lemahnya


pemahaman kita dalam membina hubungan harmonis
antar sesama,membuat kita harus banyak belajar dari
pengalaman negara lain dalam mengelola perbedaan
(multikultur). Wacana pemahaman kehidupan
multikultur yang diharapkan dapat menjembatani hal
ini memang layak kita kaji secara kritis dengan coba
mengkomparasikan dengan pengalaman negara-
negara lain seperti Amerika, Canada dan Australia.
Negara-negara tersebut merupakan contoh negara
yang berhasil mengembangkan masyarakat multikultur
dan mereka dapat membangun identitas
kebangsaannya, dengan atau tanpa menghilangkan
identitas agama mereka.

Atas dasar itulah, kemudian mereka


mengembangkan multiculturalism, yang menekankan
penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak
minoritas, baik dilihat dari segi etnik, agama, ras atau
warna kulit. Muliklturalisme pada hakikatnya adalah
sebuah konsep akhir untuk membangun kekuatan
sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai latar
belakang etnik, agama, ras, budaya dan bahasa,
dengan menghargai dan menghormati hak-hak sipil
mereka, termasuk hak-hak kelompok minoritas.
(Budianta,2003:9).

Kolaborasi Sistem Dasar (Stakeholder)

Untuk menyelesaikan persoalan di atas memang


butuh dialog dan kerjasama berbagai pihak.
Pendekatan yang dilakukan sebaiknya bersifat holistik
yang merupakan pendekatan yang memandang
masalah dalam kaitanya dengan sistem yang lebih
besar (kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya).
Sedangkan untuk model yang cocok adalah locality
development dimana perubahan harus diikuti oleh
partisipasi yang luas di tingkat komunitas lokal dengan
ikut serta dalam pengambilan keputusan dan ikut
berbagai kegiatan yang dilakukan.

Terdapat tiga strategi dalam proses perubahan


masyarakat (Zaltman, Gerald dan Kaufman, 1972),
yakni strategi empiric-rational. Pada dasarnya strategi
ini membawa perubahan dengan informasi atau
dengan data-data tentang suatu obyek, seperti melalui
publikasi, ataupun sosialisasi. Strategi ini mempunyai
asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk yang
rasional. Asumsi lain adalah manusia akan mengikuti
kepentingan pribadi mereka yang rasional saat
memang dapat diterima. Perubahan masyarakat
ditimbulkan dengan mempengaruhi kepentingan
pribadi tersebut. Disini dialog antar umat beragama
menjadi penting dengan mengedepankan logika cerdas
bukan fanatisme sempit. Dalam konteks ini, hemat
saya perlu pengembangan dialog-dialog intra dan antar
agama, tidak hanya pada level puncak, tetapi juga
pada level tengah dan bawah kepemimpinan agama.

Kedua, strategi normative re-educative.Pada


dasarnya strategi ini meabawa perubahan dengan
mengubah norma-norma yang dianut oleh masyarakat.
Dalam hal ini, landasan (sumber norma) yang dijadikan
norma sengketa adalah SKB 2 menteri. Untuk itu, perlu
segera presiden meninjau ulang kembali peraturan
tersebut dikontekskan dengan semangat undang-
undang yang mengatur tentang kebebasan beragama
dan menjalankan ibadah. Selain itu, nilai-nilai tentang
toleransi dan saling menghormati perlu terus dikuatkan
melalui lembaga formal seperti lembaga pendidikan
maupun informal seperti lembaga kemasyarakatan di
tingkatan warga.

Ketiga, strategi power-coercive. Perubahan dapat


terjadi dengan adanya kekuasaan. Strategi ini
berhubungan dengan keijakan yang diambil oleh pihak
yang mempunyai kekuasaan seperti Pemerintah. Disini
tindakan sigap dan tegas aparat dalam menjaga
kerukunan umat beragama dan menindak setiap
pelaku yang mencoba mencederai hal tersebut. Untuk
melaksanakan pendekatan tersebut, kita butuh aktor-
aktor perubahan yang bergabung dalam sebuah
kerangka sistem dasar (manajemen stakeholder)
Sistem pelaksana perubahan dalam kerangka sistem
dasar merupakan kumpulan aktor yang bekerja sama
dengan latar belakang yang berbeda seperti kalangan
tokoh agama, pihak kepolisian, LSM, kementrian agama
dan pihak-pihak lainya. Diharapkan kerjasama semua
pihak bisa dalam menyelesikan kasus ini bisa menjadi
titik pihak bagi kehidupan kerukunan bergama di tanah
air. Sekali lagi bahwasanya Indonesia tidak lahir karena
sebab usaha satu pihak saja. Indonesia adalah satu
untuk semua dan semua untuk satu (one for all and all
for one).

You might also like