Professional Documents
Culture Documents
PROSIDING
WORKSHOP
Desain :
Eko Priyanto dan Wahyu Budiarso
© P3HKA 2009
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang
Diterbitkan oleh :
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam (P3HKA)
Jl. Gunung Batu No. 5
Bogor, Indonesia
Telp: +62 (0251) 8633234
Fax: +62 (0251) 8638111
E-mail: p3hka_pp@yahoo.co.id
Website: http://www.p3hka.org
i
Tim Penyunting
| ii |
KATA PENGANTAR
| iii |
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………........ iii
DAFTAR ISI………………………………………………...... iv
PENGARAHAN
1. Laporan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Solo.......……........ ix
2. Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan ………….......... xv
RANGKUMAN DAN RUMUSAN
3. Rangkuman Workshop “Peran Hutan Dan Kehutanan
Dalam Meningkatkan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai...... 1
4. Rumusan Workshop ….…………………………………....... 11
BIDANG PERAN HUTAN DALAM
PENGENDALIAN BENCANA ALAM
5. Peran Hutan Dalam Pengendalian Bencana Banjir-
Kekeringan-Tanah Longsor: Identifikasi Masalah dan Teknik
Pengendalian. ( Robert J. Kodoatie).............................................. 14
6. Hubungan Luas Tutupan Hutan terhadap Potensi Banjir dan
Koefisien Limpasan di Beberapa DAS di Indonesia (Nana
Mulyana, Cecep Kusmana, Kamaruddin Abdulah dan Lilik B.
Prasetio)............................................................................................. 41
7. Peran Hutan Dalam Pengendalian Tanah Longsor
(Sukresno)………………............................................................. 55
8. Hutan sebagai Pengendali (Regulator) Puncak Banjir pada
DAS (Syofyan Dt.Majo Kayo , Mohamad Arief Ilyas, Dedih
Setiadi, Erna Satriana)………......................................................... 71
9. Tanah Longsor di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara:
Bentuk Kerusakan di Wilayah Hilir DAS Asahan (Sanudin
dan Bambang S. Antoko)…………….......................................... 91
BIDANG PERAN HUTAN SEBAGAI PEMASOK AIR
DAN PENGENDALI KEKERINGAN
10. Peranan Vegetasi Hutan dalam Mengatur Pasokan Air
(Daniel Murdyarso dan Sofyan Kurnianto)……………......... 102
11. Analisis Tingkat Kekeringan sbg Dasar Dalam Peng. DAS
Yang Berhutan di DAS Progo (Sudibyakto)……...................... 110
12. Sumbangan Hutan Terhadap Hasil Air (Sigit Hardwinarto) 116
13. Nilai Dan Distribusi Ekonomi Pengelolaan Kawasan
Lindung Sebagai Pengatur Tata Air: Kasus Di Sub Das
Brantas Hulu (Kirsfianti L. Ginoga, Sylviani dan Nurfatriani) 136
14. Neraca Air Di Dalam Hutan (Irfan Budi Pramono)……......... 144
15. Pengelolaan Hutan Pinus Untuk Konservasi Sumberdaya Air
(Sudarsono dan Purwanto)………………………................... 155
16. Pemilihan Jenis Pohon Untuk Membangun Hutan Dalam
| iv |
Daerah Aliran Sungai (A. Syaffari Kosasih, Rina
Bogidarmanti dan Nina Mindawati)………….......................... 161
17. Pengelolaan Hutan Lestari Sebagai Basis Peningkatan Daya
Dukung Daerah Aliran Sungai (Paimin)………….. 176
BIDANG PERAN KELEMBAGAAN KEHUTANAN
DALAM PENGELOLAAN DAS
18. Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Saeful
Rachman)…………....................................................................... 186
19. Kelembagaan Pengelolaan DAS (Hendro Prahasto)…............. 207
20. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Air Dan Hasil Air
Dari Hutan (Purwanto)……...……………………................ 234
21. Peran Pemerintah Daerah Dalam Rehabilitasi Daerah Aliran
Sungai (Sri Puryono)…………………………….................... 251
22. Peran Kawasan Konservasi Di Jawa Tengah Dalam
Mendukung Pengelolaan DAS (Minto Basuki)…………....... 263
23. Aspek Sosial Ekonomi Dan Kelembagaan Daerah Aliran
Sungai Brantas (Purwanto dan Paimin)…………………....... 273
24. Pembentukan Forum DAS Dalam Upaya Peningkatan
Fungsi DAS Bagi Lingkungan (Wawan Halwany)…............... 289
LAMPIRAN
Jadwal Acara 300
Daftar Peserta 302
Diskusi 305
|v|
1. LAPORAN
Kepala Balai Penelitian Kehutanan Solo
dalam Rangka Workshop
“Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS”
Yang terhormat :
Bapak Kepala Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam yang kami
hormati.
Para undangan dan peserta Workshop “Peran Hutan dan Kehutanan
dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS’ yang berbahagia
Assalaamu’alaikum Warakhmatullahi Wabarakatuh
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua
Sebagai umat beragama, pertama-tama dan utama marilah kita
panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha
Pengasih dan Penyayang, karena atas rakhmat dan hidayahNya kita
pada hari ini diberi kekuatan, kesehatan dan kesempatan sehingga
dapat berkumpul dan hadir pada acara Workshop “Peran Hutan dan
Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS’ Disamping itu
kami juga mengucapkan selamat datang di kota Solo yang indah ini
bagi kawan-kawan peserta dari luar kota, semoga kota Solo dapat
memberi inspirasi kita untuk berkarya lebih baik.
Bapak Kepala Pusat Penelitian yang kami hormati,
Pada kesempatan ini kami selaku penanggung jawab pelaksanaan
sosialisasi mohon ijin untuk melaporkan hal-hal sebagai berikut :
Yang melatarbelakangi pelaksanaan workshop adalah akhir-akhir
ini kita sering melihat banyaknya kejadian bencana alam banjir, tanah
longsor dan kekeringan yang menimpa di beberapa wilayah di
Indonesia. Peran kita sebagai instansi kehutanan dalam
menanggulangi bencana alam dan tanah longsor merupakan
keharusan sebagai bentuk penjabaran dan implementasi UU Nomor
41 Tahun 1999 khusunya pada Pasal 3 butir c.
| vi |
Hampir setiap kejadian banjir dan tanah longsor pihak kehutanan
dituding bertanggung jawab atas kejadian tersebut karena kondisi
hutan yang gundul dan kritis. Kita kesulitan untuk memberikan
argumentasi sehingga selalu terpojok karena belum siap sajinya data
dan informasi yang relevan serta kurangnya perhatian dari institusi
kehutanan sendiri dari peran yang harus dimainkan dalam mensikapi
masalah tersebut sejak dini.
Badan Litbang Kehutanan dalam hal ini Balai Penelitian
Kehutanan Solo telah memiliki hasil penelitian Kajian Sistem
Karakterisasi DAS yang diformulasikan untuk mendiagnosa
kerentanan dan potensi sub DAS dari aspek banjir, kekeringan,
kekritisan lahan, tanah longsor dan sosial ekonomi Sub DAS.
Formula tersebut dapat membantu mengidentifikasi masalah Sub
DAS dan mendiagnosa penyebab bencana banjir dan tanah longsor.
Disamping itu hasil Rakorbanghut 2006 di Cisarua Bogor khususnya
pada Fokus Pengelolaan DAS juga mengamanatkan pemasyarakatan
hasil litbang yang berkaitan pengelolaan DAS.
Berkenaan hal tersebut kami mencoba mensosialisasikan hasil
litbang tersebut kepada pengguna terutama jajaran kehutanan antara
lain lingkup Ditjen RLPS (Balai Pengelolaan DAS), Ditjen PHKA
(Balai KSDA dan Taman Nasional/Jawa-Bali) dengan peserta utama
para pengambil kebijakan tingkat lapangan, juga dari Pusat Diklat
Kehutanan, Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan, Perum Perhutani,
dan instansi lainnya.
Sebagai informasi pada bulan Agustus 2006 di ruangan ini pula
telah dilakukan Seminar “PEMANTAUAN DAN MITIGASI
BENCANA ALAM BANJIR, TANAH LONGSOR DAN
KEKERINGAN” yang melibatkan sebagian besar stakeholder yang
menangani bencana alam banjir, kekeringan dan tanah longsor.
Maksud diselenggarakannya workshop “PERAN HUTAN DAN
KEHUTANAN DALAM MENINGKATKAN DAYA DUKUNG
DAS” ini memasyarakatkan hasil kajian berupa formula untuk
mendiagnosa kerentanan dan potensi Sub DAS dari aspek banjir,
kekeringan dan tanah longsor kepada jajaran kehutanan terutama
pengambil kebijakan di lapangan terkait dengan pengelolaan DAS.
Sedangkan tujuannya adalah agar jajaran kehutanan tersebut
mampu menjawab setiap masalah degradasi Sub DAS serta
memahami peran dalam mensikapi berbagai fenomena alam yang
terjadi.
| vii |
Pelaksanaan Worskhop selama 1 hari yaitu pada hari Kamis
tanggal 22 Nopember 2007. Materi disajikan dalam 3 pleno yaitu
pleno I menyampaikan bahasan “Peran Hutan dalam Pengendalian
Bencana Alam” yang berisi 5 judul materi. Pleno II membahas “
Peran Hutan sebagai Pemasok Air dan Pengendali Banjir”, yang berisi
8 materi. Pleno III membahas “Peran Kelembagaan Kehutanan
dalam Pengelolaan DAS” yang berisi 7 materi.
Selanjutnya kami selaku penanggung jawab pelaksanaan
Workshop menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah berpartisipasi, membantu dan mendukung
penyelenggaraan acara ini.
Bapak Kepala Pusat Penelitian yang kami hormati,
Pada kesempatan yang berbahagia ini kami laporkan bahwa
jumlah peserta yang diundang sebanyak 100 orang, sampai saat ini
berdasarkan daftar hadir peserta telah memenuhi 100 orang.
Bapak Kepala Pusat Penelitian yang kami hormati,
Kami mohon dengan hormat Bapak Kepala Pusat Penelitian
berkenan membuka secara resmi serta memberi sambutan pada acara
Workshop ini
Demikian laporan kami, semoga Allah SWT memberi kita
kekuatan, kesehatan dan perlindungan selama pelaksanaan Workshop
dengan harapan semoga membawa manfaat.
KEPALA BALAI,
| viii |
2. SAMBUTAN
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Departemen Kehutanan
Dalam Workshop
Dengan Tema :
“Peran Hutan dan Kehutanan Dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS”
Yang terhormat :
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah
Kepala BPK Solo
Para undangan dan peserta Workshop yang berbahagia
| ix |
maka praktek pengelolaan hutan tidak hanya berorientasi pada hasil
kayu dan hasil hutan bukan kayu tetapi diubah menjadi pengelolaan
yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan,
termasuk plasma nutfah dan jasa lingkungan, dan berbasis pada
pemberdayaan masyarakat. Bertumpu pada prinsip dasar pengelolaan
hutan yang demikian maka Workshop yang diselenggarakan ini
dengan tema “Peran Hutan dan Kehutanan Dalam Meningkatkan
Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS)” sangat relevan dalam
mendukung keberhasilan pembangunan kehutanan Indonesia.
| x |
Para Hadirin Sekalian,
(Peran Hutan Dalam DAS)
Sudah sejak lama difahami bahwa secara umum hutan memiliki peran
penting dalam mengendalikan air hujan sehingga sumberdaya lahan
dalam kawasan hutan dan sumberdaya air yang dihasilkan dapat
terjaga kelestariannya. Namun berdasarkan hasil penelitian akhir-akhir
ini menunjukkan bahwa hutan tidak selalu bisa berperan seperti yang
umum fahami tersebut tetapi justru sebaliknya seperti penurunan
potensi hasil air akibat evapotranspirasi berlebihan. Dengan
berkembangnya fenomena dan pengetahuan kehutanan yang dinamis
tersebut maka diperlukan pencermataan dan telaah secara kritis,
obyektif, dan seksama sehingga diperoleh kebijakan penyelenggaraan
kehutanan yang lebih rasional dan optimal baik secara ekologi,
ekonomi, dan sosial budaya. Dukungan penelitian ke depan tidak bisa
ditawar lagi untuk lebih diintesifkan sehingga kebijakan yang diambil
selaras dengan kondisi obyektif lapangan.
Upaya memahami fenomena hutan dari aspek ekologi tata air dan
lahan merupakan salah satu bentuk penjabaran dari UU No 41 Tahun
1999. Pasal 17 ayat (2) mengamanatkan agar dalam pembentukan
wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan harus
dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi DAS. Lebih lanjut
dalam pasal 18 disebutkan bahwa kecukupan luas kawasan hutan dan
penutupan hutan untuk setiap DAS dan atau pulau harus
dipertahankan minimal 30%. Angka 30% ini sering disalah artikan
bahwa kebutuhan luas hutan hanya 30% sehingga kelebihan luas bisa
dikonversi untuk penggunaan lain tanpa mempertimbangkan kondisi
DAS seperti diamanatkan dalam pasal 17. Persentase luas dalam DAS
menjadi beragam tergantung dari kondisi iklim (hujan), bentuk lahan,
topografi, tanah, dan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Oleh karena
itu optimalisasi luas hutan dalam satuan DAS perlu diteliti lebih lanjut
dengan mempertimbangkan kondisi alami dan dinamika masyarakat
sekitarnya.
| xi |
1. Hutan Sebagai Regulator Air
Hasil air (jumlah, mutu, dan kontinyuitas) dari kawasan hutan tidak
hanya tergantung vegetasi hutannya tetapi sangat dipengaruhi oleh
faktor alam lainnya, seperti jenis batuan (geologi), tanah tanah, lereng,
dan iklim. Oleh karena itu pemilihan jenis tenaman hutan, terutama
yang eksotik, harus dilakukan secara cermat agar tidak menimbulkan
penurunan potensi hasil air. Analisis neraca air pada setiap jenis
tanaman hutan sangat diperlukan sehingga dalam pemilihannya sesuai
dengan kondisi lapangan setempat.
Sumbangan air yang cukup besar dari kawasan hutan masih jarang
dinilai secara ekonomis dalam sistem pengelolaan hutan dalam satuan
DAS. Hal ini menjadi tidak adil apabila ternyata air yang dihasilkan
dimanfaatkan secara komersial, seperti untuk industri air minum,
konsumsi hotel, tenaga listrik, dll. Memperhatikan fakta lapangan
tersebut perlu adanya pencermatan dan pemilahan nilai manfaat
antara pemamfaatan publik dan komesial.
| xii |
pasokan air banjir, tetapi besarnya pasokan air banjir tidak hanya
tergantung dari komunitas tanaman hutannya (jenis, kerapatan, umur)
tetapi juga tergantung dari hujan (intensitas dan durasi), morfometri
DAS, lereng, jenis batuan, dan tanah. Sementara itu daerah yang
secara alami rentan kebanjiran sering kurang terpelihara sistem
drainasenya, seperti tanggul sungai kurang terpelihara, palung sungai
yang menyempit karena tekanan pemukiman dan sarana liar lainnya.
Bencana tanah longsor akhir-akhir ini sering terjadi dan menelan
kerugian yang cukup besar, baik harta benda maupun jiwa. Pendapat
umum menyebutkan bahwa tanaman hutan merupakan teknik
pengendalian yang paling ampuh, sehingga setiap terjadi tanah
longsor dianggap sebagai dampak deforestasi. Padahal tanaman hutan
hanya bisa berperan secara efektif apabila sistem perakaran mampu
menembus dan terikat dengan batuan sehingga massa tanah dapat
tertahan. Oleh karena itu faktor alami seperti jenis batuan, kedalaman
tanah, dan lereng harus diperhatikan.
Proses banjir dan tanah longsor dapat terjadi secara simultan
sehingga dampak yang ditimbulkan sangat dahsyat. Seperti peristiwa
banjir bandang di Pacet dan Jember, Jawa Timur, serta di Bohorok,
Sumatera Utara, ternyata banjir yang terjadi bukan banjir normal
karena deforestasi atau illegal logging tetapi merupakan akumulasi
dari aliran air banjir normal ditambah jebolnya air tampungan yang
besar dari palung sungai yang tersumbat oleh tanah longsor dari
tebing sungai. Memperhatikan adanya multi-proses tanah longsor dan
banjir tersebut maka dalam menghimpun data dan informasi tidak
saja berkaitan dengan karakteristik hidrometeorologi dan karakteristik
DAS-nya tetapi juga faktor kekecualian lain yang terjadi di lapangan,
seperti penyumbatan palung sungai oleh tanah longsor atau material
hutan lainnya.
Fenomena proses bencana ini perlu diteliti lebih intensif sehingga
diperoleh metode penanganan yang lebih tepat sehingga kerugian bisa
ditekan serendah mungkin, melalui upaya preventif dan peringatan
dini.
Berkaitan dengan tata air dalam DAS, banyak pihak terkait baik
sebagai pemelihara maupun sebagai sebagai pemanfaat pasokan air
dari kawasan hutan. Hubungan antar pihak perlu ditata secara cermat
sehingga hak dan kewajibannya secara jelas dapat difahami dan tata
| xiii |
hubungan kerja dapat dibangun secara sinergis. Wilayah DAS
tersusun dari berbagai penggunaan lahan seperti hutan, perkebunan,
pertanian, pemukiman, tambang, dan industri, dll. Masing-masing
penggunaan lahan bisa berfungsi sebagai pemelihara dan atau sebagai
pemanfaat sumberdaya air. Namun demikian belum bisa diharapkan
setiap penyelenggara kawasan/lahan memiliki kesadaran kewajiban
dalam pelentarian daya dukung DAS.
| xiv |
Agar jajaran kehutanan mampu menjawab setiap masalah banjir dan
tanah longsor tersebut secara jitu dan cepat maka kelemahan dan
kekurangan peran institusi kehutanan perlu ditingkatkan.
Kami percaya bahwa yang hadir disini cukup beragam, baik dari
kalangan akademisi yang mumpuni dan berpengalaman, praktisi yang
cukup kenyang asam garamnya penyelenggaraan kehutanan, serta para
aktivis dan pemerhati kehutanan dan DAS yang sarat pengalaman
lapangan, sehingga harapan kami tersebut bisa terwujud.
| xv |
| xvi |
3. RANGKUMAN WORSHOP
“PERAN HUTAN DAN KEHUTANAN DALAM
MENINGKATKAN DAYA DUKUNG
DAERAH ALIRAN SUNGAI”
Oleh :
Paimin
I. PENDAHULUAN
| 1 |
tanah. Air yang masuk ke dalam tanah diharapkan dapat disimpan dan
kemudian secara ajeg (berkesinambungan) dapat dialirkan melalui
bawah permukaan tanah yang kemudian muncul di permukaan tanah
sebagai mata air maupun rembesan untuk pasokan air pada musim
kemarau.
Pasal 47, UU No 41 tahun 1999, menerangkan bahwa
perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk: (a)
mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran,
daya-daya alam, hama, serta penyakit, dan (b) mempertahankan
dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan,
kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang
berhubungan dengan pengelolaan hutan. Pasal ini merupakan dasar
tumpuan Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan. Pasal 16 menyebutkan bahwa kerusakan yang
disebabkan oleh daya-daya alam meliputi letusan gunung, tanah
longsor, banjir, kekeringan, badai, dan gempa. Dalam PP No 6
Tahun 2007 pasal 25 dan 33 dinyatakan bahwa sebagian pemanfaatan
dari jasa lingkungan hutan dapat dilakukan melalui: (1) pemanfaatan
jasa aliran air, dan (2) pemanfaatan air. Air mengalir secara alami
melalui sistem sungai, melintasi berbagai pola penggunaan lahan
dengan pemangku lahan yang beragam, sehingga dapat dikuantifikasi
dan terukur dalam sistem DAS. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa peran hutan dalam mengendalikan siklus air
dalam DAS sangat beragaman [5, 6, 8, 10, 11, 12, 14,15, 17]1).
Bertolak dari peraturan perundangan tersebut serta hasil
penelitian yang telah banyak berkembang, maka jabaran dan
pemahaman tentang peran hutan dan kehutanan perlu dibedah
melalui workshop “Peran Hutan dan Kehutanan Dalam
Meningkatkan Daya Dukung DAS” dengan bahasan pokok : (1)
Peran Hutan Dalam Pengendalian Bencana Alam, (2) Peran Hutan
Dalam Menyumbang Pasokan Air, dan (3) dan Peran Kelembagaan
Kehutanan Dalam Pengelolaan DAS, untuk kemudian dijadikan
pijakan dalam menyusun “Riset Hutan dan Kehutanan Dalam
Pengelolaan DAS”. Diharapkan workshop ini bisa menghasilkan dua
hal pokok yakni : (1) sumbangan pemikiran terhadap sistem
penyelenggaraan kehutanan untuk bisa meningkatkan daya dukung
1)
Angka-angka dalam tanda kurawal [ ] pada halaman ini dan
selanjutnya menunjukkan sumber acuan sesuai dengan nomor pidato,
sambutan, dan makalah dalam prosiding ini.
| 2 |
DAS, dan (2) konsep dasar penelitian dan pengembangan kehutanan
dalam peningkatan daya dukung DAS [2].
| 3 |
bagian vegetatif untuk pembiakan mudah didapat [16]. Peningkatan
daya tampung sungai dilakukan pada daerah yang rentan (rawan)
terkena banjir (kebanjiran) seperti pembuatan dan pemeliharaan
tanggul sungai, normalisasi sungai, sudetan (by pass), floodway, dan
lainnya [5].
Bencana Tanah Longsor
Perubahan tata guna lahan untuk suatu peruntukan industri
maupun pemukiman dapat mengakibatkan kondisi tanah yang tadinya
stabil menjadi tidak stabil, mudah bergerak atau mengembang karena
perubahan struktur dan kondisi tanah, sehingga mengakibatkan
terjadinya longsor [5]. Seperti tanah longsor yang terjadi di Kabupaten
Asahan selain karena faktor curah hujan yang tinggi juga disebabkan
oleh perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi penggunaan
lahan lain seperti perkebunan [9]. Akan tetapi peran vegetasi hutan
dalam pengendalikan tanah longsor, khususnya pengendalian stabilitas
lereng, dapat berpengaruh positip (menguntungkan) dan atau negatip
(merugikan) [7]. Peran positipnya ditunjukkan oleh kemampuan
vegetasi dalam meningkatkan kuat geser tanah dan menurunkan
tegangan geser tanah. Peran negatipnya ditunjukkan oleh pengaruh
vegetasi dalam menurunkan kuat geser tanah dan meningkatkan
tegangan geser tanah. Kemampuan vegetasi hutan dalam
mempengaruhi stabilitas lereng, selain berat biomassnya juga bentuk
sistem perakaran, kedalaman akar, distribusi/sebaran perakaran,
susunan akar, dan kekuatan akar. Vegetasi hanya merupakan salah
satu faktor penyebab tanah longsor dari faktor lainnya yakni
parameter hidraulik, karakteristik material dasar, karakteristik tebing,
aliran bawah tanah (subsurface flow), gelombang angin, binatang, dan
manusia [5].
Teknik mengendalikan daerah rawan bencana tanah longsor
dapat dilakukan secara teknik sipil maupun vegetatif. Namun
demikian data terkait jenis-jenis vegetasi yang sesuai untuk
pengendalian lereng rawan longsor di Indonesia belum banyak
tersedia [7]. Perlu diketahui bahwa teknik pengendalian tanah longsor
tidak sama dengan teknik pengendalian lahan kritis sebagai mitigasi
banjir.
| 4 |
(hydrologic cycle). Hutan merupakan salah satu unsur pengendali daur
hidrologi, baik sebagai pengguna air untuk proses kehidupannya
(transpirasi) maupun sebagai sistem lingkungan yang mempengaruhi
proses daur air seperti intersepsi, aliran batang (stem flow), curahan
tajuk (throughfall), limpasan (permukaan dan bawah permukaan),
evaporasi, dan simpanan air dalam tanah (bumi). Kebutuhan air yang
diharapkan dari hutan oleh manusia adalah hasil air (water yield) yang
lestari keluar dari hutan, baik kelestraian jumlah, mutu, dan
kontinyuitas. Oleh karena itu melalui satuan DAS perlu dikuantifikasi
masukan (inputs), keluaran (outputs), dan proses dari air dalam hutan
yang tersusun dalam neraca air hutan. Dari neraca air di dalam hutan
dapat diketahui proses-proses hidrologi di dalam hutan sehingga
fungsi hutan sebagai tata air akan lebih mudah dipahami [10, 14].
Analisis kebutuhan (demand) dan pasokan (supply) air sangat perlu
untuk memperoleh keamanan air sehingga resiko kekeringan dapat
dikurangi.
Pasokan Air dari Hutan
Hutan dipandang sebagai pemasok air secara lestari, namun
beberapa penelitian dan telaah menunjukkan hasil yang beragaman
[10, 12, 14, 15, 17]. Hasil air yang keluar dari kawasan hutan relatif
beragam, tergantung kondisi alami setempat seperti faktor geografis,
biogeofisik dan iklim serta sistem pengelolaan yang diterapkanan [12].
Dengan menggunakan analisis neraca air dalam hutan dapat diketahui
proses dan nilai atau besarnya komponen siklus hidrologi/air di
dalam hutan sehingga fungsi hutan sebagai tata air akan lebih mudah
dipahami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya intersepsi
sekitar 15 % dari total curah hujan, sedangkan curahan tajuk
(throughfall) dan aliran batang (stemflow) masing-masing 79 % dan 1 %
[14]. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hutan tidak menambah
aliran sungai (debit), tetapi justru menguranginya karena tingkat
evapotranspirasinya tinggi [10, 15]. Pengaruh hutan sangat ditentukan
skala penutupan lahannya namun alih-guna lahan, khususnya
pengurangan penutupan hutan hingga 15 persen, tidak memberikan
pengaruh yang berarti tehadap pasokan air [10].
Hutan dengan tanaman pinus menggunakan air untuk
evapotranspirasi sebesar 1.353 mm/tahun lebih tinggi dibandingkan
dengan hutan alam yang hanya 908 mm/tahun ,dan tanaman
semusim 610 mm/tahun [15]. Oleh karena itu penanaman hutan jenis
pinus diarahkan pada daerah yang mempunyai curah hujan lebih dari
2.000 mm/tahun. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa
evapotranspirasi dari Acacia mangium sebesar 1495 mm atau 45 %
dari total curah hujan tahunan, evapotranspirasi dari Agathis damara
sebesar 1070 mm atau 22 % dari hujan [14]. Penelitian di wilayah
| 5 |
Kalimantan Timur menunjukkan bahwa hasil (pasokan) air dari DAS
berhutan, yang diukur dari nilai nisbah debit maksimum dan debit
mínimum (koefisien rejim sungai), memiliki nilai dari yang baik
sampai buruk secara berurutan adalah kawasan Hutan Lindung,
Hutan Alam Produksi (HPH), Pemasok Air Waduk, Hutan Tanaman
Industri (HTI) [12].
Potensi air dari kawasan hutan tidak hanya dari mata air hasil
aíran bawah permukaan, tetapi juga air yang tertampung sebagai
simpanan permukaan seperti danau dalam kawasan hutan. Di Jawa
Tengah potensi air danau ini banyak terdapat di kawasan hutan cagar
alam [22].
Walaupun peran hutan dalam memeberikan pasokan air
sangat beragam, tetapi hutan dapat mengatur fluktuasi aliran sungai
karena peranannya dalam mengatur limpasan dan infiltrasi [10],
sehingga dalam analisis pasokan air dapat memberikan kepastian
besarnya jumlah.
Pasokan air dari hutan dapat dikuantifikasi nilai ekonominya
[13]. Agar diperoleh kelestarian pasokan air dari lingkungan hutan
perlu pengalokasian kembali nilai lingkungan yang diperoleh dari
penghitungan tarif normal untuk masing-masing pemanfaatan
sumberdaya air kepada pengelola kawasan hutan sebagai bentuk cost
benefit sharing di antara penyedia dan penerima manfaat hidrologis
hutan. Upaya konkret cost benefit sharing dapat berupa peningkatan tarif
pemanfaatan sumberdaya air sehingga mencerminkan internalisasi
eksternalitas dimana penerimaan dari peningkatan tarif tersebut
dikembalikan ke pengelolaan hutan dalam bentuk realokasi anggaran
pemerintah untuk merehabilitasi dan memelihara lingkungan. Jika
peningkatan tarif tidak mungkin dilaksanakan adalah dengan
membatasi penggunaan (kuota) di tingkat konsumen akhir.
Becana Kekeringan
Kekeringan dapat dipilah dalam dua definisi yaitu suatu
periode tanpa air hujan yang cukup dan suatu periode kelangkaan air
[5]. Kekeringan karena ketidak-cukupan air hujan dapat disebut
kekeringan secara meteorologis atau klimatologis yakni sebagai suatu
interval waktu dimana suplai air hujan yang jatuh/turun aktual lebih
pendek dibandingkan suplai air klimatologis estimasi normal. Definisi
kedua, kekeringan dapat dilihat dari aspek kekeringan hidrologi,
kekeringan pertanian, dan kekeringan sosial-ekonomi. Kekeringan
pertanian sebagai suatu periode ketika air tanah tidak cukup
memenuhi kebutuhan air tanaman sehingga pertumbuhannya tetap,
bahkan tanaman mati. Kekeringan hidrologis adalah suatu periode
dimana aliran sungainya di bawah normal, atau untuk waduk bila air
tampungannya sangat sedikit atau habis. Kekeringan sosial ekonomi
| 6 |
adalah hasil proses fisik yang terkait dengan aktivitas manusia yang
terkena dampak kekeringan.
Untuk menghubungkan aspek-aspek kebutuhan dan pasokan
dapat digunakan nilai Indeks Kekeringan, walaupun banyak formula
untuk penetapan nilai tersebut [5, 11], sehingga daerah rawan
kekeringan dapat dipetakan. Studi pemetaan daerah rawan kekeringan
yang dilakukan di DAS Progo menunjukkan bahwa secara umum
semaikn ke hilir tingkat kerawanan kekeringan semakin tinggi [11].
Kekeringan muncul karena beberapa faktor antara lain
berkurangnya curah hujan, ketidakmampuan jenis tanah menahan air
dalam jumlah yang cukup untuk menutup kebutuhan
evapotranspirasi. Mitigasi kekeringan dapat dilakukan dengan: (1)
Efesiensi Penggunaan (Penghematan) Air, (2) Pengelolaan Sumber
Daya Air secara Efektif, (3) Pemanfaatan Simpanan Air Embung dan
Waduk Secara Selektif dan Efektif, (4) Penyesuaian Pola dan Tata
Tanam, (5) Kegiatan Yang Mendukung Kelestarian Alam, (6)
Analisis Pengelolaan Sumber Daya Air [5, 11]. Pengenalan peluang
waktu terjadinya kekeringan sangat diperlukan sehingga upaya
mitigasi dapat dilakukan secara efektif dan efisien, seperti di Jawa
umumnya terjadi pada musim kemarau, dimulai bulan Mei dan
berakhir Oktober dengan puncak kekeringan terjadi di bulan Agustus
dan September.
| 7 |
dan penggunaan lainnya, dimana setiap penggunaan lahan berbeda
pemangku dan sistem pengelolaannya [17]. Pengembangan
kelembagaan dalam pengelolaan DAS sangat sulit mengingat
kompleksnya komponen-komponen dalam pengembangannya seperti
aspek ekologi, teknologi, sistem produksi pertanian, pengelolaan
hutan, sosial, ekonomi dan politik. Terlepas dari kompleksitas
permasalahan yang ada, kelembagaan di Provinsi maupun
Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pengelolaan DAS tidak
terlepas dari komponen yang bertanggung jawab dalam pengelolaan
DAS pada masing-masing wilayah, utamanya kelembagaan Pertanian
dan Kehutanan, Penataan Ruang dan Wilayah, Kelautan dan
Perikanan, Lingkungan Hidup, dan juga kelembagaan administratif
[21]. Oleh karena itu pengelolaan DAS harus dilakukan secara
terpadu dengan melibatkan semua pemangku kepentingan baik unsur
pemerintah, swasta maupun masyarakat mulai dari daerah hulu
sampai daerah hilir DAS. Untuk mewujudkan itu diperlukan
pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS sehingga
memungkinkan terjadinya koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan
sinerji (KISS) antar pemangku kepentingan dengan pengelolaan
sumberdaya dalam DAS [18]. Koordinasi tidak hanya menyangkut
kesepakatan dalam satu kerjasama yang operasional, tetapi juga
koordinasi dalam pembuatan kebijakan sehingga menghasilkan
kebijakan yang sistematis dan tidak berbenturan satu dengan yang lain
serta sinkronisasi pengelolaan sumberdaya DAS, tanpa mengganggu
target sektoral masing-masing [19]. Dari studi di DAS Brantas
menunjukkan bahwa terdapat beberapa institusi sebagai perencana
tetapi koordinasi satu dengan lainnya lemah, implementator terdiri
berbagai Dinas Tingkat II dan UPT Pemerintah Pusat, sedangkan
monitoring dan evaluasi belum dilakukan untuk seluruh DAS [23].
Sektor kehutanan melalui Balai Pengelolaan DAS di daerah,
yang merupakan salah satu pemangku kepentingan yang cukup
berperan dalam pengelolaan DAS, telah menginisiasi dan
memfasilitasi pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS di
berbagai daerah dengan nama ”Forum DAS”. Akan tetapi forum-
forum DAS yang ada tersebut masih harus ditingkatkan kapasitas
dan perannya sehingga bisa berfungsi sebagaimana yang diharapkan
[18]. Studi proses pembentukan Forum DAS di Kalimantan Selatan
dengnan menggunakan analisis SWOT diperoleh hasil : (1) Kekuatan -
Forum DAS dibentuk atas Partisipasi masyarakat, Kondisi DAS yang
rusak, Ketersediaan Sumber Daya Manusia, Legalisasi forum DAS,
(2) Kelemahan - Keterlibatan masyarakat hulu kecil, DAS di
Kalimantan Selatan meliputi dua propinsi, Kurangnya sosialisasi,
Sumber Dana, (3) Peluang - Isu bencana dan adanya nilai
| 8 |
jual/kompensasi, dan (4) Ancaman - Paradigma otonomi sempit dan
lemahnya koordinasi [24].
Dalam pengelolaan sumberdaya air dalam suatu DAS
banyak lembaga pengelola kawasan yang berfungsi sebagai pengatur
tata air, pengelola sungai dan pendistribusi air dan pemanfaat air
tetapi koordinasinya masih lemah. Sebagian besar masyarakat masih
memiliki pandangan bahwa air dan sumberdaya air merupakan
barang publik, sementara itu masyarakat pemelihara dan pelestarinya
tidak memperoleh kompensasi yang sepadan. Demikian juga
kesadaran masyarakat tentang banjir yang berasal dari suatu kawasan
yang dipangkunya masih lemah [20].
| 9 |
konservasi) dan sistem pengelolaan dan berada di atas kondisi
alami (elevasi, iklim/hujan, bentuk lahan, batuan, topografi,
tanah) yang sangat beragam. Interaksi berbagai fungsi hutan,
sistem pengelolaan, jenis tanaman, dan kondisi alami, akan
memerlukan litbang yang sangat luas untuk memperoleh hasil
air yang optimal dan lestari. Hasil ini juga akan bisa menjawab
luas hutan optimal pada suatu wilayah tertentu.
2. Pengembangan modeling hidrologi akan lebih bisa membantu
untuk melakukan estimasi pasokan air dari hutan serta estimasi
atau prakiraan kemungkinan terjadinya bencana kekeringan.
3. Perlu pengembangan formulasi kekeringan agar bencana
kekeringan dapat diprakirakan secara lebih akurat.
4. Perubahan iklim global terhadap dinamika neraca air dari
kawasan hutan.
5. Analisis ekonomi pasokan air dari hutan (publik, komersial, dan
semi komersial) maupun multifungsi hutan lainnya sebagai
dasar dalam internalisasi eksternalitas. Melalui analisis demikian
dapat diformulasikan benefit cost sharing hulu – hilir.
6. Litbang dalam penetapan dan klasifikasi penilaian kriteria
kelestarian ekologi tata air pada pengelolaan hutan lestari,
karena keberagaman jenis batuan (geologi), tanah, lereng, dan
iklim, serta fungsi hutannya sehingga tidak rasional apabila
hanya menggunakan satu nilai.
| 10 |
4. RUMUSAN WORKSHOP
“PERAN HUTAN DAN KEHUTANAN
DALAM MENINGKATKAN DAYA DUKUNG DAS”
(22 Nopember 2007)
| 11 |
5. Walaupun pasokan air dari hutan berkurang dibanding areal
bukan hutan tetapi peran hutan yang lebih besar perlu
dipertimbangkan seperti kualitas air yang dihasilkan lebih baik,
pengendalian banjir, dan kematapan kawasan penghasil air.
Perubahan hutan menjadi penggunaan lain, seperti pertanian
dan padang rumput, akan berdampak pada tingkat erosi,
sedimentasi, banjir, jaminan pasokan hasil air. Dengan
demikian penyelenggraan hutan lestari yang kemungkinan
menurunkan pasokan air perlu dibandingkan kerugian yang
diakibatkan oleh penggundulan dan konversi hutan. Hal ini
merupakan peringatan bagi penyelenggara kehutanan untuk
berhati-hati dalam mengelola hutannya sehingga tidak
menimbulkan defisit pasokan air dari kawasannya.
6. Hasil air (jumlah, mutu, dan kontinyuitas) dari kawasan hutan
tidak hanya tergantung vegetasi hutannya tetapi sangat
dipengaruhi oleh faktor alam lainnya, seperti elevasi, jenis
batuan (geologi), tanah tanah, lereng, dan iklim. Pemilihan jenis
tanaman hutan, terutama yang eksotik, harus dilakukan secara
cermat agar tidak menimbulkan kerugian nyata dari penurunan
potensi hasil air.
7. Sumbangan air dari kawasan hutan masih jarang dinilai secara
ekonomis dalam sistem pengelolaan hutan dalam satuan DAS,
padahal ternyata air yang dihasilkan dimanfaatkan secara
komersial, seperti untuk industri air minum, konsumsi hotel,
tenaga listrik, dll. Penilaian hasil secara ekonomi akan bisa
menuntun upaya kompensasi antara pemanfaat dan pemelihara
sumberdaya air.
8. DAS tersusun dari berbagai penggunaan lahan, termasuk hutan,
sehingga dalam pengelolaannya melibatkan berbagai institusi
dan sektor. Oleh karena itu perlu dikembangkan kesamaan
paham dan pandangan terhadap pengertian DAS sehingga
memudahkan pembangunan kelembagaan pengelolaan DAS
secara terpadu. Hal penting dalam pengembangan kelembagaan
adalah identifikasi pemangku kawasan, kepentingan para pihak,
antisipasi konflik yang muncul, kesepakatan-kesepakatan
termasuk fungsi dan peranan tiap pihak. Kelembagaan
pengelolaan DAS bisa diwadahi dalam satu “Forum” atau
“Dewan” yang bersifat non-struktural (bukan eksekutor) untuk
membantu penetapan kebijakan & strategi serta pengambilan
keputusan oleh institusi yang berwenang. Legalitas Forum atau
Dewan DAS sangat diperlukan untuk penguatan peran
kelembagaan. Legalitas lintas provinsi bisa dibangun dalam
kerjasama antar provinsi gubernur, atau diangkat ke tingkat
| 12 |
nasional. Berdasarkan pembagian fungsi hutan, kelembagaan
Kesatuan Pengelolaan pada kawasan hutan, KPHP, KPHL,
KPHK dan KPDAS, belum berjalan dengan baik seperti
diamanatkan dalam UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
| 13 |
5. PERAN HUTAN DALAM PENGENDALIAN BENCANA
BANJIR-KEKERINGAN-TANAH LONGSOR
(IDENTIFIKASI MASALAH DAN TEKNIK
PENGENDALIAN)1
Oleh :
Robert J. Kodoatie2
ABSTRAK
Bencana adalah suatu kejadian alam atau buatan manusia, tiba-tiba atau
progesive, yang menimbulkan dampak yang dahsyat (hebat) sehingga komunitas
(masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus merespon dengan tindakan-
tindakan luar biasa. Salah satu faktor utama terjadinya bencana adalah
perilaku manusia guna mencukupi kebutuhan hidup yaitu perubahan tata guna
lahan untuk keperluan mencari nafkah dan tempat tinggal. Kerusakan
lingkungan yang secara implisit menambah lajunya krisis air semakin dipercepat
oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi, baik secara alami maupun migrasi.
Bencana-bencana banjir, longsor dan kekeringan yang sering melanda
merupakan bukti dari degradasi lingkungan yang dari waktu ke waktu
cenderung meningkat. Hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, lindung dan
produksi. Hutan bisa menahan run-off (aliran permukaan), sehingga apabila
hutan digunduli atau menjadi kawasan pemukiman maka aliran permukaan
akan meningkat signifikan dan terjadilah banjir di musim penghujan dan waktu
musim kemarau tidak ada lagi air yang tersisa sehingga terjadilah kekeringan.
Selain itu, perubahan tata guna lahan untuk suatu peruntukan industri maupun
pemukiman dapat mengakibatkan kondisi tanah yang tadinya stabil menjadi
tidak stabil, mudah bergerak atau mengembang karena perubahan struktur dan
kondisi tanah, sehingga mengakibatkan terjadinya longsor. Oleh karena itu,
peran hutan sangatlah penting dalam pengendalian bencana banjir, kekeringan
maupun tanah longsor. Pengaturan tata guna tanah di DAS dengan
penyuluhan pada masyarakat terhadap permasalahan banjir dan pengendalian
pemanfaatan daerah bantaran sungai. Kawasan hutan merupakan daerah
tangkapan air (catchment area) yang mempunyai fungsi dan potensi wilayah
1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
2 Staff Pengajar Teknik Sipil UNDIP, Jl. Prof. Sudarto, Tembalang, Telp/Fax 024-
7460060. Email:rjkt@sipil.ft.undip.ac.id
| 14 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
sumber daya air sebagai penyedia air. Apabila kerusakan lingkungan akibat
penggundulan hutan terus terjadi maka kekeringan dan kelangkaan air akan
melanda, sehingga keberadaan hutan sebagai daerah tangkapan air perlu terus
dipertahankan sebagai upaya pengendalian bencana kekeringan. Pengendalian
tanah longsor dapat dilakukan dengan tetap menjaga stabilitas tanah, yaitu
dengan menjaga kelestarian hutan atau tumbuh – tumbuhan pada daerah lereng
karena akar pohon-pohonan yang tumbuh pada lereng akan menambah
kestabilan tanah. Selain itu, akar dapat mengurangi kadar air tanah karena
sebagian air diserap oleh tanaman.
Kata kunci : Peran Hutan, Banjir, Kekeringan, Tanah longsor
I. LATAR BELAKANG
| 15 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
Sampai derajat tertentu, kebijakan politik dan ekonomi negara-
negara maju menciptakan tekanan international yang memerlukan
respon domestik di negara-negara berkembang. Mereka dapat
menukar bantuan ekonomi dan teknologi dengan bahan mentah dan
sumber daya alam bernilai tinggi yang dimiliki negara-negara
berkembang. Akibatnya muncul fenomena bahwa negara maju
menjual barang jadi, sementara itu, perimbangan kekuatan–politik dan
ekonomi–antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang
tidak setara. Negara-negara maju mempunyai kekuatan lebih sehingga
dapat memaksa negara-negara berkembang untuk menukar dan
membuka sumber daya yang dipunyainya. Akibat tekanan ini
kebijakan kehutanan di negara-negara berkembang hanya sedikit
menyentuh masalah konservasi karena kebutuhan jangka pendek
untuk meraup devisa (demi berlanjutnya pembangunan) lebih
diprioritaskan daripada kepentingan jangka panjang seperti masalah
lingkungan global dan bencana yang akan melanda.
Hutan mempunyai peranan ekologis yang sangat penting. Hutan
bukanlah semata-mata sekumpulan flora dan fauna. Hutan
merupakan salah satu landasan ekosistem yang sangat besar
peranannya dalam menjaga keseimbangan ekosistem dunia. Hutan
menyerap, menyimpan dan mengeluarkan air. Hutan merupakan
paru-paru dunia yang menyerap karbondioksida dan mengeluarkan
oksigen. Hutan menjaga dan melindungi tanah dari gerusan air dan
sapuan angin. Hutan pun menyediakan bahan makanan, obat-obatan,
bahan bakar, bahan bangunan dan (lebih dari itu) memberi kehidupan
bagi seluruh manusia di muka bumi ini. Pendeknya seluruh fungsi dan
kegunaan hutan tidak terbatas dan ternilai bagi kelangsungan hidup
manusia. Sayang fungsi dan kegunaan hutan yang tidak terbatas dan
ternilai itu mulai terancam.
II. PENGELOLAAN BENCANA TERPADU
Bencana adalah suatu kejadian, alam atau buatan manusia, tiba-
tiba atau progresive, yang menimbulkan dampak yang dahsyat (hebat)
sehingga komunitas (masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus
merespon dengan tindakan-tindakan luar biasa (Carter, 1991).
Bencana dapat disebabkan oleh manusia dan alam.
Salah satu faktor utama terjadinya bencana adalah perilaku
manusia guna mencukupi kebutuhan hidup yaitu perubahan tata guna
lahan untuk keperluan mencari nafkah dan tempat tinggal. Kerusakan
lingkungan yang secara implisit menambah lajunya krisis air semakin
dipercepat oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi, baik secara alami
maupun migrasi. Bencana-bencana banjir, longsor dan kekeringan
| 16 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
yang merupakan bukti dari degradasi lingkungan yang dari waktu ke
waktu cenderung meningkat. Fenomena otonomi daerah yang
terkadang kurang dipandang sebagai suatu kesatuan kerja antara
Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota berakibat pada kurangnya
koordinasi pengelolaan sumber daya air termasuk pengelolaan
bencana akibat daya rusak air yang pada hakekatnya meningkatkan
potensi bencana di banyak wilayah.Keterangan yang lebih lengkap
dapat dilihat pada Gambar 1.
Aktifitas Peningkatan
Meningkat Infrastruktur
Dominan Exploitasi
Alih Tata Guna Lahan Ekonomi Alam
meningkat
Meningkat
Pemanfaatan
Sosial Meningkat Alam
Dalam Dimensi Menurun Degradasi
Lingkungan
Terabaikan Lingkungan
| 17 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
pengetahuan terapan (aplikatif) yang mencari, dengan observasi
sistematis dan analisis bencana, untuk meningkatkan tindakan-
tindakan (measures) yang terorganisir dan sistematis terkait dengan
preventif (pencegahan), mitigasi (pengurangan), persiapan, respon
darurat dan pemulihan (elaborasi dari Global Water Partnership,
2001; Carter, 1991; Panja Komisi VIII DPR RI, 2005; Kodoatie dan
Sjarief, 2005).
Pengelolaan bencana terpadu dapat dikelompokkan dalam 3
elemen penting, yaitu: mengaktifkan lingkungan (the enabling
environment), peran-peran institusi (institutional roles), dan alat-alat
manajemen (management instruments). (elaborasi: GWP, 2001; Kodoatie
dan Sjarief, 2005); seperti terlihat pada Gambar 2
a. Kebijakan (Policy)
A. Enabling Environment
1. Penyiapan Kebijakan
2. Visi dan Misi Pengelolaan Bencana
3. Kebijakan Yang Terkait Pengelolaan Bencana
b. Kerangka Kerja Legislatif
1. Reformasi Peraturan Yang Ada
2. Peraturan Tentang Bencana
3. Penegakan Hukum
c.Finansial
a. Penciptaan Kerangka Kerja Organisasi
B. Peran-Peran
Institusi
a. Analisis Bencana
C. Alat-Alat
Manajemen
| 18 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
Gambar 4. Diagram siklus bencana banjir, longsor dan kekeringan pada umumnya
sepanjang tahun
| 19 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
Kejadian: Teknis
Sosial Mitigasi
Saat
Penyelamatan & Budaya
Bencana
Minimalisasi Ekonomi
Dampak Lingkungan
Persiapan
Teknis
Sosial
Pasca- Relokasi Budaya
Rehabilitasi Ekonomi Respon saat
Bencana
Rekonstruksi Lingkungan Bencana
Recovery
Psikologis &
Teknis Recovery
| 21 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
Penurunan tanah dan rob
Tidak berfungsinya sistem drainase lahan
Bendung & bangunan air
Kerusakan bangunan pengendali banjir
Yang termasuk sebab-sebab alami di antaranya adalah:
Erosi & sedimentasi
Curah hujan
Pengaruh fisiografi/geofisik sungai
Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai
Pengaruh air pasang
Penurunan tanah dan rob
Drainase lahan
Kerusakan bangunan pengendali banjir
b. Penyebab banjir paling dominan
300
250
250
Sungai
200
200
Minimum
150
Maksimum 90
3
100 63
50 50 60
50 10 10
23 25 17 25
0
Rerumputan
Perdagangan
Hutan
Taman
Sawah
beton/aspal
Pemukiman/
Real Estate
Industri &
Jalan
Gambar 6. Peningkatan debit puncak akibat perubahan tata guna lahan (Raudkivi,
1979; Subarkah, 1980; Schwab dkk., 1981; Loebis, 1984)
| 22 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
| 23 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
Skala Metode
Prioritas
Groundsill
Retarding Basin
Pembuatan Polder
Dll.
III Metode Struktur : Perbaikan dan Pengaturan Sistem
Sungai
Sistem jaringan sungai
Normalisasi Sungai
Perlindungan Tanggul
Tanggul Banjir
Sudetan (By pass)
Floodway
Dll.
Oleh
No. Penyebab Alasan Mengapa Prioritas Alam
Banjir /aktifitas
manusia
1. Perubahan Debit Puncak naik dari 5 sampai 35 kali karena Manusia
tata Guna air yang meresap kedalam tanah sedikit
Lahan mengakibatkan aliran air permukaan (run off)
menjadi besar, sehingga berakibat debit
menjadi besar dan terjadi erosi yang berakibat
sedimentasi.
2. Sampah Sungai atau drainase tersumbat dan jika air Manusia
melimpah keluar karena daya tampung saluran
berkurang
| 24 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
Oleh
No. Penyebab Alasan Mengapa Prioritas Alam
Banjir /aktifitas
manusia
3. Erosi & Akibat perubahan tata guna lahan, terjadi erosi Manusia
Sedimentasi yang berakibat sedimentasi masuk ke sungai dan alam
sehingga daya tampung sungai berkurang.
4. Kawasan Dapat merupakan penghambat aliran, maupun Manusia
kumuh di daya tampung sungai. Masalah kawasan kumuh
sepanjang dikenal sebagai faktor penting terhadap
sungai masalah banjir daerah perkotaan.
5. Perencanaan Sistem pengendalian banjir memang dapat Manusia
sistem mengurangi kerusakkan akibat banjir kecil
pengendalian sampai sedang, tapi mungkin dapat menambah
banjir tidak kerusakkan selama banjir yang besar. Misal:
tepat tanggul sungai yang tinggi. Limpasan pada
tanggul waktu banjir melebihi banjir rencana
menyebabkan keruntuhan tanggul, kecepatan
air sangat besar yang melalui bobolnya tanggul
sehingga menimbulkan banjir yang besar.
6. Curah hujan Pada musim penghujan, curah hujan yang Alam
tinggi akan mengakibatkan banjir di sungai dan
bilamana melebihi tebing sungai maka akan
timbul banjir atau genangan termasuk bobolnya
tanggul.
Data curah hujan menunjukkan maksimum
kenaikan debit puncak antara 2 sampai 3 kali
7. Pengaruh Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti Alam dan
Fisiografi bentuk, fungsi dan kemiringan Daerah aliran manusia
sungai (DPS), kemiringan sungai, geometrik
hidrolik (bentuk penampang seperti lebar,
kedalaman, potongan memanjang, material
dasar sungai), lokasi sungai dll.
8. Kapasitas Pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai Manusia
sungai dapat disebabkan oleh pengendapan berasal dan Alam
dari erosi DPS dan erosi tanggul sungai yang
berlebihan dan sedimentasi di sungai itu karena
tidak adanya vegetasi penutup dan adanya
penggunaan lahan yang tidak tepat
9. Kapasitas Karena perubahan tata guna lahan maupun Manusia
Drainasi berkurangnya tanaman/vegetasi serta tindakan
yang tidak manusia mengakibatkan pengurangan kapasitas
memadai saluran/sungai sesuai perencanaan yang dibuat
10. Drainasi Drainasi perkotaan dan pengembangan Manusia
lahan pertanian pada daerah bantaran banjir akan
mengurangi kemampuan bantaran dalam
menampung debit air yang tinggi.
11. Bendung & Bendung dan bangunan lain seperti pilar Manusia
bangunan air jembatan dapat meningkatkan elevasi muka air
banjir karena efek aliran balik (backwater).
| 25 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
Oleh
No. Penyebab Alasan Mengapa Prioritas Alam
Banjir /aktifitas
manusia
12. Kerusakan Pemeliharaan yang kurang memadai dari Manusia
bangunan bangunan pengendali banjir sehingga dan Alam
pengendali menimbulkan kerusakan dan akhirnya tidak
banjir berfungsi dapat meningkatkan kuantitas banjir.
13. Pengaruh air Air pasang memperlambat aliran sungai ke laut. Alam
pasang Waktu banjir bersamaan dengan air pasang
tinggi maka tinggi genangan atau banjir menjadi
besar karena terjadi aliran balik (backwater).
Hanya pada daerah pantai seperti Pantura,
Jakarta dan Semarang
2. PENGENDALIAN KEKERINGAN
Kekeringan merupakan phenomena hidrologi yang paling
kompleks, mewujudkan dan menambahkan isu-isu berkaitan dengan
iklim, tata guna lahan, norma pemakaian air serta manajemen seperti
persiapan, antisipasi dan sebagainya. Kompleksitas bertambah karena
kita mengetahui kekeringan merupakan bencana dengan prosesnya
berjalan lambat sehingga dikatakan sebagai bencana merangkak
(creeping disaster).
Datangnya tidak tiba-tiba (instan) seperti banjir atau gempa bumi,
namun timbul perlahan-lahan sehingga sangat mudah diabaikan. Kita
tidak bisa mengetahui secara pasti awal dan kapan bencana ini
berakhir, namun kita baru sadar setelah berada di periode tengahnya.
Masyarakat awam umumnya baru menyadari ketika air di dalam
sumurnya habis, ketika aliran PDAM macet, ketika penyedotan air
tanah dengan pompa hanya keluar udara.
Untuk pertanian, kekeringan merupakan bencana terparah
dibandingkan bencana lainnya. Bila kebanjiran, tanaman masih bisa
hidup, kekurangan pupuk masih bisa diupayakan. Namun ketika air
tidak ada, tanaman segera mati.
Kita di Indonesia sudah biasa mengalami musim kemarau, namun
sejauh mana kemarau yang terkait dengan El Nino belum kita sadari
secara umum. El Nino sebagai penyimpangan iklim yang
mengakibatkan kemarau panjang, sedangkan penyimpangan iklim
yang menyebabkan musim hujan panjang disebut La Nina. Kejadian
keduanya merupakan fenomena alam yang selalu terulang pada pola
tertentu. Beberapa waktu isyarat akan datangnya kemarau panjang
akibat adanya El Nino sudah dikemukakan oleh beberapa pakar.
| 26 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
Dampak El Nino yang luar biasa pada tahun 1997 telah dirasakan
semua pihak yang menyebabkan kekeringan berkepanjangan. Maka
sumur-sumur penduduk mengering, debit air sungai menurun, dan
tentu saja meluasnya kebakaran lahan dan hutan. Media massa
Indonesia sering memberitakan bencana asap yang berawal dari
pembakaran lahan dan hutan oleh perusahaan-perusahaan maupun
masyarakat saat membuka lahan. Api kemudian menjadi tak
terkendali karena kondisi amat kering. Kerugian besar tak hanya
karena banyaknya orang yang harus menderita sakit akibat asap, tetapi
juga penundaan pesawat, sampai ke musnahnya jutaan jenis
keragaman hayati.
Namun demikian, sebenarnya ada hal lain yang tak kalah
mengkhawatirkan yaitu kekurangan pangan. Kemarau panjang
membuat sawah-sawah/lahan kering dan tak dapat ditanami. Dampak
El Nino terhadap kehidupan manusia sangat beragam. Kemarau
panjang tahun 1900-1901 telah mengakibatkan kelaparan yang hebat
di India, menelan korban tidak kurang dari satu juta jiwa. Musim
kering yang terjadi tahun 1932-1933 di Rusia menelan korban sampai
tiga juta jiwa. Pada tahun 1984-1985 terjadi pula kelaparan di Ethiopia
yang menelan korban tidak kurang dari satu juta jiwa.
Selama El Nino berlangsung, sebagian besar petani dan
penduduk desa praktis kehilangan lapangan pekerjaan. Buruh tani
kehilangan pekerjaan, pedagang dan usaha penggiling padi akan
kehilangan bahan pokok. Pasokan pangan berkurang, sehingga dapat
memicu kenaikan harga kebutuhan pokok. Selama tertundanya tanam
padi, selama itu pulalah pendapatan petani tertunda. Titik awal dari
rantai proses ancaman kelaparan adalah gagal panen yang
menyebabkan pasokan pangan menurun. Penurunan pendapatan
akibat gagal panen menyebabkan turunnya daya beli masyarakat
terutama petani. Di lain pihak, harga pangan pada saat itu biasanya
naik.
Bila kemarau terus berlanjut, petani yang tidak mempunyai
pekerjaan alternatif dan tabungan, terpaksa harus menjual aset yang
mereka miliki, ternak misalnya. Dalam situasi yang sulit, dapat terjadi
penjualan ternak dalam waktu yang bersamaan sehingga harga
jualmenjadi rendah. Hal ini mengakibatkan penderitaan petani yang
lebih berat. Turunnya daya beli mengakibatkan konsumsi berkurang,
dan menurunnya kondisi kesehatan secara umum.
Secara psikologis, dampak negatif musim kering jauh lebih parah
dibanding dengan musim hujan. Kalau kejadian banjir secara tiba-tiba,
petani akan cenderung menjadi kooperatif, bantuan dan perhatian
| 27 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
dari pemerintah pusat akan lebih besar. Sebaliknya, bila air menjadi
langka terjadi secara merangkak perlahan, petani akan cenderung
'berkelahi' untuk memperebutkan air atau sumber daya lainnya untuk
kelangsungan hidup dan pemerintah pun perhatiaannya kurang. Bila
El Nino berlangsung lama, jumlah pengangguran meningkat sehingga
menimbulkan gejolak sosial, ekonomi dan politik, secara luas. Maka
Kekeringan oleh para ahli disebut dengan bencana merangkak atau
creeping disaster.
Sangat sulit merumuskan suatu program yang komprehensif
untuk mengatasi kekurangan pangan bila terjadi El Nino secara
beruntun. Sebelum El Nino muncul, upaya peningkatan produksi
harus sungguh-sungguh diintensifkan, sehingga petani mempunyai
surplus beras, yang dapat disimpan secara individual ataupun kolektif.
Namun demikian dampak El Nino tidak selalu jelek, misal pada tahun
1997 waktu terjadi El Nino, produksi tanaman lombok naik, demikian
pula mangga dan rambutan.
a. Strategi Pengelolaan Masalah Kekeringan
i. Definisi
Konsep kekeringan berangkat dari dua definisi yaitu suatu
periode tanpa air hujan yang cukup dan suatu periode kelangkaan air.
Definisi pertama dikatakan, kekeringan secara meteorologis atau
klimatologis. Definisi kedua dapat disebut kekeringan dari berbagai
aspek, antara lain kekeringan secara hidrologi, kekeringan secara
pertanian dan kekeringan secara sosial-ekonomi.
Secara lebih spesifik kekeringan meteorologis didifinisikan oleh
Palmer (1965) sebagai suatu interval waktu yang mana suplai air hujan
aktual pada suatu lokasi jatuh/turun lebih pendek dibandingkan
suplai air klimatologis yang sesungguhnya sesuai estimasi normal.
Changnom (1987) mendefinisikan, kekeringan pertanian sebagai
suatu periode ketika air tanah tidak cukup memenuhi kebutuhan air
tanaman sehingga pertumbuhannya tetap, bahkan tanaman mati.
Definisi kekeringan hidrologis adalah suatu periode di mana bila
untuk sungai alirannya di bawah normal atau bila untuk waduk
tampungan air tidak ada (habis). Kekeringan sosial ekonomi adalah
hasil proses fisik yang terkait dengan aktivitas manusia yang terkena
dampak kekeringan.
ii. Pendekatan dan Strategi
Pendekatan strategis merupakan pendekatan dengan konsep
keseimbangan antara suplai dan kebutuhan serta antisipasi atau
| 28 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
menghindari ancaman dari dampak kekeringan. Dengan kata lain
pengelolaan masalah kekeringan harus menetapkan taraf resiko
kegagalan dari suplai air yang terbingkai oleh dua pernyataan yaitu
resiko dari kekurangan air dan keamanan suplai (security of supply).
iii. Indeks Kekeringan
Secara harafiah bagi para pengelola sumber daya air kekeringan
berarti problem (masalah) dalam pemenuhan kebutuhan (demand).
Dalam pengertian tersebut, kekeringan juga berarti tidak adanya air
yang cukup untuk mencapai kebutuhan karena suplai air berada di
bawah tingkat yang diharapkan. Tingkat yang diharapkan lebih
cenderung dan dominan dalam aspek sosial-ekonomi. Karena
keterkaitan yang erat dengan sosial ekonomi maka indeks kekeringan
yang akan bermanfaat untuk pengelolaan harus menggabungkan
aspek-aspek kebutuhan dan suplai.
Indeks kekeringan menggambarkan suatu ukuran dari perbedaan
kebutuhan dan ketersediaan sumber air dan merupakan bagian dari
sistem pendukung keputusan yang berhubungan dengan kekeringan.
Untuk utilitas air lokal akan menggunakan indeks kekeringan untuk
menginformasikan pembatasan penggunaan air dan mengumumkan
ketersediaan air yang ada kepada pemakai (publik). Dalam skala
daerah aliran sungai (DAS), pengelola akan menggunakan suatu
indeks untuk informasi dan koordinasi penggunaan air di seluruh
wilayah DAS. Untuk wilayah regional (kabupaten/kota sampai
propinsi) indeks dapat dipakai untuk mengukur tingkat ketersediaan
dan kebutuhan di seluruh wilayah tersebut.
Pada tingkatan yang berbeda-beda tersebut, indeks dapat dipakai
untuk laporan, riset atau rencana aksi. Pemakai indeks yang berbeda
akan membutuhkan pendukung keputusan yang berbeda. Banyaknya
faktor yang mempengaruhi penentuan indeks maka beberapa
pendekatan berikut dapat dipakai, yaitu:
I = Indeks = suplai air yang tersedia dibagi dengan suplai air
rata-rata atau yang diharapkan.
Untuk wilayah DAS maka dapat dipakai contoh indeks berikut
sebagai referensi:
I = Indeks = Bel + Jumlah (Bi)
Di mana :
Bel = perbedaan elevasi saat ini suatu tampungan (waduk
atau danau) dengan rata-rata bulanan untuk suatu
periode yang panjang
| 29 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
B = perbedaan curah hujan rata-rata bulanan yang
diketahui (saat ini) dengan rata-rata bulanan untuk
suatu periode yang panjang
i = angka dari 0 sampai 6. Di Indonesia (mungkin) bisa
diambil angka maksimum 6 karena kita bisa
berasumsi bahwa setahun musim hujan dan kemarau
yang terjadi masing-masing selama 6 bulan.
iv. Strategi
Dari uraian di atas strategi yang perlu dilakukan adalah:
Identifikasi daerah rawan kekeringan
Pemetaan detail daerah rawan kekeringan dari berbagai aspek:
a) Identifikasi dan pemetaan sebaran penduduk dan kebutuhan
air baku,
b) Pemetaan kebutuhan dan ketersediaan air
Sosialisasi kebutuhan dan ketersediaan air yang ada untuk
berbagai instansi sesuai tugas pokok dan fungsinya secara
kontinyu ke pihak produsen dan konsumen air.
Sosialisasi pemakaian air secara efisien dan efektif
Penyusunan rencana tindak yang komprehensif, sektor dan
multi sektor
Berbagai model dan analisis dapat diaplikasikan untuk tiap-tiap
aspek yang ditinjau meliputi aspek meteorologi, hidrologi, pertanian
dan sosial ekonomi dll.
| 30 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
iii. Pemanfaatan Simpanan Air Embung dan Waduk Secara
Selektif dan Efektif
Review kondisi embung yang ada secara menyeluruh
Analisis dan review keseimbangan kapasitas dan pemanfaatan
embung
Kebutuhan peningkatan daya tampung
Konservasi lahan
iv. Penyesuaian Pola dan Tata Tanam
Identifikasi masalah dan solusi pola tanam existing
Sosialisasi pola tanam yang terpadu kabupaten/kota dan lintas
Penentuan pola tanam untuk masing-masing sistem DAS dan
irigasi
v. Kegiatan Yang Mendukung Kelestarian Alam
Tinjauan secara komprehensip dan terpadu
Potensi sumber daya air (ketersediaan)
Kebutuhan sumber daya air
Alokasi masing-masing kebutuhan (proporsional)
Skala prioritas
vi. Analisis Pengelolaan Sumber Daya Air
Identifikasi pengelolaan sumber daya air yang ada
Pemanfaatan tata guna lahan Propinsi Jawa Tengah
Kajian Rencana Umum Tata Ruang Propinsi dan
Kabupaten/Kota
Potensi sumber daya air yang ada dan kebutuhan sumber daya air
Hal-hal yang perlu dikaji di dalam pengelolaan masalah
kekeringan adalah antara lain:
Karakteristik kekeringan: alamiah, luas, durasi, bobot/beratnya
Tindakan dan respon: Tambahan supplai, reduksi kebutuhan dan
minimalisasikan dampak.
Detail dari tindakan dan respon dalam manajemen masalah
kekeringan ditunjukkan dalam Gambar 8.
| 31 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
- Tampungan permukaan
- Tampungan dasar
- Transfer antar DAS
a. Yang Ada - Pembagian fungsi silang
- Konservasi DAS
- Peningkatan sistem/
konservasi
- Desalinisasi Air
- Modifikasi cuaca
1. Tambahan b. Pembangunan - Tampungan: waduk, embung
Supplai Baru - Pengambilan air tanah
tersistem
- Gabungan a & b
c. Gabungan - Pemakaian berantai
a& b - Pengantaran terpias-pias
- Inovasi teknologi
- Tindakan legal
- Insentif ekonomi
- Harga ekonomis
a. Proaktif - Kebijakan zoning
/tata guna lahan
- Partisipasi publik
- Prioritas kebutuhan
- Sistem peramalan
- Pengaturan konsumsi
a. Strategi - Kebijaksanaan pemakai
Antisipas - Aksi darurat antar wilayah
i - Manajemen konflik
- Asuransi
3.Minimalisasi - Penyebaran resiko
b. Penyerapan - Kompensasi kerusakan
kan Dampak
kerugian - Pengurangan bencana
- Cadangan dana
- Modifikasi kejadian
c. Reduksi - Pemulihan kerusakan
Kerugian - Perubahan penggunaan air
Gambar 8.Tindakan dan Respon dalam Manajemen Masalah Kekeringan (Grigg dan
Vlachos, 1990)
| 32 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
3. PENGENDALIAN TANAH LONGSOR
| 33 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
Karakteristik material dasar dan tebing sungai:
Ukuran.
Gradasi.
Bentuk.
Berat jenis.
Karakteristik tebing:
Material: Non cohesive atau cohesive.
Tebing satu kemiringan atau stratified.
Batuan (rock).
Ketinggian.
Kemiringan.
Aliran di dalam (subsurface flows):
Gaya-gaya gelombang.
Gaya-gaya rembesan.
Piping dan sapping.
Gelombang angin:
Gaya gelombang.
Erosi permukaan.
Faktor-faktor biologis:
Vegetasi.
Pohon-pohonan.
Semak-semak (shrubs).
Rumput.
Kehidupan binatang:
Yuyu.
Binatang pengerat.
Faktor-faktor oleh manusia (man-induced factors):
Fluktuasi kolam akibat pembangkit tenaga.
Aktifitas pertanian.
Penambangan.
Transportasi.
Urbanisasi.
Drainase.
Pengembangan dataran banjir.
Lintas air.
| 34 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
Begitu kompleknya penyebabnya maka pemahaman yang baik
tentang proses kegagalan tebing hanya dapat dilakukan dengan
evaluasi yang detail dari data yang cukup dan memadai.
b.Permasalahan Dalam Manajemen Bencana Longsor
Karena longsor bisa terjadi di mana saja terutama di daerah
rawan longsor maka ada beberapa permasalahan dalam manajemen
bencana longsor, diantaranya:
Kesulitan akses / jalan didaerah bencana.
Pencarian dan penyelamatan korban yang bisa sangat sulit.
Resiko longsor susulan menghalangi upaya penyelamatan.
Relokasi rentan terhadap penentangan dari masyarakat
karena secara tradisi masyarakat sudah terbiasa hidup di
tempat tinggalnya sehingga sulit beradaptasi di tempat yang
baru dengan berbagai alasan.
Rehabilitasi dan pemulihan bisa menjadi sangat kompleks
dan mahal.
c. Mengenal Daerah Rawan Longsor
Beberapa tips sederhana mengetahui suatu daerah ada atau tidak ada
potensi longsor adalah:
Pada musim kemarau sedikit tanaman tumbuh (daerah gundul),
sumur dengan kedalam < 20 m kering tak ada air, daerah banyak
yang retak-retak.
Pada musim penghujan air sumur penuh, retak-retak bertambah
besar yang merupakan puncak bidang gelincir. Retak-retak pada
bangunan terus bertambah.
Daerah rawan longsor bisa di daerah terjal (kemiringan curam)
terutama yang tinggal di lereng-lereng bukit namun bisa juga di
daerah agak datar (slump area). Berikut ini letak daerah yang rawan
terhadap longsor:
o Daerah pada waktu awalnya stabil tapi karena ada perubahan
tata guna lahan di hulu maupun di hilir maka timbul gerakan
tanah aktif contoh: sebelah Selatan Kawasan Industri Candi,
Kota Semarang.
o Terletak di daerah patahan bisa aktif maupun pasif.
o Pusat beberapa mata air sungai-sungai kecil.
o Terletak di bagian tikungan luar sungai.
o Terletak di bagian wilayah dengan kerentanan gerakan tanah
menengah hingga tinggi.
o Di daerah gerakan tanah tinggi, kondisi lahan tidak harus
gundul namun bisa daerah subur.
| 35 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
o Wilayah yang mengalami degradasi lingkungan yang hebat.
Sehingga tadinya wilayah tersebut stabil menjadi tidak stabil.
Zona Kerentanan Gerakan Tanah Menengah bisa menjadi daerah
Zona Kerentanan Gerakan Tanah Tinggi apabila mengalami
gangguan baik internal maupun eksternal atau lokal maupun
regional. Misalnya adanya pengeprasan bukit yang berlebihan.
Untuk daerah longsor, perlu mengetahui jenis tanah di dalamnya,
salah satu caranya dengan penyelidikan tanah dengan geolistrik
lalu dipetakan.
Jangan membuat sumur resapan atau melakukan reboisasi
(penanaman pohon) di daerah dengan gerakan tanah tinggi
karena akan menambah potensi longsor. Ini berbeda dengan
bencana banjir, yang butuh sumur resapan atau vegetatif untuk
mengurangi banjir (memperkecil/memperlambat run-off). Artinya,
secara substansi apabila suatu daerah berpotensi longsor harus
diupayakan air mengalir secepat-cepatnya agar tidak ada waktu
untuk masuk ke dalam tanah. Masuknya air kedalam tanah
membuat tanah pasif (kondisi kering) menjadi tanah aktif
(kondisi basah). Dalam hal ini sistem drainase permukaan tanah
dan drainase dalam tanah perlu direncanakan dengan detail, baik
dan matang.
Daerah retak di permukaan tanah adalah puncak bidang gelincir.
d.Perubahan Daerah Stabil Menjadi Tidak Stabil
Perubahan tata guna lahan untuk suatu peruntukan industri
maupun pemukiman dapat mengakibatkan kondisi yang tadinya stabil
menjadi tidak stabil, mudah bergerak atau mengembang karena
perubahan struktur dan kondisi tanah.
Gambar 8 menunjukkan adanya proses perubahan kondisi stabil
menjadi tidak stabil akibat perubahan tata guna lahan yang tidak
memperhitungkan kondisi geologinya. Gambar 9 menunjukkan
contoh lokasi daerah stabil menjadi tidak stabil yang terjadi yaitu di
Desa Pucung, Kota Semarang. Tata guna lahan di bawah wilayah
pemukiman penduduk diubah dari hutan dan semak belukar menjadi
kawasan industri. Akibatnya, wilayah pemukiman tersebut menjadi
tidak stabil, banyak rumah bergeser, bangunannya retak-retak.
| 36 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
ContohContohLokasi
lapisan lempung
Lokasi
ekspansifyangmempunyai
kembangmempunyai
susut
ekspansif
susut
bila
yang
Bila lapisan lempung
kembang
tinggi
tinggi terexspose
terexpose(muncul)
(muncul):
1
Jalan raya
Jl Purwodadi –
3
5 4 7
Lahan I dikembangkan
menjadi kawasan industri
Lahan II :Perumahan
penduduk dan infrastruktur
lainnya retak-retak dan
bergeser
Gambar 9. Contoh lokasi perubahan tata guna lahan dan dampaknya (Pem. Kota
Semarang, 2000)
| 37 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
Proses ketidak stabilan akibat perubahan tata guna lahan di wilayah lain
Gambar 10. Perubahan kondisi stabil menjadi tidak stabil akibat perubahan land-use
(Laboratorium Pengaliran FT. Undip, 2004)
| 38 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
DAFTAR PUSTAKA
| 39 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
| 40 |
6. HUBUNGAN LUAS TUTUPAN HUTAN TERHADAP
POTENSI BANJIR DAN KOEFISIEN LIMPASAN DI
BEBERAPA DAS DI INDONESIA1
Oleh:
ABSTRAK
Setiap tipe dan luas hutan akan sangat mempengaruhi hasil air, jumlah resapan,
evapotranspirasi dan keseimbangan neraca air maupuan hasil dari suatu DAS.
Keampuhan tipe hutan dan penggunaan lahan dalam mengendalikan banjir
adalah sejauh mana rasio total hujan yang mampu diresapkan kedalam tanah
pada kondisi intensitas hujan tinggi. Metode penelitian dilakukan dengan cara
membandingkan beberapa analisis hidrograf pada berbagai tipe Sub DAS dan
total luas hutan di beberapa lokasi yaitu di Tasikmalaya, Toraja dan Bandung.
Berdasarkan variasi hujan tahunan lokasi penelitaian antara 1.600-3.324
mm/th umumnya dihasilkan hasil air antara 635-2.442 mm/th dengan laju
evapotranspirasi 1.400 mm/th. Penebangan hutan dengan sistem tebang habis
dapat menaikan hasil air tahunan antara 600-650 mm/th dan menaikan
koefisien run off dari 0.54 menjadi 0.76, dan koefisien limpasan langsung di
bawah tegakan hutan selalu di bawah 5 %. Hutan sangat efektif dalam
pengendalian aliran permukaan karena mempunyai jumlah resapan yang tinggi,
karena sistem perakaran dan serasah sangat mendukung peresapan air.
Kapasitas infiltrasi hutan selalu lebih besar dari intensitas hujan maksimum
sehingga luas hutan sangat signifikan terhadap pengurangan potensi banjir.
Dengan vegetasi hutan tanah di bawah tegakan hutan selalu tertutup serasah,
tidak mencapai kondisi jenuh sehingga luas tutupan hutan di bagian hulu sangat
penting dalam perlindungan tanah terhadap erosi, pengaturan kesimbangan air
DAS dan perlindungan bahaya banjir.
Kata kunci: Hutan, hasil air, kesiembangan air, koefisien aliran dan pencegahan
banjir
______________________
1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
2 Mahasiswa PPs-IPB Program Doktor-Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, .
3 Ketua komisi dan anggota komisi pembimbing. Fahutan IPB PO Box 169 Bogor
email : nmulyana@ipb.ac.id
| 41 |
PROSIDING Workshop, 2009: 41-54
I. PENDAHULUAN
Hasil air dari suatu DAS (water yield) dapat diduga dengan
menggunakan jumlah curah hujan (P) dengan evapotrasnpirasi (Et),
Y = P- Et.............................................................................................(1)
Atau dihitung bedarsarkan akumulasi debit sungai yang terjadi dalam
satu tahun:
Y = ∑ q i .............................................................................................(2)
Di mana qi adalah debit harian dalam setahun dalam mm.
Respon hidrologi tahunan DAS dapat dihitung dengan rumus
sbb;
RHt = Y/ P .......................................................................................(3)
Di mana,
| 45 |
PROSIDING Workshop, 2009: 41-54
RHt = respon hidrologi tahunan Y = total water yield tahunan (mm)
P = total curah hujan tahunan (mm)
Kualitas DAS dalam mengendalikan banjir dapat dihitung
dengan membandingkan total aliran langsung (direct run off) tunggal
dengan total hujan tunggal sehingga dapat dirumuskan:
RHh = ∑ DRO/∑ CHh ..........................................................(4)
Dimana :
RHh = respon hidrologi harian
DRO = total debit limpasan
CHh = total curah hujan harian
Gambar 1. Lokasi plot pengamatan hubungan luas penutupan hutan dengan curah
hujan-debit sungai.
Tabel 1. Rasio hujan dan debit tahunan pada berbagai Sub DAS/DAS terpilih
NO SUB LUAS PENUTUPAN CURAH DEBIT RASIO
DAS/DAS (HA) LAHAN (%) HUJAN (MM) DEBIT/
(LOKASI) (MM) C.HUJAN
| 47 |
PROSIDING Workshop, 2009: 41-54
NO SUB LUAS PENUTUPAN CURAH DEBIT RASIO
DAS/DAS (HA) LAHAN (%) HUJAN (MM) DEBIT/
(LOKASI) (MM) C.HUJAN
Gambar 2. Rasio antara curah hujan dengan debit pada DAS berhutan dan non-
hutan
| 48 |
Hubungan Luas….(Nana Mulyana)
(bekas penebangan), terlihat pada bulan ke-4 sampai bulan ke-6
setelah ditebang, debit Sub DAS Cikawung sama dengan Debit Sub
DAS Cibangban, pada bulan ke-8 s/d bulan ke –19, terjadi kenaikan
debit pada Sungai Cikawung, yang berarti, terjadi kenaikan run off
yang besar disertai keluarnya air dari cadangan air tanah, akibat
hilangnya evapotranspirasi, jumlah air yang bertambah berkisar 600-
650 mm/th atau setara dengan 54 mm/bulan.
Pada bulan ke 20 sampai 34 setelah ditebang dengan sistem tebang
habis, hasil air antara Sub DAS Cikawung hampir sama dengan Sub
DAS Cibangban. Sedangkan pada bulan ke 35 setelah ditebang, atau
setelah tanaman P. merkusii muda berumur 3 tahun debit S. Cikawung
lebih rendah dibandingkan dengan S. Cibangban, hal ini menunjukkan
kondisi ekosistem kembali seperti keadaan sebelum ditebang,
sehingga efek penebangan hutan Pinus sangat berpengaruh dan
memberikan dampak yang sangat besar pada tahun ke dua sampai ke
tiga setelah ditebang. Dengan demikian berkurangnya luas hutan
akan sangat berpengaruh terhadap hasil air dan pada intensitas hujan
tinggi akan sangat berpengaruh terhadap banjir.
Berdasarkan hasil pengamatan koefisen resesi dan jumlah air yang
dapat ditampung pada musim kering terlihat bahwa pada musim
kering tahun pertama di tebang pada Sub DAS berhutan kandungan
air tanahnya 61,9 % lebih banyak dibandingkan DAS non hutan
(bekas penebangan), sedangkan setelah 2 tahun ditebang kandungan
tampungan DAS non hutan 56,71 % lebih banyak dibanding DAS
berhutan, hal ini disebabkan karena hilangnya evapotranspirasi
sehingga air meresap mengisi zone aquifer, akan tetapi pada tahun ke
3 setelah ditebang, yaitu pada musim kering, jumlah air tanah pada
Sub DAS berhutan lebih banyak 18,1 % dibandingkan dengan Sub
DAS non hutan, hal ini mengindikasikan bahwa Sub DAS berhutan
jauh lebih baik dalam menyimpan air tanah, akibat infiltrasi yang
besar. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Perbandingan tampungan air pada musim kering antara Sub DAS
berhutan dan non hutan.
Sub DAS Sub
Parameter kandungan air tanah Non DAS
Hutan Berhutan
Tampungan air musim kering th 1995 (mm) 5.81 9.46
Tampungan air musim kering th 1997 (mm) 8.67 4.92
Tampungan air musim kering th 1998 (mm) 19.06 22.51
| 49 |
PROSIDING Workshop, 2009: 41-54
4.2 Respon Hidrologi
Berdasarkan perbandingan antara data curah hujan dengan
debit pada Tabel 4 terlihat bahwa kegiatan penebangan
menyebabkan naiknya total koefisien aliran permukaan dari 0,54
menjadi 0,735. Akibat penebangan menyebabkan naiknya debit
base flow akibat berkurangnya evapotranspirasi, antara Sub
DAS yang ditebang dan tidak ditebang terdapat selisih hasil air
(water yield) sebesar 1.842 mm selama 34 bulan atau setara
dengan 54,2 mm/bulan sehingga kegiatan penebangan telah
menaikan air sebesar 650 mm/th atau setara dengan menaikan
potensi banjir. sehingga kebutuhan evapotarspirasi hutan P.
merkusii di daerah Tasikmalaya-Garut setara dengan 650 mm/th
ditambah keperluan evaporasi sebesar 1,81 mm/hari atau
sebesar 660 mm/tahun sehingga total air yang diuapkan ke
udara adalah sebesar (650+ 660 mm) atau 1.310 mm/th,
sehingga dengan demikian tanamn P. merkusii memerlukan air
sebesar 3,81 mm/hari.
| 50 |
Hubungan Luas….(Nana Mulyana)
Tabel 4.Perbandingan respon hidrologi antara Sub DAS berhutan dan non hutan
(bekas penebangan)
Non Hutan Berhutan
Curah (Bekas Penebangan)
Waktu
hujan Debit (mm) Respon Debit (mm) Respon
hidrologi hidrologi
Bulan 1 s/d 12 3.814 3.036 0,796 1.998 0.52
Bulan 13 s/d 24 1.307 2.225 1,702 1.205 0.92
Bulan 25 s/d 34 4.297 1.658 0,386 1.874 0.44
Total 1 s/d 34 9.419 6.919 0,735 5.077 0.54
A. Kesimpulan
1. Penebangan hutan, perubahan penutupan lahan dari hutan
menjadi non hutan akan memberikan dampak yang sangat
signifikan terhadap rasio debit dengan curah hujan baik
secara harian maupun tahunan, sehingga pengaturan luas
hutan menjadi sangat penting dalam mengurangi resiko
banjir di suatu DAS.
| 52 |
Hubungan Luas….(Nana Mulyana)
2. Penebangan hutan dapat menyebabkan rasio aliran
limpasan meningkat, base flow meningkat tetapi infiltrasi
menurun, sehingga jumlah tampungan air dimusim kemarau
lebih sedikit dibandingkan data DAS berhutan
3. Penebangan hutan dengan sistem tebang habis
meningkatkan koefisien aliran dari 0.56 menjadi 0.74
sehingga jumlah air akan meningkat 50 % dan umumnya
disebabkan karena menurunnya kapasitas infiltrasi, sehingga
terdapat hubungan yang erat antara luas hutan dan resiko
banjir di suatu DAS
4. Luas hutan di suatu DAS sangat erat kaitannya dengan
hidrograf aliran, sehingga hutan sangat efektif dalam
mengendalikan aliran pemukaan karena laju infiltrasi hutan
di daerah hulu DAS lebih besar dari laju intensitas hujan.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
| 53 |
PROSIDING Workshop, 2009: 41-54
Farida dan Noorwijk M. 2004. Analisis Debit Sungai Akibat Alih
Guna Lahan Dan Aplikasi Model Genriver Pada Das Way
Besai, Sumberjaya. AGRIVITA VOL. 26 NO.1. World
Agroforestry Centre- ICRAF SE Asia, Bogor, ISSN : 0126 –
0537.
Gilmour, D.A., Cassells, D.S. and Bonell, M., 1982. Hydrological
research in the tropical rainforests of north Queensland: Some
implications for land use management. In: E.M. O'Loughlin
and L.J. Bren (Editors), First National Symp. on Forest
Hydrol., Melbourne, May 1982, Instit. Engrs., Canberra,
Australia. Nat. Conf. Publ. 82-6, pp. 145-152.
Hewlett, Jhon D. 1982. Principles of Forest Hidrology. The
University of Georgia Press. Athens.
__________, N. 1994. Simulasi Pengaruh Hutan Terhadap Sistem
Tata Air di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
Lembaga Penelitian IPB. Bogor.
__________, N. 2000. Pengaruh Hutan Pinus (P. merkusii) terhadap
karakteristis Hidrologi di Sub DAS Ciwulan Hulu, KPH
Tasikmalaya Perum Perhutani Unit III-Jawa Barat Kajian
menggunakan Model POWERSIM-PINUS Ver 3.1). Thesis
Fakultas Pasca Sarjana IPB-Bogor
Molchanov, A.A. 1966. The Hydrological Role of Forest Translated
From Rusia. Israel Program for Scientific Translation
Jarrusallem.
Pudjiharta, Ag., M.K. Sallata. 1985. Aliran Batang, Air Lolos dan
Intersepsi Curah Hujan pada Tegakan Pinus merkusii di Bawah
Hutan Tropik di Cikole, Lembang, Bandung Utara, Jawa Barat.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. Buletin no
471.
Purwanto. I. dan A.Ng. Gintings. 1995. Pengaruh Berbagai Jenis
Vegetasi terhadap Kapasitas Infiltrasi Tanah di Cijambu,
Sumedang, Jawa Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan. Bogor. Buletin Penelitian Hutan No.573.
Pramono.,I. B. and A. Ng. Gintings. 1992. Hydrological Response of
Pinus merkusii in Ciharung Catchment, West Java. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. Buletin
Penelitian Hutan No.552.
Nik A.R. 1990 ,Effects of selective logging methods on streamflow
parameters in Berembun watershed.
| 54 |
7. PERAN HUTAN DALAM PENGENDALIAN
TANAH LONGSOR1
Oleh:
Sukresno2
ABSTRAK
Tanah longsor (Brook et al., 1991) adalah salah satu bentuk dari
gerak masa tanah, batuan dan runtuhan batu/tanah yang terjadi
seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan oleh gaya
gravitasi dan meluncur di atas suatu lapisan yang kedap yang jenuh air
(bidang luncur). Tanah longsor terjadi jika dipenuhi 3 keadaan, yaitu:
1) lereng cukup curam, 2) terdapat bidang peluncur di bawah
permukaan tanah yang kedap air, dan 3) terdapat cukup air dalam
tanah di atas lapisan kedap (bidang luncur) sehingga tanah jenuh air,
akibatnya kuat geser tanah berkurang sedang tegangan geser tanah
meningkat. Pengurangan kuat geser pada tanah disebabkan oleh
kondisi geologi – jenis tanah, tekstur (komposisi), sensivitas sifat
tanah lempung, adanya lapisan tanah shale, loess, pasir lepas, dan
bahan organik. Pengurangan kuat geser pada batuan disebabkan oleh
adanya diskontinuitas, sifat kekakuan, arah bedding, joint, orientasi
lereng, derajat sementasi batuan misalnya konglomerat, batuan pasir,
breksi, dan lain-lain. Peningkatan tegangan geser disebabkan antara
lain oleh peningkatan kadar air oleh air hujan yang berinfiltrasi
kedalam tanah/batuan pada lereng terbuka tanpa vegetasi sehingga
tegangan air pori dan tekanan hidrostatis dalam tanah meningkat serta
berat beban pada lereng meningkat. (Suryolelono, 2007).
Peran vegetasi (hutan) dalam memperkuat stabilitas lereng
dikemukakan oleh Hardiyatmo (2006), yaitu vegetasi meningkatkan
kekasaran permukaan sehingga melindungi tanah dari erosi, jaringan
akar meningkatkan kuat geser tanah, dan evapotranspirasi mengurangi
tekanan air pori sehingga menurunkan tegangan geser tanah. Sedang
adanya pengurangan vegetasi/penebangan hutan pada lereng
berakibat pada peningkatan kejadian tanah longsor karena
meningkatnya erosi tanah, serta rusaknya dan pembusukan bertahap
ikatan diantara akar-akarnya berakibat pada pelemahan stabilitas
tanah. Penelitian terkait pengaruh pembalakan hutan terhadap
peningkatan kejadian tanah longsor dikemukakan oleh Montgomery et
al. (2000) untuk kejadian di Pasific Northwest, Howes (1987) di
Pantai Selatan Pegunungan British Columbia, Ziemer dan Swanston
(1977) di Alaska Tenggara, dan Soms
Paper ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya
peran vegetasi hutan dalam kaitannya dengan peristiwa tanah longsor
yang akhir-akhir ini sering terjadi, dimana vegetasi hutan dianggap
sebagai pemicunya seperti yang terjadi di Jember, Banjarnegara,
Trenggalek, Bohorok, dan Bogor.
| 56 |
Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)
| 57 |
PROSIDING Workshop, 2009: 55-67
4. Runtuhan Batu
1. Longsoran Translasi
| 58 |
Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)
| 59 |
PROSIDING Workshop, 2009: 55-67
| 60 |
Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)
| 62 |
Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)
Area
Hutan Area
Lindung Perkebunan
Kopi
Tanah
Longsor
Banjir
Bandang
| 63 |
PROSIDING Workshop, 2009: 55-67
Sumber
Longsor
Wilayah
Bencana
| 64 |
Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)
| 65 |
PROSIDING Workshop, 2009: 55-67
DAFTAR PUSTAKA
Abramson, L.W., T.S. Lee, S. Sharma, dan G.M. Boyce. 1996. Slope
Stability and Stabilization Methods. John Wiley & Sons, Inc.,
Toronto-Canada.
Anonimous. 2007. Pengenalan Gerakan Tanah. Dep. Energi dan
Sumber Daya Mineral. http://merapi.vsi.esdm.go.id?static
/gerakantanah/ pengenalan.htm.
Brook, K.N., P. F. Ffolliott, H.M. Gregersen, dan J.K. Thames.
1991. Hydrology and The Management of Watersheds. Iowa
State University Press, Ames, USA.
Hardiyatmo, H.H.C. 2006. Penangan Tanah Longsor dan Erosi.
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Hirmawan, F. 1994. Pemahaman Sistem Dinamis Kestabilan Lereng
Untuk Mitigasi Kebencanaan Longsor. Makalah Penunjang
No. 17 Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam.
Kerjasama F. Geografi UGM-Bakornas Penanggulangan
Bencana. Yogyakarta.
| 66 |
Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)
| 67 |
8. HUTAN SEBAGAI PENGENDALI (REGULATOR)
PUNCAK BANJIR PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI1
Oleh :
Syofyan Dt.Majo Kayo2, Mohamad Arief Ilyas 2, Dedih Setiadi 2,
Erna Satriana2
ABSTRAK
Hujan yang jatuh pada suatu daerah tangkapan yang bervegetasi akan
menyebabkan tertahannya sebagian air hujan di daun-daun yang disebut sebagai
proses intersepsi. Apabila hujan lebih kecil dari laju intersepsi, maka air tidak
akan mencapai permukaan tanah. Sebaliknya air yang mencapai permukaan
tanah, akan mengalami proses infiltrasi. Laju infiltrasi akan menurun secara
eksponensial, sejalan bertambahnya kelengasan tanah. Curah hujan yang
melebihi laju infiltrasi akan menimbulkan akumulasi air dipermukaan
tampungan depresi dan bila air melebihi kapasitas tampung air depresi, maka
akan terjadi aliran permukaan (surface runoff). Fenomena alam dari curah
hujan menjadi aliran yang berasal dari komponen total aliran yang membentuk
hidrograph aliran merupakan penyederhanaan dari kejadian (siklus) hidrologi.
Hujan badai yang melebihi tampungan intersepsi maksimum, infiltrasi konstan
dan kapasitas tampungan depresi akan menghasilkan puncak hidrograph banjir
yang tinggi. Hidrograph banjir dibentuk oleh curah hujan efektif, bentuk
hidrograph tersebut merupakan karakteristik basin daerah aliran sungai (DAS)
Karakteristik basin dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tanaman penutup
lahan (hutan), tekstur/jenis tanah, besar kemiringan lereng dan besarnya curah
hujan efektif.Memperbesar intersepsi, infitrasi dan kapasitas tampungan depresi
akan dapat mengurangi curah hujan efektif, sehingga debit banjir dan puncak
banjir akan menurun. Menanam tanaman (vegetasi) yang rapat pada bagian
hulu daerah aliran sungai (DAS), dapat memperbesar intersepsi dan infiltrasi,
dapat mengurangi debit dan puncak hidrograph. banjir. Membangun (membuat
tampungan depresi dan infiltrasi) seperti waduk-waduk kecil untuk menampung
aliran permukaan yang berasal dari curah hujan yang jatuh di daerah aliran
sungai, akan dapat menurunkan puncak banjir. Guna mendekati fenomena
aliran banjir yang dipengaruhi oleh sifat DAS yang heterogen dengan
_________________________________________
1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
2, Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air. Jl. Ir. H.
Juanda 193 Bandung, Telp. 022 2501554.
| 71|
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
karakteristik basin dalam fungsi ruang dan waktu, maka model distri- busi
diharapkan dapat memberikan analisis hidrograpf dan simulasi yang lebih teliti/
akurat. Analisa dan evaluasi puncak banjir dapat dilakukan atau
menggunakan model hidrologi distribusi. Pada saat ini ada beberapa model
Hidrologi distribusi yaitu : Model TOP, SHE, ANSWER, TOPOG,
AGNPS dan CREAMS. Pada makalah penulis menggunakan model
distribusi ANSWERS, dengan melakukan simulasi dalam berbagai keadaan
kondisi tanaman penutup lahan (vegetasi) ataupun bangunan konservasi tanah
dan air. Dengan menggunakan model ANSWERS ini dilakukan analisa dan
perhitungan (simulasi) dalam beberapa alternatif. Dari hasil
analisa/perhitungan didapat beberapa puncak banjir, dan dapat
dipilih/ditentukan sebagai alternatif untuk pengendalian banjir yang optimal
dan tepat serta menguntungkan bagi daerah tersebut (dapat dijadikan pilihan
dalam perencanaan) infrastruktur bangunan pencegah banjir.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Hutan atau tanaman (vegetasi) yang tumbuh rapat dan menutupi
lahan dan tanah di atas suatu daerah aliran sungai, dapat berfungsi
sebagai penahan curah hujan melalui proses intersepsi dan infiltrasi,
sehingga aliran permukaan tanah tidak langsung mengalir dan masuk
kedalam sungai dengan jumlah besar dan dalam waktu cepat, seperti
yang terjadi pada lahan pertanian atau tanah/lahan terbuka (gunung
yang telah gundul).
Secara umum proses hidrologi adalah sebagai berikut : ”sebagian
air permukaan ini menguap karena adanya panas matahari, naik keatas
menjadi awan dan mengalami kondensasi pada tempat yang tinggi dan
jatuh lagi kebumi berupa hujan.”
Banjir terjadi melalui tahapan (proses) yaitu curah hujan yang
jatuh di daerah aliran sungai (DAS), jatuh kepermukaan tanah
sebagian masuk kedalam tanah (infiltrasi) sebagian menguap keudara
dan sisanya mengalir di atas permukaan tanah (over land flow),
kemudian aliran permukaan ini mengalir kedalam sungai lalu terus
mengalir ke laut.
Ahli Hidrologi (Hydrologist) dewasa ini melihat siklus hidrologi
berupa sistem hidrologi yang besar. Gagasan dari sistem besar
tersebut, tidak saja ingin menjawab bagaimana proses mengenai
fenomena alam dari siklus hidrologi tapi juga menyangkut hal-hal
| 72 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan,
dkk)
praktis yang berkaitan dengan berbagai masalah lingkungan seperti
banjir atau kekeringan.
Untuk mendapatkan hasil perhitungan yang mendekati
kebenaran dan lebih rasional, secara teoritis dan matematik, konsep
sistem hidrologi dalam analisisnya membutuhkan alat yang lebih
modern seperti ilmu pengetahuan matematik tinggi, operations
research, sistem analisis dan teknologi komputer, yang dapat
digunakan untuk mengetahui/ menghitung fenomena alam, yaitu
berupa hubungan antara hujan dan aliran permukaan (rainfall-runoff
relationship).
1.2 Permasalahan
Beberapa tahun terakhir dan awal-awal tahun 2007 bahkan
diakhir tahun 2007 (dewasa ini) masalah banjir, tanah longsor pada
musim hujan dan kekurangan air atau kekeringan pada musim
kemarau masih saja melanda beberapa daerah aliran sungai dan
daerah-daerah rawan banjir dan rawan kekeringan di wilayah
Indonesia.
Salah satu penyebab terjadinya banjir dan kekeringan tersebut,
sering kali dijadi kan kambing hitamnya adalah berkurangnya luas
hutan, gundulnya bukit atau gunung-gunung, akibat penebangan
besar-besaran yang dilakukan secara resmi (legal) atau secara
sembunyi-sembunyi (illegal), walaupun daerah hutan tersebut telah
ditetapkan sebagai hutan lindung dan Cagar Alam. Di lain pihak
berubahnya hutan menjadi lahan pertanian yang ditanami tanaman
semusim, seperti kentang, jagung, kol dan palawija lainnya yang
menyebabkan terjadi erosi yang melebihi batas yang diperkenankan,
sehingga terjadi sedimentasi dan pendangkalan sungai dan waduk,
yang .akibatnya umur operasi (life time) waduk semakin pendek.
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud penulisan makalah yang berjudul ”HUTAN SEBAGAI
PENGENDALI (REGULATOR) PUNCAK BANJIR PADA
DAERAH ALIRAN SUNGA “ ini adalah memberikan informasi
dan masukan kepada pemerintah, instansi yang berkompeten dan
berwenang, serta masyarakat banyak, tentang pentingnya fungsi dan
kegunaan hutan dalam rangka mengantisipasi dan mengurangi terjadi
banjir besar (memperkecil tingginya puncak banjir) dan
menyimpan/meresapkan air pada musim hujan, sehingga pada musim
kemarau air tersebut dapat digunakan untuk memenuhi berbagai
| 73 |
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
kebutuhan di pedesaan dan perkotaan, terutama bagi daerah yang
tidak mempunyai sumber tetap.
1.4 Metode
Dalam menghitung, menganalisa dan mengevaluasi puncak
banjir suatu daerah aliran sungai, digunakan Model ANSWERS yang
dapat menggambarkan proses hidrologi dan menjelaskan hubungan
antara aliran air dan parameter seperti hujan, infiltrasi , topografi,
tanaman (vegetasi), jenis tanah dan cara pengelolaan lahan. Setiap
komponen (elemen) mempunyai metoda perhitungan karakteristik
aliran yang berbeda.
1.5 Hipotesis
Bila kondisi penutup lahan daerah aliran sungai ditutupi
(tumbuh pohon yang rapat) atau kata lain hutan yang ada di daerah
aliran sungai tersebut terpelihara baik dan memenuhi ketentuan
persyaratan yang diizinkan, maka tinggi puncak banjir di daerah
tersebut dapat dikendalikan dan dapat ditekan (diturunkan).
1.6 Lokasi
Lokasi daerah aliran sungai (DAS) yang dianalisa,dievaluasi
sebagai contoh dalam perhitungan adalah daerah aliran sungai
Cikapundung – Gandok, secara administrasi pemerintahan berada di
wilayah Kota Bandung – Jawa Barat, untuk lebih jelasnya dapat di
lihat pada Gambar 1.
| 74 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan, dkk)
II. STUDI LITERATUR
2.1 Struktur Model ANSWERS
ANSWERS adalah model ”deterministic” yang berdasarkan atas
hipotesis bahwa : Setiap titik di dalam daerah aliran sungai ( DAS )
mempunyai hubungan fungsi antara laju aliran air dan parameter
hidrologinya, antara lain intensitas curah hujan, infiltrasi, topografi
(kemiringan lahan), jenis dan tektur tanah, dan lain sebagainya.
Laju aliran air dapat digunakan dalam kaitannya dengan
komponen lain yang berhubungan satu sama lain seperti : erosi,
gerakan partikel-partikel zat kimia yang berada di dalam daerah aliran
sungai.
Daerah aliran sungai dimodelkan secara konseptual yang
merupakan kumpulan dari setiap elemen (kotak) bujur sangkar .
Sehingga derajat variabilitas spasial (spatial) dalam DAS dapat
dikeluarkan.
Dalam model ini mengasumsikan bahwa suatu DAS merupakan
gabungan dari banyak elemen.
Elemen diartikan sebagai areal yang mempunyai parameter
hidrologi yang sama, setiap elemen memberikan kontribusi sesuai
karakteristik yang dimilikinya. Untuk lebih jelasnya tentang struktur
suatu DAS dapat dilihat pada Gambar 2.
| 75 |
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
2.2 Konsep perhitungan menurut model ANSWERS
Konsep distribusi dari model ANSWERS dapat didefinisikan
secara hubungan matematika untuk semua proses simulasi.
Aliran diasumsikan melalui persamaan kinematik dan
menggunakan persamaan Manning’s pada saluran dalam menghitung
debit. Model ANSWERS juga mengikut sertakan semua pengaruh
parameter kontrol secara spesial.
Jadi berdasarkan konsep di atas dapat digambarkan model
ANSWERS suatu daerah aliran sungai dengan parameter karakter
basin yang memberikan ”respon units” dalam tata air (hidrologi) DAS
seperti terlihat pada Gambar 2.
2.3 Fungsi Hutan sebagai Regulator (pengatur air)
Curah hujan yang jatuh pada suatu daerah aliran sungai (daerah
tangkapan) yang bervegetasi atau ada tanaman pohon kayu akan
menyebabkan proses intersepsi sampai batas (nilai) intersepsi
potensial.
Apabila laju curah hujan lebih kecil dari laju intersepsi, maka air
hujan tidak akan dapat mencapai permukaan tanah disekitarnya,
sebaliknya apabila laju curah hujan lebih besar dari laju intersepsi,
maka air akan mencapai permukaan tanah dan kemudian terjadi
proses infiltrasi.
Laju infiltrasi air ke dalam tanah akan menurun secara
eksponensial dengan me- ningkat (bertambah) nya kelengasan tanah.
Laju curah hujan yang melebihi laju intersepsi dan infiltrasi akan
menyebabkan akumulasi air di permukaan tanah depresi dan apabila
akumulasi air melebihi ”kapasitas tampungan permukaan depresi”,
maka akan terjadi aliran yang disebut limpasan.
2.4 Data masukan Model ANSWERS
Berdasarkan struktur model di atas, maka data masukan model
dikelompokan dalam 5 (lima) kelompok yaitu :
1. Data curah hujan ( lamanya dan intensitas ) .
2. Data tanah ( kelembaban tanah, infiltrasi, drainase,
erodibilitas tanah ), meliputi data porositas total ( TP ),
kapasitas lapang / Field Capacity ( FC ), laju infiltrasi dalam
keadaan konstan ( FC ), selisih laju infiltrasi maksimun dengan
laju infiltrasi konstan (A ), persentase kejenuhan tanah (ASM ),
koefisien infiltrasi (P ), ke dalam zone pengamatan infiltrasi
| 76 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan,
dkk)
tanah pada horizon A ( DF ) dan erodibilitas tanah ( K ) dari
USLE.
3. Data penggunaan tanah dan kondisi permukaan, yaitu jenis
penggunan tanah dan pengelolaannya ( P ), volume intersepsi
potensial ( PIT ), persentase penutupan permukaan lahan
untuk setiap jenis penggunaan ( PER ),
4. koefisien kekasaran ( RC ), tinggi kekasaran maksimum (
micro relief ) (HU ), koefisien Manning ( n ) dan faktor
tanaman dan pengelolaan ( CP ) dari USLE.
5. Data saluran atau sungai meliputi lebar saluran ( CW ), dan
kekasaran saluran ( koefisien Manning ).
6. Data satuan individu elemen, meliputi data kemiringan lereng,
arah lereng, jenis tanah, jenis penggunaan tanah, pengelolaan
tanah (tindakan konservasi ), liputan penakaran hujan, tipe
saluran, kemiringan saluran dan elevasi elemen rata-rata.
2.5 Data keluaran ( Output data ) Model
Keluaran model ANSWERS dapat dikelompokan ke dalam dua
kelompok,yaitu
1. Pendugaan aliran permukaan ( total limpasan ).
2. Pendugaan erosi-sedimentasi, yang meliputi erosi rata-rata,
erosi maksimum, pengendapan maksimum dan penurunan
erosi karena perlakuan konservasi.
Model ini juga dapat mendeteksi lokasi penyebab (pensuplai)
sedimen serta tindakan alternatif untuk pengelolaan tanah dan
tanaman.
Bentuk pengelolaan dikenal sebagai struktur dan perubahan
penggunaan lahan menurut best management practices, BMP.
2.6 Metodologi perhitungan
Dalam penyusunan struktur model ANSWERS yang
digambarkan dengan proses hidrologi untuk menjelaskan hubungan
antara aliran air dan parameter hidrologi yang dikendalikan oleh
hujan, infiltrasi, topografi, vegetasi, jenis tanah dan pengelolaan lahan,
maka setiap komponen mempunyai metoda perhitungan karakteristik
aliran yang berbeda yaitu :
1. Debit air berupa aliran permukaan ( limpasan ) pada setiap elemen
dihitung sebagai fungsi dari waktu, dengan cara ekplisit dan cara
persamaan diferensial :
I – Q = ds/dt
| 77 |
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
Keterangan:
I = laju inflow suatu elemen suatu kejadian hujan dan aliran
dari elemen didekatnya.
Q = laju outflow
S = volume air yang tertahan pada elemen
T = waktu
Persamaan di atas dapat diselesaikan jika dikombinasikan dengan
hubungan persamaan lengkung debit. Persamaan Manning
dengan berbagai koefisien yang berbeda digunakan dalam
hubungan tinggi muka air dan debit dalam menyelesaikan aliran
bidang permukaan (Overland flow ) dan penelusuran aliran
pada saluran ( Channel flow routing ). DAS yang dibentuk oleh
penampilan topografi, merupakan gabungan dari elemen bujur
sangkar yang merupakan matrik yang tidak beraturan. Setiap
elemen berlaku sebagai aliran permukaan ( Overland flow ) yang
mempunyai kemiringan tertentu dan arahnya pada lereng yang
tercuram. Aliran pada saluran di analisis dengan pola terpisah dari
elemen saluran.
2. Metode perhitungan produksi air untuk elemen yang mempunyai
relief ganda adalah sebagai ( Gambar 4).
Q1 = Q ( A1) / (A1 + A2) ) ; dan Q2 = Q ( (A2) / (A1 +A2)
Keterangan :
Q1 = Debit yang mengalir dari luas area A1
Q2 = Debit yang mengalir dari luas area A2
Q = Debit yang mengalir dari luas area A1 + A2
| 78 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan,
dkk)
Aliran dasar yang berasal dari air tanah yang masuk ke sistem saluran
disimulasi-kan secara garis besar saja oleh model ANSWERS. Seluruh
aliran infiltrasi yang bergerak dari zona petak elemen yang lewat
diasumsikan penelusurannya seperti tampungan linier air tanah. Aliran
air kemudian dilepaskan kesemua saluran sesuai dengan laju yang
proporsinal dan sesuai dengan volume akumulasi tampungan.
Penggunaan dari persamaan berkesinambungan yang berkaitan
dengan aliran permukaan digunakan persamaan Manning dimana
radius hidrauliknya di asumsikan sama dengan rata-rata kedalaman air
yang tertahan di atas elemen. Lebarnya maksimum aliran sama
dengan maksimum lebar elemen dan ukuran panjangnya diukur
arahnya tegak lurus dengan arah aliran bidang permukaan.
Aliran yang berkaitan dengan penggunaan yang
berkesinambungan yang ditampilkan sebagai aliran bidang
permukaan adalah persamaan penelusuran ( Routing ) dari Manning.
Untuk jari-jari hidraulik di asumsikan sama dengan rata-rata
kedalaman detention disetiap elemen. Lebarnya aliran maksimum di
asumsikan selebar elemen diukur panjangnya aliran tegak lurus arah
aliran bidang permukaan.
Air aliran detensi pada bidang permukaan adalah total volume
yang dibangun oleh aliran yang tertahan pada bidang permukaan.
Kedalaman aliran detensi adalah jumlah air yang ada pada satu elemen
dikurangi elemen volume retensi ( air yang hanya terinfiltrasi ), dibagi
dengan luas elemen. Hal ini berarti bahwa seluruh dari volume retensi
dari suatu elemen akan diisi dulu sebelum air menjadi cukup untuk
mengisi tampungan air tertekan (detention) dan aliran permukaan ( run
off ). Detensi permukaan merupakan komponen yang berasal dari efek
karakteristik aliran permukaan dan karakteristik drainase dari daerah
aliran sungai.
3. Volume air yang tertahan ( volume of storage water,DEP ) pada
daerah depresi, ditentukan dengan persamaan Huggins and
Mongke (1966) dan Beasley and Huggins (1981 ).
Penyelidikan lapangan membuat hubungan antara potensi dari
tampungan air permukaan adalah fungsi dari kedalaman air pada
zona mikro-relief.
Persamaan yang digunakan ialah :
DR = FC * {( 1 - ( PIV/GWC )}3
Keterangan :
DR = laju pergerakan alian dari zona pengamatan
| 80 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan, dkk)
GWC = TP – FP ( Kapasitas air gravitasi )
6. Persentase kejenuhan tanah ( ASM )
ASM = ASML + RAIN + ET - Ro - PERC
Keterangan :
ASM = Persentase kejenuhan tanah
ASML = Kelembaban tanah awal
RAIN = Curah hujan harian
ET = Evapotranspirasi
Ro = Aliran permukaan
PERC = Perkolasi
III. STUDI KASUS PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI
CIKAPUNDUNG - GANDOK
Sebagai contoh perhitungan pada makalah ini ditampilkan hasil
Evaluasi dan Kalibrasi dalam Penerapan Model ANSWERS pada
DAS Cikapundung – Gandok Bandung Jawa Barat, peta daerah aliran
sungai (DAS) seperti terlihat pada Gambar 1 di atas.
Agar model dapat dipergunakan maka diperlukan pengujian.
Kita memperhatikan perbedaan yang digambarkan oleh hidrograph
hasil perhitungan dan debit pengamatan baik bentuk maupun
besarnya.
Dalam proses perhitungan dari perubahan Fase siklus hidrologi
yang digambarkan oleh model di sini ada kemungkinan akan terjadi 4
sumber kesalahan, yaitu (1) masukan data hujan dan evapotranspirasi
yang salah (2) masukan data debit yang salah (3) struktur model yang
tidak memadai (4) belum optimalnya nilai-nilai parameter.
Dari semua kesalahan tersebut hanya point (4) yang dapat
dikurangi dengan kalibrasi, karena itu dalam mengevaluasi suatu
model dapat diperkirakan berapa besar perbedaan antara simulasi dan
pengamatan aliran yang ditimbulkan oleh (1) dan (2) dan berapa besar
kesalahan lain yang disebabkan oleh (3).umumnya kesalahan (10 –
20%) dapat diterima sebagai hasil yang wajar.
Secara umum untuk mendapatkan parameter model yang
optimal dengan kalibrasi dapat didekati dengan cara coba-coba,
outomatic method - optimization dan sensitive analisis. Parameter
model ANSWERS yang optimal dari DAS Cikapundung dicari
dengan cara coba-coba. Kemudian bandingkan hasil output
hidrograph dari model ANSWERS diatas dengan Hidrograph
pengamatan lapangan. Bersamaan dengan itu dihitumg besaran indek
| 81 |
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
koefisien deterministic dari penampilan grafik di atas yaitu dengan
menghitung dengan persamaan sbagai berikut:
Fo2 - F2
R2 = ----------------
Fo2
Keterangan :
Qobs = besarnya debit pengamatan
Qh = besarnya debit yang dihitung oleh model
Qavg = debit rata-rata pengamatan
Dari hasil kalibrasi dan nilai koef.deterministik, model dapat di
evaluasi kelayakannya dengan memperhatikan :
1. Modelnya sempurna jika model nilai F2 mendekati
nol,sehingga nilai R2 mendekati 1
2. Jika R2 < 0 ( negatif ), model menghasilkan simulasi yang sangat
jelek dan jauh berbeda dari nilai rata-rata Qav.
Selanjutnya jika dari kalibrasi dimana koef.deterministik masih
jauh dari kelayakan model, maka dengan cara coba-coba merubah-
rubah parameter-parameter model agar perbedaan grafik hidrograph
antara Qh dan Qobs mendekati satu sama lain.
Kalibrasi Hidrograf DAS Cikapundung – Gandok dilakukan
dengan pengamatan di pos duga air di Cikapundung – Gandok
Tanggal 3 April 1994 dengan input hujan yang dicatat pos Sukawarna
sebesar 11 mm dan pos Bandung Jalan Cemara sebesar 39 mm. Hasil
kalibrasi berupa penampilan grafik Hidrograph hasil hitungan dan
hasil pengukuran/pengamatan lapangan seperti tertera pada Gambar
4
| 82 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan,
dkk)
Berdasarkan koefisien deterministik dari kalibrasi tersebut
dengan membanding kan kedua hidrograf yang penampilan
bentuknya hampir sama dengan R2 = 0.9, sehingga dengan parameter-
parameter model tersebut layak dipergunakan untuk simulasi dengan
berbagai kondisi keadaan yang diinginkan.
IV. SIMULASI MODEL ANSWERS DI DAS
CIKAPUNDUNG- GANDOK
Dalam upaya memprediksi besar dan bentuknya Hidrograph banjir
di pos duga air Cikapundung – Gandok yang merupakan keluaran (
output) dari model ANSWERS ini, dapat dilakukan simulasi dalam
berbagai skenario. Besar dan bentuknya Hidrograph banjir yang
terjadi di-outlet DAS Cikapundung – Gandok dapat depengaruhi oleh
tata guna lahan, waduk kecil ataupun bangunan terasiring dengan satu
kejadian hujan tertentu.
Kemudian setelah parameter model didapat dengan kalibrasi,
maka simulasi dilakukan untuk hujan tetap sebesar 38.38 mm.
Berbagai kondisi karakteristik basin yang ingin di evaluasi dapat dicari
dengan membuat skenario yaitu dengan merubah input data satuan
individu elemen berupa jenis penggunaan vegetasi yang diinginkan
dan menambah bangunan konservasi air dan tanah yaitu check dam
dan teras bangku.
Pada skenario I, yang merupakan hasil perhitungan hidrograph
banjir pada kondisi sekarang dimana distribusi penggunaan lahan
pada sub-DAS Cikapundung-Gandok pada saat ini tertera pada
Gambar 6. Komposisi tata guna lahanya terdiri dari wilayah hutan
menempati 3950 Ha. (36.24%), 3150 Ha (28.90%) digunakan sebagai
kebun campuran dan sekitar 1700 Ha ( 15.60% ) digunakan untuk
kampung/pemukiman. Penggunaan lahan untuk perkebunan dan
sawah masing-masing sebesar 950 Ha dan 975 Ha atau 8.72% dan
8.94%, sisanya sebesar 175 Ha ( 1.60% ) digunkan sebagai padang
rumput.
Skenario II luas hutan diubah menjadi 50%, sedangkan sisanya
berupa kebun campuran, pemukiman, perkebunan dan sawah terlihat
pada Gambar 5.
Selanjutnya simulasi untuk DAS Cikapundung-Gandok pada
Gambar 6 terlihat berbagai hidrograf yang diakibatkan perubahan tata
guna lahan ( terutama perubahan luas hutan).
| 83 |
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
| 84 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan,
dkk)
GENERAL PERDATA FILE FOR USE IN ANSWERS METRIC
UNITS ARE USED ON INPUT/OUTPUT
CIKAPUNDUNG0101 PRINT RAINFALL DATA FOR 1
RAINGAUGES FOR EVENT OF 15/02/93
0 0.0 0.00
0 10.0 15.00
0 25.0 20.00
0 45.0 70.00
0 60.0 10.00
0 170.0 1.00
0 210.0 0.30
0 230.0 0.20
0 2000.0 0.10
0 2500.0 0.00
| 85 |
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
C 6, CROP=SITE , PIT=0.5, PER=.01, RC=.10 , HU= 0.1 ,
N=.05 , C = .250
C 7, CROP=PASTURE, PIT=0.5, PER=.2 , RC=.20 , HU= 75.0 ,
N=.10 , C = .200
| 86 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan, dkk)
| 87 |
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
II Prediksi hidrograph apabila 3,4 97,5 230 + 3,17
dibangun pemukiman baru seluas
585.5 ha
III Tindakan BNP setelah 2,4 54 285 - 44.6
pembangunan perumahan (5 buah
teras dan 2 buah Sediment pond)
IV Tindakan BMP setelah 1,5 48 120 -50
pembangunan perumahan
( 2 buah teras dan 2 buah sediment
pond)
V Tindakan BNP setelah 1,6 54 180 -44,6
pembangunan perumahan (1 buah
teras dan 1 buah Sediment pond)
VI Tindakan BNP setelah 1,5 48 120 -50
pembangunan perumahan (1 buah
teras dan 2 buah Sediment pond)
VII Tindakan BNP setelah 1,5 54 180 -44,6
pembangunan perumahan (2 buah
Sediment pond)
VIII Tindakan BNP setelah 2,5 57 220 -41,5
pembangunan perumahan (1buah
Sediment pond)
IX Tindakan BNP setelah 1,5 48 120 -50
pembangunan perumahan(2lokasi
teras 2 buah sedimen pond )
X Tindakan BNP setelah 2,15 64,5 250 -34
pembangunan perumahan (2 buah
Sediment pond)
A. Kesimpulan
| 88 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan,
dkk)
3. Pengaruh penurunan puncak banjir oleh pembangunan waduk
kecil dan penterasan dengan berbagai kombinasi dapat
menurunkan puncak banjir berkisar dari 34% s/d 50%.
4. Penentuan lokasi bangunan pengendali banjir yang tepat
umumnya terletak di bagian hilir akan dapat menurunkan puncak
banjir.
5. Pengendalian banjir besar yang sangat mendesak terutama pada
sungai yang dapat mengganggu dan menggenangi daerah urban
dapat dilakukan dengan membangun (membuat) waduk- waduk
kecil, karena penghutanan areal akan memerlukan waktu yang
cukup lama.
6. Untuk mencari alternatif dan penempatan lokasi bangunan
(waduk) perlu terlebih dahulu dilakukan perhitungan dan simulasi
agar dapat dicari hasil yang tepat dan optimal.
7. Aplikasi model hidrologi distribusi dapat digunakan dengan baik
jika parameter model dan data-data hidrologi (lapangan) yang
digunakan benar-benar akurat, dapat di percaya dan terlebih
dahulu harus melalui proses kalibrasi .
B. Saran
1. Berdasarkan informasi dan berita yang dimuat dimedia masa Surat
Kabar dan media elektronik seperti Televisi yang sering
menyatakan bahwa timbulnya banjir besar, tanah longsor dan
kekeringan adalah disebabkan banyaknya ” Pembabatan Hutan
secara besar-besaran” atau tanpa kendali dan tanpa izin,
sehubungan tersebut diatas disarankan kepada instansi yang
berwenang dan berkompeten di tingkat pusat maupun daerah
segera melakukan inventarisasi dan mengadakan penelitian secara
terpadu dan berkesinambung an.
2. Untuk pencegahan dan antisipasi jangan sampai marak dan
meluasnya ”Penggundulan dan pembabatan hutan baik secara
legal maupun illegal, Departemen Kehutanan dan instansi
pemerintah yang terkait dan berwenang diharapkan lebih
meningkatkan pengawasan dilapangan secara terpadu dan
berkesinambungan.
3. Penegakan hukum serta pemberian tindakan dan sangsi yang
tegas, adil kepada pelaku penebangan dan pembabatan Hutan
secara illegal, perlu segera dilaksanakan dan dijatuhkan hukuman
yang seberat-beratnya, tanpa ada diskriminasi dan dispensasi.
4. Penataan tata ruang pemanfaatan lahan hutan dan daerah
penjangganya (lahan pertanian) yang selama ini digunakan untuk
lahan pertanian oleh masyarakat/petani, perlu dinventarisasi dan
| 89 |
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
dikaji ulang untung-ruginya, sehingga kerusakan daerah aliran
sungai dimasa depan dapat ditanggulangi secara tuntas, dan tepat
waktu.
DAFTAR PUSTAKA
| 90 |
9. TANAH LONGSOR DI KABUPATEN ASAHAN,
SUMATERA UTARA: BENTUK KERUSAKAN DI
WILAYAH HILIR DAS ASAHAN1
Oleh:
Sanudin dan Bambang S. Antoko2
ABSTRAK
Kata kunci : pengelolaan daerah aliran sungai, longsor, penggunaan lahan, usaha
konservasi
1
Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
2
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli, Jl. Raya Parapat Km. 10,5
Sibaganding, Parapat, Sumatera Utara. Telp/Fax : 0625.41659/41653. Email :
sanevafa@yahoo.com dan maylaffaizzah@gmail.com
| 91 |
Workshop, 2009 : 91-101
PROSIDING
I. PENDAHULUAN
| 93|
PROSIDING Workshop, 2009 : 91-101
Kejadian longsor yang terjadi ini merupakan longsoran bahan
rombakan pada tebing di atas jalan dengan tinggi ± 10 m dan lebar 45
m. Dengan adanya lereng yang terjal yang mencapai kemiringan > 60°
serta adanya bidang lemah antara tanah pelapukan dengan batuan
dasar breksi dengan sisipan serpih telah menyebabkan keadaan lereng
menjadi tidak stabil. Akibat curah hujan yang sangat tinggi pada saat
kejadian maka pada lereng yang retak akibat pemotongan lereng
kemudian dimasuki air hujan sehingga menambah bobot masa tanah
pada lereng serta mengakibatkan naiknya tekanan air pori yang akan
mengurangi daya ikat antara butir tanah. Hal ini menyebabkan tanah
menjadi jenuh dan tahanan geser tanah menjadi berkurang sehingga
mengakibatkan terjadinya longsoran.
IV. PENYEBAB LONGSOR
Secara umum gerakan tanah (longsor) terjadi akibat adanya
beberapa faktor yang bekerja secara simultan, yaitu kemiringan lereng,
jenis litologi, kegempaan dan curah hujan. Berdasarkan hasil
pengamatan lapangan dan berbagai literatur diketahui bahwa
beberapa penyebab terjadinya longsor di Kabupaten Asahan adalah
sebagai berikut:
1. Lereng pada daerah longsor umumnya mempunyai kemiringan >
60°, dengan batuan penyusun Konglomerat, Breksi, Batupasir,
dan serpih. Kondisi batuan ini di lapangan tampak telah
mengalami tingkat pelapukan yang tinggi dengan hasil pelapukan
berupa batupasir berbutir kasar - sangat kasar. Tebal hasil
pelapukan mencapai 1- 2 m. Akibat tingginya curah hujan,
batuan pada lereng (batupasir) yang sudah retak dimasuki air
hujan sehingga menambah beban pada lereng serta
mengakibatkan naiknya tekanan air pori yang akan mengurangi
daya ikat antara butir tanah, sehingga tahanan geser tanah akan
berkurang. Selain itu air yang meresap pada tanah akan mengalir
di sepanjang bidang kontak antara tanah pelapukan dengan
batuan dasar, sehingga mengakibatkan terjadinya longsoran (Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2005).
2. Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi non hutan dan
areal penggunaan lain secara umum tata guna lahan di Kecamatan
Bandar Pulau dan sekitarnya terdiri dari lahan pemukiman,
perladangan, perkebunan dan hutan. Berdasarkan hasil analisis
SIG dengan melakukan tumpang tindih (overlay) antara peta
penggunaan lahan dan kawasan hutan Kabupaten Asahan tahun
2005 diketahui bahwa telah terjadi perubahan fungsi hutan
menjadi penggunaan lahan lain seperti disajikan pada Tabel 1.
| 94 |
Tanah Longsor di…..(Sanudin dan Bambang)
| 96 |
Tanah Longsor di…..(Sanudin dan Bambang)
Tabel 2. Data Curah Hujan di DAS Asahan (1994 - 2003)
Bulan Bln
Maksimum Bulan
Sub DAS/ Rerata Lem- Ke-
(mm) Basah
No Lokasi bab ring
Bagian Tahunan
Hjn Bulan (bln) (bln) (bln)
DAS (mm)
1 Stasiun Asahan
Lumban Hulu/
Julu, Toba Bagian Des
Samosir Hulu 2.199,3 493 1996 9 1 2
2 Silau
Stasiun Hulu/
Marihat, Bagian Okt
Simalungun Hulu 2.866,7 618 1994 10 1 1
3 Stasiun Pulo Kuasan/
Raja, Bagian Okt
Asahan Hulu 2.565,8 714 2001 10 1 1
4 Stasiun Sukaraja/
Bandar
Pulau, Bagian Des
Asahan Tengah 2.681,9 545 1996 10 1 1
5 Silau
BPP Sei Hilir/
Silau Timur, Bagian Juli
Asahan Tengah 2.297 526 2000 10 1 1
6 Silau Hilir/
BPP Sentang, Bagian Des
Asahan Hilir 2.585,7 966 1996 10 1 1
7 Stasiun Sei Kepayang/
Kepayang, Bagian Nop
Asahan Hilir 1.452,7 660 1997 8 2 2
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Sampali, Medan (2005)
Karakteristik hujan di DAS Asahan pada Tabel 2 didasarkan
pada hasil analisa data curah hujan pada lokasi pengamatan selama 10
tahun (1994 - 2003) yang mencakup nilai rerata hujan tahunan, hujan
harian maksimum selama 10 tahun dan rerata jumlah bulan basah
(curah hujan > 100 mm/bulan), bulan lembab (60 - 100 mm/bulan)
dan bulan kering (< 60 mm/bulan) (Schmid and Ferguson 1951).
Curah hujan rerata tahunan di DAS Asahan berkisar antara 1.452,7 -
2.866,7 mm dimana hujan terendah terjadi di Stasiun Sei Kepayang,
Asahan dan tertinggi terjadi di Stasiun Marihat, Simalungun. Hujan
terjadi hampir merata di semua lokasi pengamatan dengan bulan
kering terbanyak terjadi di Stasiun Sei Kepayang, Asahan dan Stasiun
Lumban Julu, Toba Samosir. Hujan maksimum tertinggi dan terendah
terjadi pada Bulan Desember 1996 dimana hujan maksimum tertinggi
terjadi di BPP Sentang, Asahan sebesar 966 mm dan hujan
| 97|
PROSIDING Workshop, 2009 : 91-101
maksimum terendah di Stasiun Lumban Julu, Toba Samosir sebesar
493 mm.
4. Faktor-faktor lainnya yang sangat berpengaruh terhadap bencana
longsor yaitu kerentanan gerakan tanah akibat gempa atau
pelapukan. Secara alami, tanah-tanah yang berada pada
kemiringan curam bisa saja longsor sekalipun tidak terjadi hujan
lebat. Seperti dijelaskan di atas bahwa Kecamatan Bandar Pulau
dan Pulau Pekan merupakan dua kecamatan di Kabupaten
Asahan yang rawan terhadap longsor.
5. Penambangan Galian C yang tidak sistematis.Berdasarkan
inventarisasi dan pemantauan penertiban usaha pertambangan
yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi
Medan diketahui bahwa cukup banyak kegiatan
penambangan di sekitar sungai termasuk di Kabupaten Asahan
yang tidak memiliki izin (PETI) dan belum sepenuhnya mengacu
pada tata kelola lingkungan penambangan yang baik dan benar.
Hal ini terlihat dari hasil pantauan di lapangan seperti melebarnya
badan sungai serta terjadinya longsor tebing sungai di beberapa
lokasi penambangan.
V. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI
HILIR DAS ASAHAN
Kegiatan survey dilakukan terhadap desa-desa sekitar di daerah
hilir DAS Asahan yaitu Desa Marjanji Aceh dan Desa Aek Bamban,
Kecamatan Bandar Pulau. Kegiatan survey dilakukan dengan
melakukan wawancara menggunakan kuesioner terhadap sepuluh
orang responden di tiap desa yang disurvey. Aspek yang dikaji adalah
kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan kelembagaan masyarakat
termasuk perilaku masyarakat dalam kegiatan pertanian dan aturan
atau adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil pengolahan data sosial ekonomi masyarakat menyebutkan
bahwa desa-desa di daerah hilir mempunyai potensi ekonomi yang
menonjol di bidang pertanian dengan sumber utama penghasilan
penduduk dari sektor pertanian adalah perkebunan kelapa sawit, karet
dan sebagian kecil coklat. Data Potensi Desa (2005) menyebutkan
bahwa persentase penduduk dan keluarga berbasis pertanian pada
masing-masing desa adalah 90% dan 80%. Pada dua desa ini lahan
pertanian berupa sawah justru memiliki jumlah yang paling sedikit
dibandingkan tanaman perkebunan lainnya. Hal ini disebabkan karena
hasil yang diperoleh oleh petani akan sangat tinggi jika mereka
mengelola tanaman karet maupun kelapa sawit dibanding bertani padi
| 98 |
Tanah Longsor di…..(Sanudin dan Bambang)
sawah. Masyarakat umumnya mengelola lahan-lahan ini secara
monokultur dan campuran antara karet dan coklat. Berdasarkan
pengamatan lapangan diketahui bahwa masyarakat di daerah hilir
cenderung mempunyai kehidupan yang lebih baik secara ekonomi jika
dibandingkan dengan masyarakat di daerah hulu.
Pada semua desa dilalui oleh sungai yang melintasi desa dimana
airnya digunakan untuk mandi dan minum kecuali untuk daerah hilir
dimana untuk keperluan memasak dan air minum diperoleh dari
sumur dan pompa air. Desa Marjanji Aceh dan Aek Bamban terdapat
keluarga yang tinggal di bantaran sungai dengan jumlah keluarga
berturut-turut adalah enam keluarga dan 30 keluarga. Kedua desa ini
merupakan tipe desa yang masih mempunyai tradisi kuat dalam
kegiatan gotong royong terutama dalam membangun fasilitas desa.
Secara umum komunitas masyarakat di daerah hilir Sungai Asahan
merupakan campuran antara suku Batak dan Jawa yang sudah
membaur puluhan tahun sehingga kehidupan sosial ekonomi dan
budaya masyarakat juga merupakan perpaduan antara adat Batak dan
Jawa.
Persentase luas sawah dibanding luas desa pada kedua desa
adalah 0,01; 0,09 (sementara tidak diusahakan), dan 0,06. Tingkat
pengetahuan responden terhadap daerah aliran sungai masih rendah,
hal ini disebabkan karena masih rendahnya kegiatan sosialisasi
terhadap masyarakat tentang daerah aliran sungai oleh pihak terkait.
Sebagian besar masyarakat pada kedua desa ini juga belum
mengetahui bahwa sungai merupakan bagian dari DAS dan
mempunyai peran penting terkait dengan karakteristik alaminya. Hasil
ini signifikan dengan pengamatan di lapangan dimana masih banyak
kegiatan pertanian yang belum sesuai dengan kaidah konservasi tanah
dan air seperti belum adanya pembuatan teras. Selain itu masih
banyak dijumpai konversi lahan di daerah hulu dan kiri-kanan Sungai
Asahan dari kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Dalam
hal ini tanaman kelapa sawit memerlukan air yang cukup banyak
untuk pertumbuhannya dan mempunyai kemampuan menyimpan air
dan konservasi tanah yang tidak terlalu bagus dibandingkan dengan
kawasan hutan.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan diketahui bahwa
kegiatan pengelolaan karet maupun kelapa sawit seringkali dilakukan
pada lahan di kiri maupun kanan Sungai Asahan dan atau pada lahan
yang mempunyai tingkat kelerengan di atas 40% yang notabene
merupakan kawasan hutan dan seharusnya ditanami dengan jenis kayu
keras untuk menghindari kejadian bencana seperti erosi maupun
| 99|
PROSIDING Workshop, 2009 : 91-101
banjir. Tingkat kesadaran masyarakat yang rendah dan adanya
pertimbangan ekonomi dalam mengelola lahan secara langsung atau
tidak langsung telah mengakibatkan terjadinya erosi seperti yang
terjadi di Desa Marjanji Aceh. Kejadian longsor di Desa Marjanji
Aceh terjadi pada akhir bulan Desember tahun 2005 yang
menghancurkan beberapa rumah. Bukit yang ada di sekitar Sungai
Asahan yang tadinya ditanami jenis kayu - kayuan telah dikonversi
menjadi perkebunan sawit dan sebagian perkebunan karet sehingga
ketika musim hujan datang maka bencana erosi menjadi hal yang
tidak terelakkan. Yang paling mengkhawatirkan adalah tanah-tanah
yang ada di bukit tersebut dalam kondisi sudah retak sehingga jika
terjadi longsor akibat tingginya curah hujan maka tanah longsor
tersebut akan menutup dan menyumbat Sungai Asahan karena jarak
antara bukit dengan sungai sangat dekat (<100 meter). Pada akhirnya
hal ini akan memicu terjadinya banjir besar.
VI. PENUTUP
Longsor yang terjadi di Kabupaten Asahan selain karena faktor
curah hujan yang tinggi juga disebabkan oleh perubahan penggunaan
lahan dari hutan menjadi penggunaan lahan lain seperti perkebunan.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meminimalkan bencana
longsor diantaranya adalah (1) melakukan pemetaan lokasi kerentanan
gerakan tanah (KGT) dengan skala semi detail (1:50.000), (2)
penertiban terhadap kegiatan penambangan tanpa ijin (PETI) dan
dikelola tanpa kaidah tata kelola lingkungan yang baik. Alasan
pembangunan dan percepatan ekonomi (PAD setempat) sering
digunakan untuk melakukan perubahan peruntukan berdasarkan
kepentingan wilayah dan sektoral tanpa memperhatikan aspek aspek
geografis, ekologi dan sosial budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Laporan
singkat hasil Penyelidikan Tim Tanggap Darurat bencana alam
gerakan tanah yang terjadi di wilayah Kecamatan Bandar Pulau
dan sekitarnya, Kabupaten Asahan, Propinsi Sumatera Utara.
http://www.bgl.esdm.go.id diakses pada tanggal 8 November
2007.
Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah I Medan. 2005.
Intensifikasi dan Ekstensifikasi Peringatan Dini Banjir dan
| 100 |
Tanah Longsor di…..(Sanudin dan Bambang)
Longsor serta Pemanfaatan Informasi MKG untuk Menunjang
Berbagai Sektor Pembangunan. Medan.
BPS dan Bappeda Kabupaten Asahan. Kabupaten Asahan dalam
Angka 2004. Kisaran.
BPS Pusat, 2005. Potensi Desa Tahun 2005 - Kabupaten Asahan.
Jakarta.
Direktur Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. 1981. Pembangunan
Pertanian Tanaman Pangan dalam Hubungannya dengan
Pengelolaan DAS secara Terpadu. Prosiding Lokakarya
Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai, Jakarta, 26-27 Mei
1981. p 135-151.
Manan, S. 1978. Kaidah dan Pengertian Dasar Manajemen Daerah
Aliran Sungai. Penerbit IPB Press. Bogor.
Sumitro, A. 1981. Pengembangan Daerah Aliran Sungai. Prosiding
Lokakarya Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai, Jakarta,
26-27 Mei 1981.
Syumanda, R. 2007. Hutan Rusak, Bencana Datang.
http://rullysyumanda.wordpress.com. Diakses pada tanggal 8
November 2007.
| 101|
10. PERANAN VEGETASI HUTAN DALAM
MENGATUR PASOKAN AIR1
Oleh:
Daniel Murdiyarso2 dan Sofyan Kurnianto2
ABSTRAK
I. PENDAHULUAN
1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
1 Center for International Forestry Research. Jl. CIFOR, Sindangbarang,
| 102 |
Peranan Vegetasi Hutan.....(Daniel Murdyarso dan Sofyan Kurnianto)
Pengukuran masukan berupa curah hujan relatif mudah dengan
asumsi variasi antar tempat (spatial variation) dapat diatasi dengan
jejaring pengukuran yang memadai sesuai dengan kondisi bentang
alam. Perhitungan keluaran berupa evapotranspirasi dan aliran
permukaan dan bawah-permukaan, terkait erat dengan kondisi
vegetasi penutup, dan kondisi iklim setempat.
Perubahan atau alih-guna lahan sebagai bentuk intervensi
manusia yang memiliki kepentingan tertentu dapat diantisipasi melalui
konsultasi dan diskusi kelompok yang terfokus (Focused Group
Discussion, FGD). Hal ini penting untuk menentukan aliran (sungai)
yang anteng yang dapat disepakati bersama. Sudah barang tentu
negosiasi atau tawar-menawar ini memerlukan perubahan yang tidak
perlu merugikan siapaun, baik dari segi ekonomi maupun sosial.
Setiap pihak harus memiliki posisi tawar yang sama agar konflik yang
tidak perlu dapat dihindari. Mekanisme pendanaan harus diatur
sedemikia rupa sehingga prinsip keadilan dan efisiensi dapat
disepakati.
II. PERANAN VEGETASI DAN IKLIM
Vegetasi memiliki peranan dalam dua hal. Pertama, sebagai
penutup lahan sehingga menahan air yang jatuh ke permukaan.
Vegetasi dapat mengurangi energi ”pukulan” butir hujan sehingga
mengurangi peluang terjadinya erosi. Dengan permukaan (tajuk) yang
basah, vegetasi akan mengevaporasikan air hujan yang tertahan
(diintersepsi) permukaan tanaman. Kedua, sebagai ”saluran” yang
akan mengalirkan air dari tanah ke atmosfer melalui proses
transpirasi. Peranan ini berlangsung ketika permukaan atau tajuk
vegetasi kering.
Perbedaan tipe vegetasi berdaun jarum (konifer) dan berdaun
lebar nampaknya tidak berperan lebih penting ketimbang lokasi atau
kondisi iklim setempat, khususnya intensitas hujan yang menentukan
durasi basahnya tajuk. Hal ini penting karena tajuk yang basah akan
mengevaporasikan air yang diintersepsi dalam laju potensial. Dengan
kata lain jenis vegetasi menjadi tidak terlalu penting. Table 1
menunjukkan laju evaporasi dan transpirasi dua jenis vegetasi hutan
yang menerima hujan dalam jumlah yang relatif sama (sekitar 3000
mm setahun) namun mengalami kebasahan tajuk dalam durasi yang
berbeda karena perbedaan intensitas hujannya. Akibatnya hutan yang
terletak di kawasan beriklim sedang (sub tropis) menghabiskan
sebagian besar air yang masuk melalui evaporasi, sedang hutan tropis
melalui transpirasi.
| 103 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 102-109
Tabel 1.Laju evaporasi dan transpirasi hutan daun jarum di daerah iklim sedang dan
hutan daun lebar di kawasan tropis yang mengalami curah hujan tahunan
sekitar 3000 mm
Satuan Daun jarum Daun lebar
sedang tropis
Evaporasi, Ei
Laju mm/h 0.22 0.18
Total mm/y 790 595
EI /Pg % 40 20
Tahanan s/m 4.6 8.1
aerodinamik , ra
Transpirasi, ET
Laju mm/h 0.18 0.31
Total
mm/y 310 886
s/m 200 120
Tahanan tajuk, rs
1,100 1,481
Kehilangan air
PETi = kc.PETi…………………………………………………………………………...(4)
Dimana:
T: suhu
i: bulan ke-i
kc: koefisien tanaman
I: indeks bahang tahunan
Kadar air tanah sangat ditentukan oleh masukan dan keluaran air
di permukaan tanah. Jika selisih antara curah hujan, P dan PET
positif, maka perbedaan tersebut akan menjadi tambahan bagi kadar
air tanah, SWC. Tetapi jika negatif, maka, SWC merupakan fungsi
exponensial kapasitas tanah dalam menahan air, WHC. Sehingga:
Perbedaan antara PET dan AET disebut defisit kadar air tanah
(SMD).
| 106 |
Peranan Vegetasi Hutan.....(Daniel Murdyarso dan Sofyan Kurnianto)
Table 3. Neraca air Sub DAS Cicatih, Sukabumi, Jawa Barat
Jan Feb Mar Ap Mei Jun Jul Ag Sep Okt Nov Des
Curah 329 283 314 323 213 173 107 136 153 229 367 290
hujan
Evapo 112 106 114 130 134 125 117 119 120 117 111 106
transp.
Pot.
Kadar 243 243 243 243 243 241 223 225 229 233 242 243
Air
Tanah
Surplus 217 176 200 193 79 50 9 16 31 108 247 183
| 107 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 102-109
V. KESIMPULAN
• Peranan vegetasi (hutan) sangat tergantung pada kondisi iklim
setempat. Hutan tidak menambah aliran sungai (debit), tetapi
justru menguranginya. Namun demikian hutan dapat mengatur
fluktuasi aliran sungai karena peranannya dalam mengatur limpasan
dan infiltrasi
• Pengaruh hutan sangat ditentukan skala penutupan lahannya
namun alih-guna lahan’ khususnya pengurangan penutupan hutan
hingga 15 persen tidak memberikan pengaruh yang berarti tehadap
pasokan air. Karena itu penggunaan lahan dapat diatur secara
partisipatif sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak
• Sebaliknya perubahan iklim memberikan pengaruh yang nyata,
khususnya pada musim kemarau, baik terhadap AET maupun
SMD.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C., Jarvis, P.G., van Gardingen, P., Fraser, A., 1998. Rainfall
interception loss in unlogged and logged forest areas of Central
Kalimantan, Indonesia. Journal of Hydrology 206, 237-244.
Bruijnzeel, L.A., Wiersum, K.F., 1987. Rainfall interception by a
young Acacia auriculiformis (A Cunn) plantation forest in West
Java, Indonesia: application of Gash’s analytical model. Hydrol.
Proc. 1, 309–319.Burt TP, Shahgedanova M. 1998. An historical
record of evapotranspiration losses since 1815 calculated using
long term observations from the Radcliffe Meteorological
Station , Oxford, England. J.Hydrol.205:101-111.
Doorenbos J, Pruitt WO. 1975. Guidelines for Predicting Crop Water
Requirements. FAO, Rome.
Gash, J.H.C and J.B. Stewart. 1977. The evaporation from Thetford
forest during 1975. J. Hydrol. 35:385-396
Gash, J.H.C., I.R Wright, and C.R. Lloyd. 1980. Comparative
estimates of interception loss from three coniferous forests in
Great Britain. J. Hydrol. 48:89-105.
Holder, C.D., 2004. Rainfall interception and fog precipitation in a
tropical montane cloud forest of Guatemala. Forest Ecology
and Management 190, 373-384.
| 108 |
Peranan Vegetasi Hutan.....(Daniel Murdyarso dan Sofyan Kurnianto)
Jackson, I.J., 1975. Relationships between rainfall parameters and
interception by tropical forest. Journal of Hydrology 24, 215-
238.
Manokaran, N. 1979. Streamflow, throughfall and rainfall
interception in a lowland tropical forest in Peninsular Malaysia.
Malay. Forester 42:174-201.
Murdiyarso, D. 1985. Fprest Transpiration and Evaporation. PhD
Thesis. Department of Meteorology University of Reading,
UK.
Ubarana, V.N., 1996. Observation and modelling of rainfall
interception loss in two experimental sites in Amazonian
forest. In: Gash, J.H.C., Nobre, C.A., Roberts, J.M., Victoria,
R.L. (Eds.). Amazonian Deforestation and Climate, Wiley,
Chichester, pp.151-162
| 109 |
11. ANALISIS TINGKAT KEKERINGAN SEBAGAI DASAR
DALAM PENGELOLAAN DAS YANG BERHUTAN
DI DAS PROGO1
Oleh :
Sudibyakto2
ABSTRAK
Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo dapat dibagi kedalam beberapa Sub
DAS yaitu Sub DAS Progo Hulu, Sub DAS Tangsi, Sub DAS Elo, Sub
DAS Blongkeng, dan Sub DAS Progo Hilir. Wilayah DAS Progo cukup
bervariasi dalam hal topografi, satuan geologi dan geomorfologi, hidrologi, jenis
tanah, tipe penggunaan lahan (termasuk hutan), dan tipe curah hujan (iklim).,
sehingga karakteristik fisik tersebut diharapkan berpengaruh terhadap
keragaman nilai indeks kekeringan (drought index). Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari karakteristik hujan dan hubungannya dengan tingkat
kekeringan di DAS baik secara spasial maupun temporal untuk dijadikan
sebagai dasar pengelolaan DAS. Pengaruh hutan terhadap neraca air dan
indeks kekeringan serta mitigasinya menjadi tujuan yang kedua. Metode yang
digunakan dengan menggunakan pendekatan "spasio-temporal
hidrometeorological water balance". Indeks kekeringan dihitung dengan
rumus Thornthwaite. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola indeks
kekeringan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor curah hujan, tipe iklim, dan
kemampuan tanah memegang air (soil water holding capacity), dan pengaruh
tataguna lahannya. Hutan terbukti dapat menjaga ketersediaan air atau
timbulnya kekeringan akan mundur dari waktu menurunnya curah hujan.
Perkembangan spasial tingkat kekeringan terutama dimulai dari bagian hilir
dan meluas ke bagian tengah dengan defisit air mencapai 5-70 mm per bulan.
Upaya mitigasi yang dapat dilakukan meliputi mempertahankan fungsi hutan,
pembuatan sumur resapan air hujan, dan kemungkinan pembuatan waduk-
waduk kecil pada lokasi yang tidak rawan longsor.
-----------------------------
1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007.
2 Fakultas Geografi UGM Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM e-mai :
tsudib@yahoo.com
| 110 |
Analisis Tingkat Kekeringan….(Sudibyakto)
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo seluas 1800 km2 dapat
dibedakan menjadi dua wilayah, yaitu wilayah DAS Progo Hulu
(termasuk wilayah administrasi Jawa Tengah) dan wilayah DAS Progo
Hilir (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Aliran sungai Progo
berasal dari beberapa Sub DAS antara lain Sub DAS Progo Hulu, Sub
DAS Tangsi, Sub DAS Elo, Sub DAS Blongkeng, dan Sub DAS
Progo Hilir.
Dulbahri (1992) mengklasifikasikan iklim di DAS Progo menajdi
tiga mintakat, yaitu tipe iklim tropika basah (Am), iklim tropika basah-
kering (Aw), dan iklim sedang yang lembab (Cw). Iklim Cw hanya
terdapat pada bagian atas pegunungan dengan elevasi di atas 1350 m
di atas permukaan air laut. Daerah di bawah elevasi 1350 m
umumnya bertipe iklim Am dan Aw.
Bahan induk jenis tanah di daerah penelitian sebagian besar dari
bahan vulkanis. Tim Survei Fakultas Geografi UGM (1992)
mendapatkan jenis tanahnya adalah Aluvial, Latosol, Andosol,
Grumusol, Regosol, dan Litisol. Tipe penggunaan lahan umumnya
meliputi pertanian lahan kering (tegalan), perkebunan, hutan, Latosol,
Andosol, Grumusol, Regosol, dan Litisol. Tipe penggunaan lahan
umumnya meliputi pertanian lahan kering (tegalan), perkebunan,
hutan, permukiman, sawah, dan sebagian kecil berupa tanah kosong
(semak). Perbedaan antara jenis tanah dan jenis lahan penggunaan
akan mempengaruhi perbedaan kapasitas tanah menahan air.
Atas dasar keragaman kondisi biofisik daerah penelitian tersebut,
maka timbul pertanyaan bagaimanakah sebaran ruang dan waktu
indeks kekurangan air dalam tanah (soil moisture deficit). Bagaimana pula
pengaruh dari kondisi DAS terhadap timbulnya indeks kekeringan
baik secara meteorologist dan hidrologis.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mempelajari karakteristik
hujan dan pengaruhnya terhadap sebaran indeks kekeringan, dan (2)
mengetahui pengaruh kondisi biofisik DAS (hutan) terhadap
timbulnya kekeringan baik secara meteorologis maupun hidrologis.
Kegunaan penelitian antara lain dapat menunjukkan
perkembangan nilai (indeks) kekeringan baik secara spasial maupun
temporal dan dapat dipilih upaya-upaya mitigasinya.
| 111 |
PROSIDING Worksho, 2009: 110-115
DAFTAR PUSTAKA
| 115 |
12. SUMBANGAN HUTAN TERHADAP HASIL AIR1
Oleh:
Sigit Hardwinarto2
ABSTRAK
Vegetasi hutan telah dikenal salah satunya dapat menyumbang hasil air.
Namun keberadaan hutan dewasa ini semakin terancam potensi dan fungsinya,
antara lain oleh laju pertambahan penduduk dan dinamika pembangunan.
Kondisi ini tentu dapat mempengaruhi hasil air dari kawasan hutan. Bahkan
penelitian/kajian yang terkait dengan sumbangan hutan terhadap hasil air
masih terbatas dan relatif sedikit bila dibandingkan dengan keragaman jenis
vegetasi dan luasan hutan di Indonesia. Dalam makalah ini hanya bisa
menyajikan beberapa data yang terbatas pada beberapa daerah, terutama data
dari daerah propinsi Kalimantan Timur. Secara umum sumbangan hasil air dari
beberapa kawasan hutan relatif berbeda, karena dibatasi oleh faktor geografis,
biogeofisik dan iklim yang relatif beragam. Namun demikian, sebagai contoh
sumbangan aliran permukaan dari beberapa jenis vegetasi/hutan seperti yang
terjadi di wilayah Kalimantan Timur menunjukkan bahwa yang memiliki nilai
persentase aliran permukaan terhadap curah hujan dari yang kecil sampai besar
secara berurutan yaitu jenis penutupan vegetasi (cover crops), semak belukar,
alang-alang, hutan tanaman berumur muda, ladang pertanian semusim, dan
hutan alam. Sedangkan sumbangan hasil air dari DAS berhutan yang memiliki
fluktuasi aliran air dari yang rendah sampai tinggi secara berurutan yaitu
kawasan peruntukan Hutan Lindung, Pengusahaan Hutan Alam Produksi
(HPH), Pemasok Air Waduk, Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI),
serta Kombinasi Peruntukan seperti HPH, HTI, Taman Nasional,
Perkebunan, Pertambangan dan lain-lain. Selain itu, ada kemungkinan
kecenderungan menurunnya nilai persentase luasan hutan terhadap luasan DAS
dapat mempengaruhi penurunan kualitas air.
| 116 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
I. PENDAHULUAN
Vegetasi hutan telah dikenal salah satunya dapat menyumbang
hasil air. Namun demikian, seiring dengan percepatan pertambahan
penduduk dan dinamika pembangunan, keberadaan hutan semakin
terancam potensi dan fungsinya, antara lain diakibatkan oleh ancaman
konversi kawasan hutan untuk penggunaan lahan lainnya, kegiatan
pembalakan hutan (logging) yang berlebihan, perambahan kawasan
hutan dan pencurian kayu secara illegal (illegal logging) yang semakin
marak dewasa ini serta kebakaran hutan yang terjadi secara periodik.
Degradasi hutan juga dianggap sebagai kontributor terjadinya bencana
banjir.
Sebenarnya sampai seberapa besar sumbangan/kontribusi hutan
terhadap hasil air perlu dikaji secara seksama. Namun demikian,
sampai saat ini penelitian/kajian yang berkaitan dengan sumbangan
hutan terhadap hasil air masih terbatas atau relatif sedikit di negara
kita. Padahal tipe dan jenis vegetasi hutan di Indonesia relatif beragam
dan relatif luas kawasannya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan
ketersediaan dan akurasi data yang terkait dirasa masih terbatas.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam makalah ini hanya akan
disajikan beberapa data yang terbatas pada beberapa daerah, bahkan
sebagai pembanding juga merujuk hasil penelitian dari negara lain.
Secara umum, sumbangan hasil air dari beberapa kawasan hutan
relatif berbeda, karena dibatasi oleh faktor geografis, biogeofisik
dan iklim yang relatif beragam. Oleh karena itu untuk memberikan
gambaran atau pembanding mengenai sumbangan hutan terhadap
hasil air dalam makalah ini diambilkan contoh terutama dari kondisi
hutan dan penggunaan lahan lainnya yang terkait di wilayah propinsi
Kalimantan Timur. Selain itu, parameter hasil air yang dikemukakan
terbatas pada aliran permukaan (surface runoff) dan aliran air (streamflow),
serta kualitas air.
Tujuan makalah ini adalah untuk menyumbangkan bahan
pemikiran mengenai sumbangan hutan terhadap hasil air, baik berupa
nilai aliran permukaan (surface runoff), aliran air (streamflow) dan kualitas
air, model pengelolaan hutan sebagai penghasil air dan kebutuhan
riset peran hutan dalam pasokan air, terutama yang terdapat di
wilayah hutan lembab tropis.
| 117 |
PROSIDING Workshop, 2009: 116-135
| 118 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
pertumbuhan kembali, pada tahun 1963 hutan ditebang lagi dan aliran
air naik lagi dengan tajam (Soemarwoto, 1991).
Gambaran sebagian besar total aliran air yang dihasilkan oleh
aliran air cepat dapat dilihat pada Gambar 2.
35
Lahan Pertanian
30
Lahan Hutan
Distribusi Aliran Air (%)
25
20
15
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Interval Waktu (m enit)
Gambar 2. Distribusi Aliran Air Setelah Turun Curah Hujan Lebat pada Suatu DAS
yang Tertutup oleh Hutan dan Setelah Dikonversi Menjadi Lahan
Pertanian (Stadtmüller, 1989)
Gambar 2 memperlihatkan bahwa aliran air puncak pada lahan
pertanian relatif tinggi yang terjadi segera setelah mulai turun hujan
lebat, sementara itu aliran air yang terjadi pada lahan hutan relatif
masih rendah dan naik lebih lambat bila dibandingkan dengan lahan
pertanian. Aliran air yang dihasilkan oleh curah hujan lebat pada lahan
hutan di suatu DAS, diantaranya dipengaruhi oleh jenis tanah dari
lahan berhutan terhadap hasil proses laju infiltrasi, kapasitas
retensi/penyimpanan air dan perkolasi yang mengisi cadangan air
tanah secara kontinyu. Dengan demikian aliran air dari DAS berhutan
berkecenderung dapat menghasilkan puncak limpasan air yang relatif
rendah dan variasi limpasan air yang relatif kurang berfluktuatif, serta
dapat meningkatkan mutu dari kualitas air (Stadtmüller, 1989).
Gambaran pengaruh beberapa jenis hutan terhadap aliran air dari
berbagai banyak percobaan dengan berbagai jenis vegetasi di daerah
iklim sedang disajikan pada Gambar 3.
| 119 |
PROSIDING Workshop, 2009: 116-135
(mm)
Gambar 3. Pengaruh Beberapa Jenis Hutan terhadap Aliran Air (Soemarwoto, 1991)
| 120 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
1). Pada hutan alam lembab tropis yang baru dilakukan
penebangan dengan sistem TPTI nilai persentase aliran
permukaan meningkat dari 11,1% menjadi 27,5%;
2). Pada HTI umur 6 bulan dan 1 tahun (jenis Gmelina arborea
Roxb., Eucalyptus deglupta Blume dan Acacia mangium Willd.)
diperoleh nilai persentase aliran permukaan sekitar 1,3%;
3). Pada penanaman campuran umur 6 bulan pada lahan pasca
kebakaran hutan diperoleh nilai persentase aliran permukaan
yang relatif mendekati nilai persentase aliran permukaan pada
ladang tanaman semusim (4%);
4). Pada areal revegetasi pasca tambang batu bara dengan tanaman
Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Fosberg) diperoleh nilai
aliran permukaan yang semakin mengecil dari tanaman yang
berumur 2 tahun sampai berumur 6 tahun;
5). Pada jenis Cover Crops umur 4 bulan seperti Pueraria javanica,
Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides diperoleh nilai
persentase aliran permukaan yang relatif kecil berkisar antara
0,5 – 0,7%, juga pada penutupan lahan oleh semak belukar
sekitar 0,5% dan penutupan lahan oleh alang-alang sekitar
1,6%.
6). Pada areal revegetasi pasca tambang batu bara dengan tanaman
Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Fosberg) diperoleh nilai
aliran permukaan yang semakin mengecil dari tanaman yang
berumur 2 tahun sampai berumur 6 tahun;
7). Pada jenis Cover Crops umur 4 bulan seperti Pueraria javanica,
Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides diperoleh nilai
persentase aliran permukaan yang relatif kecil berkisar antara
0,5 – 0,7%, juga pada penutupan lahan oleh semak belukar
sekitar 0,5% dan penutupan lahan oleh alang-alang sekitar
1,6%.
8). Pada areal revegetasi pasca tambang batu bara dengan tanaman
Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Fosberg) diperoleh nilai
aliran permukaan yang semakin mengecil dari tanaman yang
berumur 2 tahun sampai berumur 6 tahun;
9). Pada jenis Cover Crops umur 4 bulan seperti Pueraria javanica,
Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides diperoleh nilai
| 122 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
persentase aliran permukaan yang relatif kecil berkisar antara
0,5 – 0,7%, juga pada penutupan lahan oleh semak belukar
sekitar 0,5% dan penutupan lahan oleh alang-alang sekitar
1,6%.
Penelitian lain yang berkaitan dengan aliran permukaan juga
dilakukan oleh Soelistyari dan Utomo (2002) dalam Priyono (2002)
tentang pengaruh pemeliharaan pada hutan tanaman pinus terhadap
evapotranspirasi dan aliran permukaan, menunjukkan bahwa nilai
persentase aliran permukaan pada hutan pinus sekitar 3,18%. Selain
itu, penelitian tentang efek faktor pengelolaan tanaman terhadap
aliran permukaan yang dilakukan pada hutan rakyat kopi dan sengon
dari keempat Sub DAS di Wonosobo, Jawa Tengah (Supangat, et al.,
2001) menunjukkan bahwa nilai persentase aliran permukaan dari
yang kecil sampai besar pada keempat Sub DAS secara berurutan
yaitu Sub DAS dengan kombinasi tanaman sengon tua + kopi muda
(peremajaan), teras bangku dan tanpa tanaman semusim (0,8%), Sub
DAS dengan kombinasi tanaman Sengon tua + kopi tua, teras
bangku, dan tanaman semusim (26,0%), Sub DAS dengan kombinasi
tanaman sengon muda + kopi muda, teras gulud dan tanpa tanaman
semusim (36,9%), serta Sub DAS dengan kombinasi tanaman
semusim dan teras bangku (tanpa penguat teras) dengan jenis
tanaman jagung dan ketela pohon (71,2%). Penelitian di Southwest
Amerika pada hutan pinus ponderosa diperoleh hasil air rataan
tahunan sebesar 15 – 18% dari curah hujan tahunan (Schumann,
2005).
IV. KAWASAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
BERHUTAN DAN HASIL AIR
A. Kuantitas Hasil Air
Kawasan hutan juga dapat mempengaruhi dan menyumbang
kuantitas hasil air seperti debit aliran air sungai yang terjadi pada suatu
DAS, sedangkan untuk mengetahui nilai fluktuasi debit aliran air
sungai dapat didekati dengan Indeks Resim Air (IRA) yang
merupakan nilai atau nisbah perbandingan antara debit limpasan air
sungai maksimum (Qmaks) dengan debit limpasan air minimum
(Qmin) pada suatu DAS selama periode tertentu.
Kategori IRA pada suatu DAS diantaranya dapat ditunjukkan
oleh klasifikasi nilai standar skala dan nilai rentangan dari IRA
(Anonim, 1988) seperti tersaji pada Tabel 2.
| 123 |
PROSIDING Workshop, 2009: 116-135
Tabel 2. Klasifikasi Nilai Standar Skala dan Nilai Rentangan dari Indeks Resim Air
Parameter Nilai dan Rentangan
Sangat Baik Sdang Jelek Sangat
Baik Jelek
Indeks Resim 1,00<1,25 1,25<1,66 1,66<2,50 2,50 < 5 5
Air
(Qmaks/Qmin)
Sumber: Anonim, 1988
Sebagai gambaran nilai fluktuasi debit aliran air sungai yang
dihasilkan oleh beberapa DAS berhutan di hutan lembab tropis
seperti yang terdapat di wilayah Kalimantan Timur sesuai dengan
jenis peruntukannya terhadap nilai IRA disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 memperlihatkan bahwa nilai IRA pada beberapa DAS
berhutan dari yang rendah sampai tinggi secara berurutan ditunjukkan
oleh jenis peruntukan hutan lindung (DAS Wain) dengan IRA = 2,4,
jenis peruntukan pengusahaan hutan alam produksi (HPH) pada DAS
Kahala (IRA = 5,6) dan DAS Enggelam (IRA = 5,9), jenis peruntukan
pemasok air waduk pada DAS Manggar IRA = 6,9 dan DAS
Karangmumus dengan IRA = 7,4, jenis peruntukan pengusahaan
hutan tanaman industri (HTI) pada DAS Tinjew dengan IRA = 13,1,
dan beberapa kombinasi jenis peruntukan seperti HPH, HTI, taman
nasional, perkebunan, pertambangan dan lain-lain pada DAS Sengata
dengan IRA = 23,3.
Penelitian untuk mendapatkan perbandingan besarnya debit
maksimum dan debit minimum selama 34 bulan antara tahun 1995
s/d 1998 dalam setiap tahun dari DAS yang berhutan Pinus (Sub
DAS Cibangban) dan DAS yang tidak berhutan Pinus (Sub DAS
Cikawung) juga dilakukan oleh IPB di KPH Tasikmalaya, Jawa Barat
(Mulyana,2002 dalam Priyono, 2002). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tingkat fluktuasi debit antara Sub DAS berhutan
dan tidak berhutan sangat tinggi sekali perbedaannya, yaitu nilai
Qmaks/Qmin pada DAS yang berhutan Pinus (Sub DAS Cibangban)
dari tahun 1995 s/d 1998 secara berurutan yaitu 6,7; 4,1; 9,8 dan 3,9,
sedangkan pada DAS yang tidak berhutan pinus (Sub DAS
Cikawung) yaitu secara berurutan yaitu 12,9; 5,9; 69,4 dan 3,2. Oleh
karena itu apabila didasarkan perbedaan nilai Qmaks/Qmin pada
kedua DAS tersebut dapat menunjukkan bahwa tingkat fluktuasi
debit pada DAS yang berhutan Pinus relatif lebih kecil bila
dibandingkan dengan DAS yang tidak berhutan Pinus.
| 124 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
Apabila didasarkan pada klasifikasi nilai standar skala dan nilai
rentangan dari IRA (Tabel 3), maka jenis peruntukan hutan lindung
(DAS Wain) termasuk kategori sedang (nilai IRA antara 1,66 – < 2,50,
sedangkan jenis-jenis peruntukan kawasan lainnya termasuk kategori
sangat jelek (nilai IRA 5). Perbedaan nilai IRA ini sacara umum
diantaranya dapat dipengaruhi oleh intensitas curah hujan yang turun
dan pelaksanaan kegiatan dari berbagai jenis peruntukan kawasan yang
secara simultan dapat berdampak terhadap pengurangan tutupan
kawasan hutan, perluasan kawasan semak dan belukar serta lahan
terbuka yang terjadi pada suatu DAS, selain itu juga ditopang oleh
kondisi geofisik pada masing-masing DAS tersebut yang secara rinci
seperti disajikan pada Tabel 4.
Tabel 3. Nilai IRA pada Beberapa Jenis Peruntukan Kawasan DAS Berhutan di
Wilayah Kalimantan Timur
| 125 |
PROSIDING Workshop, 2009: 116-135
Tabel 4. Kondisi Geofisik dan Curah Hujan Tahunan pada DAS – DAS Tersebut
Luas Tinggi Kelereng Pola Curah
No Nama (m) Jenis Jaringan Hujan
DAS (ha) d.p.l. (%) Tanah Sungai Tahunan
Rataan
(mm)
1. DAS 82.156 20 -300 < 8 – 45 Dominasi Dendritik 2.716
Kahala Dominasi Ultisol
(8 – 15) (Podsolik
Merah
Kuning)
Gleisol
Aluvial
2. DAS 47.132 20 - 300 < 8 – 45 Dominasi Dendritik 2.716
Enggela Dominasi Ultisol
m (16 – 25) Gleisol
Aluvial
3. DAS 17.067 25-150 0 – 15 Dominasi Dendritik 2.500
Tinjew Ultisol
Kambisol
Aluvial
4. DAS 5.714 10 – 80 < 8 – 45 Dominasi Dendritik 2.719
Wain Dominasi Ultisol
(<8 - 15) Inceptisol
5. DAS 4.574 10 – 70 < 8 – 45 Dominasi Dendritik 2.583
Manggar Dominasi Ultisol
(8 – 15) Entisol
Oxisol
6. DAS 19.041 50 -150 < 8 – 45 Dominasi Dendritik 2.023
Karangmu Dominasi Ultisol
mus (15 – 25)
7. DAS 211.210 10 - 120 < 8 – 45 Dominasi Dendritik 2.196
Sengata Dominasi Latosol
(25 – 45) Regosol
Litosol
Ultisol
| 126 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
A. Kualitas Hasil Air
Kawasan hutan juga dapat mempengaruhi kualitas hasil air
yang mengalir pada saluran sungai yang terjadi di suatu DAS. Hasil
penelitian kualitas air dari beberapa DAS berhutan yang terdapat di
wilayah Kalimantan Timur dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). DAS Kahala dan DAS Enggelam yang memiliki persentase
luasan hutan secara berurutan yaitu 81,8% dan 80,6%,
diperoleh hasil dari beberapa parameter sifat fisik maupun
kimia untuk kategori kualitas air golongan B secara keseluruhan
memberikan hasil cukup baik dan mengindikasikan berada
dalam batas yang diizinkan/batas toleransi yang diharapkan;
2). DAS Sengata yang memiliki persentase luasan hutan sekitar
55,9%, diperoleh hasil dari beberapa parameter sifat fisik untuk
kategori kualitas air golongan B secara umum memberikan hasil
cukup baik, kecuali parameter TSS dan TDS di muara sungai
Sengata yang memperlihatkan kondisi di atas normal (1.500
mg/l), sedangkan di bagian hulu sungai tersebut masih berada
pada batas yang diharapkan. Hal ini bisa disebabkan oleh
sedimentasi maupun logsoran, sehingga partikel-partikel tanah
sebagian terbawa arus air sungai. Selain itu, padatan tersuspensi
(TSS) masih berada dalam batas yang diizinkan. Sementara itu,
hasil pengukuran parameter-parameter sifat kimia selain DO
secara keseluruhan mengindikasikan berada dalam batas yang
diizinkan/batas toleransi yang diharapkan;
3). DAS Karangmumus yang memiliki persentase luasan hutan
sekitar 1,0% yang kawasan hilirnya merupakan kawasan
pemukiman, secara umum air sungainya hanya memenuhi
syarat untuk perikanan dan peternakan, serta untuk pertanian
dan industri, tetapi tidak memenuhi syarat untuk keperluan
domestik dan bahan baku air minum. Demikian juga parameter
coliforms, ammonia, DO dan kekeruhan tidak memenuhi batas
ambang yang diperbolehkan.
Didasarkan dari contoh ketiga DAS tersebut di atas, dapat
menggambarkan bahwa ada kemungkinan kecenderungan dengan
penurunan persentase luasan hutan pada suatu DAS, akan dapat
mengindikasikan penurunan kualitas air.
| 127 |
PROSIDING Workshop, 2009: 116-135
| 128 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
DAS Berhutan
Identifikasi Kondisi:
Manajemen Pengusahaan/Pemanfaatan Hutan
Luasan (Hutan Alam, Hutan Tanaman, Penggunaan Lain)
Geofisik (Topografi, Geologi, Jenis Tanah)
Iklim (Curah Hujan, Suhu, Kelembaban)
Hidrologi (Pola Jaringan Sungai)
Analisis Parameter-parameter:
Sistem Pengelolaan Hutan
Penutupan Vegetasi & Penggunaan Lahan
Karakteristik Tanah/Sistem Lahan
Karakteristik Curah Hujan
Evapotranspirasi dan Infiltrasi/Simpanan Air
Alternatif Tindakan: Tanah
Revisi/Redesain Aliran Air (Streamflow)/Debit Aliran Air
Kawasan
Tindakan Rehabilitasi
Tindakan Konservasi Evaluasi Hasil Air
Perlindungan/ Didasarkan pada Kombinasi Hasil
Pengamanan Analisis Parameter-parameter
Tindakan Lainnya
Terjamin Kesinambungan
Pengelolaan Hutan sebagai Penghasil Air
| 129 |
PROSIDING Workshop, 2009: 116-135
hutan alam, sedangkan pada hutan lindung dan hutan produksi bisa
berupa hutan alam atau hutan tanaman atau kombinasi di antara
hutan alam, hutan tanaman dan penggunaan lainnya.
Sehubungan dengan masing-masing fungsi/peruntukan hutan ini
memilki perbedaan yang mendasar, juga penyusun hutannya berbeda
(hutan alam, hutan tanaman dan penggunaan lainnya), sehingga
model pengelolaannya juga berbeda. Perbedaan fungsi ini akan
mempengaruhi sistem/metode pengelolaannya, yang selanjutnya juga
dapat mempengaruhi perbedaan hasil air. Oleh karena itu, untuk
memudahkan identifikasi, analisis dan evaluasi dalam model
pengelolaan hutan sebagai penghasil air ini, lingkup kawasan kajian
perlu dipisahkan antara kawasan hutan alam, hutan tanaman dan
penggunaan lainnya.
3. Identifikasi Kondisi Kawasan Hutan
Identifikasi kondisi kawasan hutan diantaranya dapat dirinci
sebagai berikut:
Kondisi manajemen pengusahaan/pemanfaatan hutan, identifikasi
kondisi ini antara lain dapat berupa sistem manajemen yang
diterapkan dalam pengusahaan/ pemanfaatan hutan, baik pada
hutan produksi, hutan lindung maupun hutan konservasi, selain
itu juga kondisi kelembagaan dan sosial ekonomi masyarakat,
serta kebijakan dan peraturan perundangan yang terkait;
Kondisi luasan hutan alam, hutan tanaman dan penggunaan lainnya,
identifikasi kondisi ini dimaksudkan untuk menopang analisis
hasil air dari masing-masing luasan hutan tersebut, sehingga dapat
diketahui kontribusi air yang dihasilkan oleh masing-masing
luasan hutan tersebut terhadap luasan DAS;
Kondisi Geofisik (Topografi, Geologi, Jenis Tanah), identifikasi kondisi
ini pada kawasan hutan dapat diperoleh dari peta dasar dan peta
tematik diantaranya Peta Rupa Bumi, Peta Topografi (Kontur),
Peta Geologi dan Jenis Tanah, Peta Sistem Lahan (Reppprot),
Potret Udara dan Citra Landsat/GIS, yang diperlukan untuk
menunjang analisis geofisik kawasan yang berkaitan dengan hasil
air;
Iklim (Curah Hujan, Suhu, Kelembaban), identifikasi kondisi ini
dapat diperoleh dari Peta Curah Hujan/Data Sekunder Curah
Hujan dan anasir iklim lainnya dari Stasiun BMG terdekat, yang
diperlukan untuk menunjang analisis hubungan antara curah
hujan dengan hasil air yang terjadi di kawasan hutan;
| 130 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
Kondisi Hidrologi (Pola Jaringan Sungai), identifikasi kondisi ini dapat
dilakukan dari Peta Hidrologi/Peta Jaringan Sungai (Pola
Drainase) pada kawasan hutan/DAS berhutan, yang diperlukan
untuk menunjang analisis aliran air yang mengalir sampai ke
saluran sungai setempat.
4. Analisis Parameter-parameter yang Terkait dengan
Pengelolaan Hutan dan Hasil Air
Analisis parameter-parameter yang terkait dengan
pengelolaan hutan dan hasil air diantaranya dapat dirinci sebagai
berikut:
Sistem Pengelolaan Hutan, sistem pengelolaan hutan ini dapat
mempengaruhi hasil air, seperti pada hutan alam yang
diperuntukan sebagai hutan produksi misalnya memiliki sistem
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), sedangkan pada hutan
tanaman misalnya pada Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan
Tanaman Rakyat, serta pada kawasan hutan lindung maupun
hutan konservasi memilki sistem pengelolaan tersendiri. Oleh
karena itu, keragaman dari sistem pengelolaan ini juga dapat
mempengaruhi perbedaan hasil air. Sehingga, yang perlu dianalisis
antara lain pengaruh dari penerapan sistem-sistem tersebut pada
suatu kawasan hutan terhadap hasil air;
Penutupan Vegetasi dan Penggunaan Lahan, jenis-jenis penutupan
vegetasi seperti hutan dan tumbuhan bawah, semak belukar dan
alang-alang, juga penggunaan lahan lainnya seperti untuk jalan,
pemukiman, perkantoran dan pabrik yang sering dijumpai di
suatu kawasan pengelolaan hutan, perlu dianalisis
sumbangan/kontribusi masing-masing terhadap hasil air.
Sehingga, dapat diketahui lebih akurat mengenai kontribusi peran
hutan terhadap hasil air;
Karakteristik Tanah/Sistem Lahan, karakteristik tanah/sistem lahan
terutama yang terkait dengan mekanisme aliran air di suatu
kawasan hutan perlu dianalisis, karena perbedaan hasil air pada
beberapa kawasan yang memiliki hutan yang sama antara lain juga
dipengaruhi oleh karakateristik tapak (site) tempat tumbuh hutan
tersebut. Selain itu, khususnya pada hutan tanaman dalam
pemilihan jenisnya harus benar-benar memperhatikan kesesuaian
tapak terhadap jenis tanaman (site species matching) dan tujuan
melaksanakan kegiatan penanaman;
Karakteristik Curah Hujan, curah hujan ini memiliki keterkaitan
yang sangat erat dengan hasil air dari suatu kawasan hutan, karena
| 131 |
PROSIDING Workshop, 2009: 116-135
| 132 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
air kurang/tidak sesuai dengan kriteria tersebut di atas, maka perlu
dicarikan solusi/alternatif tindakannya, misalnya berupa revisi/
redesain kawasan hutan, tindakan rehabilitasi, tindakan konservasi,
perlindungan/ pengamanan dan tindakan lainnya. Selanjutnya, setelah
dilakukan beberapa tindakan tersebut, perlu dilakukan analisis ulang
terhadap parameter-parameter yang terkait dengan pengelolaan hutan
dan hasil air, sehingga apabila sesuai dengan kriteria keberhasilan
pengelolaan hutan, maka diharapkan dapat terjamin kesinambungan
pengelolaan hutan sebagai penghasil air.
VI. KEBUTUHAN RISET PERAN HUTAN DALAM
PASOKAN AIR
Sehubungan dengan penelitian khususnya yang berkaitan dengan
peran hutan terhadap pasokan air masih relatif sedikit di negara kita,
sehingga ke depan sangat perlu melakukan penelitian dan
pengembangan penelitian bidang tersebut. Hal ini karena hasil
penelitian ini sangat menunjang dalam penanganan pasokan air, dan
penanganan banjir yang akhir-akhir ini menjadi masalah dan melanda
di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa kebutuhan riset yang
terkait dengan peran hutan dalam pasokan air antara lain dapat dirinci
sebagai berikut:
Penilaian pengelolaan hutan lestari dengan pertimbangan kriteria
hasil air;
Penilaian penerapan sistem/metode pengelolaan hutan seperti
TPTI, HTI, Hutan Tanaman Rakyat, Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(RHL), hutan lindung dan hutan konservasi terhadap hasil air;
Pengaruh perubahan jenis vegetasi hutan terhadap hasil air;
Penilaian evapotranspirasi, infiltrasi/simpanan air tanah, aliran
permukaan dan hasil air pada berbagai jenis vegetasi hutan;
Pengaruh konversi hutan/perubahan penutupan lahan terhadap
hasil air;
Kontribusi berbagai jenis penutupan lahan/penggunaan lahan
terhadap hasil air pada suatu unit DAS;
Pengaruh karakteristik kondisi DAS dan manipulasi DAS terhadap
hasil air;
Pengaruh berbagai kondisi hutan dan manipulasi vegetasi hutan
terhadap perubahan iklim (curah hujan);
Pengembangan pengelolaan hutan dan estimasi hasil air dengan
penggunaan kombinasi hidrologi, geomorfologi, remote sensing
dan SIG.
| 133 |
PROSIDING Workshop, 2009: 116-135
DAFTAR PUSTAKA
| 134 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
Guinea Verh. No. 42. Jawatan Meteorologi dan Geofisika,
Jakarta.
Soemarwoto, O., 1991. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan
Global. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Stadtmüller, T., 1989. Watershed Management in the Humid Tropics.
German Forestry Report, Samarinda.
Supangat, A.B., T. M. Basuki dan Sukresno, 2001. Efek Faktor
Pengelolaan Tanaman Terhadap Erosi dan Limpasan pada
Hutan Rakyat Kopi dan Sengon di Wonosobo, Jawa Tengah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
| 135 |
13. NILAI DAN DISTRIBUSI EKONOMI PENGELOLAAN
KAWASAN LINDUNG SEBAGAI PENGATUR TATA AIR:
Kasus di Sub DAS Brantas Hulu1
Oleh:
Kirsfianti L Ginoga2, Sylviani2 dan Nurfatriani2
ABSTRAK
Salah satu peran dan fungsi kawasan lindung seperti hutan lindung adalah
pengatur tata air atau menjaga kualitas dan kesinambungan ketersediaan air
sehingga ada tuntutan agar hutan perlu dikelola dengan baik. Sementara
permasalahan yang berkembang adalah banyaknya pemangku kepentingan yang
terlibat dalam pengelolaan hutan, termasuk tata air. Penelitian yang dilakukan
di Sub DAS Brantas Hulu ini menunjukkan bahwa menurunnya luas tutupan
hutan mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan dan menurunkan aliran
dasar (base flow). Hal ini berimplikasi terhadap kemampuan Sub DAS dalam
menyimpan dan menyerap serta mendistribusikan air hujan yang jatuh sehingga
menyebabkan terjadinya banjir di musim hujan dan kekeringan di musim
kemarau. Secara ekonomi, dengan metode biaya penuh, pengadaan air yang
komersil di Sub DAS Brantas adalah sebesar Rp316,2 milyar/tahun. Dari
total biaya tersebut diperoleh tarif normal untuk Biaya Jasa Pengelolaan Sumber
Daya Air bagi pemanfaatan PLTA, PDAM dan industri di DAS Brantas
seharusnya masing-masing sebesar Rp 116,7/kWh, Rp 217,79/m3 dan Rp
607,34/m3. Tarif yang berlaku saat ini adalah masing-masing adalah Rp
38,21/kWh, Rp 55/m3 dan Rp 110/m3. Sehingga selisih dari nilai tersebut
merupakan nilai lingkungan yang perlu dikembalikan ke kawasan hutan.
Sedangkan nilai non komersial manfaat air pertanian (didekati dari kesediaan
membayar petani) sebesar Rp 20,8 juta/petani/tahun atau nilai ekonomi total
sebesar Rp5,9 trilyun/tahun (untuk seluruh DAS). Nilai kesediaan membayar
atas manfaat air rumah tangga sebesar Rp 641.783/orang/tahun atau nilai
ekonomi total manfaat air untuk kebutuhan rumah tangga sebesar Rp14,4
milyar/tahun. Besarnya kompensasi yang selayaknya diterima oleh para
pengelola kawasan atas jasa air non komersil yang digunakan petani dan rumah
tangga sebesar Rp 4 067 525 / thn untuk para pengusaha pertanian di
Tahura Suryo , Rp 55 008,80 /tahun untuk rumah tangga di TNBTS dan
1 Makalah pada Workshop : Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung
DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
1 Peneliti pada Puslit Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan. Jl.
Gunung Batu No. 5 PO. BOX 272 Bogor 16610 Indonesia Telp. +62-0251- 8633944 ; Fax.
+62-0251-8634924 Email : publikasi_puslitsosek@yahoo.com
| 136 |
Nilai dan Distribusi Ekonomi….(Kirsfianti L Ginoga, Sylviani, Nurfatriani
sebesar Rp 679 510,40 /thn untuk rumah tangga di sekitar kawasan Perum
Perhutani Sedangkan besarnya biaya lingkungan / kompensasi atas
pemanfaatan air komersil yang seharusnya diterima oleh masing-masing pengelola
kawasan adalah Tahura Suryo sebesar Rp 8 691 085 /ha, TNBTS sebesar
Rp 2 052 400 / ha dan Perum Perhutani sebesar Rp 978 349./ha.
Kata Kunci : Nilai Ekonomi, Kawasan Lindung, Tata Air, Sub DAS
Brantas Hulu
I. PENDAHULUAN
100000.00
80000.00
60000.00
40000.00
20000.00
0.00
Kebun
Hutan Persawahan Lahan Terbuka Pemukiman Badan Air
Campuran/Semak
1997 42273.13 139145.38 2855.61 3806.61 3127.54 133.98
2001 39663.99 106700.13 18627.39 21233.25 5101.2 16.29
2003 36074.633 105625.777 31733.37 6709.523 11198.07 0.877
| 138 |
Nilai dan Distribusi Ekonomi….(Kirsfianti
L Ginoga, Sylviani, Nurfatriani
Berdasarkan model tersebut, diketahui bahwa semakin
menurunnya luas tutupan hutan mengakibatkan meningkatnya aliran
permukaan dan menurunkan aliran dasar (base flow) (Gambar 2).
Hal ini Hal ini merupakan implikasi dari berkurangnya kemampuan
hulu DAS Brantas, yang merupakan hutan dan kawasan lindung
dalam menyimpan, menyerap, meproduksi air dan mendistribusikan
air.
45000.00 3,000.00
40000.00
2,500.00
35000.00
30000.00 2,000.00
25000.00
1,500.00
20000.00
15000.00 1,000.00
10000.00
500.00
5000.00
0.00 -
1997 2001 2003
|139 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 136-143
Eksternalitas Lingkungan
Eksternalitas Ekonomi
Nilai
Biaya Guna
Biaya Oportunitas Penuh Lestari
Biaya
Ekonomi
Penuh
Biaya Modal
Biaya
Penyediaan
Penuh
Biaya OP
| 140 |
Nilai dan Distribusi Ekonomi….(Kirsfianti L Ginoga, Sylviani, Nurfatriani
Tabel 1. Nilai Ekonomi Air untuk Pertanian.
1
Proporsi PPA dihitung berdasarkan hasil analisis SWAT, dimana besar kontribusi suatu Sub Sub Sub DAS
dengan tutupan lahan tertentu terhadap produksi air yang masuk ke bendungan Sutami diduga. Secara
keseluruhan Sub Sub DAS Ambang memberikan kontribusi sekitar 51-54 % terhadap produksi air inlet
Sutami. Sub Sub DAS Lesti memberikan kontribusi sebesar 32-35 %, sedangkan Sub Sub DAS Metro
memberikan kontribusi sebesar 14 % (Ginoga et al., 2006)
|141 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 136-143
8%
18 %
Perh utani
74 % T NBT S
T ahura
V. REKOMENDASI KEBIJAKAN
Upaya rehabilitasi di lokasi prioritas yang telah diidentifikasi
perlu dilakukan secara terkoordinir, lintas sektoral, lintas administrasi
dan diarahkan ke pengelolaan ekosistem hulu DAS dengan
mempertimbangkan proporsionalitas penyebaran biaya dan manfaat.
| 142 |
Nilai dan Distribusi Ekonomi….(Kirsfianti
L Ginoga, Sylviani, Nurfatriani
Disarankan untuk mengalokasikan kembali nilai lingkungan yang
diperoleh dari penghitungan tarif normal untuk masing-masing
pemanfaatan sumberdaya air kepada pengelola kawasan hutan sebagai
bentuk cost benefit sharing di antara penyedia dan penerima manfaat
hidrologis hutan lindung.
Upaya konkret cost benefit sharing dapat berupa peningkatan tarif
pemanfaatan sumberdaya air sehingga mencerminkan internalisasi
eksternalitas dimana penerimaan dari peningkatan tarif tersebut
dikembalikan ke pengelolaan hutan dalam bentuk realokasi anggaran
pemerintah untuk merehabilitasi dan memelihara lingkungan.
Aternatif peningkatan efisiensi jika peningkatan tarif tidak mungkin
dilaksanakan adalah dengan membatasi penggunaan (kuota) di tingkat
konsumen akhir.
Pengelolaan DAS yang bersifat multi sektor dan multi disiplin
ilmu membutuhkan komitmen dan langkah aksi yang konkret dari
masing-masing pemangku kepentingan dengan membangun
kelembagaan yang dapat mengatur mekanisme cost benefit sharing ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen RRL, 199. Luas Lahan Kritis di Indonesia dalam Statistik
Dalam Angka. Ditjen RRL, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Ditjen Sumberdaya Air, 2004. Sebanyak 65 DAS dalam kondisi
semakin kritis. Harian Kompas tanggal 20 Agustus 2004, hal.
15, Jakarta.
Ginoga, K.L, . 2006. Kajian Optimal Luas, Jenis dan Proporsi
Vegetasi serta Posisi Hutan Lindung Terhadap Produksi Air
di Sub DAS Brantas Hulu. Laporan Hasil Penelitian Puslit
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Bogor. Tidak
Diterbitkan.
Nurfatriani F, 2006. Kajian Nilai Ekonomi Manfaat Hidrologis
Hutan Lindung. Laporan Hasil Penelitian Puslit Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Tidak Diterbitkan.
Rogers P, Bhatia R dan Hubert A. 1996. Water as a Social and
Economic Good : How to put the Principle into Practice.
Global Water Partnership-Technical Advisory Committe.
Unpublished.
Soenarno, 2000. Daerah banjir di Indonesia bertambah. Harian
Kompas tanggal 24 Oktober 2000, hal. 19, Jakarta.
|143 |
14. NERACA AIR DI DALAM HUTAN1
Oleh:
Irfan Budi Pramono2
ABSTRAK
Neraca air dalam hutan merupakan bagian dari siklus air secara keseluruhan.
Dari neraca air di dalam hutan dapat diketahui proses-proses hidrologi di dalam
hutan sehingga fungsi hutan sebagai tata air akan lebih mudah dipahami.
Tulisan ini menelaah hasil-hasil penelitian neraca air pada berbagai macam
kondisi hutan. Secara umum neraca air di dalam hutan digambarkan dari
perjalanan hujan sampai menjadi aliran sungai. Parameter yang diukur meliputi
intersepsi, curahan tajuk, aliran batang, aliran permukaan, aliran bawah
permukaan, aliran dasar, evapotranspirasi, dan aliran sungai. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa besarnya intersepsi sekitar 15 % dari total curah hujan,
sedangkan intersepsi, curahan tajuk dan aliran batang masing-masing 15 %, 79
% dan 1 %. Berdasarkan perhitungan maka besarnya evapotranspirasi sekitar
30 % dari total hujan. Dari hujan netto sebesar 80 % yang menjadi aliran
bawah permukaan sebesar 6 %, aliran dasar 59 % dan untuk transpirasi
sebesar 15 %. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa evapotranspirasi
dari Acacia mangium sebesar 1495 mm atau 45 % dari total curah hujan
tahunan, evapotranspirasi dari Agathis damara sebesar 1070 mm atau 22 %
dari hujan, dan Pinus merkusii sebesar 29 % sampai dengan 78 % dari curah
hujan tergantung lokasi dan metode yang digunakan. Evapotranspirasi
merupakan faktor utama dalam mengelola hutan untuk menghasilkan air.
Dalam rangka pelestarian sumber daya hutan dan air maka tingkat
evapotranspirasi dari jenis hutan serta tingkat infiltrasi di bawahnya harus
diperhitungkan dengan teliti. Sepanjang curah hujan jauh lebih besar dari
evapotranspirasi dan tingkat infiltrasi lebih besar dari tingkat evapotranspirasi
maka penamanan tanaman hutan di suatu wilayah dianggap aman dari masalah
kelangkaan air.
1
Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
2 Peneliti Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah, Balai Penelitian Kehutanan Solo,
Jalan A. Yani. Pabelan, P.O.Box 295 Surakarta, Tilp.0271 716709,
email:ibpramono@yahoo.com
| 144 |
Neraca Air....(Irfan BP)
I. PENDAHULUAN
| 145 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 144-154
Hujan
Evapotranspirasi
Evaporasi Surface
Tampungan Runoff
Transpirasi Intersepsi
Curahan tajuk
Aliran batang
Evaporasi
Tampungan
Transpirasi permukaan
tanah
Sub
Infiltrasi surface
Runoff
Evaporasi Tampungan
kelembaban
Transpirasi tanah
Percolasi Kapilaritas
Evaporasi
Tampungan
Transpirasi air dalam
tanah
Tampungan
di saluran,
danau, dan
Evaporasi rawa
Transpirasi
Aliran sungai
| 146|
Neraca Air....(Irfan BP)
Apabila dianggap tidak ada kebocoran (L) dan aliran sungai bawah
tanah (U) maka persamaan dapat disederhanakan menjadi:
Pq = Et + Q + ∆S
Secara umum perjalanan dari air hujan menjadi aliran sungai
beserta prosentasenya dapat dilihat pada Gambar 2. Untuk daerah
yang berhutan dengan hujan yang cukup tinggi (tropical rain forest)
aliran permukaan yang dihasilkan langsung dari hujan hanya sekitar
5% dari total hujan, intersepsi sekitar 15 %, sedangkan curahan tajuk
dan aliran batang masing-masing 79 % dan 1 %. Transpirasi sebesar
15 % sehingga evapotranspirasi menjadi 30 %. Aliran bawah
permukaan tanah (sub surface flow) hanya sekitar 6 % dari total hujan,
sedangkan yang mengisi air tanah sebesar 59 %. Dengan demikian air
yang dihasilkan dari hutan sekitar 70 % dari total hujan.
| 148|
Neraca Air....(Irfan BP)
Curah hujan
Tampungan Intersepsi
intersepsi (15%)
Hujan netto
(80 %)
Tampungan Transpirasi
kelembaban (15%)
tanah
Aliran bawah
permukaan
(6%) Cadangan
air tanah
Stormflow
(11%)
Aliran air
tanah (59%)
Aliran air
sungai (70%)
| 149 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 144-154
800
700
P, Q, Ea (mm)
600
500 P
400 Q
300 Ea
200
100
0
7 ar
.
ei
. l. . . 8
97 M M Ju ep op 97
.1 S N .1
a n n
J Ja
Waktu
| 150|
Neraca Air....(Irfan BP)
2000
1500
1000
500
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Hujan Evapotranspirasi
| 151 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 144-154
| 152|
Neraca Air....(Irfan BP)
IV. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
| 154|
15. PENGELOLAAN HUTAN PINUS
UNTUK KONSERVASI SUMBERDAYA AIR1
Oleh :
Sudarsono2 dan Purwanto3
ABSTRAK
I. PENDAHULUAN
1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS Surakarta, 22 Nopember 2007.
2 Kepala Puslitbang Perum Perhutani
3 Peneliti Lingkungan Hutan pada Puslitbang Perum Perhutani. Jl. Wonosari –
| 156 |
Pengelolaan Hutan Pinus....(Sudarsono dan Purwanto)
Pada saat ini hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani, baik
hutan produksi maupun hutan lindung sebagian diantaranya ditanami
jenis pinus (Pinus merkusii). Tanaman pinus merupakan tanaman
pioner pada program penghijauan dan reboisasi. Pinus mampu
tumbuh baik pada tanah yang relatif kurang baik (lahan kritis) untuk
tanaman lainnya, sehingga penggunaan pinus untuk konservasi tanah
merupakan alternatif yang sangat tepat. Disamping itu pinus
mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan mampu menyediakan
lapangan kerja (tumpangsari, penyadapan, penebangan) dalam waktu
relatif lama.
Namun demikian tanaman pinus memiliki keterbatasan, yaitu
adanya kekhawatiran sebagian masyarakat bahwa tanaman pinus
menyebabkan kehilangan air yang besar, sehingga kurang cocok untuk
tanaman pengatur tata air tanah. Kekhawatiran itu berdasarkan teori
dan kenyataan di lapangan bahwa sumber air yang dulu ada sekarang
menjadi kering setelah ada hutan pinus.
Penyebab kekhawatiran masyarakat akan kehilangan air adalah
evapotranspirasi dan penggunaan air untuk pertumbuhan vegetasi.
Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap besarnya
evapotranspirasi antara lain radiasi matahari, suhu, kelembaban udara,
kecepatan angin, jenis tanaman, dan ketersediaan air di dalam tanah
(kelengasan tanah).
II. TUJUAN
| 157 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 155-160
| 158 |
Pengelolaan Hutan Pinus....(Sudarsono dan Purwanto)
Dari hasil penelitian diperoleh data sebagai berikut
Tabel 1. Hasil Pengamatan Penelitian dengan Metode Petak Erosi
Limpasan permukaan Evapotranspirasi Keterangan
Kondisi
mm % CH mm
1. Kontrol 70,6 3,18 1.204
2. Pemangka- 102,7 4,62 975
san cabang
3. Rorak 60,9 2,74 1.316
| 159 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 155-160
UCAPAN TERIMAKASIH
DAFTAR PUSTAKA
| 160 |
16. PEMILIHAN JENIS POHON UNTUK MEMBANGUN
HUTAN DALAM DAERAH ALIRAN SUNGAI1
Oleh :
A. Syaffari Kosasih2, Rina Bogidarmanti2, Nina Mindawati2
ABSTRAK
I. PENDAHULUAN
Bencana banjir dan tanah longsor dewasa ini banyak sekali terjadi
bukan saja di pulau Jawa, tapi sudah banyak meluas ke beberapa pulau
besar seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Hal tersebut dipicu
oleh curah hujan yang tinggi serta maraknya penebangan hutan
secara liar hingga ke kawasan konservasi dimana seharusnya kawasan
tersebut dipertahankan vegetasinya sebagai hutan rimba oleh seluruh
________________________
1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
2 Peneliti pada Pusat Litbang Hutan Tanaman, Kampus Balitbang Kehutanan
| 161 |
Prosiding Workshop, 2009 : 161-175
| 162 |
Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)
| 163 |
Prosiding Workshop, 2009 : 161-175
| 164 |
Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)
tanah tersebut untuk menyerap dan menahan air. Oleh karena itu
dalam hal pemilihan jenis-jenis pohon/tanaman yang akan digunakan
untuk memulihkan kondisi tersebut, disarankan untuk menggunakan
jenis-jenis yang dalam pertumbuhannya tidak memerlukan air yang
terlalu banyak, evapotranspirasi rendah dan mempunyai sifat tahan
terhadap kekeringan (Cendrawasih, dkk, 2000). Secara lebih lengkap
lagi Arsyad (1989) menyebutkan bahwa jenis-jenis yang digunakan
sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut :
o Termasuk jenis yang cepat tumbuh.
o Harus mampu menghasilkan serasah yang banyak
o Bertajuk lebat
o Mampu hidup dengan baik di tempat tersebut.
o Sistem perakaram melebar, kuat, dalam dan berakar serabut
cukup banyak
o Mudah ditanam dan tidak memerlukan pemeliharaan
o Tahan terhadap hama dan penyakit
o Mampu memperbaiki tanah terutama untuk kandungan unsur
nitrogen
o Sedapat mungkin bernilai ekonomis dan dalam jangka pendek
dapat menghasilkan bahan makanan seperti buah-buahan,
makanan ternak dan lain-lain.
Menurut Ginting dkk (1995) persyaratan yang perlu dipenuhi
dalam pemilihan jenis-jenis pohon untuk tujuan reboisasi atau
pemulihan lahan terdegradasi antara lain :
o Mampu tumbuh di tempat terbuka dengan penyinaran penuh
(jenis pioner, intoleran, beriap besar).
o Dapat tumbuh dan bersaing dengan alang-alang serta cepat
menutup tanah.
o Mudah bertunas setelah terbakar atau dipangkas
o Dapat bersimbiose dengan jasad renik tanah
o Biji atau bagian vegetatif untuk pembiakan mudah
didapat/diperoleh
o Untuk tujuan penghijauan, jenis-jenis pohon yang dipilih harus
disenangi oleh masyarakat.
Adapun ciri-ciri jenis pioner untuk lahan kritis menurut
Hendromono 2004 (dari Steenis 1941 yang diterjemahkan
Hardjosoediro 1981 ) adalah:
o Tidak toleran terhadap naungan
o Mampu tumbuh pada iklim dan tanah yang beragam
o Perakarannya kuat dan mempunyai akar vena yang kuat
o Bijinya banyak dan dapat berbuah pada umur muda
| 165 |
Prosiding Workshop, 2009 : 161-175
| 166 |
Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)
| 167 |
Prosiding Workshop, 2009 : 161-175
| 168 |
Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)
| 169 |
Prosiding Workshop, 2009 : 161-175
DAFTAR PUSTAKA
| 170 |
Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)
| 171 |
Prosiding Workshop, 2009 : 161-175
LAMPIRAN
| 172 |
Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)
No Persyaratan tumbuh
Jenis Pohon Nama Ketinggian Curah Tempe- Jenis
Daerah (m. dpl) hujan ratur Tanah /
(mm/th) (0C) pH
16. Albizzia lebeck Tekik 0 - 300 2000 - 20-34 Tanah
4000 kering,
lembab
pH netral
17. Acacia Pilang 0 - 500 1500 - 12-34 Tanah
leucophlocea 3000 ultisol,
latosol
18. Vitex Asem 0 - 700 < 4000 na Berbagai
pubescens jenis
tanah,
kapur
19. Bauhinia Tajuman 0 - 400 na na
malabarica
20. Cassia fistula Trengguli 0 - 1000 650 - 1500 13-35 Tanah di
bawah
tegakan
jati
21. Dalbergia Sonoke- 0 - 600 C, D 24-33 Tanah
latifolia ling berbatu,
keras
pH asam-
netral
22. Dalbergia sisso Sonosisso 0 - 1500 500 - 18-33 Berbagai
4000 jenis tanah
pH asam-
netral
23. Pterocarpus Sono 0 - 800 A - D na Berbagai
indicus kembang jenis tanah
24. Swietenia Mahoni 0 - 1000 A - D na Bersolum
macrophylla daun lebar agak
dalam,
tekstur
sedang-
berat, pH
basa-netral
25. Gluta renghas Rengas 0 - 300 A, B, C 18-32 Tanah
pasir, liat
26. Schleichera Kesambi na na na
oleosa
na = data tidak tersedia
Tabel 2. Persyaratan Tumbuh beberapa Jenis Pohon Potensial Pengawetan Tanah dan Air
Persyaratan tumbuh
No Jenis Pohon Nama Ketinggian Curah Temperatur Jenis
Daerah (m. dpl) hujan (0C) Tanah /
(mm/th) pH
1. Eugenia aromatica Cengkeh na na na Tanah
vulkanik
| 173 |
Prosiding Workshop, 2009 : 161-175
Persyaratan tumbuh
No Jenis Pohon Nama Ketinggian Curah Temper Jenis
Daerah (m. dpl) hujan atur Tanah /
(mm/th) (0C) pH
2. Anacardium occidentale Jambu 0-600 80-1000 25-30 Berbagai
mete jenis
tanah,
tanah
kurus
3. Psidium guajava Jambu biji 0-1500 1000-2000 15-45 Berbagai
jenis tanah
| 174 |
Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)
Tabel 4. Persyaratan Tumbuh beberapa Jenis Pohon Potensial Penguat Teras, Tepi Sungai dan
Tebing
Persyaratan tumbuh
No Jenis Pohon Nama Ketinggian Curah Tempe- Jenis Tanah /
Daerah (m. dpl) hujan ratur pH
(mm/th) (0C)
1. Arenga pinnata Aren 500-1400 > 1200 na Tanah liat,
berlumpur,
berpasir , pH
asam
2. Giganthochloa Bambu 0-1200 2000-2500 20-30 Berbagai jenis
spp tanah, tidak
terlalu kering,
pH sedikit
asam
3. Calliandra Kaliandra 0-1800 2000-4000 25-30 Berbagai jenis
calothyrsus tanah
pH asam -
netral
4. Glyricidia sepium Gamal 0-2000 500-1800 na Berbatu,
berkapur
5. Salacca edulis Salak > 500 1700-3100 na Podzolik,
Regosol
6. Calamus sp Rotan 800 - 1300 3500 14-24 Berbagai jenis
tanah
na = data tidak tersedia
| 175 |
17. PENGELOLAAN HUTAN LESTARI SEBAGAI BASIS
PENINGKATAN DAYA DUKUNG
DAERAH ALIRAN SUNGAI1
Oleh :
Paimin2
ABSTRAK
1
Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007.
2
Peneliti Madya Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah, Balai Penelitian
Kehutanan Solo. Jl. A. Yani Po Box 295 Pabelan. Telp.+62.271.716709, Fax.
+62.271.716709, email : paimin_das@yahoo.com.
| 176 |
Pengelolaan Hutan Lestari....(Paimin)
hutan dalam satuan wilayah DAS merupakan sumber cadangan dan pasokan
air yang sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian, industri, dan konsumsi
rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan tidak
meningkatkan hasil air (pasokan) tetapi justru menurunkan hasil air karena
evapotranspirasi yang tinggi.Walaupun hasil air berkurang tetapi peran hutan
yang lebih besar perlu dipertimbangkan dalam membangun hutan seperti jenis
tanaman, kualitas air, pengendalian banjir, kemantapan pasokan air, nilai
ekonomi air, dan jasa lingkungan sebagai kompensasi pengurangan hasil air
tersebut. Hasil air (jumlah, mutu, dan kontinyuitas) dari kawasan hutan tidak
hanya tergantung vegetasi hutannya tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor alam
lainnya, seperti jenis batuan (geologi), tanah, lereng, dan iklim. DAS
merupakan integrator yang obyektif dan rasional dalam membangun jalinan
instititusional antar penyelenggara lahan, baik hutan dan non hutan, secara
terpadu interaktif-simbiotik.
I. PENDAHULUAN
Sumberdaya alam dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi
lingkungan hidup. Atas dua fungsi dasar tersebut, sumberdaya alam
senantiasa harus dikelola secara seimbang untuk menjamin
keberlanjutan pembangunan nasional. Demikian juga sumberdaya
hutan yang merupakan modal pembangunan nasional bagi kehidupan
dan penghidupan bangsa, pengelolaannya diselenggarakan berasaskan
manfaat dan lestari yakni setiap pelaksanaan penyelenggaraan
kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur
lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi (UU No. 41 Tahun
1999). Dalam mencapai manfaat secara seimbang tersebut maka
praktek pengelolaan hutan tidak hanya berorientasi pada hasil kayu
dan hasil hutan bukan kayu tetapi diubah menjadi pengelolaan yang
berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya hutan, termasuk
plasma nuftah dan jasa lingkungan, dan berbasis pada pemberdayaan
masyarakat. Unsur lingkungan hutan bersifat biotik (flora dan fauna)
maupun abiotik (tanah dan air).
Penyelenggaraan kehutanan yang memperhatikan unsur
lingkungan abiotik hutan diamanatkan dalam pasal 3 amar (c)
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yakni bahwa tujuan
penyelenggaraan kehutanan adalah untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan
| 177 |
PROSIDING Workshop, 2009 :176-185
meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS).
Melalui satuan wilayah DAS maka penyelenggaraan kehutanan dapat
dievalusi kelestarian sumberdaya lahan di dalam DAS dan kelestarian
sumberdaya air di dalam maupun yang keluar dari kawasan hutan
dalam DAS. Laju deforestasi semakin meningkat yakni 1,6 juta hektar
per tahun pada periode 1985-1997 menjadi 2,1 juta hektar per tahun
paada periode 1997-2001. Praktek penebangan liar dan konversi
lahan hutan menimbulkan dampak yang luas dimana salah satunya
adalah kerusakan ekosistem dalam tatanan DAS. Kondisi DAS kritis
meningkat dari 22 DAS pada tahun 1984 menjadi berturut-turut 39,
62, dan 282 pada tahun 1992, 1998, dan 2004 (Peraturan Presiden No
7 tahun 2005). Dengan demikian indikasi lemahnya daya dukung
DAS menunjukkan menurunnya penyelenggaraan pengelolaan hutan
secara lestari, tidak saja pada hutan produksi tetapi juga pada hutan
lindung dan hutan konservasi.
Kelestarian hutan terhadap peningkatan daya dukung DAS tidak
hanya bemanfaat bagi kawasan hutannya sendiri tetapi juga bagi
wilayah di luar kawasan hutan bagian hilir (off site) yakni berupa
pasokan air untuk kehidupan, seperti untuk irigasi pertanian, industri,
rumah tangga, sebagai pengendali banjir, dan sebagai pengurangan
sedimentasi waduk, sungai, saluran air, dan bangunan air yang vital
lainnya. Dari aspek jasa ternyata aliran air yang jernih dan mengalir
sepanjang tahun dalam lingkungan alam yang indah bisa menjadi
tempat wisata yang bisa memberikan keuntungan ekonomi, termasuk
bagi masyarakat sekitarnya.
Tulisan yang disampaikan ini bertujuan untuk memberikan
telaah tentang peran pengelolaan hutan dalam meningkatkan
kelestarian lingkungan abiotik (lahan dan air) hutan dalam satuan
wilayah DAS. Keberhasilan pengelolaan hutan juga dipengaruhi oleh
penyelenggara kehutanannya sendiri dalam memahami hutan sebagai
sumberdaya dan lingkungan secara menyeluruh.
| 178 |
Pengelolaan Hutan Lestari....(Paimin)
maka sebagian masyarakat memahami hutan hanya sebagai komunitas
pepohonan tanpa menelaah lebih dalam tentang pengertian tersebut.
Sumberdaya alam hayati memberikan pengertian bahwa hutan tidak
saja berisi pohon tetapi juga tanaman bawah lainnya yang sangat
beragam jenisnya (flora) serta hewan dari hewan liar yang besar
sampai jasad renik atau mikro-organisme. Persekutuan alam
lingkungan menunjukkan interaksi menyeluruh dari sumberdaya alam
hayati, non hayati (abiotik), dan iklim sehingga membentuk ekosistem
hutan yang khas.
Dengan kekhasan ekosistem hutan tersebut maka hutan
mempunyai tiga fungsi yakni fungsi konservasi, fungsi lindung, dan
fungsi produksi. Oleh karena itu hutan ditetapkan berdasarkan fungsi
pokok tersebut yakni hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan
produksi (UU No. 41 Tahun 1999). Berkenaan dengan ketetapan
hutan berdasarkan fungsi tersebut maka sistem pengelolaannyapun
berbeda sesuai dengan fungsinya. Untuk mengelola hutan produksi,
hutan alam dan hutan tanaman, pemerintah telah memberikan kriteria
yang harus dipenuhi oleh para penyelenggara hutan produksi
(mandatory) melalui Keputusan Menteri Kehutanan.
Sebagai pedoman penyelenggaraan pengelolaan hutan produksi
alam lestari, Menteri Kehutanan telah mengeluarkan Keputusan No.
252/Kpts-II/1993 jo SK MenHut No. 4795/Kpts-II/2002. Dalam
Keputusan tersebut dituangkan 4 (empat) kriteria, dengan disertai
indikator-indikatornya, yakni kriteri prasarat (enam indikator),
produksi (tujuh indikator), ekologi (enam indikator), dan sosial (lima
indikator). Disamping itu banyak institusi yang juga mengeluarkan
pedoman untuk sertfikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari
(PHAPL), bersifat pilihan (voluntary), seperti dari Lembaga Ekolabel
Indonesia (LEI, 2002), International Timber Trade Organization
(IITO, 2000), dan Center for International Forestry Research
(CIFOR, 1999). Semua pedoman pada prinsipnya menekankan tiga
aspek kelestarian utama dalam pengelolaan hutan alam produksi
lestari yakni aspek produksi (ekonomi), lingkungan, dan sosial budaya.
Unsur dukungan kelestarian DAS dicerminkan dari parameter
penyusun kelestarian lingkungan non hayati (abiotik) yakni kelestarian
tanah dan tata air.
Demikian juga untuk Pengelolaan Hutan Tanaman Produksi
Lestari (PHTPL), pemerintah memberikan pedoman pengelolaan,
| 179 |
PROSIDING Workshop, 2009 :176-185
bersifat mandatory, melalui Keputusan Menteri Kehutanan No
177/Kpts-II/2003. Seperti pada pengelolaan hutan alam produksi,
LEI dan CIFOR juga menerbitkan pedoman sertifikasi untuk
PHTPL. Kriteria dan indikator telah ditetapkan dalam setiap
pedoman, yang mencakup aspek produksi, lingkungan, dan sosial
budaya, untuk digunakan sebagai acuan penilaian (assesssment) tingkat
kelestarian dari pengelolaan hutan yang diselenggarakan.
Sementara itu untuk penyelenggaraan pengelolaan hutan
lindung dan konservasi, pedoman yang tersedia belum selengkap
seperti yang digunakan untuk penilaian kelestarian hutan produksi.
Padahal dari interaksi sistem sumberdaya alam yang berada di
dalamnya mestinya penilaian kawasan lindung tidak hanya pada tata
air, dan pada kawasan konservasi tidak hanya flora dan fauna,
melainkan seluruh sumberdaya alam hutan secara keseluruhan.
| 180 |
Pengelolaan Hutan Lestari....(Paimin)
dan penutupan hutan untuk setiap DAS dan atau pulau minimal 30%
dengan sebaran proporsional. Pengertian ini tidak hanya pada hutan
lindung tapi seluruh bentuk penggunaan lahan hutan baik hutan
produksi maupun hutan konservasi. Angka 30% ini sering disalah
artikan bahwa kebutuhan luas hutan hanya 30% sehingga kelebihan
luas bisa dikonversi untuk penggunaan lain tanpa mempertimbangkan
kondisi DAS, karakteristik lahan, tipe sungai, fungsi hutan, sosial
budaya, ekonomi, dan kelembagaan masyarakat seperti diamanatkan
dalam pasal 17 UU No 41 tahun 1999. Persentase luas dalam DAS
menjadi beragam tergantung dari kondisi iklim (hujan), geologi,
bentuk lahan, topografi, tanah, dan sosial ekonomi masyarakat
sekitarnya.
Proses interaktif antara vegetasi (hutan), tanah, dan iklim
berpengaruh terhadap limpasan permukaan (surface runoff) maupun
erosi. Fungsi hutan sebagai pelindung tanah akan berubah dengan
perubahan dalam ekosistem tanaman hutan, seperti penebangan yang
diikuti pembukaan lahan, kebakaran, dan tanah longsor. Kebakaran
hutan merupakan gangguan yang besar terhadap ekosistem hutan.
Meskipun tanaman pokok hutan tidak mati oleh api tetapi serasah
dan tumbuhan bawah yang habis terbakar mengakibatkan tanah
terbuka sehingga rentan terhadap erosi. Kerusakan erosi pada tanah
terbuka di bawah tegakan pohon lebih besar dibandingkan tanah
terbuka tanpa tanaman. Besarnya erosi dari kawasan hutan dapat
tercermin dari sedimen yang terangkut dalam aliran air yang keluar
dari Daerah Tangkapan Air (DTA) terukur. Hal ini menunjukkan
kelestarian produksi/ekonomi terjaga tetapi kelestaraian sumberdaya
tanah dan air (ekologi) mengalami degradasi.
Apabila tutupan hutan dan ekosistem tanaman dalam kondisi
baik tetapi aliran air yang keluar dari hutan lebih keruh dari biasanya,
kemungkinan terjadi tanah longsor dengan massa tanah cukup besar
terangkut aliran air. Tanah longsor pada tebing sungai yang kemudian
menyumbat palung sungai secara tidak sengaja akan membentuk
waduk/dam. Apabila sumbat ini jebol, sementara itu tandon air di
hulu waduk sudah cukup besar, maka akan mengakibatkan banjir
bandang dengan kerugian besar di daerah hilirnya. Seperti peristiwa
banjir bandang di Pacet dan Jember, Jawa Timur, serta di Bohorok,
Sumatera Utara, ternyata banjir yang terjadi bukan banjir normal
karena deforestasi atau illegal logging tetapi merupakan akumulasi
| 181 |
PROSIDING Workshop, 2009 :176-185
dari aliran air banjir normal ditambah jebolnya air tampungan yang
besar dari palung sungai yang tersumbat oleh tanah longsor di tebing
sungai. Memperhatikan adanya multi-proses tanah longsor dan banjir
tersebut maka observasi proses demikian sangat penting pada
kawasan hutan lindung dan hutan konservasi yang jarang sekali
dikunjungi atau dijamah petugas.
Sebagai regulator tata air, DAS dipandang merupakan cadangan
dan pasokan air yang sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian,
industri, dan konsumsi rumah tangga. Kecukupan pasokan air sangat
diharapkan dari kawasan hutan yang bisa memberikan kecukupan
baik jumlah, mutu, maupun kontinyuitasnya. Hutan memiliki
kemampuan sebagai penahan air hujan yang jatuh di atasnya untuk
disimpan di dalam bumi yang kemudian secara alami dialirkan
sepanjang tahun melalui aliran bawah permukaan (sub surface flow),
terutama pada musim kemarau. Namun berdasarkan hasil penelitian
akhir-akhir ini menunjukkan bahwa hutan tidak meningkatkan hasil
air tetapi justru sebaliknya menurunkan hasil air karena besarnya
jumlah evapotranspirasi (Hamilton, dan Pearce, 1986). Transpirasi
tanaman hutan yang tinggi mengakibatkan kandungan lengas tanah di
bagian bawah (daerah perakaran dalam) lebih kering dibandingkan
bagian atas yang tertutup serasah sehingga evaporasi di permukaan
tanah rendah.
Walaupun pasokan air dari hutan berkurang dibanding areal
bukan hutan tetapi peran hutan yang lebih besar perlu
dipertimbangkan seperti pengendali kualitas air dari sedimen,
pengendalian banjir, dan kemantapan kawasan sebagai kompensasi
pengurangan hasil air tersebut. Perubahan hutan menjadi penggunaan
lain, seperti pertanian dan padang rumput, akan berdampak pada
tingkat erosi yang lebih tinggi sehingga berakibat pada penurunan
kualitas lahan, kualitas air menurun karena kekeruhan dan bahan
pencemar lainnya, serta penurunan fungsi sarana prasarana di daerah
hilirnya akibat sedimentasi. Disamping itu debit puncak (air banjir)
akan meningkat sehingga derita kerugian di hilir akan lebih besar pula.
Pasokan air yang keluar dari kawasan hutan lehih mantap
dibandingkan yang keluar dari penggunaan lahan lainnya yang relatif
lebih dinamis sehingga jaminan pasokan lebih mudah diperhitungkan
secara rasional dan obyektif. Dengan demikian penyelenggaraan
hutan lestari yang kemungkinan menurunkan pasokan air bukan
| 182 |
Pengelolaan Hutan Lestari....(Paimin)
merupakan pembenaran terhadap penggundulan dan konversi hutan.
Hal ini merupakan peringatan bagi penyelenggara kehutanan untuk
berhati-hati dalam mengelola hutannya sehingga tidak menimbulkan
defisit pasokan air dari kawasannya. Hasil air (jumlah, mutu, dan
kontinyuitas) dari kawasan hutan tidak hanya tergantung vegetasi
hutannya tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor alam lainnya, seperti
jenis batuan (geologi), tanah, lereng, dan iklim. Pemilihan jenis
tanaman hutan, terutama eksotik, harus dilakukan secara cermat agar
tidak menimbulkan penurunan potensi hasil air.
Sumbangan air yang cukup besar dari kawasan hutan masih
jarang dinilai secara ekonomis dalam sistem pengelolaan hutan dalam
satuan DAS. Hal ini menjadi tidak adil apabila ternyata air yang
dihasilkan dimanfaatkan secara komersial, seperti untuk industri air
minum, konsumsi hotel, tenaga listrik, dll. Memperhatikan fakta
lapangan tersebut perlu adanya pencermatan dan pemilahan nilai
manfaat antara pemanfaatan publik dan komersial. Penilaian hasil
secara ekonomi akan bisa menuntun upaya kompensasi antara
pemanfaat (hilir) dan pemelihara (hulu) sumberdaya air.
Berkaitan dengan tata air dalam DAS, banyak pihak terkait baik
sebagai pemelihara maupun sebagai sebagai pemanfaat pasokan air
dari kawasan hutan. Hubungan antar pihak perlu ditata secara cermat
sehingga hak dan kewajibannya secara jelas dapat difahami dan tata
hubungan kerja dapat dibangun secara sinergis. Wilayah DAS
tersusun dari berbagai penggunaan lahan seperti hutan, perkebunan,
pertanian, pemukiman, tambang, dan industri, dll. Masing-masing
penggunaan lahan bisa berfungsi sebagai pemelihara dan atau sebagai
pemanfaat sumberdaya air. Namun demikian belum bisa diharapkan
setiap penyelenggara kawasan/lahan memiliki kesadaran kewajiban
dalam pelestarian daya dukung DAS.
| 183 |
PROSIDING Workshop, 2009 :176-185
PERKEBU
NAN PEMUKIMAN
DAS
PERTANIA
HUTAN HUTAN
N
RAKYAT KONSERVA
PANGAN HUTAN SI
NEGARA
DAS
Hut-Lindung,
Hut-Produksi, HUTAN
Hut-Konsvasi LINDUNG
HUTAN,
Produksi
| 184 |
Pengelolaan Hutan Lestari....(Paimin)
Hubungan interaktif-simbiotik sumberdaya hutan biotik-abiotik
menjadikan DAS sebagai unit pengelolaan rasional semua fungsi
kawasan hutan (lindung, konservasi, dan produksi). Keberhasilan
penyelenggraan pengelolaan hutan dalam meningkatkan daya dukung
DAS akan memberikan multi-manfaat, baik di dalam dan sekitar
hutan maupun daerah hilirnya, sebagai pemasok air, baik untuk
kebutuhan soial/publik maupun komersial, pengendali sedimen,
pengendali pencemaran, banjir, dan kekeringan.
Nilai kelestarian ekologi tata air dan lahan dalam DAS pada
pengelolaan hutan seyogyanya tidak menggunakan satu nilai karena
kondisi kawasan hutan sangat beragam seperti jenis batuan (geologi),
tanah tanah, lereng, dan iklim, serta fungsi hutannya. Unit DAS
sangat penting untuk digunakan sebagai intregator pemangku
kawasan atau pengguna lahan sehingga diperoleh hubungan hulu-hilir
secara harmonis.
DAFTAR PUSTAKA
| 185 |
18. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI1
Oleh:
Saeful Rachman2
ABSTRAK
Daerah Aliran Sungai (DAS) secara utuh mulai dari daerah hulu sampai hilir
terdiri dari berbagai tipe ekosistem yang mengandung potensi sumber daya alam
hayati dan non-hayati yang sangat berguna bagi kehidupan manusia baik dari
aspek ekonomi, lingkungan maupun sosial budaya. Sumber daya alam di DAS
tersebut dikelola oleh berbagai sektor dalam rangka pembangunan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi karena banyak pihak
yang berkepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam DAS yang relatif
sangat terbatas, maka seringkali terjadi konflik kepentingan antar para pihak
tersebut dan atau terjadi pemanfataan sumberdaya alam yang melebihi daya
dukung DAS. Akibatnya adalah terjadi degradasi sumbe1rdaya alam dan
lingkungan DAS seperti kerusakan hutan, makin luasnya lahan kritis, tanah
longsor, erosi dan sedimentasi, pencemaran tanah dan air, bencana seperti banjir
dan kekeringan. Dalam suatu DAS terdapat keterkaitan yang erat antar
aktivitas di hulu dengan daerah di hilirnya baik dalam hal manfaat maupun
dampaknya (externalitas), Karena itu pengelolaan DAS harus dilakukan
secara terpadu dengan melibatkan semua pemangku kepentingan baik unsur
pemerintah, swasta maupun masyarakat mulai dari daerah hulu sampai daerah
hilir DAS. Untuk mewujudkan itu diperlukan pengembangan kelembagaan
pengelolaan DAS sehingga memungkinkan terjadinya koordinasi, integrasi,
sinkronisasi, dan sinerji (KISS) antar pemangku kepentingan dengan
pengelolaan sumberdaya dalam DAS. Tidak terpenuhinya KISS akan mudah
menimbulkan konflik kepentingan sehingga mengganggu tercapainya tujuan
bersama dalam pengelolaan DAS. Kelembagaan pengelolaan DAS tersebut
perlu dikembangkan, baik pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota
maupun pada tingkat DAS. Sektor kehutanan melaui Balai Pengelolaan DAS
di daerah yang merupakan salah satu pemangku kepentingan yang cukup
berperan dalam pengelolaan DAS telah menginisiasi dan memfasilitasi
1
Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007.
2Kepala Subdit Pembinaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Ditjen RLPS
| 186 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)
pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS di berbagai daerah dengan nama
”Forum DAS”. Akan tetapi forum-forum DAS yang ada tersebut masih
harus ditingkatkan kapasitas dan perannya sehingga bisa berfungsi sebagaimana
yang diharapakan.
Kata kunci :Kelembagaan, Pengelolaan DAS
I. PENDAHULUAN
Daerah aliran sungai atau DAS adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya,
yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang
berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas
di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU
No. 7 Tahun 2004, Pasal 1 ayat 11).
Pengertian DAS tersebut diatas memperlihatkan bahwa dalam
suatu DAS secara utuh akan terdiri dari berbagai type ekosistem
seperti hutan, perkebunan, pertanian, pemukiman, lahan basah dan
wilayah pantai. Dalam berbagai ekosistem tersebut terlibat berbagai
sektor dan parapihak pemangku kepentingan dengan tujuannya
masing-masing. Tiap sektor biasanya selalu berusaha meningkatkan
aktivitasnya dalam rangka pembangunan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi aktivitas tersebut seringkali
lebih bertumpu pada kepentingan ekonomi dan kurang
memperhatikan daya dukung DAS sehingga mendorong timbulnya
permasalahan DAS seperti meluasnya hutan rusak dan lahan kritis;
meningkatnya erosi dan sedimentasi; terjadi bencana alam banjir dan
tanah longsor; kekeringan; dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang. Fenomena yang terjadi di banyak DAS
tersebut merupakan indikasi dari rendahnya kinerja pengelolaan DAS
yang dilaksanakan oleh berbagai sektor dan lembaga terkait.
Aspek yang diduga menjadi penyebab utama rendahnya kinerja
pengelolaan DAS adalah masalah kelembagaan DAS yang antara lain
mencakup : (1) pembagian posisi dan peran lembaga/instansi kurang
sesuai untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan DAS; (2) koordinasi
antar lembaga pemerintah yang terkait dalam kegiatan pengelolaan
DAS kurang harmonis; dan (3) rendahnya kapasitas lembaga
pemerintah dalam mengatasi masalah yang terjadi di DAS. Ketiga
aspek tersebut merupakan sebagian dari aspek kelembagaan DAS
yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan DAS.
| 187 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
Makalah ini akan mencoba mengemukakan konsepsi tentang
bagaimana kelembagaan pengelolaan DAS dikembangkan dan kondisi
lembaga koordinatif pengelolaan DAS yang telah ada saat ini. Akan
tetapi pada awal makalah akan dikemukakan lebih dulu tentang
prinsip, tujuan, ruang lingkup dan pemangku kepentingan (stakeholders)
pengelolaan DAS sehingga diperoleh pemahaman yang sama tentang
perlunya pengelolaan DAS secara terpadu termasuk pengembangan
kelembagaannya.
II. PRINSIP, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
PENGELOLAAN DAS
A. Prinsip Pengelolaan DAS Terpadu
Prinsip-prinsip yang harus menjadi dasar acuan dalam
pengelolaan DAS terpadu adalah sebagai berikut :
1. Pengelolaan DAS dilakukan dengan memperlakukan DAS
sebagai suatu kesatuan ekosistem dari hulu sampai hilir, satu
perencanaan dan satu pengelolaan.
Prinsip ini menegaskan bahwa dalam satu DAS sebagai
suatu kesatuan ekosistem terdapat keterkaitan hulu-hilir DAS
dalam hal aktivitas pengelolaan sumberdaya dan dampak yang
ditimbulkannya (”on-site” maupun ”off-site impact”). Hal ini
terutama dikarenakan adanya air sebagai sumberdaya alam DAS
yang mengalir dari hulu sampai dengan hilir. Hal ini yang
mendasari digunakannya ekosistem DAS sebagai satuan terbaik
dalam pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem dan untuk itu
harus ada satu rencana pengelolaan DAS terpadu dari hulu
sampai dengan hilir sehingga terdapat satu sistem pengelolaan
sumberdaya DAS yang disepakati oleh para pihak yang terlibat
untuk menjamin kelestarian DAS dalam jangka panjang.
2. Pengelolaan DAS terpadu melibatkan multipihak, koordinatif,
menyeluruh dan berkelanjutan.
Prinsip ini menegaskan bahwa sumberdaya alam DAS
yang sangat beragam (hayati dan non hayati) merupakan sistem
yang kompleks sehingga pengelolaan DAS secara terpadu
memerlukan partisipasi berbagai sektor dan multipihak dengan
pendekatan inter-disiplin, lintas bidang keilmuan dan seringkali
lintas wilayah administrasi. Kewenangan pengelolaan
sumberdaya dalam DAS berada pada lebih dari satu sektor. Oleh
karena itu, pengelolaan DAS terpadu memerlukan koordinasi,
integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar para pihak baik dalam
| 188 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful
Rachman)
penetapan kebijakan, perencanaan program dan kegiatan
maupun dalam implementasi dan pengendalian penyelenggaraan
pengelolaan DAS. Pengelolaan juga tidak hanya mencakup
kegiatan pemanfaatan/pendayagunaan sumberdaya alam tetapi
juga harus mengandung kegiatan perlindungan dan konservasi
sumberdaya alam agar manfaatnya bisa berkelanjutan serta
upaya-upaya pengendalian terhadap daya rusak yang mungkin
timbul/disebabkan oleh kondisi ekstrim dari sumberdaya alam,
karena itu pengelolaan DAS harus dilakukan secara holistik,
komprehensif dan berkelanjutan.
3. Pengelolaan DAS bersifat adaptif terhadap perubahan kondisi
yang dinamis dan sesuai dengan karakteristik DAS.
DAS merupakan suatu kesatuan ekosistem yang bersifat
dinamis dimana unsur biofisik (misalnya flora, fauna, iklim,
lahan, bangunan sarpras), sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat selalu berubah seiring dengan berjalannya waktu.
Oleh karena itu apabila terjadi perubahan unsur-unsur ekosistem
di dalam DAS maka diperlukan respon dari para penyelenggara
pengelolaan DAS baik dalam hal kebijakan maupun
implementasi program dan kegiatan sehingga tujuan pengelolaan
DAS dapat tercapai.
4. Pengelolaan DAS dilaksanakan dengan pembagian beban biaya
dan manfaat antar multipihak secara adil.
Prinsip ini menegaskan bahwa dalam pengelolaan DAS
terdapat berbagai pihak yang memperoleh manfaat dari barang
dan jasa DAS sekaligus juga terdapat pihak yang membuat
pencemaran atau kerusakan terhadap ekosistem DAS, karena itu,
sangat adil jika pembiayaan kegiatan penyelenggaraan DAS tidak
hanya dibebankan kepada pemerintah, tetapi juga dibiayai dari
para penerima manfaat barang dan jasa DAS dan pencemar
ekosistem DAS terutama untuk kegiatan rehabilitasi, restorasi
dan/atau reklamasi sumberdaya hutan, lahan dan air bagi
kepentingan kelestarian ekosistem DAS itu sendiri dan
peningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas. Prinsip
keadilan juga harus mempertimbangkan keterkaitan hulu dan
hilir DAS dimana seringkali daerah hulu DAS harus melakukan
konservasi hutan, tanah dan air untuk kepentingan kelestarian
sumberdaya air di daerah hilir DAS.
5. Pengelolaaan DAS memerlukan akuntabilitas para pemangku
kepentingan.
| 189 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
Prinsip ini menegaskan bahwa pengelolaan DAS pada
dasarnya adalah keterpaduan lintas sektor dan lintas wilayah
administrasi dalam pengelolaan sumberdaya dalam kerangka
pembangunan secara berkelanjutan. Dalam rangka mendapatkan
manfaat yang optimal dari sumberdaya alam DAS untuk manusia
dan kehidupan lainnya secara berkelanjutan tersebut diperlukan
akuntabilitas dari setiap sektor atau para pemangku kepentingan.
Setiap sektor dalam melaksanakan misinya dan kegiatannya tidak
boleh berlawanan atau kontradiktif dengan tujuan pengelolaan
DAS terpadu yang telah disepakaiti bersama, tetapi kegiatann
sektor tersebut harus sejalan atau menunjang pencapaian tujuan
pengelolaan DAS terpadu.
B. Tujuan Pengelolaan DAS Terpadu
Tujuan pengelolaan DAS terpadu sangat ditentukan oleh
karakteristik biofisik, sosial ekonomi budaya dan kelembagaan yang
ada pada setiap DAS. Tetapi secara umum tujuan pengelolaan DAS
terpadu adalah sebagai berikut:
1. Mewujudkan kondisi tata air DAS yang optimal meliputi
kuantitas, kualitas dan distribusi menurut ruang dan waktu.
Neraca air dalam suatu DAS menggambarkan hubungan
individual unsur-unsur hidrologis yang meliputi input hujan,
penyimpanan (storage) di permukaan, dalam tanah dan aknifer,
pengurangan dalam bentuk intersepsi, evapotranspirasi dan luaran
(ouput) dalam bentuk aliran permukaan, aliran dalam tanah dan
aliran akifer dalam bentuk total aliran sungai. Pengelolaan DAS
menginginkan tata air yang optimal yang berarti air di DAS
tersebut mendukung pemenuhan berbagai jenis kebutuhan air
dalam segi kuantitas, kualitas dan distribusi menurut ruang dan
waktu secara memadai dan terus menerus dalam jangka panjang.
2. Mewujudkan kondisi lahan yang produktif secara berkelanjutan.
Pengelolaan DAS sebagai salah satu upaya mengendalikan
hubungan timbal balik antara manusia dengan sumberdaya alam
(dalam hal ini lahan) bertujuan agar lahan sebagai salah satu unsur
ekosistem DAS dan faktor produksi harus dapat menghasilkan
produk barang dan jasa yang diinginkan dalam batas daya dukung
dan daya tampung yang ada sehingga kapasitas produksi dapat
mendukung kehidupan manusia yang dinamis saat ini dan generasi
yang akan datang. Hutan dan lahan yang telah rusak (kritis)
kondisinya harus direhabilitasi sehingga fungsinya bisa pulih dan
meningkat.
| 190 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)
3. Mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan.
Pengelolaan DAS yang terkelola dengan baik dan efektif
harus terdapat keseimbangan antara potensi sumberdaya yang
tinggi dan manfaat yang bisa diperoleh oleh manusia dan dapat
mendukung permintaan akan barang dan jasa dari berbagai pihak
berkepentingan tanpa adanya degradasi lingkungan yang lebih
besar dari kemampuan pemulihan alami sehingga produksi bisa
lestari, memberikan pendapatan yang memadai dan sekaligus
aman bagi masyarakat. Pengelolaan DAS terpadu juga harus
memperhatikan pemerataan kesejahteraan antara masyarakat di
hulu dan di hilir yang perannya relatif berbeda dimana masyarakat
hulu biasanya ditekankan untuk melakukan konservasi hutan,
tanah, dan air, sedangkan masyarakat di hilir lebih banyak
menikmati hasil-hasil konservasi atau menerima dampak dari
kegiatan di hulu.
C. Ruang lingkup Kegiatan Pengelolaan DAS Terpadu
Secara garis besar ruang lingkup pengelolaan DAS terpadu
meliputi kegiatan sebagai berikut :
1. Penatagunaan lahan (land use planning) untuk memenuhi berbagai
kebutuhan barang dan jasa serta kelestarian lingkungan.
2. Pengelolaan sumber daya air (pemanfaatan, perlindungan dan
pengendalian).
3. Pengelolaan lahan dan vegetasi di dalam kawasan hutan dan di luar
kawasan hutan (pemanfaatan, rehabilitasi, restorasi, reklamasi dan
konservasi).
4. Pengelolaan dan pengembangan sumberdaya buatan.
5. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan
pengelolaan DAS.
Bobot dan intensitas kelima ruang lingkup pengelolaan DAS
terpadu tersebut bervariasi dari satu DAS ke DAS lainnya dan sangat
tergantung pada karakteristik dan permasalahan DAS yang
bersangkutan .
III. PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM
PENGELOLAAN DAS
Selama ini sejumlah kegiatan dan proyek yang berkaitan
dengan pengelolaan DAS telah dilaksanakan oleh banyak pemangku
kepentingan (stakeholders) baik insatansi-instansi pemerintah maupun
non pemerintah yang terkait dengan sector Pekerjaan Umum,
Kehutanan, Perkebunan, Pertanian, Dalam Negeri, Badan Pertanahan
Nasional, Pertambangan dan Energi, Lingkungan Hidup dan lain-
| 191 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
lain. Masing-masing pemangku kepentingan mempunyai pendekatan
yang berbeda dalam kegiatan pengelolaan DAS baik dalam unit
perencanaan maupun implementasinya sehingga dapat dikatakan
bahwa pengelolaan DAS merupakan hal yang sangat kompleks baik
ditinjau dari banyaknya pihak yang terlibat maupun sumber daya yang
ada di dalam suatu DAS.
Instansi/lembaga tertentu memiliki tanggung jawab untuk suatu
wilayah pengelolaan atau suatu komoditas. Sebagai contoh, penataan
ruang dan tataguna lahan utamanya ditangani oleh Pekerjaan Umum
dan Badan Pertanahan Negara yang dasarnya adalah wilayah
administrasi dan seringkali kurang mempertimbangkan kelestarian
ekosistem DAS; pengelolaan sumber daya air khususnya yang
mengangkut pemanfaatan/pendayagunaan dan pengendalian daya
rusak air permukaan dilaksanakan oleh Direktorat Sumber Daya Air
Departemen Pekerjaan Umum dan jajarannya sampai di daerah;
urusan air tanah dan pertambangan ditangani oleh Departemen
Energi dan Sumberdaya Mineral, tetapi kualitas air lebih ditangani
oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan instansi Kesehatan.
Pengelolaan hutan termasuk urusan konservasi tanah dan air di areal
hutan menjadi tanggung jawab Departemen Kehutanan dan jajarannya
sampai di daerah, sedangkan pengelolaan lahan-lahan pertanian dan
perkebunan banyak ditangani oleh masyarakat dan swasta yang
pembinaannya menjadi tanggung jawab instansi yang diserahi tugas
mengurus pertanian dan perkebunan, walaupun kegiatan rehabilitasi
lahan dan konservasi tanah dan air banyak juga yang ditangani oleh
Departemen Kehutanan.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan
tugas dan fungsinya, masing-masing lembaga tersebut cenderung
bersifat sektoral. Rencana, program dan pelaksanaan kegiatannya
hanya mementingkan pencapaian misi dan target sektornya sendiri
dan sering kurang memperhatikan kepentingan atau tujuan
pengelolaan DAS secara terpadu. Oleh karenanya, seringkali terjadi
tabrakan kepentingan (conflict of interest) antar lembaga yang terlibat
dalam pengelolaan DAS. Pada era otonomi daerah setelah reformasi
ini banyak kawasan lindung baik berupa kawasan hutan negara
maupun lahan milik dimaksimalkan pemanfaatannya demi
kepentingan ekonomi jangka pendek (meningkatkan pendapatan asli
daerah) tanpa memikirkan akibat kerusakan lingkungan dalam jangka
panjang. Daerah perbukitan milik masyarakat maupun badan usaha
dijadikan lahan pertanian intensif atau real estate padahal dari segi
kemampuan lahan seharusnya menjadi daerah dengan penutupan
vegetasi permanen. Kawasan hutan negara banyak yang diserobot
| 192 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)
untuk dijadikan perkebunan dan pertanian bahkan menjadi
pemukiman, kemudian illegal loging dan illegal mining terjadi tidak hanya
di hutan produksi tetapi sudah merambah kedalam hutan lindung dan
konservasi sehingga terjadi kerusakan tegakan hutan yang relatif cepat.
Semua aktivitas yang berdalih demi pembangunan ekonomi tersebut
banyak menimbulkan penurunan kualitas fungsi hutan dan lahan
terutama fungsi ekologisnya sehingga terjadi ketidakseimbangan
kondisi hidrologi DAS seperti semakin besarnya fluktuasi debit
maksimal dan minimal, bahkan menyebabkan banjir, kekeringan dan
pencemaran air. Permasalahan DAS ini semakin kompleks pada DAS
yang melintasi beberapa wilayah kabupaten/kota sebagai wilayah
otonom. Sering timbul pernyataan “Apa adil kabupaten/kota di hulu
selalu diminta untuk mengkonservasi/melindungi daerahnya berupa
hutan sehingga PADnya kecil, sementara manfaatnya (supply air dan
mencegah banjir) lebih banyak dinikmati oleh kabupaten/kota
dibagian hilirnya?“ dan “Bagaimana mekanisme hubungan hulu-hilir
tersebut supaya ada pembagian manfaat dan biaya secara rasional dan
adil?” .
Untuk menghindari terjadinya tabrakan kepentingan dalam suatu
DAS dan pembagian manfaat dan biaya secara adil, diperlukan
pengaturan kelembagaan dan regulasi yang mengatur mekanisme kerja
antar lembaga/pihak berkepentingan tersebut. Kelembagaan tersebut
memungkinkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar
lembaga/pihak yang berkepentingan, kemudian terdapat klarifikasi
dan identifikasi secara jelas tentang tugas dan wewenang masing-
masing lembaga dalam menjalankan fungsinya.
IV. KONSEPSI KELEMBAGAAN DALAM
PENGELOLAAN DAS
Tantangan terbesar pada tahap pelaksanaan pengelolaan DAS
adalah terbangunnya organisasi dan kelembagaan yang
memungkinkan berjalannya mekanisme koordinasi dan kerjasama
antar lembaga pada setiap jenjang pemerintahan (pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota). Aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh masing-
masing pihak dalam pengelolaan DAS harus terorganisir dan
terintegrasi secara solid satu dengan lainnya sehingga kinerja setiap
pihak mendukung kearah tercapainya tujuan pengelolaan DAS
terpadu yang telah disepakati bersama.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu, selama ini
perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya DAS
dilakukan secara sektoral oleh masing-masing instansi terkait sesuai
dengan tupoksinya. Sebagai hasilnya, kinerja pengelolaan DAS jauh
| 193 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
dari pada memuaskan. Oleh karena itu, ke depan perencanaan dan
pelaksanaan pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu dengan
melibatkan semua pihak yang mempunyai kepentingan dalam
pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan DAS.
Pengelolaan DAS Terpadu tersebut harus diarahkan untuk mencapai
tujuan pengelolaan DAS sebagaimana telah dirumuskan pada bagian
terdahulu.
Adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinerji (KISS)
antara para pihak dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan DAS merupakan pra-kondisi untuk mewujudkan tujuan
ganda tersebut di atas. Hal ini mengandung arti bahwa aktivitas-
aktivitas yang dilakukan masing - masing pihak dalam pengelolaan
DAS harus terorganisir dan terintegrasi secara solid, satu dengan
lainnya. Pengorganisasian dan pengintegrasian aktivitas-aktivitas yang
terpadu seperti itu dapat dicapai hanya bila ada pembagian peran dan
fungsi yang jelas antara para pihak, serta adanya sarana dan
mekanisme kelembagaan untuk melakukan dialog diantara para pihak
tersebut dalam perumusan kebijakan, rencana kegiatan dan dalam
pelaksanaan dan pengawasannya (monitoring dan evaluasi). Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan/pengembangan
kelembagaan pengelolaan DAS antar lain :
1. Identifikasi dan Pemetaan Para Pihak, Fungsi dan
Peran
Langkah awal dalam menciptakan KISS adalah mengidentifikasi
para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS Terpadu. Kiranya
perlu dicermati bahwa, secara umum, ada perbedaan fundamental
antara keterlibatan lembaga-lembaga pemerintah dan pihak-pihak
bukan pemerintah dalam pengelelolaan DAS. Peranan dan fungsi
lembaga-lembaga pemerintah lebih fokus pada pengendalian kapasitas
fungsi DAS yang dilakukan dalam bentuk kegiatan-kegiatan
konservasi, rehabilitasi sumberdaya alam ataupun pengendalian banjir.
Sementara, pihak-pihak bukan pemerintah (seperti petani, rumah
tangga dan swasta) lebih fokus pada pemanfaatan kapasitas DAS
untuk tujuan ekonomi.
Meskipun keterlibatan lembaga-lembaga pemerintah dalam
pengelolaan DAS mengarah pada satu fokus, yaitu pemeliharaan,
pemulihan dan pengendalian dayadukung DAS, bukan berarti tidak
mungkin terjadi ketidak-harmonisan dalam keterlibatan masing-
masing lembaga dalam pengelolaan DAS. Ketidak-harmonisan dapat
terjadi karena adanya pertentangan kepentingan ataupun tidak adanya
koordinasi antar lembaga. Permasalahan ini sangat mungkin terjadi
| 194 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)
terutama bila DAS mencakup wilayah yang melintasi lebih dari satu
pemerintahan kabupaten/kota. Oleh karena itu, proses identifikasi
para pihak serta peran dan fungsinya harus bertitik-tolak pada prinsip
dasar bahwa DAS harus dikelola sebagai satu kesatuan utuh, yang
mencakup bagian hulu dan bagian hilir DAS, tanpa dibatasi oleh
administrasi kewilayahan pemerintahan. Dengan demikian identifikasi
harus mencakup semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS
baik yang berada pada bagian hulu maupun pada bagian hilir DAS.
Tujuan yang hendak dicapai dalam melakukan identifikasi
tersebut di atas untuk memberikan masukan bagi sinkronisasi fungsi
dan peran para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS, baik di
bagian hulu maupun di bagian hilir DAS. Sinkronisasi fungsi dan
peran ini merupakan pintu masuk untuk menciptakan KISS dalam
pengelolaan DAS.
Untuk itu, hasil identifikasi tersebut di atas harus digunakan
sebagai bahan untuk pemetaan fungsi dan peran para pihak yang
telibat dalam pengelolaan DAS. Selanjutnya, peta tersebut perlu
dianalisis untuk mengidentifikasi area di mana telah terjadi atau
kemungkinan akan terjadi konflik kepentingan ataupun masalah
koordinasi antar pihak. Setelah teridentifikasi, maka langkah
selanjutnya adalah merumuskan solusi guna mensinkronkan fungsi
dan peran para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS.
2. Membuat Kesepakatan Mengenai Fungsi dan Peran Para
Pihak
Hasil pemetaan, analisis potensi konflik dan masalah koordinasi
serta alternatif solusi untuk sinkronisasi fungsi dan peran para pihak
yang terlibat dalam pengelolaan DAS harus dimusyawarahkan dengan
para pihak yang terlibat. Musyawarah dimaksudkan untuk
memperoleh kesepakatan mengenai fungsi dan peran para pihak
dalam pengelolaan DAS. Kesepakatan-kesepakatan yang telah
dihasilkan dalam musyawarah harus bersifat mengikat. Oleh karena
itu, kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan harus dituangkan dalam
suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak dan akan
menjadi pedoman dalam melaksanakan fungsi dan peran para pihak.
Dokumen kesapakatan tersebut mestinya tidak bersifat abadi, sebab
konteks pengelolaan DAS dapat berubah dalam perjalanan waktu,
sehingga para pihak memungkinkan mengadaptasi perubahan
tersebut dalam konteks pengelolaan DAS.
| 195 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
3. Pembentukan Lembaga Beserta Fungsi dan Perannya dalam
Pengelolaan DAS Terpadu
Adanya kesepakatan mengenai fungsi dan peran dalam
pengelolaan DAS dari masing-masing pihak belum akan efektif
mencegah kemungkinan terjadinya masalah pertentangan kepentingan
dan masalah koordinasi. Meskipun sudah ada kesepakatan mengenai
hal tersebut, konflik dan masalah koordinasi akan selalu muncul bila
masing-masing pihak bertindak langsung secara individual
melaksanakan fungsi dan perannya dalam pengelolaan DAS.
Kesepakatan akan berguna mencegah terjadinya konflik dan
masalah koordinasi dalam pengelolaan DAS hanya bila masing-masing
pihak memainkan fungsi dan perannya melalui suatu struktur
kelembagaan yang telah disepakati. Untuk itu, kelembagaan yang tepat
untuk memfasilitasi keterlibatan para pihak ini adalah lembaga
koordinasi atau forum pengelolaan DAS. Struktur kelembagaannya
disusun sebagai berikut ini.
3.1. Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS Tingkat
Nasional(LK-PDAS Nasional)
Pada tingkat nasional, dibentuk satu forum pengelola nasional
DAS. Forum ini dinamakan Lembaga Kordinasi Pengelolaan DAS
Tingkat Nasional (LK-PDAS Nasional). Forum ditetapkan oleh
presiden dengan Keputusan Presiden (KEPPRES).
Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS tingkat Nasional bersifat
non struktural, berada di bawah dan bertanggungjawab langsung
kepada Presiden. Keanggotaan Forum Nasional Pengelolaan DAS
terdiri dari unsur pemerintah (para pimpinan departemen terkait), dan
unsur bukan pemerintah seperti unsur BUMN/S, tokoh-tokoh
nasional, pemerhati masalah-masalah DAS, LSM yang bergerak dalam
penanganan masalah-masalah DAS pada level nasional, serta para
pakar dari perguruan tinggi nasional dan lembaga penelitian, seperti
LIPI dan BPPT yang mempunyai kepentingan dengan DAS.
Sebaiknya, ketua forum dipilih secara demokratis dari para anggota
forum.
Koordinasi Pengelolaan DAS Tingkat Nasional mempunyai
tugas membantu Presiden dalam:
a. merumuskan kebijakan nasional dan strategi pengelolaan DAS;
b. memberikan pertimbangan untuk penetapan DAS prioritas
nasional;
| 196 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)
c. melaksanakan koordinasi dan konsultasi untuk memadukan dan
menyelaraskan kepentingan antar sektor dan antar provinsi;
d. melaksanakan koordinasi dan konsultasi terhadap Lembaga
Koordinasi Pengelolaan DAS tingkat provinsi dan tingkat
kabupaten/kota;
e. memfasiltasi pembiayaan pengelolaan DAS yang bersumber dari
dunia usaha dan masyarkat seacara transparan dan akuntabel.
f. melaksanakan pengendalian terhadap penggunaan dan pemanfaatan
lahan yang dilakukan oleh instansi sektoral, badan usaha dan
masyarakat untuk DAS dalam lintas provinsi.
3.2. Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS Tingkat Provinsi
(LK-PDAS Provinsi)
Forum pengelolaan DAS di tingkat provinsi dibutuhkan untuk
pengelolaan DAS yang mencakup wilayah lebih dari satu
kabupaten/kota dalam provinsi yang sama. Forum ini dinamakan
Lembaga Kordinasi Pengelolaan DAS Tingkat Provinsi (LK-PDAS
Provinsi). Forum ditetapkan oleh Peraturan Gubernur.
Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS tingkat Provinsi bersifat
non struktural, berada di bawah dan bertanggungjawab langsung
kepada Gubernur. Keanggotaan Forum Provinsi Pengelolaan DAS
terdiri dari unsur pemerintah daerah (para pimpinan dinas terkait)
dan unsur bukan pemerintah seperti unsur BUMN/D/S, para tokoh-
tokoh provinsi, pemerhati/pakar masalah-masalah DAS setempat,
LSM yang bergerak dalam penanganan masalah-masalah DAS pada
level provinsi, para pakar dari perguruan tinggi setempat. Sebaiknya,
ketua forum dipilih secara demokratis dari para anggota forum.
Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS tingkat Provinsi
mempunyai tugas membantu Gubernur dalam:
a. merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan DAS
lintaskabupaten/kota;
b. melaksanakan koordinasi dan konsultasi untuk memadukan dan
menyelaraskan kepentingan antar sektor, antar wilayah dan para
pemilik kepentingan lainnya dalam pengelolaan DAS lintas
kabupaten/kota;
c. menyusun rencana pengelolaan DAS terpadu untuk DAS lintas
provinsi;
d. menyusun rencana pengelolaan DAS terpadu untuk DAS lintas
kabupaten/kota;
e. memfasiltasi pembiayaan pengelolaan DAS yang bersumber dari
dunia usaha dan masyarakat secara transparan dan akuntabel.
| 197 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
f. melaksanakan pengendalian terhadap penggunaan dan pemanfaatan
lahan yang dilakukan oleh instansi sektoral, badan usaha dan
masyarakat untuk DAS lintas kabupaten/kota.
| 198 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)
4. Struktur Organisasi Internal Lembaga Koordinasi
Pengelolaan DAS (LK-PDAS)
Efektivitas LK-PDAS dalam melaksanakan fungsinya sebagai
sarana koordinasi sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan
Pengelolaan DAS Terpadu mencapai tujuannya. Untuk
mengefektifkan fungsi LK-PDAS sebagai sarana koordinasi, maka
lembaga ini harus mempunyai organisasi birokratis yang kompeten
dalam mendukung perannya sebagai sarana koordinasi dalam
penyelenggaraan Pengelolaan DAS Terpadu.
Kondisi dan karakteristik sosial, ekonomi dan fisik DAS berbeda
dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Oleh karena itu, adalah tidak tepat
untuk membuat suatu desain organisasi LK-PDAS yang berlaku
untuk semua DAS. Agar dapat berperan secara optimal, maka struktur
organisasi internal LK-PDAS harus disesuaikan dengan kebutuhan
setempat. Para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan
Pengelolaan DAS Terpadu harus memutuskan secara musyawarah
desain struktur organisasi LK-PDAS.
Dalam struktur organisasi yang disepakati, harus ditetapkan secara
jelas dan tegas mengenai tugas dan fungsi dari setiap elemen
organisasi. Juga, harus ada uraian yang jelas mengenai jalur otoritas
dan komunikasi dalam struktur organisasi tersebut. Sebaiknya,
jabatan-jabatan dalam organisasi diisi oleh para pihak yang terlibat
dalam penyelenggaraan Pengelolaan DAS Terpadu.
5. Penyusunan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah
Tangga (ART) LK-PDAS
Kedudukan, fungsi, mekanisme kerja, struktur organisasi internal
dan pembiayaan LK-PDAS perlu diatur dalam Anggaran Dasar (AD)
dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Para pihak perlu melakukan
musyawarah untuk merumuskan AD/ART secara bersama-sama.
AD/ART yang telah disepakati perlu dikonsultasikan dengan
pemerintah setempat.
AD/ART yang telah disepakati dan disetujui oleh pemerintah
perlu disahkan oleh pejabat pemerintah yang kompeten. Pengesahan
LK-PDAS Nasional oleh Presiden, LK-PDAS Provinsi oleh
Gubernur, dan LK-PDAS Kabupaten/Kota oleh Bupati/Walikota.
6. Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) Sebagai
Kelembagaan Implementatif yang Bersifat Sektoral dalam
Pengelolaan DAS
| 199 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) merupakan
kelembagaan implementatif yang bersifat sektoral dalam pengelolaan
DAS. Sebagai eksekutor di lapangan, maka SPKD harus
mensinkronkan rencana kegiatannya dengan rencana pengelolaan
DAS terpadu yang telah disahkan pemerintah tersebut.
Sebelum mengajukan usulan kegiatannya yang terkait dengan
pengelolaan DAS ke instansi yang menjadi atasannya, maka usulan
tersebut harus disampaikan ke forum pengelolaan DAS yang terkait
untuk dievaluasi konsistensinya dengan rencana pengelolaan DAS
terpadu yang telah disahkan oleh pemerintah. Adanya rekomendasi
dari forum atas usulan tersebut penting untuk memastikan
konsistensinya dengan dengan rencana pengelolaan terpadu tersebut.
7. Peran Lembaga Kordinasi Pengelolaan DAS Terpadu (LK-
PDAS) dalam Kegiatan Monitoring dan Evaluasi (MONEV)
Kegiatan monitoring dan evaluasi (MONEV) merupakan sarana
untuk mengawasi pelaksanaan pengelolaan DAS agar tidak
menyimpang dari rencana pengelolaan DAS terpadu yang telah
disepakati dan diresmikan oleh pemerintah. Meskipun demikian,
lembaga-lembaga koordinasi tidak perlu melakukan sendiri kegiatan
monitoring dan evaluasi. Untuk menjaga objektivitas, maka kegiatan
monev sebaiknya diserahkan kepada lembaga lain yang bersifat
independen yang ditunjuk oleh pemerintah. Namun, hasil MONEV
perlu dilaporkan kepada lembaga-lembaga koordinasi untuk dapat
digunakan sebagai bahan masukan dalam mengevaluasi dan
memperbaiki rencana pelaksanaan Pengelolaan DAS Terpadu yang
telah disusunnya.
8. Pemberdayaan Masyarakat Akar Rumput Untuk
Mendorong Partisipasinya dalam Pengelolaan DAS
Terpadu
Adalah suatu fakta bahwa masyarakat akar rumput banyak terlibat
dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan DAS.
Keterlibatan mereka sangat besar perannya dalam menentukan
keberhasilan pelaksanaan Pengelolaan DAS Terpadu. Dalam
kenyataannya, keterlibatan mereka ini sering tidak kondusif bagi
pelaksanaan Pengelolaan DAS Terpadu.
Paling sedikit ada dua faktor dibalik keterlibatan yang tidak
kondusif tadi, yaitu (a) kemiskinan dan (b) kekurang-pahaman akan
masalah konservasi sumberdaya alam dan lingkungan DAS di mana
mereka melakukan aktivitas sosial-ekonominya. Mengingat peran
keterlibatan mereka ini dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan
| 200 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)
Pengelolaan DAS Terpadu, maka perlu upaya-upaya pemberdayaan
untuk mengatasi kedua faktor tersebut. Upaya-upaya ini dapat
dilakukan secara sektoral melalui kelembagaan - kelembagaan yang
telah ada pada aras akar rumput, seperti kelompok tani dan kelompok
tani hutan.
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) sering efektif dalam
menggerakkan masyarakat akar rumput dalam pelaksanaan suatu
program pemerintah. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan LSM
dalam pelaksanaan program-program pemberdayaan yang dimaksud
di atas.
V. PERKEMBANGAN FORUM DAS
Lembaga koordinatif pengelolaan DAS terpadu dalam bentuk
”Forum DAS” sampai Oktober 2007 telah tercatat 41 Forum DAS
yang pembentukannya diinisiasi oleh Balai Pengelolaan DAS dan
instansi/lembaga lain terkait. Secara legalitas Forum DAS dibentuk
dengan SK Gubernur untuk Forum DAS ditingkat propinsi, dan oleh
Bupati untuk Forum DAS ditingkat kabupaten. Status 41 Forum DAS
tersebut terdiri 13 forum DAS tingkat propinsi (SK Gubernur), 13
forum DAS tingkat Kabupaten/kota (SK Bupati/Walikota), 8 forum
tingkat DAS yang belum mendapat pengukuhan dan 7 forum masih
dalam pembentukan formatur. Sedangkan Forum DAS tingkat
nasional sudah disepakati oleh para pihak terkait untuk dibentuk
dengan keputusan Presiden (Tim teknis sedang mempersiapkan
pembentukannya).
Forum-forum DAS yang telah terbentuk pada umumnya sudah
melibatkan perwakilan dari pemangku kepentingan yaitu unsur
pemerintah dan bukan pemerintah dimana ketuanya diplih secara
demokratis atau kesepakatan diantara para anggotanya. Forum DAS
yang ada tersebut masih belum berfungsi secara efektif antara lain
karena faktor-faktor berikut : a) belum adanya persamaan persepsi
antar para pihak dalam pengelolaan DAS terpadu, b) kendala yang
terkait dengan kapasitas SDM dan sarana prasarana, c) masih kuatnya
ego-sektoral, dan d) kendala pendanaan baik dalam forum itu sendiri
maupun pembiayaan untuk pengelolaan DAS secara luas.
Masalah belum adanya persamaan persepsi terutama dalam hal
tujuan bersama pengelolaan DAS, perencanaan dan implemntasi
program, mekanisme kerja dan tangung jawab pendanaan. Kapasitas
sumber daya manusia yang secara langsung terlibat dalam
kepengurusan dan keanggotaan Forum DAS umumnya bukan
personil yang memiliki kapasitas pengambilan keputusan, personil
| 201 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
yang mengikuti kegiatan forum tidak selalu tetap sehingga tidak ada
kesinambungan informasi dan komunikasi. Sarana dan prasarana yang
dibutuhkan dalam forum seperti untuk kesekretariatan dan
pendukungnya masih sangat tidak memadai. Permasalahan
egosektoral terkait dengan program sektor yang selalu mengutamakan
kepentingan sektornya masing-masing tanpa atau kurang
mempertimbangkan kepentingan atau tujuan bersama. Pendanaan
operasional forum sampai saat ini masih lebih banyak mengandalkan
dana dari BPDAS dan sangat sedikit forum DAS yang memiliki
sumber dana lain walaupun di beberapa forum telah memliki dana
dari non pemerintah seperti LSM, swasta maupun lembaga donor.
Sedangkan pembiayaan pengelolaan DAS saat ini, terutama kegiatan
konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan masih mengandalkan dana
pemerintah dan dari pemerintah daerah, kontribusi dari para
pemanfaat barang dan jasa lingkungan DAS masih sangat sedikit.
Balai PDAS dalam pengembangan kelembagaan pengelolaan
DAS sangat berperan dalam inisiasi pembentukan dan fasilitasi
berbagai kegiatan forum. BPDAS juga sebagai sumber utama dalam
menyediakan data dan informasi DAS serta dibeberapa tempat
BPDAS sebagai pusat pengelolaan sistem informasi DAS yang banyak
dipergunakan oleh Forum DAS. Kegiatan forum DAS lainnya antara
lain :
a. Mendukung penyelenggaraan kegiatan sosialisasi dan
pembentukan sekretariat Gerakan Nasional Kemitraan
Pengelolaan Air (GNKPA) ditingkat provinsi dan tingkat
b. kabupaten yang dilaksanakan secara terkoordinasi dengan
Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Pertanian.
c. Identifikasi pemangku kepentingan (stakeholders) dalam
pengelolaan DAS dan pengembangan database tentang
stakeholders .
d. Terlibat dalam pembahasan rencana-rencana pengelolaan DAS,
RHL, menyiapkan peraturan di daerah, mengorganisir kegiatan
rapat-rapat koordinasi, sosialisasi kebijakan, lokakarya, workshop
dan publikasi informasi DAS.
e. Beberapa anggota forum DAS telah terlibat dalam pelatihan teknis
bagi petugas dan kelompok masyarakat. Masih sedikit sekali
anggota forum DAS selain BPDAS terlibat dalam pemantauan
dan evaluasi DAS.
Dengan kondisi dan permasalahan yang dihadapi forum DAS di
daerah, maka masih perlu peningkatan kapasitas dan peran forum
DAS.
| 202 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful
Rachman)
VI. PENGELOLAAN HUTAN DALAM PENGELOLAAN
DAS
Pengelolaan hutan didasarkan UU 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan mempersyaratkan bahwa untuk mencapai pengelolaan
hutan secara lestari perlu dibuat perencanaan hutan yang antara lain
dengan tataguna hutan berdasarkan peruntukan fungsinya dimana
dalam pelaksanaannya mempertimbangkan DAS sebagai unit analisis
ekosistem. Kawasan hutan nasional di bagi dalam 3 kelas peruntukan
yaitu Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Hutan
konservasi berfungsi sebagai kawasan untuk melindungi
keanekaragaman hayati (tingkat gen s/d ekosistem); hutan lindung
diperuntukan berfungsi untuk perlindungan air dan tanah, dan hutan
produksi terutama diperuntukan bagi menghasilkan kayu dan hasil
hutan non-kayu. Klasifikasi peruntukan hutan tersebut antara lain
mempertimbangkan faktor-faktor topografi, tanah, curah hujan, tata
air, dan keanekeragaman hayati.
Dalam pasal 17 UU 41 tahun 1999 dinyatakan bahwa dalam
rangka pengelolaan hutan perlu dibentuk wilayah pengelolaan hutan
dalam berbagai tingkat yaitu untuk tingkat provinsi, kabupaten/kota,
dan unit pengelolaan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan
tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan
karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran
sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat
termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi
pemerintahan. Penjelasan pasal 17 ayat 1 menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan
terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola
secara efisien dan lestari, antara lain kesatuan pengelolaan hutan
lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP),
kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK), kesatuan
pengelolaan hutan kemasyarakatan (KPHKM), kesatuan pengelolaan
hutan adat (KPHA), dan kesatuan pengelolaan daerah aliran
sungai (KPDAS).
Dari penjelasan tersebut apabila suatu kawasan hutan dengan
fungsi tertentu layak menjadi unit pengelolaan secara lestari, maka
dapat dibentuk KPH berdasarkan fungsi hutan tersebut seperti
KPHL, KPHK atau KPHP. Tetapi bagaimana jika suatu kawasan
hutan dengan fungsi tertentu ternyata tidak layak menjadi KPH
tersendiri? Mungkin sebaiknya disatukan dengan fungsi hutan lainnya
menjadi satu KPH tanpa merubah fungsi hutan yang telah ditetapkan
tersebut, penamaan KPHnya menurut fungsi hutan yang terluas
| 203 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
arealnya. Sedangkan yang dimaksud dengan Kesatuan Pengelolaan
DAS (KPDAS) tidak secara langsung dan ekplisit diartikan sebagai
Kesatuan Pemangkuan Hutan DAS, sehingga dalam hal ini dapat
diartikan bahwa semua kawasan hutan yang berada dalam satu Satuan
Wilayah Pengelolaan DAS (SWPDAS) harus dikelola secara efisien
dan lestari untuk mendukung peningkatan kualitas fungsi DAS.
Dalam suatu SWPDAS besar misalnya DAS Kapuas, Musi, Barito,
kawasan hutan bisa terdiri dari beberapa KPH. Sebaliknya dalam satu
SWPDAS yang terdiri dari beberapa DAS kecil misalnya di bagian
barat Pulau Sumatera (Sumbar dan Bengkulu) atau di bagian tengah
dan utara Pulau Sulawesi, maka satu KPH bisa terletak dalam
beberapa DAS kecil.
Begitu pentingnya peranan hutan dalam menjaga kelestarian
fungsi DAS, maka UU 41 dalam pasal 18 mengamanahkan kepada
Pemerintah untuk menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas
kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran
sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan,
manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana
dimaksud minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah
aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
Berapapun jumlah kawasan hutan dan apapun fungsi hutan dalam
suatu DAS, pengelola/pemangku kawasan hutan tersebut harus tetap
berusaha agar hutannya berfungsi secara baik dan lestari. Dengan
kondisi hutan yang baik dan lestari tersebut akan menunjang
pencapaian tujuan pengelolaan DAS terpadu yang diinginkan.
Kawasan hutan dengan masing-masing kelas peruntukannya
saat ini dikelola oleh lembaga/instansi yang berbeda. Kawasan hutan
konservasi saat ini terutama dikelola oleh Pemerintah melaui UPT
Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Balai Taman Nasional
kecuali Taman Hutan Raya yang dikelola oleh Dinas Kehutanan
Provinsi. Hutan Produksi dikelola oleh BUMN dan swasta kecuali
hutan produksi yang tidak/belum dibebani hak masih dikelola oleh
pemerintah. Dan hutan lindung dikelola oleh Pemerintah Daerah dan
atau Perhutani. Sedangakan KPH seperti yang dimaksud dalam pasal
17 UU 41 tahun 1999 untuk luar pulau Jawa belum terbentuk secara
definitive tetapi Badan Planologi Kehutanan sampai tahun 2006 telah
membangun 7 Model KPH di 6 provinsi dan tahun 2007 mulai
diinisisasi 13 model KPH. Dalam konteks pengelolaan DAS secara
terpadu, instansi/lembaga pengelola kawasan hutan atau kesatuan
pemangkuan hutan yang seluruh atau sebagaian arealnya ada dalam
| 204 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)
satu SWP DAS, maka pemangku hutan tersebut dalam mencapai
tujuannya harus juga memperhatikan tujuan pengelolaan DAS
terpadu. Karena itu para pemangku kawasan hutan harus terlibat
dalam kelembagaan pengelolaan DAS secara terpadu dan dapat
menunjukkan peran hutan dan kehutanan secara proporsional dan
professional dalam mendukung kinerja DAS. Jangan sampai sektor
kehutanan selalu disalahkan ketika terjadi banjir dan tanah longsor
disuatu DAS, padahal hal tersebut tidak selalu benar. Kawasan hutan
dalam suatu DAS tidak selalu dapat mengendalikan banjir dan tanah
longsor. Banyak DAS yang proporsi kawasan hutannya relative kecil
(<30%) sehingga sebaik apapun hutan tersebut jika kondisi curah
hujan diatas normal, maka hutan tersebut tidak akan mampu
mengendalikan banjir yang terjadi di DAS tersebut, dan banyak tanah
longsor terjadi lebih dikarenakan oleh faktor geologi dan tanah bukan
oleh tidak ada atau rusaknya hutan.
VII. PENUTUP
Pengelolaan DAS jelas melibatkan banyak pihak yang
berkepentingan baik lintas sektoral maupun lintas wilayah
administrasi sehingga untuk mewujudkan tujuan pengelolaan DAS
terpadu diperlukan kelembagaan yang memadai yang dapat
memfasilitasi koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinegi antar pihak
berkepentingan tersebut. Walupun beberapa lembaga koordinatif
”Forum DAS” telah terbentuk namun masih banyak tugas dan fungsi
forum belum berjalan secara optimal karena masih menghadapi
berbagai kendala dan permasalahan yang cukup kompleks. Karena itu
dimasa yang akan datang masih diperlukan penelitian atau kajian
untuk mendukung pembinaan dan pengembangan kelembgaan DAS
kearah yang lebih baik. Kebutuhan penelitian atau kajian kelembagaan
tersebut antara lain:
1) Analisis posisi dan peran lembaga ditinjau dari aspek lembaga
yang terlibat dalam kebijakan, program dan kegiatan dalam
pengelolaan DAS.
2) Menganalisis kapasitas lembaga pemerintah yang terlibat dalam
mengatasi masalah yang terjadi di DAS.
3) Menganalisis mekanisme koordinasi antar lembaga yang terlibat
dalam pengelolaan DAS.
4) Merancang bangun alternatif kelembagaan pengelolaan DAS.
Kajian atau penelitian tersebut harus bersifat lokal suatu DAS
karena masing-masing DAS memilki karakteristik biofisik, sosek dan
| 205 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
permasalahan yang berbeda satu sama lain. Kelembagaan DAS
disuatu daerah belum tentu cocok untuk diterapkan di DAS lain.
DAFTAR PUSTAKA
| 206 |
19. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN
SUNGAI (DAS)1
Oleh:
Hendro Prahasto2
ABSTRAK
1
Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007.
2
Peneliti pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Jl.
Gunung Batu No. 5 PO. BOX 272 Bogor 16610 Indonesia. Telp. +62-0251-
8633944 ; Fax. +62-0251-8634924
| 207 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
Koordinasi dalam kerjasama operasional dan kebijakan diharapkan akan
menjamin terjadinya sinkronisasi pengelolaan sumber daya DAS, Dengan
adanya koordinasi dalam penyusunan kebijakan diharapkan akan
menghasilkan kebijakan yang sistematis dan tidak berbenturan satu dengan yang
lain.
I. PENDAHULUAN
Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 52 Tahun 2001
yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu
daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa,
sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk
menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya
dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya. Sementara
itu, pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal
balik antara sumber daya alam dengan sumber daya manusia di dalam
DAS dan segala aktivitasnya untuk mewujudkan kemanfaatan sumber
daya alam bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem
DAS serta kesejahteraan masyarakat.
Sampai saat ini, pengelolaan DAS yang ada belum optimal antara
lain disebabkan tidak adanya keterpaduan antar sektor dan antar
wilayah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan DAS
tersebut. Program atau kegiatan masing-masing sektor dan wilayah
berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak
belakang. Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa
dengan adanya otonomi daerah, dimana masing-masing daerah
berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Permasalahan
ego-sektoral dan ego-kedaerahan akan menjadi sangat komplek pada
DAS yang lintas kabupaten/kota atau propinsi. Oleh sebab itu, dalam
rangka memperbaiki kinerja pembangunan DAS maka perlu
dilakukan pengelolaan DAS secara terpadu.
Pengelolaan DAS terpadu adalah rangkaian upaya perumusan
tujuan, sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian
pengelolaan sumber daya DAS lintas pemangku kepentingan secara
partisipatif berdasarkan kajian kondisi biofisik, ekonomi, sosial,
politik dan kelembagaan guna mewujudkan tujuan pengelolaan DAS.
Pengelolaan DAS terpadu bertujuan untuk mewujudkan koordinasi,
integrasi, sinkronisasi dan sinergi berbagai pemangku kepentingan
| 208 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)
yang terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di
dalam DAS agar dapat dicapai kondisi tata air DAS yang optimal,
kondisi lahan yang produktif sesuai daya dukung wilayah dan daya
tampung lingkungan serta meningkatnya kesejahteraan masyarakat
(Departemen Kehutanan, 2006). Pengelolaan DAS terpadu dilakukan
secara menyeluruh mulai dari keterpaduan kebijakan, penentuan
sasaran dan tujuan, rencana kegiatan, implementasi program yang
telah direncanakan serta monitoring dan evaluasi hasil kegiatan secara
terpadu. Pengelolaan DAS terpadu selain mempertimbangkan faktor
biofisik dari hulu sampai hilir juga mempertimbangkan faktor sosial-
ekonomi, kelembagaan dan hukum.
Sampai saat ini konsep yang mapan dan jelas tentang
pengelolaan DAS secara nasional belum dapat diwujudkan, karena
masih bersifat klausal (sebab-akibat) dan sektoral sehingga
pengelolaan DAS belum merupakan suatu pengelolaan yang terpadu,
dimana semua kepentingan sektor dapat terakomodasi dan tidak
menimbulkan konflik. Untuk tercapainya pembangunan DAS yang
berkelanjutan, kegiatan pembangunan ekonomi dan perlindungan
lingkungan harus diselaraskan. Dalam hal ini diperlukan penyatuan
kedua sisi pandang tersebut secara realitis, melalui penyesuaian
kegiatan pengelolaan DAS dan konservasi daerah hulu ke dalam
kenyataan-kenyataan ekonomi dan sosial. Oleh sebab itu, formulasi
kebijakan yang harus dituntaskan apabila tujuan pembangunan yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dapat diwujudkan.
Pengelolaan DAS yang baik perlu didukung oleh kebijakan yang
dirumuskan dengan baik pula. Dalam hal ini kebijakan yang berkaitan
dengan pengelolaan DAS seharusnya mendorong dilaksanakannya
praktek-praktek pengelolaan lahan yang kondusif terhadap
pencegahan degradasi tanah dan air. Dengan demikian penataan dan
pemanfaatan ruang di daerah hulu DAS harus dilakukan secara
komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif dan efisien
dengan memperhatikan faktor politik , ekonomi, sosial dan budaya
serta kelestarian lingkungan hidup. Harus selalu disadari bahwa biaya
yang dikeluarkan untuk rehabilitasi DAS jauh lebih mahal daripada
biaya yang dikeluarkan untuk usaha-usaha pencegahan dan
perlindungan DAS.
| 223 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
kali sama. Hal ini sering mengakibatkan perencanaan daerah tidak
sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Kegiatan monitoring dan evaluasi merupakan bagian tidak
terpisahkan dari kegiatan pengelolaan DAS secara terpadu.
Berdasarkan hasil wawancara pada pemangku kepentingan yang
terlibat dalam pengelolaan DAS menunjukan bahwa monitoring dan
evaluasi yang dilakukan hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan proyek
di lingkup masing-masing institusi pemangku kepentingan tersebut.
Monitoring yang dilakukan lintas instutusi yang dilakukan secara
menyeluruh belum pernah dilakukan. Pelibatan personal dari instansi
lain dalam kegiatan monitoring dan evaluasi hanya terbatas pada
kegiatan fisik di lapang. Hasil monitoring dan evaluasi dari kegiatan
institusi teknis pada umumnya tidak didistribusikan ke institusi teknis
lain yang memiliki kegiatan yang berbeda pada lokasi DAS yang sama.
Institusi di tataran kabupaten yang menerima hasil monitoring dan
evaluasi kegiatan pengelolaan di suatu DAS dari institusi teknis hanya
Bappeda. Mengingat terbatasnya kapasitas yang dimiliki oleh Bappeda
di tataran kabupaten, hasil monitoring dan evaluasi yang telah
dilaporkan pada umumnya hanya dikompilasi dan tidak banyak
diinformasikan atau dimanfaatkan oleh institusi teknis atau pemangku
kepentingan lainnya yang ada di daerah tersebut. Untuk itu dalam
monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS terpadu perlu diciptakan
bagaimana mekanisme monitoring dan evaluasi dilakukan termasuk
parameter-parameternya dan bagaimana informasi hasil monitoring
dan evaluasi tersebut dapat diakses oleh seluruh pemangku
kepentingan termasuk masyarakat.
2. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan DAS
Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah baik di masa
Orde Baru maupun era Reformasi, masih menganut paradigma
pembangunan yang semata-mata menekankan pada pertumbuhan
ekonomi. Sumber daya alam dilihat sebagai modal yang akan tersedia
secara terus-menerus, sementara pengelolaan lingkungan dianggap
sebagai beban. Walaupun, ruang untuk partisipasi masyarakat pada
era reformasi ini sudah lebih besar daripada ketika masa orde baru,
namun bukan berarti masyarakat sudah dapat secara efektif ikut
mempengaruhi kebijakan.
Selama ini pemanfaatan sumber daya alam dilakukan hampir tanpa
melibatkan partisipasi masyarakat, terutama masyarakat setempat.
Masyarakat merupakan unsur pelaku utama, sedangkan pemerintah
sebagai unsur pemegang otoritas kebijakan, fasilitator dan pengawas
yang direpresentasikan oleh instansi-intansi sektoral Pusat dan
| 224 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)
Daerah. Masyarakat berperan penting dalam pengelolaan sumber daya
alam. Peran masyarakat selain relevan bagi mewujudkan kesejahteraan
masyarakat yang merata, berdasarkan prinsip kebersamaan dan
keseimbangan, untuk mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi,
konflik sosial dan budaya dan mewujudkan perlindungan hukum bagi
masyarakat lainnya, juga relevan bagi tujuan untuk melestarikan fungsi
sumber daya alam yang berkelanjutan. Oleh sebab itu peran
masyarakat sangat dibutuhkan untuk mendorong perlindungan
lingkungan hidup dan sumber daya alam.
Dalam banyak hal, suara-suara masyarakat lokal dan marjinal
tetap tidak didengar oleh para pembuat keputusan. Protes terhadap
kebijakan tertentu yang dirumuskan pemerintah dan DPR sering tidak
didengar. Dalam situasi di mana masyarakat tidak dapat
menyampaikan pendapatnya dengan leluasa dan aman, perumusan
kebijakan tetap akan didominasi oleh pemerintah dan legislatif. Hal
ini akan mempertajam konflik yang ada sehingga akan memperburuk
krisis lingkungan dan sumber daya alam.
Agar perannya dapat dilaksanakan, masyarakat harus memiliki
hak-hak mendasar dalam pengelolaan sumber daya alam. Hak harus
dijamin dalam (a) memperoleh keadilan, (b) mendapatkan kesempatan
dalam menikmati hasil pemanfaatan SDA, (c) memperoleh informasi
yang benar, akurat dan tepat waktu, (d) memberikan persetujuan atas
rencana pengelolaan sumber daya alam yang akan berakibat pada
kehidupannya, (e) memperoleh penggantian yang layak atas kondisi
yang dialaminya sebagai akibat dari pemanfaatan SDA, (f) mendapat
perlindungan untuk mempunyai hubungan sepenuhnya dengan SDA
di wilayah negara Indonesia.
Dengan adanya ketentuan tersebut maka masyarakat akan
memiliki peran yang lebih besar dalam proses pembuatan keputusan.
Dengan demikian posisi masyarakat menjadi lebih kuat. Namun, hal
ini dapat menjadi ancaman bagi sektor yang masih mengedepankan
paradigma yang hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi dengan
mengeksploitasi sumber daya alam, sebagaimana yang berlaku selama
ini.
3. Peraturan Perundangan dan Penegakan Hukum
Persoalan krusial yang dihadapi oleh DAS seperti DAS Citarum
adalah menumpuknya peraturan perundang-undangan (UU, PP,
KEPPRES, PERDA, PERMEN, PERGUB, PERBUP) yang
dikeluarkan oleh berbagai instasi baik di pusat maupun daerah terkait
| 225 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
untuk mengelola DAS. Sebagai gambaran, diperkirakan ada sekitar
40-50 peraturan yang terkait dengan pengelolaan DAS Citarum.
Beberapa peraturan perundang-undangan di tataran nasional
(UU dan PP) yang terkait dengan pengelolaan DAS antara lain adalah:
o Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria
o Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
o Undang Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman
o Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
o Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
o Undang Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan
Varietas Tanaman
o Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air
o UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
o Undang Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
o Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Kehutanan
Perikanan
o Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
o Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
o Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang
o Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan
Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peranserta
Masyarakat dalam penataan ruang
o Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan
o Peraturan Pemerintah No 77 Tahun 2001 tentang Irigasi
o Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
o Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 100 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara Koordinator
| 226 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)
o Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara
o Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Departemen
o Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota
Selain banyaknya peraturan perundangan baik di tataran pusat
maupun daerah, penyebab terjadinya kerusakan lingkungan di
kawasan DAS, berdasarkan pengamatan di lapangan adalah lemahnya
penegakan hukum (law enforcement). Diterbitkannya peraturan
perundang-undangan (Undang Undang dan Peraturan Pemerintah)
dengan tujuan agar pengelolaan sumber daya DAS dapat dilakukan
secara tertib dan berwawasan lingkungan. Namun, dalam
kenyataannya peraturan perundang-undangan yang ada sering
dilanggar. Pelanggaran tidak diikuti dengan sanksi maupun hukuman
yang tegas, walaupun sudah dinyatakan secara eksplisit dalam
peraturan perundang-undangan tersebut. Pengawasan dari pihak
berwenang seringkali tidak dilakukan. Kasus yang sering dijumpai di
lapangan adalah pembuangan sampah di drainase atau sungai.
Drainase atau sungai adalah sebagai jalan air yang berfungsi untuk
mengalirkan kelebihan air. Namun, karena drainase atau sungai juga
berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah, maka fungsi drainase
atau sungai tidak dapat berfungsi dengan baik, dan hal ini merupakan
salah satu faktor penyebab terjadinya banjir di wilayah hilir.
Pembuangan sampah ke drainase atau sungai dapat dikatakan sebagai
salah satu contoh bentuk pelanggaran yang dilakukan secara kolektif
dan tidak ada sanksi.
Pelanggaran peraturan perundang-undangan yang juga sering
terjadi adalah adanya bangunan permanen yang didirikan di bantaran
drainase atau sungai. Peraturan tentang garis sempadan sungai telah
diterbitkan namun tetap dilanggar. Penegakan hukum sulit dilakukan
tatkala penghuni atau pemilik bangunan memiliki izin untuk
mendirikan bangunan di sempadan sungai yang dikeluarkan oleh
instansi resmi. Pemilik atau penghuni umumnya juga memiliki bukti
pembayaran pajak bumi dan bangunan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) dan juga bukti pembayaran rekening listrik, sehingga dengan
izin dan bukti pembayaran dianggap sebagai bukti pengesahan untuk
bangunan tersebut.
| 227 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
Pelanggaran peraturan perundang-undangan yang sangat serius
adalah perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali. Hal ini dapat
mengakibatkan dampak negatif baik langsung maupun tidak langsung
terhadap penurunan daya dukung lingkungan dan sumber daya air. Di
daerah hulu DAS pada umumnya memiliki pesona pemandangan
alam yang indah sehingga tumbuh bangunan-bangunan permanen
secara pesat seperti rumah, perumahan elit, hotel dan restoran.
Perubahan fungsi lahan ini berakibat terjadinya banjir di daerah hilir
menjadi lebih besar dan cadangan air di dalam tanah semakin
berkurang.
Dengan melihat kenyataan di lapangan tersebut maka penegakan
hukum perlu terus dilakukan dengan berbagai cara dan upaya.
Beberapa cara dan upaya yang dapat dilakukan antara lain adalah:
o Sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
lingkungan kepada seluruh pemangku kepentingan.
o Perlu adanya shock therapy dengan menerapkan sanksi, denda atau
hukuman maksimal dari peraturan yang ada. Hal ini dimaksudkan
agar pemangku kepentingan menjadi jera dan mau mentaati
peraturan yang berlaku.
o Perlu adanya lembaga pengawasan melekat pada instansi yang
berkompeten, yang berfungsi mengawasi pengelolaan sumber
daya DAS
Dengan diberlakukannya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang diharapkan perubahan tata guna lahan di kawasan
lindung atau konservasi dapat dicegah dan hukum dapat ditegakan
tanpa pandang bulu.
C. Lembaga Pengelolaan DAS
Kesulitan yang dihadapi dalam mengintegrasikan
pengelolaan DAS ke dalam konsep multisasaran seringkali tidak
disadari oleh kebanyakan pengelola DAS. Pada tingkat awal,
dapat saja sasaran atau tujuan pengelolaan didasarkan pada
orientasi sumber daya. Namun pengambil keputusan juga harus
menyadari adanya implikasi pengelolaan multisasaran yang
berorientasi pada wilayah yang harus diperhitungkan, terutama
apabila DAS sebagai unit analisis mencakup wilayah yang luas.
Pengambil keputusan juga harus menyadari bahwa dalam usaha
mengintegrasikan pengelolaan DAS kedalam konsep
multisasaran, kemungkinan akan terjadi benturan kepentingan
mengenai formulasi kebijakan pengelolaan sumber daya dan
| 228 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro
Prahasto)
mekanisme kerja kelembagaan yang terlibat. Agar penggabungan
konsep multisasaran ke dalam pengelolaan DAS dapat berjalan
efektif, diperlukan beberapa hal:
1. Pengukuran output dari berbagai sumber daya yang ada di tempat
tersebut dan alternatif sistem pengelolaan multisasaran yang sedang
diterapkan.
2. Pemahaman tentang besarnya biaya dan manfaat dari masing-
masing aktivitas pengelolaan yang diusulkan.
3. Pengukuran kemungkinan timbulnya dampak di daerah hilir akibat
aktivitas pengelolaan di daerah hulu seperti banjir di daerah hilir
akibat meluasnya konversi hutan menjadi areal non-hutan.
Hal yang sering dijumpai dalam pengelolaan DAS di Indonesia
adalah adanya fragmentasi kegiatan pengelolaan DAS antar
departemen utama yang terkait dan lembaga non-departemen lainnya.
Konsekuensi dari hal tersebut adalah adanya pembagian kewenangan.
Pelaksana pengelolaan DAS di daerah hulu melibatkan Departemen
Kehutanan, Departemen Pertanian dan Departemen Dalam Negeri.
Sementara di daerah tengah dan hilir, Departemen Pekerjaan Umum,
mempunyai wewenang mengelola daerah irigasi. Di daerah hilir
(wilayah pantai) Departemen Kehutanan juga mempunyai wewenang
mengelola hutan mangrove selain Departemen Kelautan dan
Perikanan yang bertanggung jawab terhadap aspek perikanan. Dengan
demikian, keterlibatan dan wewenang masing-masing departemen di
seluruh wilayah DAS adalah saling mengisi. Namun demikian, pada
setiap daerah tersebut dapat ditentukan departemen yang mempunyai
tanggung jawab lebih besar (leading agency). Beberapa departemen
yang juga mempunyai kewenangan terhadap pengelolaan sumber daya
alam DAS dapat disebutkan antara lain Departemen Perindustrian,
Departemen Energi dan Sumber daya Mineral, dan Menteri Negara
Lingkungan Hidup.
Pengelolaan DAS yang efektif selain memerlukan penegasan isu-isu
atau permasalahan penting yang memerlukan penanganan segera juga
pembagian kewenangan pengelolaan. Dengan demikian, masalah
mekanisme koordinasi kelembagaan dalam pelaksanaan program
pengelolaan DAS menjadi salah satu kunci keberhasilan. Selain
masalah kelembagaan dan wewenang pengelolaan sumber daya, tidak
kalah pentingnya adalah perumusan secara jelas permasalahan
biogeofisik (kemerosotan sumber daya hutan, tanah dan air) dan
sosial ekonomi (konflik pemanfaatan sumber daya dan peningkatan
pendapatan petani).
| 229 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
Dalam pengelolaan DAS terpadu mempersyaratkan pendekatan
ekosistem. Pendekatan ekosistem adalah kompleks karena melibatkan
multi-sumber daya (alam dan buatan), multi-kelembagaan, multi-
pemangku kepentingan, dan bersifat lintas batas (administratif).
Dalam konteks Indonesia, pola pengelolaan DAS yang akan
diterapkan masih bertumpu pada mekanisme koordinasi. Oleh
karenanya, koordinasi dalam pengelolaan DAS menjadi elemen
penting untuk terlaksananya pengelolaan DAS secara optimal.
Fungsi koordinasi adalah proses pengendalian berbagai kegiatan,
kebijakan atau keputusan berbagai organisasi/lembaga sehingga
tercapai keselarasan dalam pencapaian tujuan-tujuan dan sasaran-
sasaran umum yang telah disepakai bersama. Koordinasi mencakup
dua aspek, yaitu (i) koordinasi kebijakan dan (ii) koordinasi kegiatan
atau program.
Koordinasi kebijakan secara umum menyerupai koordinasi
dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Pengelolaan
DAS melibatkan beberapa departemen sektoral yang masing-masing
departemen membuat kebijakan pengelolaan sumber daya sesuai
dengan kepentingan sektornya masing-masing. Keadaan ini
mengakibatkan tumpang-tindih kebijakan dan bahkan tabrakan
kepentingan antar departemen sektoral. Untuk mencegah dan atau
menyelesaikan permasalahan tersebut perlu dilakukan koordinasi.
Koordinasi kebijakan dibedakan (i) koordinasi kebijakan preventif
dan (ii) koordinasi kebijakan strategis. Koordinasi kebijakan preventif
bertujuan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya tabrakan
kepentingan antar instansi terkait. Koordinasi kebijakan strategis
ditujukan untuk penyelarasan kebijakan agar tujuan yang telah
ditetapkan dapat tercapai.
Koordinasi program secara umum lebih berkaitan dengan
koordinasi kegiatan administratif. Koordinasi program dibedakan (i)
koordinasi administrasi prosedural dan (ii) koordinasi administrasi
subtansial. Koordinasi administrasi prosedural bertujuan untuk
menciptakan efisiensi administrasi dan konsistensi dalam mencapai
tujuan yang telah disepakati, sedangkan koordinasi administrasi
subtansial bertujuan untuk menciptakan keselarasan kerja dan
kegiatan (sinergi), bagi setiap unit organisasi dan perorangan demi
tercapainya tujuan yang telah disepakai.
Prinsip dasar dalam penyusunan Rencana Pengelolaan DAS
Terpadu adalah mekanisme penyusunannya dilakukan secara
partisipatif. Begitu pula pada kegiatan-kegiatan selanjutnya yaitu
| 230 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)
pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian hasil-hasilnya. Untuk
menjaga keterpaduan agar tetap efektif dapat dilakukan dengan
membentuk forum koordinasi pengelolaan DAS atau
memberdayakan forum sejenis yang telah ada. Pada wilayah yang
belum memiliki forum koordinasi, inisiasi pembentukan forum dapat
dilakukan oleh pemangku kepentingan yang berkepentingan dengan
pengelolaan DAS di wilayahnya. Forum komunikasi yang dibentuk
harus merepresentasikan pemangku kepentingan yang ada di wilayah
DAS dari hulu sampai hilir, seperti unsur pemerintah, dunia usaha,
dan masyarakat. Untuk meningkatkan efektivitas koordinasi dan
partisipasi pemangku kepentingan, harus membangun suatu
komunikasi yang baik dan tata kerja yang jelas yang didasarkan atas
kebersamaan dan diagendakan dalam suatu program kerja. Forum
DAS diarahkan sebagai organisasi non struktural, dan bersifat
independen yang berfungsi untuk membantu memecahkan
permasalahan yang timbul dan merumuskannya secara bersama-sama
dalam wilayah DAS seperti konflik kepentingan antar sektor, antar
pemerintah daerah serta dalam mengintegrasikan berbagai program
dan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.
Organisasi non struktural dalam hal ini dapat berupa Badan
Koordinasi Pengelolaan DAS yang bertanggung jawab kepada
Gubernur untuk DAS lintas kabupaten dan Bupati untuk DAS lokal.
Tugas dari Badan Koordinasi tersebut merumuskan dan menetapkan
kebijakan pengelolaan DAS terpadu yang efisien, dan efektif;
mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS bencana
secara terpadu; dan memberikan pedoman dan pengarahan terhadap
kegiatan pengelolaan DAS.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Masih terikatnya masing-masing sektor oleh target sektoral
dimana masing-masing sektor memiliki target tertentu sehingga
sulit untuk melakukan koordinasi dengan sektor lain.
2. Dalam penyusunan suatu rencana, kebijakan yang dirumuskan
untuk mencapai sasaran perencanaan pada umumnya hanya
melihat dari sisi satu pemangku kepentingan saja yaitu
pemerintah.
3. Adanya fragmentasi kegiatan pengelolaan DAS antar departemen
utama yang terkait dan lembaga non-departemen lainnya sehingga
konsekuensinya adalah adanya pembagian kewenangan yang
saling mengisi.
| 231 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
4. Dalam pelaksanaan tata ruang di suatu daerah, dijumpai banyak
hal yang tidak sesuai dengan yang direncanakan, sehingga
menyebabkan pembangunan sulit dikontrol sehingga terjadilah
kerancuan tata ruang.
5. Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu, pelaksanaan
kegiatan, pemantauan, dan penilaian hasil-hasilnya harus
dilakukan secara partisipatif. Untuk menjaga keterpaduan agar
tetap efektif dapat dilakukan dengan memberdayakan forum
sejenis yang telah ada. Organisasi Pengelolaan DAS bersifat non
struktural dan independen dapat berupa Badan atau Dewan
Koordinasi Pengelolaan DAS.
B. Saran
Untuk meningkatkan efektivitas koordinasi dan partisipasi para pihak,
harus membangun suatu komunikasi yang baik dan tata kerja yang
jelas yang didasarkan atas kebersamaan dan diagendakan dalam suatu
program kerja. Forum DAS yang telah ada diarahkan sebagai
organisasi non struktural, dan bersifat independen yang berfungsi
untuk membantu memecahkan permasalahan yang timbul dan
merumuskannya secara bersama-sama dalam wilayah DAS seperti
konflik kepentingan antar sektor, antar pemerintah daerah serta dalam
mengintegrasikan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai
tujuan bersama. Untuk dapat terciptanya Badan Koordinasi
Pengelolaan DAS perlu adanya payung hukum, minimal dalam
bentuk Keputusan Presiden.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa
Barat, 2002. Degradasi Sumber daya Alam. Website
http://www.bplhdjabar.go.id/index. Diakses pada tanggal
12 Desember 2002
Departemen Kehutanan. 2006. Rancangan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Air
Terpadu (Draft ke 13). Tidak diterbitkan.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 52/Kpts-II/2001 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 100 Tahun 2001
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara Koordinator
| 232 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro
Prahasto)
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2001
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2001
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Departemen
Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2003. Jawaban dan Tanggapan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Dalam Rapat Kerja dengan
Komisi VIII DPR-RI, Masa Sidang II Tahun Sidang 2003-2004
pada 11 November 2003.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2000
tentang Pola dasar Pembangunan Jawa Barat
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota
Pranaji, T. 2005. Transaksi Timpang Antar Kawasan DAS (Hulu-
Hilir) dan The Spirit of (Super) Capitalism.
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah daerah
Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Undang Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
| 233 |
20. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN
SUMBERDAYA AIR DAN HASIL AIR DARI HUTAN1
Oleh:
Purwanto2
ABSTRAK
Salah satu fungsi hutan adalah menyimpan dan mengalirkan air yang
digunakan untuk memasok kebutuhan air areal lahan-lahan di bagian hulunya.
Pemanfaat air baik yang berasal dari hutan maupun penggunaan lahan lainnya
berbeda-beda tergantung dari kebutuhannya karena perbedaan penggunaan
lahan atau karena kebutuhan zat air itu sendiri. Peraturan perundang-
undangan tentang pengelolaan air dan sumberdaya air sudah dalam bentuk
Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 2004 namun aturan pelaksanaannya
masih sering berbeda antara satu sektor dengan sektor lainnya. Pemanfaat air
terbesar adalah untuk keperluan irigasi kemudian disusul yang lain seperti
untuk PDAM, industri, rumah tangga, dll. Pemanfaatan air dari hutan
sebaiknya dilakukan secara kolaboratif manajemen dan sebagai leading sektor
adalah Gubernur, cq Bappeda Propinsi sebagai lembaga perencana dan
pengendalian. Sedangkan institusi lain baik pemerintah maupun swasta turut
mengambil bagian sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Kajian kelembagaan
yang sebaiknya dilakukan antara lain: a). kajian peraturan pelaksanaan dan
perundangan yang terkait serta kebijakan yang diambil oleh masing-masing
sektor, 2). kajian kelembagaan dan kompensasi hulu hilir, 3). Kajian pola
pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh sektor-sektor terkait, dan 4). Kajian
kelembagaan internasional untuk mengatasi masalah perubahan iklim.
I. PENDAHULUAN
1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
2 Peneliti Madya Bidang Ekonomi Sumberdaya Alam, Balai Penelitian Kehutanan
Solo, Jl. A. Yani, Pabelan, Surakarta, tlp. 0271 716709, email:
purwanto_fris@yahoo.com
| 234 |
Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)
penyimpanan air tanah (Darsono, 1992). Kondisi tersebut
menyebabkan hutan dapat menghasilkan air yang terus menerus baik
dalam musim hujan maupun kemarau.
Distribusi air secara spasial dari hulu ke hilir melewati berbagai
penggunaan lahan sehingga air dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan. Disamping itu air juga memiliki potensi daya yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan zat air itu sendiri maupun
sumber tenaga mekanik dan listrik sehingga berbagai lembaga
maupun perorangan memanfaatkan air sesuai dengan kebutuhannya.
Akibat dari berbagai pemanfaatan tersebut, terdapat berbagai
organisasi dan lembaga pemanfaat air. Organisasi dan lembaga
tersebut masih berdiri sendiri atau koordinasinya masih lemah bahkan
terkadang terjadi konflik kepentingan.
Indonesia yang terletak di daerah tropis memiliki dua musim,
sehingga pada saat tertentu air berlimpah bahkan menimbulkan
banjir sedangkan pada saat musim kemarau terjadi kekeringan. Pada
saat banjir sering terjadi saling menyalahkan antar pihak pengelola
lahan di hulu yang kebanyakan adalah kawasan hutan dengan
masyarakat di hilir sedangkan pada saat musim kemarau sering terjadi
konflik pemanfaatan akibat defisit air.
Dari aspek legal formal, pengelolaan air dan sumberdaya air
telah memiliki payung hukum yaitu Undang-Undang (UU) No. 7
tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Peraturan pelaksanaannya sudah
banyak walaupun Peraturan Pemerintah yang menjabarkan UU No. 7
tahun 2004 tersebut masih dalam proses penerbitan. Masalah yang
muncul dalam aspek peraturan perundang-undangan adalah di tingkat
pelaksanaan dimana masing-masing sektor mengeluarkan peraturan
dan kurang pas dengan peraturan dari sektor lain.
Persepsi masyarakat tentang air dan sumber daya air adalah
anugrah Tuhan Yang Maha Esa sehingga masyarakat tidak perlu
membayar atau turut mengelola kawasan hutan sebagai pengatur tata
air. Demikian juga persepsi salah tentang konservasi air anggota
masyarakat, bahwa konservasi hanya dilakukan di sekitar lokasi
sumber air bukan konservasi seluruh daerah tangkapannya.
Dalam sektor kehutanan, air diharapkan merupakan salah satu
hasil hutan non kayu yang saat ini masih merupakan barang publik,
belum merupakan barang ekonomi. Namun dengan adanya Undang-
undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air: Pasal 45 ayat 2
dan 3, pengusahaan sumberdaya air dapat dilaksanakan oleh Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, perseorangan, badan
| 235 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250
usaha, atau kerjasama antar badan usaha berdasarkan izin
pengusahaan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Pasal 45,
ayat 1menyebutkan bahwa pengusahaan sumberdaya air
diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian
lingkungan hidup. Berdasarkan Undang-undang tersebut
dimungkinkan adanya perubahan air sebagai barang publik menjadi
barang ekonomi. Perubahan air dari barang publik menjadi barang
ekonomi akan menimbulkan potensi konflik. Di sisi lain, air
merupakan kebutuhan vital bagi kehidupan sehingga World Water
Forum Ke- 2 di Den Haag, 17-22 Maret 2000, merekomendasikan
bahwa semua pihak wajib mengusahakan pengelolaan sumberdaya air
secara integral agar semua orang dapat memiliki akses pada air yang
aman untuk dikonsumsi (Heynardhi dan Wermasubun, 2004).
Untuk menghindari konflik pemanfaatan air dan untuk
menjaga kelestarian sumberdaya air, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air perlu dibentuk lembaga
pengelolaan sumberdaya air untuk masing-masing Daerah Aliran
Sungai (DAS). Makalah ini menyajikan beberapa hasil kajian analisis
kelembagaan pengelolaan sumberdaya air yang berasal dari hutan.
Tujuan Makalah ini adalah menyampaikan potret pengelolaan
sumberdaya air dan rekomendasi kelembagaan ke depan dalam
pengelolaan sumberdaya air dalam suatu DAS.
II. BEBERAPA PENGERTIAN
A. Kelembagaan atau Institusi
Menurut Kartodihardjo et al. (2000) terdapat empat faktor
kunci yang berpengaruh terhadap kinerja pembangunan yaitu: 1).
sumberdaya alam (natural capital), 2). sumberdaya manusia (human
capital), 3). sumberdaya buatan manusia (man made capital) dan 4).
pranata institusi formal maupun informal masyarakat (social capital).
Lembaga dapat diartikan sebagai organisasi untuk membantu
masyarakat dengan tujuan yang lebih spesifik (Awang, 2001).
Lembaga juga dapat diartikan sebagai suatu perangkat aturan yang
mengatur atau mengikat dan dipatuhi masyarakat. Aturan – aturan
tersebut menentukan tatacara, kerjasama dan koordinasi dengan
masyarakat dalam pemantauan serta membantu mereka dalam
menentukan hak serta kewajiban masing – masing (Hayami dan
Kikuchi dalam Kasryno, 1984). Menurut Pakpahan (1990) dalam
Kartodiharjo (1998), kelembagaan (institusi) adalah suatu sistem yang
komplek, rumit, abstrak, mencakup ideologi, hukum, adat istiadat,
aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Darmawan
| 236 |
Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)
(2001) mendefinisikan kelembagaan sebagai organisasi dan pranata
yang didalamnya meliputi infrastruktur pendukung seperti aturan-
aturan, wewenang, mekanisme dan sistem pendanaan masing-masing
lembaga.
Menurut Ruttan dan Hayami dalam Djogo, et al. (2003) lembaga
adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi
yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu
mereka dengan harapan dimana setiap orang dapat bekerja sama atau
berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama
yang diinginkan. Pendapat yang hampir sama disampaikan oleh
Schmidt (1987), bahwa institusi merupakan seperangkat ketentuan
yang mengatur masyarakat, dimana masyarakat tersebut telah
mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, bentuk-bentuk
aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak
lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan, serta tanggungjawab
yang harus mereka lakukan. Hak-hak dan kewajiban tersebut
mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat
dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu.
Institusi juga dapat diartikan sebagai inovasi manusia untuk mengatur
atau mengontrol, interdependensi antar manusia terhadap sesuatu,
kondisi atau situasi melalui inovasi dalam hak kepemilikan, aturan
representasi, atau batas yurisdiksi.
Kelembagaan dan kehutanan dapat dilihat sebagai hal yang
saling berkaitan erat di dalam suatu sistem desa yang utuh. Sebutan
desa mengandung arti bahwa dalam satu ruang tempat kehidupan
berproses, hubungan antar subsistem sangat erat. Subsistem
kehutanan, subsistem pertanian, pemasaran, pengairan atau subsistem
manusia saling terkait satu sama lainnya (Awang, 2001).
Menurut Gilmann (1995) dalam Awang (2001) di desa terdapat
lembaga yang erat atau berkaitan antar subsistem dengan subsistem
lainnya, sumberdaya hutan, padang penggembalaan, sumberdaya air
akan berkaitan erat dengan usaha tani masyarakat dan sistem
peternakan di desa. Sedangkan Ostorm (1990), Poffenberger (1990),
Branley et al. (1992), Becker dan Gibson (1996) dalam Awang (2001)
menyatakan bahwa di banyak negara dunia ketiga, kebijakan
konservasi sumberdaya alam pada tiga dasa warsa terakhir ini telah
berubah fokus orientasinya pada kebijakan terpusat kepada negara ke
arah pemecahan masalah pada tingkat Kabupaten dan Propinsi. Para
pemikir mempunyai kesamaan pandang bahwa untuk mencapai
tingkat keberhasilan pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat
lokal, perlu diarahkan pada tiga persoalan fundamental:
| 237 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250
1. Sumberdaya hutan harus dapat memberi manfaat pada masyarakat
lokal,
2. Property right tiap individu harus dikembangkan bagi mereka yang
menggunakan sumber daya hutan, sehingga memungkinkan
mereka memperoleh manfaat,
3. Individu masyarakat tingkat Kabupaten dan Propinsi harus
mempunyai kemampuan membangun lembaga-lembaga mikro
untuk mengatur penggunaan sumber daya hutan.
Sebagian pakar setuju bahwa aspek penentu keberhasilan
penggunaan sumberdaya hutan ditentukan oleh faktor-faktor
pemanfaatan tingkat lokal, pemilihan sumber daya hutan dan
kelembagaan ( Becker et al., dalam Awang 2001).
Institusi merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit dan
abstrak yang mencakup idiologi, hukum, adat istiadat, aturan dan
kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Institusi mengatur apa
yang dilarang dikerjakan oleh individu (perorangan atau organisasi)
atau dalam kondisi bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu.
Oleh karena itu institusi adalah instrumen yang mengatur hubungan
antar individu (Kartodiharjo et al. (2000)
Menurut Schmidt (1987), North (1991) dan Barzel (1993) aturan
main merupakan bentuk institusi yang menentukan interdependensi
antar individu atau kelompok masyarakat yang terlibat. Implikasi
bentuk interdependensi tersebut menurut Schmidt (1987)
mengakibatkan siapa mendapatkan apa dalam suatu sistem ekonomi
tertentu.
Dalam ekonomi kelembagaan, situasi yang melekat pada kapital,
seperti inkompabilitas, biaya eksklusi, biaya transaksi, dampak
bersama yang ditimbulkannya, skala ekonomi dan surplus,
memberikan pengaruh yang kuat terhadap bentuk interdependency antar
pelaku ekonomi yang terlibat dalam pemanfaatan kapital tersebut
(Kartodiharjo, 1995). Sumberdaya air apabila berubah dari barang
publik menjadi barang ekonomi, akan berubah dari barang publik
menjadi kapital yang sifat kepemilikannya lebih ke quasi private goods,
secara eksklusif tidak dapat ditetapkan. Kartodiharjo (1995) lebih
lanjut menyatakan, kebijakan ekonomi tanpa mampu mengendalikan
situasi kapital tersebut dianggap tidak akan mampu mengubah
perilaku ekonomi untuk mencapai kinerja (performance) yang
diharapkan.
Pada saat ini sumberdaya air dan air dikelola dan dimanfaatkan
oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sendiri. Menurut Fauzi
| 238 |
Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)
(2004) alokasi sumberdaya air yang dilakukan pemerintah memiliki
beberapa kelebihan dan kekurangan. Dinar et al. (1997) menyatakan
bahwa alokasi yang dilakukan publik atau pemerintah dapat menjawab
aspek pemerataan (equity) dalam pengelolaan sumberdaya air karena
pemerintah dapat mengalokasikan air ke daerah yang tidak mencukupi
sehingga masyarakat miskin dapat mengakses air. Disisi lain alokasi
pemerintah sering harus dibarengi oleh subsidi untuk membantu
alokasi air ke daerah-daerah dengan tingkat kebutuhan yang tinggi
namun kemampuan membayarnya rendah.
B. Fungsi Hutan dalam Siklus Hidrologi
Hidrologi hutan adalah ilmu yang berkaitan dengan gerakan-
gerakan masa dan perubahan fase cair dalam suatu lingkungan hutan.
Parameter hidrologi hutan diukur dengan peneracaan air. Peneracaan
air merupakan suatu metode kuantitatif aliran masa dan transformasi
yang dapat dibuktikan dengan pengukuran langsung (Lee, 1990).
Menurut Dumairy (1992) unsur-unsur yang mempengaruhi
kualitas air dapat dikategorikan menjadi: fisik, kimia dan biologi.
Unsur-unsur fisik meliputi: pancaran pengaman aquifer, variasi aliran,
kandungan minyak, radioaktifitas, kandungan zat terlarut dan suhu.
Unsur-unsur kimiawi meliputi: keasaman dan kebasaan, kebutuhan
oksigen biokimiawi, kandungan oksigen terlarut, nutrien, dan
kandungan senyawa beracun. Unsur-unsur biotik meliputi: kandungan
baksil, kotoran, dan kehidupan aquatik.
Hutan dan bentuk vegetasi lain mempunyai peranan penting
dalam daur hidrologi. Dengan adanya hutan lebih banyak air yang
meresap ke dalam tanah. Sebagian lagi terserap oleh serasah di atas
lantai hutan.Hutan mempunyai laju evapotranspirasi yang besar
sehingga dengan adanya hutan lebih banyak air yang menguap
daripada bila tidak ada hutan. Karena air yang meresap ke dalam
tanah dan yang menguap lebih banyak dan sebagian lagi terserap oleh
serasah maka air yang mengalir di atas permukaan tanah lebih sedikit
(Soemarwoto, 1994).
Air yang masuk ke dalam tanah, sebagian akan keluar sebagai
mata air di tempat lain. Air yang terserap di dalam serasah perlahan-
lahan akan lepas lagi, selama serasah itu mengandung air di atas titik
jenuh. Dengan demikian air tanah dan air yang terserap dalam serasah
merupakan simpanan air yang tersedia lama setelah hujan jatuh. Jadi,
walaupun hutan mengurangi jumlah total air yang tersedia tetapi
distribusi sepanjang tahun menjadi lebih baik. Banjir pada musim
| 239 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250
hujan dan kekeringan pada musim kemarau dapat dikurangi
(Soemarwoto, 1994).
C. Landasan Teoritis
Teori yang digunakan sebagai landasan kajian makalah ini adalah
teori kelembagaan. Teori kelembagaan yang dipilih yaitu teori
kelembagaan Kartodiharjo (1995) yaitu kelembagaan terdiri dari
struktur, kognitif, normatif, dan regulatif serta aktifitas yang
memberikan stabilitas dan makna bagi perilaku sosial. Teori ini
diperjelas oleh pendapat Geertz, Meyer, dan Zucker (Scott, 1995)
yaitu menekankan sentralitas unsur kognitif dalam lembaga dan teori
kelembagaan Scott (1995) yang bertumpu pada pilar normatif (Scott,
1995).
III. BEBERAPA HASIL KAJIAN KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN AIR
A. Peraturan Pengelolaan Air dan Sumberdaya Air
Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan yang
sudah diamandemen, pada pasal 33 dinyatakan tanah, air dan
kekayaan di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat. Undang-undang No. 7 tahun
2004 tentang Sumberdaya Air, Pasal 1 ayat 7 menyebutkan bahwa
Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan,
melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan
konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya rusak air. Di dalam Undang-undang No. 41 tahun
1999, pasal 3 dikatakan penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan
dengan meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai. Berdasarkan
UUD 1945 dan UU di atas maka pengelolaan hutan merupakan
bagian dari pengelolaan sumberdaya alam yang salah satunya adalah
air dan sumberdaya air untuk kesejahteraan masyarakat dan menjaga
kelestariannya.
Berbagai Peraturan pelaksanaan seperti: 1). Keputusan Menteri
Pemukiman dan Prasarana Wilayah No. 341/KPTS/M/2002 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian Izin Penggunaan Air dan Atau
Pemanfaatan Sumber-sumber Air di Wilayah Sungai Bengawan Solo
Kepada Gubernur Jawa Tengah dan Gubernur Jawa Timur, 2).
Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah No.
330/KPTS/M/2004 tentang Penetapan Tarif Biaya Jasa Pengelolaan
Sumberdaya Air (d/h Iuran Pembiayaan Eksploitasi dan
Pemeliharaan Prasarana Pengairan) Perum Jasa Tirta I untuk
| 240 |
Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)
Perusahaan Air Minum di Wilayah Sungai Bengawan Solo Propinsi
Jawa Tengah. Di tingkat Propinsi terdapat Peraturan Daerah yang
mengatur pengelolaan air dan sumberdaya air misalnya: 1). Peraturan
Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 13 yang merupakan
penyempurnaan PERDA Propinsi Jawa Tengah No. 9 tahun 2002
tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan dan 2).
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 20 tahun 2003 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Lintas
Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah.
Dari aspek legal formal tampaknya peraturan yang memayungi
pengelolaan air dan sumberdaya air sudah cukup lengkap. Dari UUD
1945 sampai peraturan pelaksanaannya relatif lengkap. Namun setelah
keluarnya UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya air diperlukan
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan kemudian
dilakukan penyesuaian terhadap peraturan-peraturan di bawahnya.
Bagiamana Peraturan Pemanfaatan air dari kawasan hutan?
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007,
pasal 1 ayat 17, menyatakan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu
yang selanjutnya disingkat IPHHBK adalah izin untuk mengambil
hasil hutan berupa bukan kayu pada hutan lindung dan/atau hutan
produksi antara lain berupa rotan, madu, buah-buahan, getah-
getahan, tanaman obat-obatan, untuk jangka waktu dan volume
tertentu. Di dalam Peraturan Pemerintah ini air dan sumberdaya air
tidak disebut secara eksplisit sebagai hasil hutan bukan kayu.
Beberapa contoh ijin pemanfaatan air antara lain: pemanfaatan
sumber air dari hutan lindung Baturaden oleh PDAM Kabupaten
Banyumas dilakukan dengan menggunakan ijin pemanfaatan sumber
air yang telah disetujui dengan SK Menteri Kehutanan
837/Menhut/II/1992. Masa berlaku ijin pemanfaatan air tersebut
berakhir pada tahun 1999. PDAM Banyumas diwajibkan membayar
pajak kepada Pemerintah daerah Tingkat I Jawa Tengah sebesar Rp.
12.500.000,- setiap tahunnya. Pembayaran pajak air ini didasarkan
pada Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 9 Tahun 2002
tetang Pajak Pengambilan Air Bawah Tanah.dan Air Permukaan
(Purwanto, 2005).
Pemanfaatan air untuk pembangkit turbin PLTA Ketenger,
Baturaden, Banyumas dimulai tahun 1938 oleh Belanda. Tidak
diperoleh informasi perijinan pemanfaatan air oleh PLTA Ketenger
ke Perum Perhutani KPH Banyumas Timur. Namun oleh Pemerintah
Propinsi Jawa Tengah, PT. Indonesia Power, Banjarnegara sebagai
unit usaha yang salah satu kegiatannya mengelola PLTA Ketenger,
| 241 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250
diberi beban pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan
sebesar Rp. 5,-/kilowatt listrik yang dihasilkan. Pajak tersebut
disetorkan kepada Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Jawa Tengah
(Purwanto, 2005).
Dari contoh di atas Peraturan yang memayungi pemanfaatan air
relatif sudah lengkap, namun demikian di masa depan perlu
dipikirkan aturan main untuk pemanfaatan air dan sumberdaya air
dari hutan untuk kelestarian hutan itu sendiri maupun air dan
sumberdaya air yang dimanfaatkan.
B. Pemanfaat Hasil Air
Informasi siapa atau lembaga apa yang memanfaatkan dalam
suatu DAS sudah banyak diketahui oleh masyarakat. Lembaga terkecil
yang memanfaatkan air adalah keluarga, kemudian kelompok
masyarakat misalnya Persatuan Petani Pemakai Air (P3A), kemudian
untuk memfasilitasi dan pengelolaan air di tingkat Kabupaten
dibentuk Dinas Pengairan Kabupaten. Di tingkat Propinsi dibentuk
Direktorat Sumberdaya Air, Balai Pengelolaan Sumberdaya Air
(BPSDA), Departemen Kehutanan membentuk Direktorat
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan untuk DAS-DAS besar
dibentuk Balai Besar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Di Departemen Pekerjaan Umum
dibentuk, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air, Balai
Sungai, dan Perum Jasa Tirta. Lembaga pemanfaat air misalnya
PDAM untuk memasok kebutuhan air rumah tangga dan industri,
Indonesia Power untuk pembangkit listrik dan sebagainya. Yang
masih menjadi masalah adalah koordinasi seluruh pengelola,
pendistribusi dan pemanfaat masih lemah. Terkadang masing-masing
lembaga memiliki sistem rencana, implementasi dan monitoring
sendiri-sendiri. Karena pengelolaan air dan sumberdaya air
merupakan bagian dari pembangunan wilayah seharusnya Badan
Perencana Pembangunan baik di tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi
atau BAPPENAS tergantung dari hirarkhi Daerah Aliran Sungai,
sebagai leading sektor untuk pengelolaan air dan sumberdaya air
sedangkan sektor lain harus mengikuti rencana yang sudah dibangun
oleh Badan Perencana Pembangunan.
Permasalahan yang lain adalah belum banyak diketahui berapa
dan bagaimana aturan main dalam pemanfaatan air atau sumber air
tersebut. Beberapa hasil kajian tentang siapa pemanfaat air dan
berapa besarnya disampaikan sebagai berikut: Pemanfaat air yang
paling besar dari suatu DAS adalah untuk kepentingan irigasi: + 75 %
| 242 |
Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)
untuk DAS Bengawan Solo dan + 70% untuk DAS Citarum (Paimin,
2005). Purwanto (2005) menyatakan hasil air dari hutan lindung
Baturraden dimanfaatkan untuk kegiatan wisata, Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) Kabupaten Banyumas, sumber air untuk hotel,
MCK masyarakat, irigasi, peternakan, dan sumber air untuk
Pembangkit Listrik Tenaga Air Ketenger.
Kegiatan wisata yang memanfaatkan air dari hutan lindung
Baturraden adalah: 1). Sunber air panas Pancuran Tujuh dan kamar
mandi air panasnya, 2). Pancuran Tiga, 3). Goa Sarabadak 4). Telaga
Sunyi, 4). Bumi Perkemahan, 5). dan 6). Loka Wisata. Sumber air
panas Pancuran Tujuh dan Pancuran Tiga digunakan untuk rekreasi
mandi air panas dan lulur belerang, keindahan pancurannya dan alam
sekitarnya. Pemanfaat kedua air dari hutan lindung Baturraden adalah
PDAM Kabupaten Banyumas. Total potensi air yang dapat digunakan
untuk air minum dari Baturraden adalah 509,6 liter/detik (Purwanto,
2005).
PLTA Ketenger memanfaatkan langsung dari hutan lindung
Baturraden di hulu sungai Banjaran. PLTA menyudet Sungai
Sarbadak dan mengalirkan air dari hulu S. Banjaran ke Bendungan
Muntu sebagai Bendungan Pengatur (regulator dam) sebelum dialirkan
ke turbin PLTA Ketenger melalui pipa besi. Di bagian lebih hilir dari
Sungai Banjaran, - + 3 km dari hutan lindung - dibangun dam Jepang
untuk menambah debit air ke PLTA Ketenger. PLTA Ketenger
memanfaatkan air sebesar + 49.373.302 m3/tahun (Purwanto,
2005).
C. Persepsi Masyarakat tentang Pemanfaatan Air
1) Persepsi Pengelolaan Hutan tentang Air
Setelah kayu sebagai produk utama hutan sudah mulai berkurang
maka pemangku hutan mulai melihat hasil hutan bukan kayu sebagai
alternatif hasil hutan yang bernilai ekonomi termasuk di dalamnya air.
Namun demikian akibat adanya perundang-undangan maka air tidak
bisa dipungut sebagai provisi hasil hutan. Kajian nilai ekonomi air dari
hutan sudah banyak dilakukan untuk mengantisipasi bila air dapat
dijadikan barang ekonomi.
Disisi lain, apabila terjadi banjir yang berasal dari kawasan hutan,
pemangku kawasan sering dimintai pertanggungjawaban. Hal ini perlu
pemahaman bahwa banjir merupakan bagian dari resiko pengelolaan
kawasan. Untuk itu pemantauan kawasan terkait dengan bahaya banjir
dan tanah longsor harus dimasukan ke dalam bagian dari manajemen
| 243 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250
kawasan hutan sehingga tidak terjadi banjir dan tanah longsor atau
kerugian yang diakibatkan dapat diminimalkan.
2) Persepsi Pengguna Air
Kajian persepsi masyarakat tentang pemanfaatan air yang
hulunya berada di kawasan hutan yang dilakukan di Sub DAS Pelus
dan Sub DAS Banjaran tanpaknya cukup mewakili persepsi
masyarakat pengguna air pada umumnya. Purwanto (2005)
menyatakan Pengelola areal wisata Baturraden (PT. Palawi dan Dinas
Pariwisata Kabupaten Banyumas) sebagai salah satu pemanfaat
sumberdaya air hutan lindung sangat faham pentingnya sumberdaya
air sebagai aset pengembangan pariwisata yang dikelolanya. Sumber
daya air baik air panas maupun air biasa merupakan aset daya tarik
wisatawan. Namun kedua pengelola wisata tidak membayar provisi ke
BKPH Gunung Slamet Barat sebagai pengelola kawasan hutan
lindung Baturraden. Mereka mengganggap sumberdaya air tersebut
sebagai endowment resource dan barang publik yang dapat
dimanfaatkan tanpa harus memberi korbanan dalam bentuk biaya
pemanfaatan.
Manajemen PDAM Kabupaten Banyumas mengetahui betapa
pentingnya konservasi sumberdaya air. Namun pemahamannya tidak
komprehensif. Salah satu usaha untuk melestarikan sumberdaya air
yang dimanfaatkan, telah dilakukan penghijauan di sekitar sumber air
Ketenger dengan lebar + 50 m dari sumber air. Konsep pengelolaan
DAS belum diterapkan dalam kegiatan konservasi sumberdaya air
tersebut, karena hulu dari sumber air Ketenger adalah Sub DAS
Gemiwang sehingga untuk melestarikan sumber air Ketenger
pengelolaan Sub DAS Gemiwang seharusnya yang dilakukan.
Tentang provisi sumberdaya air dari hutan lindung Baturraden,
manajemen PDAM juga tidak merasa berkewajiban membayar provisi
ke Perum Perhutani KPH Banyumas Timur karena telah membayar
pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan ke Dinas
Pendapatan Daerah Propinsi Jawa Tengah (Purwanto, 2005).
Selanjutnya Purwanto (2005) mengatakan bahwa untuk masyarakat
pemakai air dari hutan lindung yang digunakan untuk irigasi ada dua
kelompok; satu kelompok yaitu masyarakat Desa-desa Karangsalam,
Kotayasa, dan Limpakuwus mengetahui bahwa air irigasi yang
dimanfaatkan berasal dari hutan lindung yang berada di hulu Sungai
Pelus sedangkan masyarakat Desa-desa Karangnangka, Beji, dan
Bobosan yang mendapatkan air dari bendungan Karangnangka, Beji
dan Bobosan di Sungai Banjaran yang hulunya merupakan hutan
lindung Baturraden merasa tidak mendapatkan air dari hutan lindung
Baturraden karena jarak terdekat bendungan dengan hutan lindung
| 244 |
Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)
sejauh 7,1 km. Padahal pengukuran yang dilakukan pada akhir musim
kemarau tahun 2006, proporsi air hutan lindung yang digunakan
untuk irigasi di masing-masing: Dam Karang Nangka 57,86%, Dam
Beji 39,14%, dan Dam Bobosan 37,69% dari debit air masing-masing
sebesar 1,0 m3/detik, 1,6 m3/detik, dan 0,6 m3/detik. Masyarakat
Desa-desa Karangsalam, Kotayasa dan Limpakuwus merasakan
betapa pentingnya sumberdaya air dari hutan lindung Baturraden.
Namun mereka mengganggap bahwa sumberdaya air merupakan
sumberdaya berkah dari Tuhan (endowment resouce) yang cara
mendapatkannya tidak perlu membayar.
Ada dua alasan, kenapa petani yang memanfaatkan air irigasi
tidak perlu membayar air. Pertama, rata-rata petani hidup dalam
kemiskinan. Menurut Shiva (2003) alam memberi air secara cuma-
cuma, membeli dan menjual demi keuntungan merupakan tindakan
yang mencederai hak inheren manusia atas anugrah alam dan
menyangkal hak-hak masyarakat miskin. Kedua, pertanian pangan
merupakan program Pemerintah untuk mempertahankan ketahanan
pangan. Namun demikian petani harus diberi pengertian bahwa air
merupakan barang ekonomi yang nilainya cukup besar sehingga
petani memanfaatkan air secara efektif dan efisien.
Pengelola PLTA Ketenger sangat faham pentingnya konservasi
cachment yang mengeluarkan air untuk penggerak turbin yang
digunakannya. Mereka sadar pentingnya kesehatan cachment karena
pada waktu musim kemarau debit air yang digunakan lebih kecil
sehingga produksi listriknya pun menjadi kecil. Namun apabila
ditanya apakah bersedia membayar provisi untuk pengelolaan hutan
lindung di hulu, mereka mengatakan bahwa sudah membayar pajak
pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan sebesar Rp. 5,-
/kilowatt listrik yang dihasilkannya.
3) Organisasi Pemanfaatan Hasil Air
Para pihak (stake holders) yang terkait dengan pemanfaatan hasil
air dari hutan adalah seluruh pemangku kawasan atau lahan,
pendistribusi air misalnya Jasa Tirta dan PDAM dan pemanfaat air
baik untuk irigasi, industri maupun untuk kebutuhan rumah tangga.
Pemangku kawasan hutan yang terkait dengan hasil air antara lain:
pengelola hutan lindung yang di Pulau Jawa diberikan kepada Perum
Perhutani dan di luar Jawa di serahkan kepada Dinas Kehutanan,
Pemangku hutan produksi yang di P. Jawa oleh Perum Perhutani dan
di luar Jawa oleh pemegang HPH serta organisasi yang terkait dengan
pengelolaan air dan sumberdaya air untuk tingkat Propinsi adalah 1).
Bappeda Tingkat I yaitu yang mempunyai tugas pokok
| 245 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250
mempersiapkan bahan penyusunan perencanaan program
pemanfaatan sumberdaya alam, pengairan, pembangunan sarana
prasarana perhubungan dan pariwisata serta pembangunan tata ruang
dan tata guna tanah. Di Bappeda tingkat Kabupaten ada Sub Bidang
Pengairan yang memiliki tugas pokok mempersiapkan bahan
penyusunan rencana dan program pengairan. Untuk Dinas
Kehutanan Kabupaten yang terkait dengan pemanfaatan hasil air,
terdapat Sub Dinas Konservasi Perlindungan yang terdapat salah satu
Seksi Konservasi Lahan dimana memiliki tugas menyusun pedoman
konservasi lahan, dukungan teknis konservasi lahan, dan
menyelemnggarakan pengawasan dan pengendalian konservasi lahan.
Lembaga pengelolaan sumberdaya air dan pemanfaatan air
sebaiknya dalam bentuk manajemen bersama (collaborative management).
Pengelolaan sumberdaya air dan pemanfaatan air dari hutan harus
didasarkan fungsi manajemen yaitu: perencanaan, implementasi,
monitoring dan evaluasi. Penyusunan rencana harus dilakukan
bersama dan diusulkan agar Gubernur c.q Bappeda sebagai leading
sector dan Dinas Pengairan dalam pengelolaan Air dan Sumberdaya
Air lintas Kabupaten. Karena pada saat ini, Pemangku hutan
merupakan salah satu institusi yang bertugas untuk memelihara
kelestarian kawasan hutan agar fungsi hutan sebagai pengatur tata
masih berjalan dengan baik. Implementasi dilakukan oleh masing-
masing stakeholder dan masyarakat sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya sedangkan monitoring dan evaluasi dilakukan oleh semua
pihak ditambah dengan LSM yang konsern terhadap pengelolaan
sumberdaya air dan pemanfaatan air dari hutan. Pembiayaan
diusahakan dari provisi sumberdaya air yang digunakan untuk
kegiatan komersial. Namun demikian dalam pemanfaatan tersebut
jangan sampai terbentuk masyarakat transaksional (Soros, 1998),
dimana hubungan sosial semata-mata didasarkan pada kepentingan
ekonomi dan mengabaikan nilai-nilai kemanusian yang lebih luas.
D. Riset Kelembagaan Pengelolaan Air
Penelitian kelembagaan pengelolaan hasil air tidak terlepas dari
permasalahan baik fisik maupun sosial ekonomi pemanfaatan air.
Permasalahan fisik antara lain: 1). kualitas dan kuantitas air yang
berasal dari kawasan hutan belum banyak dilakukan pengamatan, 2).
Distribusi air secara spasial dan proporsi sumbangan volume air di
lokasi tertentu dari bagian Daerah Aliran Sungai juga belum banyak
diketahui, 3). Kebutuhan air untuk masing-masing penggunaan lahan
masih perlu lebih banyak dilakukan kajian. Permasalahan sosial
ekonomi antara lain: 1). Adanya tumpang tindih undang-undang,
| 246 |
Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)
peraturan pelaksanaan antar sektor diperlukan kajian peraturan
pelaksanaan dan perundangan yang terkait serta kebijakan yang
diambil oleh masing-masing sektor, 2). Hubungan hulu hilir dalam
pemanfaatan air dan sumberdaya air sering terjadi konflik
kepentingan sehingga perlu kajian kelembagaan dan kompensasi hulu
hilir, 3). Karena air mengalir melalui berbagai pemanfaatan lahan
diperlukan kajian pola pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh
sektor-sektor terkait, dan 4). Adanya perubahan iklim menyebabkan
gangguan terhadap ketersediaan air maka diperlukan kajian
kelembagaan internasional untuk mengatasi masalah tersebut.
A. Kesimpulan
B. Saran-saran
1. Diperlukan kelembagaan yang anggotanya meliputi seluruh
stakeholder baik pengelola maupun pemanfaat air dari hutan.
2. Penyelesaian konflik kepentingan antara beberapa stakeholder
dapat diselesaikan melalui pemahaman bersama tentang
pentingnya hutan sebagai pengatur tata air namun bukan berarti
hutan dibiarkan tanpa dapat dimanfaatkan untuk produksi kayu
dan non kayunya asal prinsip-prinsip kelestariannya
dipertahankan.
3. Kajian kelembagaan yang sebaiknya dilakukan antara lain: a).
kajian peraturan pelaksanaan dan perundangan yang terkait serta
| 247 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250
kebijakan yang diambil oleh masing-masing sektor, b). kajian
kelembagaan dan kompensasi hulu hilir, c). kajian pola
pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh sektor-sektor terkait,
dan d). kajian kelembagaan internasional untuk mengatasi
masalah perubahan iklim.
DAFTAR PUSTAKA
| 248 |
Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)
Kartodihardjo, H. 1998. Peningkatan Kinerja Pengusahaan Hutan
Alam Produksi Melalui Kebijaksanaan Penataan Institusi.
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kartodiharjo, H., K. Murtilaksono, H.S. Pasaribu, U. Sudadi, dan N.
Nuryantono. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan
Konservasi Tanah. Kelompok Pengkajian Pengelolan
Sumberdaya Berkelanjutan (K3SB). Bogor.
Kasryno, F. 1984. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan
Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Lee, R. 1990. Hidrologi Hutan (Terjemahan Forest Hydrology oleh
Sentot Subagyo). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia.
2004. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah
Nomor 330/KPTS/2004 tentang Penetapan Tarif Biaya Jasa
Pengelolaan Sumberdaya Air (d/h Iuran Pembiayaan
Eksploitasi dan Pemeliharaan Prasarana Pengairan) Perum Jasa
Tirta untuk Perusahaan Daerah Air Minum di Wilayah Sungai
Bengawan Solo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004.
North, D.C. 1991. Instututions, Institutional Change, and Economic
Performance. Political Economy of Institutions and Decisions.
Cambridge University Press. Cambridge.
Paimin. 2005. Laporan Kajian Karakterisasi Daerah Aliran Sungai.
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Barat. Surakarta.
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 13 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Propinsi Jawa
Tengah Nomor 9 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Permukaan. Lembaran Daerah Propinsi Jawa
Tengah Tahun 2004 Nomor 51 Seri B Nomor 1.
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 20 Tahun 2003
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Penngendalian Pencemaran Air Lintas Kabupaten/Kota di
Propinsi Jawa Tengah. Lembaran Daerah Propinsi Jawa
Tengah Tahun 2002 Nomor 72.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007
Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.
| 249 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250
Purwanto. 2005. Laporan Hasil Kajian Nilai Ekonomi Air Hutan
Lindung. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Barat.
Surakarta.
Schmidt, A. 1987. Property, Power, and an Inquiry into Law and
Economic. Praeger. New York.
Scott, R. 1995. Instututions and Organizations. Sage Publication: An
International and Profesional Publisher. Thousand Oaks,
London-New Delhi.
Shiva, V. 2003. Water Wars. Insist – WALHI. Yogyakarta.
Soemarwoto, O. 1994. Ekologi Lingkungan Hidup dan
Pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Soros, G. 1998. The Crisis of Global Capitalism: Open Society
Endangered. Little Brown and Company. UK.
| 250 |
21. PERAN PEMERINTAH DAERAH
DALAM REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI1
Oleh :
Sri Puryono2
ABSTRAK
Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu
daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga
merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui
daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah
hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai
utamanya (single outlef). Daerah Aliran Sungai merupakan ekosistem di mana
di dalamnya terjadi proses interaksi antara faktor-faktor biotik, non biotik dan
manusia. Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada masukan (input) ke
dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi
berdasarkan keluaran (output) dari ekosistem tersebut. Pengelolaan DAS
adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang
bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah
aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan
terjadinya kerusakan sumberdaya tanah dan air. Ekosistem DAS merupakan
bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS.
Kompleksitas permasalahan yang ada, kelembagaan di Provinsi maupun
Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pengelolaan DAS tidak terlepas dari
komponen yang bertanggung jawab dalam pengelolaan DAS pada masing-
masing wilayah, utamanya kelembagaan Pertanian dan Kehutanan, Penataan
Ruang dan Wilayah, Kelautan dan Perikanan, Lingkungan Hidup, dan juga
kelembagaan administratif.
1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007.
2 Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah , Jl. Menteri Soepeno 1/2
| 251 |
PROSIDING Workshop,2009 : 251-262
I. PENDAHULUAN
| 252 |
Peran Pemerintah Daerah....(Sri Puryono)
II. TUJUAN PENGELOLAAN DAS
Daerah Aliran Sungai merupakan ekosistem di mana di
dalamnya terjadi proses interaksi antara faktor-faktor biotik, non
biotik dan manusia. Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada
masukan (input) ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di
dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output) dari
ekosistem tersebut. Komponen masukan dalam ekosistem DAS
adalah curah hujan, sedangkan keluarannya terdiri dari debit air dan
muatan sedimen. Komponen-komponen DAS yang meliputi :
manusia, vegetasi, tanah, iklim, topografi dan saluran/ sungai
bertindak sebagai prosessor/pengolah.
Pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan
implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi
sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai
untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan
terjadinya kerusakan sumberdaya tanah dan air. Termasuk dalam
pengelolaan DAS adalah identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan,
tanah dan air, dan keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS
(Asdak, 2002). Secara hidrologi, pengelolaan DAS berupaya untuk
mengelola kondisi biofisik permukaan bumi, sedemikian rupa
sehingga didapatkan suatu hasil air (water yield, total streamflow) secara
maksimum, serta memiliki regime aliran (flow regime) yang optimum,
yaitu terdistribusi merata sepanjang tahun (Purwanto, 1992).
Tujuan dari pengelolaan DAS adalah melakukan pengelolaan
sumberdaya alam secara rasional supaya dapat dimanfaatkan secara
maksimum lestari dan berkelanjutan sehingga dapat diperoleh kondisi
tata air yang baik. Sedangkan pembangunan berkelanjutan adalah
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam bagi kepentingan
umat manusia pada saat sekarang ini dengan masih menjamin
kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk generasi yang
akan datang. Karyana (2001) mengemukakan bahwa tujuan dari
pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada dasarnya adalah
pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan dengan terlanjutkan
(sustainable) sehingga tidak membahayakan lingkungan lokal, regional,
nasional dan bahkan global.
Ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena
mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS. Aktifitas dalam DAS
yang menyebabkan perubahan ekosistem, misalnya perubahan tata
guna lahan di daerah hulu, dapat memberikan dampak pada daerah
hilir berupa perubahan fluktuasi debit air, kandungan sedimen serta
| 253 |
PROSIDING Workshop,2009 : 251-262
| 255 |
PROSIDING Workshop,2009 : 251-262
| 256 |
Peran Pemerintah Daerah....(Sri Puryono)
perubahan berencana berbasis pada prakarsa masyarakat (akar
rumput) yang sering dikenal dengan pendekatan bottom up.
Pendekatan pembangunan secara bottom up dicirikan oleh
semangat partisipatif-kolaboratif, berbasis pada sumber kekuatan
yang dimiliki oleh komunitas lokal, mengakui eksistensi kepentingan
beragam (multistakeholders) yang didukung kuat oleh semangat
demokratisme. Pendekatan pembangunan secara bottom up ini
mendapat relevansi yang sangat kuat, manakala perhatian diarahkan
kepada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dalam konteks
kesatuan wilayah DAS. Selama ini wilayah ”lingkungan” dalam
kesatuan wilayah DAS dikenal memiliki derajat konflik dari beragam
pelaku kepentingan yang sangat tinggi.
Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pemberdayaan
potensi dan kemampuan daerah, serta mendukung partisipasi tersebut
makin kokoh kedudukannya sejak bergulir implementasi Otonomi
Daerah dengan semangat desentralisme diundangkan melalui UU No.
22 tahun 1999. Sejak saat itu, masyarakat sipil mendapatkan makin
banyak kesempatan dan ruang yang leluasa untuk terlibat langsung
dalam proses perencanaan dan pembuatan kebijakan, yang selama
beberapa dekade lalu didominasi oleh elit pemegang kekuasaan
negara. Dari sisi ini dimensi ketatapemerintahan dalam pengelolaan
DAS menjadi titik krusial dalam pengelolaan sumberdaya alam yang
lestari dimasa mendatang.
Konsep tata-pemerintahan lingkungan (environmental
governance) yang partisipatoris merupakan salah satu alternatif, oleh
karena konsep ini bekerja atas dasar asumsi akomodasi atas
kemajemukan cara pandang dalam menyikapi persoalan sumberdaya
alam dan lingkungan dalam kerangka pengelolaan DAS. Konsep ini
menekankan bahwa benturan yang selalu terjadi dan berulang
karena perbedaan pandangan, akan dapat dicarikan titik-temunya
melalui proses komunikasi yang multi-pihak dan kerjasama aksi yang
bersifat kolaboratif.
Persoalan konflik kepentingan dalam pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya alam adalah masalah klasik yang selalu
menjadi wacana penting. Sebagaimana diketahui, sumberdaya alam
dipandang secara berbeda oleh masyarakat. Terdapat dua kutub
masyarakat yang tak pernah satu pandangan, yaitu mereka yang
menganut mahzab antroposentrisme melawan mereka dari golongan
ekosentrisme.Kemajemukan cara pemahaman terhadap eksistensi
sumberdaya alam dan lingkungan yang demikian itu, secara potensial
| 257 |
PROSIDING Workshop,2009 : 251-262
VI. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
| 260 |
Peran Pemerintah Daerah....(Sri Puryono)
Purwanto, E. (1992). Pemanfaatan dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai
Dengan Menggunakan Parameter Hidrologi. Majalah
Kehutanan Indonesia, Edisi No. 10 tahun 1991/1992.
Tikno, S. 1999. Pengelolaan DAS dan Kaitannya Dengan Program
Pengembangan Wilayah. Prosiding Konperensi Energi,
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPP Teknologi Jakarta,
11-13 Augustus 1999.
| 261 |
PROSIDING Workshop,2009 : 251-262
| 262 |
22. PERAN KAWASAN KONSERVASI
DI JAWA TENGAH DALAM MENDUKUNG
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)1
Oleh :
Minto Basuki2
ABSTRAK
Hutan sebagai salah satu sumber daya alam hayati merupakan unsur penting
dari lingkungan hidup yang mendukung hidup dan kehidupan manusia.
Kerusakan hutan juga berdampak bagi ekosistem daerah aliran sungai Daerah
Aliran Sungai (DAS). Sedangkan kawasan konservasi merupakan salah satu
kawasan hutan yang masih tersisa pada era reformasi ini bila di bandingkan
dengan kawasan hutan produksi dan yang lainnya. Selain mempunyai fungsi
utama sebagai pengawetan dan pelestarian keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya, kawasan konservasi juga mempunyai peranan penting
dalam pengendalian sistem tata air bagi daerah sekitar kawasan terutama bagi
kawasan konservasi yang ada di sekitar DAS. Kawasan konservasi merupakan
benteng terakhir dalam pengelolaan hutan di Indonesia yang dikarenakan dua
bentuk kawasan hutan yang lain yaitu kawasan produksi dan kawasan lindung
telah tinggi tingkat degradasi hutannya oleh sebab eksploitasi hutan yang
berlebihan dan konversi lahan yang tidak memenuhi kaidah lingkungan.
I. PENDAHULUAN
1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS Surakarta, 22 Nopember 2007.
2 Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah, Jl. Menteri Supeno I/2
| 264 |
Peran Kawasan Konservasi....(Minto
Basuki)
3. Ekosistem dataran Tinggi : TWA Telogo Warno/ Pengilon, CA
Telogo Dringo, CA Guci dan CA
Telogo Ranjeng.
Balai KSDA Jawa Tengah memangku sebanyak 35 kawasan
konservasi, yang terdiri dari 29 Cagar Alam, 5 Taman Wisata Alam
dan 1 Suaka Margasatwa. Luas total seluruh kawasan konservasi
tersebut adalah 3.089 ha (Menteri Kehutanan, 2007). Secara
administratif wilayah kerja Balai KSDA Jawa Tengah meliputi wilayah
Provinsi Jawa Tengah, yang terdiri atas 35 Kabupaten / kota.
Kawasan konservasi memerlukan pengelolaan dan penanganan
yang intensif dan terencana. Pengelolaannya mencakup aspek-aspek
ekologis, ekonomi dan sosial budaya. Faktor-faktor inilah yang
menentukan kelangsungan kelestarian kawasan. Dalam perjalanan
waktu hingga saat ini, kondisi kawasan suaka alam mengalami
penurunan, baik kondisi habitat maupun potensi alamnya.
Dari 35 kawasan konservasi yang dikelola Balai KSDA Jawa Tengah
beberapa diantaranya merupakan kawasan penyangga DAS bagi
lingkungan sekitarnya.
1. Cagar Alam Nusa Kambangan Barat dan Timur
Cagar Alam Nusa Kambangan merupakan kawasan hutan hujan
tropis yang masih bisa dilihat di Pulau Jawa ini. Kawasan Cagar
Alam Nusa Kambangan yang terletak di Pulau Nusa Kambangan
yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Cilacap
berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia. Selain
menyimpan potensi keanekaragaman hayati tinggi, kawasan ini
merupakan benteng penyelamat bagi Kabupaten Cilacap pada saat
terjadi bencana tsunami tahun 2006. Pulau Nusa Kambangan
mempunyai nilai strategis dan menjadi tembok penghalang
sehingga ombak besar dari tsunami tidak sampai menghancurkan
kota Cilacap seperti yang terjadi di Pangandaran.
2. Cagar Alam Telogo Dringo
Cagar Alam Telogo Dringo terletak di Kabupaten Banjarnegara
yang berada di kawasan Pegunungan Dieng. Di tengah kawasan
terdapat sebuah telaga/danau seluas ± 10 hektar. Pada saat
musim kemarau danau ini menjadi tumpuan penduduk sekitar
untuk memenuhi kebutuhan air, terutama untuk pertanian.
| 265 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 271-280
3. Cagar Alam Guci
Kawasan yang terletak di kaki Gunung Slamet bagian wilayah
Kabupaten Tegal ini mempunyai potensi utama sebagai
penyangga sumber mata air panas. Sumber mata air ini
dimanfaatkan oleh Pemda setempat untuk obyek wisata
pemandian air panas dan disalurkan ke penginapan-
penginapan/homestay yang ada di sekitar kawasan.
4. Cagar Alam Telaga Ranjeng
Cagar Alam Telaga Ranjeng adalah kawasan cagar alam yang
berada di Kabupaten Brebes dan berada di kaki Gunung Slamet
bagian Utara. Ciri utama kawasan ini adalah telaga air tawar
dengan luasnya sekitar 18,5 hektar yang di dalamnya terdapat
ribuan ikan lele yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar
kawasan. Barang siapa yang berani mengambil sesuatu dari telaga
pasti akan mendapat musibah demikian kepercayaan masyarakat
di sana yang patut dilestarikan.
5. Cagar Alam Moga
Cagar Alam Moga berada di Kabupaten Pemalang. Di dalam
kawasan ini terdapat sumber mata air Kali Granggang yang
mengalir menuju Kali Comal. Sumber mata air ini digunakan
masyarakat sekitar kawasan untuk kebutuhan air bersih dan
pengairan.
6. Cagar Alam Curug Bengkawah
Kawasan yang terletak di Kabupaten Pemalang ini juga
menyimpan potensi hidrologi bagi masyarakat sekitar kawasan. Di
dalam Cagar Alam ini terdapat air terjun yang cukup besar dan
alami yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk pemenuhan
kebutuhan air.
7. Cagar Alam Gunung Clering
Gunung Clering merupakan kawasan konservasi terluas di Jawa
Tengah dengan total luas kawasan 1328,40 Ha. Kawasan ini
berada di Kabupaten Jepara dan dekat dengan Laut Jawa. Di
dalam kawasan ini terdapat beberapa mata air dan air terjun kecil
yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk pemenuhan
kebutuhan air bersih dan pengairan sawah.
| 266 |
Peran Kawasan Konservasi....(Minto Basuki)
8. Cagar Alam Keling II/III
Cagar Alam Keling II/III berada di Kabupaten Jepara, kawasan
ini berbatasan langsung dengan Laut Jawa dan berfungsi untuk
mencegah abrasi dan intrusi air laut bagi daerah sekitarnya.
9. Taman Wisata Alam Gunung Selok
Taman Wisata Alam Gunung Selok merupakan salah satu
kawasan konservasi di Kabupaten Cilacap. Kawasan ini salah satu
TWA dari 4 TWA yang dikelola oleh Balai KSDA Jawa Tengah
dengan daya tarik wisatanya adalah obyek wisata gua-gua dan
wisata religi. Gunung Selok berbatasan langsung dengan Samudra
Indonesia, selain berfungsi sebagai tempat wisata kawasan ini juga
berfungsi sebagai pencegah abrasi dan intrusi air laut ke daratan di
sekitarnya
10. Taman Wisata Alam Tlogo Warno/Pengilon
Taman Wisata Telogo Warno/Pengilon ini berada di kawasan
Pegunungan Dieng. Di dalam kawasan ini terdapat dua buah
telaga yang berdampingan yang mempunyai karakteristik yang
berbeda. Air di dalam Tlogo Warno berwarna hijau dan
mengandung gas CO sedangkan air di Tlogo Pengilon bening
seperti cermin. Selain berfungsi sebagai tempat wisata, air dari
telaga ini digunakan oleh masyarakat di sekitar kawasan terutama
pada musim kemarau untuk pengairan ladang mereka, karena
daerah ini dikenal sebagai sentra penghasil kentang.
11. Taman Wisata Alam Sumber Semen
Taman Wisata Sumber Semen terletak di Kabupaten Rembang,
dan di dalamnya terdapat wisata pemandian. Jaringan hidrologi di
kawasan TWA Sumber Semen diawali dengan adanya sumber air
yang berasal dari mata air yang tersebar di pinggir Sungai
Walanggabeng yang disebut Sumber Sewu, dan mata air yang
mengisi pemandian Sumber Semen yang terdapat di sebelah Utara
di dalam pemandian tersebut. Sumber/mata air tersebut
mempunyai debit air 600 liter/detik dan tidak pernah kering
sepanjang tahun. Sumber mata air ini juga dimanfaatkan
masyarakat sekitar untuk keperluan sehari-hari.
12. Taman Wisata Alam Grojogan Sewu
Taman Wisata Alam Grojogan Sewu merupakan salah satu kawasan
wisata yang terkenal di Jawa Tengah. Kawasan ini tidak pernah sepi
dari pengunjung yang datang dari berbagai kota untuk menikmati
keindahan air terjun. Selain menikmati keindahan air terjun,
| 267 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 271-280
pengunjung juga bisa merasakan kesejukan udara pegunungan
dibawah pepohonan rindang yang terdapat di sekitar kawasan. Air
terjun ini kemudian mengaliri sungai-sungai yang berada di bawah
kawasan yang kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar
kawasan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih dan pengairan
sawah.
III. PERMASALAHAN
Keberadaan kawasan konservasi di tengah-tengah lingkup
masyarakat akan selalu mengundang berbagai bentuk permasalahan
dan tekanan yang mengancam kelangsungannya. Laju pertambahan
penduduk dan peningkatan kebutuhan hidup yang semakin tinggi
mendorong aktivitas manusia semakin mendesak ke arah
pemanfaatan sumber daya hutan di kawasan konservasi yang ada di
sekitar mereka.
Di samping itu keterbatasan kemampuan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam menjaga keutuhan ekosistem kawasan
konservasi mengakibatkan banyak kawasan yang menjadi sumberdaya
alam yang terbuka (open acces). Kondisi demikian seringkali
dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk
keuntungan ekonomi jangka pendek yang menimbulkan dampak
negatif terhadap keutuhan ekosistem kawasan.
Beberapa permasalahan yang sering muncul di kawasan
konservasi wilayah Balai KSDA Jawa Tengah antara lain :
1. Pemanfaatan tanpa ijin, baik perambahan kawasan,
pemanfaatan hasil hutan maupun jasa lingkungan air illegal;
2. Belum adanya tata batas kawasan;
3. Keterbatasan sarana dan prasarana serta personil;
4. Kerusakan kawasan yang cenderung meningkat sebagai
akibat dari meningkatnya aktivitas masyarakat ke dalam
kawasan.
Terdapat dua permasalahan kawasan penting di wilayah kerja
Balai KSDA Jawa Tengah yang memerlukan penanganan segera dan
prioritas, yaitu :
1. Batas Kawasan Konservasi
Masalah klasik yang masih menjadi kendala dalam
pengelolaan kawasan konservasi adalah masalah batas kawasan.
Permasalahan yang sering dijumpai adalah :
a. Sudah ditata batas tetapi pal batas tidak ada (CA
Nusakambangan Barat dan CA Nusakambangan Timur);
| 268 |
Peran Kawasan Konservasi....(Minto Basuki)
b. Tanah timbul di TWA Gunung Selok;
c. Pergeseran pal batas akibat penjarahan kawasan (TWA
Telogo Warno/ Pengilon);
d. Hilang / rusaknya beberapa pal batas (CA Gunung Celering
dan CA Telogo Ranjeng);
e. Terdapatnya perbedaan persepsi mengenai status kawasan
dengan Perum Perhutani (CA Vak 53 Comal).
V. PENUTUP
Kawasan konservasi merupakan benteng terakhir dalam
pengelolaan hutan di Indonesia yang dikarenakan dua bentuk
kawasan hutan yang lain yaitu kawasan produksi dan kawasan lindung
telah tinggi tingkat degradasi hutannya oleh sebab eksploitasi hutan
yang berlebihan dan konversi lahan yang tidak memenuhi kaidah
lingkungan. Akan tetapi perkembangan jaman yang menuntut tingkat
pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih tinggi menyebabkan
kerusakan hutan juga merambat ke kawasan konservasi yang
disebabkan karena faktor alam (bencana alam seperti banjir dan tanah
longsor) ataupun faktor manusia (perambahan, pemanfaatan hasil
hutan yang ilegal, illegal logging, rusak/hilang/bergesernya/belum
adanya pal batas kawasan, maupun tumpang tindihnya status
pengelola kawasan). Kawasan hutan harus diprioritaskan dijaga
kelestariannya terutama kawasan-kawasan hutan yang terletak di DAS,
baik itu DAS hulu maupun hilir karena DAS merupakan area yang
berfungsi sebagai regulator (pengatur) siklus air. Oleh karenanya
kawasan hutan yang berada di dalam suatu DAS harus difungsikan
sebagai kawasan konservasi dan kawasan lindung dan dalam
pengelolaan DAS sangat diperlukan kerjasama multi stakeholders
(pemerintah pusat, daerah, BUMN, swasta/BUMS, LSM, dan
| 271 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 271-280
masyarakat) yang baik agar tujuan pengelolaan hutan yaitu hutan
lestari masyarakat sejahtera dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 2006. S.01/II/PIK-
1/2006 tanggal 2 Januari 2006, [online],
(http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/2037),
diakses tanggal 1 Mei 2006.
Menteri Kehutanan Republik Indonesia, 2007. Peraturan Menteri
Kehutanan No : P.02/Menhut-II/2007 tentang Daftar
Wilayah Kerja Seksi Konservasi Wilayah Lingkup Balai Ksda
Jawa Tengah Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan.
Departemen Kehutanan, 2007.
| 272 |
23. ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) BRANTAS1
Oleh:
Purwanto2 dan Paimin2
ABSTRAK
Yani. Pabelan, P.O.Box 295 Surakarta, Tilp.0271 716709, e-mail purwanto_ alas@
yahoo.com
| 273 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288
perencana tetapi satu dengan lainnya koordinasinya lemah sedangkan
implementator terdiri berbagai Dinas Tingkat II dan UPT Pemerintah Pusat
sedangkan monitoring dan evaluasi belum dilakukan untuk seluruh DAS.
I. PENDAHULUAN
Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai salah satu
unsur utama dalam pengelolaan DAS adalah perencanaan,
implementasi, monitoring dan evaluasi. Dalam sektor Kehutanan,
karakteristik DAS tersebut, lebih lanjut dituangkan dalam Keputusan
Menteri Kehutanan No. 52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pengelolaan DAS. Dalam Pedoman tersebut,
karakteristik DAS mencakup parameter: luas, topografi, geologi,
tanah, iklim, kondisi hidrologi, penggunaan lahan, kerapatan drainase,
sosial, ekonomi dan kelembagaan. Disamping itu DAS juga
diklasifikasi berdasarkan perwilayahan yakni DAS lokal, regional,
nasional, dan internasional (Dept. Kehutanan, 2001). Pengelolaan
DAS dalam Surat Keputusan tersebut di atas, belum selaras dengan
perencanaan pembangunan yang didasarkan pada daerah administrasi,
propinsi, kota dan kabupaten.
Disisi lain, pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan
bagian dari pembangunan wilayah. Secara administrasi pemerintahan,
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi menjadi wilayah
besar Propinsi dan wilayah kecil (kota dan Kabupaten). Oleh sebab
itu rencana pembangunan daerah dibagi menjadi Rencana
Pembangunan Propinsi dan Rencana Pembangunan Kota dan
Propinsi.
DAS Brantas merupakan bagian dari wilayah Propinsi Jawa
Timur yang meliputi 16 daerah otonom yaitu enam kota dan 10
kabupaten. Keenam belas daerah otonom tersebut memiliki ciri
ekonomi regional masing-masing. Karena pengelolaan DAS
merupakan bagian pembangunan wilayah secara keseluruhan maka
ciri khas masing-masing kota dan kabupaten perlu diketahui dan
dimanfaatkan sebagai potensi atau sumberdaya pembangunan.
Disamping itu pengelolaan, DAS Brantas merupakan DAS antar kota
dan kabupaten yang organisasi formal pengelolaannya dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Propinsi, Kota dan Kabupaten disamping instansi
vertikal dari pemerintah pusat. Namun demikian bagaimana
hubungan antar stakeholders dalam pengelolaan DAS tersebut perlu
dikaji lebih lanjut.
| 274 |
Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto
dan Paimun)
Tulisan ini merupakan eksplorasi ekonomi wilayah dan
kelembagaan pemerintah pusat, propinsi, kota dan kabupaten di
Propinsi Jawa Timur yang diharapkan dapat digunakan sebagai
landasan penyusunan sistem perencanaan jangka panjang pada
pengelolaan DAS regional yang selaras dengan unit perencanaan
pembangunan daerah otonom.
II. METODE
A. Lokasi dan Waktu Kajian
Berdasarkan deliniasi peta rupa bumi (RBI) skala 1 : 250.000,
Wilayah DAS Brantas mencakup luas 12.000 km2 yang secara
geografis terletak pada koordinat 07o10’27” – 08o15’54” LS dan
111o30’22” – 112o55’33” BT. Secara administratif DAS Brantas
berada di wilayah Kabupaten-kabupaten: Malang, Blitar, Kediri,
Tulungagung, Trenggalaek, Madiun, Mojokerto, Jombang, Nganjuk,
Sidoarjo dan Kota-kota: Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan
Surabaya (Gambar 1). Penelitian dilakukan pada tahun 2006.
B. Rancangan Kajian
Parameter sosial ekonomi karakter DAS dipilih berdasarkan
dugaan pengaruhnya terhadap kesehatan DAS dan herarkhi
| 275 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288
perencanaan pengelolaan DAS. Parameter sosial ekonomi
karakteristik DAS tersebut terdiri dari: 1). Kepadatan penduduk, 2).
Struktur ekonomi, 3). Pendapatan masyarakat, 4). Pertumbuhan
ekonomi, dan 5). Kelembagaan pengelolaan DAS.
Berdasarkan pengaruhnya terhadap kesehatan DAS, kepadatan
penduduk diduga sangat berpengaruh terhadap kesehatan DAS.
Makin tinggi kepadatan penduduk maka penggarapan lahan semakin
intensif baik pada lahan pertanian maupun pemukiman. Pada lahan
pertanian penggarapan intensif yang melebihi kemampuan lahan
menyebabkan lahan terdegradasi. Pada kawasan pemukiman,
kepadatan yang tinggi menyebabkan kebutuhan untuk perumahan dan
infrastruktur makin luas sehingga kemampuan tanah menginfiltrasi air
hujan semakin kecil dan peluang terjadinya banjir semakin besar.
Dari data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat
diketahui struktur ekonomi suatu Kabupaten atau Kota. Untuk
kabupaten yang memiliki struktur ekonomi pertanian berarti kegiatan
perekonomian sebagian berasal dari sektor pertanian. Permasalahan
yang mungkin timbul dalam wilayah yang demikian antara lain erosi
dan sedimentasi. Semakin intensif perekonomian dalam sektor
pertanian maka semakin tinggi erosi dan sedimentasi. Sedangkan
apabila suatu wilayah kabupaten/kota memiliki struktur ekonomi
industri biasanya akan berdampak terhadap banjir dan pencemaran
yang diakibatkan oleh pembangunan infrastruktur dan kegiatan
industri.
Parameter pendapatan per kapita masyarakat dan pertumbuhan
ekonomi merupakan parameter yang berkaitan dengan kesejahteraan
masyarakat. Semakin tinggi pendapatan per kapita masyarakat
memiliki kecenderungan semakin tinggi kesejahteraan masyarakatnya
dengan asumsi distribusinya yang merata. Sedangkan parameter
pertumbuhan ekonomi menunjukkan kecepatan kesejahteraan suatu
masyarakat dapat dicapai. Parameter kelembagaan menunjukkan
kemampuan lembaga dalam melakukan pengelolaan DAS dari
perencanaan, implementasi, serta monitoring dan evaluasi.
C. Pengumpulan Data
Sesuai dengan tujuan kajian yaitu untuk perencanaan jangka
panjang maka data yang dikumpulkan relatif tidak detail dan
merupakan data sekunder yang dikumpulkan dari instansi terkait
seperti Biro Pusat Statistik Jawa Timur, Bappeda Propinsi Jawa
Timur, Bapedalda Propinsi Jawa Timur, dan Balai Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Brantas, Perum Jasa Tirta I di Malang dan Biro
| 276 |
Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto
dan Paimun)
Pusat Statistik Kabupaten serta Kota yang ada di DAS Brantas.
Disamping itu juga dilakukan wawancara terstruktur pada para pihak
(stakeholders) yang terkait dengan pengelolaan DAS Brantas pada
instansi tersebut di atas.
D. Pengolahan dan Analisis Data
Data kepadatan penduduk dihitung rata-ratanya dan dilakukan
perbandingan dengan standar kepadatan penduduk FAO (1989)
dalam BTPDAS (2000). Struktur ekonomi diolah dari PDRB
kemudian dilakukan analisis proporsi untuk sektor pertanian, industri
dan jasa. Parameter aglomerasi industri dihitung dari jumlah
perusahaan di empat kabupaten kajian. Pendapatan per kapita
masyarakat dihitung dari PDRB dan dibagi dengan jumlah penduduk.
Pertumbuhan ekonomi dihitung dari:
Tabel 1. Kepadatan Penduduk di Kota dan Kabupaten yang Ada di DAS Brantas
No Kabupaten/ Kota Jumlah Luas Kepadatan
Penduduk (km2) /km2
1. Kota Batu 177.210 92,78 1.910
2. Kota Malang 767.558 110,06 6.974
| 277 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288
| 278 |
Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto dan Paimun)
| 279 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288
Hasil perhitungan pendapatan rata-rata masyarakat di DAS
Brantas setelah dikeluarkannya Kabupaten Kediri sebesar Rp.
10.129.308,-/tahun. Bila dibandingkan dengan pendapatan rata-rata
per kapita Propinsi Jawa Timur sebesar Rp. 10.965.076,- maka
pendapatan rata-rata masyarakat di DAS Brantas sedikit lebih kecil.
Hampir semua kota dan kabupaten di DAS Brantas memiliki
pendapatan rata-rata lebih kecil dari pendapatan rata-rata masyarakat
di Propinsi Jawa Timur, kecuali Kota Kediri dan Surabaya. Sedangkan
untuk Kota dan Kabupaten yang memiliki pendapatan rata-rata
mendekati pendapatan rata-rata penduduk Jawa Timur adalah
Kabupaten Malang, Madiun, Mojokerto dan Sidoarjo.
Untuk Kabupaten yang lain, pengelolaan DAS sebaiknya
dilakukan dengan mempertimbangkan percepatan pertumbuhan
ekonomi melalui investasi yang produktif disamping untuk kegiatan
konservasi. Percepatan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan
dengan peningkatan investasi, teknologi dan keahlian serta
ketrampilan sumberdaya manusianya yang tentunya dengan
mempertimbangkan konservasi sumberdaya alam yang ada di dalam
DAS Brantas.
Kajian hubungan pertumbuhan ekonomi dan investasi
dilakukan oleh Harod (1939) dan Domar (1946, 1947). Harold dan
Domar menyatakan bahwa suatu masyarakat miskin akibat kurangnya
modal (capital) untuk itu meningkatkan pendapatan masyarakat perlu
dilakukan investasi dari luar. Teori tersebut didasarkan atas teori
sebelumnya tentang lingkaran setan kemiskinan, vicious circle of poverty
(Rosenstein-Rodan, 1943) yang menyatakan pertumbuhan ekonomi
rendah akibat produktivitas masyarakat rendah. Produktivitas rendah
menyebabkan pendapatan masyarakat rendah. Akibat pendapatan
rendah maka tabungan menjadi rendah. Akibat tabungan rendah
maka investasi menjadi rendah. Akibat investasi rendah maka
pertumbuhan ekonomi menjadi rendah. Untuk itu, Harold–Domar
menyampaikan teorinya untuk mengatasi investation gap maka perlu
adanya investasi dari luar wilayah. Investasi akan efektif apabila
ditanamkan pada sektor-sektor yang memiliki perbandingan antara
output dan kapital yang kecil. Artinya untuk mencapai output tertentu
diperlukan kapital yang relatif kecil dibandingkan dengan sektor
lainnya. Dengan adanya keterbatasan sektor pemerintah dalam hal
modal dan keahlian, penanaman investasi dapat melibatkan sektor
swasta. Perencanaan dapat memberikan arah (indikatif), penciptaan
iklim, dan perangsang kegiatan terhadap peran kegiatan usaha swasta
tersebut.
| 280 |
Aspek Sosial Ekonomi....(Purwantodan Paimun)
Dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS, untuk meningkatkan
perekonomian masyarakat tidak harus menginvestasikan langsung ke
on farm sektor tetapi dapat dilakukan di industri hilir. Sebagai contoh
untuk meningkatkan kemajuan pembangunan hutan rakyat dapat
dilakukan dengan memberi kredit kepada industriawan sehingga
industri perkayuan rakyat maju dan membutuhkan bahan baku yang
lebih banyak yang pada akhirnya akan mendorong pembangunan
hutan rakyat. Begitu juga sebaliknya, pada kondisi industri perkayuan
kekurangan bahan baku maka percepatan produksi kayu melalui
penanaman jenis-jenis pohon cepat tumbuh.
3. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan perubahan
PDRB tahun 2003-2004 berdasarkan harga konstan tahun 2000
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kabupaten-kabupaten di
DAS Brantas sebesar 4,9% pada tahun 2003-2004 (Tabel 3). Apabila
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Timur
yang sebesar 4,2% maka rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten-
kabupaten di DAS Brantas lebih besar dibanding pertumbuhan
ekonomi Propinsi Jawa Timur namun masih ada Kabupaten yang
memiliki pertumbuhan di bawah rata-rata yaitu Kabupaten Kediri,
Madiun, dan Trenggalek.
Hal ini sesuai dengan teori double sectors (Lewis, 1955) dimana
sektor perkotaan (industri dan jasa) memiliki surplus ekonomi yang
lebih tinggi dibanding sektor pertanian. Pendapat tersebut didukung
oleh Kindleberger dan Herrick (1977) dan Todaro (1993) yang
menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi pada dasarnya
merupakan suatu proses transformasi struktural yang ditandai dengan
terjadinya pergeseran (share) dari sektor pertanian ke sektor industri
manufaktur dan jasa dalam sistem ekonomi.
Tabel 3. Pertumbuhan Ekonomi Kota dan Kabupaten di DAS Brantas
No Kabupaten PDRB PDRB Kenaikan Pertum
atau Kota Tahun Tahun PDRB buhan
2004 (juta 2003 (juta 2003- (%)
Rp) Rp) 2004
(juta Rp)
1. Kota Batu 643.669 610.155 33.514 5.5
2. Kota Malang 7.737.210 7.314.688 422.522 5.8
3. Kota Blitar 465.823 440.646 25.177 5.7
4. Kota Kediri 15.081.532 14.267.742 813.790 5.7
| 281 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288
| 282 |
Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto dan Paimun)
| 283 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288
5. Kelembagaan
Organisasi yang terkait dengan pengelolaan DAS Brantas
antara lain Balai Pengelolaan DAS Brantas di Surabaya, Dinas yang
terkait sektor Kehutanan di setiap kabupaten, Badan Pengendalian
Lingkungan Daerah Kabupaten, Dinas Kehutanan Propinsi Jawa
Timur dan Bappeda Propinsi Jawa Timur. Rencana pengelolaan DAS
Brantas telah dilakukan oleh BPDAS Brantas: adalah Pola
Pengelolaan DAS (1984), Rencana Teknik Lapangan RLKT Brantas
(1997), dan Rencana Teknik Lapangan RLKT Brantas (1992).
Disamping Rencana tersebut di atas, BAPEDALDA Propinsi Jawa
Timur menyusun Rencana Induk Pengelolaan Lingkungan Hidup
Satuan Wilayah Sungai Brantas. Monitoring dan evaluasi hanya
dilakukan berdasarkan hamparan untuk kegiatan Gerakan Rehabilitasi
Lahan dan pada titik-titik pengamatan untuk pemantauan arus sungai
dan belum dilakukan berdasarkan satuan DAS. Dari uraian tersebut
di atas fungsi manajemen di DAS Brantas: perencanaan (ada),
koordinasi pelaksanaan (ada) walaupun masih lemah dan monitoring
dan evaluasi seluruh DAS masih parsial.
B. Analisis dan Sintesis
Jumlah penduduk memiliki korelasi positif dengan struktur
ekonomi. Untuk Kota dan kabupaten yang memiliki struktur
ekonomi industri dan jasa memiliki jumlah penduduk yang lebih
banyak dari kota dan kabupaten yang memiliki struktur ekonomi
pertanian. Bila dilihat dari jumlah penduduk dan struktur ekonomi
ada teori model dua sektor yang terdiri dari sektor modern yaitu
industri perkotaan dan tradisional yaitu pertanian (Lewis, 1955).
Sektor pertanian ditandai oleh produktivitas sangat rendah atau
bahkan nol sedangkan sektor industri biasanya memiliki produktivitas
yang tinggi. Tenaga kerja akan pindah dari sektor pertanian ke sektor
industri perkotaan akibat adanya perbedaan tingkat upah tenaga kerja
(Fei dan Ranis, 1964). Pergerakan penduduk juga disebabkan oleh
adanya modernisasi pertanian yang menimbulkan berkurangnya
permintaan tenaga kerja di bidang pertanian sawah (Abustam, 1989).
Perserikatan Bangsa-bangsa melaporkan bahwa penduduk dunia
makin lama semakin banyak tinggal di kota, pada tahun 1998 hampir
separuh penduduk dunia tinggal di perkotaan. Laporan ini juga
menyajikan proyeksi bahwa melewati milenium baru, penduduk
perkotaan akan melampaui jumlah penduduk yang tinggal di pedesaan
dan pada tahun 2030 diperkirakan 3/5 penduduk dunia akan tinggal
di perkotaan (United Nation Organization 1998). Hal ini akan
berakibat pada memburuknya kualitas lingkungan di perkotaan yang
| 284 |
Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto
dan Paimun)
salah satunya adalah penyediaan air bersih dan pencemaran
lingkungan yang merupakan bagian dari tugas pengelolaan DAS. Di
kota-kota besar Indonesia, penyediaan air bersih masih menjadi
problem sebagian penduduk. Hal ini juga terjadi di kota-kota pada
penduduk di negara berkembang lainnya seperti: India 735 juta orang
dan Cina 725 juta orang tidak memiliki sanitasi air yang memadai
(Department for International Development, 2005).
Apabila dilihat dari perkembangan pembangunan maka
masyarakat di DAS Brantas dapat dikategorikan dalam tahap
prasyarat untuk menuju tinggal landas. Sektor pertanian merupakan
sektor yang dominan. Sesuai dengan teori linear stages model of
development (Rostow, 1971) menyatakan bahwa proses pembangunan
dapat dibedakan menjadi 5 (lima) tahap yaitu:
1). Masyarakat tradisional (the traditional society), produktivitas per
pekerja masih rendah sehingga sebagian besar sumberdaya
masyarakat digunakan untuk kegiatan sektor pertanian. Pada
masyarakat ini struktur masyarakatnya bersifat herarkis dan
mobilitas vertikal anggota masyarakat sangat kecil.
2). Prasyarat untuk tinggal landas (the preconditions for take off), dalam
tahap ini sektor pertanian memiliki peran yang penting. Peranan
tersebut antara lain: Kemajuan pertanian menjamin penyediaan
bahan pangan bagi penduduk pedesaan dan perkotaan.
Kenaikkan produktivitas sektor pertanian akan memperluas pasar
industri penghasil input pertanian, akan menaikkan penerimaan
pemerintah dari sektor pertanian melalui pajak sektor pertanian,
dan akan menciptakan tabungan yang digunakan sektor lain
sehingga bisa meningkatkan investasi sektor lain.
3). Tinggal landas (take off), pada tahap ini pertumbuhan ini selalu
terjadi, terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi dan
terbukanya pasar-pasar baru. Akibat perubahan tersebut akan
mempercepat laju pertumbuhan pendapatan daerah dan melebihi
tingkat pertumbuhan penduduk, dengan demikian tingkat
pendapatan per kapita semakin besar.
4). Menuju kedewasaan (the drive to maturity); yaitu masa dimana
masyarakat secara efektif menggunakan teknologi modern pada
hampir semua kegiatan produksi. Pada tahap ini sektor-sektor
pemimpin baru akan muncul menggantikan sektor-sektor
pemimpin lama yang akan mengalami kemunduran. Sektor-sektor
pemimpin baru ini coraknya ditentukan oleh perkembangan
teknologi, kekayaan alam dan kebijakan pemerintah, dan
| 285 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288
5). Masa konsumsi tinggi (the age of mass-consumption).
Dari Teori Rostow tersebut berdasarkan pengalaman
pembangunan negara-negara maju dapat dikelompokkan menjadi
tiga sektor yaitu pertanian, industri, dan jasa.
Dari aspek kelembagaan; organisasi perencana, implementator
dan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan DAS Brantas
seluruhnya lengkap namun koordinasi masih lemah. Hal ini perlu
koordinasi dari tahap perencanaan, implementasi, monitoring dan
evaluasi sehingga kegiatan pengelolaan DAS lebih efektif dan efisien.
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
| 287 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288
Lewis, W.A. 1954. Economic Development with Unlimited Supplies
of Labour. The Manchester School of Economic and Social
Studies XXII (2) Mei 1954.
Rosenstein-Rodan, P. 1943. Problems of Industrialization of Eastern
and Southeastern Europe. Economic Journal 5 (210-211) Juni-
September 202-211.
Rostow, W.W. 1971. The Stages of Economic Growth, rev. ed.,
Cambridge University Press. Cambridge.
Todaro, M. 1993. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Erlangga.
Jakarta.
Tjokroamidjojo, 1995. Perenecaan Pembangunan. Cetakan Kedelapan
belas PT. Toko Gunung Agung. Jakarta.
United Nation Organization, 1998. World Urbanization Prospects the
1996 Revision: Estimates and Projections and Urban
Agglomerations. Department of Economic, Social Affairs, and
Population Division. New York.
| 288 |
24. PEMBENTUKAN FORUM DAERAH ALIRAN SUNGAI
(DAS) DALAM UPAYA PENINGKATAN FUNGSI DAS
BAGI LINGKUNGAN
(Studi kasus upaya persiapan pembentukan forum DAS
di Kalimantan Selatan)1
Oleh
Wawan Halwan2
ABSTRAK
Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito merupakan salah satu dari empat DAS
di Kalimantan yang kondisi lahannya sudah kritis. DAS Barito merupakan
bagian dari 60 DAS kritis di Indonesia yang menjadi prioritas utama untuk
direhabilitasi. Pembentukan forum DAS di setiap propinsi merupakan salah
satu upaya pemerintah memfasilitasi terbentuknya wadah para pihak yang peduli
dengan penyelamatan DAS-DAS kritis tersebut. Tujuan pembuatan tulisan
ini adalah untuk mengkaji kelembagaan forum DAS dilihat dari aspek proses
pembentukannya, dan hal-hal yang menjadi prospek dan kendala dari forum
DAS di Kalimantan Selatan ini dilihat dari sisi kelembagaannya. Kekuatan
: Forum DAS dibentuk atas Partisipasi masyarakat, Kondisi DAS yang
rusak, Ketersediaan Sumber Daya Manusia, Legalisasi forum DAS.
Kelemahan: Keterlibatan masyarakat hulu kecil, DAS di Kalimantan
Selatan meliputi dua propinsi, Kurangnya sosialisasi, Sumber Dana.
Peluang: Isu bencana dan adanya nilai jual/kompensasi. Ancaman:
Paradigma otonomi yang sempit dan lemahnya koordinasi
Kata kunci : DAS Kritis, forum DAS Kalimantan Selatan, Prospek dan
tantangan
I. PENDAHULUAN
1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007.
2 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru).Jl. Sei Ulin No. 28 B
| 291 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 289-299
fasilitasi
Rekomendasi, Saran
pertimbangan,
informasi,
pertemuan rutin,
pertemuan
insidentil
| 292 |
Pembentukan Forum Daerah....(Wawan Halwany)
| 293 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 289-299
A. Kekuatan
a. Forum DAS dibentuk atas Partisipasi masyarakat
Forum DAS merupakan wadah yang dibentuk berdasarkan
partisipasi peserta. Forum ini sifatnya independent dan bebas dari
tekanan siapa pun. Pada saat ini pembentukan formatur DAS
merupakan langkah awal yang baik bagi Kalimantan Selatan
sehingga nantinya forum DAS ini dapat mendukung pengelolaan
DAS lebih baik lagi.
| 294 |
Pembentukan Forum Daerah....(Wawan Halwany)
c. Ketersediaan SDM
Sumber daya manusia dalam forum DAS di Kalimantan Selatan
cukup baik. Dimana salah satu ketuanya adalah seorang dosen
dari perguruan tinggi di Kalimantan Selatan yang diakui oleh
seluruh peserta yang hadir untuk memimpin forum ini Lampiran
1). Selain menguasai kondisi DAS di Kalimantan Selatan juga
mempunyai perhatian yang baik terhadap kondisi DAS tersebut.
Di samping itu, SDM lainnya dalam forum DAS ini juga memiliki
kapasitas dalam pengelolaan DAS di Kalimantan Selatan.
B. Kelemahan
a. Keterlibatan masyarakat hulu kecil
Kelemahan upaya pembentukan forum DAS di Kalimantan
Selatan adalah keterlibatan masyarakat kawasan sekitar hulu DAS
| 295 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 289-299
c. Kurangnya sosialisasi
Sosialisasi rencana pembentukan forum DAS ini terasa kurang
bagi para peserta. Peserta tidak dibekali informasi yang cukup
pada saat diundang, sehingga wakil yang ada dari pihak yang
diundang tidak cukup mempunyai wewenang dalam pembentukan
| 296 |
Pembentukan Forum Daerah....(Wawan Halwany)
forum DAS ini. Oleh karena itu diharapkan perlu adanya sosialisasi
yang lebih intensif lagi dalam pembentukan forum DAS ini, sehingga
pihak-pihak yang berkepentingan akan mengetahui mengenai fungsi
dan peranan dari forum DAS daerah ini.
d. Sumber Dana
Sumber dana meruapakan hal penting dalam forum DAS ini.
Perlu ada keinginan yang kuat dari pemerintah daerah dalam
mendukung kegiatan forum DAS ini, dan diharapkan forum
DAS ini dapat bekerja sebagaimana mestinya.
C. Peluang
a. Isu bencana
Musibah atau bencana alam yang hampir tiap tahun terjadi di
Kalimanatan Selatan merupakan peluang bagi forum DAS dalam
memberikan masukan/rekomendasi bagi daerah dalam
pengelolaan lingkungan dan tata guna lahan khususnya yang
menyangkut dengan Daerah Aliran Sungai. Isu bencana bisa
dijadikan poin dalam menekan pihak-pihak yang memanfaatkan
potensi sumber daya alam yang tidak sesuai dengan aturan yang
ada dan melanggar aspek kelestarian lingkungan.
b. Adanya nilai jual/kompensasi
Adanya nilai jual jasa lingkungan merupakan peluang bagi forum
DAS dalam mengelola kawasan DAS di Kalimantan Selatan. Hal
ini merupakan peluang bagi forum DAS dalam mengelola jasa
lingkungan di Kalimantan Selatan.
D. Ancaman
a. Paradigma otonomi yang sempit
Paradigma otonomi daerah yang sempit perlu ditiadakan.
Anggapan bahwa otonomi daerah mempunyai wewenang penuh
atas pengelolaan sumber daya alam demi pendapatan daerah perlu
ditiadakan. Pengelolaan sumber daya alam khususnya Daerah
Aliran Sungai harus memperhatikan aspek-aspek yang terkait.
Pengelolaan DAS harus bersifat integral, lintas sektoral, dan lintas
administrasi pemerintahan, sehingga otonomi daerah jangan
diartikan pemerintah bebas dalam pengelolaan daerah sungai.
Namun perlu diperhatikan aspek yang berkaitan dengan
pengelolaan daerah sungai.
| 297 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 289-299
b. Lemahnya koordinasi
Lemahnya koordinasi dalam pembentukan forum DAS in
merupakan ancaman dalam keberlanjutan forum DAS. Sebaiknya
dalam rencana pembentukan forum DAS perlu dilakukan tahapan
pertemuan sebelum secara forum yang lebih besarOleh karena itu
ada pemahaman yang sama mengenai forum DAS ini.
IV. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
JADWAL ACARA
Jam Acara
08.30 – 09.20 Pendaftaran
08.30 – 09.20 - Laporan Penyelenggaraan Workshop
- Sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa
Tengah
- Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan
- Pembacaan Do’a
09.20 – 09.45 Istirahat/snack
Pleno Bidang (1-3) :
1. Peran Hutan Dalam Pengendalian Bencana Banjir-
Kekeringan-Tanah Longsor (identifikasi masalah dan
teknik pengendalian)
Dr. Ir. Robert J. Kodoatie
2. Sumbangan Hutan Terhadap Pasokan Air (fisik-
ekonomi)
Prof. Dr. Daniel Murdyarso
3. Kelembagaan Kehutanan dalamPengelolaan Daerah
Aliran Sungai
Dr. Saeful Rachman, M.Sc(Direktorat Pengelolaan
DAS)
12.00 – 13.00 Ishoma
Sidang Kelompok/Komisi dan Sintesis (Bidang 1, 2 dan 3)
13.00 – 14.45
Sessi I Peran Hutan Dalam Pengendalian Bencana Banjir-
Kekeringan-Tanah Longsor
Ketua Sidang Dr. Ir. Robert J. Kodoatie
Sekretaris Ir. Nining W, M.Sc
1. Hubungan Luas Tutupan Hutan Terhadap Potensi
Banjir dan Koefisien Limpasan di Beberapa DAS di
Indonesia
Nana Mulyana
2. Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor
Sukresno
3. Analisis Tingkat Kekeringan Sebagai Dasar dalam
Pengelolaan DAS yang Berhutan di DAS Progo
Sudibyakto
13.00 – 14.45
Sessi II Sumbangan Hutan Terhadap Pasokan Air
Ketua Sidang Prof. Dr. Daniel Murdyarso
Sekretaris Ir. Heru D. Riyanto
1. Sumbangan Hutan terhadap Hasil Air
Sigit Hardwinarto
| 300 |
Lampiran-lampiran
Jam Acara
2. Nilai dan Distribusi Ekonomi Pengelolaan Kawasan
Lindung Sebagai Pengatur Tata Air : Kasus di Sub
DAS Brantas Hulu
Kirsfianti L. Ginoga
3. Neraca Air di Dalam HutanHutan
Irfan Budi Pramono
13.00 – 14.45
Sessi III Kelembagaan Kehutanan Dalam Pengelolaan DAS
Ketua Sidang Dr. Saeful Rachman, M.Sc
Sekretaris Ir. Dewi R I
1. Kelembagaan Pengelolaan DAS
Hendro Prahasto
2. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Air dan
Hasil Air dari Hutan
Purwanto
3. Peran Pemerintah Daerah dalam Rehabilitasi DAS
Sri Puryono
14.45 – 15.00 Istirahat/snack
Diskusi dan Paparan Hasil
15.00 – 16.00 Diskusi Pleno
Ketua Sidang Dr. Harry Santoso
Sekretaris Ir. Sukresno, M.Sc
1. Paparan Hasil Sidang Komisi Bidang I
Dr. Ir. Robert J. Kodoatie
2. Paparan Hasil Sidang Komisi Bidang II
Prof. Dr. Daniel Mudyarso
3. Paparan Hasil Sidang Komisi Bidang III
Dr. Saeful Rachman, M.Sc
16.00 – 16.30 Penutupan
| 301 |
PROSIDING Workshop, 2009
DAFTAR PESERTA
| 302 |
Lampiran-lampiran
NO. NAMA INSTANSI
41. Judi Kurniawan ESP USAID
42. Karman BPSDA Bengawan Solo
43. Kristian M. BPK Manado
44. Kumala Nurhayati BPDAS Solo
45. Lily Mahisa Pusdal Reg. II
46. Minto Basuki BKSDA Jateng
47. Nana Mulyana Fak. Kehutanan IPB
48. Nardi BPK Solo
49. Nining W BPK Solo
50. Nova Indri Hapsari BTN Gunung Cermai
51. Nurhadi BTN Gn Merapi
52. Oka Karyanto Fak. Kehutanan UGM
53. Paimin BPK Solo
54. Pamungkas B P BPK Solo
55. Pipin P. BPK Ciamis
56. Prapto Suhendro BPK Solo
57. Purwanto Puslitbang Cepu
58. Purwanto Balai Penelitian Kehutanan Solo
59. Purwijanto Wisnubroto BPK Solo
60. Purwoto Pustanling
61. Putu Sudira Fak. TP UGM
62. Radika Pusair
63. Robert J. Kodoatie Fak. T Sipil UNDIP Semarang
64. Saeful Rachman Direktorat pengelolaan DAS
65. Salamah Retnowati BPK Solo
66. Sigit Hardwinarto Fak. Kehutanan UNMUL
67. Sikamto BPK Solo
68. Sinta Damayanti BPDAS Solo
69. Soenarno P3HT
70. Soewarti BPK Solo
71. Sofyan D. Majokayo Pusat Litbang SDA
72. Sri Suparti BPDAS Pemali
73. Sudarsono Puslitbang PHT
74. Sudibyakto Fak. Geografi UGM
75. Sukirno Fak. TP UGM
76. Sukresno Balai Penelitian Kehutanan Solo
77. Sunaryo BPK Solo
78. Supri Fak. Kehutanan UGM
79. Surachman BPK Solo
80. Susi Abdiyani BPK Solo
81. Sutarman A BPK Solo
82. Sutarmin Balai Besar Wil. Sungai Brantas
| 303 |
PROSIDING Workshop, 2009
| 304 |
Lampiran-lampiran
DISKUSI
| 305 |
PROSIDING Workshop, 2009
| 306 |
Lampiran-lampiran
| 307 |
PROSIDING Workshop, 2009
| 308 |
Lampiran-lampiran
o Kompleksitas permasalahan kelembagaan di Provinsi
maupun Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan
pengelolaan DAS tidak terlepas dari komponen yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan DAS pada masing-
masing wilayah, utamanya kelembagaan Pertanian dan
Kehutanan, Penataan Ruang dan Wilayah, Kelautan dan
Perikanan, Lingkungan Hidup, dan juga kelembagaan
administratif.
| 309 |
PROSIDING Workshop, 2009
| 312 |
Lampiran-lampiran
Lampiran 2. Daftar Hadir Peserta Workshop “Peran Hutan dan
Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS” Surakarta, 22
Nopember 2007.
| 313 |
PROSIDING Workshop, 2009
1 2 3
36. Herudoyo BPDAS
37. Sutopo Fak. Pertanian UNS
38. Sudarsono Puslitbang PHT
39. Giri Tutuko BPSDA Bengawan Solo
40. Karman BPSDA Bengawan Solo
41. Yonki Indrajaya BPK Ciamis
42. Bambang S. Antoko BPK Aek Nauli
43. Nurhadi BTN Gn Merapi
44. Hatma Fak. Kehutanan UGM
45. Supri Fak. Kehutanan UGM
46. Oka Karyanto Fak. Kehutanan UGM
47. Bambang Sunarto Pusair
48. Judi Kurniawan ESP USAID
49. Cuk Sunaryono PSDA Jateng
50. Sunaryo BPK Solo
51. Agus Wuryanta BPK Solo
52. Dody Prakosa BPK Palembang
53. Putu Sudira Fak. TP UGM
54. Sukirno Fak. TP UGM
55. Susi Abdiyani BPK Solo
56. Ismatul Hakim Puslit Sosek
57. Untung Suprapto BTN Merbabu
58. Abdul Munir Dishutbun
59. Henie Eka W BPK Solo
60. Pipin P. BPK Ciamis
61. Minto Basuki BKSDA Jateng
62. Purwanto Puslitbang Cepu
63. Aris Boediyono BPK Solo
64. Soewarti BPK Solo
65. Sutedjo BPK Solo
66. Surachman BPK Solo
67. Ir. Nana Mulyana, M.Sc. Fak. Kehutanan IPB
68. Ir. Sukresno, M.sc Balai Penelitian Kehutanan Solo
69. Dr. Sudibyakto Fak. Geografi UGM
70. Dr. Ir. Sigit H, M.Agr. Fak. Kehutanan UNMUL
71. Dr. Saeful R, M.Sc. Direktorat pengelolaan DAS
72. Drs. Irfan B.P., M.Sc. Balai Penelitian Kehutanan Solo
73. Ir. Hendro P, MP. Puslit Sosek
74. Ir. Purwanto Balai Penelitian Kehutanan Solo
75. Ir. Triyono, MP. Dishut Prop. Jateng
| 314 |
Lampiran-lampiran
1 2 3
76. Dr. Ir. R J. Kodoatie Fak. T Sipil UNDIP Semarang
77. Prof. Dr. Ir. Daniel M CIFOR/Mipa IPB
78. Ir. Iman Santoso, M.Sc Puslit Sosek
79. Ir. Anwar, M.Sc P3HKA
80. Dr. Harry Santoso P3HT
81. Ir. Edy Subagyo, M.P BPK Solo
82. Ir. Sutarman A, M.Si BPK Solo
83. Drs. Prapto Suhendro BPK Solo
84. Pamungkas B P, S.Hut BPK Solo
85. Sikamto BPK Solo
86. Drs. Irfan B P, M.Sc BPK Solo
87. U.W. Heri P, S.Hut BPK Solo
88. Ir. Nining W, M.Sc BPK Solo
89. Yogi Wulan P, S.Si BPK Solo
90. Wahyu Budiarso BPK Solo
91. Purwijanto Wisnubroto BPK Solo
92. Eko Priyanto BPK Solo
93. Nardi BPK Solo
94. Sutomo BPK Solo
95. Djoko Widagdo BPK Solo
96. Dradjad BPK Solo
97. Ir. Paimin, M.Sc BPK Solo
98. Ir. Heru D.R BPK Solo
99. Ir. Dewi Retno I, M.P BPK Solo
100. Ir. Beny Harjadi, M.Sc BPK Solo
| 315 |
PROSIDING Workshop, 2009
DISKUSI
| 317 |
PROSIDING Workshop, 2009
| 318 |
Lampiran-lampiran
20. Kelembagaan Pengelolaan DAS
Hendro Prahasto
o Untuk meningkatkan efektivitas koordinasi dan partisipasi
para pihak, harus membangun suatu komunikasi yang baik
dan tata kerja yang jelas yang didasarkan atas kebersamaan
dan diagendakan dalam suatu program kerja.
o Forum DAS yang telah ada diarahkan sebagai organisasi non
struktural, dan bersifat independen yang berfungsi untuk
membantu memecahkan permasalahan yang timbul dan
merumuskannya secara bersama-sama dalam wilayah DAS
seperti konflik kepentingan antar sektor, antar pemerintah
daerah serta dalam mengintegrasikan berbagai program dan
kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.
o Untuk dapat terciptanya Badan Koordinasi Pengelolaan DAS
perlu adanya payung hukum, minimal dalam bentuk
Keputusan Presiden.
21. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Air Dan Hasil Air Dari
Hutan
Purwanto
o Diperlukan kelembagaan yang anggotanya meliputi seluruh
stakeholder baik pengelola maupun pemanfaat air dari hutan.
o Kajian kelembagaan yang sebaiknya dilakukan antara lain: a).
kajian peraturan pelaksanaan dan perundangan yang terkait
serta kebijakan yang diambil oleh masing-masing sektor, b).
kajian kelembagaan dan kompensasi hulu hilir, c). kajian pola
pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh sektor-sektor
terkait, dan d). kajian kelembagaan internasional untuk
mengatasi masalah perubahan iklim.
22. Peran Pemerintah Daerah Dalam Rehabilitasi Daerah Aliran
Sungai
Sri Puryono
o Kompleksitas permasalahan kelembagaan di Provinsi
maupun Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan
pengelolaan DAS tidak terlepas dari komponen yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan DAS pada masing-
masing wilayah, utamanya kelembagaan Pertanian dan
Kehutanan, Penataan Ruang dan Wilayah, Kelautan dan
Perikanan, Lingkungan Hidup, dan juga kelembagaan
administratif.
| 319 |