Professional Documents
Culture Documents
Bulan Ramadhan adalah bulan mulia dan merupakan suatu anugerah besar Allah swt
bagi umat Islam, sebab pada bulan itu kaum muslimin mendapat kesempatan seluas-luasnya
untuk meraih taqwa, derajat tertinggi di mata Allah swt. Hal itu dapat diraih melalui
pelaksanaan puasa dan mendirikan malam-malamnya dengan berbagai macam ibadah baik
yang wajib maupun sunat. Pada bulan tersebut Allah membukakan seluas-luasnya pintu
Ramadhanlah yang berpeluang memperoleh berbagai macam manfaat dan keuntungan yang
sangat tinggi nilainya tersebut. Ada satu momen penting yang paling dinanti dan dicari oleh
mereka yang benar-benar menjalankan puasa yaitu datangnya malam kemuliaan “lailatul
qadar” pada salah satu di antara malam-malam Ramadhan dimana beribadah di saat itu
Namun amat disayangkan, datangnya tamu agung tersebut justru disia-siakan oleh
segolongan besar kaum muslimin karena berbagai sebab. Diantaranya adalah karena kelalaian
seperti yang bisa diamati di negeri kita Indonesia, fenomena Ramadhan dan mudik hampir
tidak pernah berubah dari tahun ke tahun lebih-lebih menyongsong hari raya Idul Fitri yang
ditandai oleh tingginya aktivitas ekonomi. Pusat perbelanjaan seperti plaza, mall, super
market, pertokoan, pedagang kaki lima, pasar kaget, dan pasar tradisional penuh sesak
1
dikunjungi konsumen berbelanja untuk keperluan selama Ramadhan maupun menyambut
Hari Raya.
Tentu saja kondisi seperti ini menjadi peluang besar bagi para pedagang dan pebisnis
dan Lebaran yang dirayakan oleh umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia
dijadikan arena dan sarana komersialisasi aneka produk untuk memenuhi syahwat “perut”
semangat dan idealisme para sha’imin yang berjuang selama sebulan itu. Akibatnya hikmah
dan nilai-nilai Puasa Ramadhan menjadi luntur karena hanyut dalam euforia menyambut
lebaran sebagai ekspresi kesyukuran yang salah kaprah ketika berhasil menyelesaikan puasa
selama sebulan penuh. Kita begitu terobsesi dengan kemeriahan lebaran sehingga “habis-
habisan atau jor-joran” asalkan bisa merayakan Idul Fitri meskipun harus berhutang atau
menggadaikan barang. Secara tersirat sulit menghilangkan kesan bahwa bersusah payah
menahan haus-lapar selama sebulan penuh hanya sebagai ajang balas dendam untuk
“berpesta pora” ketika tibanya lebaran. Pada saat itulah terjadi anti klimak yang ditandai oleh
sikap dan perilaku yang sama sekali jauh dari nilai-nilai pendidikan puasa.
Tak heran jika kita merasa tidak sah berlebaran tanpa baju baru, alas kaki baru, sofa
baru, dan semua serba baru; dan kurang berkesan rasanya merayakan hari raya kalau tidak
mudik, dan sebagainya. Sehingga tradisi mudik yang praktis hanya dikenal oleh masyarakat
Singapura dan Brunei seakan menjadi semacam ritual wajib setiap tahun. Anehnya tradisi ini
tidak dikenal oleh negara-negara Islam lainnya di dunia termasuk negara-negara Timur
Tengah. Justru hari raya besar di sana adalah Hari Raya Idul Adha.
2
Ramadhan dan konsumtivisme.
(pemborosan) sangat kental mewarnai kehidupan umat Islam. Pada bulan puasa lazimnya
porsi makanan dan penganan cenderung bertambah dan beraneka ragam terutama saat
berbuka maupun sahur. Mau tidak mau anggaran belanja dapur juga meningkat dibanding
hari-hari biasa. Padahal budaya konsumerisme atau konsumtivisme tidak terjadi pada hari-
hari biasa. Biasanya hanya menyediakan makanan ala kadar berupa nasi dengan lauk pauk
apa adanya tidak berlebihan, bahkan untuk kebutuhan minum hanya dengan air putih atau air
mineral saja.
Fenomena ini sangat kontras dengan makna dan nilai pendidikan yang diinginkan
oleh puasa yang mencakup kesederhanaan, kesahajaan, tidak boros dan berlebih-lebihan.
Nilai-nilai tersebut sepertinya tidak tercermin sama sekali dalam perilaku kita ketika
(berbuka) puasa dan menyambut hari raya. Penghayatan puasa dengan menahan lapar dan
haus di siang hari seolah menjadi sia-sia setelah berbuka puasa dengan lahab menyantap
aneka macam masakan dan penganan yang kadangkala jenis dan porsinya sangat tidak masuk
akal. Lalu menahan lapar dan haus terkesan sebagai ajang balas dendam ketika tiba waktu
berbuka. Semua keinginan dilepas sehabis-habisnya pada malam hari, sebab beranggapan
bahwa berpuasa hanyalah di siang hari Ramadhan. Inilah kesalahan fatal yang tidak atau
untuk memenuhi kebutuhan hari raya yang justru menjadi sebuah pemandangan kontradiktif
dengan nilai-nilai kesederhanaan dan kesetiakawanan sosial yang ingin dibangun melalui
ibadah puasa. Tinggallah puasa sebagai sekedar menahan lapar dan haus di siang hari seperti
disinyalir dalam Hadits Nabi Saw yang berbunyi, “Banyak orang yang berpuasa tidak
3
mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan haus”. (H.R. An Nasai dan Ibnu
Majah).
dicapai sebagai puncak perjuangan setelah bepuasa selama sebulan adalah sebuah peribadatan
yang sarat makna ritual dan sosial. Hanya mereka yang benar-benar berpuasalah paling
berhak merayakan hari kemenangan tersebut. Namun sayang maknanya menjadi luntur
karena sudah bercampur baur dengan adat dan tradisi yang nota benenya dirayakan oleh umat
Islam secara berlebihan, boros dan mubazir. Kebiasaan seperti ini sudah berjalan bertahun-
tahun baik secara sadar mapun tak sadar dan tampaknya sudah menjadi tradisi mengakar di
masyarakat. Akibatnya sulit dibedakan antara adat dan ibadat, antara tradisi dan ritual.
Karena keduanya sudah menyatu dalam kultur masyarakat yang mayoritas beragama Islam
tersebut.
Komersialisasi Ramadhan
bergeser. Kita tahu bahwa hakikatnya Ramadhan adalah peningkatan keimanan dan
ketaqwaan terhadap Allah SWT, dimana seharusnya bulan ini berfungsi sebagai waktu ibadah
yang paling spesial dan paling diagung-agungkan di dalam diri umat Islam. Namun realita
yang ada bahwa fungsi Ramadhan berganti menjadi ajang konsumerisme yaitu ajang
kompetisi jual beli di pasar, bukannya ajang memperdalam keimanan dan ketaqwaan.
Malangnya kondisi ini “dimanfaatkan” oleh produsen yang jeli dan licin merayu konsumen
dengan beragam iming-iming seperti discount besar-besaran, sale, promosi lebaran, cuci
Menurut Muhammadun AS, Peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies
(CePDeS) Jakarta, tragedi komersialisasi beragama yang kini sedang marak khususnya pada
4
bulan Ramadhan ditimbulkan oleh beberapa hal. Pertama, masih terjebak dalam
keberagamaan formalistik. Keberagamaan yang mengalir dalam urat nadi hanya “pemanis”.
Beragama menjadi khusyuk hanya dalam sesaat atau bahkan hanya mengikuti tuntutan
lingkungan. Seandainya tidak ada bulan Ramadhan, seolah kita tidak akan menonton hal-hal
yang bersifat religius. Maka tak heran jika pasca-Ramadhan, kita akan kembali seperti
semula. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta segala kejahatan kemanusiaan lain akan
semarak lagi.
Kedua, Ramadhan telah dijadikan komoditas kapitalistik. Berbagai industri media dan
dakwah, dengan semua artis manggung di TV berbusana islami. Menghadapi realitas pelik ini
perlu dibangun kembali nalar keberagamaan yang kini sedang tercabik-cabik. Yakni
bagaimana kita menghadirkan kembali makna substantif agama dan meluruskan kembali
makna dan nilai spiritual yang terkandung dalam tayangan itu. Respiritualisasi ini bermaksud
agar kita tidak terjebak ke dalam sinyalemen Rasulullah saw, “berapa banyak amal yang
berwujud amal akhirat tetapi menjadi amal dunia karena niat yang jelek dan berapa banyak
amal yang berwujud amal dunia tetapi menjadi amal akhirat karena niat yang baik”. Hadis itu
mengindikasikan Ramadhan harus disambut dengan ibadah, bukan dengan gegap gempita
melalui berbagai kegiatan yang tidak berkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan
Ramadhan. Salah menghayati makna puasa, hanya akan menghasilkan rasa lapar dan dahaga.
kenyataanya dewasa ini masyarakat kita masih terkesan menjadikan agama sebagai
“pemanis” semata. Sekali lagi, jika ibadah puasa di bulan Ramadhan dilakukan dengan
maksimal, maka hasil yang kita dapatkan adalah bangkitnya jiwa seorang muslim yang
tangguh dalam menyelesaikan problem keberagamaan dan kebangsaan. Semoga kita adalah
5
bagian dari insan muslim yang beribadah secara kaffah, dan tidak terjebak pada simbol-
Agus Saputera