You are on page 1of 6

Konsumtivisme dan Komersialisasi Ramadhan

Oleh: Agus Saputera

Bulan Ramadhan adalah bulan mulia dan merupakan suatu anugerah besar Allah swt

bagi umat Islam, sebab pada bulan itu kaum muslimin mendapat kesempatan seluas-luasnya

untuk meraih taqwa, derajat tertinggi di mata Allah swt. Hal itu dapat diraih melalui

pelaksanaan puasa dan mendirikan malam-malamnya dengan berbagai macam ibadah baik

yang wajib maupun sunat. Pada bulan tersebut Allah membukakan seluas-luasnya pintu

rahmat dan ampunan bagi hamba-hambaNya.

Sesungguhnya hanya mereka yang mampu memahami dan menghayati makna

Ramadhanlah yang berpeluang memperoleh berbagai macam manfaat dan keuntungan yang

sangat tinggi nilainya tersebut. Ada satu momen penting yang paling dinanti dan dicari oleh

mereka yang benar-benar menjalankan puasa yaitu datangnya malam kemuliaan “lailatul

qadar” pada salah satu di antara malam-malam Ramadhan dimana beribadah di saat itu

nilainya lebih dari 80 tahun umur manusia.

Salah Memaknai Ramadhan

Namun amat disayangkan, datangnya tamu agung tersebut justru disia-siakan oleh

segolongan besar kaum muslimin karena berbagai sebab. Diantaranya adalah karena kelalaian

dan ketidaktahuan akan hikmah-hikmah yang terkandung dalam Ramadhan. Setidaknya

seperti yang bisa diamati di negeri kita Indonesia, fenomena Ramadhan dan mudik hampir

tidak pernah berubah dari tahun ke tahun lebih-lebih menyongsong hari raya Idul Fitri yang

ditandai oleh tingginya aktivitas ekonomi. Pusat perbelanjaan seperti plaza, mall, super

market, pertokoan, pedagang kaki lima, pasar kaget, dan pasar tradisional penuh sesak

1
dikunjungi konsumen berbelanja untuk keperluan selama Ramadhan maupun menyambut

Hari Raya.

Tentu saja kondisi seperti ini menjadi peluang besar bagi para pedagang dan pebisnis

untuk menarik pembeli sebanyak-banyaknya. Kentara sekali bahwa momentum Ramadhan

dan Lebaran yang dirayakan oleh umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia

dijadikan arena dan sarana komersialisasi aneka produk untuk memenuhi syahwat “perut”

yang justru dimiliki mereka yang sedang menjalankan ibadah puasa.

Sedemikian kuatnya syahwat konsumsumtivisme ini sehingga mampu menghapus

semangat dan idealisme para sha’imin yang berjuang selama sebulan itu. Akibatnya hikmah

dan nilai-nilai Puasa Ramadhan menjadi luntur karena hanyut dalam euforia menyambut

lebaran sebagai ekspresi kesyukuran yang salah kaprah ketika berhasil menyelesaikan puasa

selama sebulan penuh. Kita begitu terobsesi dengan kemeriahan lebaran sehingga “habis-

habisan atau jor-joran” asalkan bisa merayakan Idul Fitri meskipun harus berhutang atau

menggadaikan barang. Secara tersirat sulit menghilangkan kesan bahwa bersusah payah

menahan haus-lapar selama sebulan penuh hanya sebagai ajang balas dendam untuk

“berpesta pora” ketika tibanya lebaran. Pada saat itulah terjadi anti klimak yang ditandai oleh

sikap dan perilaku yang sama sekali jauh dari nilai-nilai pendidikan puasa.

Tak heran jika kita merasa tidak sah berlebaran tanpa baju baru, alas kaki baru, sofa

baru, dan semua serba baru; dan kurang berkesan rasanya merayakan hari raya kalau tidak

mudik, dan sebagainya. Sehingga tradisi mudik yang praktis hanya dikenal oleh masyarakat

Indonesia ataupun “balek kampong” di negara-negara tetangga serantau seperti Malaysia,

Singapura dan Brunei seakan menjadi semacam ritual wajib setiap tahun. Anehnya tradisi ini

tidak dikenal oleh negara-negara Islam lainnya di dunia termasuk negara-negara Timur

Tengah. Justru hari raya besar di sana adalah Hari Raya Idul Adha.

2
Ramadhan dan konsumtivisme.

Tidak dapat dipungkiri pada masa bulan Ramadhan budaya konsumtivisme

(pemborosan) sangat kental mewarnai kehidupan umat Islam. Pada bulan puasa lazimnya

porsi makanan dan penganan cenderung bertambah dan beraneka ragam terutama saat

berbuka maupun sahur. Mau tidak mau anggaran belanja dapur juga meningkat dibanding

hari-hari biasa. Padahal budaya konsumerisme atau konsumtivisme tidak terjadi pada hari-

hari biasa. Biasanya hanya menyediakan makanan ala kadar berupa nasi dengan lauk pauk

apa adanya tidak berlebihan, bahkan untuk kebutuhan minum hanya dengan air putih atau air

mineral saja.

Fenomena ini sangat kontras dengan makna dan nilai pendidikan yang diinginkan

oleh puasa yang mencakup kesederhanaan, kesahajaan, tidak boros dan berlebih-lebihan.

Nilai-nilai tersebut sepertinya tidak tercermin sama sekali dalam perilaku kita ketika

(berbuka) puasa dan menyambut hari raya. Penghayatan puasa dengan menahan lapar dan

haus di siang hari seolah menjadi sia-sia setelah berbuka puasa dengan lahab menyantap

aneka macam masakan dan penganan yang kadangkala jenis dan porsinya sangat tidak masuk

akal. Lalu menahan lapar dan haus terkesan sebagai ajang balas dendam ketika tiba waktu

berbuka. Semua keinginan dilepas sehabis-habisnya pada malam hari, sebab beranggapan

bahwa berpuasa hanyalah di siang hari Ramadhan. Inilah kesalahan fatal yang tidak atau

kurang disadari oleh orang-orang yang berpuasa.

Ada pula tradisi kita berbondong-bondong mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan

untuk memenuhi kebutuhan hari raya yang justru menjadi sebuah pemandangan kontradiktif

dengan nilai-nilai kesederhanaan dan kesetiakawanan sosial yang ingin dibangun melalui

ibadah puasa. Tinggallah puasa sebagai sekedar menahan lapar dan haus di siang hari seperti

disinyalir dalam Hadits Nabi Saw yang berbunyi, “Banyak orang yang berpuasa tidak

3
mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan haus”. (H.R. An Nasai dan Ibnu

Majah).

Sesungguhnya puasa Ramadhan dan perayaan kemenangan 1 Syawal yang ingin

dicapai sebagai puncak perjuangan setelah bepuasa selama sebulan adalah sebuah peribadatan

yang sarat makna ritual dan sosial. Hanya mereka yang benar-benar berpuasalah paling

berhak merayakan hari kemenangan tersebut. Namun sayang maknanya menjadi luntur

karena sudah bercampur baur dengan adat dan tradisi yang nota benenya dirayakan oleh umat

Islam secara berlebihan, boros dan mubazir. Kebiasaan seperti ini sudah berjalan bertahun-

tahun baik secara sadar mapun tak sadar dan tampaknya sudah menjadi tradisi mengakar di

masyarakat. Akibatnya sulit dibedakan antara adat dan ibadat, antara tradisi dan ritual.

Karena keduanya sudah menyatu dalam kultur masyarakat yang mayoritas beragama Islam

tersebut.

Komersialisasi Ramadhan

Di Indonesia sendiri fungsionalisasi dari bulan Ramadhan yang sebenarnya sudah

bergeser. Kita tahu bahwa hakikatnya Ramadhan adalah peningkatan keimanan dan

ketaqwaan terhadap Allah SWT, dimana seharusnya bulan ini berfungsi sebagai waktu ibadah

yang paling spesial dan paling diagung-agungkan di dalam diri umat Islam. Namun realita

yang ada bahwa fungsi Ramadhan berganti menjadi ajang konsumerisme yaitu ajang

kompetisi jual beli di pasar, bukannya ajang memperdalam keimanan dan ketaqwaan.

Malangnya kondisi ini “dimanfaatkan” oleh produsen yang jeli dan licin merayu konsumen

dengan beragam iming-iming seperti discount besar-besaran, sale, promosi lebaran, cuci

gudang, midnite sale dan sebagainya.

Menurut Muhammadun AS, Peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies

(CePDeS) Jakarta, tragedi komersialisasi beragama yang kini sedang marak khususnya pada

4
bulan Ramadhan ditimbulkan oleh beberapa hal. Pertama, masih terjebak dalam

keberagamaan formalistik. Keberagamaan yang mengalir dalam urat nadi hanya “pemanis”.

Beragama menjadi khusyuk hanya dalam sesaat atau bahkan hanya mengikuti tuntutan

lingkungan. Seandainya tidak ada bulan Ramadhan, seolah kita tidak akan menonton hal-hal

yang bersifat religius. Maka tak heran jika pasca-Ramadhan, kita akan kembali seperti

semula. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta segala kejahatan kemanusiaan lain akan

semarak lagi.

Kedua, Ramadhan telah dijadikan komoditas kapitalistik. Berbagai industri media dan

stasiun TV berpacu memanfaatkan Ramadhan untuk menayangkan program-program

dakwah, dengan semua artis manggung di TV berbusana islami. Menghadapi realitas pelik ini

perlu dibangun kembali nalar keberagamaan yang kini sedang tercabik-cabik. Yakni

bagaimana kita menghadirkan kembali makna substantif agama dan meluruskan kembali

makna dan nilai spiritual yang terkandung dalam tayangan itu. Respiritualisasi ini bermaksud

agar kita tidak terjebak ke dalam sinyalemen Rasulullah saw, “berapa banyak amal yang

berwujud amal akhirat tetapi menjadi amal dunia karena niat yang jelek dan berapa banyak

amal yang berwujud amal dunia tetapi menjadi amal akhirat karena niat yang baik”. Hadis itu

mengindikasikan Ramadhan harus disambut dengan ibadah, bukan dengan gegap gempita

melalui berbagai kegiatan yang tidak berkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan

Ramadhan. Salah menghayati makna puasa, hanya akan menghasilkan rasa lapar dan dahaga.

Jika demikian, mampukah Ramadhan menghambat laju hedonisme, kalau

kenyataanya dewasa ini masyarakat kita masih terkesan menjadikan agama sebagai

“pemanis” semata. Sekali lagi, jika ibadah puasa di bulan Ramadhan dilakukan dengan

maksimal, maka hasil yang kita dapatkan adalah bangkitnya jiwa seorang muslim yang

tangguh dalam menyelesaikan problem keberagamaan dan kebangsaan. Semoga kita adalah

5
bagian dari insan muslim yang beribadah secara kaffah, dan tidak terjebak pada simbol-

simbol yang justru menyesatkankan kita dalam melaksanakan rutinitas keberagamaan.

Agus Saputera

Subbag Hukmas dan KUB Kanwil Kemenag Riau

You might also like