Professional Documents
Culture Documents
1
LAPORAN SOSIALISASI DAN SIMULASI PEMILU
PEMILU LEGISLATIF
BAGI KALANGAN KOMUNITAS MASYARAKAT MARGINAL
KABUPATEN LABUHANBATU 2009
A. PENDAHULUAN
Sistem yang digunakan pada seluruh pemilu pada masa Orde Baru sampai Pemilu 1999
adalah sistem proporsional dengan daftar tertutup (PR Closed List). Baru pada Pemilu
2004 yang berdasarkan UU No 12/2003 menggunakan sistem proporsional dengan
daftar calon terbuka. Akan tetapi, karena penetapan calon terpilih masih dibatasi
dengan perolehan suara sebesar BPP, kita akhirnya mengetahui bahwa sistem
proporsional yang namanya terbuka telah berjalan sebagai sistem yang tertutup
(sedikit terbuka). Dan dalam pelaksanaan pemilu, persaingan di antara para calon
dalam satu partai juga akan sulit berkembang sehat. Sebab, dalam pemilu, beban calon
yang berada pada nomor urut calon "jadi" akan lebih ringan dibandingkan calon yang
berada pada nomor urut bawah. Para calon pada nomor urut bawah, untuk
keberhasilan dalam pemilu harus berusaha ekstra keras. Namun, tetap kecil kepastian
untuk bisa terpilih.
1
Moh Sasul Arifin dalam “Kerumitan Teknis Pemilu 2009”, www.pikiran-rakyat.com
1
Bagi masyarakat pemilih, sistem pemilu yang terbuka sedikit juga akan memberi
dampak terhadap kepeduliannya kepada calon-calon terpilih. Masyarakat akan lebih
peduli kepada wakil rakyat pilihannya. Kepedulian dapat dalam bentuk berupaya
melakukan komunikasi, berlaku kritis, dan terus mengawasi. Suatu wujud kepedulian
tinggi yang seharusnya tercipta dalam perbaikan demokrasi di Indonesia. Namun, hal
tersebut akan sangat sulit tercipta kalau wakil rakyat dari daerah pemilihannya bukan
karena mendapat suara terbanyak, tetapi karena posisi nomor urutnya, sebagai
cerminan yang lebih dikehendaki oleh partai politiknya.2
Sejalan dengan itu, beberapa partai politik dalam menentukan calon terpilih pada
Pemilu 2009 menganut sistem suara terbanyak. Padahal, Undang-Undang Pemilu yang
dihasilkan oleh wakil partai politik di DPR menetapkan lain. Yaitu calon terpilih
ditentukan berdasarkan nomor urut dan 30% BPP. Sedikitnya terdapat 9 parpol yang
akan menerapkan sistem suara terbanyak dalam menetapkan caleg 2009 kala itu.
Parpol itu antara lain: PAN, Golkar, Demokrat, Barnas, Hanura, PBR, PDS, PDIP, dan
PNBK.
PDIP memakai suara terbanyak bila ada caleg yang mendapatkan suara 15 persen BPP,
namun bila tidak ada maka kembali ke nomor urut. Sedangkan PNBK menyesuaikan
dengan situasi dan kondisi di suatu daerah pemilihan.
Dengan diterapkannya sistem suara terbanyak maka sudah terdapat dua sistem yang
dipakai dalam menetapkan caleg terpilih. Pertama, tetap mengacu kepada Undang-
Undang Pemilu No 10 Tahun 2008. UU Pemilu ini mengatur bahwa calon terpilih
anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan
perolehan suara calon yang mendapatkan 30 % dari BPP di daerah pemilihan
tersebut. Bila tidak ada caleg yang memenuhi kuota tersebut maka, calon akan
ditetapkan sesuai dengan nomor urut (sistem proporsional terbuka terbatas). Kedua,
dengan menggunakan suara terbanyak dengan menyampingkan nomor urut (sistem
proporsional terbuka murni) seperti yang diamanatkan undang-undang.
Dipilihnya sistem suara terbanyak oleh beberapa parpol patut diberikan apresiasi
karena telah mengembuskan angin segar bagi demokrasi kita. Selama ini sistem nomor
urut dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan karena terpilihnya caleg berdasarkan
nomor urut dan bukan berdasarkan suara yang diperolehnya. Dalam kata lain seorang
caleg ditetapkan menjadi anggota legislatif adalah berasal dari kedekatannya dengan
partai ketimbang kedekatan dengan masyarakat atau konstituennya. Hal ini biasanya
akan menimbulkan split loyality di dalam internal partai di mana kader partai yang
duduk di legislatif cenderung sangat loyal kepada pengurus parpol ketimbang pemilih
yang menjadi konstituennya.
2
Hadar N Gumay, Sistem Pemilu 2009: Terbuka, Tetapi Sedikit (4)
2
proses ini terjadi politik uang - padahal kapasitas dan integritasnya belum teruji di
tengah masyarakat.3
Mengenai penetapan calon terpilih yang diatur dalam UU Pemilu sepintas terlihat UU
ini demokratis. Tetapi dalam praktik tidak. Karena dengan sistem multipartai seperti
saat ini, alangkah sulitnya seorang calon mencapai 30% suara. Dengan menetapkan
angka 30% dari BPP, sesungguhnya perancang undang-undang yang didominasi
kalangan partai politik tidak ingin melepas hegemoninya sebagai penentu nasib
seorang calon. Nomor urut tetap dijadikan senjata yang membelenggu.
Beberapa parpol secara internal telah memberlakukan sistem itu. Tetapi, kesepakatan
internal itu berujung konflik di pengadilan karena Komisi Pemilihan Umum hanya
berpegang pada undang-undang. Kesepakatan internal partai lebih rendah kedudukan
hukumnya daripada undang-undang. Karena itu, ketika mereka yang bersepakat
mengingkari kesepakatannya, KPU mementahkan kesepakatan internal dan
memenangkan nomor urut yang diberi tempat oleh undang-undang. Ada
kekhawatiran bahwa membebaskan para calon bersaing memperoleh suara terbanyak
membuka peluang bagi orang-orang berduit membeli suara rakyat sehingga demokrasi
dan keterwakilan kehilangan makna. Kekhawatiran ini tidak beralasan. Rakyat tidak
semuanya memilih karena uang. Mereka memilih karena suka. Bila seseorang menebar
uang kepada semua pemilih dan kemudian memenangi suara terbanyak karena rakyat
suka, tidak ada salahnya. Paling tidak dia memenuhi syarat yang paling hakiki, yaitu
didukung suara pemilih terbanyak. Kedaulatan rakyat terpenuhi. Daripada rakyat tidak
merasa memilih, tetapi seseorang bisa duduk di kursi DPR/DPRD karena nomor urut
menetapkan seseorang menjadi wakil rakyat dari daerah tertentu. Ini menyalahi asas
kedaulatan rakyat.
Agar tidak membuka ruang abu-abu bagi kepastian hukum, banyak kalangan
menganjurkan DPR agar mengamendemen secara terbatas UU Pemilu No 10/2008.
Paling tidak ditambahkan satu kalimat bahwa 'KPU membuka ruang bagi partai-partai
memberlakukan kesepakatan internal dalam menentukan calon terpilih'. Dengan
hanya satu kalimat itu, sengketa tentang kedudukan dan konstruksi hukum
diselesaikan.
3
Benni Inayatullah, Suara Terbanyak dan Konflik Hukum, Jurnal Nasional, 27 Agustus 2008
4
Lihat Pemberitaan Harian Media Indnesia, Dari Nomor Urut ke Suara Terbanyak, Selasa, 12 Agustus 2008
3
Sistem nomor urut yang selama ini disukai parpol adalah senjata ampuh yang
melestarikan hegemoni partai. Terutama hegemoni segelintir elite partai yang duduk
di kepengurusan. Tanpa bersusah payah, mereka dengan mudah menjadi anggota
DPR/DPRD walaupun yang memilih tidak ada.
Seperti banyak juga diketahui, sistem nomor urut menjadi ajang korupsi politik karena
mereka yang memiliki uang membayar partai untuk memperoleh nomor-nomor
prioritas. Sistem itu juga menyebabkan ada sejumlah cukong politik yang terus-
menerus diperas parpol. Karena itu, sistem suara terbanyak adalah pilihan yang paling
bagus. Karena yang menjadi anggota DPR/DPRD adalah mereka yang betul-betul
memenangi mayoritas suara pemilih. Di sini pemilu menemukan hakikatnya. Yaitu
memilih, bukan menunjuk. 5
Akhirnya suara rakyat dalam pemilu kini dihormati, menyusul Keputusan Mahkamah
Konstitusi yang membatalkan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008.
Dengan demikian, calon anggota legislatif terpilih pada Pemilu 2009 tidak bisa
berdasarkan nomor urut, tetapi harus meraih suara terbanyak. Putusan MK itu
menanggapi permohonan uji materi yang diajukan Mohammad Sholeh, Sutjipto, Septi
Notariana, dan Jose Dima S. Sholeh adalah caleg dari PDI-P untuk DPRD Jawa Timur.
Sutjipto dan Septi adalah caleg dari Partai Demokrat untuk DPR. Jose adalah warga
negara biasa. MK hanya mengabulkan permohonan mereka yang terkait penentuan
caleg terpilih. 6
MK menilai kedaulatan rakyat dan keadilan akan terganggu. Jika ada dua caleg yang
mendapatkan suara yang jauh berbeda ekstrem, terpaksa caleg yang mendapatkan
suara terbanyak dikalahkan caleg yang mendapatkan suara kecil, tetapi nomor urut
lebih kecil. MK juga menyatakan, memberi hak kepada caleg terpilih sesuai nomor
urut sama artinya dengan memasung suara rakyat untuk memilih caleg sesuai
pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi caleg terpilih berdasarkan suara
terbanyak.
5
Lihat Pemberitaan Harian Media Indonesia, Beralih ke Suara Terbanyak, Selasa, 19 Agustus 2008
6
Lihat Pemberitaan Harian Kompas, Caleg Terpilih oleh Suara Terbanyak
4
Persoalan lainnya adalah mengenai pemberian tanda dan keabsahan suara pada surat
suara. UU Pemilu memang tidak tegas menyebutkan cara pemberian suara. Secara
umum disebutkan pemberian suara dilakukan dengan memberikan tanda satu kali
pada surat suara. Pemberian tanda itu berdasarkan prinsip kemudahan pemilih, akurasi
dalam penghitungan suara, dan efisien dalam penyelenggaraan pemilu. Mencentang
ataupun melubangi surat suara adalah tanda pemberian suara. Tanda hanyalah sarana.
Sarana tidak boleh mencederai atau malah meniadakan hak konstitusi rakyat. Hak
demokrasi rakyat tidak boleh dilenyapkan atau hangus hanya karena hal-hal teknis
administratif.
Sejak pemilu pertama di era Orde Baru tahun 1971 hingga pemilu terakhir tahun 2004,
KPU menerapkan cara mencoblos. Masyarakat sudah familiar dengan cara itu. Tapi
kini KPU dan DPR hendak mengubahnya dengan cara mencentang pada Pemilu 2009.
Perubahan itu sah-sah saja, tapi KPU perlu mempertimbangkan secara saksama. Jumlah
pemilih pada Pemilu 2009 sekitar 174 juta. Itu berarti ada penambahan pemilih sekitar
30 juta dibandingkan dengan Pemilu 2004 yang diikuti 144 juta pemilih. Pemilih 144
juta itu sudah familiar dengan sistem mencoblos, sedangkan 30 juta pemilih baru
relatif lebih berpendidikan sehingga mudah mengikuti cara centang ataupun coblos. 7
Mencentang, mencoblos, ataupun cara lain tetap hanyalah sarana pemberian suara.
Yang utama adalah melindungi hak konstitusional rakyat agar tidak hangus oleh
aturan teknis. Kita perlu mengingatkan KPU agar tidak mempersulit hal yang
sebenarnya mudah. Menerapkan sistem baru perlu sosialisasi, sesuatu yang selama ini
sering terlambat dilakukan KPU. KPU masih punya segudang tugas yang semuanya
butuh sosialisasi yang serius.
Kendatipun KPU telah menetapkan mengenai pemberian tanda dan keabsahan pada
surat suara, ternyata belum menuntaskan persoalan pemberian tanda dan keabsahan
pada surat suara itu sendiri. Yang akhirnya kebingungan itu dijawab oleh pemerintah
dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Nomor 1 Tahun 2009.
5
Februari untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. 8
Itulah golput yang terjadi karena faktor administratif. Golput administratif adalah
warga negara yang sebenarnya sangat ingin menggunakan hak pilih, tapi terganjal
oleh ketidakcermatan administrasi. Ada dua hal yang memicu munculnya golput
administratif ini. Kedua-duanya terjadi karena buruknya administrasi dari negara. Yaitu
mereka menjadi golput karena tidak terdaftar dan terpaksa golput karena tidak
mengerti cara memberikan tanda pada pilihan partai. Dengan kenyataan seperti itu,
kita layak khawatir mutu demokrasi akan menjadi rendah. Kalau upaya yang bersifat
segera dan cermat untuk menangani golput administratif itu tidak dilakukan, berarti
negara sedang mengebiri hak jutaan rakyat yang memang berniat untuk menggunakan
hak pilih. Itu sama saja dengan mengamputasi demokrasi, karena basis dari demokrasi
adalah suara rakyat. Sebaliknya, tidak perlu mengkhawatirkan secara berlebihan jenis
8
Baca juga Harian Media Indonesia, Menyelamatkan Suara Rakyat, Rabu, 04 Maret 2009
9
Lihat Tajuk Rencana, Harian Kompas, Sabtu, 20 September 2008
10
Lihat juga Harian Kompas, Golput dan Pemilu 2009 , 30 Juni 2008
11
Harian Media Indonesia, Golput Administratif yang Mengkhawatirkan, Selasa, 13 Januari 2009
6
golput karena kesadaran politik. Sebab, di samping langkah itu adalah hak demokrasi,
jumlah mereka pun tidak signifikan. Justru golput administratif, akibat buruknya
negara mengurus administrasi pelaksanaan pemilu, yang harus dicegah.
Dari itu, KPU harus menyiapkan petugas KPPS yang berkualitas dan memiliki kapasitas
yang cukup dalam melaksanakan tugas. Hal itu menjadi titik penting, karena
kepentingan partai politik banyak terjadi di TPS. Sayangnya, tidak ada anggaran
pemilu dan agenda melaksanakan pelatihan untuk itu. 13
B. PELAKSANAAN
1. Pelaksana
Sosialisasi Dan Simulasi Pemilu Legislatif Bagi Kalangan Komunitas Masyarakat
Marginal Kabupaten Labuhanbatu 2009 dilaksanakan oleh Komite Pemilih (TePI)
Indonesia Kabupaten Labuhanbatu bekerja sama dengan Lembaga Bina Masyarakat
Indoneseia (LBMI).
12
Jeirry Sumampow, 'Mencontreng Perlambat Pemungutan Suara Pemilu 2009' Senin, 27 Oktobr 2008,
www.indonesiaontime.com
13
Lihat juga Jeirry Sumampow dalam “KPU Wajib Menyiapkan Petugas KPPS Berkualitas”, Harian Media
Indonesia, Kamis, 19 Maret 2009
7
Jenis Komunitas Keterangan
1. Miskin Kota − Abang Becak
− Petugas Parkir
− Pedagang Buku Emperan
− Pedagang Kaset Bajakan
− Pedagang Sayuran
− Pedagang Nasi Emperan
− Pedagang Pakaian Jadi Kaki Lima
− Penyapu Jalan
2. Warung − Komunitas Warung Emperan
3. Lansia − Pemilih Lansia
4. Perempuan Desa − Ibu Rumah Tangga
5. Pemuda Desa − Pemuda Desa
6. Petani − Petani Bersengketa dengan Perkebunan
7. Waria − Waria Pekerja Salon
8. Remaja − Kelompok Remaja Mesjid
9. Petani − Petani Berkonflik Dengan Perkebunan
Besar
8
4. Apa Dasar dan Prinsip Pemilu Legislatif 2009 Dilaksanakan ?
5. Kapan Pemilu Legislatif 2009 Dilaksanakan ?
6. Siapakah Yang Boleh Memilih ?
7. Bagaimana Menentukan Calon Anggota Legislatif 2009 Terpilih ?
8. Bagaimana Tata Cara Pemberian Suara Pada Surat Suara Pemilu Legislatif 2009 ?
9. Bagaimana Suara Pada Surat Suara Pemilu Legislatif Dinyatakan Sah ?
10. Contoh Surat Suara Pemilu Legislatif 2009
11. Contoh Suara Sah dan Tidak Sah
D. METODE
E. TEMUAN
Dari hasil Sosialisasi Dan Simulasi Pemilu Legislatif Bagi Kalangan Komunitas
Masyarakat Marginal Kabupaten Labuhanbatu 2009 diperoleh temuan sebagai
berikut:
Pertama :
− 60% peserta memilih / mencontreng Nama atau Lambang Parpol
− 25% peserta memilih / mencontreng Nomor Urut Caleg
− 12% peserta memilih / mencontreng Nama Caleg
− 1% peserta memilih / mencontreng Nama Caleg dan Lambang Parpol
− 2% peserta memilih / mencontreng Nomor Urut Caleg dan Lambang Parpol
− Tanda Contrengan bervariasi, contohnya tanda berbentuk melingkar atau seperti
macam ular atau cacing
− 30% peserta belum tahu kapan tanggal pelaksanaan Pemilu legislatif
Kedua :
− Peserta lebih dominan memilih Parpol lama hasil Pemilu 2004
− Peserta bingung dalam memilih caleg
− Peserta mengatakan memilih Lambang Parpol atau Nomor Urut Caleg adalah
Sama Saja dan Yang Penting Sah.
− Peserta mengeluhkan ukuran surat suara yang cukup besar dan parpol terlalu
banyak
9
− Peserta belum hafal atau belum kenal dengan Parpol baru
− Peserta kurang hafal atau lupa pada nomor urut caleg yang akan dipilih
− Peserta bingung membedakan memilih caleg DPRD Kabupaten, DPRD Propinsi,
dan DPRRI
− Peserta dominan memilih / mencontreng nomor urut caleg serupa pada tiap
lembar surat suara mulai dari surat suara DPRD Kabupaten, DPRD Propinsi, dan
DPRRI dengan alasan bingung dan sama saja yang penting sah.
− Kebingungan ini cukup menonjol ditunjukkan oleh peserta lansia dan peserta yang
buta huruf.
− Bahkan ada juga peserta yang mengancam untuk tidak hadir ke TPS nantinya
dikarenakan bingung
F. TEMUAN KHUSUS
Kebingunan para peserta atas kurang faham atau kurang hafal pada nomor urut atau
nama caleg bahkan nomor, nama dan lambang partai hal ini disebabkan karena para
caleg dalam melakukan sosialasasi melalui alat peraga umumnya lebih condong
mensosilisasikan wajah caleg itu sendiri ketimbang lambang partai atau nama partai
atau nomor urut dan nama caleg itu sendiri. Sementara dalam surat suara DPRD
kabupatem, DPRD Propinsi, dan DPRRI tidak ada ditemukan gambar wajah caleg.
Yang ada hanya nomor, lambang dan nama parpol dan nomor urut dan nama caleg
saja.
G. KESIMPULAN
Kendatipun sekilas dilihat mengenai tehnik tata cara pemberian suara pada Pemilu
Legislatif 2009 nanti cukup gampang, namun permasalahan sebenarnya adalah bukan
semata hanya tata cara pemberian suara pada surat suara.
Seperti temuan-temuan yang telah disebutkan diatas tadi, misalnya tingkat pilihan
contrengan dalam melakukan pemberian suara yang dilakukan oleh peserta yang
mengikuti Sosialisasi Dan Simulasi Pemilu Legislatif Bagi Kalangan Komunitas
Masyarakat Marginal Kabupaten Labuhanbatu 2009. Kemudian lebih dominannya
memilih Parpol lama hasil Pemilu 2004, kebingungan dalam memilih caleg, anggapan
memilih Lambang Parpol atau Nomor Urut Caleg adalah Sama Saja dan Yang Penting
Sah, keluhan mengenai ukuran surat suara yang cukup besar dan parpol terlalu
banyak, belum hafal atau belum kenal dengan Parpol baru, kurang hafal atau lupa
pada nomor urut caleg yang akan dipilih, kebingunan membedakan memilih caleg
DPRD Kabupaten, DPRD Propinsi, dan DPRRI, dominannya pilihan/ mencontreng
nomor urut caleg serupa pada tiap lembar surat suara mulai dari surat suara DPRD
Kabupaten, DPRD Propinsi, dan DPRRI dengan alasan bingung dan sama saja yang
penting sah. Kebingungan ini cukup menonjol ditunjukkan oleh peserta lansia dan
peserta yang buta huruf.Bahkan ada juga peserta yang mengancam untuk tidak hadir
10
ke TPS nantinya dikarenakan bingung, serta jenis contrengan yang bervariasi,
contohnya tanda berbentuk melingkar atau seperti macam ular atau cacing.
Temuan yang menarik dari kegiatan Sosialisasi Dan Simulasi Pemilu Legislatif Bagi
Kalangan Komunitas Masyarakat Marginal Kabupaten Labuhanbatu 2009 ini adalah
selain terdeteksinya secara dini jenis dan letak pemberian tanda pada surat suara, juga
terdeteksinya tingkat partisipasi pemilih untuk hadir ke TPS pada 09 April 2009 nanti.
Selain itu diketahui juga seberapa banyak calon pemilih yang telah mengetahui dirinya
telah terdaftar dalam DPT, demikian pula dengan yang belum mengetahui atau tidak
mau tahu.
Calon pemiih yang mengaku belum tahu ini beralasan karena belum mengetahui
dirinya apakah telah terdaftar dalam DPT sebagai pemilih atau tidak.
Sedangkan alasan yang dikemukakan oleh calon pemilih yang diprediksi tidak akan
hadir ini menilai karena memilih ataupun tidak hasilnya tidak dirasakan langsung
olehnya, selain itu ada juga yang berasalan bahwa lebih baik tetap bekerja seperti
biasa untuk kebutuhan biaya masuk sekolah anak. Bagi calon pemilih perempuan
beralasan membantu pekerjaan suami Ada juga yang mengaku akan pergi merantau.
H. REKOMENDASI
Temuan yang di dapat dari pelaksanaan kegiatan Sosialisasi Dan Simulasi Pemilu
Legislatif Bagi Kalangan Komunitas Masyarakat Marginal Kabupaten Labuhanbatu
2009 diharapkan menjadi perhatian yang serius khususnya bagi pihak penyelenggara
pemilu ataupun stakeholder KPU.
Selain melakukan himbauan kepada masyarakat agar mau hadir ke TPS menggunakan
hak pilihnya, pihak penyelenggara pemiu ataupun stakeholder KPU ditingkat paling
bawah dituntut untuk lebih berperan aktif menjalankan fungsinya khususnya mengenai
hal-hal yang berkaitan dengn hak pilih masyarakat.
11
LAMPIRAN I
12
LAMPIRAN II
13
LAMPIRAN III
14
LAMPIRAN IV
15
LAMPIRAN V
16
LAMPIRAN VI
17
LAMPIRAN VII
18
LAMPIRAN VIII
19
LAMPIRAN IX
20