You are on page 1of 334

ISBN 978-979-3145-45-7

PROSIDING
WORKSHOP

PERAN HUTAN DAN


KEHUTANAN DALAM
MENINGKATKAN
DAYA DUKUNG DAS
Surakarta, 22 Nopember 2007
Terbit Tahun 2009

Foto Sampul oleh :


Sukresno dan Eko Priyanto

Desain :
Eko Priyanto dan Wahyu Budiarso

© P3HKA 2009
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang

Diterbitkan oleh :
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam (P3HKA)
Jl. Gunung Batu No. 5
Bogor, Indonesia
Telp: +62 (0251) 8633234
Fax: +62 (0251) 8638111
E-mail: p3hka_pp@yahoo.co.id
Website: http://www.p3hka.org

i
Tim Penyunting

Koordinator : Ir. Sulistyo A. Siran, M.Sc

Ketua : Dr. A. Ngaloken Gintings

Anggota : Dr. Pratiwi


Dr. Sunarto Gunadi
Ir. Paimin, M.Sc

Sekretariat : Drs. Haryono


Nur Rahmat
Eko Priyanto

| ii |
KATA PENGANTAR

Sesuai dengan pernyataan yang terkandung dalam Undang-undang


No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 3 butir (c) yaitu bahwa
tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan
meningkatkan daya dukung DAS, maka sudah menjadi suatu keharusan
Departemen Kehutanan untuk berperan aktif dalam upaya peningkatan
daya dukung DAS. Setiap kali muncul bencana alam khususnya banjir,
kekeringan, dan tanah longsor, institusi kehutanan selalu dituding sebagai
pihak yang harus bertanggungjawab. Meskipun tudingan ini tidak
semuanya benar, namun perlu menjadi perhatian dan disikapi dengan
bijaksana sebagai pengemban amanat UU No. 41 tersebut.
Sebagai salah satu UPT Badan Litbang Kehutanan, Balai
Penelitian Kehutanan Solo (BPK Solo) telah memiliki hasil kajian sistem
karakterisasi DAS yang diformulasikan untuk mendiagnose kerentanan
dan potensi Sub DAS dari aspek banjir, kekeringan, kekritisan lahan,
tanah longsor, dan sosial ekonomi. Sesuai dengan tugas dan fungsinya,
BPK Solo menyelenggarakan Workshop dalam rangka pemasyarakatan
hasil litbang dengan tema “Peran Hutan dan Kehutanan dalam
Meningkatkan Daya Dukung DAS” di Surakarta pada hari Kamis tanggal
22 Nopember 2007.
Dengan terselenggaranya Workshop ini diharapkan terbangun
kesepahaman dan pemikiran yang selaras dari segenap jajaran kehutanan,
sehingga mampu menjawab setiap permasalahan degradasi Sub DAS
yang tercermin dengan munculnya bencana alam (banjir, kekeringan dan
tanah longsor), serta memahami perannya dalam menyikapi berbagai
fenomena dan dinamika yang terjadi di dalam DAS.
Prosiding Workshop ini memuat 20 judul materi yang dibahas dan
rangkuman serta rumusan workshop yang merangkum keseluruhan dari
hasil diskusi. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih
kepada Tim Penyaji, Panitia Penyelenggara, Penyunting Prosiding, serta
pihak-pihak yang telah mendukung sampai selesainya kegiatan. Semoga
Prosiding ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2009
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan dan Konservasi Alam

Ir. Adi Susmianto, M.Sc


NIP. 19571221 198203 1 002

| iii |
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………........ iii
DAFTAR ISI………………………………………………...... iv
PENGARAHAN
1. Laporan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Solo.......……........ ix
2. Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan ………….......... xv
RANGKUMAN DAN RUMUSAN
3. Rangkuman Workshop “Peran Hutan Dan Kehutanan
Dalam Meningkatkan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai...... 1
4. Rumusan Workshop ….…………………………………....... 11
BIDANG PERAN HUTAN DALAM
PENGENDALIAN BENCANA ALAM
5. Peran Hutan Dalam Pengendalian Bencana Banjir-
Kekeringan-Tanah Longsor: Identifikasi Masalah dan Teknik
Pengendalian. ( Robert J. Kodoatie).............................................. 14
6. Hubungan Luas Tutupan Hutan terhadap Potensi Banjir dan
Koefisien Limpasan di Beberapa DAS di Indonesia (Nana
Mulyana, Cecep Kusmana, Kamaruddin Abdulah dan Lilik B.
Prasetio)............................................................................................. 41
7. Peran Hutan Dalam Pengendalian Tanah Longsor
(Sukresno)………………............................................................. 55
8. Hutan sebagai Pengendali (Regulator) Puncak Banjir pada
DAS (Syofyan Dt.Majo Kayo , Mohamad Arief Ilyas, Dedih
Setiadi, Erna Satriana)………......................................................... 71
9. Tanah Longsor di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara:
Bentuk Kerusakan di Wilayah Hilir DAS Asahan (Sanudin
dan Bambang S. Antoko)…………….......................................... 91
BIDANG PERAN HUTAN SEBAGAI PEMASOK AIR
DAN PENGENDALI KEKERINGAN
10. Peranan Vegetasi Hutan dalam Mengatur Pasokan Air
(Daniel Murdyarso dan Sofyan Kurnianto)……………......... 102
11. Analisis Tingkat Kekeringan sbg Dasar Dalam Peng. DAS
Yang Berhutan di DAS Progo (Sudibyakto)……...................... 110
12. Sumbangan Hutan Terhadap Hasil Air (Sigit Hardwinarto) 116
13. Nilai Dan Distribusi Ekonomi Pengelolaan Kawasan
Lindung Sebagai Pengatur Tata Air: Kasus Di Sub Das
Brantas Hulu (Kirsfianti L. Ginoga, Sylviani dan Nurfatriani) 136
14. Neraca Air Di Dalam Hutan (Irfan Budi Pramono)……......... 144
15. Pengelolaan Hutan Pinus Untuk Konservasi Sumberdaya Air
(Sudarsono dan Purwanto)………………………................... 155
16. Pemilihan Jenis Pohon Untuk Membangun Hutan Dalam

| iv |
Daerah Aliran Sungai (A. Syaffari Kosasih, Rina
Bogidarmanti dan Nina Mindawati)………….......................... 161
17. Pengelolaan Hutan Lestari Sebagai Basis Peningkatan Daya
Dukung Daerah Aliran Sungai (Paimin)………….. 176
BIDANG PERAN KELEMBAGAAN KEHUTANAN
DALAM PENGELOLAAN DAS
18. Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Saeful
Rachman)…………....................................................................... 186
19. Kelembagaan Pengelolaan DAS (Hendro Prahasto)…............. 207
20. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Air Dan Hasil Air
Dari Hutan (Purwanto)……...……………………................ 234
21. Peran Pemerintah Daerah Dalam Rehabilitasi Daerah Aliran
Sungai (Sri Puryono)…………………………….................... 251
22. Peran Kawasan Konservasi Di Jawa Tengah Dalam
Mendukung Pengelolaan DAS (Minto Basuki)…………....... 263
23. Aspek Sosial Ekonomi Dan Kelembagaan Daerah Aliran
Sungai Brantas (Purwanto dan Paimin)…………………....... 273
24. Pembentukan Forum DAS Dalam Upaya Peningkatan
Fungsi DAS Bagi Lingkungan (Wawan Halwany)…............... 289
LAMPIRAN
Jadwal Acara 300
Daftar Peserta 302
Diskusi 305

|v|
1. LAPORAN
Kepala Balai Penelitian Kehutanan Solo
dalam Rangka Workshop
“Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS”

Yang terhormat :
Bapak Kepala Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam yang kami
hormati.
Para undangan dan peserta Workshop “Peran Hutan dan Kehutanan
dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS’ yang berbahagia
Assalaamu’alaikum Warakhmatullahi Wabarakatuh
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua
Sebagai umat beragama, pertama-tama dan utama marilah kita
panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha
Pengasih dan Penyayang, karena atas rakhmat dan hidayahNya kita
pada hari ini diberi kekuatan, kesehatan dan kesempatan sehingga
dapat berkumpul dan hadir pada acara Workshop “Peran Hutan dan
Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS’ Disamping itu
kami juga mengucapkan selamat datang di kota Solo yang indah ini
bagi kawan-kawan peserta dari luar kota, semoga kota Solo dapat
memberi inspirasi kita untuk berkarya lebih baik.
Bapak Kepala Pusat Penelitian yang kami hormati,
Pada kesempatan ini kami selaku penanggung jawab pelaksanaan
sosialisasi mohon ijin untuk melaporkan hal-hal sebagai berikut :
Yang melatarbelakangi pelaksanaan workshop adalah akhir-akhir
ini kita sering melihat banyaknya kejadian bencana alam banjir, tanah
longsor dan kekeringan yang menimpa di beberapa wilayah di
Indonesia. Peran kita sebagai instansi kehutanan dalam
menanggulangi bencana alam dan tanah longsor merupakan
keharusan sebagai bentuk penjabaran dan implementasi UU Nomor
41 Tahun 1999 khusunya pada Pasal 3 butir c.

| vi |
Hampir setiap kejadian banjir dan tanah longsor pihak kehutanan
dituding bertanggung jawab atas kejadian tersebut karena kondisi
hutan yang gundul dan kritis. Kita kesulitan untuk memberikan
argumentasi sehingga selalu terpojok karena belum siap sajinya data
dan informasi yang relevan serta kurangnya perhatian dari institusi
kehutanan sendiri dari peran yang harus dimainkan dalam mensikapi
masalah tersebut sejak dini.
Badan Litbang Kehutanan dalam hal ini Balai Penelitian
Kehutanan Solo telah memiliki hasil penelitian Kajian Sistem
Karakterisasi DAS yang diformulasikan untuk mendiagnosa
kerentanan dan potensi sub DAS dari aspek banjir, kekeringan,
kekritisan lahan, tanah longsor dan sosial ekonomi Sub DAS.
Formula tersebut dapat membantu mengidentifikasi masalah Sub
DAS dan mendiagnosa penyebab bencana banjir dan tanah longsor.
Disamping itu hasil Rakorbanghut 2006 di Cisarua Bogor khususnya
pada Fokus Pengelolaan DAS juga mengamanatkan pemasyarakatan
hasil litbang yang berkaitan pengelolaan DAS.
Berkenaan hal tersebut kami mencoba mensosialisasikan hasil
litbang tersebut kepada pengguna terutama jajaran kehutanan antara
lain lingkup Ditjen RLPS (Balai Pengelolaan DAS), Ditjen PHKA
(Balai KSDA dan Taman Nasional/Jawa-Bali) dengan peserta utama
para pengambil kebijakan tingkat lapangan, juga dari Pusat Diklat
Kehutanan, Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan, Perum Perhutani,
dan instansi lainnya.
Sebagai informasi pada bulan Agustus 2006 di ruangan ini pula
telah dilakukan Seminar “PEMANTAUAN DAN MITIGASI
BENCANA ALAM BANJIR, TANAH LONGSOR DAN
KEKERINGAN” yang melibatkan sebagian besar stakeholder yang
menangani bencana alam banjir, kekeringan dan tanah longsor.
Maksud diselenggarakannya workshop “PERAN HUTAN DAN
KEHUTANAN DALAM MENINGKATKAN DAYA DUKUNG
DAS” ini memasyarakatkan hasil kajian berupa formula untuk
mendiagnosa kerentanan dan potensi Sub DAS dari aspek banjir,
kekeringan dan tanah longsor kepada jajaran kehutanan terutama
pengambil kebijakan di lapangan terkait dengan pengelolaan DAS.
Sedangkan tujuannya adalah agar jajaran kehutanan tersebut
mampu menjawab setiap masalah degradasi Sub DAS serta
memahami peran dalam mensikapi berbagai fenomena alam yang
terjadi.

| vii |
Pelaksanaan Worskhop selama 1 hari yaitu pada hari Kamis
tanggal 22 Nopember 2007. Materi disajikan dalam 3 pleno yaitu
pleno I menyampaikan bahasan “Peran Hutan dalam Pengendalian
Bencana Alam” yang berisi 5 judul materi. Pleno II membahas “
Peran Hutan sebagai Pemasok Air dan Pengendali Banjir”, yang berisi
8 materi. Pleno III membahas “Peran Kelembagaan Kehutanan
dalam Pengelolaan DAS” yang berisi 7 materi.
Selanjutnya kami selaku penanggung jawab pelaksanaan
Workshop menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah berpartisipasi, membantu dan mendukung
penyelenggaraan acara ini.
Bapak Kepala Pusat Penelitian yang kami hormati,
Pada kesempatan yang berbahagia ini kami laporkan bahwa
jumlah peserta yang diundang sebanyak 100 orang, sampai saat ini
berdasarkan daftar hadir peserta telah memenuhi 100 orang.
Bapak Kepala Pusat Penelitian yang kami hormati,
Kami mohon dengan hormat Bapak Kepala Pusat Penelitian
berkenan membuka secara resmi serta memberi sambutan pada acara
Workshop ini
Demikian laporan kami, semoga Allah SWT memberi kita
kekuatan, kesehatan dan perlindungan selama pelaksanaan Workshop
dengan harapan semoga membawa manfaat.

Akhir kata kami ucapkan Wabillahi taufik wal hidayah,


Wassalaamu’alaikum Warakhmatullahi Wabarakatuh.

KEPALA BALAI,

Ir. EDY SUBAGYO, MP


NIP. 19600626 198703 1 001

| viii |
2. SAMBUTAN
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Departemen Kehutanan
Dalam Workshop
Dengan Tema :
“Peran Hutan dan Kehutanan Dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS”

Yang terhormat :
 Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah
 Kepala BPK Solo
 Para undangan dan peserta Workshop yang berbahagia

Assalaamu’alaikum Warakhmatullahi Wabarakatuh


Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua

Sebagai hamba Allah yang selalu dalam genggamanNya, yang pertama


dan utama marilah kita bersama-sama memanjatkan puji syukur ke
hadirat Allah SWT atas kemurahan dan rakhmatNya, kita semua
diberi kesehatan dan kesempatan sehingga bisa berkumpul dalam
pertemuan pagi ini.

Bapak, ibu para hadirin sekalian,


Saya rasa akan lebih baik, jika acara Workshop ini dibuka lebih dulu
sebelum saya memberikan sambutan lebih lanjut.

Dengan mengucap “Bismillahirrahmannirohiim” acara “Workshop


ini kami nyatakan “DIBUKA” secara resmi.

Bapak, Ibu Hadirin Sekalian,


Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki
manfaat nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa, baik manfaat
ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya. Dinamika alam dan sosial
budaya menuntut sistem penyelenggaraan pengelolaan yang
memberikan manfaat secara seimbang dan berasaskan kelestarian
(keberlanjutan), kerakyatan, berkeadilan, kebersamaan, keterbukaan,
dan keterpaduan. Dalam mencapai manfaat secara seimbang tersebut

| ix |
maka praktek pengelolaan hutan tidak hanya berorientasi pada hasil
kayu dan hasil hutan bukan kayu tetapi diubah menjadi pengelolaan
yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan,
termasuk plasma nutfah dan jasa lingkungan, dan berbasis pada
pemberdayaan masyarakat. Bertumpu pada prinsip dasar pengelolaan
hutan yang demikian maka Workshop yang diselenggarakan ini
dengan tema “Peran Hutan dan Kehutanan Dalam Meningkatkan
Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS)” sangat relevan dalam
mendukung keberhasilan pembangunan kehutanan Indonesia.

Tema yang diusung dalam Workshop selaras dengan Undang-Undang


No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, terutama pasal 3 yang salah
satunya menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan
bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang
berkeadilan dan bekelanjutan dengan “meningkatkan daya
dukung daerah aliran sungai (DAS)”. DAS adalah suatu wilayah
daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan
air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami,
yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut
sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas
daratan. Melalui daur air (hidrologi) dalam unit DAS, hutan secara
umum dipandang memiliki peran penting sebagai regulator tata air
dari hulu sampai hilir, baik jumlah, mutu, maupun distribusinya.
Namun demikian, komunitas vegetasi hutan ternyata tidak selalu
memberikan nilai positif/menguntungkan terhadap lingkungan.
Dalam kondisi alami tertentu justru tanaman hutan yang rapat bisa
merupakan potensi pendorong timbulnya bencana kekeringan dan
tanah longsor; demikian juga pada kondisi alami dengan lapisan tanah
yang tipis diatas batuan padu dengan topografi terjal, tanaman hutan
hanya sedikit bisa mengurangi bencana banjir. Peran hutan sebagai
penyangga lingkungan demikian inilah yang perlu terus dikaji dan
diteliti sehingga indikator tingkat keberhasilan penyelenggaraan
kehutanan sebagai fungsi manajemen akan disesuaikan dengan
karakteristik alaminya. Peran hutan secara menyeluruh demikian perlu
difahami oleh para pemangku kawasan hutan dan para pihak sehingga
penyelenggaraan kehutanan yang dilakukan selaras dengan tujuan
seperti diamanatkan dalam UU No 41 Tahun 1999 seperti diatas.

| x |
Para Hadirin Sekalian,
(Peran Hutan Dalam DAS)

Sudah sejak lama difahami bahwa secara umum hutan memiliki peran
penting dalam mengendalikan air hujan sehingga sumberdaya lahan
dalam kawasan hutan dan sumberdaya air yang dihasilkan dapat
terjaga kelestariannya. Namun berdasarkan hasil penelitian akhir-akhir
ini menunjukkan bahwa hutan tidak selalu bisa berperan seperti yang
umum fahami tersebut tetapi justru sebaliknya seperti penurunan
potensi hasil air akibat evapotranspirasi berlebihan. Dengan
berkembangnya fenomena dan pengetahuan kehutanan yang dinamis
tersebut maka diperlukan pencermataan dan telaah secara kritis,
obyektif, dan seksama sehingga diperoleh kebijakan penyelenggaraan
kehutanan yang lebih rasional dan optimal baik secara ekologi,
ekonomi, dan sosial budaya. Dukungan penelitian ke depan tidak bisa
ditawar lagi untuk lebih diintesifkan sehingga kebijakan yang diambil
selaras dengan kondisi obyektif lapangan.

Upaya memahami fenomena hutan dari aspek ekologi tata air dan
lahan merupakan salah satu bentuk penjabaran dari UU No 41 Tahun
1999. Pasal 17 ayat (2) mengamanatkan agar dalam pembentukan
wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan harus
dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi DAS. Lebih lanjut
dalam pasal 18 disebutkan bahwa kecukupan luas kawasan hutan dan
penutupan hutan untuk setiap DAS dan atau pulau harus
dipertahankan minimal 30%. Angka 30% ini sering disalah artikan
bahwa kebutuhan luas hutan hanya 30% sehingga kelebihan luas bisa
dikonversi untuk penggunaan lain tanpa mempertimbangkan kondisi
DAS seperti diamanatkan dalam pasal 17. Persentase luas dalam DAS
menjadi beragam tergantung dari kondisi iklim (hujan), bentuk lahan,
topografi, tanah, dan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Oleh karena
itu optimalisasi luas hutan dalam satuan DAS perlu diteliti lebih lanjut
dengan mempertimbangkan kondisi alami dan dinamika masyarakat
sekitarnya.

| xi |
1. Hutan Sebagai Regulator Air

Disadari bahwa DAS merupakan cadangan dan pasokan air yang


sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian, industri, dan konsumsi
rumah tangga. Kecukupan pasokan air sangat diharapkan dari
kawasan hutan yang diharapkan bisa memberikan kecukupan baik
jumlah, mutu, maupun kontinyuitasnya. Hutan memiliki kemampuan
sebagai penahan air hujan yang jatuh di atasnya untuk disimpan di
dalam bumi yang kemudian secara alami dialirkan sepanjang tahun
melalui aliran bawah permukaan (sub surface flow). Namun hasil air
yang demikian tidak bisa berlaku pada seluruh ruang dan lingkungan.
Pemilihan jenis tanaman rakus air yang dikembangkan pada daerah
dengan keterbatasan iklim dan tanah akan berakibat pada defisit hasil
air.

Hasil air (jumlah, mutu, dan kontinyuitas) dari kawasan hutan tidak
hanya tergantung vegetasi hutannya tetapi sangat dipengaruhi oleh
faktor alam lainnya, seperti jenis batuan (geologi), tanah tanah, lereng,
dan iklim. Oleh karena itu pemilihan jenis tenaman hutan, terutama
yang eksotik, harus dilakukan secara cermat agar tidak menimbulkan
penurunan potensi hasil air. Analisis neraca air pada setiap jenis
tanaman hutan sangat diperlukan sehingga dalam pemilihannya sesuai
dengan kondisi lapangan setempat.

Sumbangan air yang cukup besar dari kawasan hutan masih jarang
dinilai secara ekonomis dalam sistem pengelolaan hutan dalam satuan
DAS. Hal ini menjadi tidak adil apabila ternyata air yang dihasilkan
dimanfaatkan secara komersial, seperti untuk industri air minum,
konsumsi hotel, tenaga listrik, dll. Memperhatikan fakta lapangan
tersebut perlu adanya pencermatan dan pemilahan nilai manfaat
antara pemamfaatan publik dan komesial.

2. Hutan dan Bencana Alam


Dengan pemahaman umum tentang peran hutan sebagai pengendali
air hujan, maka setiap terjadi bencana banjir, tanah longsor dan
sedimentasi di daerah hilir, kawasan hutan selalu dituding sebagai
sumber penyebab utamanya karena adanya deforestasi. Padahal
tudingan itu tidak semuanya benar, sedangkan untuk memberikan
klarifikasi proses secara rasional masih terkendala oleh pemahaman
yang terbatas.
Kejadian banjir perlu dipilah antara potensi pasokan air banjir dan
daerah yang rawan kebanjiran. Hutan berperan dalam mengendalikan

| xii |
pasokan air banjir, tetapi besarnya pasokan air banjir tidak hanya
tergantung dari komunitas tanaman hutannya (jenis, kerapatan, umur)
tetapi juga tergantung dari hujan (intensitas dan durasi), morfometri
DAS, lereng, jenis batuan, dan tanah. Sementara itu daerah yang
secara alami rentan kebanjiran sering kurang terpelihara sistem
drainasenya, seperti tanggul sungai kurang terpelihara, palung sungai
yang menyempit karena tekanan pemukiman dan sarana liar lainnya.
Bencana tanah longsor akhir-akhir ini sering terjadi dan menelan
kerugian yang cukup besar, baik harta benda maupun jiwa. Pendapat
umum menyebutkan bahwa tanaman hutan merupakan teknik
pengendalian yang paling ampuh, sehingga setiap terjadi tanah
longsor dianggap sebagai dampak deforestasi. Padahal tanaman hutan
hanya bisa berperan secara efektif apabila sistem perakaran mampu
menembus dan terikat dengan batuan sehingga massa tanah dapat
tertahan. Oleh karena itu faktor alami seperti jenis batuan, kedalaman
tanah, dan lereng harus diperhatikan.
Proses banjir dan tanah longsor dapat terjadi secara simultan
sehingga dampak yang ditimbulkan sangat dahsyat. Seperti peristiwa
banjir bandang di Pacet dan Jember, Jawa Timur, serta di Bohorok,
Sumatera Utara, ternyata banjir yang terjadi bukan banjir normal
karena deforestasi atau illegal logging tetapi merupakan akumulasi
dari aliran air banjir normal ditambah jebolnya air tampungan yang
besar dari palung sungai yang tersumbat oleh tanah longsor dari
tebing sungai. Memperhatikan adanya multi-proses tanah longsor dan
banjir tersebut maka dalam menghimpun data dan informasi tidak
saja berkaitan dengan karakteristik hidrometeorologi dan karakteristik
DAS-nya tetapi juga faktor kekecualian lain yang terjadi di lapangan,
seperti penyumbatan palung sungai oleh tanah longsor atau material
hutan lainnya.
Fenomena proses bencana ini perlu diteliti lebih intensif sehingga
diperoleh metode penanganan yang lebih tepat sehingga kerugian bisa
ditekan serendah mungkin, melalui upaya preventif dan peringatan
dini.

Para Hadirin Sekalian,


(Peran Para Pihak Kehutanan)

Berkaitan dengan tata air dalam DAS, banyak pihak terkait baik
sebagai pemelihara maupun sebagai sebagai pemanfaat pasokan air
dari kawasan hutan. Hubungan antar pihak perlu ditata secara cermat
sehingga hak dan kewajibannya secara jelas dapat difahami dan tata

| xiii |
hubungan kerja dapat dibangun secara sinergis. Wilayah DAS
tersusun dari berbagai penggunaan lahan seperti hutan, perkebunan,
pertanian, pemukiman, tambang, dan industri, dll. Masing-masing
penggunaan lahan bisa berfungsi sebagai pemelihara dan atau sebagai
pemanfaat sumberdaya air. Namun demikian belum bisa diharapkan
setiap penyelenggara kawasan/lahan memiliki kesadaran kewajiban
dalam pelentarian daya dukung DAS.

Secara internal kehutanan, hutan sendiri terdiri dari fungsi-fungsi


produksi, lindung, dan konservasi dimana masing-masing fungsi
berbeda institusi penyelenggara atau pemangkunya. Padahal Kawasan
hutan produksi dan hutan lindung di bawah pemangkuan
Pengusahaan Hutan (luar Jawa) dan Perum Perhutani (Jawa dan
sedikit luar Jawa), sedangkan pemangkuan kawasan konsevasi (taman
nasional, suaka marga satwa, taman buru, dll) di bawah DitJen
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA).
Peningkatan peran para pihak kehutanan, terutama para
penyelenggara kehutanan, dalam meningkatakan pasokan air,
menanggulangi bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor
sebenarnya merupakan keharusan sebagai salah satu bentuk
penjabaran dan implementasi dari UU No 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan pada Pasal 3 butir (c) seperti disebutkan sebelumnya.
Dengan demikian tidak terlalu salah tuduhan bahwa apabila daya
dukung DAS rendah, seperti timbulnya banjir, kekeringan, dan tanah
longsor merupakan cerminan penyelenggaraan kehutanan yang
kurang benar; meskipun banyak kasus tidak demikian adanya.
Kegamangan peran setiap institusi kehutanan dalam mensikapi
bencana banjir dan tanah longsor, terutama dalam menyiapkan data
dan informasi, karena :
1. Keterbatasan dalam pemahaman dasar pengetahuan banjir
dan tanah longsor sehingga dalam mendiagnose sebab-akibat
sering menggunakan rumusan umum yang bersifat tunggal,
padahal kenyataan lapangan bersifat multi-proses.
2. Kekakuan atau kurang lenturnya penjabaran tugas pokok dan
fungsi institusi dalam mensikapi masalah banjir , kekeringaan,
dan tanah longsor
3. Lemahnya koordinasi sistem wilayah kerja dengan wilayah
permasalahan yang bersifat daerah tangkapan air (DAS)
sehingga melemahkan koordinasi antar institusi dalam
memformulasikan masalah dalam suatu wilayah kerja.

| xiv |
Agar jajaran kehutanan mampu menjawab setiap masalah banjir dan
tanah longsor tersebut secara jitu dan cepat maka kelemahan dan
kekurangan peran institusi kehutanan perlu ditingkatkan.

Para Hadirin Yang Berbahagia,

Kami mengharapkan agar workshop ini bisa menghasilkan dua hal


pokok yakni :
(1) Sumbangan pemikiran terhadap sistem penyelenggaraan
kehutanan untuk bisa meningkatkan daya dukung DAS.
(2) Konsep dasar penelitian dan pengembangan kehutanan yang
berorientasi peningkatan daya dukung DAS.
Sumbangan pemikiran tersebut bisa mendorong para pihak
penyelenggara kehutanan agar memahami dan memiliki komitmen
penyelenggaraan secara sinergis, konsekuen terhadap komitmen yang
telah disusun, sehingga memiliki percaya diri (konfiden) terhadap apa
yang dilakukan. Sedangkan konsep dasar penelitian yang dihasilkan
akan digunakan sebagai acuan Badan Litbang Kehutanan dalam
penyelenggaraan penelitian ke depan.

Kami percaya bahwa yang hadir disini cukup beragam, baik dari
kalangan akademisi yang mumpuni dan berpengalaman, praktisi yang
cukup kenyang asam garamnya penyelenggaraan kehutanan, serta para
aktivis dan pemerhati kehutanan dan DAS yang sarat pengalaman
lapangan, sehingga harapan kami tersebut bisa terwujud.

Semoga Allah swt memberkati dan meridhoi. Amin.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan


Ir. WAHJUDI WARDOYO, M.Sc.
NIP. 080035208

| xv |
| xvi |
3. RANGKUMAN WORSHOP
“PERAN HUTAN DAN KEHUTANAN DALAM
MENINGKATKAN DAYA DUKUNG
DAERAH ALIRAN SUNGAI”
Oleh :
Paimin

I. PENDAHULUAN

Pengelolaan sumberdaya hutan, yang merupakan modal


pembangunan nasional bagi kehidupan dan penghidupan bangsa,
diselenggarakan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan,
kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan (Undang Undang No.
41 Tahun 1999, pasal 2). Dalam mencapai manfaat secara seimbang
tersebut maka praktek pengelolaan hutan tidak hanya berorientasi
pada hasil kayu dan hasil hutan bukan kayu tetapi diubah menjadi
pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya
hutan, termasuk plasma nuftah dan jasa lingkungan, dan berbasis
pada pemberdayaan masyarakat. Bertumpu pada amanat tersebut
maka perlu telaah peran hutan dalam meningkatkan daya dukung
dukung daerah aliran sungai (DAS) seperti dituangkan dalam Undang
Undang (UU) No 41 tahun 1999 pasal 3, amar (c) bahwa
penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan
”meningkatkan daya dukung DAS”. Peran hutan yang dimainkan
dalam meningkatkan daya dukung DAS sangat dipengaruhi oleh
penyelenggara kehutanannya itu sendiri dalam melakukan
pengelolaan. Amanat ini perlu dijabarkan secara operasional sehingga
para penyelenggara kehutanan bisa memahami lebih jelas dalam
melakukan pengelolaan hutan secara lestari, baik aspek ekonomi,
ekologi maupun sosial budaya.
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya
tidak dapat dipisahkan. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang
bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang
diselenggarakan secara terpadu (UU No 41 Tahun 1999). Kawasan
hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Hutan secara umum dipandang sebagai satuan komplek dari tanah,
tegakan, akar, dan seresah yang bertindak seperti spon yang menyerap
air hujan pada musim penghujan dan melepas secara pelan sebagai
aliran masuk ke dalam tanah (infiltrasi) dan aliran di atas permukaan

| 1 |
tanah. Air yang masuk ke dalam tanah diharapkan dapat disimpan dan
kemudian secara ajeg (berkesinambungan) dapat dialirkan melalui
bawah permukaan tanah yang kemudian muncul di permukaan tanah
sebagai mata air maupun rembesan untuk pasokan air pada musim
kemarau.
Pasal 47, UU No 41 tahun 1999, menerangkan bahwa
perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk: (a)
mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran,
daya-daya alam, hama, serta penyakit, dan (b) mempertahankan
dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan,
kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang
berhubungan dengan pengelolaan hutan. Pasal ini merupakan dasar
tumpuan Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan. Pasal 16 menyebutkan bahwa kerusakan yang
disebabkan oleh daya-daya alam meliputi letusan gunung, tanah
longsor, banjir, kekeringan, badai, dan gempa. Dalam PP No 6
Tahun 2007 pasal 25 dan 33 dinyatakan bahwa sebagian pemanfaatan
dari jasa lingkungan hutan dapat dilakukan melalui: (1) pemanfaatan
jasa aliran air, dan (2) pemanfaatan air. Air mengalir secara alami
melalui sistem sungai, melintasi berbagai pola penggunaan lahan
dengan pemangku lahan yang beragam, sehingga dapat dikuantifikasi
dan terukur dalam sistem DAS. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa peran hutan dalam mengendalikan siklus air
dalam DAS sangat beragaman [5, 6, 8, 10, 11, 12, 14,15, 17]1).
Bertolak dari peraturan perundangan tersebut serta hasil
penelitian yang telah banyak berkembang, maka jabaran dan
pemahaman tentang peran hutan dan kehutanan perlu dibedah
melalui workshop “Peran Hutan dan Kehutanan Dalam
Meningkatkan Daya Dukung DAS” dengan bahasan pokok : (1)
Peran Hutan Dalam Pengendalian Bencana Alam, (2) Peran Hutan
Dalam Menyumbang Pasokan Air, dan (3) dan Peran Kelembagaan
Kehutanan Dalam Pengelolaan DAS, untuk kemudian dijadikan
pijakan dalam menyusun “Riset Hutan dan Kehutanan Dalam
Pengelolaan DAS”. Diharapkan workshop ini bisa menghasilkan dua
hal pokok yakni : (1) sumbangan pemikiran terhadap sistem
penyelenggaraan kehutanan untuk bisa meningkatkan daya dukung

1)
Angka-angka dalam tanda kurawal [ ] pada halaman ini dan
selanjutnya menunjukkan sumber acuan sesuai dengan nomor pidato,
sambutan, dan makalah dalam prosiding ini.

| 2 |
DAS, dan (2) konsep dasar penelitian dan pengembangan kehutanan
dalam peningkatan daya dukung DAS [2].

II. PERAN HUTAN DALAM PENGENDALIAN


BENCANA ALAM

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh


peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara
lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angin topan, dan tanah langsor [5]. Bencana banjir dan tanah longsor
lebih mudah dianalisis dan difahami melalui satuan wilayah DAS,
karena dampak yang ditimbulkan tidak hanya bersifat setempat (on
site) tetapi juga pada daerah hilirnya (off site) dengan mengikuti proses
alami aliran air. Hutan, sebagai faktor yang bisa dipengaruhi atau
diintervensi oleh manusia melalui sistem pengelolaan yang diterapkan
(manageable), memiliki peran sangat penting dalam pengendalian
bencana banjir maupun tanah longsor. Namun demikian kemampuan
hutan dalam mengendalikan siklus atau daur air sebagai salah satu
penyebab bencana sangat beragam.
Bencana Banjir
Hutan bisa menahan limpasan permukaan (surface run-off),
sehingga banjir di musim penghujan berkurang dan kekeringan waktu
musim kemarau dapat dihindari [5, 6, 8, 12]. Peran hutan dalam
mengendalikan banjir ditunjukkan oleh nisbah/rasio limpasan
permukaan dengan hujan. Hasil studi di Sub DAS Cibangban (Garut),
Cikawung (Garut), Gumbasa (Palu), Manguliling (Toraja), Cilebak
(Bandung), dan aplikasi model ANSWERS di Sub DAS
Cikapundung-Gandok, menunjukkan bahwa semakin luas hutan
dalam DAS semakin kecil banjir terjadi, demikian sebaliknya semakin
sempit luas hutan dalam DAS banjir semakin besar [6, 8].
Pengendalian bencana banjir dapat dilakukan dengan prinsip
dasar : (1) mengurangi pasokan air banjir dari daerah tangkapan
airnnya, dan (2) meningkatkan daya tampung palung sungai.
Pengurangan debit banjir dilakukan dengan merehabilitasi lahan kritis,
baik secara vegetatif maupun teknik sipil [8, 16]. Pembangunan
waduk kecil dan penterasering an dengan berbagai kombinasi dapat
menurunkan puncak banjir berkisar dari 34% s/d 50% [8]. Jenis
pohon yang digunakan untuk memulihkan lahan kritis atau
terdegradasi, secara umum harus memenuhi persyaratan : (1)
termasuk jenis cepat tumbuh, (2) bertajuk lebat, (3) sistem perakaran
melebar, kuat, dan dalam, (4) mudah bertunas, (5) mampu tumbuh di
tempat terbuka dengan penyinaran penuh (jenis pioner, intoleran,
beriap besar), (6) dapat bersimbiose dengan jasad renik, (7) biji atau

| 3 |
bagian vegetatif untuk pembiakan mudah didapat [16]. Peningkatan
daya tampung sungai dilakukan pada daerah yang rentan (rawan)
terkena banjir (kebanjiran) seperti pembuatan dan pemeliharaan
tanggul sungai, normalisasi sungai, sudetan (by pass), floodway, dan
lainnya [5].
Bencana Tanah Longsor
Perubahan tata guna lahan untuk suatu peruntukan industri
maupun pemukiman dapat mengakibatkan kondisi tanah yang tadinya
stabil menjadi tidak stabil, mudah bergerak atau mengembang karena
perubahan struktur dan kondisi tanah, sehingga mengakibatkan
terjadinya longsor [5]. Seperti tanah longsor yang terjadi di Kabupaten
Asahan selain karena faktor curah hujan yang tinggi juga disebabkan
oleh perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi penggunaan
lahan lain seperti perkebunan [9]. Akan tetapi peran vegetasi hutan
dalam pengendalikan tanah longsor, khususnya pengendalian stabilitas
lereng, dapat berpengaruh positip (menguntungkan) dan atau negatip
(merugikan) [7]. Peran positipnya ditunjukkan oleh kemampuan
vegetasi dalam meningkatkan kuat geser tanah dan menurunkan
tegangan geser tanah. Peran negatipnya ditunjukkan oleh pengaruh
vegetasi dalam menurunkan kuat geser tanah dan meningkatkan
tegangan geser tanah. Kemampuan vegetasi hutan dalam
mempengaruhi stabilitas lereng, selain berat biomassnya juga bentuk
sistem perakaran, kedalaman akar, distribusi/sebaran perakaran,
susunan akar, dan kekuatan akar. Vegetasi hanya merupakan salah
satu faktor penyebab tanah longsor dari faktor lainnya yakni
parameter hidraulik, karakteristik material dasar, karakteristik tebing,
aliran bawah tanah (subsurface flow), gelombang angin, binatang, dan
manusia [5].
Teknik mengendalikan daerah rawan bencana tanah longsor
dapat dilakukan secara teknik sipil maupun vegetatif. Namun
demikian data terkait jenis-jenis vegetasi yang sesuai untuk
pengendalian lereng rawan longsor di Indonesia belum banyak
tersedia [7]. Perlu diketahui bahwa teknik pengendalian tanah longsor
tidak sama dengan teknik pengendalian lahan kritis sebagai mitigasi
banjir.

III. PERAN HUTAN SEBAGAI PEMASOK AIR DAN


PENGENDALI KEKERINGAN

Kebutuhan air dari waktu ke waktu terus bertambah seiring


dengan pertambahan penduduk, baik untuk hidup maupun
kehidupannya. Sumber air utama adalah curah hujan yang selalu
bergerak secara dinamis mengikuti proses daur hidrologi atau air

| 4 |
(hydrologic cycle). Hutan merupakan salah satu unsur pengendali daur
hidrologi, baik sebagai pengguna air untuk proses kehidupannya
(transpirasi) maupun sebagai sistem lingkungan yang mempengaruhi
proses daur air seperti intersepsi, aliran batang (stem flow), curahan
tajuk (throughfall), limpasan (permukaan dan bawah permukaan),
evaporasi, dan simpanan air dalam tanah (bumi). Kebutuhan air yang
diharapkan dari hutan oleh manusia adalah hasil air (water yield) yang
lestari keluar dari hutan, baik kelestraian jumlah, mutu, dan
kontinyuitas. Oleh karena itu melalui satuan DAS perlu dikuantifikasi
masukan (inputs), keluaran (outputs), dan proses dari air dalam hutan
yang tersusun dalam neraca air hutan. Dari neraca air di dalam hutan
dapat diketahui proses-proses hidrologi di dalam hutan sehingga
fungsi hutan sebagai tata air akan lebih mudah dipahami [10, 14].
Analisis kebutuhan (demand) dan pasokan (supply) air sangat perlu
untuk memperoleh keamanan air sehingga resiko kekeringan dapat
dikurangi.
Pasokan Air dari Hutan
Hutan dipandang sebagai pemasok air secara lestari, namun
beberapa penelitian dan telaah menunjukkan hasil yang beragaman
[10, 12, 14, 15, 17]. Hasil air yang keluar dari kawasan hutan relatif
beragam, tergantung kondisi alami setempat seperti faktor geografis,
biogeofisik dan iklim serta sistem pengelolaan yang diterapkanan [12].
Dengan menggunakan analisis neraca air dalam hutan dapat diketahui
proses dan nilai atau besarnya komponen siklus hidrologi/air di
dalam hutan sehingga fungsi hutan sebagai tata air akan lebih mudah
dipahami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya intersepsi
sekitar 15 % dari total curah hujan, sedangkan curahan tajuk
(throughfall) dan aliran batang (stemflow) masing-masing 79 % dan 1 %
[14]. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hutan tidak menambah
aliran sungai (debit), tetapi justru menguranginya karena tingkat
evapotranspirasinya tinggi [10, 15]. Pengaruh hutan sangat ditentukan
skala penutupan lahannya namun alih-guna lahan, khususnya
pengurangan penutupan hutan hingga 15 persen, tidak memberikan
pengaruh yang berarti tehadap pasokan air [10].
Hutan dengan tanaman pinus menggunakan air untuk
evapotranspirasi sebesar 1.353 mm/tahun lebih tinggi dibandingkan
dengan hutan alam yang hanya 908 mm/tahun ,dan tanaman
semusim 610 mm/tahun [15]. Oleh karena itu penanaman hutan jenis
pinus diarahkan pada daerah yang mempunyai curah hujan lebih dari
2.000 mm/tahun. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa
evapotranspirasi dari Acacia mangium sebesar 1495 mm atau 45 %
dari total curah hujan tahunan, evapotranspirasi dari Agathis damara
sebesar 1070 mm atau 22 % dari hujan [14]. Penelitian di wilayah

| 5 |
Kalimantan Timur menunjukkan bahwa hasil (pasokan) air dari DAS
berhutan, yang diukur dari nilai nisbah debit maksimum dan debit
mínimum (koefisien rejim sungai), memiliki nilai dari yang baik
sampai buruk secara berurutan adalah kawasan Hutan Lindung,
Hutan Alam Produksi (HPH), Pemasok Air Waduk, Hutan Tanaman
Industri (HTI) [12].
Potensi air dari kawasan hutan tidak hanya dari mata air hasil
aíran bawah permukaan, tetapi juga air yang tertampung sebagai
simpanan permukaan seperti danau dalam kawasan hutan. Di Jawa
Tengah potensi air danau ini banyak terdapat di kawasan hutan cagar
alam [22].
Walaupun peran hutan dalam memeberikan pasokan air
sangat beragam, tetapi hutan dapat mengatur fluktuasi aliran sungai
karena peranannya dalam mengatur limpasan dan infiltrasi [10],
sehingga dalam analisis pasokan air dapat memberikan kepastian
besarnya jumlah.
Pasokan air dari hutan dapat dikuantifikasi nilai ekonominya
[13]. Agar diperoleh kelestarian pasokan air dari lingkungan hutan
perlu pengalokasian kembali nilai lingkungan yang diperoleh dari
penghitungan tarif normal untuk masing-masing pemanfaatan
sumberdaya air kepada pengelola kawasan hutan sebagai bentuk cost
benefit sharing di antara penyedia dan penerima manfaat hidrologis
hutan. Upaya konkret cost benefit sharing dapat berupa peningkatan tarif
pemanfaatan sumberdaya air sehingga mencerminkan internalisasi
eksternalitas dimana penerimaan dari peningkatan tarif tersebut
dikembalikan ke pengelolaan hutan dalam bentuk realokasi anggaran
pemerintah untuk merehabilitasi dan memelihara lingkungan. Jika
peningkatan tarif tidak mungkin dilaksanakan adalah dengan
membatasi penggunaan (kuota) di tingkat konsumen akhir.
Becana Kekeringan
Kekeringan dapat dipilah dalam dua definisi yaitu suatu
periode tanpa air hujan yang cukup dan suatu periode kelangkaan air
[5]. Kekeringan karena ketidak-cukupan air hujan dapat disebut
kekeringan secara meteorologis atau klimatologis yakni sebagai suatu
interval waktu dimana suplai air hujan yang jatuh/turun aktual lebih
pendek dibandingkan suplai air klimatologis estimasi normal. Definisi
kedua, kekeringan dapat dilihat dari aspek kekeringan hidrologi,
kekeringan pertanian, dan kekeringan sosial-ekonomi. Kekeringan
pertanian sebagai suatu periode ketika air tanah tidak cukup
memenuhi kebutuhan air tanaman sehingga pertumbuhannya tetap,
bahkan tanaman mati. Kekeringan hidrologis adalah suatu periode
dimana aliran sungainya di bawah normal, atau untuk waduk bila air
tampungannya sangat sedikit atau habis. Kekeringan sosial ekonomi

| 6 |
adalah hasil proses fisik yang terkait dengan aktivitas manusia yang
terkena dampak kekeringan.
Untuk menghubungkan aspek-aspek kebutuhan dan pasokan
dapat digunakan nilai Indeks Kekeringan, walaupun banyak formula
untuk penetapan nilai tersebut [5, 11], sehingga daerah rawan
kekeringan dapat dipetakan. Studi pemetaan daerah rawan kekeringan
yang dilakukan di DAS Progo menunjukkan bahwa secara umum
semaikn ke hilir tingkat kerawanan kekeringan semakin tinggi [11].
Kekeringan muncul karena beberapa faktor antara lain
berkurangnya curah hujan, ketidakmampuan jenis tanah menahan air
dalam jumlah yang cukup untuk menutup kebutuhan
evapotranspirasi. Mitigasi kekeringan dapat dilakukan dengan: (1)
Efesiensi Penggunaan (Penghematan) Air, (2) Pengelolaan Sumber
Daya Air secara Efektif, (3) Pemanfaatan Simpanan Air Embung dan
Waduk Secara Selektif dan Efektif, (4) Penyesuaian Pola dan Tata
Tanam, (5) Kegiatan Yang Mendukung Kelestarian Alam, (6)
Analisis Pengelolaan Sumber Daya Air [5, 11]. Pengenalan peluang
waktu terjadinya kekeringan sangat diperlukan sehingga upaya
mitigasi dapat dilakukan secara efektif dan efisien, seperti di Jawa
umumnya terjadi pada musim kemarau, dimulai bulan Mei dan
berakhir Oktober dengan puncak kekeringan terjadi di bulan Agustus
dan September.

IV. PERAN KELEMBAGAAN KEHUTANAN DALAM


PENGELOLAAN DAS

Sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan,


kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu
terbangun dalam sistem kelembagaan. Pengertian lembaga mencakup
aturan main, etika, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau
suatu organisasi atau suatu sistem. Pengertian tersebut menunjukkan
bahwa institusi atau kelembagaan didominasi oleh unsur-unsur
aturan, tingkah laku atau kode etik, norma, hukum dan faktor
pengikat lainnya antar anggota masyarakat yang membuat orang saling
mendukung dan bisa berproduksi atau menghasilkan sesuatu karena
ada keamanan, jaminan akan penguasaan atas sumber daya alam yang
didukung oleh peraturan dan penegakan hukum serta insentif untuk
mentaati aturan atau menjalankan institusi. Kelembagaan (institusi)
bisa berkembang baik jika ada infrastruktur kelembagaan, ada
penataan kelembagaan dan mekanisme kelembagaan [21].
Wilayah DAS tersusun dari berbagai penggunaan lahan
seperti sawah, tegal (lahan kering), perkebunan, pemukiman, hutan

| 7 |
dan penggunaan lainnya, dimana setiap penggunaan lahan berbeda
pemangku dan sistem pengelolaannya [17]. Pengembangan
kelembagaan dalam pengelolaan DAS sangat sulit mengingat
kompleksnya komponen-komponen dalam pengembangannya seperti
aspek ekologi, teknologi, sistem produksi pertanian, pengelolaan
hutan, sosial, ekonomi dan politik. Terlepas dari kompleksitas
permasalahan yang ada, kelembagaan di Provinsi maupun
Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pengelolaan DAS tidak
terlepas dari komponen yang bertanggung jawab dalam pengelolaan
DAS pada masing-masing wilayah, utamanya kelembagaan Pertanian
dan Kehutanan, Penataan Ruang dan Wilayah, Kelautan dan
Perikanan, Lingkungan Hidup, dan juga kelembagaan administratif
[21]. Oleh karena itu pengelolaan DAS harus dilakukan secara
terpadu dengan melibatkan semua pemangku kepentingan baik unsur
pemerintah, swasta maupun masyarakat mulai dari daerah hulu
sampai daerah hilir DAS. Untuk mewujudkan itu diperlukan
pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS sehingga
memungkinkan terjadinya koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan
sinerji (KISS) antar pemangku kepentingan dengan pengelolaan
sumberdaya dalam DAS [18]. Koordinasi tidak hanya menyangkut
kesepakatan dalam satu kerjasama yang operasional, tetapi juga
koordinasi dalam pembuatan kebijakan sehingga menghasilkan
kebijakan yang sistematis dan tidak berbenturan satu dengan yang lain
serta sinkronisasi pengelolaan sumberdaya DAS, tanpa mengganggu
target sektoral masing-masing [19]. Dari studi di DAS Brantas
menunjukkan bahwa terdapat beberapa institusi sebagai perencana
tetapi koordinasi satu dengan lainnya lemah, implementator terdiri
berbagai Dinas Tingkat II dan UPT Pemerintah Pusat, sedangkan
monitoring dan evaluasi belum dilakukan untuk seluruh DAS [23].
Sektor kehutanan melalui Balai Pengelolaan DAS di daerah,
yang merupakan salah satu pemangku kepentingan yang cukup
berperan dalam pengelolaan DAS, telah menginisiasi dan
memfasilitasi pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS di
berbagai daerah dengan nama ”Forum DAS”. Akan tetapi forum-
forum DAS yang ada tersebut masih harus ditingkatkan kapasitas
dan perannya sehingga bisa berfungsi sebagaimana yang diharapkan
[18]. Studi proses pembentukan Forum DAS di Kalimantan Selatan
dengnan menggunakan analisis SWOT diperoleh hasil : (1) Kekuatan -
Forum DAS dibentuk atas Partisipasi masyarakat, Kondisi DAS yang
rusak, Ketersediaan Sumber Daya Manusia, Legalisasi forum DAS,
(2) Kelemahan - Keterlibatan masyarakat hulu kecil, DAS di
Kalimantan Selatan meliputi dua propinsi, Kurangnya sosialisasi,
Sumber Dana, (3) Peluang - Isu bencana dan adanya nilai

| 8 |
jual/kompensasi, dan (4) Ancaman - Paradigma otonomi sempit dan
lemahnya koordinasi [24].
Dalam pengelolaan sumberdaya air dalam suatu DAS
banyak lembaga pengelola kawasan yang berfungsi sebagai pengatur
tata air, pengelola sungai dan pendistribusi air dan pemanfaat air
tetapi koordinasinya masih lemah. Sebagian besar masyarakat masih
memiliki pandangan bahwa air dan sumberdaya air merupakan
barang publik, sementara itu masyarakat pemelihara dan pelestarinya
tidak memperoleh kompensasi yang sepadan. Demikian juga
kesadaran masyarakat tentang banjir yang berasal dari suatu kawasan
yang dipangkunya masih lemah [20].

V. RISET HUTAN DAN KEHUTANAN DALAM


PENGELOLAAN DAS

A. Litbang Kehutanan Dalam Mitigasi Bencana Banjir dan


Tanah Longsor

1. Perlu adanya penelitian yang berkesinambungan tentang peran


hutan terhadap banjir pada berbagai keragaman sifat alami
DAS seperti batuan (geologi), tanah, topografi, morfometri,
dan pola hujan.
2. Perubahan iklim global tehadap bencana banjir, dan tanah
longsor, sebagai bsis upaya mitigasi bencana.
3. Perlu pengembangan modeling hidrologi dalam mempelajari
pengaruh hutan dan banjir dengan memperhatikan aspek
spatial dan temporal.
4. Efektivitas tanaman hutan dalam pengendalian tanah longsor,
yang meliputi jenis, sifat-sifat tanaman terhadap pengendalian
longsor, teknik silvikultur (termasuk jarak tanam pada berbagai
posisi lereng), yang diaplikasikan pada berbagai kondisi alami
geologi (batuan), tanah, lereng, dan hujan.
5. Hasil penelitian perlu disosialisasikan sehingga pemahaman
mitos hutan bisa lebih dijabarkan secara obyektif rasional.

B. Litbang Hasil Air dari Hutan dan Kekeringan

1. Penelitian yang berkaitan dengan peran hutan terhadap hasil air


masih relatif sedikit dan hasil yang diperoleh masih sengit
diperdebatkan, sehingga ke depan sangat perlu dilakukan
penelitian dan pengembangan (litbang). Di Indonesia, hutan
terbagi dalam berbagai fungsi (produksi, lindung, dan

| 9 |
konservasi) dan sistem pengelolaan dan berada di atas kondisi
alami (elevasi, iklim/hujan, bentuk lahan, batuan, topografi,
tanah) yang sangat beragam. Interaksi berbagai fungsi hutan,
sistem pengelolaan, jenis tanaman, dan kondisi alami, akan
memerlukan litbang yang sangat luas untuk memperoleh hasil
air yang optimal dan lestari. Hasil ini juga akan bisa menjawab
luas hutan optimal pada suatu wilayah tertentu.
2. Pengembangan modeling hidrologi akan lebih bisa membantu
untuk melakukan estimasi pasokan air dari hutan serta estimasi
atau prakiraan kemungkinan terjadinya bencana kekeringan.
3. Perlu pengembangan formulasi kekeringan agar bencana
kekeringan dapat diprakirakan secara lebih akurat.
4. Perubahan iklim global terhadap dinamika neraca air dari
kawasan hutan.
5. Analisis ekonomi pasokan air dari hutan (publik, komersial, dan
semi komersial) maupun multifungsi hutan lainnya sebagai
dasar dalam internalisasi eksternalitas. Melalui analisis demikian
dapat diformulasikan benefit cost sharing hulu – hilir.
6. Litbang dalam penetapan dan klasifikasi penilaian kriteria
kelestarian ekologi tata air pada pengelolaan hutan lestari,
karena keberagaman jenis batuan (geologi), tanah, lereng, dan
iklim, serta fungsi hutannya sehingga tidak rasional apabila
hanya menggunakan satu nilai.

C. Litbang Kelembagaan Kehutanan Dalam Pengelolaan DAS

1. Kajian kelembagaan pemangkuan kawasan hutan sehingga


diperoleh keselarasan tugas pokok dan fungsi pengelolaan
hutan untuk meningkatkan daya dukung DAS.
2. Kajian peraturan perundangan yang terkait dengan hutan dan
DAS sebagai dasar penyusunan sistem kelembagaan yang
selaras berisikan organisasi, aturan main, etika, kode etik, sikap,
tingkah laku, dan sistem pendanaan.
3. Mengkaji kapasitas, peran dan posisi lembaga pemerintah dan
non pemerintah terlkait dalam pengelolaan DAS, dimana
kelembagaan kehutanan merupakan bagian dari sistem
kelembagaan pengelolaan DAS, sebagai basis formulasi rancang
bangun alternatif kelembagaan pengelolaan DAS yang sesuai
dengan karakteristik biofisk, sosek dan permasalahan DAS
setempat.
4. Kajian kelembagaan internasional untuk mengatasi masalah
perubahan iklim global.

| 10 |
4. RUMUSAN WORKSHOP
“PERAN HUTAN DAN KEHUTANAN
DALAM MENINGKATKAN DAYA DUKUNG DAS”
(22 Nopember 2007)

Memperhatikan arahan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan


Kehutanan serta hasil diskusi dan pemikiran para pemakalah, dapat
diambil catatan-catatan penting sebagai berikut:

A. Pemikiran terhadap sistem penyelenggaraan kehutanan


untuk bisa meningkatkan daya dukung DAS.

1. Keberhasilan penyelenggaraan kehutanan lestari meliputi aspek


lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi. Aspek lingkungan tata
air dapat dievalusi melalui pendekatan DAS yang dicerminkan
dari kelestarian sumberdaya lahan di dalam DAS (degradasi
lahan rendah) dan kelestarian sumberdaya air di dalam maupun
yang keluar dari kawasan hutan dalam DAS seperti pasokan air,
baik untuk kebutuhan sosial/publik maupun komersial,
pengendali sedimen, pengendali pencemaran, banjir, dan
kekeringan. Dalam menjaga keseimbangan siklus hidrologi,
hubungan hutan, banjir, kekeringan & longsor tidak sederhana,
perlu penjelasan yang sederhana agar dapat dipahami &
dimengerti dengan mudah.
2. Prinsip dasar mitigasi Banjir = berusahalah menahan air
selama-lamanya; sedangkan Longsor = buanglah air secepat-
cepatnya. Berdasar prisip tersebut hutan merupakan penahan
terbesar dibandingkan jenis penutupan lahan lainnya;
sebaliknya untuk mengendalikan tanah longsor tanaman hutan
bersifat selektif, bukan terapi mutlak.
3. Perilaku perubahan iklim global perlu dicermati sebagai dasar
dalam melakukan mitigasi bencana banjir, kekeringan, dan
tanah longsor.
4. Hutan tidak meningkatkan hasil air tetapi justru sebaliknya
menurunkan hasil air karena besarnya jumlah evapotranspirasi.
Base flow (aliran dasar) musim kering antara hutan dan non
hutan masih debatable.

| 11 |
5. Walaupun pasokan air dari hutan berkurang dibanding areal
bukan hutan tetapi peran hutan yang lebih besar perlu
dipertimbangkan seperti kualitas air yang dihasilkan lebih baik,
pengendalian banjir, dan kematapan kawasan penghasil air.
Perubahan hutan menjadi penggunaan lain, seperti pertanian
dan padang rumput, akan berdampak pada tingkat erosi,
sedimentasi, banjir, jaminan pasokan hasil air. Dengan
demikian penyelenggraan hutan lestari yang kemungkinan
menurunkan pasokan air perlu dibandingkan kerugian yang
diakibatkan oleh penggundulan dan konversi hutan. Hal ini
merupakan peringatan bagi penyelenggara kehutanan untuk
berhati-hati dalam mengelola hutannya sehingga tidak
menimbulkan defisit pasokan air dari kawasannya.
6. Hasil air (jumlah, mutu, dan kontinyuitas) dari kawasan hutan
tidak hanya tergantung vegetasi hutannya tetapi sangat
dipengaruhi oleh faktor alam lainnya, seperti elevasi, jenis
batuan (geologi), tanah tanah, lereng, dan iklim. Pemilihan jenis
tanaman hutan, terutama yang eksotik, harus dilakukan secara
cermat agar tidak menimbulkan kerugian nyata dari penurunan
potensi hasil air.
7. Sumbangan air dari kawasan hutan masih jarang dinilai secara
ekonomis dalam sistem pengelolaan hutan dalam satuan DAS,
padahal ternyata air yang dihasilkan dimanfaatkan secara
komersial, seperti untuk industri air minum, konsumsi hotel,
tenaga listrik, dll. Penilaian hasil secara ekonomi akan bisa
menuntun upaya kompensasi antara pemanfaat dan pemelihara
sumberdaya air.
8. DAS tersusun dari berbagai penggunaan lahan, termasuk hutan,
sehingga dalam pengelolaannya melibatkan berbagai institusi
dan sektor. Oleh karena itu perlu dikembangkan kesamaan
paham dan pandangan terhadap pengertian DAS sehingga
memudahkan pembangunan kelembagaan pengelolaan DAS
secara terpadu. Hal penting dalam pengembangan kelembagaan
adalah identifikasi pemangku kawasan, kepentingan para pihak,
antisipasi konflik yang muncul, kesepakatan-kesepakatan
termasuk fungsi dan peranan tiap pihak. Kelembagaan
pengelolaan DAS bisa diwadahi dalam satu “Forum” atau
“Dewan” yang bersifat non-struktural (bukan eksekutor) untuk
membantu penetapan kebijakan & strategi serta pengambilan
keputusan oleh institusi yang berwenang. Legalitas Forum atau
Dewan DAS sangat diperlukan untuk penguatan peran
kelembagaan. Legalitas lintas provinsi bisa dibangun dalam
kerjasama antar provinsi gubernur, atau diangkat ke tingkat

| 12 |
nasional. Berdasarkan pembagian fungsi hutan, kelembagaan
Kesatuan Pengelolaan pada kawasan hutan, KPHP, KPHL,
KPHK dan KPDAS, belum berjalan dengan baik seperti
diamanatkan dalam UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

B. Konsep Dasar Litbang Kehutanan Dalam Peningkatan


Daya Dukung DAS

1. Persentase luas hutan dalam DAS menjadi beragam tergantung


dari kondisi elevasi, iklim (hujan), bentuk lahan, batuan,
topografi, tanah, dan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Oleh
karena itu optimalisasi luas hutan dalam satuan DAS perlu
diteliti lebih lanjut dengan keberagaman kondisi alami dan
dinamika masyarakat sekitarnya.
2. Penelitian hasil air dari berbagai kondisi penutupan lahan dan
kondisi alami seperti elevasi, batuan, lereng dan tanah, perlu
dikembangkan untuk memperoleh nilai optimal hasil air hutan
dari berbagai kondisi alam. Pada waktu bersamaan juga
dilakukan penelitian “multi-fungsi hutan” untuk memperoleh
dasar pertimbangan dalam mengambil langkah kebijakan pasti
tentang: “tanam atau tidak tanam”; bila tanam “apa dan
bagaimana tanam”.
3. Fungsi tanaman hutan dalam pengendalian tanah longsor 
jenis, teknik silvikultur.
4. Perubahan iklim global tehadap bencana banjir, kekeringan,
dan tanah longsor, terutama bencana daerah hulu yang bersifat
lokal
5. Sistem kelembagaan pengelolaan DAS masih perlu penelitian
intensif sehingga diperoleh rancangan alternatif kelembagaan
yang sesuai dengan kondisi biofisik, sosial ekonomi budaya
serta kelembagaan formal maupun informal setempat.

| 13 |
5. PERAN HUTAN DALAM PENGENDALIAN BENCANA
BANJIR-KEKERINGAN-TANAH LONGSOR
(IDENTIFIKASI MASALAH DAN TEKNIK
PENGENDALIAN)1
Oleh :
Robert J. Kodoatie2

ABSTRAK

Bencana adalah suatu kejadian alam atau buatan manusia, tiba-tiba atau
progesive, yang menimbulkan dampak yang dahsyat (hebat) sehingga komunitas
(masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus merespon dengan tindakan-
tindakan luar biasa. Salah satu faktor utama terjadinya bencana adalah
perilaku manusia guna mencukupi kebutuhan hidup yaitu perubahan tata guna
lahan untuk keperluan mencari nafkah dan tempat tinggal. Kerusakan
lingkungan yang secara implisit menambah lajunya krisis air semakin dipercepat
oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi, baik secara alami maupun migrasi.
Bencana-bencana banjir, longsor dan kekeringan yang sering melanda
merupakan bukti dari degradasi lingkungan yang dari waktu ke waktu
cenderung meningkat. Hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, lindung dan
produksi. Hutan bisa menahan run-off (aliran permukaan), sehingga apabila
hutan digunduli atau menjadi kawasan pemukiman maka aliran permukaan
akan meningkat signifikan dan terjadilah banjir di musim penghujan dan waktu
musim kemarau tidak ada lagi air yang tersisa sehingga terjadilah kekeringan.
Selain itu, perubahan tata guna lahan untuk suatu peruntukan industri maupun
pemukiman dapat mengakibatkan kondisi tanah yang tadinya stabil menjadi
tidak stabil, mudah bergerak atau mengembang karena perubahan struktur dan
kondisi tanah, sehingga mengakibatkan terjadinya longsor. Oleh karena itu,
peran hutan sangatlah penting dalam pengendalian bencana banjir, kekeringan
maupun tanah longsor. Pengaturan tata guna tanah di DAS dengan
penyuluhan pada masyarakat terhadap permasalahan banjir dan pengendalian
pemanfaatan daerah bantaran sungai. Kawasan hutan merupakan daerah
tangkapan air (catchment area) yang mempunyai fungsi dan potensi wilayah

1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
2 Staff Pengajar Teknik Sipil UNDIP, Jl. Prof. Sudarto, Tembalang, Telp/Fax 024-

7460060. Email:rjkt@sipil.ft.undip.ac.id
| 14 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
sumber daya air sebagai penyedia air. Apabila kerusakan lingkungan akibat
penggundulan hutan terus terjadi maka kekeringan dan kelangkaan air akan
melanda, sehingga keberadaan hutan sebagai daerah tangkapan air perlu terus
dipertahankan sebagai upaya pengendalian bencana kekeringan. Pengendalian
tanah longsor dapat dilakukan dengan tetap menjaga stabilitas tanah, yaitu
dengan menjaga kelestarian hutan atau tumbuh – tumbuhan pada daerah lereng
karena akar pohon-pohonan yang tumbuh pada lereng akan menambah
kestabilan tanah. Selain itu, akar dapat mengurangi kadar air tanah karena
sebagian air diserap oleh tanaman.
Kata kunci : Peran Hutan, Banjir, Kekeringan, Tanah longsor

I. LATAR BELAKANG

Pembangunan di negara-negara berkembang seperti juga


Indonesia sudah barang tentu memerlukan dana. Dana itu diperoleh
dari berbagai sumber. Salah satu sumber yang relatif tersedia adalah
pinjaman luar negeri. Untuk membayar pinjaman itu, maka mereka
(negara-negara berkembang) harus meningkatkan ekspor. Salah satu
cara yang tepat untuk memenuhinya adalah dengan mengeksploitasi
sumber daya alam, diantaranya minyak bumi dan gas serta sumber
daya hutan. Eksploitasi ini sering dilakukan tanpa melihat
kemampuan regenerasi alami hutan itu sendiri, ditambah lagi dengan
lemahnya-diperlemahnya-kontrol dari masyarakat.
Kondisi hutan di Indonesia sekarang telah dan sedang
menghadapi tekanan destruktif dari berbagai faktor. Tekanan
destruktif itu berasal dari berbagai kekuatan, baik dari tingkat lokal,
nasional maupun internasional. Tekanan-tekanan itu berdampak
kompleks dan berkaitan satu dengan yang lain. Smith (1992)
mengemukakan tujuh faktor yang menjadi sumber tekanan destruktif
itu, yaitu (1) pembalakan (logging) komersial, baik yang dilakukan
secara legal maupun illegal, (2) pertambangan, baik yang dilakukan
oleh penambang kecil dengan teknologi tradisional maupun oleh
penambang besar dengan teknologi canggih, (3) transmigrasi
termasuk juga pemukiman penduduk lokal perambah hutan sekaligus
pencetakan areal pertanian menetap, (4) perkebunan dan HTI (timber
estate), (5) perladangan berpindah, (6) eksploitasi hasil hutan nonkayu
dan (7) berbagai proyek pembangunan infrastruktur besar, yang
kebanyakan dibiayai oleh Bank Dunia, termasuk juga sektor
pariwisata.

| 15 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
Sampai derajat tertentu, kebijakan politik dan ekonomi negara-
negara maju menciptakan tekanan international yang memerlukan
respon domestik di negara-negara berkembang. Mereka dapat
menukar bantuan ekonomi dan teknologi dengan bahan mentah dan
sumber daya alam bernilai tinggi yang dimiliki negara-negara
berkembang. Akibatnya muncul fenomena bahwa negara maju
menjual barang jadi, sementara itu, perimbangan kekuatan–politik dan
ekonomi–antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang
tidak setara. Negara-negara maju mempunyai kekuatan lebih sehingga
dapat memaksa negara-negara berkembang untuk menukar dan
membuka sumber daya yang dipunyainya. Akibat tekanan ini
kebijakan kehutanan di negara-negara berkembang hanya sedikit
menyentuh masalah konservasi karena kebutuhan jangka pendek
untuk meraup devisa (demi berlanjutnya pembangunan) lebih
diprioritaskan daripada kepentingan jangka panjang seperti masalah
lingkungan global dan bencana yang akan melanda.
Hutan mempunyai peranan ekologis yang sangat penting. Hutan
bukanlah semata-mata sekumpulan flora dan fauna. Hutan
merupakan salah satu landasan ekosistem yang sangat besar
peranannya dalam menjaga keseimbangan ekosistem dunia. Hutan
menyerap, menyimpan dan mengeluarkan air. Hutan merupakan
paru-paru dunia yang menyerap karbondioksida dan mengeluarkan
oksigen. Hutan menjaga dan melindungi tanah dari gerusan air dan
sapuan angin. Hutan pun menyediakan bahan makanan, obat-obatan,
bahan bakar, bahan bangunan dan (lebih dari itu) memberi kehidupan
bagi seluruh manusia di muka bumi ini. Pendeknya seluruh fungsi dan
kegunaan hutan tidak terbatas dan ternilai bagi kelangsungan hidup
manusia. Sayang fungsi dan kegunaan hutan yang tidak terbatas dan
ternilai itu mulai terancam.
II. PENGELOLAAN BENCANA TERPADU
Bencana adalah suatu kejadian, alam atau buatan manusia, tiba-
tiba atau progresive, yang menimbulkan dampak yang dahsyat (hebat)
sehingga komunitas (masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus
merespon dengan tindakan-tindakan luar biasa (Carter, 1991).
Bencana dapat disebabkan oleh manusia dan alam.
Salah satu faktor utama terjadinya bencana adalah perilaku
manusia guna mencukupi kebutuhan hidup yaitu perubahan tata guna
lahan untuk keperluan mencari nafkah dan tempat tinggal. Kerusakan
lingkungan yang secara implisit menambah lajunya krisis air semakin
dipercepat oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi, baik secara alami
maupun migrasi. Bencana-bencana banjir, longsor dan kekeringan
| 16 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
yang merupakan bukti dari degradasi lingkungan yang dari waktu ke
waktu cenderung meningkat. Fenomena otonomi daerah yang
terkadang kurang dipandang sebagai suatu kesatuan kerja antara
Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota berakibat pada kurangnya
koordinasi pengelolaan sumber daya air termasuk pengelolaan
bencana akibat daya rusak air yang pada hakekatnya meningkatkan
potensi bencana di banyak wilayah.Keterangan yang lebih lengkap
dapat dilihat pada Gambar 1.

Exist (Selalu) Bencana2 :


- Banjir
Manusia Penyebab - Longsor
- Kekeringan
Alam Tsunami
Jumlah
Kejadian Alam:
Penduduk
misal curah hujan Penyebab Alam
Meningkat
tinggi menimbulkan
banjir
Kebutuhan Potensi Bencana PERLU Berdasarkan
(pokok & non Kerusakan
Alam Cenderung PENGELOLA Siklus
pokok Meningkat AN Pengelolaan
meningkat) Meningkat

Aktifitas Peningkatan
Meningkat Infrastruktur
Dominan Exploitasi
Alih Tata Guna Lahan Ekonomi Alam
meningkat
Meningkat
Pemanfaatan
Sosial Meningkat Alam
Dalam Dimensi Menurun Degradasi
Lingkungan
Terabaikan Lingkungan

Gambar 1. Diagram sederhana kejadian bencana (Global Water


Partnership,2001;Carter, 1991; Kodoatie & Syarief, 2005)
Pengelolaan bencana didefinisikan sebagai suatu ilmu
pengetahuan terapan (aplikatif) yang mencari, dengan observasi
sistematis dan analisis bencana, untuk meningkatkan tindakan-
tindakan (measures) terkait dengan preventif (pencegahan), mitigasi
(pengurangan), persiapan, respon darurat dan pemulihan (Carter,
1991).
Pengelolaan bencana terpadu (khususnya yang terkait dengan
daya rusak air) didefinisikan sebagai suatu proses yang
mempromosikan koordinasi pengembangan dan pengelolaan bencana
dan pengelolaan aspek lainnya yang terkait langsung maupun tidak
langsung dalam rangka tujuan untuk mengoptimalkan resultan
kepentingan ekonomi dan kesejahteraan sosial khususnya dalam
kenyamanan dan keamanan terhadap bencana dalam sikap yang
cocok/tepat tanpa mengganggu kestabilan dari ekosistem-ekosistem
penting. Proses ini juga mengimplementasikan suatu ilmu

| 17 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
pengetahuan terapan (aplikatif) yang mencari, dengan observasi
sistematis dan analisis bencana, untuk meningkatkan tindakan-
tindakan (measures) yang terorganisir dan sistematis terkait dengan
preventif (pencegahan), mitigasi (pengurangan), persiapan, respon
darurat dan pemulihan (elaborasi dari Global Water Partnership,
2001; Carter, 1991; Panja Komisi VIII DPR RI, 2005; Kodoatie dan
Sjarief, 2005).
Pengelolaan bencana terpadu dapat dikelompokkan dalam 3
elemen penting, yaitu: mengaktifkan lingkungan (the enabling
environment), peran-peran institusi (institutional roles), dan alat-alat
manajemen (management instruments). (elaborasi: GWP, 2001; Kodoatie
dan Sjarief, 2005); seperti terlihat pada Gambar 2
a. Kebijakan (Policy)
A. Enabling Environment

1. Penyiapan Kebijakan
2. Visi dan Misi Pengelolaan Bencana
3. Kebijakan Yang Terkait Pengelolaan Bencana
b. Kerangka Kerja Legislatif
1. Reformasi Peraturan Yang Ada
2. Peraturan Tentang Bencana
3. Penegakan Hukum
c.Finansial
a. Penciptaan Kerangka Kerja Organisasi
B. Peran-Peran
Institusi

b. Para Pihak Pengelolaan Bencana


c. Pengembangan sumber daya manusia (Institutional Capacity Building)
1. Kapasitas Pengelolaan Bencana Terpadu
2. Kapasitas Pengaturan
3. Berbagi (Alih) Ilmu Pengetahuan

a. Analisis Bencana
C. Alat-Alat
Manajemen

b. Perancangan dan Perencanaan Pengelolaan Bencana Terpadu


c. Instrumen Perubahan Sosial
d. Resolusi konflik
e. Pengendalian Perencanaan Tata Guna Lahan dan Perlindungan Alam
d. Pengalihan dan Pengelolaan Informasi

Pengelolaan Bencana Terpadu

Gambar 2. Elemen-elemen penting Pengelolaan Bencana Terpadu (yang terkait


dengan daya rusak air)
Walaupun setiap bencana mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda namun pada hakekatnya pola pengelolaannya secara
substansi hampir sama. Oleh karena itu dapat dibuat suatu siklus
pengelolaan bencana yang terpadu, seperti pada Gambar 3.

| 18 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)

Gambar 3 Diagram Siklus Pengelolaan Bencana (Carter,1991;Unesco, 1995;


Kodoatie, 2003b; Pem. Prov Jawa Tengah, 2005)
Sebagai contoh berikut ini diberikan siklus bencana banjir,
longsor dan kekeringan sepanjang tahun dan tahap-tahap kegiatan
pengelolaannya (Gambar 4) dan konsep manajemen bencana
(Gambar 5).

Gambar 4. Diagram siklus bencana banjir, longsor dan kekeringan pada umumnya
sepanjang tahun

| 19 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40

Manajemen dan Rekayasa


Penelitian/
Studi

Perencanaan dan  Teknis


Jauh Pengembangan  Sosial Pengem Upaya
Investigasi
Sebelum  Budaya bangan lain
Bencana Rencana Tindak  Ekonomi
Untuk Pencegahan  Lingkungan
Perencanaan Berpengaruh
terhadap
Mitigasi: reduksi
 Teknis bencana
Pra- mereduksi,
Bencana  Penyuluhan
mengurangi,  Pelatihan
meredakan Investigasi
 Penyebaran
 Informasi
Persiapan &
 Rencana Tindak
Waspada Pencegahan

Kejadian:  Teknis
 Sosial Mitigasi
Saat
Penyelamatan &  Budaya
Bencana
Minimalisasi  Ekonomi
Dampak  Lingkungan
Persiapan
 Teknis
 Sosial
Pasca- Relokasi  Budaya
Rehabilitasi  Ekonomi Respon saat
Bencana
Rekonstruksi  Lingkungan Bencana
 Recovery
Psikologis &
Teknis Recovery

Gambar 5. Diagram Konsep Manajemen Bencana

III. PERAN HUTAN

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan


berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak
dapat dipisahkan. Setiap wilayah hutan mempunyai kondisi yang
berbeda-beda sesuai dengan keadaan fisik, topografi, flora dan fauna,
serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, Namun pada
umumnya semua hutan mempunyai fungsi konservasi, lindung, dan
produksi.
 Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi
pokok memproduksi hasil hutan.
 Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi
pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk
| 20 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,
mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
 Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
Untuk menghindari terjadinya kerusakan serius pada hutan yang
mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan, maka
penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam hutan produksi
atau hutan lindung dengan cara selektif.
1. PENGENDALIAN BANJIR
a. Penyebab Banjir
Banjir dan genangan yang terjadi di suatu lokasi diakibatkan
antara lain oleh sebab-sebab berikut ini (Kodoatie dan Sugiyanto,
2002):
 Perubahan tata guna lahan (land-use) di daerah aliran sungai
(DAS)
 Pembuangan sampah
 Erosi & sedimentasi
 Kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase
 Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat
 Curah hujan
 Pengaruh fisiografi/geofisik sungai
 Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai
 Pengaruh air pasang
 Penurunan tanah dan rob
 Drainase lahan
 Bendung dan bangunan air
 Kerusakan bangunan pengendali banjir
Bilamana diklasifikasikan oleh tindakan manusia dan yang
disebabkan oleh alam maka penyebab di atas dapat disusun sebagai
berikut. Yang termasuk sebab-sebab banjir karena tindakan manusia
adalah:
 Perubahan tata guna lahan (land-use)
 Pembuangan sampah
 Kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase
 Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat

| 21 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
 Penurunan tanah dan rob
 Tidak berfungsinya sistem drainase lahan
 Bendung & bangunan air
 Kerusakan bangunan pengendali banjir
Yang termasuk sebab-sebab alami di antaranya adalah:
 Erosi & sedimentasi
 Curah hujan
 Pengaruh fisiografi/geofisik sungai
 Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai
 Pengaruh air pasang
 Penurunan tanah dan rob
 Drainase lahan
 Kerusakan bangunan pengendali banjir
b. Penyebab banjir paling dominan

400 Peningkatan Debit


Akibat Perubahan Tata Guna Lahan Dengan 350
350
Hutan Sebagai Referensi
Debit Puncak

300
250
250
Sungai

200
200
Minimum
150
Maksimum 90
3

100 63
50 50 60
50 10 10
23 25 17 25

0
Rerumputan

Perdagangan
Hutan

Taman

Sawah

beton/aspal
Pemukiman/
Real Estate

Industri &

Jalan

naik Daerah Aliran Sungai


Peningkatan 2 -2,5 kali
debit puncak
akibat naik 1,7 – 5,0 kali
perubahan
tata guna
lahan, hutan
naik 2,5 – 9,0 kali
sebagai
acuan/referens naik 5,0 – 20,0 kali
i
naik 6,0 - 25 kali

Gambar 6. Peningkatan debit puncak akibat perubahan tata guna lahan (Raudkivi,
1979; Subarkah, 1980; Schwab dkk., 1981; Loebis, 1984)

| 22 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)

Gambar 7. Ilustrasi perubahan debit akibat perubahan tata guna


lahan

c. Metode Pengendalian Banjir


Pada prinsipnya ada 2 metode pengendalian banjir yaitu metode
struktur dan metode non-struktur. Pada masa lalu metode struktur
lebih diutamakan dibandingkan dengan metode non-struktur. Namun
saat ini banyak negara maju mengubah pola pengendalian banjir
dengan lebih dulu mengutamakan metode non-struktur lalu baru
metode non-struktur (Tabel 1).
Tabel 1. Metode pengendalian banjir
Skala Metode
Prioritas
I Metode Non-Struktur
 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
 Pengaturan Tata Guna Lahan
 Law Enforcement (Penegakan hukum)
 Pengendalian Erosi di DAS
 Pengaturan dan Pengembangan Daerah Banjir
 Dll.
II Metode Struktur: Bangunan Pengendali Banjir
 Bendungan (dam)
 Kolam Retensi
 Pembuatan check dam (Penangkap sedimen)
 Bangunan pengurang kemiringan sungai

| 23 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
Skala Metode
Prioritas
 Groundsill
 Retarding Basin
 Pembuatan Polder
 Dll.
III Metode Struktur : Perbaikan dan Pengaturan Sistem
Sungai
 Sistem jaringan sungai
 Normalisasi Sungai
 Perlindungan Tanggul
 Tanggul Banjir
 Sudetan (By pass)
 Floodway
 Dll.

d. Action Plan Pengendalian Banjir


Ada 4 strategi dasar untuk pengelolaan daerah banjir yang
meliputi (Grigg, 1996):
 modifikasi kerentanan dan kerugian banjir (penentuan zona atau
pengaturan tata guna lahan).
 pengaturan peningkatan kapasitas alam untuk dijaga kelestariannya
seperti penghijauan.
 modifikasi dampak banjir dengan penggunaan teknik mitigasi
seperti asuransi, penghindaran banjir (flood proofing).
 modifikasi banjir yang terjadi (pengurangan) dengan bangunan
pengontrol (waduk) atau normalisasi sungai.
Tabel berikut menunjukkan penyebab, prioritas menyebab banjir
dan alasan mengapa prioritas serta penyebab alami atau manusia.
Tabel 2. Penyebab prioritas

Oleh
No. Penyebab Alasan Mengapa Prioritas Alam
Banjir /aktifitas
manusia
1. Perubahan Debit Puncak naik dari 5 sampai 35 kali karena Manusia
tata Guna air yang meresap kedalam tanah sedikit
Lahan mengakibatkan aliran air permukaan (run off)
menjadi besar, sehingga berakibat debit
menjadi besar dan terjadi erosi yang berakibat
sedimentasi.
2. Sampah Sungai atau drainase tersumbat dan jika air Manusia
melimpah keluar karena daya tampung saluran
berkurang
| 24 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
Oleh
No. Penyebab Alasan Mengapa Prioritas Alam
Banjir /aktifitas
manusia
3. Erosi & Akibat perubahan tata guna lahan, terjadi erosi Manusia
Sedimentasi yang berakibat sedimentasi masuk ke sungai dan alam
sehingga daya tampung sungai berkurang.
4. Kawasan Dapat merupakan penghambat aliran, maupun Manusia
kumuh di daya tampung sungai. Masalah kawasan kumuh
sepanjang dikenal sebagai faktor penting terhadap
sungai masalah banjir daerah perkotaan.
5. Perencanaan Sistem pengendalian banjir memang dapat Manusia
sistem mengurangi kerusakkan akibat banjir kecil
pengendalian sampai sedang, tapi mungkin dapat menambah
banjir tidak kerusakkan selama banjir yang besar. Misal:
tepat tanggul sungai yang tinggi. Limpasan pada
tanggul waktu banjir melebihi banjir rencana
menyebabkan keruntuhan tanggul, kecepatan
air sangat besar yang melalui bobolnya tanggul
sehingga menimbulkan banjir yang besar.
6. Curah hujan Pada musim penghujan, curah hujan yang Alam
tinggi akan mengakibatkan banjir di sungai dan
bilamana melebihi tebing sungai maka akan
timbul banjir atau genangan termasuk bobolnya
tanggul.
Data curah hujan menunjukkan maksimum
kenaikan debit puncak antara 2 sampai 3 kali
7. Pengaruh Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti Alam dan
Fisiografi bentuk, fungsi dan kemiringan Daerah aliran manusia
sungai (DPS), kemiringan sungai, geometrik
hidrolik (bentuk penampang seperti lebar,
kedalaman, potongan memanjang, material
dasar sungai), lokasi sungai dll.
8. Kapasitas Pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai Manusia
sungai dapat disebabkan oleh pengendapan berasal dan Alam
dari erosi DPS dan erosi tanggul sungai yang
berlebihan dan sedimentasi di sungai itu karena
tidak adanya vegetasi penutup dan adanya
penggunaan lahan yang tidak tepat
9. Kapasitas Karena perubahan tata guna lahan maupun Manusia
Drainasi berkurangnya tanaman/vegetasi serta tindakan
yang tidak manusia mengakibatkan pengurangan kapasitas
memadai saluran/sungai sesuai perencanaan yang dibuat
10. Drainasi Drainasi perkotaan dan pengembangan Manusia
lahan pertanian pada daerah bantaran banjir akan
mengurangi kemampuan bantaran dalam
menampung debit air yang tinggi.
11. Bendung & Bendung dan bangunan lain seperti pilar Manusia
bangunan air jembatan dapat meningkatkan elevasi muka air
banjir karena efek aliran balik (backwater).

| 25 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
Oleh
No. Penyebab Alasan Mengapa Prioritas Alam
Banjir /aktifitas
manusia
12. Kerusakan Pemeliharaan yang kurang memadai dari Manusia
bangunan bangunan pengendali banjir sehingga dan Alam
pengendali menimbulkan kerusakan dan akhirnya tidak
banjir berfungsi dapat meningkatkan kuantitas banjir.
13. Pengaruh air Air pasang memperlambat aliran sungai ke laut. Alam
pasang Waktu banjir bersamaan dengan air pasang
tinggi maka tinggi genangan atau banjir menjadi
besar karena terjadi aliran balik (backwater).
Hanya pada daerah pantai seperti Pantura,
Jakarta dan Semarang

2. PENGENDALIAN KEKERINGAN
Kekeringan merupakan phenomena hidrologi yang paling
kompleks, mewujudkan dan menambahkan isu-isu berkaitan dengan
iklim, tata guna lahan, norma pemakaian air serta manajemen seperti
persiapan, antisipasi dan sebagainya. Kompleksitas bertambah karena
kita mengetahui kekeringan merupakan bencana dengan prosesnya
berjalan lambat sehingga dikatakan sebagai bencana merangkak
(creeping disaster).
Datangnya tidak tiba-tiba (instan) seperti banjir atau gempa bumi,
namun timbul perlahan-lahan sehingga sangat mudah diabaikan. Kita
tidak bisa mengetahui secara pasti awal dan kapan bencana ini
berakhir, namun kita baru sadar setelah berada di periode tengahnya.
Masyarakat awam umumnya baru menyadari ketika air di dalam
sumurnya habis, ketika aliran PDAM macet, ketika penyedotan air
tanah dengan pompa hanya keluar udara.
Untuk pertanian, kekeringan merupakan bencana terparah
dibandingkan bencana lainnya. Bila kebanjiran, tanaman masih bisa
hidup, kekurangan pupuk masih bisa diupayakan. Namun ketika air
tidak ada, tanaman segera mati.
Kita di Indonesia sudah biasa mengalami musim kemarau, namun
sejauh mana kemarau yang terkait dengan El Nino belum kita sadari
secara umum. El Nino sebagai penyimpangan iklim yang
mengakibatkan kemarau panjang, sedangkan penyimpangan iklim
yang menyebabkan musim hujan panjang disebut La Nina. Kejadian
keduanya merupakan fenomena alam yang selalu terulang pada pola
tertentu. Beberapa waktu isyarat akan datangnya kemarau panjang
akibat adanya El Nino sudah dikemukakan oleh beberapa pakar.

| 26 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
Dampak El Nino yang luar biasa pada tahun 1997 telah dirasakan
semua pihak yang menyebabkan kekeringan berkepanjangan. Maka
sumur-sumur penduduk mengering, debit air sungai menurun, dan
tentu saja meluasnya kebakaran lahan dan hutan. Media massa
Indonesia sering memberitakan bencana asap yang berawal dari
pembakaran lahan dan hutan oleh perusahaan-perusahaan maupun
masyarakat saat membuka lahan. Api kemudian menjadi tak
terkendali karena kondisi amat kering. Kerugian besar tak hanya
karena banyaknya orang yang harus menderita sakit akibat asap, tetapi
juga penundaan pesawat, sampai ke musnahnya jutaan jenis
keragaman hayati.
Namun demikian, sebenarnya ada hal lain yang tak kalah
mengkhawatirkan yaitu kekurangan pangan. Kemarau panjang
membuat sawah-sawah/lahan kering dan tak dapat ditanami. Dampak
El Nino terhadap kehidupan manusia sangat beragam. Kemarau
panjang tahun 1900-1901 telah mengakibatkan kelaparan yang hebat
di India, menelan korban tidak kurang dari satu juta jiwa. Musim
kering yang terjadi tahun 1932-1933 di Rusia menelan korban sampai
tiga juta jiwa. Pada tahun 1984-1985 terjadi pula kelaparan di Ethiopia
yang menelan korban tidak kurang dari satu juta jiwa.
Selama El Nino berlangsung, sebagian besar petani dan
penduduk desa praktis kehilangan lapangan pekerjaan. Buruh tani
kehilangan pekerjaan, pedagang dan usaha penggiling padi akan
kehilangan bahan pokok. Pasokan pangan berkurang, sehingga dapat
memicu kenaikan harga kebutuhan pokok. Selama tertundanya tanam
padi, selama itu pulalah pendapatan petani tertunda. Titik awal dari
rantai proses ancaman kelaparan adalah gagal panen yang
menyebabkan pasokan pangan menurun. Penurunan pendapatan
akibat gagal panen menyebabkan turunnya daya beli masyarakat
terutama petani. Di lain pihak, harga pangan pada saat itu biasanya
naik.
Bila kemarau terus berlanjut, petani yang tidak mempunyai
pekerjaan alternatif dan tabungan, terpaksa harus menjual aset yang
mereka miliki, ternak misalnya. Dalam situasi yang sulit, dapat terjadi
penjualan ternak dalam waktu yang bersamaan sehingga harga
jualmenjadi rendah. Hal ini mengakibatkan penderitaan petani yang
lebih berat. Turunnya daya beli mengakibatkan konsumsi berkurang,
dan menurunnya kondisi kesehatan secara umum.
Secara psikologis, dampak negatif musim kering jauh lebih parah
dibanding dengan musim hujan. Kalau kejadian banjir secara tiba-tiba,
petani akan cenderung menjadi kooperatif, bantuan dan perhatian
| 27 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
dari pemerintah pusat akan lebih besar. Sebaliknya, bila air menjadi
langka terjadi secara merangkak perlahan, petani akan cenderung
'berkelahi' untuk memperebutkan air atau sumber daya lainnya untuk
kelangsungan hidup dan pemerintah pun perhatiaannya kurang. Bila
El Nino berlangsung lama, jumlah pengangguran meningkat sehingga
menimbulkan gejolak sosial, ekonomi dan politik, secara luas. Maka
Kekeringan oleh para ahli disebut dengan bencana merangkak atau
creeping disaster.
Sangat sulit merumuskan suatu program yang komprehensif
untuk mengatasi kekurangan pangan bila terjadi El Nino secara
beruntun. Sebelum El Nino muncul, upaya peningkatan produksi
harus sungguh-sungguh diintensifkan, sehingga petani mempunyai
surplus beras, yang dapat disimpan secara individual ataupun kolektif.
Namun demikian dampak El Nino tidak selalu jelek, misal pada tahun
1997 waktu terjadi El Nino, produksi tanaman lombok naik, demikian
pula mangga dan rambutan.
a. Strategi Pengelolaan Masalah Kekeringan
i. Definisi
Konsep kekeringan berangkat dari dua definisi yaitu suatu
periode tanpa air hujan yang cukup dan suatu periode kelangkaan air.
Definisi pertama dikatakan, kekeringan secara meteorologis atau
klimatologis. Definisi kedua dapat disebut kekeringan dari berbagai
aspek, antara lain kekeringan secara hidrologi, kekeringan secara
pertanian dan kekeringan secara sosial-ekonomi.
Secara lebih spesifik kekeringan meteorologis didifinisikan oleh
Palmer (1965) sebagai suatu interval waktu yang mana suplai air hujan
aktual pada suatu lokasi jatuh/turun lebih pendek dibandingkan
suplai air klimatologis yang sesungguhnya sesuai estimasi normal.
Changnom (1987) mendefinisikan, kekeringan pertanian sebagai
suatu periode ketika air tanah tidak cukup memenuhi kebutuhan air
tanaman sehingga pertumbuhannya tetap, bahkan tanaman mati.
Definisi kekeringan hidrologis adalah suatu periode di mana bila
untuk sungai alirannya di bawah normal atau bila untuk waduk
tampungan air tidak ada (habis). Kekeringan sosial ekonomi adalah
hasil proses fisik yang terkait dengan aktivitas manusia yang terkena
dampak kekeringan.
ii. Pendekatan dan Strategi
Pendekatan strategis merupakan pendekatan dengan konsep
keseimbangan antara suplai dan kebutuhan serta antisipasi atau
| 28 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
menghindari ancaman dari dampak kekeringan. Dengan kata lain
pengelolaan masalah kekeringan harus menetapkan taraf resiko
kegagalan dari suplai air yang terbingkai oleh dua pernyataan yaitu
resiko dari kekurangan air dan keamanan suplai (security of supply).
iii. Indeks Kekeringan
Secara harafiah bagi para pengelola sumber daya air kekeringan
berarti problem (masalah) dalam pemenuhan kebutuhan (demand).
Dalam pengertian tersebut, kekeringan juga berarti tidak adanya air
yang cukup untuk mencapai kebutuhan karena suplai air berada di
bawah tingkat yang diharapkan. Tingkat yang diharapkan lebih
cenderung dan dominan dalam aspek sosial-ekonomi. Karena
keterkaitan yang erat dengan sosial ekonomi maka indeks kekeringan
yang akan bermanfaat untuk pengelolaan harus menggabungkan
aspek-aspek kebutuhan dan suplai.
Indeks kekeringan menggambarkan suatu ukuran dari perbedaan
kebutuhan dan ketersediaan sumber air dan merupakan bagian dari
sistem pendukung keputusan yang berhubungan dengan kekeringan.
Untuk utilitas air lokal akan menggunakan indeks kekeringan untuk
menginformasikan pembatasan penggunaan air dan mengumumkan
ketersediaan air yang ada kepada pemakai (publik). Dalam skala
daerah aliran sungai (DAS), pengelola akan menggunakan suatu
indeks untuk informasi dan koordinasi penggunaan air di seluruh
wilayah DAS. Untuk wilayah regional (kabupaten/kota sampai
propinsi) indeks dapat dipakai untuk mengukur tingkat ketersediaan
dan kebutuhan di seluruh wilayah tersebut.
Pada tingkatan yang berbeda-beda tersebut, indeks dapat dipakai
untuk laporan, riset atau rencana aksi. Pemakai indeks yang berbeda
akan membutuhkan pendukung keputusan yang berbeda. Banyaknya
faktor yang mempengaruhi penentuan indeks maka beberapa
pendekatan berikut dapat dipakai, yaitu:
I = Indeks = suplai air yang tersedia dibagi dengan suplai air
rata-rata atau yang diharapkan.
Untuk wilayah DAS maka dapat dipakai contoh indeks berikut
sebagai referensi:
I = Indeks = Bel + Jumlah (Bi)
Di mana :
Bel = perbedaan elevasi saat ini suatu tampungan (waduk
atau danau) dengan rata-rata bulanan untuk suatu
periode yang panjang

| 29 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
B = perbedaan curah hujan rata-rata bulanan yang
diketahui (saat ini) dengan rata-rata bulanan untuk
suatu periode yang panjang
i = angka dari 0 sampai 6. Di Indonesia (mungkin) bisa
diambil angka maksimum 6 karena kita bisa
berasumsi bahwa setahun musim hujan dan kemarau
yang terjadi masing-masing selama 6 bulan.
iv. Strategi
Dari uraian di atas strategi yang perlu dilakukan adalah:
 Identifikasi daerah rawan kekeringan
 Pemetaan detail daerah rawan kekeringan dari berbagai aspek:
a) Identifikasi dan pemetaan sebaran penduduk dan kebutuhan
air baku,
b) Pemetaan kebutuhan dan ketersediaan air
 Sosialisasi kebutuhan dan ketersediaan air yang ada untuk
berbagai instansi sesuai tugas pokok dan fungsinya secara
kontinyu ke pihak produsen dan konsumen air.
 Sosialisasi pemakaian air secara efisien dan efektif
 Penyusunan rencana tindak yang komprehensif, sektor dan
multi sektor
Berbagai model dan analisis dapat diaplikasikan untuk tiap-tiap
aspek yang ditinjau meliputi aspek meteorologi, hidrologi, pertanian
dan sosial ekonomi dll.

b. Respon dan Mitigasi


Secara umum persiapan menghadapi musim kemarau dapat
disebutkan beberapa hal yaitu:
i. Efesiensi Penggunaan (Penghematan) Air
 pemenuhan kebutuhan air secara selektif
 efesiensi/penghematan air setiap kebutuhan
 sosialisasi gerakan penghematan air
ii. Pengelolaan Sumber Daya Air secara Efektif
 ditinjau secara komprehensip dan terpadu
 potensi sumber daya air (ketersediaan)
 kebutuhan sumber daya air
 alokasi masing-masing kebutuhan (proporsional)
 skala prioritas

| 30 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
iii. Pemanfaatan Simpanan Air Embung dan Waduk Secara
Selektif dan Efektif
 Review kondisi embung yang ada secara menyeluruh
 Analisis dan review keseimbangan kapasitas dan pemanfaatan
embung
 Kebutuhan peningkatan daya tampung
 Konservasi lahan
iv. Penyesuaian Pola dan Tata Tanam
 Identifikasi masalah dan solusi pola tanam existing
 Sosialisasi pola tanam yang terpadu kabupaten/kota dan lintas
 Penentuan pola tanam untuk masing-masing sistem DAS dan
irigasi
v. Kegiatan Yang Mendukung Kelestarian Alam
 Tinjauan secara komprehensip dan terpadu
 Potensi sumber daya air (ketersediaan)
 Kebutuhan sumber daya air
 Alokasi masing-masing kebutuhan (proporsional)
 Skala prioritas
vi. Analisis Pengelolaan Sumber Daya Air
 Identifikasi pengelolaan sumber daya air yang ada
 Pemanfaatan tata guna lahan Propinsi Jawa Tengah
 Kajian Rencana Umum Tata Ruang Propinsi dan
Kabupaten/Kota
 Potensi sumber daya air yang ada dan kebutuhan sumber daya air
Hal-hal yang perlu dikaji di dalam pengelolaan masalah
kekeringan adalah antara lain:
 Karakteristik kekeringan: alamiah, luas, durasi, bobot/beratnya
 Tindakan dan respon: Tambahan supplai, reduksi kebutuhan dan
minimalisasikan dampak.
Detail dari tindakan dan respon dalam manajemen masalah
kekeringan ditunjukkan dalam Gambar 8.

| 31 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
- Tampungan permukaan
- Tampungan dasar
- Transfer antar DAS
a. Yang Ada - Pembagian fungsi silang
- Konservasi DAS
- Peningkatan sistem/
konservasi

- Desalinisasi Air
- Modifikasi cuaca
1. Tambahan b. Pembangunan - Tampungan: waduk, embung
Supplai Baru - Pengambilan air tanah
tersistem

- Gabungan a & b
c. Gabungan - Pemakaian berantai
a& b - Pengantaran terpias-pias
- Inovasi teknologi

- Tindakan legal
- Insentif ekonomi
- Harga ekonomis
a. Proaktif - Kebijakan zoning
/tata guna lahan
- Partisipasi publik
- Prioritas kebutuhan

Karakteristik - Program hemat air


Kekeringan: - Reduksi pemakaian
- Alamiah Tindakan 2. Reduksi yang tidak perlu
dan Kebutuhan b. Reaktif
- Luas - Penggunaan
- Durasi Respon kembali/Recycling
- Bobot/Beratnya - Pemakaian terukur

c. Penyesu- - Perubahan pertanian


aian - Penyesuaian urban

- Sistem peramalan
- Pengaturan konsumsi
a. Strategi - Kebijaksanaan pemakai
Antisipas - Aksi darurat antar wilayah
i - Manajemen konflik

- Asuransi
3.Minimalisasi - Penyebaran resiko
b. Penyerapan - Kompensasi kerusakan
kan Dampak
kerugian - Pengurangan bencana
- Cadangan dana

- Modifikasi kejadian
c. Reduksi - Pemulihan kerusakan
Kerugian - Perubahan penggunaan air

Gambar 8.Tindakan dan Respon dalam Manajemen Masalah Kekeringan (Grigg dan
Vlachos, 1990)

| 32 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
3. PENGENDALIAN TANAH LONGSOR

Tanah longsor adalah gerakan massa tanah dalam jumlah besar


yang bergerak pada bidang geser tertentu, di mana pada bidang
tersebut tahanan tanah dalam menahan geseran terlampaui.
Stabilitas tanah pada lereng dapat terganggu akibat pengaruh-
pengaruh alam, iklim dan aktivitas manusia. Agar stabilitas tanah tetap
terjaga pada daerah lereng perlu ditanami tanaman tahunan, karena
akar pohon-pohonan yang tumbuh pada lereng akan menambah
kestabilan tanah. Selain itu, akar dapat mengurangi kadar air tanah
karena sebagian air diserap oleh tanaman.
Longsor terjadi karena ketidak-seimbangan gaya-gaya yang
bekerja pada lereng atau gaya dorong di daerah lereng > gaya tahan
yang ada di lereng tersebut.
Parameter lereng yang berpengaruh a.l.: kemiringan, jenis tanah,
kohesi, sudut geser, berat tanah, air yang mengalir ke dalam yang
menimbulkan lereng dalam kondisi jenuh air (saturated).
a. Penyebab Kegagalan Tebing (Longsor)
Ada banyak faktor teknis yang menyebabkan terjadinya longsor
baik faktor-faktor alam maupun faktor akibat tindakan manusia,
diantaranya (Richardson et al., 1990):
Parameter hidraulik:
 Berat spesifik G (specific weight).
 Temperatur.
 Kekentalan air.
 Debit.
 Durasi.
 Frekuensi.
 Kecepatan air.
 Distribusi kecepatan air.
 Aliran turbulen.
 Gaya geser.
 Gaya tarik (drag force).
 Gaya angkat (lift force).
 Momentum.

| 33 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
Karakteristik material dasar dan tebing sungai:
 Ukuran.
 Gradasi.
 Bentuk.
 Berat jenis.
Karakteristik tebing:
 Material: Non cohesive atau cohesive.
 Tebing satu kemiringan atau stratified.
 Batuan (rock).
 Ketinggian.
 Kemiringan.
Aliran di dalam (subsurface flows):
 Gaya-gaya gelombang.
 Gaya-gaya rembesan.
 Piping dan sapping.
Gelombang angin:
 Gaya gelombang.
 Erosi permukaan.
Faktor-faktor biologis:
 Vegetasi.
 Pohon-pohonan.
 Semak-semak (shrubs).
 Rumput.
Kehidupan binatang:
 Yuyu.
 Binatang pengerat.
Faktor-faktor oleh manusia (man-induced factors):
 Fluktuasi kolam akibat pembangkit tenaga.
 Aktifitas pertanian.
 Penambangan.
 Transportasi.
 Urbanisasi.
 Drainase.
 Pengembangan dataran banjir.
 Lintas air.
| 34 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
Begitu kompleknya penyebabnya maka pemahaman yang baik
tentang proses kegagalan tebing hanya dapat dilakukan dengan
evaluasi yang detail dari data yang cukup dan memadai.
b.Permasalahan Dalam Manajemen Bencana Longsor
Karena longsor bisa terjadi di mana saja terutama di daerah
rawan longsor maka ada beberapa permasalahan dalam manajemen
bencana longsor, diantaranya:
 Kesulitan akses / jalan didaerah bencana.
 Pencarian dan penyelamatan korban yang bisa sangat sulit.
 Resiko longsor susulan menghalangi upaya penyelamatan.
 Relokasi rentan terhadap penentangan dari masyarakat
karena secara tradisi masyarakat sudah terbiasa hidup di
tempat tinggalnya sehingga sulit beradaptasi di tempat yang
baru dengan berbagai alasan.
 Rehabilitasi dan pemulihan bisa menjadi sangat kompleks
dan mahal.
c. Mengenal Daerah Rawan Longsor
Beberapa tips sederhana mengetahui suatu daerah ada atau tidak ada
potensi longsor adalah:
 Pada musim kemarau sedikit tanaman tumbuh (daerah gundul),
sumur dengan kedalam < 20 m kering tak ada air, daerah banyak
yang retak-retak.
 Pada musim penghujan air sumur penuh, retak-retak bertambah
besar yang merupakan puncak bidang gelincir. Retak-retak pada
bangunan terus bertambah.
 Daerah rawan longsor bisa di daerah terjal (kemiringan curam)
terutama yang tinggal di lereng-lereng bukit namun bisa juga di
daerah agak datar (slump area). Berikut ini letak daerah yang rawan
terhadap longsor:
o Daerah pada waktu awalnya stabil tapi karena ada perubahan
tata guna lahan di hulu maupun di hilir maka timbul gerakan
tanah aktif contoh: sebelah Selatan Kawasan Industri Candi,
Kota Semarang.
o Terletak di daerah patahan bisa aktif maupun pasif.
o Pusat beberapa mata air sungai-sungai kecil.
o Terletak di bagian tikungan luar sungai.
o Terletak di bagian wilayah dengan kerentanan gerakan tanah
menengah hingga tinggi.
o Di daerah gerakan tanah tinggi, kondisi lahan tidak harus
gundul namun bisa daerah subur.
| 35 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40
o Wilayah yang mengalami degradasi lingkungan yang hebat.
Sehingga tadinya wilayah tersebut stabil menjadi tidak stabil.
 Zona Kerentanan Gerakan Tanah Menengah bisa menjadi daerah
Zona Kerentanan Gerakan Tanah Tinggi apabila mengalami
gangguan baik internal maupun eksternal atau lokal maupun
regional. Misalnya adanya pengeprasan bukit yang berlebihan.
 Untuk daerah longsor, perlu mengetahui jenis tanah di dalamnya,
salah satu caranya dengan penyelidikan tanah dengan geolistrik
lalu dipetakan.
 Jangan membuat sumur resapan atau melakukan reboisasi
(penanaman pohon) di daerah dengan gerakan tanah tinggi
karena akan menambah potensi longsor. Ini berbeda dengan
bencana banjir, yang butuh sumur resapan atau vegetatif untuk
mengurangi banjir (memperkecil/memperlambat run-off). Artinya,
secara substansi apabila suatu daerah berpotensi longsor harus
diupayakan air mengalir secepat-cepatnya agar tidak ada waktu
untuk masuk ke dalam tanah. Masuknya air kedalam tanah
membuat tanah pasif (kondisi kering) menjadi tanah aktif
(kondisi basah). Dalam hal ini sistem drainase permukaan tanah
dan drainase dalam tanah perlu direncanakan dengan detail, baik
dan matang.
 Daerah retak di permukaan tanah adalah puncak bidang gelincir.
d.Perubahan Daerah Stabil Menjadi Tidak Stabil
Perubahan tata guna lahan untuk suatu peruntukan industri
maupun pemukiman dapat mengakibatkan kondisi yang tadinya stabil
menjadi tidak stabil, mudah bergerak atau mengembang karena
perubahan struktur dan kondisi tanah.
Gambar 8 menunjukkan adanya proses perubahan kondisi stabil
menjadi tidak stabil akibat perubahan tata guna lahan yang tidak
memperhitungkan kondisi geologinya. Gambar 9 menunjukkan
contoh lokasi daerah stabil menjadi tidak stabil yang terjadi yaitu di
Desa Pucung, Kota Semarang. Tata guna lahan di bawah wilayah
pemukiman penduduk diubah dari hutan dan semak belukar menjadi
kawasan industri. Akibatnya, wilayah pemukiman tersebut menjadi
tidak stabil, banyak rumah bergeser, bangunannya retak-retak.

| 36 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)

ContohContohLokasi
lapisan lempung
Lokasi

ekspansifyangmempunyai
kembangmempunyai
susut
ekspansif
susut
bila
yang
Bila lapisan lempung

kembang
tinggi
tinggi terexspose
terexpose(muncul)
(muncul):
1
 Jalan raya
Jl Purwodadi –

Grobogan yang tidak


Purwodadi-
pernah stabil
GroboganHampir
 Jawa
semua rumah
Tengahpenduduk di Selatan
Kawasan Industri Candi KETERANGAN GAMBAR:
 HampirSemarang
semuaretak-retak.
rumah penduduk dan 6 1. Kondisi seimbang, stabil tidak ada gerakan
2.Daerah dikembangkan (dikepras)
infrastruktur lainnya 3.Lempung kembang susut terxpose
4.Bila hujan mengembang, kemarau menyusut
retak-retak dan
bergeser
2 5.Tanah bergerak akibat kembang susut
6.Rumah penduduk retak-retak
6 5 7.Patahan semula diam (pasif), bila di atas
terexpose patahan aktif, ada gerakan tanah

3
5 4 7

Gambar 8. Proses perubahan daerah stabil menjadi tidak stabil


(Kodoatie, 2002).

Lahan I dikembangkan
menjadi kawasan industri

Lahan II :Perumahan
penduduk dan infrastruktur
lainnya retak-retak dan
bergeser

Gambar 9. Contoh lokasi perubahan tata guna lahan dan dampaknya (Pem. Kota
Semarang, 2000)

| 37 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40

Proses ketidak stabilan akibat perubahan tata guna lahan di wilayah lain
Gambar 10. Perubahan kondisi stabil menjadi tidak stabil akibat perubahan land-use
(Laboratorium Pengaliran FT. Undip, 2004)

| 38 |
Peran Hutan Dalam….(Robert J. Kodoatie)
DAFTAR PUSTAKA

Carter WN., 1991. Disaster Management : A Disaster Manager's


Handbook. Asian Development Bank. Filipina, Manila.
Changnom, Stanley A., Jr., 1987. Detecting Drought Conditions in
Illinois. Illinois State Water Survey, Champaign.
Global Water Partnership (GWP), 2001. Integrated Water Resources
Management. Stockholm:GWP Box.
Grigg NS, 1996. Water Resources Management : Principles,
Regulation and Cases. Mac Graw Hill. New York
Grigg, Neil and Vlachos, Evan C., 1990. Drought Water
Management. Workshop Proceeding in Washington DC.,
November 1988.
Kodoatie, Robert J., 2003b. Manajemen Penanggulangan Bencana di
Jateng (Kekeringan, Banjir Dan Longsor) Disampaikan dalam
Pelatihan Tim Kaji Bencana Aparat PBP Jateng Tahun
Anggaran 2003 Rabu, 21 Mei 2003.
Kodoatie, Robert J., dan Sjarief Roestam, 2005. Pengelolaan Sumber
Daya Air Terpadu. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Kodoatie, Robert J., dan Sugiyanto, 2002. BANJIR – Beberapa
penyebab dan metode pengendaliannya dalam perspektif
Lingkungan. Cetakan 1 Tahun 2002, Penerbit Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Laboratorium Pengaliran FT. Undip, 2004. Kajian Relokasi Desa
Karang Pucung Kelurahan Baban Kerep Kecamatan Ngalian
Kota Semarang. Kerjasama Dengan Sekretaris Daerah Kota
Semarang.
Palmer, W.C., 1965: Meteorological drought. Research Paper No. 45.
U.S. Weather Bureau. [NOAA Library and Information
Services Division, Washington, D.C. 20852]
Pemerintah Kota Semarang, 2000. Pemetaan Digital Kota Semarang.
Hasil Foto Udara dan Pengukuran Terestrial Topografi.
Smith P . 1992. Industrialization and Environment. Oxford
University Press. Oxford.

| 39 |
PROSIDING Workshop, 2009: 14-40

| 40 |
6. HUBUNGAN LUAS TUTUPAN HUTAN TERHADAP
POTENSI BANJIR DAN KOEFISIEN LIMPASAN DI
BEBERAPA DAS DI INDONESIA1
Oleh:

Nana Mulyana2, Cecep Kusmana3, Kamaruddin Abdulah3, Lilik B. Prasetio3

ABSTRAK
Setiap tipe dan luas hutan akan sangat mempengaruhi hasil air, jumlah resapan,
evapotranspirasi dan keseimbangan neraca air maupuan hasil dari suatu DAS.
Keampuhan tipe hutan dan penggunaan lahan dalam mengendalikan banjir
adalah sejauh mana rasio total hujan yang mampu diresapkan kedalam tanah
pada kondisi intensitas hujan tinggi. Metode penelitian dilakukan dengan cara
membandingkan beberapa analisis hidrograf pada berbagai tipe Sub DAS dan
total luas hutan di beberapa lokasi yaitu di Tasikmalaya, Toraja dan Bandung.
Berdasarkan variasi hujan tahunan lokasi penelitaian antara 1.600-3.324
mm/th umumnya dihasilkan hasil air antara 635-2.442 mm/th dengan laju
evapotranspirasi 1.400 mm/th. Penebangan hutan dengan sistem tebang habis
dapat menaikan hasil air tahunan antara 600-650 mm/th dan menaikan
koefisien run off dari 0.54 menjadi 0.76, dan koefisien limpasan langsung di
bawah tegakan hutan selalu di bawah 5 %. Hutan sangat efektif dalam
pengendalian aliran permukaan karena mempunyai jumlah resapan yang tinggi,
karena sistem perakaran dan serasah sangat mendukung peresapan air.
Kapasitas infiltrasi hutan selalu lebih besar dari intensitas hujan maksimum
sehingga luas hutan sangat signifikan terhadap pengurangan potensi banjir.
Dengan vegetasi hutan tanah di bawah tegakan hutan selalu tertutup serasah,
tidak mencapai kondisi jenuh sehingga luas tutupan hutan di bagian hulu sangat
penting dalam perlindungan tanah terhadap erosi, pengaturan kesimbangan air
DAS dan perlindungan bahaya banjir.

Kata kunci: Hutan, hasil air, kesiembangan air, koefisien aliran dan pencegahan
banjir

______________________
1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
2 Mahasiswa PPs-IPB Program Doktor-Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, .
3 Ketua komisi dan anggota komisi pembimbing. Fahutan IPB PO Box 169 Bogor

email : nmulyana@ipb.ac.id

| 41 |
PROSIDING Workshop, 2009: 41-54
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap aktivitas manusia yang bersifat mengubah tata guna lahan
akan mempunyai dampak terhadap besar kecilnya air yang keluar dari
suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Hutan sudah sejak lama di yakini
sebagai regulator air yang baik, yang mampu menyimpan air pada
musim hujan dan mengeluarkannya di musim kering, sehingga
daerah hulu sungai umumnya penutupannya berupa hutan. Kegiatan
yang bersifat mengubah tutupan lahan dan tata guna lahan, baik
akibat kegiatan penebangan, dan pengelolaan hutan tanaman akan
sangat berpengaruh terhadap hasil air.
Akibat dinamika perubahan ekologis menyebabkan luas hutan
semakin menyusut, seiring dengan fenomena perubahan iklim secara
global sehingga menyebabkan perubahan terhadap kerakteristik
hidrologi (Sun, et al.2005). Kejadian banjir dan longsor yang terjadi
dibeberapa lokasi di Indonesia perlu dicari akar permasalahannya
dikaitkan dengan tingkat laju kerusakan hutan dan tingkat luas
penutupan lahan di setiap DAS. Problema banjir dan kebakaran
hutan merupakan suatu kejadian yang terpisah dalam rentang waktu
yang berbeda tetapi hakekatnya secara ekologis menimbulkan dampak
ekologis yang sangat masif dan berkesinambungan. (Mulyana, 2000).
Penebangan hutan akan mengurangi evapotraspirasi (Et),
meningkatkan total limpasan (water yield), meningkatkan tingi muka air
tanah dangkal (water table), meningkatkan debit puncak, dan juga
meningkatkan erosi dan sedimentasi. Rasio antara bagian hujan yang
langsung menjadi aliran permukaan menggambarkan kualitas suatu
DAS. Kriteria kualitas DAS hanya dapat dilakukan dengan efektif
apabila mampu menghitung berapa rasio bagian air hujan yang dapat
diresapkan kedalam suatu DAS/Sub DAS.
Bencana banjir dan tanah longsor merupakan bukti nyata
ketidakmampuan air hujan diresapkan ke dalam tanah, sehingga
dampak dari hujan yang turun menyebabkan banjir. Mengetahui
dampak dan karakteristik hutan dengan jumlah air dalam suatu DAS
akibat sistem pengelolaan hutan dan luas tutupan hutan merupakan
isu lingkungan yang sangat penting. Akibat perubahan penutupan
hutan terhadap karakteristik hidrologi akan sangat signifikan apabila
perubahan terjadi di bagian hulu DAS. Bencana banjir merupakan
agregasi dampak akibat perubahan pola penggunaan lahan, dan alih
fungsi hutan yang dilakukan tanpa pendekatan memperhatikan
| 42 |
Hubungan Luas….(Nana Mulyana)
keseimbangan ekologis. Skala perubahan luas tutupan lahan hutan
pada skala makro memerlukan kajian yang intesif pada skala mikro
DAS, sehingga perilaku perubahan luas penutupan hutan terhadap
respon hidrologi dapat diketahui.

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini antara lain:
1. Mempelajari pengaruh luas vegetasi hutan terhadap
karakteristik DAS.
2. Mempelajari rasio curah hujan dengan aliran langsung (direct run
off) pada berbagai lokasi Sub DAS
3. Mempelajari karakterisrik hidrologi pada berbagai penggunaan
lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA

FAO dan CIFOR (2005) menyatakan bahwa hubungan antara


hutan dan banjir adalah mitos belaka sehingga tenggelam dalam fiksi
dari pada suatu fakta. Yang pada intinya tidak ada hubungan yang
nyata antara luas hutan dengan banjir. Suatu pendapat yang sangat
bertentangan dengan presespsi masyarakat umum. Publikasi terakhir
dari Bradshaw et al (2007) menyatakan terdapat hubungan yang sangat
erat antara luas hutan dan tingkat kerusakan banjir. Berdasarkan data
dari 56 negara berkembang antara th 1990 s/d 2000 dari 65 kejadian
banjir 14 %-nya terakait dengan deforestrasi. Setiap penurunan 10 %
luaas hutan alam akan meningkatkan 4-28 % frekwensi kejadian
banjir.
Menurut Farida dan Noordwijk, (2004) luas hutan dalam suatu
DAS mempunyai fungsi sebagai transmisi air (transmite water), fungsi
penyangga (buffrering) dan fungsi pelepasan air secara bertahap
(gradually release water). Luas tutupan hutan dalam suatu DAS sangat
erat kaitannya dengan jumlah luas indek daun (leaf area index, LAI),
sehingga pengaruh tutupan luas hutan terhadap karakteristik hidrologi
sangat dipengaruhi oleh umur tegakan, pengelolaan tegakan, luas
tajuk hutan dalam suatu DAS.
Berdasarkan hasil pengukuran skala plot oleh Pudjiharta dan
Sallata (1985), besarnya rasio intersepsi tegakan P. merkusii dengan
curah hujan pada tegakan berumur 20 th sebesar 0.30, 0.22 pada
umur tegakan 15 tahun dan 0.15 pada umur tegakan 10 tahun.
Mulyana (1994) mendapatkan intersepsi tegakan hutan P. merkusii
berumur 12 tahun di Gunung Walat adalah 0.14 Soejoko, et al. (1998),
| 43 |
PROSIDING Workshop, 2009: 41-54
mengukur di daerah Kebasen Banyumas, Jawa Tengah, intersepsi
pada tegakan P. merkusii berumur 18 tahun sebesar 0.2.
Menurut Pudjiharta dan Sallata (1985) besarnya air tembus pada
tegakan P. merkusii berumur 10 tahun adalah 51,5 %, pada tegakan
berumur 15 tahun 48,7 % dan pada tegakan berumur 20 tahun
sebesar 46,4 %. Evapotranspirasi hutan hujan tropis di daerah dataran
rendah di Indonesia berdasarkan hasil pengukuran berkisar antara
1.200-1.600 mm/th dengan rata-rata 1.400 mm/th. Sedangkan untuk
kondisi pegunungan dataran tinggi (> 1.000 m dpl) di mana
umumnya dijumpai hutan yang banyak diselimuti oleh awan,
evapotranspirasi hutan sebesar 1.100 mm/th. (Mulyanana, 2000).
Laju infiltrasi di bawah tegakan hutan akan sangat mempengaruhi
hasil air dari suatu DAS, hasil penelitian Purwanto dan Gintings
(1995) di Cijambu, Sumedang, BKPH Manglayang Timur, laju
infiltrasi pada kondisi jenuh pada jenis tanah inceptisol di bawah
tegakan Eucalyptus sp sebesar 29.98 cm/jam, P. merkusii 26.28
cm/jam, Maesopsis eminii 8.64 cm/jam, dilahan tanaman kol (Cabbage)
4.68 cm/jam dan dibawah tegakan Eupatorium sp 29.88 cm/jam,
sehingga terlihat pola penutupan lahan hutan sangat berpengaruh
terhadap laju infiltrasi DAS.
Hasil penelitian di Gunung Walat, Sukabumi (750 m dpl) pada
kondisi tanah Pondsolik Merah Kuning, dan kelas lereng yang sama,
menujukkan bahwa hasil simulasi dengan Model Walat 1. Penutupan
lahan berupa hutan merupakan tata guna lahan yang paling baik
dalam meresapkan air, karena lebih dari 98,3 % air yang jatuh di atas
permukaan hutan di infiltrasikan ke dalam tanah, Mulyana, (1994).
Penelitian Arief et al. (1991) di daerah Cikeruh, Sumedang–Jawa Barat
menunjukkan bahwa DAS hutan P. merkusii mempunyai tebal
tampungan air tanah 312 mm, sedangkan pada DAS pertanian pada
kondisi geologi dan topografi yang sama total tampungan air tanahnya
hanya 37 mm, sedangkan pada DAS dengan penutupan lahan
campuran di daerah Cikapundung - Gandok tebal tampungan
permukaannya 242 mm, dan pada daerah Cigulung-Maribaya pada
kondisi penutupan lahan campuran total kandungan airnya 254 mm,
sehingga dengan demikian DAS berhutan lebih banyak menyimpan
air tanah.
Berdasarkan hasil penelitian Pramono dan Gintings (1992) di
daerah Sub DAS Ciharung, Sumedang Jawa Barat, tegakan P. merkusii
dalam jangka panjang menghasilkan rasio debit dengan curah hujan
sebesar 0.37, dengan kebutuhan air tahunan sebesar 1.2660 mm/th,
dengan perbandingan antara aliran langsung dan interflow bervariasi
| 44 |
Hubungan Luas….(Nana Mulyana)
antara 6-24 %, sehingga lebih dari 75 % curah hujan di bawah
tegakan hutan meresap ke dalam tanah.
Hubungan antara hutan dan air berdasarkan penelitian di Eropa
telah membuktikan dengan adanya hutan debit air akan meningkat
(Molchanov, 1966). Di lain pihak, beberapa hasil penelitian yang
telah dilaporkan oleh Bosh dan Hewlett (1982) memperlihatkan hasil
yang sebaliknya. Gilmour et al. (1982), berdasarkan hasil penelitian di
Quensland di bagian utara Australia menyatakan akibat penebangan
hutan menyebabkan kenaikan aliran permukaan sebesar 10 % atau
297 mm/th.
Hasil penelitian akibat penebangan hutan terhadap perilaku air
yang dilakukan di daerah tropis yang dilakukan oleh Rahim Nik,
(1990) di Bukit Berembun, Negeri Sembilan, Malaysia. Penelitian
yang dilakukan di tanah ultisol, dengan tekstur tanah bervariasi antara
lempung berpasir sampai liat berpasir, dengan curah hujan 2.125
mm/th menunjukkan bahwa konsumsi air oleh vegetasi di tempat-
tempat terbuka akibat aktivitas pembalakan masih tetap lebih kecil
dari pada konsumsi air oleh vegetasi di hutan yang tidak ditebang
serta daerah yang ditebang menujukkan adanya kenaikan aliran lambat
pada musim kering.
Konversi hutan hujan tropis dataran rendah menjadi tanaman
tahunan (tanaman pertanian) akan menyebabkan kenaikan hasil air
sebesar 200-300 mm/th, akan tetapi perubahan ini akan sangat
tergantung pada tingkat perubahan jenis vegetasi hutan dan
perbandingan antara hubungan antara kenaikan laju evapotranspirasi
hutan pada musim kering dan tingginya laju infiltrasi tegakan hutan
pada musim hujan.

III. METODA PENELITIAN

Hasil air dari suatu DAS (water yield) dapat diduga dengan
menggunakan jumlah curah hujan (P) dengan evapotrasnpirasi (Et),
Y = P- Et.............................................................................................(1)
Atau dihitung bedarsarkan akumulasi debit sungai yang terjadi dalam
satu tahun:
Y = ∑ q i .............................................................................................(2)
Di mana qi adalah debit harian dalam setahun dalam mm.
Respon hidrologi tahunan DAS dapat dihitung dengan rumus
sbb;
RHt = Y/ P .......................................................................................(3)
Di mana,
| 45 |
PROSIDING Workshop, 2009: 41-54
RHt = respon hidrologi tahunan Y = total water yield tahunan (mm)
P = total curah hujan tahunan (mm)
Kualitas DAS dalam mengendalikan banjir dapat dihitung
dengan membandingkan total aliran langsung (direct run off) tunggal
dengan total hujan tunggal sehingga dapat dirumuskan:
RHh = ∑ DRO/∑ CHh ..........................................................(4)
Dimana :
RHh = respon hidrologi harian
DRO = total debit limpasan
CHh = total curah hujan harian

Metode dengan cara membandingkan hidrograf aliran dilakukan


pada pada 5 Sub DAS terpilih tesebar di beberapa tempat (Gambar 1)
yang mempunyai peralatan pengukur curah hujan dan debit sungai
secara otomatis. Data debit, curah hujan harian, diambil dari data
loger dengan interval 15 menit dengan menggunakan alat AWLR-
Global water loger dan AWLR harian type R-20. Data ketinggian air
diolah dari data loger Global Loger Wl-16, dan curah hujan diukur
dengan alat sensor Global Loger RG 600 dan GL-500-2-1 dan ARR
tipe siphon-theis. Data penutupan lahan dan kontur diolah dari peta
skala 1: 50.000 (RBI-Bakosurtanal).

Gambar 1. Lokasi plot pengamatan hubungan luas penutupan hutan dengan curah
hujan-debit sungai.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4. 1. Debit Sungai dan luas hutan
Debit sungai merupakan hasil interaksi antara faktor iklim,
tanah, geologi, lereng dan penutupan lahan. Berdasarkan hasil
pengamatan selama 3 tahun pada 5 Sub DAS terpilih diberbagai
tempat yang mewakili berbagai tipe iklim, batuan dan
penutupan lahan secara ringkas disajikan pada Tabel 1 di bawah
| 46 |
Hubungan Luas….(Nana Mulyana)
ini. Berdasarkan data pada Tabel 1 terlihat bahwa areal dengan
luas hutan yang semakin sedikit di Sub DAS Cilebak, rasio
antara debit tahunan dengan hujan mencapai 0.67 dan pada Sub
DAS yang didominasi oleh tanaman holtikulktura (sayuran)
rasio antara debit dengan curah hujan mencapai 0.73, sementara
Sub DAS dengan luas hutan yang masih utuh (di Sub DAS
Gumbasa), Maguliling dan Sub DAS Cibangban rasio antara
hutan dengan curah hujan tahunan berkisar 0.45 sampai 0.63.
Dari data di atas terlihat bahwa perbandingan antara total debit
tahunan dengan curah hujan sangat dipengaruhi oleh penutupan
lahan, dan tutupan lahan berupa hutan dan kebun mempunyai
dampak yang sangat signifikan terhadap jumlah hasil air (water
yield) di suatu Sub DAS/DAS, sehingga hutan berfungsi sebagai
“busa raksasa” yang menyimpan sebagian hujan ke dalam tanah.

Tabel 1. Rasio hujan dan debit tahunan pada berbagai Sub DAS/DAS terpilih
NO SUB LUAS PENUTUPAN CURAH DEBIT RASIO
DAS/DAS (HA) LAHAN (%) HUJAN (MM) DEBIT/
(LOKASI) (MM) C.HUJAN

1. Cibangban 118,3 H. Alam 31.1 % 3.324. 1791, 8 0.53


(Garut) H. Pinus 68,1 %
2. Cikawung 63,3 Hotikultura 90 3.324 2442, 8 0.73
(Garut) % H. Pinus tua
10 %
3. Gumbasa 122.9 Hutan alam 1.410 635.5 0.45
(Palu) 43 71.7 % Belukar
11.7 % Pertanian
sawah 4.5 %
kopi dan coklat
7.2 % rumput
4.9 %

4. Manguliling 4.148 Hutan 0,1 %, 2006 918.7 0.45


(Toraja) Kebun 45,1 %,
Ladang/tegalan
26.5 %, sawah
17,5 %

| 47 |
PROSIDING Workshop, 2009: 41-54
NO SUB LUAS PENUTUPAN CURAH DEBIT RASIO
DAS/DAS (HA) LAHAN (%) HUJAN (MM) DEBIT/
(LOKASI) (MM) C.HUJAN

5. Cilebak 400,2 Hutan 14,5 % 1608 1.080 0.67


(Bandung) ladang, tegalan
39 % Kebun
campuran,
pemukiman dan
sawah 46.5 %

Pada percobaan dua Sub DAS yang berdampingan yaitu


pada Sub DAS Cibangban yang mewakili Sub DAS berhutan
dan Cikawung (Sub DAS non hutan/bekas penebangan) di
daerah di KPH Tasikmalaya –Perum PERHUTANI Unit III
Jawa Barat yang mempunyai jenis batuan, curah hujan dan
kondisi topografi yang sama sehingga debit sungai hanya
merupakan hasil dari perbedaan penutupan lahan dan luas
hutan, dari pengamatan selama 3 tahun berturut-turut terlihat
bahwa penebangan hutan menyebabkan naiknya rasio antara
debit dengan curah hujan sebagaimana disajika pada Gambar 2
di bawah ini.

Gambar 2. Rasio antara curah hujan dengan debit pada DAS berhutan dan non-
hutan

Sebelum ditebang debit aliran di Sub DAS Cikawung (63,3 ha),


lebih rendah dibandingkan Sub DAS Cibangban (118,3 ha), sesuai
dengan luas DAS. Setelah dilakukan penebangan pada Sub non hutan

| 48 |
Hubungan Luas….(Nana Mulyana)
(bekas penebangan), terlihat pada bulan ke-4 sampai bulan ke-6
setelah ditebang, debit Sub DAS Cikawung sama dengan Debit Sub
DAS Cibangban, pada bulan ke-8 s/d bulan ke –19, terjadi kenaikan
debit pada Sungai Cikawung, yang berarti, terjadi kenaikan run off
yang besar disertai keluarnya air dari cadangan air tanah, akibat
hilangnya evapotranspirasi, jumlah air yang bertambah berkisar 600-
650 mm/th atau setara dengan 54 mm/bulan.
Pada bulan ke 20 sampai 34 setelah ditebang dengan sistem tebang
habis, hasil air antara Sub DAS Cikawung hampir sama dengan Sub
DAS Cibangban. Sedangkan pada bulan ke 35 setelah ditebang, atau
setelah tanaman P. merkusii muda berumur 3 tahun debit S. Cikawung
lebih rendah dibandingkan dengan S. Cibangban, hal ini menunjukkan
kondisi ekosistem kembali seperti keadaan sebelum ditebang,
sehingga efek penebangan hutan Pinus sangat berpengaruh dan
memberikan dampak yang sangat besar pada tahun ke dua sampai ke
tiga setelah ditebang. Dengan demikian berkurangnya luas hutan
akan sangat berpengaruh terhadap hasil air dan pada intensitas hujan
tinggi akan sangat berpengaruh terhadap banjir.
Berdasarkan hasil pengamatan koefisen resesi dan jumlah air yang
dapat ditampung pada musim kering terlihat bahwa pada musim
kering tahun pertama di tebang pada Sub DAS berhutan kandungan
air tanahnya 61,9 % lebih banyak dibandingkan DAS non hutan
(bekas penebangan), sedangkan setelah 2 tahun ditebang kandungan
tampungan DAS non hutan 56,71 % lebih banyak dibanding DAS
berhutan, hal ini disebabkan karena hilangnya evapotranspirasi
sehingga air meresap mengisi zone aquifer, akan tetapi pada tahun ke
3 setelah ditebang, yaitu pada musim kering, jumlah air tanah pada
Sub DAS berhutan lebih banyak 18,1 % dibandingkan dengan Sub
DAS non hutan, hal ini mengindikasikan bahwa Sub DAS berhutan
jauh lebih baik dalam menyimpan air tanah, akibat infiltrasi yang
besar. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Perbandingan tampungan air pada musim kering antara Sub DAS
berhutan dan non hutan.
Sub DAS Sub
Parameter kandungan air tanah Non DAS
Hutan Berhutan
Tampungan air musim kering th 1995 (mm) 5.81 9.46
Tampungan air musim kering th 1997 (mm) 8.67 4.92
Tampungan air musim kering th 1998 (mm) 19.06 22.51

| 49 |
PROSIDING Workshop, 2009: 41-54
4.2 Respon Hidrologi
Berdasarkan perbandingan antara data curah hujan dengan
debit pada Tabel 4 terlihat bahwa kegiatan penebangan
menyebabkan naiknya total koefisien aliran permukaan dari 0,54
menjadi 0,735. Akibat penebangan menyebabkan naiknya debit
base flow akibat berkurangnya evapotranspirasi, antara Sub
DAS yang ditebang dan tidak ditebang terdapat selisih hasil air
(water yield) sebesar 1.842 mm selama 34 bulan atau setara
dengan 54,2 mm/bulan sehingga kegiatan penebangan telah
menaikan air sebesar 650 mm/th atau setara dengan menaikan
potensi banjir. sehingga kebutuhan evapotarspirasi hutan P.
merkusii di daerah Tasikmalaya-Garut setara dengan 650 mm/th
ditambah keperluan evaporasi sebesar 1,81 mm/hari atau
sebesar 660 mm/tahun sehingga total air yang diuapkan ke
udara adalah sebesar (650+ 660 mm) atau 1.310 mm/th,
sehingga dengan demikian tanamn P. merkusii memerlukan air
sebesar 3,81 mm/hari.

Tabel 3. Rasio aliran langsung dengan curah hujan pada berbagai


lokasi di Indonesia.
NO SUB DAS/ PENUTUPAN CURAH DIRECT RASIO
DAS LAHAN (%) HUJAN RUN LIMPASAN
(MM) OFF (DRO)/
(DRO) CURAH
(MM) HUJAN

1. Cibangban H. Alam 31.1 % 87.8 22.1 0.25


(Tasikmalaya) H. Pinus 68,1 %

2. Mararin 13,6 3 0.22


(Toraja)

3. Cilebak Hutan 14,5 % 29.86 3.7 0.12


(Bandung) ladang, tegalan 39
% kebun
campuran,
pemukiman dan
swah 46.5 %

| 50 |
Hubungan Luas….(Nana Mulyana)
Tabel 4.Perbandingan respon hidrologi antara Sub DAS berhutan dan non hutan
(bekas penebangan)
Non Hutan Berhutan
Curah (Bekas Penebangan)
Waktu
hujan Debit (mm) Respon Debit (mm) Respon
hidrologi hidrologi
Bulan 1 s/d 12 3.814 3.036 0,796 1.998 0.52
Bulan 13 s/d 24 1.307 2.225 1,702 1.205 0.92
Bulan 25 s/d 34 4.297 1.658 0,386 1.874 0.44
Total 1 s/d 34 9.419 6.919 0,735 5.077 0.54

Untuk melihat lebih akurat antara pola penggunaan lahan


hutan dan non hutan berdasarkan hasil pengamatan pada dua
DAS berdampingan dengan menggunakan hidrograf satuan
sebesar 100 mm/jam dengan hasil sebagaimana disajikan pada
Gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3. Perbandingan hidrograf satuan antara Sub DAS


berhutan dan non hutan
Berdasarkan data debit di atas terlihat bahwa hidrograf
satuan Sub DAS hutan pinus muda mempunyai debit puncak
428 liter/det sedangkan Sub DAS pinus tua dan hutan alam
hanya 231 liter/det, dengan waktu puncak masing-masing 2 jam
untuk Sub DAS non hutan dan 3 jam untuk Sub DAS berhutan
dengan waktu dasar masing-masing 17 dan 59 jam, sehingga
Sub DAS berhutan lebih baik dalam mengendalikan aliran
permukaan pada saat terjadi hujan maksimum. Sub DAS
berhutan mempunyai waktu alirtan dasar 3 kali lebih lama
dibandingkan Sub DAS yang ditanami sayuran, dan Sub DAS
berhutan mampu meredap debit puncak aliran 1/2 x lebih
sedikit dibandingkan DAS yang ditanami oleh sayuran, sehingga
| 51 |
PROSIDING Workshop, 2009: 41-54
membuka hutan pada daerah hulu sungai akan sangat
mempengaruhi kualitas dan kuantitas air. Perubahan dari hutan
ke non hutan sangat berpotensi menaikan resiko banjir karena
meningkatkan aliran permukaan, naiknnya waktu konsentrasi
dan menurunnya kualitas air.
Kegiatan penebangan hutan dengan sistem tebang habis
menyebabkan perubahan koefisien aliran permukaan (rasio
antara debit dengan hujan) tahunan meningkat dari 0,54
menjadi 0,74. Dengan demikian penebangan hutan menaikan
jumlah air tahunan lebih dari 22 %, tetapi air tersebut sebagian
besar merupakan aliran langsung (run off) yang kualitasnya juga
rendah karena banyak mengandung sedimen. Perbedaan antara
DAS yang ditebang dan yang tidak ditebang terdapat selisih
hasil air (water yield) sebesar 54,2 mm/bulan atau sebesar 650
mm/th. Dari skala pengukuran sub DAS ternyata kebutuhan air
untuk evapotraspirasi hutan Pinus 1.250 mm/th atau 3,71
mm/hari.
Dengan data-data di atas pengaruh hutan sangat
signifikan terhadap jumlah dan prosentase curah hujan yang
menjadi aliran permukaan. Dewasa ini tidak ada penutupan
lahan yang dapat mengimbangi hutan dalam kemampuan
meresapkan air hujan dan mencegah tanah mengalami erosi dan
longsor. Hutan merupakan penutupan lahan yang paling
baik dalam mencegah erosi dan menyimpan air tanah, sehingga
penutupan hutan dalam suatu DAS sangat baik dalam
mencegah terjadinya banjir, yang diakibatkan oleh intensitas
curah hujan yang tinggi yang biasanya terjadi pada awal musim
penghujan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Penebangan hutan, perubahan penutupan lahan dari hutan
menjadi non hutan akan memberikan dampak yang sangat
signifikan terhadap rasio debit dengan curah hujan baik
secara harian maupun tahunan, sehingga pengaturan luas
hutan menjadi sangat penting dalam mengurangi resiko
banjir di suatu DAS.
| 52 |
Hubungan Luas….(Nana Mulyana)
2. Penebangan hutan dapat menyebabkan rasio aliran
limpasan meningkat, base flow meningkat tetapi infiltrasi
menurun, sehingga jumlah tampungan air dimusim kemarau
lebih sedikit dibandingkan data DAS berhutan
3. Penebangan hutan dengan sistem tebang habis
meningkatkan koefisien aliran dari 0.56 menjadi 0.74
sehingga jumlah air akan meningkat 50 % dan umumnya
disebabkan karena menurunnya kapasitas infiltrasi, sehingga
terdapat hubungan yang erat antara luas hutan dan resiko
banjir di suatu DAS
4. Luas hutan di suatu DAS sangat erat kaitannya dengan
hidrograf aliran, sehingga hutan sangat efektif dalam
mengendalikan aliran pemukaan karena laju infiltrasi hutan
di daerah hulu DAS lebih besar dari laju intensitas hujan.

B. Saran

1. Perlu adanya penelitian yang berkesinambungan untuk


melihat pengaruh hutan terhadap banjir dan perlu ada
sosialisasi hasil-hasilnya sehingga tidak terjadi misleading,
mis komonikasi dan bahkan hanya dinyatakan sebagai
mitos belaka.
2. Perlu aplikasi modeling dalam mempelajari pengaruh hutan
dan banjir dengan menggunakan model hidrologi dengan
memperhatikan aspek spatial dan temporal.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, M, I. R Effendy dan S.DM. Kayo. 1991. Hubungan Lahan


Penutup (Hutan) terhadap Debit Rendah. Kolokium Hasil
Penelitian Puslitbang Air Tahun 1990/1991. Bandung.
Bradshaw C.J, Navjot S. Sodhi, Kelvin S. PEH Barry W. Brook. 2007.
Global Evidence that Deforestration amplifies flood risk and
serverity in The Developing World. School for Environmental
Research, Institute Advance Study Charles Darwin University,
Darwin Australia.
FAO &CIFOR. 2005. Hutan dan Banjir, Tenggelam Dalam Suatu
Fiksi atau Berkembang dalam Fakta. CIFOR-Bogor, ISBN-
979-3361-75-1.

| 53 |
PROSIDING Workshop, 2009: 41-54
Farida dan Noorwijk M. 2004. Analisis Debit Sungai Akibat Alih
Guna Lahan Dan Aplikasi Model Genriver Pada Das Way
Besai, Sumberjaya. AGRIVITA VOL. 26 NO.1. World
Agroforestry Centre- ICRAF SE Asia, Bogor, ISSN : 0126 –
0537.
Gilmour, D.A., Cassells, D.S. and Bonell, M., 1982. Hydrological
research in the tropical rainforests of north Queensland: Some
implications for land use management. In: E.M. O'Loughlin
and L.J. Bren (Editors), First National Symp. on Forest
Hydrol., Melbourne, May 1982, Instit. Engrs., Canberra,
Australia. Nat. Conf. Publ. 82-6, pp. 145-152.
Hewlett, Jhon D. 1982. Principles of Forest Hidrology. The
University of Georgia Press. Athens.
__________, N. 1994. Simulasi Pengaruh Hutan Terhadap Sistem
Tata Air di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
Lembaga Penelitian IPB. Bogor.
__________, N. 2000. Pengaruh Hutan Pinus (P. merkusii) terhadap
karakteristis Hidrologi di Sub DAS Ciwulan Hulu, KPH
Tasikmalaya Perum Perhutani Unit III-Jawa Barat Kajian
menggunakan Model POWERSIM-PINUS Ver 3.1). Thesis
Fakultas Pasca Sarjana IPB-Bogor
Molchanov, A.A. 1966. The Hydrological Role of Forest Translated
From Rusia. Israel Program for Scientific Translation
Jarrusallem.
Pudjiharta, Ag., M.K. Sallata. 1985. Aliran Batang, Air Lolos dan
Intersepsi Curah Hujan pada Tegakan Pinus merkusii di Bawah
Hutan Tropik di Cikole, Lembang, Bandung Utara, Jawa Barat.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. Buletin no
471.
Purwanto. I. dan A.Ng. Gintings. 1995. Pengaruh Berbagai Jenis
Vegetasi terhadap Kapasitas Infiltrasi Tanah di Cijambu,
Sumedang, Jawa Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan. Bogor. Buletin Penelitian Hutan No.573.
Pramono.,I. B. and A. Ng. Gintings. 1992. Hydrological Response of
Pinus merkusii in Ciharung Catchment, West Java. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. Buletin
Penelitian Hutan No.552.
Nik A.R. 1990 ,Effects of selective logging methods on streamflow
parameters in Berembun watershed.

| 54 |
7. PERAN HUTAN DALAM PENGENDALIAN
TANAH LONGSOR1

Oleh:
Sukresno2

ABSTRAK

Bencana alam tanah longsor akhir-akhir ini kejadiannya cenderung terus


meningkat, khususnya saat awal musim penghujan tiba. Namun demikian isue
degradasi hutan (deforestasi) yang tinggi saat ini masih dianggap sebagai pemicu
munculnya bencana alam tersebut. Sebenarnya peran vegetasi hutan tersebut
dalam mengendalikan tanah longsor/stabilitas lereng adalah sangat besar, tetapi
pengaruhnya dapat positip (menguntungkan) dan atau negatip (merugikan).
Pengaruh positip berarti adanya vegetasi hutan dapat meningkatkan kuat geser
tanah dan menurunkan tegangan geser tanah. Sebaliknya pengaruh negatif
berarti adanya vegetasi dapat menurunkan kuat geser tanah dan meningkatkan
tegangan geser tanah. Dengan demikian kemampuan jenis-jenis vegetasi (species)
hutan dalam mempengaruhi stabilitas lereng (tanah longsor), selain berat
biomassnya adalah bentuk sistem perakaran, kedalaman akar,
distribusi/sebaran perakaran, susunan akar, dan kekuatan akar.
Kata kunci : Hutan, tanah longsor, kuat geser, tegangan geser, akar
I. PENDAHULUAN
Indonesia yang berada pada tiga lempeng aktif dunia, yaitu
Eurasia, Pasifik, dan Australia dilaporkan terdapat 918 lokasi rawan
longsor dengan kerugiaan sekitar hampir satu trilyun rupiah per tahun
dan mengancam sekitar 1 juta jiwa (Anonimous, 2007). Sebaran
daerah rawan longsor tersebut, antara lain di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Yogyakarta, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara masing-
masing ada 276, 327, 30, 100, dan 53 lokasi. Intensitas kejadian tanah
longsor saat ini cenderung terus meningkat, seperti di Jawa Tengah
pada periode 2002-2006 masing-masing terjadi sebanyak, 13, 15, 19,
7, dan 19 kali (Distamben Prop Jateng dalam Suharwanto, 2006).
Kecenderungan peningkatan bencana alam tanah longsor saat ini
seperti sejalan dengan peningkatan laju deforestasi di Indonesia dari
1,3 juta ha per tahun menjadi hampir 4 juta ha per tahun.
__________________________
1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
2 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Solo, Jl. Jend. A. Yani-Pabelan, P.O Box

295 Surakarta, Telp. (0271) 716709


| 55 |
PROSIDING Workshop, 2009: 55-67

Tanah longsor (Brook et al., 1991) adalah salah satu bentuk dari
gerak masa tanah, batuan dan runtuhan batu/tanah yang terjadi
seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan oleh gaya
gravitasi dan meluncur di atas suatu lapisan yang kedap yang jenuh air
(bidang luncur). Tanah longsor terjadi jika dipenuhi 3 keadaan, yaitu:
1) lereng cukup curam, 2) terdapat bidang peluncur di bawah
permukaan tanah yang kedap air, dan 3) terdapat cukup air dalam
tanah di atas lapisan kedap (bidang luncur) sehingga tanah jenuh air,
akibatnya kuat geser tanah berkurang sedang tegangan geser tanah
meningkat. Pengurangan kuat geser pada tanah disebabkan oleh
kondisi geologi – jenis tanah, tekstur (komposisi), sensivitas sifat
tanah lempung, adanya lapisan tanah shale, loess, pasir lepas, dan
bahan organik. Pengurangan kuat geser pada batuan disebabkan oleh
adanya diskontinuitas, sifat kekakuan, arah bedding, joint, orientasi
lereng, derajat sementasi batuan misalnya konglomerat, batuan pasir,
breksi, dan lain-lain. Peningkatan tegangan geser disebabkan antara
lain oleh peningkatan kadar air oleh air hujan yang berinfiltrasi
kedalam tanah/batuan pada lereng terbuka tanpa vegetasi sehingga
tegangan air pori dan tekanan hidrostatis dalam tanah meningkat serta
berat beban pada lereng meningkat. (Suryolelono, 2007).
Peran vegetasi (hutan) dalam memperkuat stabilitas lereng
dikemukakan oleh Hardiyatmo (2006), yaitu vegetasi meningkatkan
kekasaran permukaan sehingga melindungi tanah dari erosi, jaringan
akar meningkatkan kuat geser tanah, dan evapotranspirasi mengurangi
tekanan air pori sehingga menurunkan tegangan geser tanah. Sedang
adanya pengurangan vegetasi/penebangan hutan pada lereng
berakibat pada peningkatan kejadian tanah longsor karena
meningkatnya erosi tanah, serta rusaknya dan pembusukan bertahap
ikatan diantara akar-akarnya berakibat pada pelemahan stabilitas
tanah. Penelitian terkait pengaruh pembalakan hutan terhadap
peningkatan kejadian tanah longsor dikemukakan oleh Montgomery et
al. (2000) untuk kejadian di Pasific Northwest, Howes (1987) di
Pantai Selatan Pegunungan British Columbia, Ziemer dan Swanston
(1977) di Alaska Tenggara, dan Soms
Paper ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya
peran vegetasi hutan dalam kaitannya dengan peristiwa tanah longsor
yang akhir-akhir ini sering terjadi, dimana vegetasi hutan dianggap
sebagai pemicunya seperti yang terjadi di Jember, Banjarnegara,
Trenggalek, Bohorok, dan Bogor.

| 56 |
Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)

II. TANAH LONGSOR


Tanah longsor dapat diartikan sebagai perpindahan material
pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau
material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng
(Anonimous, 2007). Proses terjadinya yaitu air yang meresap ke dalam
tanah akan menambah berat tanah, selanjutnya jika air tersebut
menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang
gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya
akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng atau longsor. Ciri-
ciri tanah longsor dikelompokkan atas pengaruh dari batuan/tanah,
tektonik/kegempaan, morfologi, dan kadar air tanah (Hirmawan,
1994). Gejala umum tanah longsor (Anonimous, 2007) yaitu retakan
pada lereng yang sejajar arah tebing, muncul mata air, tebing rapuh-
batu-batu kecil berjatuhan, umumnya terjadi setelah hujan.
Jenis tanah longsor yang umum ada 6 (Gambar 1) , yaitu: 1)
longsoran translasi, 2) longsoran rotasi, 3) pergerakan blok, 4)
runtuhan batu, 5) rayapan tanah, dan 6) aliran bahan rombakan. Jenis
longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia.
Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa
manusia adalah aliran bahan rombakan (Anonimous, 2007).
Penyebab terjadinya tanah longsor adalah sangat kompleks baik
alami seperti faktor geologi, hidrologi, topografi, tanah, iklim maupun
adanya aktivitas manusia. Sebab alami tersebut (Hardiyatmo, 2006
dan Anonimous, 2007), a.l. yaitu: 1) penambahan beban pada lereng
oleh air (hujan) dan vegetasi (tertiup angin); 2)
penggalian/pemotongan lereng pada kaki tebing; 3) lereng tebing
yang curam; 4) tekanan lateral air dalam tanah; 5) getaran/gempa; 6)
jenis dan perubahan penggunaan lahan (hutan-non hutan); 7) erosi
(tebing sungai); dan 8) bekas longsoran lama.

| 57 |
PROSIDING Workshop, 2009: 55-67

4. Runtuhan Batu
1. Longsoran Translasi

2. Longsoran Rotasi 5. Rayapan Tanah

3. Pergerakan Blok 6. Aliran Bahan Rombakan


Gambar 1. Jenis-jenis tanah longsor (Sumber: Anonimous, 2007)

III. PERAN VEGETASI PADA STABILITAS LERENG


Seperti telah dikemukaan pada bab sebelumnya, peran vegetasi
hutan dalam mengendalikan stabilitas tanah pada lereng sangat besar,
yaitu melalui peran hidromekaniknya dan biotekniknya (Hardiyatmo,
2006; VSTC, 1987; Abramson et al., 1996). Vegetasi berperan dalam
aspek hidrologi yaitu menurunkan kelembaban air tanah melalui
proses evapotranspirasi dan aspek mekanis perkuatan ikatan akar
pada partikel-partikel tanah pada lereng (jaringan akar – penjangkaran
akar sampai lapisan kedap). Greenway (1987) dalam Hardiyanto
(2006) memberikan informasi peran hidromekanik vegetasi pada
stabilitas lereng dari pengaruh yang menguntungkan dan merugikan
seperti disajikan pada Tabel 1.
Peran yang menguntungkan dari adanya vegetasi dalam
menstabilkan lereng Hardiyanto (2006) yaitu: 1) jaringan akar
memperkuat tahanan geser tanah, 2) evapotranspirasi menurunkan
tekanan air pori yang selanjutnya menurunkan tegangan geser tanah,
3) vegetasi menambah kekasaran permukaan yang berfungsi menahan
erosi tanah, dan 4) berat pohon yang tertanam dapat mengaker tanah
yang berfungsi sebagai penambah tegangan kekang (tegangan normal)
yang dapat menahan gerak lereng ke bawah. Sedang peran vegetasi

| 58 |
Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)

yang memperlemah stabilitas lereng, yaitu: 1) pertambahan beban


vegetasi pada lereng berpotensi bahaya penggulingan jika jangkaran
akar yang lemah maupun adanya angin kencang, 2) evapotranspirasi
dapat mempercepat pengurangan kelembaban tanah menyebabkan
tanah retak-retak sehingga menambah kapasitas infiltrasi, dan 3) akar
vegetasi menambah kekasaran permukaan dan permeabilitasnya
sehingga menambah kapasitas infiltrasi.
Peran vegetasi dalam mengendalikan stabilitas lereng sangat
ditentukan oleh keberadaan sifat-sifat dari akarnya Hardiyanto (2006),
yaitu 1) bentuk sistem perakaran (tunggang-serabut), 2) kedalaman
akar (dangkal-dalam menembus bedrock-Gambar 2), 3)
distribusi/sebaran perakaran (perbandingan dengan luas
mahkotanya), 4) susunan akar (ratio akar:tanah atau berat biomass akar
per satuan volume tanah), dan 5) kekuatan akar (nilai kuat tarik akar
pada berbagai diameter akar dan species vegetasi). Tabel 2 menyajikan
nilai kuat tarik akar untuk berbagai species vegetasi. Tabel 3, 4, dan 5
menyajikan jenis-jenis pohon berakar dalam-bercabang banyak,
dalam-bercabang sedikit, dan dapat hidup pada daerah yang banyak
air dan tahan pangkas.
Tabel 1. Peran hidromekanik vegetasi pada stabilitas lereng
No Peran Hidromekanik Pengaruh
Mekanisme secara Hidrologi
1 Daun-daun: menahan jatuhan air hujan, mengurngi Menguntungkan
erosi, infiltrasi, meningkatkan absorsi-transpirasi
2 Akar dan batang: menambah kekasaran permukaan, Merugikan
permeabilitas, menambah kapasitas infiltrasi
3 Akar menyerap air dari tanah, membantu proses Menguntungkan
transpirasi, membantu mengurangi tekanan air pori
4 Pengurangan kelembaban air tanah oleh akar Merugikan
menyebabkan tanah retak, menambah infiltrasi
Mekanisme secara Mekanis
5 Akar memperkuat tanah, memperbesar kuat geser Menguntungkan
6 Akar pohon menembus sampai ke lapisan keras, Menguntungkan
meningkatkan kekuatan daya dukung tanah
Mekanisme secara Mekanis
7 Berat pohon membebani lereng, menambah Merugikan
komponen gaya normal dan gaya ke bawah lereng Menguntungkan

8 Vegetasi menimbulkan gaya dinamik ke lereng akibat Merugikan


angin
9 Akar mengikat partikel tanah di permukaan dan Menguntungkan
menambah kekasaran permukaan, mengurangi erosi
Sumber: Greenway (1987) dalam Hardiyatmo (2006)

| 59 |
PROSIDING Workshop, 2009: 55-67

Gambar 2. Bentuk jangkaran akar pohon pada perlapisan tanah/batuan


Tabel 2. Nilai kuat tarik akar untuk beberapa species vegetasi pohon dan semak
Nilai Kuat Tarik Rata2
Species Nama pada umumnya
(MPa)
Pohon-pohon 11-55
Acasia confuse Acasia 11
Ficus benyamina Beringin 13
Hevea braciliensis Karet 11
Pinus densiflora Pinus Merah 33
Pinus lambertiana Pinus Sugar 10
Pinus panderosa Pinus Panderosa 10
Pinus radiata Pinus Monterey 18
Semak-semak 16-71
Sumber: Schiechtl (1980) dalam Hardiyatmo (2006)
Tabel 3. Jenis-jenis pohon berakar dalam dan bercabang banyak
Jenis Vegetasi Tempat Tumbuh
Kemiri (Aleurites moluccana) + 1000 m
Mindi (Melia azedarach) + 1000 m
Laban (Vitex pubescens) + 300 m
Dlingsem (Homalium tomentosum) + 300 m
Bungur (Lagerstroemia speciosa) + 300 m
Lamtoro merah (Acasia villosa) + 300 m
Eucalyptus alba + 300 m
Johar (Cassia seamea) + 700 m
Lamtoro (Leucaena leucocephala) + 500 m
Sumber: Sudjoko dalam Hardiyatmo (2006)

| 60 |
Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)

Tabel 4. Jenis-jenis pohon berakar dalam dan bercabang sedikit


Jenis Vegetasi Tempat Tumbuh
Mahoni daun lebar (Swietenia + 700 m
macrophylla)
Renghas (Gluta renghas) + 300 m
Jati (Tectona grandis) + 500 m
Kesambi (Schleichera oleosa) + 700 m
Angsana (Pterocarpus indicus) + 700 m
Sonokeling (Dalbergia latifolia) + 700 m
Trengguli (Cassia fistula) + 700 m
Kupu2 (Bauhinia urpurea) + 1000 m
Asem (Tamarindus indica) + 1000 m
Pilang (Acasia leucophloea) + 700 m
Sumber: Sudjoko dalam Hardiyatmo (2006)
Tabel 5. Jenis-jenis pohon yang tumbuh pada lingkungan basah dan
tahan pangkas
Jenis Vegetasi Tempat Tumbuh
Kemiri (Aleurites moluccana) + 1000 m
Mindi (Melia azedarach) + 1000 m
Laban (Vitex pubescens) + 300 m
Dlingsem (Homalium tomentosum) + 300 m
Bungur (Lagerstroemia speciosa) + 300 m
Lamtoro merah (Acasia villosa) + 300 m
Eucalyptus alba + 300 m
Johar (Cassia seamea) + 700 m
Lamtoro (Leucaena leucocephala) + 500 m
Sumber: Sudjoko dalam Hardiyatmo (2006)
IV. HUTAN DAN TANAH LONGSOR
Masalah kerusakan hutan di Indonesia dengan laju kerusakan
hutan (deforestasi) periode 1985-1997 dan 1997-2000 dari 1,6 juta
menjadi 3,8 juta hektar per tahun, selalu dikaitkan dampaknya dengan
munculnya bencana alam banjir, kekeringan, dan tanah longsor,
tercatat sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003 telah terjadi 647
kejadian (Bakornas PBP, 2005). Beberapa contoh kasus kejadian
tanah longsor di awal tahun 2006, yaitu di Jember dan Banjarnegara
dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit telah menjadi isue
nasional, dimana penyebab kejadian adalah karena hutan di hulunya
telah rusak. Namun demikian, apakah isue yang berkembang tersebut
benar adanya. Dalam uraian di bawah akan dicoba diurai tentang
adanya isue di dua lokasi tersebut.
| 61 |
PROSIDING Workshop, 2009: 55-67

Tanah Longsor di Jember


Tanah longsor dan banjir (banjir bandang) di Kecamatan Panti
dan Rambipuji, Kabupaten Jember pada awal tahun 2006, terjadi pada
tanggal 1-2 Januari 2006, mengakibatkan 74 orang meninggal,
puluhan rumah hancur, dan 340 ha sawah rusak (Nugroho, 2006).
Berdasarkan data dari tiga stasiun klimatologi terdekat, curah hujan
pada tanggal 1 Januari 2006 sebesar 115 mm, 138 mm, dan 179 mm,
di mana curah hujan tersebut berada dalam kategori diatas normal,
menyebabkan tanah longsor pada kiri-kanan tebing curam di
sepanjang sungai Kali Putih, bagian lereng bawah dari kompleks
Gunung Argopuro. Banjir bandang yang menimpa beberapa desa di
dua kecamatan tersebut disebabkan gagalnya material tanah dari
longsoran tanah yang membentuk bendungan alami di palung sungai
Kali Putih di sebelah hulu (Gambar 3). Tanah longsor terjadi di area
perkebunan kopi, sedang kawasan hutan (lindung) yang berada di
atasnya masih dalam kondisi tutupan yang baik.(lihat Gambar 3), dari
4.500 ha kawasan hutan, hutan produksi 750 ha, hutan lindung 3.000
ha, sisanya hutan suaka margasatwa.
Tanah Longsor di Banjarnegara
Tanah longsor (Gambar 4) di Dusun Gunungraja, Desa Sijeruk,
Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara terjadi pada
tanggal 4 Januari 2006, menyebabkan korban jiwa meninggal 75
orang, 102 rumah rusak, sawah dan tegal tanaman telah tertimbun.
Curah hujan harian saat kejadian dan 3 hari sebelum tanah longsor
terjadi, yaitu 10 mm, 15 mm, 53,3 mm, dan 105 mm. Topografi pada
lokasi tanah longsor termasuk sangat curam dengan kelerengan >
45% dan ketinggian elevasi berkisar 750-1.000 m dpl. Vegetasi
penutup lahan berupa tegakan rasamala (Altingia excelsa) tanaman
tahun 1931 seluas 26,1 Ha, pinus (Pinus merkusii) tanaman tahun 1963
seluas 1,5 Ha, dan pinus (Pinus merkusii) tahun 1993 seluas 3,0 Ha,
masing-masing dengan kondisi tumbuh yang baik dan agak rata
(Nugroho, 2006). Tumbuhan bawah umumnya berupa kerinyu,
puyengan, dan salak. Pada lokasi disekitar mahkota longsor (sumber
longsor), dibawah tegakan tanaman rasamala dan yang telah dibuka
banyak dibudidayakan tanaman semusim kapulaga (Amomum
cardamomum) yang mulai berkembang sejak tahun 2004. Tanaman
kapulaga tersebut saat ini banyak dibudidayakan disekitar lokasi, dari
kaki lereng bukit hingga puncak atas lereng bukit yang lahannya sudah
sangat curam.

| 62 |
Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)

Area
Hutan Area
Lindung Perkebunan
Kopi

Tanah
Longsor

Banjir
Bandang

Gambar 3. Lokasi tanah longsor dan banjir bandang di Kecamatan


Panti, Kabupaten Jember pada tanggal 1-2 Januari 2006
(Citra SPOT 4 diambil September 2006)
Upaya Pengendalian Tanah Longsor
Berbagai cara dan metode mitigasi tanah longsor telah
banyak dilakukan, namun teknik mitigasi yang diperlukan seharusnya
disesuaikan dengan tipe atau jenis tanah longsor yang ada di lokasi,
baik dengan metode mekanis atau bioteknik. Tahapan mitigasi
(pengendalian) tanah longsor perlu dilakukan tahap-tahap sebagai
berikut : Bakornas PBP (2005) dalam Nugroho (2006) :
1. Identifikasi morfologi dan endapan-endapan longsor masa lalu
dengan metode geologi teknik/ geoteknik untuk
memperhitungkan kemungkinan kejadian longsor kembali yang
mengancam pemukiman atau prasarana penting.
2. Identifikasi faktor pengontrol yang dominan mengganggu
kestabilan lereng, serta kemungkinan faktor pemicu seperti
gempa bumi, badai/hujan deras, dsb.
3. Pemetaan topografi untuk mengetahui tingkat kelerengan.
4. Pemetaan geologi untuk mengetahui stratigrafi lereng,
mengetahui jenis tanah dan batuan penyusun lereng dan sifat
keteknikannya, serta mengetahui sebaran tanah/batuan tersebut.
5. Pemetaan geohidrologi untuk mengetahui kondisi air tanah.

| 63 |
PROSIDING Workshop, 2009: 55-67

6. Pemetaan tingkat kerentanan gerakan massa tanah/longsoran


dengan cara mengkombinasikan atau menampalkan hasil
penyelidikan di point 1 dan 2, serta hasil pemetaan di point 3, 4
dan 5, atau dengan metode sidik cepat dari Paimin et al. (2006).
7. Identifikasi pemanfaatan lahan yang berupa daerah tanah
urugan, timbunan sampah atau tanah.
8. Antisipasi bahaya longsor susulan pada endapan longsoran yang
baru terjadi.

Sumber
Longsor

Wilayah
Bencana

Gambar 4.Tanah longsor di Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu,


Kabupaten Banjarnegara kejadian tanggal 4 Januari 2006
(Citra SPOT 4 diambil September 2006)

Adapun strateginya menurut Bakornas PBP (2005) dalam Nugroho


(2006), yaitu:
1. Hindarkan daerah rawan bencana untuk pembangunan
pemukiman dan fasilitas utama lainnya.
2. Mengurangi tingkat keterjalan lereng.
3. Meningkatkan/memperbaiki dan memelihara drainase baik air
permukaan maupun air tanah (fungsi drainase adalah untuk

| 64 |
Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)

menjauhkan air dari lereng, menghindari air meresap ke dalam


lereng atau menguras air dalam lereng ke luar lereng. Jadi
drainase harus dijaga agar jangan sampai tersumbat atau
meresapkan air ke dalam tanah).
4. Pembuatan bangunan penahan, jangkar (anchor) dan pilling.
5. Terasering dengan sistem drainase yang tepat (drainase pada
teras-teras dijaga jangan sampai menjadi jalan meresapnya air
ke dalam tanah).
6. Penghijauan dengan tanaman yang sistem perakarannya dalam
dan jarak tanam yang tepat (khusus untuk lereng curam,
dengan kemiringan lebih dari 400 atau sekitar 80% sebaiknya
tanaman tidak terlalu rapat serta diselingi dengan tanaman –
tanaman yang lebih pendek dan ringan, di bagian dasar ditanam
rumput).
7. Sebaiknya dipilih tanaman lokal yang digemari masyarakat, dan
tanaman tersebut harus secara teratur dipangkas ranting-
rantingnya/cabang-cabangnya atau dipanen.
8. Khusus untuk aliran butir dapat diarahkan dengan pembuatan
saluran.
9. Khusus untuk runtuhan batu dapat dibuatkan tanggul penahan
baik berupa bangunan konstruksi, tanaman maupun parit.
10. Pengenalan daerah yang rawan longsor.
11. Identifikasi daerah yang aktif bergerak, dapat dikenali dengan
adanya rekahan rekahan berbentuk ladam (tapal kuda).
12. Hindarkan pembangunan di daerah yang rawan longsor.
13. Mendirikan bangunan dengan pondasi yang kuat.
14. Melakukan pemadatan tanah disekitar perumahan.
15. Stabilisasi lereng dengan pembuatan teras dan penghijauan.
16. Pembuatan tanggul penahan untuk runtuhan batuan (rock fall).
17. Penutupan rekahan rekahan di atas lereng untuk mencegah air
masuk secara cepat ke dalam tanah.
18. Pondasi tiang pancang sangat disarankan untuk menghindari
bahaya liquifaction.
19. Pondasi yang menyatu, untuk menghindari penurunan yang
tidak seragam (differential settlement).
20. Penggunaan yang ada di dalam tanah harus bersifat fleksibel.
21. Dalam beberapa kasus relokasi sangat disarankan.

| 65 |
PROSIDING Workshop, 2009: 55-67

V. KESIMPULAN DAN SARAN


Peran vegetasi hutan dalam pengendalikan tanah longsor,
khususnya pengendalian stabilitas lereng, dapat berpengaruh positip
(menguntungkan) dan atau negatip (merugikan). Peran positipnya
ditunjukkan oleh kemampuan vegetasi dalam meningkatkan kuat
geser tanah dan menurunkan tegangan geser tanah. Peran negatipnya
ditunjukkan oleh pengaruh vegetasi dalam menurunkan kuat geser
tanah dan meningkatkan tegangan geser tanah. Kemampuan vegetasi
hutan dalam mempengaruhi stabilitas lereng, selain berat biomassnya
juga bentuk sistem perakaran, kedalaman akar, distribusi/sebaran
perakaran, susunan akar, dan kekuatan akar.
Mengingat masih belum banyak data terkait jenis-jenis vegetasi
yang sesuai untuk pengendalian lereng di Indonesia maka perlu
penelitian sifat-sifat vegetasi dan perakarannya dari beberapa species
vegetasi yang ada di sekitar lokasi bencana tanah longsor. Data dan
informasi yang diperoleh selanjutnya dapat digunakan untuk program
mitigasi bencana tanah longsor, khususnya pada daerah-daerah yang
berpotensi dan rentan terhadap bahaya tanah longsor. Dengan
demikian metode mitigasi yang dilakukan dapat disesuaikan dengan
kondisi setempat dan menjadi lebih efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Abramson, L.W., T.S. Lee, S. Sharma, dan G.M. Boyce. 1996. Slope
Stability and Stabilization Methods. John Wiley & Sons, Inc.,
Toronto-Canada.
Anonimous. 2007. Pengenalan Gerakan Tanah. Dep. Energi dan
Sumber Daya Mineral. http://merapi.vsi.esdm.go.id?static
/gerakantanah/ pengenalan.htm.
Brook, K.N., P. F. Ffolliott, H.M. Gregersen, dan J.K. Thames.
1991. Hydrology and The Management of Watersheds. Iowa
State University Press, Ames, USA.
Hardiyatmo, H.H.C. 2006. Penangan Tanah Longsor dan Erosi.
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Hirmawan, F. 1994. Pemahaman Sistem Dinamis Kestabilan Lereng
Untuk Mitigasi Kebencanaan Longsor. Makalah Penunjang
No. 17 Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam.
Kerjasama F. Geografi UGM-Bakornas Penanggulangan
Bencana. Yogyakarta.

| 66 |
Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor….(Sukresno)

Howes, D.E. 1987. A Method for Predicting Terrain Susceptible to


Landslide Following Forest Harvesting: A Case Study from the
Southern Coast Mountains of British Columbia. Proceeding of
the Vancouver, IAHS-AISH, Publ. No. 167.Vancouver,
Canada, p. 143-154.
Montgomery, D.R., K.M. Schmidt, H.H. Greenberg, dan W.E.
Dietrich. 2000. Forest Clearing and Regional Landsliding.
Geology, 28(4): 311-314.
Nugroho, N.P. 2006. Laporan Pelaksanaan Kegiatan ”Kajian Isu
Lokal” Tahun Dinas 2006. Balai P2TPDAS IBB, Badan
Litbang Kehutanan, Dep. Kehutanan, Surakarta.
Paimin, Sukresno, dan Purwanto. 2006. Sidik Cepat Degradasi Sub
Daerah Aliran Sungai (Sub DAS). Puslitbang Hutan dan
Konservasi Alam. Bogor. 41 pp.
Soms, J. 2006. Vegetation Cover as Factor Controlling Slope Stability
Within Gully Channels: A Case Study from the Daugava Valley
(SE Latvia). European Geosciences Union.
Suharwanto. 2006. Bencana alam dan Geologi: Analisa Bencana Alam
Banjir dan Tanah Longsor Secara Geoteknik. Prosiding
Seminar Pemantauan dan Mitigasi Bencana Alam Banjir, Tanah
Longsor, dan Kekeringan. Puslitbang Sosek Kehutanan, Badan
Litbang Kehutanan, Surakarta.
Suryolelono, K. B. 2007. Bencana Alam Tanah Longsor Perpektif
Ilmu Geoteknik. Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada.
http://lib.ugm.ac.id/data/download/1079402588_bencana.doc.
VSTC. 1987. Pengendalian Erosi dan Perlindungan Lereng Secara
Bioteknik. Dep. PU-JICA, Proyek Sabo, Yogyakarta.
Ziemer, R.R. dan D.N. Swanston. 1977. Root Streangth Changes
After Logging in Southeast Alaska. USDA Forest Service
Research Note, PNW 306, Alaska-Oregon-Washington.

| 67 |
8. HUTAN SEBAGAI PENGENDALI (REGULATOR)
PUNCAK BANJIR PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI1

Oleh :
Syofyan Dt.Majo Kayo2, Mohamad Arief Ilyas 2, Dedih Setiadi 2,
Erna Satriana2

ABSTRAK

Hujan yang jatuh pada suatu daerah tangkapan yang bervegetasi akan
menyebabkan tertahannya sebagian air hujan di daun-daun yang disebut sebagai
proses intersepsi. Apabila hujan lebih kecil dari laju intersepsi, maka air tidak
akan mencapai permukaan tanah. Sebaliknya air yang mencapai permukaan
tanah, akan mengalami proses infiltrasi. Laju infiltrasi akan menurun secara
eksponensial, sejalan bertambahnya kelengasan tanah. Curah hujan yang
melebihi laju infiltrasi akan menimbulkan akumulasi air dipermukaan
tampungan depresi dan bila air melebihi kapasitas tampung air depresi, maka
akan terjadi aliran permukaan (surface runoff). Fenomena alam dari curah
hujan menjadi aliran yang berasal dari komponen total aliran yang membentuk
hidrograph aliran merupakan penyederhanaan dari kejadian (siklus) hidrologi.
Hujan badai yang melebihi tampungan intersepsi maksimum, infiltrasi konstan
dan kapasitas tampungan depresi akan menghasilkan puncak hidrograph banjir
yang tinggi. Hidrograph banjir dibentuk oleh curah hujan efektif, bentuk
hidrograph tersebut merupakan karakteristik basin daerah aliran sungai (DAS)
Karakteristik basin dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tanaman penutup
lahan (hutan), tekstur/jenis tanah, besar kemiringan lereng dan besarnya curah
hujan efektif.Memperbesar intersepsi, infitrasi dan kapasitas tampungan depresi
akan dapat mengurangi curah hujan efektif, sehingga debit banjir dan puncak
banjir akan menurun. Menanam tanaman (vegetasi) yang rapat pada bagian
hulu daerah aliran sungai (DAS), dapat memperbesar intersepsi dan infiltrasi,
dapat mengurangi debit dan puncak hidrograph. banjir. Membangun (membuat
tampungan depresi dan infiltrasi) seperti waduk-waduk kecil untuk menampung
aliran permukaan yang berasal dari curah hujan yang jatuh di daerah aliran
sungai, akan dapat menurunkan puncak banjir. Guna mendekati fenomena
aliran banjir yang dipengaruhi oleh sifat DAS yang heterogen dengan

_________________________________________
1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
2, Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air. Jl. Ir. H.
Juanda 193 Bandung, Telp. 022 2501554.

| 71|
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
karakteristik basin dalam fungsi ruang dan waktu, maka model distri- busi
diharapkan dapat memberikan analisis hidrograpf dan simulasi yang lebih teliti/
akurat. Analisa dan evaluasi puncak banjir dapat dilakukan atau
menggunakan model hidrologi distribusi. Pada saat ini ada beberapa model
Hidrologi distribusi yaitu : Model TOP, SHE, ANSWER, TOPOG,
AGNPS dan CREAMS. Pada makalah penulis menggunakan model
distribusi ANSWERS, dengan melakukan simulasi dalam berbagai keadaan
kondisi tanaman penutup lahan (vegetasi) ataupun bangunan konservasi tanah
dan air. Dengan menggunakan model ANSWERS ini dilakukan analisa dan
perhitungan (simulasi) dalam beberapa alternatif. Dari hasil
analisa/perhitungan didapat beberapa puncak banjir, dan dapat
dipilih/ditentukan sebagai alternatif untuk pengendalian banjir yang optimal
dan tepat serta menguntungkan bagi daerah tersebut (dapat dijadikan pilihan
dalam perencanaan) infrastruktur bangunan pencegah banjir.

Kata kunci : Hutan sebagai pengendali, Regulator, Puncak banjir.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Hutan atau tanaman (vegetasi) yang tumbuh rapat dan menutupi
lahan dan tanah di atas suatu daerah aliran sungai, dapat berfungsi
sebagai penahan curah hujan melalui proses intersepsi dan infiltrasi,
sehingga aliran permukaan tanah tidak langsung mengalir dan masuk
kedalam sungai dengan jumlah besar dan dalam waktu cepat, seperti
yang terjadi pada lahan pertanian atau tanah/lahan terbuka (gunung
yang telah gundul).
Secara umum proses hidrologi adalah sebagai berikut : ”sebagian
air permukaan ini menguap karena adanya panas matahari, naik keatas
menjadi awan dan mengalami kondensasi pada tempat yang tinggi dan
jatuh lagi kebumi berupa hujan.”
Banjir terjadi melalui tahapan (proses) yaitu curah hujan yang
jatuh di daerah aliran sungai (DAS), jatuh kepermukaan tanah
sebagian masuk kedalam tanah (infiltrasi) sebagian menguap keudara
dan sisanya mengalir di atas permukaan tanah (over land flow),
kemudian aliran permukaan ini mengalir kedalam sungai lalu terus
mengalir ke laut.
Ahli Hidrologi (Hydrologist) dewasa ini melihat siklus hidrologi
berupa sistem hidrologi yang besar. Gagasan dari sistem besar
tersebut, tidak saja ingin menjawab bagaimana proses mengenai
fenomena alam dari siklus hidrologi tapi juga menyangkut hal-hal
| 72 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan,
dkk)
praktis yang berkaitan dengan berbagai masalah lingkungan seperti
banjir atau kekeringan.
Untuk mendapatkan hasil perhitungan yang mendekati
kebenaran dan lebih rasional, secara teoritis dan matematik, konsep
sistem hidrologi dalam analisisnya membutuhkan alat yang lebih
modern seperti ilmu pengetahuan matematik tinggi, operations
research, sistem analisis dan teknologi komputer, yang dapat
digunakan untuk mengetahui/ menghitung fenomena alam, yaitu
berupa hubungan antara hujan dan aliran permukaan (rainfall-runoff
relationship).
1.2 Permasalahan
Beberapa tahun terakhir dan awal-awal tahun 2007 bahkan
diakhir tahun 2007 (dewasa ini) masalah banjir, tanah longsor pada
musim hujan dan kekurangan air atau kekeringan pada musim
kemarau masih saja melanda beberapa daerah aliran sungai dan
daerah-daerah rawan banjir dan rawan kekeringan di wilayah
Indonesia.
Salah satu penyebab terjadinya banjir dan kekeringan tersebut,
sering kali dijadi kan kambing hitamnya adalah berkurangnya luas
hutan, gundulnya bukit atau gunung-gunung, akibat penebangan
besar-besaran yang dilakukan secara resmi (legal) atau secara
sembunyi-sembunyi (illegal), walaupun daerah hutan tersebut telah
ditetapkan sebagai hutan lindung dan Cagar Alam. Di lain pihak
berubahnya hutan menjadi lahan pertanian yang ditanami tanaman
semusim, seperti kentang, jagung, kol dan palawija lainnya yang
menyebabkan terjadi erosi yang melebihi batas yang diperkenankan,
sehingga terjadi sedimentasi dan pendangkalan sungai dan waduk,
yang .akibatnya umur operasi (life time) waduk semakin pendek.
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud penulisan makalah yang berjudul ”HUTAN SEBAGAI
PENGENDALI (REGULATOR) PUNCAK BANJIR PADA
DAERAH ALIRAN SUNGA “ ini adalah memberikan informasi
dan masukan kepada pemerintah, instansi yang berkompeten dan
berwenang, serta masyarakat banyak, tentang pentingnya fungsi dan
kegunaan hutan dalam rangka mengantisipasi dan mengurangi terjadi
banjir besar (memperkecil tingginya puncak banjir) dan
menyimpan/meresapkan air pada musim hujan, sehingga pada musim
kemarau air tersebut dapat digunakan untuk memenuhi berbagai

| 73 |
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
kebutuhan di pedesaan dan perkotaan, terutama bagi daerah yang
tidak mempunyai sumber tetap.
1.4 Metode
Dalam menghitung, menganalisa dan mengevaluasi puncak
banjir suatu daerah aliran sungai, digunakan Model ANSWERS yang
dapat menggambarkan proses hidrologi dan menjelaskan hubungan
antara aliran air dan parameter seperti hujan, infiltrasi , topografi,
tanaman (vegetasi), jenis tanah dan cara pengelolaan lahan. Setiap
komponen (elemen) mempunyai metoda perhitungan karakteristik
aliran yang berbeda.
1.5 Hipotesis
Bila kondisi penutup lahan daerah aliran sungai ditutupi
(tumbuh pohon yang rapat) atau kata lain hutan yang ada di daerah
aliran sungai tersebut terpelihara baik dan memenuhi ketentuan
persyaratan yang diizinkan, maka tinggi puncak banjir di daerah
tersebut dapat dikendalikan dan dapat ditekan (diturunkan).
1.6 Lokasi
Lokasi daerah aliran sungai (DAS) yang dianalisa,dievaluasi
sebagai contoh dalam perhitungan adalah daerah aliran sungai
Cikapundung – Gandok, secara administrasi pemerintahan berada di
wilayah Kota Bandung – Jawa Barat, untuk lebih jelasnya dapat di
lihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Lokasi Daerah Aliran Sungai Cikapundung - Gandok.

| 74 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan, dkk)
II. STUDI LITERATUR
2.1 Struktur Model ANSWERS
ANSWERS adalah model ”deterministic” yang berdasarkan atas
hipotesis bahwa : Setiap titik di dalam daerah aliran sungai ( DAS )
mempunyai hubungan fungsi antara laju aliran air dan parameter
hidrologinya, antara lain intensitas curah hujan, infiltrasi, topografi
(kemiringan lahan), jenis dan tektur tanah, dan lain sebagainya.
Laju aliran air dapat digunakan dalam kaitannya dengan
komponen lain yang berhubungan satu sama lain seperti : erosi,
gerakan partikel-partikel zat kimia yang berada di dalam daerah aliran
sungai.
Daerah aliran sungai dimodelkan secara konseptual yang
merupakan kumpulan dari setiap elemen (kotak) bujur sangkar .
Sehingga derajat variabilitas spasial (spatial) dalam DAS dapat
dikeluarkan.
Dalam model ini mengasumsikan bahwa suatu DAS merupakan
gabungan dari banyak elemen.
Elemen diartikan sebagai areal yang mempunyai parameter
hidrologi yang sama, setiap elemen memberikan kontribusi sesuai
karakteristik yang dimilikinya. Untuk lebih jelasnya tentang struktur
suatu DAS dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur model ANSWERS :


Daerah Aliran Sungai dalam ”Respons units” dari suatu tata air
dalam daerah aliran sungai perhitungan dibagi dalam beberapa kotak
bujursangkar dipengaruhi dan dikontrol oleh karakteristik basin.

| 75 |
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
2.2 Konsep perhitungan menurut model ANSWERS
Konsep distribusi dari model ANSWERS dapat didefinisikan
secara hubungan matematika untuk semua proses simulasi.
Aliran diasumsikan melalui persamaan kinematik dan
menggunakan persamaan Manning’s pada saluran dalam menghitung
debit. Model ANSWERS juga mengikut sertakan semua pengaruh
parameter kontrol secara spesial.
Jadi berdasarkan konsep di atas dapat digambarkan model
ANSWERS suatu daerah aliran sungai dengan parameter karakter
basin yang memberikan ”respon units” dalam tata air (hidrologi) DAS
seperti terlihat pada Gambar 2.
2.3 Fungsi Hutan sebagai Regulator (pengatur air)
Curah hujan yang jatuh pada suatu daerah aliran sungai (daerah
tangkapan) yang bervegetasi atau ada tanaman pohon kayu akan
menyebabkan proses intersepsi sampai batas (nilai) intersepsi
potensial.
Apabila laju curah hujan lebih kecil dari laju intersepsi, maka air
hujan tidak akan dapat mencapai permukaan tanah disekitarnya,
sebaliknya apabila laju curah hujan lebih besar dari laju intersepsi,
maka air akan mencapai permukaan tanah dan kemudian terjadi
proses infiltrasi.
Laju infiltrasi air ke dalam tanah akan menurun secara
eksponensial dengan me- ningkat (bertambah) nya kelengasan tanah.
Laju curah hujan yang melebihi laju intersepsi dan infiltrasi akan
menyebabkan akumulasi air di permukaan tanah depresi dan apabila
akumulasi air melebihi ”kapasitas tampungan permukaan depresi”,
maka akan terjadi aliran yang disebut limpasan.
2.4 Data masukan Model ANSWERS
Berdasarkan struktur model di atas, maka data masukan model
dikelompokan dalam 5 (lima) kelompok yaitu :
1. Data curah hujan ( lamanya dan intensitas ) .
2. Data tanah ( kelembaban tanah, infiltrasi, drainase,
erodibilitas tanah ), meliputi data porositas total ( TP ),
kapasitas lapang / Field Capacity ( FC ), laju infiltrasi dalam
keadaan konstan ( FC ), selisih laju infiltrasi maksimun dengan
laju infiltrasi konstan (A ), persentase kejenuhan tanah (ASM ),
koefisien infiltrasi (P ), ke dalam zone pengamatan infiltrasi

| 76 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan,
dkk)
tanah pada horizon A ( DF ) dan erodibilitas tanah ( K ) dari
USLE.
3. Data penggunaan tanah dan kondisi permukaan, yaitu jenis
penggunan tanah dan pengelolaannya ( P ), volume intersepsi
potensial ( PIT ), persentase penutupan permukaan lahan
untuk setiap jenis penggunaan ( PER ),
4. koefisien kekasaran ( RC ), tinggi kekasaran maksimum (
micro relief ) (HU ), koefisien Manning ( n ) dan faktor
tanaman dan pengelolaan ( CP ) dari USLE.
5. Data saluran atau sungai meliputi lebar saluran ( CW ), dan
kekasaran saluran ( koefisien Manning ).
6. Data satuan individu elemen, meliputi data kemiringan lereng,
arah lereng, jenis tanah, jenis penggunaan tanah, pengelolaan
tanah (tindakan konservasi ), liputan penakaran hujan, tipe
saluran, kemiringan saluran dan elevasi elemen rata-rata.
2.5 Data keluaran ( Output data ) Model
Keluaran model ANSWERS dapat dikelompokan ke dalam dua
kelompok,yaitu
1. Pendugaan aliran permukaan ( total limpasan ).
2. Pendugaan erosi-sedimentasi, yang meliputi erosi rata-rata,
erosi maksimum, pengendapan maksimum dan penurunan
erosi karena perlakuan konservasi.
Model ini juga dapat mendeteksi lokasi penyebab (pensuplai)
sedimen serta tindakan alternatif untuk pengelolaan tanah dan
tanaman.
Bentuk pengelolaan dikenal sebagai struktur dan perubahan
penggunaan lahan menurut best management practices, BMP.
2.6 Metodologi perhitungan
Dalam penyusunan struktur model ANSWERS yang
digambarkan dengan proses hidrologi untuk menjelaskan hubungan
antara aliran air dan parameter hidrologi yang dikendalikan oleh
hujan, infiltrasi, topografi, vegetasi, jenis tanah dan pengelolaan lahan,
maka setiap komponen mempunyai metoda perhitungan karakteristik
aliran yang berbeda yaitu :
1. Debit air berupa aliran permukaan ( limpasan ) pada setiap elemen
dihitung sebagai fungsi dari waktu, dengan cara ekplisit dan cara
persamaan diferensial :
I – Q = ds/dt

| 77 |
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
Keterangan:
I = laju inflow suatu elemen suatu kejadian hujan dan aliran
dari elemen didekatnya.
Q = laju outflow
S = volume air yang tertahan pada elemen
T = waktu
Persamaan di atas dapat diselesaikan jika dikombinasikan dengan
hubungan persamaan lengkung debit. Persamaan Manning
dengan berbagai koefisien yang berbeda digunakan dalam
hubungan tinggi muka air dan debit dalam menyelesaikan aliran
bidang permukaan (Overland flow ) dan penelusuran aliran
pada saluran ( Channel flow routing ). DAS yang dibentuk oleh
penampilan topografi, merupakan gabungan dari elemen bujur
sangkar yang merupakan matrik yang tidak beraturan. Setiap
elemen berlaku sebagai aliran permukaan ( Overland flow ) yang
mempunyai kemiringan tertentu dan arahnya pada lereng yang
tercuram. Aliran pada saluran di analisis dengan pola terpisah dari
elemen saluran.
2. Metode perhitungan produksi air untuk elemen yang mempunyai
relief ganda adalah sebagai ( Gambar 4).
Q1 = Q  ( A1) / (A1 + A2) ) ; dan Q2 = Q ( (A2) / (A1 +A2) 
Keterangan :
Q1 = Debit yang mengalir dari luas area A1
Q2 = Debit yang mengalir dari luas area A2
Q = Debit yang mengalir dari luas area A1 + A2

Gambar 3. Sketsa Aliran permukaan pada elemen yang mempunyai


relief ganda
Volume aliran permukaan dari suatu elemen ke elemen didekatnya (
The fraction outflow goin the adjacent row element RFL ) ditentukan dengan
persamaan Beasley and Huggins ( 1981 ) :
RFL = 0,5 tan (ANG) jika ANG < 45 º
RFL = 1 – ( 0,5 tan ( 90 º - ANG) ) jika 45 º < ANG < 90 º

| 78 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan,
dkk)
Aliran dasar yang berasal dari air tanah yang masuk ke sistem saluran
disimulasi-kan secara garis besar saja oleh model ANSWERS. Seluruh
aliran infiltrasi yang bergerak dari zona petak elemen yang lewat
diasumsikan penelusurannya seperti tampungan linier air tanah. Aliran
air kemudian dilepaskan kesemua saluran sesuai dengan laju yang
proporsinal dan sesuai dengan volume akumulasi tampungan.
Penggunaan dari persamaan berkesinambungan yang berkaitan
dengan aliran permukaan digunakan persamaan Manning dimana
radius hidrauliknya di asumsikan sama dengan rata-rata kedalaman air
yang tertahan di atas elemen. Lebarnya maksimum aliran sama
dengan maksimum lebar elemen dan ukuran panjangnya diukur
arahnya tegak lurus dengan arah aliran bidang permukaan.
Aliran yang berkaitan dengan penggunaan yang
berkesinambungan yang ditampilkan sebagai aliran bidang
permukaan adalah persamaan penelusuran ( Routing ) dari Manning.
Untuk jari-jari hidraulik di asumsikan sama dengan rata-rata
kedalaman detention disetiap elemen. Lebarnya aliran maksimum di
asumsikan selebar elemen diukur panjangnya aliran tegak lurus arah
aliran bidang permukaan.
Air aliran detensi pada bidang permukaan adalah total volume
yang dibangun oleh aliran yang tertahan pada bidang permukaan.
Kedalaman aliran detensi adalah jumlah air yang ada pada satu elemen
dikurangi elemen volume retensi ( air yang hanya terinfiltrasi ), dibagi
dengan luas elemen. Hal ini berarti bahwa seluruh dari volume retensi
dari suatu elemen akan diisi dulu sebelum air menjadi cukup untuk
mengisi tampungan air tertekan (detention) dan aliran permukaan ( run
off ). Detensi permukaan merupakan komponen yang berasal dari efek
karakteristik aliran permukaan dan karakteristik drainase dari daerah
aliran sungai.
3. Volume air yang tertahan ( volume of storage water,DEP ) pada
daerah depresi, ditentukan dengan persamaan Huggins and
Mongke (1966) dan Beasley and Huggins (1981 ).
Penyelidikan lapangan membuat hubungan antara potensi dari
tampungan air permukaan adalah fungsi dari kedalaman air pada
zona mikro-relief.
Persamaan yang digunakan ialah :

DEP =HU * ROUGH * (H/HU)1/ROUGH


Keterangan:
DEP = Volume air tersimpan dalam unit kedalaman
| 79 |
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
HU = Ketinggian maksimum dari micro relief
H = Ketinggian tempat pada setiap elemen
ROUGH = Parameter kekasaran permukaan = RC
Untuk kemiringan,lebar dan koefisien kekasaran manning pada
setiap bagian saluran diperlukan dalam perhitungan aliran bidang
permukaan dari setiap elemen. Persamaan manning digunakan
lagi dalam menghitung penulusuran aliran yang
berkesinambungan. (routing calculation ).
Kemiringan, lebar dan koefisien kekasaran Manning pada setiap
bagian saluran diperlukan dalam perhitungan aliran bidang
permukaan dari setiap elemen.
Persamaan Manning digunakan lagi dalam menghitung
penelusuran aliran yang berkesinambungan.
4. Kapasitas infiltrasi pada permukaan yang tergenang (infiltration
capacity with surface inundated, FMAX ) dihitung dengan persamaan
Holtan (1961) dan Overton, (1965) dalam Beasley and Huggins
(1981 ) yaitu :
FMAX = FC + A * (PIV/TP )P
Keterangan :
FMAX = Kapasitas inflitrasi permukaan yang tergenang
FC = Kapasitas infiltrasi konstan
A = Selisih laju infiltrasi maksimum dan laju infiltrasi
konstan
PIV = Volume air maksimum yang tertahan untuk
mencapai titik jenuh pada zona pengamatan
TP = Porositas total
P = Koefisien hubungan antara laju penurunan kapasitas
infiltrasi dengan pertambahan kelembaban.
5. Laju drainase ( drainage rate of water from control zone,DR ), yang
merupakan fungsi dari kelembaban tanah pada zona pengamatan.
Nilai laju drainase ini dapat di hitung, dengan memenuhi dua
asumsi, yaitu :
(1) Bila kelembaban tanah lebih kecil dari kapasitas lapang maka
akan terjadi perkolasi.
(2) Bila kelembaban tanah melebihi kapasitas lapang maka
pergerakan air pada zona tersebut dapat ditentukan dengan
persamaan :

DR = FC * {( 1 - ( PIV/GWC )}3
Keterangan :
DR = laju pergerakan alian dari zona pengamatan
| 80 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan, dkk)
GWC = TP – FP ( Kapasitas air gravitasi )
6. Persentase kejenuhan tanah ( ASM )
ASM = ASML + RAIN + ET - Ro - PERC
Keterangan :
ASM = Persentase kejenuhan tanah
ASML = Kelembaban tanah awal
RAIN = Curah hujan harian
ET = Evapotranspirasi
Ro = Aliran permukaan
PERC = Perkolasi
III. STUDI KASUS PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI
CIKAPUNDUNG - GANDOK
Sebagai contoh perhitungan pada makalah ini ditampilkan hasil
Evaluasi dan Kalibrasi dalam Penerapan Model ANSWERS pada
DAS Cikapundung – Gandok Bandung Jawa Barat, peta daerah aliran
sungai (DAS) seperti terlihat pada Gambar 1 di atas.
Agar model dapat dipergunakan maka diperlukan pengujian.
Kita memperhatikan perbedaan yang digambarkan oleh hidrograph
hasil perhitungan dan debit pengamatan baik bentuk maupun
besarnya.
Dalam proses perhitungan dari perubahan Fase siklus hidrologi
yang digambarkan oleh model di sini ada kemungkinan akan terjadi 4
sumber kesalahan, yaitu (1) masukan data hujan dan evapotranspirasi
yang salah (2) masukan data debit yang salah (3) struktur model yang
tidak memadai (4) belum optimalnya nilai-nilai parameter.
Dari semua kesalahan tersebut hanya point (4) yang dapat
dikurangi dengan kalibrasi, karena itu dalam mengevaluasi suatu
model dapat diperkirakan berapa besar perbedaan antara simulasi dan
pengamatan aliran yang ditimbulkan oleh (1) dan (2) dan berapa besar
kesalahan lain yang disebabkan oleh (3).umumnya kesalahan (10 –
20%) dapat diterima sebagai hasil yang wajar.
Secara umum untuk mendapatkan parameter model yang
optimal dengan kalibrasi dapat didekati dengan cara coba-coba,
outomatic method - optimization dan sensitive analisis. Parameter
model ANSWERS yang optimal dari DAS Cikapundung dicari
dengan cara coba-coba. Kemudian bandingkan hasil output
hidrograph dari model ANSWERS diatas dengan Hidrograph
pengamatan lapangan. Bersamaan dengan itu dihitumg besaran indek
| 81 |
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
koefisien deterministic dari penampilan grafik di atas yaitu dengan
menghitung dengan persamaan sbagai berikut:
Fo2 - F2
R2 = ----------------
Fo2
Keterangan :
Qobs = besarnya debit pengamatan
Qh = besarnya debit yang dihitung oleh model
Qavg = debit rata-rata pengamatan
Dari hasil kalibrasi dan nilai koef.deterministik, model dapat di
evaluasi kelayakannya dengan memperhatikan :
1. Modelnya sempurna jika model nilai F2 mendekati
nol,sehingga nilai R2 mendekati 1
2. Jika R2 < 0 ( negatif ), model menghasilkan simulasi yang sangat
jelek dan jauh berbeda dari nilai rata-rata Qav.
Selanjutnya jika dari kalibrasi dimana koef.deterministik masih
jauh dari kelayakan model, maka dengan cara coba-coba merubah-
rubah parameter-parameter model agar perbedaan grafik hidrograph
antara Qh dan Qobs mendekati satu sama lain.
Kalibrasi Hidrograf DAS Cikapundung – Gandok dilakukan
dengan pengamatan di pos duga air di Cikapundung – Gandok
Tanggal 3 April 1994 dengan input hujan yang dicatat pos Sukawarna
sebesar 11 mm dan pos Bandung Jalan Cemara sebesar 39 mm. Hasil
kalibrasi berupa penampilan grafik Hidrograph hasil hitungan dan
hasil pengukuran/pengamatan lapangan seperti tertera pada Gambar
4

Gambar 4. Hidrograph hasil hitungan ( ANSWERS ) dan pengukuran/ pengamatan


data lapangan

| 82 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan,
dkk)
Berdasarkan koefisien deterministik dari kalibrasi tersebut
dengan membanding kan kedua hidrograf yang penampilan
bentuknya hampir sama dengan R2 = 0.9, sehingga dengan parameter-
parameter model tersebut layak dipergunakan untuk simulasi dengan
berbagai kondisi keadaan yang diinginkan.
IV. SIMULASI MODEL ANSWERS DI DAS
CIKAPUNDUNG- GANDOK
Dalam upaya memprediksi besar dan bentuknya Hidrograph banjir
di pos duga air Cikapundung – Gandok yang merupakan keluaran (
output) dari model ANSWERS ini, dapat dilakukan simulasi dalam
berbagai skenario. Besar dan bentuknya Hidrograph banjir yang
terjadi di-outlet DAS Cikapundung – Gandok dapat depengaruhi oleh
tata guna lahan, waduk kecil ataupun bangunan terasiring dengan satu
kejadian hujan tertentu.
Kemudian setelah parameter model didapat dengan kalibrasi,
maka simulasi dilakukan untuk hujan tetap sebesar 38.38 mm.
Berbagai kondisi karakteristik basin yang ingin di evaluasi dapat dicari
dengan membuat skenario yaitu dengan merubah input data satuan
individu elemen berupa jenis penggunaan vegetasi yang diinginkan
dan menambah bangunan konservasi air dan tanah yaitu check dam
dan teras bangku.
Pada skenario I, yang merupakan hasil perhitungan hidrograph
banjir pada kondisi sekarang dimana distribusi penggunaan lahan
pada sub-DAS Cikapundung-Gandok pada saat ini tertera pada
Gambar 6. Komposisi tata guna lahanya terdiri dari wilayah hutan
menempati 3950 Ha. (36.24%), 3150 Ha (28.90%) digunakan sebagai
kebun campuran dan sekitar 1700 Ha ( 15.60% ) digunakan untuk
kampung/pemukiman. Penggunaan lahan untuk perkebunan dan
sawah masing-masing sebesar 950 Ha dan 975 Ha atau 8.72% dan
8.94%, sisanya sebesar 175 Ha ( 1.60% ) digunkan sebagai padang
rumput.
Skenario II luas hutan diubah menjadi 50%, sedangkan sisanya
berupa kebun campuran, pemukiman, perkebunan dan sawah terlihat
pada Gambar 5.
Selanjutnya simulasi untuk DAS Cikapundung-Gandok pada
Gambar 6 terlihat berbagai hidrograf yang diakibatkan perubahan tata
guna lahan ( terutama perubahan luas hutan).

| 83 |
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90

Gambar 5. Keluaran (Out put) Hidrograph Banjir di DAS Cikapundung- Gandok


Dengan Perubahan Hutan dari 0 % s/d 82 %

Gambar 6. Keluaran (Out put) Hidrograph Banjir di DAS Cikapundung – Gandok


dari berbagai Skenario dengan curah hujan maksimum 38,38 mm.

Ada 9 skenario yang dilakukan sehingga dari skenario tersebut


di atas dapat dipilih tindakan apa yang memberikan hasil.

| 84 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan,
dkk)
GENERAL PERDATA FILE FOR USE IN ANSWERS METRIC
UNITS ARE USED ON INPUT/OUTPUT
CIKAPUNDUNG0101 PRINT RAINFALL DATA FOR 1
RAINGAUGES FOR EVENT OF 15/02/93
0 0.0 0.00
0 10.0 15.00
0 25.0 20.00
0 45.0 70.00
0 60.0 10.00
0 170.0 1.00
0 210.0 0.30
0 230.0 0.20
0 2000.0 0.10
0 2500.0 0.00

SOIL INFILTATION, DRAINAGE AND GROUND WATER


CONSTANTS FOLLOW NUMBER OF SOILS = 3
S 1, TP =.47,FP =.22, FC = 0.50, A = .65, P = .40, DF = .40,
ASM =.22, K =.015
S 2, TP =.49,FP =.27, FC = 0.60, A = .75, P = .45, DF = .30,
ASM =.29, K =.015
S 3, TP =.30,FP =.15, FC = 0.20, A = .20, P = .60, DF = .20,
ASM =.10, K =.035

DRAINAGE COEFFICIENT FOR TILE DRAINS = 5.00


MM/24HR

GRUNDWATER RELEASE FRACTION = 0.010


SURFASE ROUGHNESS AND CROP CONSTANTS
FOLLOW NUMBER OF CROPS AND SURFACES = 7
C 1, CROP=WOODS , PIT=2.5, PER=.8 , RC=.90 , HU= 250.0 ,
N=.20 , C = .001
C 2, CROP=RICE , PIT=0.1, PER=.5 , RC=.40 , HU= 150.0 ,
N=.09 , C = .020
C 3, CROP=ESTATE , PIT=1.0, PER=.6 , RC=.45 , HU= 100.0 ,
N=.10 , C = .070

C 4, CROP=MIXFARM,PIT=1.0, PER=.5 , RC=.25 , HU= 90.0 ,


N=.10 , C = .150
C 5, CROP=BRUSH, PIT=0.5, PER=.3 , RC=.20 , HU= 133.0 ,
N=.15 , C = .010

| 85 |
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
C 6, CROP=SITE , PIT=0.5, PER=.01, RC=.10 , HU= 0.1 ,
N=.05 , C = .250
C 7, CROP=PASTURE, PIT=0.5, PER=.2 , RC=.20 , HU= 75.0 ,
N=.10 , C = .200

CHANNEL SPECIFICATIONS FOLLOW NUMBER OF TYPES OF


CHANNELS = 1 CHANNEL 1 , WIDHT= 7.5 M, ROUGHNESS
COEFF. (N) = .06 ELEMENT SPECIFICATION FOR
CIKAPUNDUNG-GANDOK EACH ELEMENT IS 500.0M
SQUARE OUTFLOW FROM ROW 27 COLUMN 4
1 5 800 360 1 1 R1 2000.0
1 6 800 315 1 1 R1 1850.0
1 7 800 225 1 1 R1 1750.0
2 6 150 55 1 1 R1 1700.0
............................................................................
............................................................................
26 3 50 360 3 6 R1 850.0
26 4 50 270 3 6 R1 850.0
26 5 60 180 3 6 R1 875.0
27 4 60 270 3 6 R1 748.0
Hasil terbaik dalam menurunkan puncak banjir dengan pengaturan lagi
fungsi tata guna lahan ( terutama hutan ) dimana hasil resumenya tertera
pada Tabel 1 dan pada Tabel 2 terdapat 10 skenario berupa simulasi dari
pembangunan bangunan konservasi check-dam dan terasiring.

Tabel 1. Resume simulasi prediksi puncak banjir apabila terjadi perubahan


fungsi tata guna lahan (terutama hutan) pada DAS Cikapundung -
Gandok dengan hujan tetap sama sebesar 38,38 mm.
Tinggi puncak hidrographWaktu Persentase
banjir banjir perubahan
Ske- mencapai puncak
Uraian puncak banjir
nario
mm m banjir thdp.kondis
/jam /det (menit) i awal (%)
I Prediksi hidrograph 3,15 94.5 237.5 0
pada kondisi saat ini
(Luas Hutan 36 % )
II Simulasi jika luas hutan 3,55 106.5 250 + 12,7
dikurangi menjadi 25 %
III Simulasu jika luas hutan 5.00 150 262,5 + 58,7
di kurangi lagi menjadi
kebun campuran (luas
hutan 15 %)

| 86 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan, dkk)

Tinggi puncak hidrographWaktu Persentase


banjir banjir perubahan
Ske- mencapai puncak
Uraian puncak banjir
nario
mm m banjir thdp.kondisi
/jam /det (menit) awal (%)
IV Simulasi jika luas hutan 6.00 180 267 + 90,4
terus dikurangi diganti
menjadi kebun
(luas hutan 0%)
V Simulasi jika kebun 2.50 75 175 - 20,6
Campuran dan
perkebunan diganti
hutan
(luas hutan 50%)
VI Simulasi jika kebun 2.40 72 162.5 - 23,8
campuran dan
perkebunan diganti
hutan
(luas hutan 60%)
VII Simulasi jika kebun 2.00 60 137.5 - 36,6
campuran dan
perkebunan diganti
hutan
(luas hutan 70%)
VIII Simulasi jika kebun 1.60 48 87.5 - 49,2
campuran dan
perkebunan diganti
hutan
(luas hutan 80%)
IX Simulasi jika kebun 1.40 42 82 - 55,5
campuran dan
perkebunan diganti
hutan (luas hutan 82%)

Tabel 2. Resume simulasi prediksi puncak banjir apabila dilakukan pembangunan


konservasi tanah dan air (BMP) berupa pembangunan waduk kecil (check
dam) dan penterasan pada DAS Cikapundung - Gandok dengan hujan
tetap sebesar 38,38 mm

Tinggi puncak Waktu Persentase


hidrograph banjir perubahan
Skena- banjir mencapai puncak
Uraian
Rio puncak banjir thd
mm m banjir kondisi awal
/jam /det (menit) (%)
I Prediksi Hidrograph pada kondisi 3,15 94,5 37,5 0
saat ini

| 87 |
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
II Prediksi hidrograph apabila 3,4 97,5 230 + 3,17
dibangun pemukiman baru seluas
585.5 ha
III Tindakan BNP setelah 2,4 54 285 - 44.6
pembangunan perumahan (5 buah
teras dan 2 buah Sediment pond)
IV Tindakan BMP setelah 1,5 48 120 -50
pembangunan perumahan
( 2 buah teras dan 2 buah sediment
pond)
V Tindakan BNP setelah 1,6 54 180 -44,6
pembangunan perumahan (1 buah
teras dan 1 buah Sediment pond)
VI Tindakan BNP setelah 1,5 48 120 -50
pembangunan perumahan (1 buah
teras dan 2 buah Sediment pond)
VII Tindakan BNP setelah 1,5 54 180 -44,6
pembangunan perumahan (2 buah
Sediment pond)
VIII Tindakan BNP setelah 2,5 57 220 -41,5
pembangunan perumahan (1buah
Sediment pond)
IX Tindakan BNP setelah 1,5 48 120 -50
pembangunan perumahan(2lokasi
teras 2 buah sedimen pond )
X Tindakan BNP setelah 2,15 64,5 250 -34
pembangunan perumahan (2 buah
Sediment pond)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari beberapa hasil simulasi diatas dengan model ANSWERS untuk


DAS Cikapundung –Gandok dapat ditarik beberapa kesimpulan
antara lain :
1. Pengaruh pengurangan luas hutan (saat ini 36% ) menjadi 25%,
15% dan 0% akan menaikan puncak banjir berturut-turut sebesar
12,7%,58,7% dan 90,4%. Jika hutan yang ada di tebang terus
(habis) maka puncak banjir sungai Cikapundung-Gandok akan
naik sampai dua kali lipat.
2. Pengaruh penambahan luas hutan dari 36% menjadi
50%,60%,70%, 80% dan 82% menurunkan puncak banjir sebesar
20,6, 23,8, 36,5, 49,2 dan 55,5 %. Jadi jika seluruh DAS
Cikapundung dihutankan maka puncak banjir dapat diturunkan
sampai setengahnya.

| 88 |
Hutan sebagai Pengendali......(Syofyan,
dkk)
3. Pengaruh penurunan puncak banjir oleh pembangunan waduk
kecil dan penterasan dengan berbagai kombinasi dapat
menurunkan puncak banjir berkisar dari 34% s/d 50%.
4. Penentuan lokasi bangunan pengendali banjir yang tepat
umumnya terletak di bagian hilir akan dapat menurunkan puncak
banjir.
5. Pengendalian banjir besar yang sangat mendesak terutama pada
sungai yang dapat mengganggu dan menggenangi daerah urban
dapat dilakukan dengan membangun (membuat) waduk- waduk
kecil, karena penghutanan areal akan memerlukan waktu yang
cukup lama.
6. Untuk mencari alternatif dan penempatan lokasi bangunan
(waduk) perlu terlebih dahulu dilakukan perhitungan dan simulasi
agar dapat dicari hasil yang tepat dan optimal.
7. Aplikasi model hidrologi distribusi dapat digunakan dengan baik
jika parameter model dan data-data hidrologi (lapangan) yang
digunakan benar-benar akurat, dapat di percaya dan terlebih
dahulu harus melalui proses kalibrasi .
B. Saran
1. Berdasarkan informasi dan berita yang dimuat dimedia masa Surat
Kabar dan media elektronik seperti Televisi yang sering
menyatakan bahwa timbulnya banjir besar, tanah longsor dan
kekeringan adalah disebabkan banyaknya ” Pembabatan Hutan
secara besar-besaran” atau tanpa kendali dan tanpa izin,
sehubungan tersebut diatas disarankan kepada instansi yang
berwenang dan berkompeten di tingkat pusat maupun daerah
segera melakukan inventarisasi dan mengadakan penelitian secara
terpadu dan berkesinambung an.
2. Untuk pencegahan dan antisipasi jangan sampai marak dan
meluasnya ”Penggundulan dan pembabatan hutan baik secara
legal maupun illegal, Departemen Kehutanan dan instansi
pemerintah yang terkait dan berwenang diharapkan lebih
meningkatkan pengawasan dilapangan secara terpadu dan
berkesinambungan.
3. Penegakan hukum serta pemberian tindakan dan sangsi yang
tegas, adil kepada pelaku penebangan dan pembabatan Hutan
secara illegal, perlu segera dilaksanakan dan dijatuhkan hukuman
yang seberat-beratnya, tanpa ada diskriminasi dan dispensasi.
4. Penataan tata ruang pemanfaatan lahan hutan dan daerah
penjangganya (lahan pertanian) yang selama ini digunakan untuk
lahan pertanian oleh masyarakat/petani, perlu dinventarisasi dan
| 89 |
PROSIDING Workshop, 2009: 71-90
dikaji ulang untung-ruginya, sehingga kerusakan daerah aliran
sungai dimasa depan dapat ditanggulangi secara tuntas, dan tepat
waktu.

DAFTAR PUSTAKA

Mohamad, A.I, R. Effendi, dan S.Dt.M Kayo. 1995. ” Pengaruh


Perubahan Karakteristik Basin Terhadap Hidrograph Banjir ”,
Makalah Seminar Fenomena Perubahan Watak Banjir ”, di
UGM, Yogyakarta, 13 Nopember 1995.
Partowijoto, A. 2007. Pengelolaan Lahan Pertanian Untuk Konservasi
Air, Makalah Lokakarya Nasional Dalam Rangka Peringatan
Hari Air Sedunia ke 15, Jakarta 22 Maret 2007.
Beasley,DB, and Larry F.H. 1981. ANSWERS (Areal Nonpoint
Source Watershed environment Respons
Simulation),Agriculture Engineering Departement, Purdue
University, Indiana.
Chow,V.T, An Introduction to systems Analysis of Hydrologikal
Problems.
Chow,V.T, David R.M, Larry W.M, 1988. Applied
Hydrology,McGrawHill,New York.
Dooge,J.C.I. 1973 Linear Theory of Hidrologic System,Agriculture
Research Service USDA ,Washington DC.
Hendrawan, D. 2007. Konservasi Sumber Daya Air Sebagai Upaya
Menangani Dampak Perubahan Tata Guna Lahan di DAS
Ciliwung, Makalah Lokakarya Nasional Dalam Rangka
Peringatan Hari Air Sedunia ke 15, Jakarta 22 Maret 2007.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
Departemen Kehutanan. 2007. ”Kebijakan Konservasi Sumber
Daya Air Hutan Tanah Dan Air Dalam Mengatasi
Permasalahan Banjir dan Kelangkaan Air, Makalah Lokakarya
Nasional Dalam Rangka Peringatan Hari Air Sedunia ke 15,
Jakarta 22 Maret 2007.
Pusat Dinamika Pembangunan Universitas Pajajaran. 2001.
Pengelolaan Sumber Daya Air Dalam Konteks Otonomi
Daerah, Prosiding Seminar Nasional 28 -30 Maret 2000,
Yogyakarta.

| 90 |
9. TANAH LONGSOR DI KABUPATEN ASAHAN,
SUMATERA UTARA: BENTUK KERUSAKAN DI
WILAYAH HILIR DAS ASAHAN1
Oleh:
Sanudin dan Bambang S. Antoko2

ABSTRAK

Kerusakan hutan dan daerah aliran sungai (DAS) telah menyebabkan


terjadinya bencana seperti tanah longsor dan banjir. Pengelolaan DAS yang
masih berjalan sendiri-sendiri dan tidak mengakomodir pengaruh dari
karakteristik alami seperti faktor geografis kawasan, kelerengan tinggi dan
geologi kawasan pada akhirnya akan memperburuk kondisi DAS. Tulisan ini
bertujuan untuk mengetahui penyebab terjadinya bencana tanah longsor yang ada
di Kabupaten Asahan sebagai wilayah hilir DAS Asahan. Hasil penelitian
menyatakan bahwa kejadian longsor di lokasi penelitian disebabkan karena :
tingkat kelerengan yang tinggi pada lokasi yaitu > 60% dengan batuan
penyusun konglomerat, breksi, batupasir dan serpih; perubahan penggunaan
lahan dari kawasan hutan menjadi kawasan non hutan; faktor curah hujan
yang tinggi; kerentanan gerakan tanah karena gempa atau pelapukan; dan
keberadaan penambangan galian C yang tidak sistematis. Usaha yang dapat
dilakukan oleh pengelola antara lain melakukan pemetaan lokasi kerentanan
gerakan tanah (KGT) dengan skala semi detail (1:50.000); penertiban terhadap
kegiatan penambangan tanpa ijin (PETI) dan dikelola tanpa kaidah tata kelola
lingkungan yang baik; kegiatan fisik berupa pelandaian lereng dengan sistem
bertingkat (terasering); dan penyusunan rencana tata ruang berdasarkan
karakteristik alami wilayah dan keterpaduan semua sektor.

Kata kunci : pengelolaan daerah aliran sungai, longsor, penggunaan lahan, usaha
konservasi

1
Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
2
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli, Jl. Raya Parapat Km. 10,5
Sibaganding, Parapat, Sumatera Utara. Telp/Fax : 0625.41659/41653. Email :
sanevafa@yahoo.com dan maylaffaizzah@gmail.com
| 91 |
Workshop, 2009 : 91-101
PROSIDING
I. PENDAHULUAN

Pola pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan


ekonomi tanpa mempertimbangkan faktor lingkungan dan sosial telah
memberikan dampak negatif berupa hilangnya hutan, rusaknya
lingkungan serta terganggunya keseimbangan ekosistem.
Kerusakan/degradasi sumberdaya alam akhir-akhir ini semakin
meningkat. Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya alam yang
dapat dipulihkan kembali tetapi dengan terjadinya pengurasan hutan
yang melampaui kapasitas daya regenerasinya akan mengancam
keberlanjutan.
Daerah Aliran Sungai (DAS), seperti dikemukakan oleh Manan
(1978); Direktur Jenderal Pertanian Tanaman Pangan (1981); dan
Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi (1978) dalam Sumitro (1981),
merupakan suatu kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang
menampung, menyimpan, dan mengalirkan curah hujan yang jatuh
di atasnya ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan
dimana pemisah topografi adalah punggung bukit. Sementara itu
Syumanda (2007) menggarisbawahi bahwa hutan dalam suatu DAS
mempunyai peran dalam memelihara kontinuitas pasokan air,
memberi perlindungan tanah serta mampu meminimalkan pengaruh
bencana seperti bencana banjir dan longsor.
DAS Asahan dengan luas keseluruhan 353.770,34 Ha
merupakan DAS level regional yang melintasi empat kabupaten dan
kota di Provinsi Sumatera Utara dimana wilayah kabupaten yang
paling dominan di DAS Asahan adalah Kabupaten Asahan dengan
luas wilayah 311.689,88 Ha (88,11%). Menurut fungsinya hutan di
Kabupaten Asahan seluas 42.701,5 Ha yang terdiri dari 18,88% hutan
produksi terbatas, 76,1% hutan lindung dan 5,02% hutan produksi.
Kondisi dan potensi hutan di Kabupaten Asahan pada umumnya
mempunyai potensi yang telah menurun bahkan di beberapa tempat
telah berubah fungsi menjadi areal penggunaan lain. Tulisan ini
bertujuan untuk mengetahui penyebab terjadinya bencana tanah
longsor yang ada di Kabupaten Asahan sebagai hilir DAS Asahan.
II. KONDISI UMUM KABUPATEN ASAHAN
Secara geografis Kabupaten Asahan berada pada 02°03’–03°26’
LU dan 99°01’–100°00’ BT dengan ketinggian 0–1.000 m di atas
permukaan laut (dpl). Kabupaten Asahan mempunyai luas 311.689,88
Ha (88,11%) yang terdiri dari 20 Kecamatan dan 271 desa/kelurahan.
Jumlah penduduk Kabupaten Asahan pada tahun 2004 tercatat
| 92 |
Tanah Longsor di…..(Sanudin dan Bambang)
sebanyak 1.009.856 jiwa (212.978 KK) dan kepadatan penduduk
sebesar 218 jiwa per km2.
Kabupaten Asahan merupakan salah satu sentra perkebunan di
Sumatera Utara dengan salah satu komoditi pentingnya adalah karet
(Hevea sp). Produksi karet pada tahun 2004 sebanyak 5.274 ton,
produksi ini mengalami peningkatan dari tahun 2003 yang hanya
4.939 ton.
III. KEJADIAN LONGSOR DI KABUPATEN ASAHAN
Karakteristik geologi DAS Asahan berdasarkan peta geologi
skala 1:250.000 tahun 1982 secara umum terbentuk dari batuan
gunung api tufa Toba dimana batuan polimik bersusunan riolit-dasit,
aliran tufa kristal, gelas, debu dengan sedikit tufa eksposif pada bagian
atas. Wilayah hilir DAS Asahan didominasi oleh alluvium muda, yang
terdiri dari pasir, kerikil, rawa bakau, fluviatil, asallaut dan lakustrin
serta sebagian kecil juga terdapat alluvium tua yang berasal dari
kerikil, pasir dan lempung.
Kecamatan di Bandar Pulau dan Pulau Pekan merupakan dua
kecamatan di Kabupaten Asahan yang rawan terhadap longsor (Balai
Besar Meterologi dan Geofisika Wilayah 1 Medan, 2005). Pada
Kecamatan Bandar Pulau telah terjadi beberapa kejadian longsor.
Pada Tahun 2004 terjadi gerakan tanah di Kampung Bedeng Tujuh
dengan kerusakan sebuah rumah dan tidak ada korban jiwa. Pada
Tahun 2005 terjadi longsoran di jalan poros Porsea - Bandar Pulau
dengan menutup jalan sepanjang 300 meter. Awal 2006 badan jalan
mengalami penurunan sepanjang 20 m yang diakibatkan oleh erosi
samping Sungai Asahan.
Pada tahun 2007 telah terjadi longsor di Kecamatan Bandar
Pulau dan sekitarnya. Hasil penyelidikan Tim Tanggap Darurat
Bencana Alam Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi (2005) menyebutkan bahwa longsor yang terjadi di
wilayah Kecamatan Bandar Pulau dan sekitarnya dicirikan oleh
kondisi geologi setempat yang berupa daerah perbukitan memanjang
dengan arah Barat Laut - Tenggara. Bentang alam daerah ini
merupakan daerah perbukitan terjal dengan kemiringan lereng > 60°
dengan perbedaan ketinggian mencapai 30 meter. Batuan dasar
penyusun di wilayah Bedeng Tujuh dan sekitarnya terdiri dari
Konglomerat, Breksi, Batupasir dan serpih. dengan pelapukan berupa
lempung pasiran dan pasir berukuran kasar.

| 93|
PROSIDING Workshop, 2009 : 91-101
Kejadian longsor yang terjadi ini merupakan longsoran bahan
rombakan pada tebing di atas jalan dengan tinggi ± 10 m dan lebar 45
m. Dengan adanya lereng yang terjal yang mencapai kemiringan > 60°
serta adanya bidang lemah antara tanah pelapukan dengan batuan
dasar breksi dengan sisipan serpih telah menyebabkan keadaan lereng
menjadi tidak stabil. Akibat curah hujan yang sangat tinggi pada saat
kejadian maka pada lereng yang retak akibat pemotongan lereng
kemudian dimasuki air hujan sehingga menambah bobot masa tanah
pada lereng serta mengakibatkan naiknya tekanan air pori yang akan
mengurangi daya ikat antara butir tanah. Hal ini menyebabkan tanah
menjadi jenuh dan tahanan geser tanah menjadi berkurang sehingga
mengakibatkan terjadinya longsoran.
IV. PENYEBAB LONGSOR
Secara umum gerakan tanah (longsor) terjadi akibat adanya
beberapa faktor yang bekerja secara simultan, yaitu kemiringan lereng,
jenis litologi, kegempaan dan curah hujan. Berdasarkan hasil
pengamatan lapangan dan berbagai literatur diketahui bahwa
beberapa penyebab terjadinya longsor di Kabupaten Asahan adalah
sebagai berikut:
1. Lereng pada daerah longsor umumnya mempunyai kemiringan >
60°, dengan batuan penyusun Konglomerat, Breksi, Batupasir,
dan serpih. Kondisi batuan ini di lapangan tampak telah
mengalami tingkat pelapukan yang tinggi dengan hasil pelapukan
berupa batupasir berbutir kasar - sangat kasar. Tebal hasil
pelapukan mencapai 1- 2 m. Akibat tingginya curah hujan,
batuan pada lereng (batupasir) yang sudah retak dimasuki air
hujan sehingga menambah beban pada lereng serta
mengakibatkan naiknya tekanan air pori yang akan mengurangi
daya ikat antara butir tanah, sehingga tahanan geser tanah akan
berkurang. Selain itu air yang meresap pada tanah akan mengalir
di sepanjang bidang kontak antara tanah pelapukan dengan
batuan dasar, sehingga mengakibatkan terjadinya longsoran (Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2005).
2. Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi non hutan dan
areal penggunaan lain secara umum tata guna lahan di Kecamatan
Bandar Pulau dan sekitarnya terdiri dari lahan pemukiman,
perladangan, perkebunan dan hutan. Berdasarkan hasil analisis
SIG dengan melakukan tumpang tindih (overlay) antara peta
penggunaan lahan dan kawasan hutan Kabupaten Asahan tahun
2005 diketahui bahwa telah terjadi perubahan fungsi hutan
menjadi penggunaan lahan lain seperti disajikan pada Tabel 1.
| 94 |
Tanah Longsor di…..(Sanudin dan Bambang)

Tabel 1. Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Asahan


Fungsi Hutan/ Perubahan Luas (ha) Persentase (%)
No. Luas (Ha) Penggunaan Lahan Perubahan
Penggunaan Lahan

1 Hutan Lindung Pemukiman 1,95 0,06


Perkebunan 2.305,64 70,99
Sawah 248,10 7,64
Tambak 170,20 5,24
61.969,25 Tanah Terbuka 521,55 16,06
Jumlah 3.247,44 100,00
2 Hutan Produksi Pemukiman 123,77 1,62
Terbatas
Perkebunan 1.785,33 23,34
Tambak 954,97 12,48
Sawah 4.322,34 56,52
29.248,90 Tanah Terbuka 461,59 6,03
Jumlah 7.648,00 100,00
3 Hutan Produksi Perkebunan 6.828,40 99,96
34.667,60 Tanah Terbuka 2,67 0,04
Jumlah 6.831,07 100,00
4 Hutan Produksi Perkebunan 10.021,80 74,15
yang dapat
dikonversi
20.611,93 Sawah 3.494,34 25,85
Jumlah 13.516,14 100,00
Total Perubahan 31.242,65 100,00
Sumber (Source): hasil analisis SIG, 2007
Berdasarkan Tabel 1 di atas diketahui bahwa pada semua fungsi
hutan di Kabupaten Asahan sebagian telah berubah fungsi menjadi
penggunaan lain seperti pemukiman, perkebunan, sawah, tambak, dan
tanah terbuka. Hutan lindung yang luasnya 61.969,25 Ha telah
berubah fungsi menjadi pemukiman, perkebunan, sawah, tambak, dan
tanah terbuka sebanyak 3.247,44 Ha (5,24%). Hutan produksi
terbatas dengan luas 29.248,90 Ha telah berubah fungsi menjadi
pemukiman, perkebunan, sawah, tambak, dan tanah terbuka sebanyak
7.648,00 Ha (26,14%). Hutan produksi seluas 34.667,60 Ha juga telah
berubah fungsi menjadi perkebunan dan tanah terbuka sebesar
6.831,07 Ha (19,70%). Kawasan hutan konversi sebanyak 13.516,14
Ha (65,57%) telah berubah fungsi menjadi perkebunan dan sawah
dari luas total hutan konversi 20.611,93 Ha. Areal perkebunan
merupakan perubahan penggunaan lahan terbesar yang terjadi pada
seluruh kawasan hutan. Pada hutan lindung terdapat 70,99% dari
3.247,44 Ha, hutan produksi terbatas berubah 23,34% dari total
7.648,00 Ha sedangkan pada hutan produksi dan hutan konversi
berturut-turut terdapat perubahan sebesar 99,96% dari 6.831,07 Ha
dan 74,15% dari total 13.516,14 Ha. Selanjutnya perubahan
| 95|
PROSIDING Workshop, 2009 : 91-101
penggunaan lahan menjadi sawah menempati urutan kedua terbesar
dengan total 8.064,78 Ha dari 31.242,65 Ha atau sebesar 25,81%.
Secara keseluruhan kawasan hutan di Kabupaten Asahan seluas
31.242,65 Ha (21,32%) telah beralih fungsi menjadi penggunaan lahan
non hutan lainnya.
Pada tahun 2003 lalu, Departemen Kehutanan telah mencatat
16,95 juta hektar hutan disulap menjadi lahan perkebunan. Angkanya
meningkat menjadi 17,16 juta hektar pada tahun 2004. Angka tersebut
tersebar di lebih dari 56 satuan wilayah sungai selain di Jawa. Jika
ditambah dengan aktivitas ekstraksi hutan sejak awal 60-an, praktis
tekanan terhadap satuan wilayah sungai yang ada menjadi tinggi.
Menurut Syumanda (2007), salah satu penyebab pergeseran tanah
adalah karena hilangnya tutupan hutan. Dalam hal ini, akar
pepohonan memainkan peran yang penting dalam menjaga stabilitas
lereng dan memberikan tanah sejumlah dukungan mekanis. Tetapi
hal ini terbatas pada pergerakan massa yang dangkal (< 1 meter).
Jenis longsor ini dapat distabilkan dengan cepat dan biasanya tidak
akan menghasilkan sedimen dalam jumlah besar yang memasuki
sungai sekitarnya. Di sisi lain, dalam episode longsor yang dalam (> 3
meter), belum tentu dipengaruhi oleh ada atau tidaknya tutupan lahan
yang baik. Episode longsor tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh
faktor geologis, topografis, dan iklim, dibandingkan dengan ada
tidaknya tutupan hutan.
Sementara itu, degradasi lahan dan erosi tanah yang sering
dihubungkan dengan hilangnya tutupan hutan tidak selalu merupakan
dampak dari penggundulan hutan itu sendiri, tetapi lebih kepada
praktek pemanfaatan lahan yang buruk (overgrazing, pembersihan
humus, perusakan materi organik, dan pembersihan lahan) yang
diterapkan setelah pembersihan lahan hutan. Selain itu, banyak erosi
yang terjadi setelah penebangan kayu dimana tanah berpindah karena
kegiatan penebangan tersebut (seperti konstruksi jalan, atau
penyaradan kayu). Pemadatan tanah menyebabkan kapasitas
penyimpanan air tanah menjadi kecil dan sekaligus akan
meningkatkan kecepatan aliran permukaan.
3. Curah hujan yang tinggi.
Hasil analisa data hujan pada lokasi pengamatan selama 10 tahun
(1992 - 2001) tersaji dalam Tabel 2 sebagai berikut.

| 96 |
Tanah Longsor di…..(Sanudin dan Bambang)
Tabel 2. Data Curah Hujan di DAS Asahan (1994 - 2003)
Bulan Bln
Maksimum Bulan
Sub DAS/ Rerata Lem- Ke-
(mm) Basah
No Lokasi bab ring
Bagian Tahunan
Hjn Bulan (bln) (bln) (bln)
DAS (mm)
1 Stasiun Asahan
Lumban Hulu/
Julu, Toba Bagian Des
Samosir Hulu 2.199,3 493 1996 9 1 2
2 Silau
Stasiun Hulu/
Marihat, Bagian Okt
Simalungun Hulu 2.866,7 618 1994 10 1 1
3 Stasiun Pulo Kuasan/
Raja, Bagian Okt
Asahan Hulu 2.565,8 714 2001 10 1 1
4 Stasiun Sukaraja/
Bandar
Pulau, Bagian Des
Asahan Tengah 2.681,9 545 1996 10 1 1
5 Silau
BPP Sei Hilir/
Silau Timur, Bagian Juli
Asahan Tengah 2.297 526 2000 10 1 1
6 Silau Hilir/
BPP Sentang, Bagian Des
Asahan Hilir 2.585,7 966 1996 10 1 1
7 Stasiun Sei Kepayang/
Kepayang, Bagian Nop
Asahan Hilir 1.452,7 660 1997 8 2 2
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Sampali, Medan (2005)
Karakteristik hujan di DAS Asahan pada Tabel 2 didasarkan
pada hasil analisa data curah hujan pada lokasi pengamatan selama 10
tahun (1994 - 2003) yang mencakup nilai rerata hujan tahunan, hujan
harian maksimum selama 10 tahun dan rerata jumlah bulan basah
(curah hujan > 100 mm/bulan), bulan lembab (60 - 100 mm/bulan)
dan bulan kering (< 60 mm/bulan) (Schmid and Ferguson 1951).
Curah hujan rerata tahunan di DAS Asahan berkisar antara 1.452,7 -
2.866,7 mm dimana hujan terendah terjadi di Stasiun Sei Kepayang,
Asahan dan tertinggi terjadi di Stasiun Marihat, Simalungun. Hujan
terjadi hampir merata di semua lokasi pengamatan dengan bulan
kering terbanyak terjadi di Stasiun Sei Kepayang, Asahan dan Stasiun
Lumban Julu, Toba Samosir. Hujan maksimum tertinggi dan terendah
terjadi pada Bulan Desember 1996 dimana hujan maksimum tertinggi
terjadi di BPP Sentang, Asahan sebesar 966 mm dan hujan

| 97|
PROSIDING Workshop, 2009 : 91-101
maksimum terendah di Stasiun Lumban Julu, Toba Samosir sebesar
493 mm.
4. Faktor-faktor lainnya yang sangat berpengaruh terhadap bencana
longsor yaitu kerentanan gerakan tanah akibat gempa atau
pelapukan. Secara alami, tanah-tanah yang berada pada
kemiringan curam bisa saja longsor sekalipun tidak terjadi hujan
lebat. Seperti dijelaskan di atas bahwa Kecamatan Bandar Pulau
dan Pulau Pekan merupakan dua kecamatan di Kabupaten
Asahan yang rawan terhadap longsor.
5. Penambangan Galian C yang tidak sistematis.Berdasarkan
inventarisasi dan pemantauan penertiban usaha pertambangan
yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi
Medan diketahui bahwa cukup banyak kegiatan
penambangan di sekitar sungai termasuk di Kabupaten Asahan
yang tidak memiliki izin (PETI) dan belum sepenuhnya mengacu
pada tata kelola lingkungan penambangan yang baik dan benar.
Hal ini terlihat dari hasil pantauan di lapangan seperti melebarnya
badan sungai serta terjadinya longsor tebing sungai di beberapa
lokasi penambangan.
V. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI
HILIR DAS ASAHAN
Kegiatan survey dilakukan terhadap desa-desa sekitar di daerah
hilir DAS Asahan yaitu Desa Marjanji Aceh dan Desa Aek Bamban,
Kecamatan Bandar Pulau. Kegiatan survey dilakukan dengan
melakukan wawancara menggunakan kuesioner terhadap sepuluh
orang responden di tiap desa yang disurvey. Aspek yang dikaji adalah
kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan kelembagaan masyarakat
termasuk perilaku masyarakat dalam kegiatan pertanian dan aturan
atau adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil pengolahan data sosial ekonomi masyarakat menyebutkan
bahwa desa-desa di daerah hilir mempunyai potensi ekonomi yang
menonjol di bidang pertanian dengan sumber utama penghasilan
penduduk dari sektor pertanian adalah perkebunan kelapa sawit, karet
dan sebagian kecil coklat. Data Potensi Desa (2005) menyebutkan
bahwa persentase penduduk dan keluarga berbasis pertanian pada
masing-masing desa adalah 90% dan 80%. Pada dua desa ini lahan
pertanian berupa sawah justru memiliki jumlah yang paling sedikit
dibandingkan tanaman perkebunan lainnya. Hal ini disebabkan karena
hasil yang diperoleh oleh petani akan sangat tinggi jika mereka
mengelola tanaman karet maupun kelapa sawit dibanding bertani padi
| 98 |
Tanah Longsor di…..(Sanudin dan Bambang)
sawah. Masyarakat umumnya mengelola lahan-lahan ini secara
monokultur dan campuran antara karet dan coklat. Berdasarkan
pengamatan lapangan diketahui bahwa masyarakat di daerah hilir
cenderung mempunyai kehidupan yang lebih baik secara ekonomi jika
dibandingkan dengan masyarakat di daerah hulu.
Pada semua desa dilalui oleh sungai yang melintasi desa dimana
airnya digunakan untuk mandi dan minum kecuali untuk daerah hilir
dimana untuk keperluan memasak dan air minum diperoleh dari
sumur dan pompa air. Desa Marjanji Aceh dan Aek Bamban terdapat
keluarga yang tinggal di bantaran sungai dengan jumlah keluarga
berturut-turut adalah enam keluarga dan 30 keluarga. Kedua desa ini
merupakan tipe desa yang masih mempunyai tradisi kuat dalam
kegiatan gotong royong terutama dalam membangun fasilitas desa.
Secara umum komunitas masyarakat di daerah hilir Sungai Asahan
merupakan campuran antara suku Batak dan Jawa yang sudah
membaur puluhan tahun sehingga kehidupan sosial ekonomi dan
budaya masyarakat juga merupakan perpaduan antara adat Batak dan
Jawa.
Persentase luas sawah dibanding luas desa pada kedua desa
adalah 0,01; 0,09 (sementara tidak diusahakan), dan 0,06. Tingkat
pengetahuan responden terhadap daerah aliran sungai masih rendah,
hal ini disebabkan karena masih rendahnya kegiatan sosialisasi
terhadap masyarakat tentang daerah aliran sungai oleh pihak terkait.
Sebagian besar masyarakat pada kedua desa ini juga belum
mengetahui bahwa sungai merupakan bagian dari DAS dan
mempunyai peran penting terkait dengan karakteristik alaminya. Hasil
ini signifikan dengan pengamatan di lapangan dimana masih banyak
kegiatan pertanian yang belum sesuai dengan kaidah konservasi tanah
dan air seperti belum adanya pembuatan teras. Selain itu masih
banyak dijumpai konversi lahan di daerah hulu dan kiri-kanan Sungai
Asahan dari kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Dalam
hal ini tanaman kelapa sawit memerlukan air yang cukup banyak
untuk pertumbuhannya dan mempunyai kemampuan menyimpan air
dan konservasi tanah yang tidak terlalu bagus dibandingkan dengan
kawasan hutan.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan diketahui bahwa
kegiatan pengelolaan karet maupun kelapa sawit seringkali dilakukan
pada lahan di kiri maupun kanan Sungai Asahan dan atau pada lahan
yang mempunyai tingkat kelerengan di atas 40% yang notabene
merupakan kawasan hutan dan seharusnya ditanami dengan jenis kayu
keras untuk menghindari kejadian bencana seperti erosi maupun
| 99|
PROSIDING Workshop, 2009 : 91-101
banjir. Tingkat kesadaran masyarakat yang rendah dan adanya
pertimbangan ekonomi dalam mengelola lahan secara langsung atau
tidak langsung telah mengakibatkan terjadinya erosi seperti yang
terjadi di Desa Marjanji Aceh. Kejadian longsor di Desa Marjanji
Aceh terjadi pada akhir bulan Desember tahun 2005 yang
menghancurkan beberapa rumah. Bukit yang ada di sekitar Sungai
Asahan yang tadinya ditanami jenis kayu - kayuan telah dikonversi
menjadi perkebunan sawit dan sebagian perkebunan karet sehingga
ketika musim hujan datang maka bencana erosi menjadi hal yang
tidak terelakkan. Yang paling mengkhawatirkan adalah tanah-tanah
yang ada di bukit tersebut dalam kondisi sudah retak sehingga jika
terjadi longsor akibat tingginya curah hujan maka tanah longsor
tersebut akan menutup dan menyumbat Sungai Asahan karena jarak
antara bukit dengan sungai sangat dekat (<100 meter). Pada akhirnya
hal ini akan memicu terjadinya banjir besar.
VI. PENUTUP
Longsor yang terjadi di Kabupaten Asahan selain karena faktor
curah hujan yang tinggi juga disebabkan oleh perubahan penggunaan
lahan dari hutan menjadi penggunaan lahan lain seperti perkebunan.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meminimalkan bencana
longsor diantaranya adalah (1) melakukan pemetaan lokasi kerentanan
gerakan tanah (KGT) dengan skala semi detail (1:50.000), (2)
penertiban terhadap kegiatan penambangan tanpa ijin (PETI) dan
dikelola tanpa kaidah tata kelola lingkungan yang baik. Alasan
pembangunan dan percepatan ekonomi (PAD setempat) sering
digunakan untuk melakukan perubahan peruntukan berdasarkan
kepentingan wilayah dan sektoral tanpa memperhatikan aspek aspek
geografis, ekologi dan sosial budaya.

DAFTAR PUSTAKA
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Laporan
singkat hasil Penyelidikan Tim Tanggap Darurat bencana alam
gerakan tanah yang terjadi di wilayah Kecamatan Bandar Pulau
dan sekitarnya, Kabupaten Asahan, Propinsi Sumatera Utara.
http://www.bgl.esdm.go.id diakses pada tanggal 8 November
2007.
Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah I Medan. 2005.
Intensifikasi dan Ekstensifikasi Peringatan Dini Banjir dan

| 100 |
Tanah Longsor di…..(Sanudin dan Bambang)
Longsor serta Pemanfaatan Informasi MKG untuk Menunjang
Berbagai Sektor Pembangunan. Medan.
BPS dan Bappeda Kabupaten Asahan. Kabupaten Asahan dalam
Angka 2004. Kisaran.
BPS Pusat, 2005. Potensi Desa Tahun 2005 - Kabupaten Asahan.
Jakarta.
Direktur Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. 1981. Pembangunan
Pertanian Tanaman Pangan dalam Hubungannya dengan
Pengelolaan DAS secara Terpadu. Prosiding Lokakarya
Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai, Jakarta, 26-27 Mei
1981. p 135-151.
Manan, S. 1978. Kaidah dan Pengertian Dasar Manajemen Daerah
Aliran Sungai. Penerbit IPB Press. Bogor.
Sumitro, A. 1981. Pengembangan Daerah Aliran Sungai. Prosiding
Lokakarya Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai, Jakarta,
26-27 Mei 1981.
Syumanda, R. 2007. Hutan Rusak, Bencana Datang.
http://rullysyumanda.wordpress.com. Diakses pada tanggal 8
November 2007.

| 101|
10. PERANAN VEGETASI HUTAN DALAM
MENGATUR PASOKAN AIR1
Oleh:
Daniel Murdiyarso2 dan Sofyan Kurnianto2

ABSTRAK

Pasokan (supply) air yang anteng (sustainable) merupakan indikator penting


bagi keberhasilan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Untuk itu
kuantifikasi masukan (inputs) dan keluaran (outputs) air serta proses yang
berlangsung di dalam ekosistem DAS perlu dikuantifikasi secara baik. Untuk
mengoptimalkan pasokan tersebut kajian terhadap kelompok-kelompok
pengguna air yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda juga perlu
dilakukan. Makalah ini mengkaji peranan vegetasi hutan dan vegetasi lainnya
dalam ekosistem DAS yang berpenduduk sangat padat. Hingga saat ini
memang belum terjadi konflik yang berarti tetapi dengan makin langkanya
pasokan air yang memadai dalam hal kuantitas mapupun kualitas, bukan
tidak mungkin konflik akan muncul di waktu yang akan datang. Masukan
dan keluaran air yang dinyatakan dalam neraca air dikemas dalam model
spasial dan disimulasikan untuk mengantisipasi perubahan iklim dan alih-guna
lahan.

Kata kunci : Vegetasi, Pasokan Air

I. PENDAHULUAN

Kuantifikasi air yang masuk dan keluar dari dalam DAS


memerlukan pengukuran, perhitungan dan prediksi atau estimasi
berdasarkan asumsi-asumsi yang dapat diterima. Tanpa asumsi akan
sulit melakukan pendugaan terhadap sistem yang kompleks ini. Salah
satu asumsi adalah masalah kebocoran air ke dalam atau ke luar DAS.
Jika kebocoran dianggap sebagai sisaan (residue) maka nilainya harus
lebih kecil dari variasi nilai produksinya.

1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
1 Center for International Forestry Research. Jl. CIFOR, Sindangbarang,

Bogor Barat, 16115, f.kurnianto@cgiar.org

| 102 |
Peranan Vegetasi Hutan.....(Daniel Murdyarso dan Sofyan Kurnianto)
Pengukuran masukan berupa curah hujan relatif mudah dengan
asumsi variasi antar tempat (spatial variation) dapat diatasi dengan
jejaring pengukuran yang memadai sesuai dengan kondisi bentang
alam. Perhitungan keluaran berupa evapotranspirasi dan aliran
permukaan dan bawah-permukaan, terkait erat dengan kondisi
vegetasi penutup, dan kondisi iklim setempat.
Perubahan atau alih-guna lahan sebagai bentuk intervensi
manusia yang memiliki kepentingan tertentu dapat diantisipasi melalui
konsultasi dan diskusi kelompok yang terfokus (Focused Group
Discussion, FGD). Hal ini penting untuk menentukan aliran (sungai)
yang anteng yang dapat disepakati bersama. Sudah barang tentu
negosiasi atau tawar-menawar ini memerlukan perubahan yang tidak
perlu merugikan siapaun, baik dari segi ekonomi maupun sosial.
Setiap pihak harus memiliki posisi tawar yang sama agar konflik yang
tidak perlu dapat dihindari. Mekanisme pendanaan harus diatur
sedemikia rupa sehingga prinsip keadilan dan efisiensi dapat
disepakati.
II. PERANAN VEGETASI DAN IKLIM
Vegetasi memiliki peranan dalam dua hal. Pertama, sebagai
penutup lahan sehingga menahan air yang jatuh ke permukaan.
Vegetasi dapat mengurangi energi ”pukulan” butir hujan sehingga
mengurangi peluang terjadinya erosi. Dengan permukaan (tajuk) yang
basah, vegetasi akan mengevaporasikan air hujan yang tertahan
(diintersepsi) permukaan tanaman. Kedua, sebagai ”saluran” yang
akan mengalirkan air dari tanah ke atmosfer melalui proses
transpirasi. Peranan ini berlangsung ketika permukaan atau tajuk
vegetasi kering.
Perbedaan tipe vegetasi berdaun jarum (konifer) dan berdaun
lebar nampaknya tidak berperan lebih penting ketimbang lokasi atau
kondisi iklim setempat, khususnya intensitas hujan yang menentukan
durasi basahnya tajuk. Hal ini penting karena tajuk yang basah akan
mengevaporasikan air yang diintersepsi dalam laju potensial. Dengan
kata lain jenis vegetasi menjadi tidak terlalu penting. Table 1
menunjukkan laju evaporasi dan transpirasi dua jenis vegetasi hutan
yang menerima hujan dalam jumlah yang relatif sama (sekitar 3000
mm setahun) namun mengalami kebasahan tajuk dalam durasi yang
berbeda karena perbedaan intensitas hujannya. Akibatnya hutan yang
terletak di kawasan beriklim sedang (sub tropis) menghabiskan
sebagian besar air yang masuk melalui evaporasi, sedang hutan tropis
melalui transpirasi.
| 103 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 102-109

Tabel 1.Laju evaporasi dan transpirasi hutan daun jarum di daerah iklim sedang dan
hutan daun lebar di kawasan tropis yang mengalami curah hujan tahunan
sekitar 3000 mm
Satuan Daun jarum Daun lebar
sedang tropis
Evaporasi, Ei
 Laju mm/h 0.22 0.18
 Total mm/y 790 595
 EI /Pg % 40 20
 Tahanan s/m 4.6 8.1
aerodinamik , ra

Transpirasi, ET
 Laju mm/h 0.18 0.31
 Total
mm/y 310 886
s/m 200 120
 Tahanan tajuk, rs
1,100 1,481
Kehilangan air

Durasi kebasahan tajuk yang ditentukan oleh intensitas hujan


seperti terlihat dalam Tabel 2 mengakibatkan persentasi kehilangan air
melalui evaporasi air yang terintersepsi secara signifikan. Di kawasan
tropis dengan intensitas yang tinggi (di atas 10 mm/jam) akan
mengalami kebasahan tajuk yang relatif pendek dan kehilangan air
melalui evaporasi potensial antara 12-22 persen, sementara di
kawasan sub-tropis yang intensitas hujannya hanya sepersepuluh
kawasan tropis (1-2 mm/jam) mencapai 40 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan hutan akan mengurangi pasokan air.
Table 2. Perbedaan persentase intersepsi akibat intensitas yang berbeda.
Elev. Hujan Intensitas
Species/ Lokasi (m) tahunan hujan % Sumber
tegakan (mm) (mm h-1)
Hutan daun jarum - iklim sedang
Picea Wales 3200 1.32 Murdiyarso
sitchensis 39.6 (1985)
Scotland 802 1.37 32 Gash et al.
(1980)

Pinus East Anglia 595 1.71 36 Gash and


sylvestris Stewart
(1977)
| 104 |
Peranan Vegetasi Hutan.....(Daniel Murdyarso dan Sofyan Kurnianto)
Scotland 493 1.22 42 Gash et al.
(1980)
Hutan daun lebar – iklim tropis
Hutan Malaysia 86 2381 - 21.8 Manokaran
tropis (1979)
Tanzania 238 - - 21.5 Jackson
(1975)
Kalteng 200 2199 9.8 11.4 Asdak et al.
(1998)
Kalbar 240 3400 10.54 21.7 Murdiyarso
(1985)
Jawa Barat 200 1900 13.20 18 Bruijnzeel
and
Wiersum
(1986)
Brazil 1650 - 11.6 Ubarana
(1996)
Hutan Guatemala 2550 2559 - 29.0 Holder
berawan (2004)

III. NERACA AIR DAS


Masukan air ke dalam ekosistem DAS adalah curah hujan
sedang keluarannya berupa evapotranspirasi. Kebocoran air baik ke
dalam maupun ke luar DAS tidak teramati, kecuali pengambilan air
tanah (ground water) dari sumur artesis.

Evapotranspirasi Potential (PET) dihitung berdasarkan metode


Thornthwaite yang hanya memerlukan data suhu udara (Burt &
Shahgedanova, 1998).
a
 T
PETi  1610 i  …………………………………………(1)
 I 
    
a  0,49  17,9.10 3 I  77,1.10 6 I 2  67,5.10 8 I 3 ….(2) 
des 1,516
 Ti 
I   5 
i  jan
……………………………………………..(3)

Untuk mebedakan evapotranspirasi dari berbagai tipe penutupan


vegetasi diperlukan informasi mengenai koefisien tanaman
(Doorenbos & Pruitt 1975), sehingga:
| 105 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 102-109

PETi = kc.PETi…………………………………………………………………………...(4)
Dimana:
T: suhu
i: bulan ke-i
kc: koefisien tanaman
I: indeks bahang tahunan

Kadar air tanah sangat ditentukan oleh masukan dan keluaran air
di permukaan tanah. Jika selisih antara curah hujan, P dan PET
positif, maka perbedaan tersebut akan menjadi tambahan bagi kadar
air tanah, SWC. Tetapi jika negatif, maka, SWC merupakan fungsi
exponensial kapasitas tanah dalam menahan air, WHC. Sehingga:

SWCi = SWCi-1 + Pi – PETi, Jika Pi > PETi............(5)


SWCi = SWCi-1exp (Pi – PETi/WHC), Jika Pi < PETi..........(6)

Evapotranspirasi actual, AET akan sama dengan PET ketika P >


PET. Sebaliknya, jika P< PET, tanah akan mengering dan AET <
PET dengan perhitungan sbb:

AETi = Pi – SWCi + SWCi-1, Jika Pi < PETi........(7)

Perbedaan antara PET dan AET disebut defisit kadar air tanah
(SMD).

Ketika SWC mencapai nilai maksimumnya, kelebihan atau


surplus air (SMS) sangat ditentukan oleh WHC, dan didefinisikan sbb:
SMSi = max(0, SWCi – WHC)..........................................................(8)

Sedang SWC pada bulan tersebut dihitung sbb:

SWCi = SWCi – SMSi..................................................................................................................(9)

Tabel 3 menunjukkan neraca air seluruh Sub DAS Cicatih yang


dalam hal ini tidak pernah mengalami defisit karena jumlah curah
hujan bulanannya selalu lebih besar dari evapotranspirasi
potensialnya.

| 106 |
Peranan Vegetasi Hutan.....(Daniel Murdyarso dan Sofyan Kurnianto)
Table 3. Neraca air Sub DAS Cicatih, Sukabumi, Jawa Barat
Jan Feb Mar Ap Mei Jun Jul Ag Sep Okt Nov Des
Curah 329 283 314 323 213 173 107 136 153 229 367 290
hujan

Evapo 112 106 114 130 134 125 117 119 120 117 111 106
transp.
Pot.
Kadar 243 243 243 243 243 241 223 225 229 233 242 243
Air
Tanah
Surplus 217 176 200 193 79 50 9 16 31 108 247 183

IV. ALIH-GUNA LAHAN DAN PERUBAHAN IKLIM

Sebagai konsekuensi logis dari kepentingan yang berbeda-beda,


penggunaan lahan akan mengalami perubahan secara berkala.
Kecenderungan yang paling umum adalah menyusutnya vegetasi
tahunan berkayu, termasuk hutan. Masalahnya adalah, apakah
vegetasi pengganti dapat lebih efisien dalam menahan terjadinya erosi
dan dalam mengurangi evaporasi. Jika ya, sudah barang tentu
pasokan air justru akan diperbaiki atau ditingkatkan ketimbang
sebaliknya.
Untuk membayangkan kejadian tersebut, model neraca air
perlu disusun agar dapat dimanupulasi dalam proses simulasi. Dalam
eksperimen ini DAS Cicatih ternyata tidak cukup peka terhadap alih-
guna lahan, khususnya dalam pengaruhnya terhadap PET.
Selanjutnya SWC dan SMS juga akan tidak terpengaruh secra
signifikan meskipun kawasan berhutan berkurang hingga 15 persen.
Pengaruh perubahan iklim yang diwakili oleh sembilan skenario
kombinasi peningkatan suhu, ∆T = + 1, +2, +4 dan peningkatan
curah hujan, ∆P = 0, +10%, + 20%. Perubahan sebesar 12 sampai
65% terjadi untuk AET, -17 sampai 0% untuk SWC, -49 sampai 26%
untuk SMS dan -4 sampai 1736% untuk SMD.
Pola musiman menunjukkan peningkatan AET dan SMD di
musim hujan (Oktober – Maret) yang lebih besar dibanding
peningkatan di musim kemarau (April – September). Sementara itu,
penurunan SWC dan SMS yang terjadi di musim kemarau lebih besar
dibanding musim hujan. Akibatnya, AET and SMD di musim hujan
pada skenario yang paling ekstrem (∆T =+4oC; ∆P = +20%) lebih
besar pada musim kemarau.

| 107 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 102-109

V. KESIMPULAN
• Peranan vegetasi (hutan) sangat tergantung pada kondisi iklim
setempat. Hutan tidak menambah aliran sungai (debit), tetapi
justru menguranginya. Namun demikian hutan dapat mengatur
fluktuasi aliran sungai karena peranannya dalam mengatur limpasan
dan infiltrasi
• Pengaruh hutan sangat ditentukan skala penutupan lahannya
namun alih-guna lahan’ khususnya pengurangan penutupan hutan
hingga 15 persen tidak memberikan pengaruh yang berarti tehadap
pasokan air. Karena itu penggunaan lahan dapat diatur secara
partisipatif sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak
• Sebaliknya perubahan iklim memberikan pengaruh yang nyata,
khususnya pada musim kemarau, baik terhadap AET maupun
SMD.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C., Jarvis, P.G., van Gardingen, P., Fraser, A., 1998. Rainfall
interception loss in unlogged and logged forest areas of Central
Kalimantan, Indonesia. Journal of Hydrology 206, 237-244.
Bruijnzeel, L.A., Wiersum, K.F., 1987. Rainfall interception by a
young Acacia auriculiformis (A Cunn) plantation forest in West
Java, Indonesia: application of Gash’s analytical model. Hydrol.
Proc. 1, 309–319.Burt TP, Shahgedanova M. 1998. An historical
record of evapotranspiration losses since 1815 calculated using
long term observations from the Radcliffe Meteorological
Station , Oxford, England. J.Hydrol.205:101-111.
Doorenbos J, Pruitt WO. 1975. Guidelines for Predicting Crop Water
Requirements. FAO, Rome.
Gash, J.H.C and J.B. Stewart. 1977. The evaporation from Thetford
forest during 1975. J. Hydrol. 35:385-396
Gash, J.H.C., I.R Wright, and C.R. Lloyd. 1980. Comparative
estimates of interception loss from three coniferous forests in
Great Britain. J. Hydrol. 48:89-105.
Holder, C.D., 2004. Rainfall interception and fog precipitation in a
tropical montane cloud forest of Guatemala. Forest Ecology
and Management 190, 373-384.

| 108 |
Peranan Vegetasi Hutan.....(Daniel Murdyarso dan Sofyan Kurnianto)
Jackson, I.J., 1975. Relationships between rainfall parameters and
interception by tropical forest. Journal of Hydrology 24, 215-
238.
Manokaran, N. 1979. Streamflow, throughfall and rainfall
interception in a lowland tropical forest in Peninsular Malaysia.
Malay. Forester 42:174-201.
Murdiyarso, D. 1985. Fprest Transpiration and Evaporation. PhD
Thesis. Department of Meteorology University of Reading,
UK.
Ubarana, V.N., 1996. Observation and modelling of rainfall
interception loss in two experimental sites in Amazonian
forest. In: Gash, J.H.C., Nobre, C.A., Roberts, J.M., Victoria,
R.L. (Eds.). Amazonian Deforestation and Climate, Wiley,
Chichester, pp.151-162

| 109 |
11. ANALISIS TINGKAT KEKERINGAN SEBAGAI DASAR
DALAM PENGELOLAAN DAS YANG BERHUTAN
DI DAS PROGO1
Oleh :
Sudibyakto2

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo dapat dibagi kedalam beberapa Sub
DAS yaitu Sub DAS Progo Hulu, Sub DAS Tangsi, Sub DAS Elo, Sub
DAS Blongkeng, dan Sub DAS Progo Hilir. Wilayah DAS Progo cukup
bervariasi dalam hal topografi, satuan geologi dan geomorfologi, hidrologi, jenis
tanah, tipe penggunaan lahan (termasuk hutan), dan tipe curah hujan (iklim).,
sehingga karakteristik fisik tersebut diharapkan berpengaruh terhadap
keragaman nilai indeks kekeringan (drought index). Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari karakteristik hujan dan hubungannya dengan tingkat
kekeringan di DAS baik secara spasial maupun temporal untuk dijadikan
sebagai dasar pengelolaan DAS. Pengaruh hutan terhadap neraca air dan
indeks kekeringan serta mitigasinya menjadi tujuan yang kedua. Metode yang
digunakan dengan menggunakan pendekatan "spasio-temporal
hidrometeorological water balance". Indeks kekeringan dihitung dengan
rumus Thornthwaite. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola indeks
kekeringan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor curah hujan, tipe iklim, dan
kemampuan tanah memegang air (soil water holding capacity), dan pengaruh
tataguna lahannya. Hutan terbukti dapat menjaga ketersediaan air atau
timbulnya kekeringan akan mundur dari waktu menurunnya curah hujan.
Perkembangan spasial tingkat kekeringan terutama dimulai dari bagian hilir
dan meluas ke bagian tengah dengan defisit air mencapai 5-70 mm per bulan.
Upaya mitigasi yang dapat dilakukan meliputi mempertahankan fungsi hutan,
pembuatan sumur resapan air hujan, dan kemungkinan pembuatan waduk-
waduk kecil pada lokasi yang tidak rawan longsor.

Kata kunci :Kekeringan, Pengelolaan DAS

-----------------------------
1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007.
2 Fakultas Geografi UGM Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM e-mai :
tsudib@yahoo.com

| 110 |
Analisis Tingkat Kekeringan….(Sudibyakto)

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo seluas 1800 km2 dapat
dibedakan menjadi dua wilayah, yaitu wilayah DAS Progo Hulu
(termasuk wilayah administrasi Jawa Tengah) dan wilayah DAS Progo
Hilir (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Aliran sungai Progo
berasal dari beberapa Sub DAS antara lain Sub DAS Progo Hulu, Sub
DAS Tangsi, Sub DAS Elo, Sub DAS Blongkeng, dan Sub DAS
Progo Hilir.
Dulbahri (1992) mengklasifikasikan iklim di DAS Progo menajdi
tiga mintakat, yaitu tipe iklim tropika basah (Am), iklim tropika basah-
kering (Aw), dan iklim sedang yang lembab (Cw). Iklim Cw hanya
terdapat pada bagian atas pegunungan dengan elevasi di atas 1350 m
di atas permukaan air laut. Daerah di bawah elevasi 1350 m
umumnya bertipe iklim Am dan Aw.
Bahan induk jenis tanah di daerah penelitian sebagian besar dari
bahan vulkanis. Tim Survei Fakultas Geografi UGM (1992)
mendapatkan jenis tanahnya adalah Aluvial, Latosol, Andosol,
Grumusol, Regosol, dan Litisol. Tipe penggunaan lahan umumnya
meliputi pertanian lahan kering (tegalan), perkebunan, hutan, Latosol,
Andosol, Grumusol, Regosol, dan Litisol. Tipe penggunaan lahan
umumnya meliputi pertanian lahan kering (tegalan), perkebunan,
hutan, permukiman, sawah, dan sebagian kecil berupa tanah kosong
(semak). Perbedaan antara jenis tanah dan jenis lahan penggunaan
akan mempengaruhi perbedaan kapasitas tanah menahan air.
Atas dasar keragaman kondisi biofisik daerah penelitian tersebut,
maka timbul pertanyaan bagaimanakah sebaran ruang dan waktu
indeks kekurangan air dalam tanah (soil moisture deficit). Bagaimana pula
pengaruh dari kondisi DAS terhadap timbulnya indeks kekeringan
baik secara meteorologist dan hidrologis.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mempelajari karakteristik
hujan dan pengaruhnya terhadap sebaran indeks kekeringan, dan (2)
mengetahui pengaruh kondisi biofisik DAS (hutan) terhadap
timbulnya kekeringan baik secara meteorologis maupun hidrologis.
Kegunaan penelitian antara lain dapat menunjukkan
perkembangan nilai (indeks) kekeringan baik secara spasial maupun
temporal dan dapat dipilih upaya-upaya mitigasinya.

| 111 |
PROSIDING Worksho, 2009: 110-115

II. TINJAUAN PUSTAKA


Sudibyakto (1985) dalam penelitiannya tentang indeks
kekeringan metode Palmer di daerah Kedu Selatan Jawa Tengah
menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kekeringan
adalah ketidakmampuan tanah untuk menahan air yang berasal dari
curah hujan untuk jangka waktu tertentu. Kemampuan tanah
menahan air menurut Thornthwaite-Mather sangat ditentukan oleh
jenis tanah (tekstur) dan jenis vegetasi (kedalaman zone perakaran).
Vegetasi yang jenisnya sama bila tumbuh pada jenis tanah yang
berbeda akan mempunyai kemampuan memegang air yang berbeda
pula. Perbedaan faktor tersebut akan menimbulkan perbedaan tingkat
kekeringan.
ILACO (1981) mengemukakan bahwa besarnya evaporasi dan
evapotranspirasi sangat besar dalam menjaga keseimbangan air dalam
tanah. Indeks kebasahan (moisture index) dihitung dengan rumus :
Im = (100s - 60 d) / n dalam %

Adapun s : lengas tanah (soil moisture surplus)


d : kekurangan lengas tanah (soil moisture deficiency)
n : kebutuhan air untuk evapotranspirasi

Dalam rumus tersebut, nilai-nilai s, d, dan n merupakan nilai total


tahunan, dan n dihitung berdasarkan data evapotranspirasi bulanan
yang dihitung dengan rumus Thornthwaite. Apabila nilai Im = 0,
maka akan ada dua kemungkinan, yaitu :
- kondisi lembab/basah (humid), jika Im > 0, atau s > 0.6d
- kondisi kering (arid), jika Im < 0, atau s < 0.6 d

Dalam penelitian ini nilai yang digunakan adalah Indeks Kekeringan


(Ia), selanjutnya dibuat kriteria sebagai berikut.
-tidak terjadi kekringan jika nilai Ia < 16.7%

-kekeringan sedang, jika nilai Ia antara 16.7 % hingga 33.3%


-kekeringan berat, jika nilai Ia > 33.3%.
Landasan Teori
Atas dasar tinjauan pustaka di atas dapat disusun landasan teori
sebagai berikut. Keragaman kondisi biogeofisik wilayah, akan
menunjukkan perbedaan indeks kekeringan menurut ruang dan waktu
meskipun nilai curah hujannya kurang lebih sama. Nilai kapasitas
tanah memegang air sangat penting dalam mengatasi timbulnya
| 112 |
Analisis Tingkat Kekeringan….(Sudibyakto)

kekeringan di suatu wilayah DAS. Jadi peranan jenis vegetasi


termasuk hutan yang mempunyai kedalaman zone perakaran cukup
dalam sangat penting dalam upaya mengatasi kekeringan di DAS.
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan secara bertahap. Tahap awal adalah
pengumpulan dan pengolahan data sekunder (data curah hujan rata-
rata bulanan, dan data iklim) dan analisis peta topografi untuk
membatasi batas DAS dan Sub DAS, peta penggunaan lahan, dan
peta jenis tanah yang berskala sama yaitu 1 : 100.000. Sumber data
curah hujan dan data iklim dari BMG (Badan Meteorologi dan
Geofisika) dengan lama pencatatan 15 tahun hingga ada yang
mencapai 30 tahun. Analisis neraca air dilakukan dengan
menggunakan program "WTRBLN1", metode Thornthwaite
digunakan untuk menghitung evapotranspirasi, dan perhitungan
"water holding capacity". Penggambaran peta sebaran indeks kekeringan
menggunakan cara interpolasi linier. Analisis spasial dan ekologikal
juga dilakukan untuk menentukan faktor-faktor biogeofisik yang
kemungkinan berpengaruh terhadap timbulnya kekeringan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik curah hujan
Sifat hujan rata-rata bulanan dari 23 stasiun hujan manual
menunjukan bahwa semakin tinggi elevasinya makin tinggi pula curah
hujan, namun tidak semua lokasi konsisten dengan pernyataan ini, hal
ini didukung dengan nilai koefisien korelasi hanya 0,5. Hal ini tentu
dipengaruhi juga oleh faktor orientasi lereng dan karakteristik
hujannya (intensitas-durasi-tebal hujan). Curah hujan rata-rata
tahunan bervariasi dari 2198 mm /tahun di Sentolo (Sub DAS Progo
Hilir) hingga 4075 mm/tahun dijumpai di stasiun Kaloran (Sub DAS
Progo Hulu). Intensitas hujan bervariasi dari 10 hingga 25 mm/hari,
namun intensitas hujan per jam sulit dianalisis.
Neraca air
Neraca air di wilayah pegunungan vulkanik mempunyai nilai
evapotranspirasi potensial rendah sekitar 60 - 100 mm/bulan,
sedangkan di daerah dataran aluvial dan dataran kaki vulkan berkisar
antara 100-120 mm/bulan. Nilai kapasitas tanah menahan air juga
bervariasi dari 100 mm pada tanah bertekstur pasiran hinggan 250-
280 mm pada tanah bertekstur lempung sampai liat. Defisit air
umunya terjadi mulai bulan Mei hingga mencapai puncak defisit pada
bulan September dan Oktober. Defisit air terbesar mencapai 100 -
| 113 |
PROSIDING Worksho, 2009: 110-115

150 mm/bulan dan umumnya pada daerah dataran rendah. Jenis


tanah Litosol yang mempunyai kedalaman solum Sangay tipis,
sehingga tidak mampu menahan air dalam jumlah yang memadai.
Indeks kekeringan
Nilai indeks kekeringan ditentukan berdasarkan perbandingan
antara déficit air dan evapotranspirasi potensial. Untuk mengetahui
variasi nilai indeks kekeringan (Ia) dari waktu ke waktu, telah
dilakukan perhitungan terhadap data rata-rata bulanan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa déficit air mulai terjadi selama 5-6
bulan mulai Mei hinggá September/Oktober. Pada bulan Mei
kekeringan hanya terjadi di daerah Katerban dan Sentolo dengan nilai
Ia antara 8-16% (termasuk sedang). Bila dicermati maka ada wilayah-
wilayah yang kondisi DAS nya masih cukup baik tataguna hutannya
akan menyebabkan kemunduran waktu terjadinya kekeringan. Metode
ini tentunya dapat dijadikan salah satu indikator kondisi DAS kritis
hidrologis, selain indikator-indikator kekritisan DAS yang selama ini
telah disepakati. Pemantauan akan terjadinya kekeringan juga dapat
dilakukan bila tersedia sistem informasi kekeringan secara spasial
maupun temporal, meskipun masih menggunakan data rata-rata
bulanan. Verifikasi data indeks kekeringan dapat dilakukan dengan
menggunakan data debit sungai maupun ada tidaknya kekurangan air
pada lahan-lahan sawah dan kebutuhan air domestik di wilayah studi.
Upaya mitigasi
Kekeringan di daerah penelitian dimulai bulan Mei dan
berakhir Oktober dengan puncak kekeringan terjadi di bulanm
Agustus dan bahkan September. Kekeringan muncul karena beberapa
faktor antara lain berkurangnya curah hujan, ketidakmampuan jenis
tanah menahan air dalam jumlah yang cukup untuk menutup
kebutuhan evapotranspirasi. Atas dasar itu, maka berbagai upaya
mitigasi bencana kekeringan dapat dilakukan dengan alternatif,
misalnya memperbaiki teknik konservasi tanah dan air, membangun
sumur resapan pada lahan permukiman, pembuatan waduk-waduk
kecil pada lahan yang tidak rawan longsor, dan mitigasi secara non-
engineering seperti penegakan aturan perubahan fungsi lahan dan
sebagainya.
V. KESIMPULAN
Wilayah DAS Progo secara hidrometeorologis dapat dibedakan
menjadi tiga mintakat kekeringan, yaitu zone kekeringan ringan,
sedang dan tinggi. Variasi nilai Ia (indeks kekeringan) selain
| 114 |
Analisis Tingkat Kekeringan….(Sudibyakto)

ditentukan oleh curah hujan, juga variasi dari nilai evapotranspirasi,


kapasitas tanah menahan air, dan jenis penggunaan lahan. Secara
umum, daerah penelitian dalam jangka panjang tidak mengalami
defisit air (kekeringan) yang berarti terutama pada Sub DAS hulu.
Namun terjadinya kekeringan akan muncul bilamana kondisi Sub
DAS telah mengalami degradasi lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1995. Data Aliran Sungai-sungai di Jawa Tengah. Dinas


Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Tengah.
Dulbahri. 1992. Pemanfaatan Foto Udara Inframerah Berwarna
untuk Kajian Agihan dan Pemetaan Air Tanah di Daerah
Pengaliran Sungai Progo. Disertasi. Fakultas Geografi UGM,
Yogyakarta.
Guttman, N.B., 1991: A sensitivity analysis of the Palmer Hydrologic
Drought Index. Water Resour. Bull., 27, 797-807.
Guttman, N.B., 1998: Comparing the Palmer Drought Index and the
Standardized Precipitation Index. J. Amer. Water Resour.
Assoc., 34, 113-121.
http://www.drought.noaa.gov/palmer.html. Palmer Drought
Severity Index. 2007. NOAA Drought Information Center.
ILACO. 1981. Agricultural Compendium for Rural Development in
the Tropic and Sub Tropic. Elsevier, Amsterdam.
Sudibyakto. 1985. Evaluasi Kekeirngan dengan Menggunakan
Indeks Palmer di Daerah Kedu Selatan, Jawa Tengah. Tesis.
Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor.
Sudibyakto. 1991. Analisis Sifat-sifat Hujan dan Pengaruhnya
terhadap Respons Hidrologi DAS pada berbagai Sub DAS
yang Berbeda di DAS Kali Konto, Jawa Timur. Disertasi.
Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor.
Tim Fakultas Geografi UGM. 1992. Inventarisasi Data Fisik DAS
Progo. Ditjen RRL, Departemen Kehutanan, Jakarta.

| 115 |
12. SUMBANGAN HUTAN TERHADAP HASIL AIR1
Oleh:

Sigit Hardwinarto2

ABSTRAK

Vegetasi hutan telah dikenal salah satunya dapat menyumbang hasil air.
Namun keberadaan hutan dewasa ini semakin terancam potensi dan fungsinya,
antara lain oleh laju pertambahan penduduk dan dinamika pembangunan.
Kondisi ini tentu dapat mempengaruhi hasil air dari kawasan hutan. Bahkan
penelitian/kajian yang terkait dengan sumbangan hutan terhadap hasil air
masih terbatas dan relatif sedikit bila dibandingkan dengan keragaman jenis
vegetasi dan luasan hutan di Indonesia. Dalam makalah ini hanya bisa
menyajikan beberapa data yang terbatas pada beberapa daerah, terutama data
dari daerah propinsi Kalimantan Timur. Secara umum sumbangan hasil air dari
beberapa kawasan hutan relatif berbeda, karena dibatasi oleh faktor geografis,
biogeofisik dan iklim yang relatif beragam. Namun demikian, sebagai contoh
sumbangan aliran permukaan dari beberapa jenis vegetasi/hutan seperti yang
terjadi di wilayah Kalimantan Timur menunjukkan bahwa yang memiliki nilai
persentase aliran permukaan terhadap curah hujan dari yang kecil sampai besar
secara berurutan yaitu jenis penutupan vegetasi (cover crops), semak belukar,
alang-alang, hutan tanaman berumur muda, ladang pertanian semusim, dan
hutan alam. Sedangkan sumbangan hasil air dari DAS berhutan yang memiliki
fluktuasi aliran air dari yang rendah sampai tinggi secara berurutan yaitu
kawasan peruntukan Hutan Lindung, Pengusahaan Hutan Alam Produksi
(HPH), Pemasok Air Waduk, Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI),
serta Kombinasi Peruntukan seperti HPH, HTI, Taman Nasional,
Perkebunan, Pertambangan dan lain-lain. Selain itu, ada kemungkinan
kecenderungan menurunnya nilai persentase luasan hutan terhadap luasan DAS
dapat mempengaruhi penurunan kualitas air.

Kata kunci : Hutan, Hasil Air


____________________________________
1 Makalah pada Workshop : Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
2 Staf Pengajar Lab. Konservasi Tanah dan Air, Fak. Kehutanan UNMUL dan

Peneliti pada Pusat Penelitian Sumberdaya Air (PPSA) – LEMLIT, UNMUL,


Samarinda., Alamat : Kampus Gunung Kelua, Jl. Kuaro I / 5, Kotak Pos 1068,
Samarinda 75119, Kalimantan Timur Telepon: (0541) 741118, 741797 Faks.: (0541)
747479, 732870

| 116 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)

I. PENDAHULUAN
Vegetasi hutan telah dikenal salah satunya dapat menyumbang
hasil air. Namun demikian, seiring dengan percepatan pertambahan
penduduk dan dinamika pembangunan, keberadaan hutan semakin
terancam potensi dan fungsinya, antara lain diakibatkan oleh ancaman
konversi kawasan hutan untuk penggunaan lahan lainnya, kegiatan
pembalakan hutan (logging) yang berlebihan, perambahan kawasan
hutan dan pencurian kayu secara illegal (illegal logging) yang semakin
marak dewasa ini serta kebakaran hutan yang terjadi secara periodik.
Degradasi hutan juga dianggap sebagai kontributor terjadinya bencana
banjir.
Sebenarnya sampai seberapa besar sumbangan/kontribusi hutan
terhadap hasil air perlu dikaji secara seksama. Namun demikian,
sampai saat ini penelitian/kajian yang berkaitan dengan sumbangan
hutan terhadap hasil air masih terbatas atau relatif sedikit di negara
kita. Padahal tipe dan jenis vegetasi hutan di Indonesia relatif beragam
dan relatif luas kawasannya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan
ketersediaan dan akurasi data yang terkait dirasa masih terbatas.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam makalah ini hanya akan
disajikan beberapa data yang terbatas pada beberapa daerah, bahkan
sebagai pembanding juga merujuk hasil penelitian dari negara lain.
Secara umum, sumbangan hasil air dari beberapa kawasan hutan
relatif berbeda, karena dibatasi oleh faktor geografis, biogeofisik
dan iklim yang relatif beragam. Oleh karena itu untuk memberikan
gambaran atau pembanding mengenai sumbangan hutan terhadap
hasil air dalam makalah ini diambilkan contoh terutama dari kondisi
hutan dan penggunaan lahan lainnya yang terkait di wilayah propinsi
Kalimantan Timur. Selain itu, parameter hasil air yang dikemukakan
terbatas pada aliran permukaan (surface runoff) dan aliran air (streamflow),
serta kualitas air.
Tujuan makalah ini adalah untuk menyumbangkan bahan
pemikiran mengenai sumbangan hutan terhadap hasil air, baik berupa
nilai aliran permukaan (surface runoff), aliran air (streamflow) dan kualitas
air, model pengelolaan hutan sebagai penghasil air dan kebutuhan
riset peran hutan dalam pasokan air, terutama yang terdapat di
wilayah hutan lembab tropis.

| 117 |
PROSIDING Workshop, 2009: 116-135

II. PENGARUH HUTAN TERHADAP ALIRAN AIR


Kehilangan sebagian besar air dari kawasan hutan oleh
evapotranspirasi dapat mengurangi ketersediaan aliran air (streamflow).
Penelitian jangka panjang di beberapa negara telah menunjukkan
bahwa sesudah penebangan hutan dapat meningkatkan total hasil air
(water yield) (Stadtmüller, 1989). Selain itu, gambaran pengaruh
penebangan hutan dan pertumbuhan kembali hutan terhadap aliran
air disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Pengaruh Penebangan dan Pertumbuhan Kembali Hutan terhadap Aliran


Air (Hibbert, 1965 dalam Sopper, W.E. and H.W. Lull eds. dalam
Soemarwoto,1991).
Gambar 1 memperlihatkan bahwa segera setelah penebangan
hutan pada tahun 1938 – 39 aliran air naik dengan tajam, kemudian
dengan pertumbuhan kembali hutan, aliran air turun seiring dengan

| 118 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
pertumbuhan kembali, pada tahun 1963 hutan ditebang lagi dan aliran
air naik lagi dengan tajam (Soemarwoto, 1991).
Gambaran sebagian besar total aliran air yang dihasilkan oleh
aliran air cepat dapat dilihat pada Gambar 2.

35
Lahan Pertanian
30
Lahan Hutan
Distribusi Aliran Air (%)

25

20

15

10

0
0 10 20 30 40 50 60 70
Interval Waktu (m enit)
Gambar 2. Distribusi Aliran Air Setelah Turun Curah Hujan Lebat pada Suatu DAS
yang Tertutup oleh Hutan dan Setelah Dikonversi Menjadi Lahan
Pertanian (Stadtmüller, 1989)
Gambar 2 memperlihatkan bahwa aliran air puncak pada lahan
pertanian relatif tinggi yang terjadi segera setelah mulai turun hujan
lebat, sementara itu aliran air yang terjadi pada lahan hutan relatif
masih rendah dan naik lebih lambat bila dibandingkan dengan lahan
pertanian. Aliran air yang dihasilkan oleh curah hujan lebat pada lahan
hutan di suatu DAS, diantaranya dipengaruhi oleh jenis tanah dari
lahan berhutan terhadap hasil proses laju infiltrasi, kapasitas
retensi/penyimpanan air dan perkolasi yang mengisi cadangan air
tanah secara kontinyu. Dengan demikian aliran air dari DAS berhutan
berkecenderung dapat menghasilkan puncak limpasan air yang relatif
rendah dan variasi limpasan air yang relatif kurang berfluktuatif, serta
dapat meningkatkan mutu dari kualitas air (Stadtmüller, 1989).
Gambaran pengaruh beberapa jenis hutan terhadap aliran air dari
berbagai banyak percobaan dengan berbagai jenis vegetasi di daerah
iklim sedang disajikan pada Gambar 3.

| 119 |
PROSIDING Workshop, 2009: 116-135

Gambar 3 memperlihatkan pengaruh beberapa jenis hutan


terhadap aliran air pada umumnya dapat dinyatakan bahwa setiap
pengurangan 10% dalam luasnya. Hutan konifer dan Eucalyptus
menambah aliran air dengan 40 mm/tahun, hutan kayu keras yang
meranggas dengan 25 mm/tahun, serta hutan belukar dan padang
rumput dengan 10 mm/tahun. Dari hasil penelitian ini diketahui
bahwa hutan konifer mempunyai pengaruh terbesar terhadap aliran
air, disusul oleh hutan berdaun lebar dan terkecil pada hutan belukar,
sedangkan di daerah tropik kenaikan maksimum aliran air ialah 4,5%
mm/tahun untuk setiap 1% pengurangan luas hutan (Soemarwoto,
1991).

(mm)

Gambar 3. Pengaruh Beberapa Jenis Hutan terhadap Aliran Air (Soemarwoto, 1991)

III. JENIS PENUTUPAN LAHAN/VEGETASI DAN


ALIRAN PERMUKAAN

Gambaran pengaruh beberapa jenis penutupan lahan/vegetasi


yang menghasilkan nilai aliran permukaan (surface runoff) seperti yang
terjadi di wilayah Kalimantan Timur disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 memperlihatkan bahwa nilai aliran permukaan relatif
agak bervariasi, diantaranya dipengaruhi oleh jenis penutupan
lahan/vegetasi dan perlakuan kegiatan, juga kondisi biofisik lahan
setempat seperti jenis tanah, kelerengan dan curah hujan. Tabel 1 juga
menunjukkan nilai persentase aliran permukaan dari beberapa jenis
penutupan lahan/vegetasi sebagai berikut:

| 120 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
1). Pada hutan alam lembab tropis yang baru dilakukan
penebangan dengan sistem TPTI nilai persentase aliran
permukaan meningkat dari 11,1% menjadi 27,5%;
2). Pada HTI umur 6 bulan dan 1 tahun (jenis Gmelina arborea
Roxb., Eucalyptus deglupta Blume dan Acacia mangium Willd.)
diperoleh nilai persentase aliran permukaan sekitar 1,3%;
3). Pada penanaman campuran umur 6 bulan pada lahan pasca
kebakaran hutan diperoleh nilai persentase aliran permukaan
yang relatif mendekati nilai persentase aliran permukaan pada
ladang tanaman semusim (4%);
4). Pada areal revegetasi pasca tambang batu bara dengan tanaman
Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Fosberg) diperoleh nilai
aliran permukaan yang semakin mengecil dari tanaman yang
berumur 2 tahun sampai berumur 6 tahun;
5). Pada jenis Cover Crops umur 4 bulan seperti Pueraria javanica,
Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides diperoleh nilai
persentase aliran permukaan yang relatif kecil berkisar antara
0,5 – 0,7%, juga pada penutupan lahan oleh semak belukar
sekitar 0,5% dan penutupan lahan oleh alang-alang sekitar
1,6%.
6). Pada areal revegetasi pasca tambang batu bara dengan tanaman
Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Fosberg) diperoleh nilai
aliran permukaan yang semakin mengecil dari tanaman yang
berumur 2 tahun sampai berumur 6 tahun;
7). Pada jenis Cover Crops umur 4 bulan seperti Pueraria javanica,
Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides diperoleh nilai
persentase aliran permukaan yang relatif kecil berkisar antara
0,5 – 0,7%, juga pada penutupan lahan oleh semak belukar
sekitar 0,5% dan penutupan lahan oleh alang-alang sekitar
1,6%.

Tabel 1. Pengaruh Jenis Penutupan Lahan/Vegetasi terhadap Nilai Aliran


Permukaan di Wilayah Kalimantan Timur
Aliran
Curah
Kelere- Perm. SRO
Jenis Vegetasi dan Jenis Hujan
No
Kombinasi Tanaman Tanah
ngan
Tahunan
Tahunan P
(%) SRO (%)
P (mm)
(mm)
1. Hutan Alam Lembab
Tropis
a. Belum ditebang Ultisol/ 30 2.716 302,2 11,1
Podzolik
b. Baru ditebang Ultisol/ 30 2.716 747,6 27,5
dengan sistem TPTI Podzolik
| 121 |
PROSIDING Workshop, 2009: 116-135
Aliran
Curah
Kelere- Perm. SRO
Jenis Vegetasi dan Jenis Hujan
No ngan
Tahunan
Tahunan P
Kombinasi Tanaman Tanah
(%) SRO (%)
P (mm)
(mm)
2. HTI umur 6 bulan dan 1 Ultisol/ 15 2.344 31,5 1,3
tahun (Gmelina arborea Podzolik
Roxb., Eucalyptus deglupta
Blume dan Acacia
mangium Willd.)

3. Penanaman Campuran Pasca Kebakaran Hutan


1.1.1.1 a. Shorea sp. & Ultisol/ 28 2.211 106,1 4,8
Soybean umur Podzolik
6 bulan
b. Shorea sp. & Paddy Ultisol/ 28 2.211 90,3 4,1
umur 6 bulan Podzolik
1.1.1.2c. Rubber & Ultisol/ 28 2.211 82,3 3,7
Corn umur 6 Podzolik
bulan
4. Ladang Tanaman Ultisol/ 30 2.583 104,0 4,0
Semusim Podzolik
5. Revegetasi Pasca Tambang Batu Bara
a. Sengon 2 tahun Ultisol/ 13 2.300 90,1 3,9
Podzolik
b. Sengon 4 tahun Ultisol/ 13 2.300 65,3 2,8
Podzolik
c. Sengon 6 tahun Ultisol/ 13 2.300 43,0 1,9
Podzolik
6. Jenis Cover Crops
a. Pueraria javanica umur Ultisol/ 10 2.300 11,9 0,5
4 bulan Podzolik
b. Centrosema pubescens Ultisol/ 10 2.300 14,1 0,6
umur 4 bulan Podzolik
c. Calopogonium mucunoides Ultisol/ 10 2.300 15,8 0,7
umur 4 bulan Podzolik
7. Semak Belukar Ultisol/ 30 2.583 13,2 0,5
Podzolik
8. Alang-alang Ultisol/ 30 2.583 40,9 1,6
Podzolik

8). Pada areal revegetasi pasca tambang batu bara dengan tanaman
Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Fosberg) diperoleh nilai
aliran permukaan yang semakin mengecil dari tanaman yang
berumur 2 tahun sampai berumur 6 tahun;
9). Pada jenis Cover Crops umur 4 bulan seperti Pueraria javanica,
Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides diperoleh nilai
| 122 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
persentase aliran permukaan yang relatif kecil berkisar antara
0,5 – 0,7%, juga pada penutupan lahan oleh semak belukar
sekitar 0,5% dan penutupan lahan oleh alang-alang sekitar
1,6%.
Penelitian lain yang berkaitan dengan aliran permukaan juga
dilakukan oleh Soelistyari dan Utomo (2002) dalam Priyono (2002)
tentang pengaruh pemeliharaan pada hutan tanaman pinus terhadap
evapotranspirasi dan aliran permukaan, menunjukkan bahwa nilai
persentase aliran permukaan pada hutan pinus sekitar 3,18%. Selain
itu, penelitian tentang efek faktor pengelolaan tanaman terhadap
aliran permukaan yang dilakukan pada hutan rakyat kopi dan sengon
dari keempat Sub DAS di Wonosobo, Jawa Tengah (Supangat, et al.,
2001) menunjukkan bahwa nilai persentase aliran permukaan dari
yang kecil sampai besar pada keempat Sub DAS secara berurutan
yaitu Sub DAS dengan kombinasi tanaman sengon tua + kopi muda
(peremajaan), teras bangku dan tanpa tanaman semusim (0,8%), Sub
DAS dengan kombinasi tanaman Sengon tua + kopi tua, teras
bangku, dan tanaman semusim (26,0%), Sub DAS dengan kombinasi
tanaman sengon muda + kopi muda, teras gulud dan tanpa tanaman
semusim (36,9%), serta Sub DAS dengan kombinasi tanaman
semusim dan teras bangku (tanpa penguat teras) dengan jenis
tanaman jagung dan ketela pohon (71,2%). Penelitian di Southwest
Amerika pada hutan pinus ponderosa diperoleh hasil air rataan
tahunan sebesar 15 – 18% dari curah hujan tahunan (Schumann,
2005).
IV. KAWASAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
BERHUTAN DAN HASIL AIR
A. Kuantitas Hasil Air
Kawasan hutan juga dapat mempengaruhi dan menyumbang
kuantitas hasil air seperti debit aliran air sungai yang terjadi pada suatu
DAS, sedangkan untuk mengetahui nilai fluktuasi debit aliran air
sungai dapat didekati dengan Indeks Resim Air (IRA) yang
merupakan nilai atau nisbah perbandingan antara debit limpasan air
sungai maksimum (Qmaks) dengan debit limpasan air minimum
(Qmin) pada suatu DAS selama periode tertentu.
Kategori IRA pada suatu DAS diantaranya dapat ditunjukkan
oleh klasifikasi nilai standar skala dan nilai rentangan dari IRA
(Anonim, 1988) seperti tersaji pada Tabel 2.

| 123 |
PROSIDING Workshop, 2009: 116-135
Tabel 2. Klasifikasi Nilai Standar Skala dan Nilai Rentangan dari Indeks Resim Air
Parameter Nilai dan Rentangan
Sangat Baik Sdang Jelek Sangat
Baik Jelek
Indeks Resim 1,00<1,25 1,25<1,66 1,66<2,50 2,50 < 5 5
Air
(Qmaks/Qmin)
Sumber: Anonim, 1988
Sebagai gambaran nilai fluktuasi debit aliran air sungai yang
dihasilkan oleh beberapa DAS berhutan di hutan lembab tropis
seperti yang terdapat di wilayah Kalimantan Timur sesuai dengan
jenis peruntukannya terhadap nilai IRA disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 memperlihatkan bahwa nilai IRA pada beberapa DAS
berhutan dari yang rendah sampai tinggi secara berurutan ditunjukkan
oleh jenis peruntukan hutan lindung (DAS Wain) dengan IRA = 2,4,
jenis peruntukan pengusahaan hutan alam produksi (HPH) pada DAS
Kahala (IRA = 5,6) dan DAS Enggelam (IRA = 5,9), jenis peruntukan
pemasok air waduk pada DAS Manggar IRA = 6,9 dan DAS
Karangmumus dengan IRA = 7,4, jenis peruntukan pengusahaan
hutan tanaman industri (HTI) pada DAS Tinjew dengan IRA = 13,1,
dan beberapa kombinasi jenis peruntukan seperti HPH, HTI, taman
nasional, perkebunan, pertambangan dan lain-lain pada DAS Sengata
dengan IRA = 23,3.
Penelitian untuk mendapatkan perbandingan besarnya debit
maksimum dan debit minimum selama 34 bulan antara tahun 1995
s/d 1998 dalam setiap tahun dari DAS yang berhutan Pinus (Sub
DAS Cibangban) dan DAS yang tidak berhutan Pinus (Sub DAS
Cikawung) juga dilakukan oleh IPB di KPH Tasikmalaya, Jawa Barat
(Mulyana,2002 dalam Priyono, 2002). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tingkat fluktuasi debit antara Sub DAS berhutan
dan tidak berhutan sangat tinggi sekali perbedaannya, yaitu nilai
Qmaks/Qmin pada DAS yang berhutan Pinus (Sub DAS Cibangban)
dari tahun 1995 s/d 1998 secara berurutan yaitu 6,7; 4,1; 9,8 dan 3,9,
sedangkan pada DAS yang tidak berhutan pinus (Sub DAS
Cikawung) yaitu secara berurutan yaitu 12,9; 5,9; 69,4 dan 3,2. Oleh
karena itu apabila didasarkan perbedaan nilai Qmaks/Qmin pada
kedua DAS tersebut dapat menunjukkan bahwa tingkat fluktuasi
debit pada DAS yang berhutan Pinus relatif lebih kecil bila
dibandingkan dengan DAS yang tidak berhutan Pinus.

| 124 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
Apabila didasarkan pada klasifikasi nilai standar skala dan nilai
rentangan dari IRA (Tabel 3), maka jenis peruntukan hutan lindung
(DAS Wain) termasuk kategori sedang (nilai IRA antara 1,66 – < 2,50,
sedangkan jenis-jenis peruntukan kawasan lainnya termasuk kategori
sangat jelek (nilai IRA  5). Perbedaan nilai IRA ini sacara umum
diantaranya dapat dipengaruhi oleh intensitas curah hujan yang turun
dan pelaksanaan kegiatan dari berbagai jenis peruntukan kawasan yang
secara simultan dapat berdampak terhadap pengurangan tutupan
kawasan hutan, perluasan kawasan semak dan belukar serta lahan
terbuka yang terjadi pada suatu DAS, selain itu juga ditopang oleh
kondisi geofisik pada masing-masing DAS tersebut yang secara rinci
seperti disajikan pada Tabel 4.
Tabel 3. Nilai IRA pada Beberapa Jenis Peruntukan Kawasan DAS Berhutan di
Wilayah Kalimantan Timur

Luas Luas Penutupan Lahan Qmaks Qm IRA


No. Nama Hutan Semak Belukar Lain-lain in
Qmaks
DAS (ha) (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%) (m3/dt) /
(m3/d Qmin
t)

1. Peruntukan Pengusahaan Hutan Alam Produksi (HPH)


a. DAS 82.156 67.208 81,8 10.374 12,6 4.574 5,6 45,4 8,1 5,6
Kahala
b. DAS 47.132 37.988 80,6 5.836 12,4 3.308 7,0 24,9 4,2 5,9
Enggelam
2. Peruntukan Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI)
a. DAS 17.067 14.097 82,6 1.672 9,8 1.298 7,6 19,7 1,5 13,1
Tinjew
3. Peruntukan Hutan Lindung
a. DAS 5.714 4.830 84,5 744 13,0 140 2,5 6,1 2,5 2,4
Wain
4. Peruntukan Pemasok Air Waduk
a. DAS 4.574 142 3,1 2.900 63,4 1.532 33,5 5,5 0,8 6,9
Manggar
b. DAS Kr. 19.041 83 0,4 15.686 82,4 3.272 17,2 30,5 4,1 7,4
Mumus
5. Beberapa Kombinasi Peruntukan seperti HPH, HTI, Taman Nasional, Perkebunan,
Pertambangan dan lain-lain
a. DAS 211.210 118.066 55,9 87.019 41,2 6.12 2,9 230 9,9 23,3
Sengata 5

Tabel 4 menunjukkan bahwa kondisi DAS – DAS tersebut


secara umum memiliki ketinggian kawasan < 1.000 m d.pl. (termasuk
dataran rendah) dengan kelerengan landai sampai
bergelombang/berbukit, jenis tanah didominasi Ultisol (Podsolik
Merah Kuning) yang memiliki karakterisik tekstur dari lempung

| 125 |
PROSIDING Workshop, 2009: 116-135

berliat sampai lempung berpasir, serta mempunyai daya menahan air


yang kurang (RePPProT, 1987), pola jaringan sungai (drainage network
pattern) memiliki jaringan sungai bercirikan pola percabangan pohon
(dendritic pattern) yang karakteristiknya gerakan aliran air sungainya
relatif cepat dari bagian hulu menuju ke hilir atau muara sungai dari
DAS – DAS tersebut. Selain itu, kondisi umum kawasan DAS – DAS
tersebut berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson (1951)
termasuk iklim A dengan nilai perbandingan antara bulan basah dan
bulan kering (Q) antara 0 – 14,3 %, yaitu wilayah hutan hujan tropis
dengan kejadian hujan merata sepanjang tahun, suhu berkisar antara
26 - 29°C dengan rataan sebesar 27,5°C dan kelembaban nisbi
berkisar antara 83% – 85,8% dengan rataan sekitar 84,5%.

Tabel 4. Kondisi Geofisik dan Curah Hujan Tahunan pada DAS – DAS Tersebut
Luas Tinggi Kelereng Pola Curah
No Nama (m) Jenis Jaringan Hujan
DAS (ha) d.p.l. (%) Tanah Sungai Tahunan
Rataan
(mm)
1. DAS 82.156 20 -300  < 8 – 45  Dominasi Dendritik 2.716
Kahala  Dominasi Ultisol
 (8 – 15) (Podsolik
Merah
Kuning)
 Gleisol
 Aluvial
2. DAS 47.132 20 - 300  < 8 – 45  Dominasi Dendritik 2.716
Enggela  Dominasi Ultisol
m (16 – 25)  Gleisol
 Aluvial
3. DAS 17.067 25-150  0 – 15  Dominasi Dendritik 2.500
Tinjew Ultisol
 Kambisol
 Aluvial
4. DAS 5.714 10 – 80  < 8 – 45  Dominasi Dendritik 2.719
Wain  Dominasi Ultisol
 (<8 - 15)  Inceptisol
5. DAS 4.574 10 – 70  < 8 – 45  Dominasi Dendritik 2.583
Manggar  Dominasi Ultisol
 (8 – 15)  Entisol
 Oxisol
6. DAS 19.041 50 -150  < 8 – 45  Dominasi Dendritik 2.023
Karangmu  Dominasi Ultisol
mus (15 – 25)
7. DAS 211.210 10 - 120  < 8 – 45  Dominasi Dendritik 2.196
Sengata  Dominasi Latosol
(25 – 45)  Regosol
 Litosol
 Ultisol

| 126 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
A. Kualitas Hasil Air
Kawasan hutan juga dapat mempengaruhi kualitas hasil air
yang mengalir pada saluran sungai yang terjadi di suatu DAS. Hasil
penelitian kualitas air dari beberapa DAS berhutan yang terdapat di
wilayah Kalimantan Timur dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). DAS Kahala dan DAS Enggelam yang memiliki persentase
luasan hutan secara berurutan yaitu 81,8% dan 80,6%,
diperoleh hasil dari beberapa parameter sifat fisik maupun
kimia untuk kategori kualitas air golongan B secara keseluruhan
memberikan hasil cukup baik dan mengindikasikan berada
dalam batas yang diizinkan/batas toleransi yang diharapkan;
2). DAS Sengata yang memiliki persentase luasan hutan sekitar
55,9%, diperoleh hasil dari beberapa parameter sifat fisik untuk
kategori kualitas air golongan B secara umum memberikan hasil
cukup baik, kecuali parameter TSS dan TDS di muara sungai
Sengata yang memperlihatkan kondisi di atas normal (1.500
mg/l), sedangkan di bagian hulu sungai tersebut masih berada
pada batas yang diharapkan. Hal ini bisa disebabkan oleh
sedimentasi maupun logsoran, sehingga partikel-partikel tanah
sebagian terbawa arus air sungai. Selain itu, padatan tersuspensi
(TSS) masih berada dalam batas yang diizinkan. Sementara itu,
hasil pengukuran parameter-parameter sifat kimia selain DO
secara keseluruhan mengindikasikan berada dalam batas yang
diizinkan/batas toleransi yang diharapkan;
3). DAS Karangmumus yang memiliki persentase luasan hutan
sekitar 1,0% yang kawasan hilirnya merupakan kawasan
pemukiman, secara umum air sungainya hanya memenuhi
syarat untuk perikanan dan peternakan, serta untuk pertanian
dan industri, tetapi tidak memenuhi syarat untuk keperluan
domestik dan bahan baku air minum. Demikian juga parameter
coliforms, ammonia, DO dan kekeruhan tidak memenuhi batas
ambang yang diperbolehkan.
Didasarkan dari contoh ketiga DAS tersebut di atas, dapat
menggambarkan bahwa ada kemungkinan kecenderungan dengan
penurunan persentase luasan hutan pada suatu DAS, akan dapat
mengindikasikan penurunan kualitas air.

| 127 |
PROSIDING Workshop, 2009: 116-135

V. MODEL PENGELOLAAN HUTAN SEBAGAI


PENGHASIL AIR
Model pengelolaan hutan sebagai penghasil air dapat didekati
dengan model pengelolaan hutan yang umumnya terdapat di
Indonesia dengan mempertimbangkan beberapa kriteria seperti
pengelolaan hutan berbasis DAS, fungsi/peruntukan hutan,
identifikasi kondisi kawasan hutan, analisis parameter-parameter yang
terkait dengan pengelolaan hutan dan hasil air, serta evaluasi hasil air
dari kawasan hutan dan kesesuaiannya dengan kriteria pengelolaan
hutan. Gambaran bagan alur model pengelolaan hutan sebagai
penghasil air ini secara rinci disajikan pada Gambar 4.
1. Pengelolaan Hutan Berbasis DAS
 Dalam pengelolaan hutan yang terkait dengan hasil air, secara
spasial/keruangan terdapat keeratan dengan satuan/unit DAS.
Air yang dihasilkan oleh kawasan hutan juga mengalir melalui
jejaring sungai yang terdapat pada suatu DAS. Pendekatan
satuan/unit DAS ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam
pengukuran atau prediksi hasil air dari kawasan hutan, karena
pada suatu DAS ada kemungkinan secara keseluruhan tertutup
oleh kawasan hutan atau kombinasi sebagian kawasan hutan
dengan berbagai penggunaan lahan lainnya. Selain itu,
karakteristik air yang berasal dari curah hujan yang turun pada
suatu wilayah alirannya dibatasi oleh wilayah DAS. Oleh karena
itu, untuk mengetahui hasil air dari suatu kawasan hutan bisa
dilakukan pada satuan wilayah DAS berhutan, sehingga basis unit
DAS dimaksudkan untuk memudahkan dalam pengelolaan hutan
yang terkait dengan hasil air.

| 128 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
DAS Berhutan

Hutan Produksi: Hutan Lindung: Hutan


Hutan Alam Hutan Alam Konservasi:
Hutan Tanaman Hutan Tanaman
Penggunaan Lain Penggunaan Lain

Identifikasi Kondisi:
Manajemen Pengusahaan/Pemanfaatan Hutan
Luasan (Hutan Alam, Hutan Tanaman, Penggunaan Lain)
Geofisik (Topografi, Geologi, Jenis Tanah)
Iklim (Curah Hujan, Suhu, Kelembaban)
Hidrologi (Pola Jaringan Sungai)

Analisis Parameter-parameter:
Sistem Pengelolaan Hutan
Penutupan Vegetasi & Penggunaan Lahan
Karakteristik Tanah/Sistem Lahan
Karakteristik Curah Hujan
Evapotranspirasi dan Infiltrasi/Simpanan Air
Alternatif Tindakan: Tanah
Revisi/Redesain Aliran Air (Streamflow)/Debit Aliran Air
Kawasan
Tindakan Rehabilitasi
Tindakan Konservasi Evaluasi Hasil Air
Perlindungan/ Didasarkan pada Kombinasi Hasil
Pengamanan Analisis Parameter-parameter
Tindakan Lainnya

Sesuai dengan Kriteria Keberhasilan


Pengelolaan Hutan:
Pemanfaatan Hutan/Hasil Hutan Optimal
Keseimbangan Kuantitas Aliran Air
Kelayakan Kualitas Air
Kontinyuitas Hasil Air

Terjamin Kesinambungan
Pengelolaan Hutan sebagai Penghasil Air

Gambar 4. Bagan Alur Model Pengelolaan Hutan sebagai Penghasil


Air
2. Fungsi/Peruntukan Hutan
Merujuk UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada
pasal 6 disebutkan bahwa hutan mempunyai 3 (tiga) fungsi pokok
yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Pada
umumnya hutan yang terdapat pada kawasan hutan konservasi berupa

| 129 |
PROSIDING Workshop, 2009: 116-135

hutan alam, sedangkan pada hutan lindung dan hutan produksi bisa
berupa hutan alam atau hutan tanaman atau kombinasi di antara
hutan alam, hutan tanaman dan penggunaan lainnya.
Sehubungan dengan masing-masing fungsi/peruntukan hutan ini
memilki perbedaan yang mendasar, juga penyusun hutannya berbeda
(hutan alam, hutan tanaman dan penggunaan lainnya), sehingga
model pengelolaannya juga berbeda. Perbedaan fungsi ini akan
mempengaruhi sistem/metode pengelolaannya, yang selanjutnya juga
dapat mempengaruhi perbedaan hasil air. Oleh karena itu, untuk
memudahkan identifikasi, analisis dan evaluasi dalam model
pengelolaan hutan sebagai penghasil air ini, lingkup kawasan kajian
perlu dipisahkan antara kawasan hutan alam, hutan tanaman dan
penggunaan lainnya.
3. Identifikasi Kondisi Kawasan Hutan
Identifikasi kondisi kawasan hutan diantaranya dapat dirinci
sebagai berikut:
 Kondisi manajemen pengusahaan/pemanfaatan hutan, identifikasi
kondisi ini antara lain dapat berupa sistem manajemen yang
diterapkan dalam pengusahaan/ pemanfaatan hutan, baik pada
hutan produksi, hutan lindung maupun hutan konservasi, selain
itu juga kondisi kelembagaan dan sosial ekonomi masyarakat,
serta kebijakan dan peraturan perundangan yang terkait;
 Kondisi luasan hutan alam, hutan tanaman dan penggunaan lainnya,
identifikasi kondisi ini dimaksudkan untuk menopang analisis
hasil air dari masing-masing luasan hutan tersebut, sehingga dapat
diketahui kontribusi air yang dihasilkan oleh masing-masing
luasan hutan tersebut terhadap luasan DAS;
 Kondisi Geofisik (Topografi, Geologi, Jenis Tanah), identifikasi kondisi
ini pada kawasan hutan dapat diperoleh dari peta dasar dan peta
tematik diantaranya Peta Rupa Bumi, Peta Topografi (Kontur),
Peta Geologi dan Jenis Tanah, Peta Sistem Lahan (Reppprot),
Potret Udara dan Citra Landsat/GIS, yang diperlukan untuk
menunjang analisis geofisik kawasan yang berkaitan dengan hasil
air;
 Iklim (Curah Hujan, Suhu, Kelembaban), identifikasi kondisi ini
dapat diperoleh dari Peta Curah Hujan/Data Sekunder Curah
Hujan dan anasir iklim lainnya dari Stasiun BMG terdekat, yang
diperlukan untuk menunjang analisis hubungan antara curah
hujan dengan hasil air yang terjadi di kawasan hutan;

| 130 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
 Kondisi Hidrologi (Pola Jaringan Sungai), identifikasi kondisi ini dapat
dilakukan dari Peta Hidrologi/Peta Jaringan Sungai (Pola
Drainase) pada kawasan hutan/DAS berhutan, yang diperlukan
untuk menunjang analisis aliran air yang mengalir sampai ke
saluran sungai setempat.
4. Analisis Parameter-parameter yang Terkait dengan
Pengelolaan Hutan dan Hasil Air
Analisis parameter-parameter yang terkait dengan
pengelolaan hutan dan hasil air diantaranya dapat dirinci sebagai
berikut:
 Sistem Pengelolaan Hutan, sistem pengelolaan hutan ini dapat
mempengaruhi hasil air, seperti pada hutan alam yang
diperuntukan sebagai hutan produksi misalnya memiliki sistem
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), sedangkan pada hutan
tanaman misalnya pada Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan
Tanaman Rakyat, serta pada kawasan hutan lindung maupun
hutan konservasi memilki sistem pengelolaan tersendiri. Oleh
karena itu, keragaman dari sistem pengelolaan ini juga dapat
mempengaruhi perbedaan hasil air. Sehingga, yang perlu dianalisis
antara lain pengaruh dari penerapan sistem-sistem tersebut pada
suatu kawasan hutan terhadap hasil air;
 Penutupan Vegetasi dan Penggunaan Lahan, jenis-jenis penutupan
vegetasi seperti hutan dan tumbuhan bawah, semak belukar dan
alang-alang, juga penggunaan lahan lainnya seperti untuk jalan,
pemukiman, perkantoran dan pabrik yang sering dijumpai di
suatu kawasan pengelolaan hutan, perlu dianalisis
sumbangan/kontribusi masing-masing terhadap hasil air.
Sehingga, dapat diketahui lebih akurat mengenai kontribusi peran
hutan terhadap hasil air;
 Karakteristik Tanah/Sistem Lahan, karakteristik tanah/sistem lahan
terutama yang terkait dengan mekanisme aliran air di suatu
kawasan hutan perlu dianalisis, karena perbedaan hasil air pada
beberapa kawasan yang memiliki hutan yang sama antara lain juga
dipengaruhi oleh karakateristik tapak (site) tempat tumbuh hutan
tersebut. Selain itu, khususnya pada hutan tanaman dalam
pemilihan jenisnya harus benar-benar memperhatikan kesesuaian
tapak terhadap jenis tanaman (site species matching) dan tujuan
melaksanakan kegiatan penanaman;
 Karakteristik Curah Hujan, curah hujan ini memiliki keterkaitan
yang sangat erat dengan hasil air dari suatu kawasan hutan, karena

| 131 |
PROSIDING Workshop, 2009: 116-135

merupakan asal/sumber utama dari aliran air. Namun demikian,


karakteristik curah hujan ini perlu dianalisis, karena pada beberapa
kawasan yang jenis hutannya sama, tetapi karena karakteristik
curah hujannya berbeda juga dapat mengakibatkan hasil air yang
berbeda.
 Evapotranspirasi dan Infiltrasi/Simpanan Air Tanah, analisis
evapotranspiransi dan infiltrasi/simpanan air tanah ini perlu
dilakukan, karena kebanyakan hasil penelitian menunjukkan
bahwa dari persentase curah hujan yang turun di kawasan hutan
sebagian besar berupa evapotranspirasi, bagian curah hujan yang
lain selain mengalir sebagai aliran permukaan juga meresap ke
dalam tanah melalui infiltrasi yang dapat menambah simpanan air
tanah. Dengan demikian evapotranspiransi dan infiltrasi ini secara
langsung dapat mengurangi aliran permukaan yang merupakan
salah satu pemasok hasil air.
 Aliran Air (Streamflow)/Debit Aliran Air, analisis aliran air ini perlu
dilakukan karena merupakan hasil air (kuantitas dan kualitas) dari
suatu kawasan hutan, yang kuantitas dan kualitasnya sangat
dipengaruhi oleh parameter-parameter seperti tersebut di atas.
Oleh karena itu keserasian hubungan antara parameter-parameter
tersebut terhadap hasil air perlu dijaga atau diupayakan agar
diperoleh keseimbangan dan kontinyuitas aliran air. sesuai dengan
tujuan pemanfaatannya.
5. Evaluasi Hasil Air
Evaluasi hasil air ini didasarkan pada kombinasi hasil analisis
parameter-parameter seperti tersebut di atas dengan
mempertimbangkan kesesuaiannya dengan kriteria keberhasilan
pengelolaan hutan. Kriteria keberhasilan ini antara lain sebagai
berikut:
 Hasil pengelolaan hutan yang berupa pemanfaatan hutan/hasil
hutan dapat diperoleh secara optimal;
 Kuantitas aliran air yang dihasilkan oleh suatu kawasan hutan
seimbang, baik pada periode hujan maupun kemarau;
 Kualitas air yang dihasilkan oleh suatu kawasan hutan tidak
tercemar sehingga layak digunakan sesuai dengan tujuan
pemanfaatannya;
 Kuantitas dan kualitas hasil air terjamin kontinyuitasnya.
Apabila hasil evaluasi hasil air sesuai dengan kriteria tersebut di
atas, maka diharapkan dapat terjamin kesinambungan pengelolaan
hutan sebagai penghasil air. Namun demikian, jika hasil evaluasi hasil

| 132 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
air kurang/tidak sesuai dengan kriteria tersebut di atas, maka perlu
dicarikan solusi/alternatif tindakannya, misalnya berupa revisi/
redesain kawasan hutan, tindakan rehabilitasi, tindakan konservasi,
perlindungan/ pengamanan dan tindakan lainnya. Selanjutnya, setelah
dilakukan beberapa tindakan tersebut, perlu dilakukan analisis ulang
terhadap parameter-parameter yang terkait dengan pengelolaan hutan
dan hasil air, sehingga apabila sesuai dengan kriteria keberhasilan
pengelolaan hutan, maka diharapkan dapat terjamin kesinambungan
pengelolaan hutan sebagai penghasil air.
VI. KEBUTUHAN RISET PERAN HUTAN DALAM
PASOKAN AIR
Sehubungan dengan penelitian khususnya yang berkaitan dengan
peran hutan terhadap pasokan air masih relatif sedikit di negara kita,
sehingga ke depan sangat perlu melakukan penelitian dan
pengembangan penelitian bidang tersebut. Hal ini karena hasil
penelitian ini sangat menunjang dalam penanganan pasokan air, dan
penanganan banjir yang akhir-akhir ini menjadi masalah dan melanda
di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa kebutuhan riset yang
terkait dengan peran hutan dalam pasokan air antara lain dapat dirinci
sebagai berikut:
 Penilaian pengelolaan hutan lestari dengan pertimbangan kriteria
hasil air;
 Penilaian penerapan sistem/metode pengelolaan hutan seperti
TPTI, HTI, Hutan Tanaman Rakyat, Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(RHL), hutan lindung dan hutan konservasi terhadap hasil air;
 Pengaruh perubahan jenis vegetasi hutan terhadap hasil air;
 Penilaian evapotranspirasi, infiltrasi/simpanan air tanah, aliran
permukaan dan hasil air pada berbagai jenis vegetasi hutan;
 Pengaruh konversi hutan/perubahan penutupan lahan terhadap
hasil air;
 Kontribusi berbagai jenis penutupan lahan/penggunaan lahan
terhadap hasil air pada suatu unit DAS;
 Pengaruh karakteristik kondisi DAS dan manipulasi DAS terhadap
hasil air;
 Pengaruh berbagai kondisi hutan dan manipulasi vegetasi hutan
terhadap perubahan iklim (curah hujan);
 Pengembangan pengelolaan hutan dan estimasi hasil air dengan
penggunaan kombinasi hidrologi, geomorfologi, remote sensing
dan SIG.

| 133 |
PROSIDING Workshop, 2009: 116-135

BAB VII. PENUTUP


Dapat disimpulkan secara umum sumbangan hasil air dari
beberapa kawasan hutan relatif berbeda, karena dibatasi oleh faktor
geografis, biogeofisik dan iklim yang relatif beragam. Namun
demikian, sebagai contoh sumbangan aliran permukaan dari beberapa
jenis vegetasi/hutan seperti yang terjadi di wilayah Kalimantan Timur
menunjukkan bahwa yang memiliki nilai persentase aliran permukaan
terhadap curah hujan dari yang kecil sampai besar secara berurutan
yaitu jenis penutupan vegetasi (cover crops), semak belukar, alang-
alang, hutan tanaman berumur muda, ladang pertanian semusim, dan
hutan alam. Sedangkan sumbangan hasil air dari DAS berhutan yang
memiliki fluktuasi aliran air dari yang rendah sampai tinggi secara
berurutan yaitu kawasan peruntukan Hutan Lindung, Pengusahaan
Hutan Alam Produksi (HPH), Pemasok Air Waduk, Pengusahaan
Hutan Tanaman Industri (HTI), serta Kombinasi Peruntukan seperti
HPH, HTI, Taman Nasional, Perkebunan, Pertambangan dan lain-
lain. Selain itu, ada kemungkinan kecenderungan menurunnya nilai
persentase luasan hutan terhadap luasan DAS dapat mempengaruhi
penurunan kualitas air.

DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup. 1988. No. 2/1988 tentang


Baku Mutu Kualitas Lingkungan, Jakarta.
Priyono, C.N.S, 2002. Hutan Pinus dan Hasil Air (Ekstraksi Hasil-
hasil Penelitian tentang Pengaruh Hutan Pinus terhadap Erosi
dan Tata Air yang dilaksanakan oleh UGM, IPB, UNIBRAW
dan BP2TPDAS Surakarta).
RePPProT, 1987. Review of phase I, East and South Kalimantan,
Regional Planning Programme for Transmigration
(RePPProT). Vol. 1, Main report, Annexes 1 and 2, Land
Resources Department/Bina Program, Jakarta.
Schumann, M. 2005. Fuels Management in Ponderosa Pine Forests:
Impacts on Water Yield.Forest Guild Research Center,
Working Paper.
Schmidt, FH and J.H.A Ferguson 1951. Rainfall Type Based on Wet
and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New

| 134 |
Sumbangan Hutan……(Sigit Hardwinarto)
Guinea Verh. No. 42. Jawatan Meteorologi dan Geofisika,
Jakarta.
Soemarwoto, O., 1991. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan
Global. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Stadtmüller, T., 1989. Watershed Management in the Humid Tropics.
German Forestry Report, Samarinda.
Supangat, A.B., T. M. Basuki dan Sukresno, 2001. Efek Faktor
Pengelolaan Tanaman Terhadap Erosi dan Limpasan pada
Hutan Rakyat Kopi dan Sengon di Wonosobo, Jawa Tengah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.

| 135 |
13. NILAI DAN DISTRIBUSI EKONOMI PENGELOLAAN
KAWASAN LINDUNG SEBAGAI PENGATUR TATA AIR:
Kasus di Sub DAS Brantas Hulu1

Oleh:
Kirsfianti L Ginoga2, Sylviani2 dan Nurfatriani2

ABSTRAK

Salah satu peran dan fungsi kawasan lindung seperti hutan lindung adalah
pengatur tata air atau menjaga kualitas dan kesinambungan ketersediaan air
sehingga ada tuntutan agar hutan perlu dikelola dengan baik. Sementara
permasalahan yang berkembang adalah banyaknya pemangku kepentingan yang
terlibat dalam pengelolaan hutan, termasuk tata air. Penelitian yang dilakukan
di Sub DAS Brantas Hulu ini menunjukkan bahwa menurunnya luas tutupan
hutan mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan dan menurunkan aliran
dasar (base flow). Hal ini berimplikasi terhadap kemampuan Sub DAS dalam
menyimpan dan menyerap serta mendistribusikan air hujan yang jatuh sehingga
menyebabkan terjadinya banjir di musim hujan dan kekeringan di musim
kemarau. Secara ekonomi, dengan metode biaya penuh, pengadaan air yang
komersil di Sub DAS Brantas adalah sebesar Rp316,2 milyar/tahun. Dari
total biaya tersebut diperoleh tarif normal untuk Biaya Jasa Pengelolaan Sumber
Daya Air bagi pemanfaatan PLTA, PDAM dan industri di DAS Brantas
seharusnya masing-masing sebesar Rp 116,7/kWh, Rp 217,79/m3 dan Rp
607,34/m3. Tarif yang berlaku saat ini adalah masing-masing adalah Rp
38,21/kWh, Rp 55/m3 dan Rp 110/m3. Sehingga selisih dari nilai tersebut
merupakan nilai lingkungan yang perlu dikembalikan ke kawasan hutan.
Sedangkan nilai non komersial manfaat air pertanian (didekati dari kesediaan
membayar petani) sebesar Rp 20,8 juta/petani/tahun atau nilai ekonomi total
sebesar Rp5,9 trilyun/tahun (untuk seluruh DAS). Nilai kesediaan membayar
atas manfaat air rumah tangga sebesar Rp 641.783/orang/tahun atau nilai
ekonomi total manfaat air untuk kebutuhan rumah tangga sebesar Rp14,4
milyar/tahun. Besarnya kompensasi yang selayaknya diterima oleh para
pengelola kawasan atas jasa air non komersil yang digunakan petani dan rumah
tangga sebesar Rp 4 067 525 / thn untuk para pengusaha pertanian di
Tahura Suryo , Rp 55 008,80 /tahun untuk rumah tangga di TNBTS dan

1 Makalah pada Workshop : Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung
DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
1 Peneliti pada Puslit Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan. Jl.

Gunung Batu No. 5 PO. BOX 272 Bogor 16610 Indonesia Telp. +62-0251- 8633944 ; Fax.
+62-0251-8634924 Email : publikasi_puslitsosek@yahoo.com

| 136 |
Nilai dan Distribusi Ekonomi….(Kirsfianti L Ginoga, Sylviani, Nurfatriani
sebesar Rp 679 510,40 /thn untuk rumah tangga di sekitar kawasan Perum
Perhutani Sedangkan besarnya biaya lingkungan / kompensasi atas
pemanfaatan air komersil yang seharusnya diterima oleh masing-masing pengelola
kawasan adalah Tahura Suryo sebesar Rp 8 691 085 /ha, TNBTS sebesar
Rp 2 052 400 / ha dan Perum Perhutani sebesar Rp 978 349./ha.

Kata Kunci : Nilai Ekonomi, Kawasan Lindung, Tata Air, Sub DAS
Brantas Hulu

I. PENDAHULUAN

Banyak kalangan menyangsikan peran nyata hutan terhadap


ketersediaan dan kesinambungan pengaturan dan produksi air. Tetapi
alam menunjukkan dan manusia merasakan, seiring dengan
berkurangnya luas tutupan hutan dan bertambahnya DAS kritis.
semakin sering terjadi bencana seperti banjir, longsor dan kekeringan,
dengan tingkat kerusakan yang semakin besar Kerusakan hutan dan
DAS meningkat setiap tahunnya. Sebagai buktinya pada tahun 1984
terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas sekitar 9,69 juta
hektar, pada tahun 1994 meningkat menjadi 39 DAS kritis dengan
luas sekitar 12,52 juta hektar, pada tahun 2000 meningkat lagi menjadi
42 DAS kritis dengan luas sekitar 23,71 juta hektar, dan meningkat
lagi pada tahun 2004 menjadi 65 DAS kritis (Ditjen Sumberdaya Air,
2004; Soenarno, 2000; Ditjen RRL, 1999). Kondisi ini juga diperparah
dengan carut marutnya pengelolaan kawasan dan hutan lindung yang
ditunjukkan oleh tumpang tindihnya kebijakan dan kurangnya
sinergitas antara pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS.
Atas pertimbangan di atas pengaruh hutan terhadap pengaturan
tata air, seperti produksi air (water yield), aliran permukaan serta berapa
luas hutan yang ditinggalkan agar kebutuhan air terpenuhi perlu
diketahui, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
mengalokasikan sumber daya alam yang semakin langka dan sebagai
sumber informasi untuk pengelola hutan dalam menentukan
rekomendasi pada kegiatan perencanaan dan pengelolaan hutan
lindung.
Saat ini pengelolaan hutan lindung belum terorganisir dengan
baik disebabkan karena belum adanya perda yang mengatur
pengelolaan hutan lindung sebagai tindak lanjut dari otonomi daerah.
Kondisi ini bertentangan dengan Undang-undang No. 41 tahun 1999
dan PP no 6 tahun 2007. Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan
Lindung pun masih sebatas wacana, sehingga pengelolaan hutan
|137 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 136-143

lindung belum menjadi prioritas bagi pemerintah daerah dan


menyebabkan tingginya kerusakan hutan lindung.
II. PERAN HUTAN LINDUNG SEBAGAI PENYEDIA AIR
Hutan merupakan faktor yang utama dalam menjaga kualitas
dan ketersediaan air sehingga ada tuntutan dan keinginan agar hutan
sebagai daerah tangkapan air dan berfungsi sebagai pengatur tata air
harus dikelola dengan baik. Sebagai pengguna air baik pemerintah,
swasta maupun masyarakat mempunyai tanggung jawab dalam
melakukan kewajibannya untuk menjaga kelestarian hutan. Melalui
analisis citra landsat tahun 1997, 2001 dan 2003, memberikan
gambaran perubahan penutupan lahan hulu DAS Brantas seperti
ditunjukkan pada Gambar 1. Lokasi ini dipilih karena merupakan
DAS yang paling banyak memiliki permasalahan, terutama polusi air
permukaan, konflik air, kerusakan DAS, sedimentasi, debit berkurang
dan penurunan muka air tanah, disamping merupakan sumber air
utama untuk Perum Jasa Tirta (PJT) I yang merupakan BUMN
pensuplai air terbesar di pulau Jawa.
160000.00
140000.00
120000.00
L ua s (H a )

100000.00
80000.00
60000.00
40000.00
20000.00
0.00
Kebun
Hutan Persawahan Lahan Terbuka Pemukiman Badan Air
Campuran/Semak
1997 42273.13 139145.38 2855.61 3806.61 3127.54 133.98
2001 39663.99 106700.13 18627.39 21233.25 5101.2 16.29
2003 36074.633 105625.777 31733.37 6709.523 11198.07 0.877

Gambar 1. Perubahan Tutupan Lahan di Sub DAS Brantas

Untuk menduga suplai air yang masuk ke waduk Sutami yang


merupakan waduk tertua dan terbesar dari 14 waduk di Jawa Timur
digunakan Model SWAT (Soil and Water Assessment Tool) yang
merupakan gabungan dari beberapa model yang telah dikembangkan
oleh ARS – USDA dengan menggunakan data iklim (curah hujan,
suhu, kelembaban, radiasi matahari, kecepatan angin), jenis tanah, dan
data debit harian.

| 138 |
Nilai dan Distribusi Ekonomi….(Kirsfianti
L Ginoga, Sylviani, Nurfatriani
Berdasarkan model tersebut, diketahui bahwa semakin
menurunnya luas tutupan hutan mengakibatkan meningkatnya aliran
permukaan dan menurunkan aliran dasar (base flow) (Gambar 2).
Hal ini Hal ini merupakan implikasi dari berkurangnya kemampuan
hulu DAS Brantas, yang merupakan hutan dan kawasan lindung
dalam menyimpan, menyerap, meproduksi air dan mendistribusikan
air.
45000.00 3,000.00
40000.00
2,500.00
35000.00
30000.00 2,000.00
25000.00
1,500.00
20000.00
15000.00 1,000.00
10000.00
500.00
5000.00
0.00 -
1997 2001 2003

Luas Hutan (ha) Hujan (mm/th)


Q Run Off (juta m3) Q Base Flow (juta m3)
Q Totaldan
Gambar 2. Tutupan lahan (juta m3)
produksi air Waduk Sutami

III. NILAI EKONOMI MANFAAT HIDROLOGIS HUTAN


LINDUNG
Berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya air yang telah berjalan
di kawasan lindung di antaranya adalah :
- Pemanfaatan air yang mempunyai nilai komersil (tarif, effek
ganda, dan nilai pasar) untuk kebutuhan Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM), Perusahaan Listrik Negara ( PLN ) dan Industri
- Pemanfaatan air non komersial untuk kebutuhan pertanian dan
rumah tangga.
Instansi atau stakeholder yang berfungsi sebagai pengelola SDA
dan penyedia air yang mempunyai nilai komersil untuk kebutuhan
Perusahaan Listrik Negara (PLN), Perusahaan Air Minum (PAM),
dan industri berskala besar adalah Perusahaan Jasa Tirta (PJT) yang
suplai airnya berasal dari waduk. Selain itu terdapat stakeholder yang
berfungsi sebagai pengelola sumber mata air di kawasan hulu yang
bersifat non komersil, karena pemanfaatannya bersifat terbatas untuk
kebun, irigasi sawah, ternak, dan konsumsi air rumah tangga.

|139 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 136-143

Kuantifikasi manfaat air dilakukan dengan pendekatan harga


pasar dan biaya pengadaan. Selanjutnya dihitung biaya penuh (full
cost) pengadaan air yang telah memperhitungkan nilai lingkungan yang
akan dibebankan kepada penerima manfaat secara proporsional
(beneficiaries pay principle), sebagaimana terlihat pada Gambar 3.

Eksternalitas Lingkungan

Eksternalitas Ekonomi
Nilai
Biaya Guna
Biaya Oportunitas Penuh Lestari
Biaya
Ekonomi
Penuh
Biaya Modal
Biaya
Penyediaan
Penuh
Biaya OP

Gambar 3. Metode Biaya Penuh (Adaptasi : Rogers et.al, 1996)


Biaya penuh pengadaan air yang telah memasukkan nilai
lingkungan di DAS Brantas adalah sebesar Rp316,2 milyar/tahun.
Dari total biaya tersebut diperoleh tarif normal untuk biaya jasa
pengelolaan sumber daya air bagi pemanfaatan PLTA, PDAM dan
industri di Sub DAS Brantas Hulu seharusnya masing-masing sebesar
Rp 116,7/kWh, Rp 217,79/m3 dan Rp 607,34/m3. Sedangkan tarif
yang berlaku saat ini adalah masing-masing adalah Rp 38,21/kWh, Rp
55/m3 dan Rp 110/m3, jauh di bawah tarif normal. Selisih dari nilai
tersebut merupakan nilai lingkungan yang seharusnya dikembalikan ke
kawasan hutan.
Nilai non komersial manfaat air pertanian yang didekati dari
kesediaan membayar petani adalah sebesar Rp 20,8 juta/kepala
keluarga/tahun atau dengan nilai ekonomi total sebesar Rp5,9
trilyun/tahun untuk seluruh Sub DAS Brantas Hulu. Nilai kesediaan
membayar atas manfaat air rumah tangga sebesar Rp
641.783/orang/tahun atau nilai ekonomi total manfaat air untuk
kebutuhan rumah tangga sebesar Rp14,4 milyar/tahun (Nurfatriani et
al., 2006)

| 140 |
Nilai dan Distribusi Ekonomi….(Kirsfianti L Ginoga, Sylviani, Nurfatriani
Tabel 1. Nilai Ekonomi Air untuk Pertanian.

Nilai Ekonomi Satuan DAS Brantas Hulu


WTP Rp/KK/th 20.829.025
Harga yg dibayarkan Rp/KK/th 491.396
Surplus Konsumen Rp/KK/th 20.337.629
Variabel
3
Permintaan air m 1989,5
3
Biaya pengadaan Rp/m 5272,4
Jarak m 632,5
Luas lahan Ha 1,98
Jumlah panen Ton 31,48
Umur petani tahun 41,9
Tingkat pendidikan skor 1,74
Jumlah tanggungan Orang 3,3

IV. NILAI KOMPENSASI BAGI PENGELOLA KAWASAN.


Kompensasi yang seharusnya diberikan kepada para pengelola
kawasan atas jasa air yang dimanfaatkan dibedakan berdasarkan jenis
pemanfaatannya, yaitu untuk komersil dan non komersil.
Pemanfaatan jasa air non komersil diharapkan dapat memberikan
kompensasi kepada pengelola kawasan hulu dari nilai surplus
konsumen, dimana nilai ini menunjukkan bahwa konsumen
menerima atau mendapat nilai lebih dari harga yang dibayarnya atau
merupakan manfaat yang diterima masyarakat dari fungsi ekologis
hutan sebagai penyedia air. Namun tidak seluruh nilai surplus
konsumen tersebut dikembalikan, sebaliknya hanya sebagian kecil
saja dari masing-masing pengguna yang dibayarkan, untuk pengguna
non komersil, misalnya hanya sebesar ± 2 % yang dibayarkan kepada
pengelola kawasan seperti terlihat pada Tabel 1.
Untuk nilai kompensasi atas jasa air komersil yang seharusnya
diberikan ke hulu Sub DAS Brantas dihitung menggunakan
pendekatan selisih tarif normal dari tarif yang berlaku, dan dari jumlah
potensi produksi air (PPA)1 dari masing-masing kawasan di hulu DAS
Brantas. Dengan menggunakan analisa full costing dari seluruh

1
Proporsi PPA dihitung berdasarkan hasil analisis SWAT, dimana besar kontribusi suatu Sub Sub Sub DAS
dengan tutupan lahan tertentu terhadap produksi air yang masuk ke bendungan Sutami diduga. Secara
keseluruhan Sub Sub DAS Ambang memberikan kontribusi sekitar 51-54 % terhadap produksi air inlet
Sutami. Sub Sub DAS Lesti memberikan kontribusi sebesar 32-35 %, sedangkan Sub Sub DAS Metro
memberikan kontribusi sebesar 14 % (Ginoga et al., 2006)
|141 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 136-143

komponen biaya yang dikeluarkan oleh pengelola sumberdaya air


(PJT I) diketahui nilai lingkungan dari pemanfaatan komersial untuk
PDAM, PLTA dan industri ini sebesar Rp 183, 83 milyar.
Selanjutnya nilai ini dibandingkan dengan proporsi PPA,
sehingga masing-masing pengelola kawasan menerima nilai
kompensasi lingkungan secara proporsional. Untuk mengetahui
distribusi biaya dan nilai lingkungan sebagai kompensasi dari
pengelolaan kawasan dapat dilihat pada Tabel 2 (Sylviani, 2006).
Tabel 2. Distribusi biaya jasa lingkungan pemanfaatan air komersil
No Pengelola Proporsi Kompensasi Jasa air
Kawasan rata2 PPA Komersil
(%) Rp( x 1000 ) Rp/ha
1 Perum Perhutani 36,92 67 870 036 978 349
2 TNBTS 20,87 38 365 321 2 052 400
3 Tahura Suryo 42,21 77 594 643 8 691 085
Jumlah 100.0 183 830 000

Dari Tabel 2 dapat diketahui besarnya biaya lingkungan atau


kompensasi yang seharusnya diterima oleh masing-masing pengelola
kawasan dimana Tahura Suryo menunjukkan nilai yang terbesar yaitu
8 691 085 /ha, terbesar kedua TNBTS sebesar Rp 2 052 400 / ha
sedangkan Perum Perhutani sebesar Rp 978 349./ha.

8%

18 %

Perh utani

74 % T NBT S

T ahura

Gambar 4. Distribusi Nilai Lingkungan Komersil

V. REKOMENDASI KEBIJAKAN
Upaya rehabilitasi di lokasi prioritas yang telah diidentifikasi
perlu dilakukan secara terkoordinir, lintas sektoral, lintas administrasi
dan diarahkan ke pengelolaan ekosistem hulu DAS dengan
mempertimbangkan proporsionalitas penyebaran biaya dan manfaat.

| 142 |
Nilai dan Distribusi Ekonomi….(Kirsfianti
L Ginoga, Sylviani, Nurfatriani
Disarankan untuk mengalokasikan kembali nilai lingkungan yang
diperoleh dari penghitungan tarif normal untuk masing-masing
pemanfaatan sumberdaya air kepada pengelola kawasan hutan sebagai
bentuk cost benefit sharing di antara penyedia dan penerima manfaat
hidrologis hutan lindung.
Upaya konkret cost benefit sharing dapat berupa peningkatan tarif
pemanfaatan sumberdaya air sehingga mencerminkan internalisasi
eksternalitas dimana penerimaan dari peningkatan tarif tersebut
dikembalikan ke pengelolaan hutan dalam bentuk realokasi anggaran
pemerintah untuk merehabilitasi dan memelihara lingkungan.
Aternatif peningkatan efisiensi jika peningkatan tarif tidak mungkin
dilaksanakan adalah dengan membatasi penggunaan (kuota) di tingkat
konsumen akhir.
Pengelolaan DAS yang bersifat multi sektor dan multi disiplin
ilmu membutuhkan komitmen dan langkah aksi yang konkret dari
masing-masing pemangku kepentingan dengan membangun
kelembagaan yang dapat mengatur mekanisme cost benefit sharing ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen RRL, 199. Luas Lahan Kritis di Indonesia dalam Statistik
Dalam Angka. Ditjen RRL, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Ditjen Sumberdaya Air, 2004. Sebanyak 65 DAS dalam kondisi
semakin kritis. Harian Kompas tanggal 20 Agustus 2004, hal.
15, Jakarta.
Ginoga, K.L, . 2006. Kajian Optimal Luas, Jenis dan Proporsi
Vegetasi serta Posisi Hutan Lindung Terhadap Produksi Air
di Sub DAS Brantas Hulu. Laporan Hasil Penelitian Puslit
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Bogor. Tidak
Diterbitkan.
Nurfatriani F, 2006. Kajian Nilai Ekonomi Manfaat Hidrologis
Hutan Lindung. Laporan Hasil Penelitian Puslit Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Tidak Diterbitkan.
Rogers P, Bhatia R dan Hubert A. 1996. Water as a Social and
Economic Good : How to put the Principle into Practice.
Global Water Partnership-Technical Advisory Committe.
Unpublished.
Soenarno, 2000. Daerah banjir di Indonesia bertambah. Harian
Kompas tanggal 24 Oktober 2000, hal. 19, Jakarta.

|143 |
14. NERACA AIR DI DALAM HUTAN1
Oleh:
Irfan Budi Pramono2

ABSTRAK

Neraca air dalam hutan merupakan bagian dari siklus air secara keseluruhan.
Dari neraca air di dalam hutan dapat diketahui proses-proses hidrologi di dalam
hutan sehingga fungsi hutan sebagai tata air akan lebih mudah dipahami.
Tulisan ini menelaah hasil-hasil penelitian neraca air pada berbagai macam
kondisi hutan. Secara umum neraca air di dalam hutan digambarkan dari
perjalanan hujan sampai menjadi aliran sungai. Parameter yang diukur meliputi
intersepsi, curahan tajuk, aliran batang, aliran permukaan, aliran bawah
permukaan, aliran dasar, evapotranspirasi, dan aliran sungai. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa besarnya intersepsi sekitar 15 % dari total curah hujan,
sedangkan intersepsi, curahan tajuk dan aliran batang masing-masing 15 %, 79
% dan 1 %. Berdasarkan perhitungan maka besarnya evapotranspirasi sekitar
30 % dari total hujan. Dari hujan netto sebesar 80 % yang menjadi aliran
bawah permukaan sebesar 6 %, aliran dasar 59 % dan untuk transpirasi
sebesar 15 %. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa evapotranspirasi
dari Acacia mangium sebesar 1495 mm atau 45 % dari total curah hujan
tahunan, evapotranspirasi dari Agathis damara sebesar 1070 mm atau 22 %
dari hujan, dan Pinus merkusii sebesar 29 % sampai dengan 78 % dari curah
hujan tergantung lokasi dan metode yang digunakan. Evapotranspirasi
merupakan faktor utama dalam mengelola hutan untuk menghasilkan air.
Dalam rangka pelestarian sumber daya hutan dan air maka tingkat
evapotranspirasi dari jenis hutan serta tingkat infiltrasi di bawahnya harus
diperhitungkan dengan teliti. Sepanjang curah hujan jauh lebih besar dari
evapotranspirasi dan tingkat infiltrasi lebih besar dari tingkat evapotranspirasi
maka penamanan tanaman hutan di suatu wilayah dianggap aman dari masalah
kelangkaan air.

Kata kunci : evapotrasnpirasi, intersepsi, curahan tajuk, aliran batang, aliran


permukaan dan aliran dasar

1
Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
2 Peneliti Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah, Balai Penelitian Kehutanan Solo,
Jalan A. Yani. Pabelan, P.O.Box 295 Surakarta, Tilp.0271 716709,
email:ibpramono@yahoo.com
| 144 |
Neraca Air....(Irfan BP)

I. PENDAHULUAN

Setiap ada bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan tanah


longsor, pasti langsung diduga karena adanya penebangan hutan.
Masyarakat selama ini memandang dan mengharapkan terlalu tinggi
akan fungsi hutan untuk mencegah banjir, kekeringan, dan longsor.
Bencana tersebut terjadi bukan hanya karena pengaruh ada tidaknya
hutan tetapi lebih disebabkan oleh intensitas hujan, kondisi geologi,
kelerengan, dan kelembaban tanah sebelumnya. Penebangan hutan
mungkin hanya mempunyai sedikit pengaruhnya dalam banjir skala
besar (Calder, 1999; Chomitz & Kumari, 1998 dalam Kaimowitz,
2005).
Hubungan hutan dan hasil air telah lama diteliti, terutama di
negara-negara maju yang beriklim temperate. Hasilnya menunjukkan
bahwa penanaman hutan tidak meningkatkan hasil air. Vegetasi hutan
pada umumnya memakai lebih banyak air dari pada vegetasi yang
lebih rendah. Sedangkan pengaruh hutan terhadap banjir dan
kekeringan hanya bersifat lokal. Penanaman hutan di daerah hulu
akan menurunkan debit puncak terutama untuk hujan-hujan kecil.
Namun untuk hujan besar dan DAS yang cukup luas maka hutan
hanya berperan kecil.
Karena terbatasnya informasi hasil-hasil penelitian serta hasil
penelitian yang beragam menyebabkan masyarakat mempunyai
persepsi yang salah. Untuk itu, tugas ilmuwan mensosialisasikan hasil-
hasil penelitian tentang neraca air di dalam hutan.
Neraca air di dalam hutan merupakan bagian dari siklus air di
alam. Hujan yang jatuh di atas hutan akan mengalami proses yang
panjang sampai menjadi aliran air sungai. Proses ini perlu diketahui
untuk mendapatkan hasil air yang diharapkan dari suatu kawasan
hutan. Neraca air secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.

| 145 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 144-154

Hujan

Evapotranspirasi

Evaporasi Surface
Tampungan Runoff
Transpirasi Intersepsi

Curahan tajuk
Aliran batang

Evaporasi
Tampungan
Transpirasi permukaan
tanah
Sub
Infiltrasi surface
Runoff
Evaporasi Tampungan
kelembaban
Transpirasi tanah

Percolasi Kapilaritas

Evaporasi
Tampungan
Transpirasi air dalam
tanah

Tampungan
di saluran,
danau, dan
Evaporasi rawa
Transpirasi

Aliran sungai

Gambar 1. Komponen-komponen neraca air di dalam Sub DAS

| 146|
Neraca Air....(Irfan BP)

Paper ini akan membahas hasil-hasil penelitian neraca air dalam


hutan yang meliputi evapotranspirasi dan hasil air dari hutan beserta
proses dari hujan menjadi aliran . Diharapkan tulisan ini dapat
bermanfaat terutama dalam upaya pelestarian sumberdaya hutan dan
air.
I. NERACA AIR DALAM HUTAN
Neraca air dari kawasan hutan diukur dengan satuan Daerah
Aliran Sungai (DAS). Air hujan yang jatuh tertahan oleh tajuk,
sebagian menjadi aliran lansung. Air yang tertahan di tajuk sebagian
terinsepsi kembali ke atmosfir, sebagian mengalir ke bawah melalui
batang (aliran batang), jatuh ke permukaan melalui tajuk (curahan
tajuk). Setelah sampai permukaan tanah, air tersebut terinfiltrasi ke
dalam permukaan tanah menjadi cadangan kelembaban tanah. Air
kelembaban tanah ini dimanfaatkan oleh vegetasi untuk
pertumbuhannya (transpirasi), sebagian mengalir ke bawah menjadi
aliran bawah permukaan dan sebagian lagi mengisi cadangan air
tanah. Aliran bawah permukaan ini bergabung dengan aliran langsung
menjadi stormflow. Stormflow ini bergabung dengan aliran dasar yang
berasal dari cadangan air tanah (baseflow) menjadi aliran air sungai
(streamflow). Secara umum neraca air dalam hutan dapat digambarkan
dengan persamaan sebagai berikut (Manan, 1978 dalam Manan, 1998)
:
Pq = (T + Ic + If + Es + W) + Q + ∆S ± L + U
Et = T + Ic + If + Es + W
Q = Rq + Rs + Ri
Dimana:
Pq = Curah hujan kasar
T = Transpirasi
Ic = Intersepsi tajuk
If = Intersepsi lantai hutan
Es = Evaporasi dari permukaan tanah
W = Evaporasi dari permukaan air
Q = Aliran sungai
∆S = perubahan kadar air tanah
Et = Evapotranspirasi total
± L = Kebocoran kedalam dan keluar DAS
U = Aliran sungai bawah tanah
Rq = Aliran dasar
Rs = Aliran permukaan
Ri = Aliran bawah permukaan
| 147 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 144-154

Apabila dianggap tidak ada kebocoran (L) dan aliran sungai bawah
tanah (U) maka persamaan dapat disederhanakan menjadi:
Pq = Et + Q + ∆S
Secara umum perjalanan dari air hujan menjadi aliran sungai
beserta prosentasenya dapat dilihat pada Gambar 2. Untuk daerah
yang berhutan dengan hujan yang cukup tinggi (tropical rain forest)
aliran permukaan yang dihasilkan langsung dari hujan hanya sekitar
5% dari total hujan, intersepsi sekitar 15 %, sedangkan curahan tajuk
dan aliran batang masing-masing 79 % dan 1 %. Transpirasi sebesar
15 % sehingga evapotranspirasi menjadi 30 %. Aliran bawah
permukaan tanah (sub surface flow) hanya sekitar 6 % dari total hujan,
sedangkan yang mengisi air tanah sebesar 59 %. Dengan demikian air
yang dihasilkan dari hutan sekitar 70 % dari total hujan.

| 148|
Neraca Air....(Irfan BP)

Curah hujan

Daerah Daerah hutan


lahan basah perbukitan

Tampungan Intersepsi
intersepsi (15%)

Aliran Curahan Aliran batang Evapotranspi


permukaan tajuk (79%) (1%) rasi (30%)
(5%)

Hujan netto
(80 %)

Tampungan Transpirasi
kelembaban (15%)
tanah

Aliran bawah
permukaan
(6%) Cadangan
air tanah

Stormflow
(11%)
Aliran air
tanah (59%)

Aliran air
sungai (70%)

Gambar 2. Proses-Proses Hidrologi di Dalam Hutan


Sumber: Fujieda, 1997 dalam Vignola, 2005

| 149 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 144-154

II. NERACA AIR PADA BERBAGAI JENIS HUTAN

1. Neraca Air di hutan Agathis lorantifolia


Bruinjzeel (1982) melakukan penelitian di Sub DAS Mondoh,
Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Sub DAS Mondoh
dengan luas 18,7 ha, didominasi oleh Agathis lorantifolia umur 40
tahun dan tanaman bawah Euphatorium sp. Parameter yang diukur
meliputi curah hujan (P), debit sungai (Q), perubahan kandungan
kelembaban tanah (∆ S), perubahan kandungan air bawah tanah
(∆ G), Evapotranspirasi aktual perhitungan (EaP), Evaporasi
daerah terbuka (Eo), dan Evapotranspirasi aktual (Ea). Hasil
pengukurannya dapat dilihat pada Gambar 2.

Neraca Air Sub DAS Mondoh (Agathis)

800
700
P, Q, Ea (mm)

600
500 P
400 Q
300 Ea
200
100
0
7 ar
.
ei
. l. . . 8
97 M M Ju ep op 97
.1 S N .1
a n n
J Ja
Waktu

Gambar 2. Neraca Air dari hutan Agathis

Dari Gambar 2 terlihat bahwa Evapotranspirasi bulanan dari Agathis


lorantifolia sekitar 90 mm. Walaupun curah hujan sejak bulan Juli
sudah sangat kecil namun debit aliran tetap ada sehingga masih ada
fungsi hutan Agathis menahan air dimusim hujan dan mengalirkannya
dimusim kemarau. Walapun luas sub DAS ini hanya kecil (18,7 ha)
aliran sungai masih ada sepanjang tahun.

2. Neraca Air di hutan Pinus merkusii


Neraca air pada tanaman Pinus merkusii telah diteliti diberbagai
tempat terutama di Jawa. Neraca air dari tanaman Pinus merkusii

| 150|
Neraca Air....(Irfan BP)

diukur dengan beberapa metode seperti metode Lysimeter dan Sub


DAS. Sri Astuti et al., (1998) dalam Priyono dan Siswamartana (2004)
menyebutkan bahwa fluktuasi debit aliran pada bulan-bulan basah
mengikuti fluktuasi hujan. Koefisien aliran tahunan hutan pinus dari
tahun 1994 s/d 1997 berturut-turut sebesar 68 %, 56 %, 44 %, dan
68 %. Pudjiharta (1986) dalam penelitiannya menggunakan Lysimeter
di Bogor dan Ciwidey menunjukkan bahwa evapotranspirasi Pinus
merkusii berkisar dari 1000 mm sampai dengan 2500 mm/tahun.
Sedangkan Pramono (1990) melakukan penelitian menggunakan Sub
DAS di Sumedang menunjukkan bahwa evapotranspirasi Pinus
merkusii umur 25 tahun sebesar 1260 mm/tahun. Hasil selengkapnya
dapat di lihat pada Gambar 3.

Evapotranspirasi Hutan Pinus


4000
3500
3000
2500
( mm )

2000
1500
1000
500
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Hujan Evapotranspirasi

Gambar 3. Evapotranspirasi Hutan Pinus

Nomor 1 sampai dengan no 5 pengukuran dengan Lysimeter


di Bogor, Nomor 6 sampai dengan 10 pengukuran dengan
Lysimeter di Ciwidey, Bandung Selatan, sedangkan nomor
11 adalah pengukuran dengan Sub DAS di Tanjungsari,
Sumedang.

3. Evapotranspirasi pada berbagai jenis tanaman hutan


Tingkat evapotranspirasi tergantung pada jenis tanaman, iklim
serta curah hujan yang terjadi. Perkiraan evapotranspirasi tahunan
ET), Intersepsi (Ei), dan Transpirasi (Et) pada hutan tanaman di
daerah tropika basah dapat dilihat pada Tabel 1.

| 151 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 144-154

Tabel 1. Evapotranspirasi dari berbagai jenis pohon

Species Lokasi Eleva Hujan Umur ET ET/


si (m) Tahu (thn) (mm) Eo
nan
rata2
(mm)
Ei Et
Acacia Sabah 700 3280 9-10 1495 >1.0 655 840
mangium
Agathis Jawa 600 4770 11-35 1070 0.79 665 405
damara
Cedrela Costa 100 4210 4-5 1320 - 75 1245
odorata Rica
Cordia Costa 100 4-5 1385 - 280 1110
alliodora Rica
Eucalyptus Madaga 1010 2000 >50 1505 - - -
robusta skar
Pinus Fiji 80 1800 6 1925 1.13 540 1385
caribaea
Pinus Jamaica 1020 3745 19 1850 - 635 1215
caribaea
Pinus elliotii Queens 60 1260 >35 1082 0.76 - -
land
Pinus Jawa 1300 2100 31 900 0.84 555 445
merkusii
Pinus patula Kenya 2400 2305 >10 1160 0.77 560 600
Lowland Jawa 2850 1480 0.90 595 885
rainforest
Sumber: Scott et al.,2005 dalam Bonell, M dan L.A. Bruijnzeel. 2005

4. Pengaruh pertumbuhan tanaman hutan terhadap hasil air


Pengaruh pertumbuhan tanaman terhadap neraca air sudah
banyak dilakukan, namun penelitian tersebut hanya dilakukan
pada awal masa pertumbuhan. Selama tahap awal pertumbuhan
pohon, kebutuhan akan air sangat tinggi, namun setelah dewasa
kebutuhan air akan menurun. Sebagai contoh, tanaman
Eucalyptus, yang terkenal rakus air, jika sudah dewasa
menggunakan air lebih sedikit dibandingkan dengan vegetasi non
hutan (Chappell dan Bonell, 2005). Penelitian jangka panjang
telah dilakukan di Afrika Selatan. Jenis Eucalyptus mencapai
kestabilan penggunaan air pada umur 5 tahun, sedangkan pada
jenis Pinus mencapai kestabilan pada umur 10 sampai 20 tahun
(Bruijnzeel, 2004).

| 152|
Neraca Air....(Irfan BP)

III. RISET NERACA AIR DARI HUTAN YANG MASIH


DIBUTUHKAN

Dalam rangka pelestarian sumber daya alam khususnya air dan


hutan maka hal-hal penting yang perlu diteliti lebih lanjut antara lain:
1.Besarnya evapotranspirasi jenis-jenis tanaman dan tingkat
infiltrasi pada lokasi penanaman.
Hal ini penting untuk mencegah terjadinya kekurangan air akibat
penanaman hutan. Jenis-jenis yang perlu diteliti terutama jenis-
jenis tanaman cepat tumbuh yang ditanam terutama pada
daerah-daerah beriklim kering.
2. Pengaruh penanaman hutan terhadap aliran di musim kemarau.
Hutan dianggap sebagai busa yang bisa menyimpan air pada
musim penghujan dan menyalurkannya pada saat kemarau.
Untuk mengetahui pengaruh hutan tadi kiranya perlu dilakukan
pematauan debit aliran sepanjang tahun sehingga hasil airnya
selama musim kemarau dapat diketahui. Pemantauan debit aliran
ini tidak hanya pada saat awal penanaman saja, namun sebaiknya
sampai akhir daur.
3. Neraca air dari hutan dengan berbagai formasi geologinya.
Hal ini untuk menjawab bahwa faktor penutupan hutan hanya
salah satu faktor yang mempengaruhi hasil air, faktor lainnya
masih banyak, diantaranya adalah formasi geologi.

IV. PENUTUP

Evapotranspirasi merupakan faktor utama dalam mengelola


hutan untuk menghasilkan air. Dalam rangka pelestarian sumber daya
hutan dan air maka tingkat evapotranspirasi dari jenis hutan serta
tingkat infiltrasi di bawahnya harus diperhitungkan dengan teliti.
Sepanjang curah hujan jauh lebih besar dari evapotranspirasi dan
tingkat infiltrasi lebih besar dari tingkat evapotranspirasi maka
penamanan tanaman hutan di suatu wilayah dianggap aman dari
masalah kelangkaan air.

DAFTAR PUSTAKA

Bruijnzeel.L.A. 1982. Hydrological and biogeochemical of man-made


forest in South-Central Java, Indonesia. Nuffic Project
ITC/GUA/VU.
| 153 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 144-154

Bruijnzeel, L.A. 2004. Hydrological functions of tropical forests: Not


Seeing the Soil for Trees?. Agriculture, Ecosystems, and
Environment, doi:10.1016/j.agee.2004.01.015.
Chappel, N.A. dan M. Bonell.2006. Uncertainities in the hydrology of
tropical reforestation. Beyond “from mountain to the tap”
ETFRN News 45-46/06.
Kaimowitz, D. 2005. Useful myths and intractable truths: the politics
of the link between forests and water in Central America.dalam
Bonell, M dan L.A. Bruijnzeel (ed) Forest Water and People in
the Humid Tropics: Past, present and future hydrological
research for integrated land and water management. UNESCO.
Cambridge University Press.
Manan, S. 1978. Kaidah dan Pengertian dasar managemen daerah
aliran sungai. Dalam Manan, S, 1998. Hutan dan Rimbawan
dan Masyarakat. IPB Press. Bogor.
Phuong, V.T. dan J. Van Dam, 2006. Linkages between forest and
water: A review of research evidence in Vietnam. ETFRN
News 45-46/06.
Priyono, CNS, dan Siswamartana, S. 2002. Hutan Pinus dan Hasil
Air. Pusat Pengembangan Sumber Daya Hutan Perhutani,
Cepu.
Pudjiharta, A. 1986. Respon dari beberapa jenis pohon dalam
pengawetan air di Ciwidey, Bandung Selatan. Buletin Penelitian
Hutan 472: 41-57.
Scott, D.F., L.A. Bruijnzeel, dan J. Mackensen. 2005. The
hydrological and soil impacts of forestation in the tropics.
Dalam Bonell, M dan L.A. Bruijnzeel (ed) Forest Water and
People in the Humid Tropics: Past, present and future
hydrological research for integrated land and water
management. UNESCO. Cambridge University Press.
Vignola, R. 2005. Forest & hydrological services: Perpectives for
climate change adaption. CATIE. Groupo Cambio Global.

| 154|
15. PENGELOLAAN HUTAN PINUS
UNTUK KONSERVASI SUMBERDAYA AIR1

Oleh :
Sudarsono2 dan Purwanto3

ABSTRAK

Tanaman pinus merupakan salah satu tanaman yang memberikan kontribusu


yang besar. Hasil hutan pinus merupakan pemasok devisa yang besar bagi
Perum Perhutani setelah jati. Hutan pinus sebagai penyedia lapangan kerja
sepanjang tahun dan meningkatkan hasil pendapatan bagi masyarakat di
sekitarnya. Namun disisi lain hutan pinus dianggap telah menghilangkan
sumber-sumber air. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian sistem
pengelolaan hutan pinus yang memberikan keuntungan dari aspek sosial,
ekonomi, dan tanpa merusak keseimbangan sumberdaya air. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mempelajari komponen neraca air daerah aliran sungai (DAS)
dan hutan pinus, sehingga diharapkan dapat tersusun suatu system pengelolaan
hutan pinus yang lebih baik secara ekologis, sosial, dan ekonomi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hutan pinus mempunyai evapotranspirasi 1.353
- 1.795 mm/tahun lebih tinggi daripada hutan alam dan tanaman semusim.
Oleh karena itu tanaman pinus disarankan ditanam pada daerah dengan curah
hujan diatas 2.000 mm/tahun. Di sisi lain limpasan permukaan hutan pinus
adalah 4% sehingga lebih tinggi dibandingkan dengan hutan alam, tetapi lebih
keci daripada tanaman jagung, yaitu sebesar 10,59% dari curah hujan.
Konservasi sumberdaya air yang dapat dilakukan pada hutan pinus adalah
pemangkasan cabang/prunning dan pembuatan rorak. Kegiatan tersebut
dimaksudkan untuk meningkatkan kandungan air tanah.

Kata kunci : hutan pinus, evapotranspirasi, kandungan air tanah, konservasi


sumber daya air.

I. PENDAHULUAN

Perum Perhutani sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN)


telah berkiprah sejak 1972 mengemban tugas dan tanggung jawab

1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS Surakarta, 22 Nopember 2007.
2 Kepala Puslitbang Perum Perhutani
3 Peneliti Lingkungan Hutan pada Puslitbang Perum Perhutani. Jl. Wonosari –

Batokan Tromol Pos 6 Cepu, Jawa Tengah. Telp. : (0296) 421233


E-mail : purnovi@yahoo.co.id
| 155 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 155-160

dalam pengelolaan hutan di Jawa, dengan wilayah hutan yang dikelola


seluas 2,426 juta hektar yang terdiri atas hutan produksi seluas 1,767
juta hektar dan sisanya hutan lindung. Perum Perhutani sangat
berperan dalam upaya membina kelestarian dan keserasian ekosistem
serta menyelamatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia
secara berkelanjutan, terutama di Pulau Jawa.
Kelimpahan sumberdaya air yang dimiliki Indonesia tidak
menjamin melimpahnya ketersediaan air kawasan pada dimensi ruang
dan waktu. Variasi iklim serta kerentanan sistem sumberdaya air
terhadap perubahan iklim akan memperparah status krisis air, yaitu
dengan meningkatnya frekwensi banjir dan panjangnya kekeringan,
sehingga ketersediaan air semakin tidak dapat mengimbangi
peningkatan kebutuhan air untuk berbagai penggunaan. Hutan
dengan penyebarannya yang luas diharapkan mampu menyediakan
manfaat yang amat besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa
produsen kayu, habitat satwa, jasa pengendali daur air, perlindungan
terhadap banjir, erosi, pengendali sedimentasi dan longsor lahan.
Hutan yang kondisinya masih baik terdapat banyak sumber air.
Penyerapan air hujan oleh tanaman hutan juga menurunkan volume
air limpasan permukaan, sehingga debit air sungai yang kawasan
daerah aliran sungai (DAS) nya masih didominasi hutan tidak
mengalami kenaikan yang tajam pada musim hujan. Sebaliknya pada
musim kemarau : air yang tersimpan dalam profil tanah dapat
menyumbang aliran air sungai, sehingga debit sungai masih relatif
tinggi.
Berbagai penelitian membuktikan bahwa DAS yang mempunyai
kawasan hutan yang baik, sungainya mempunyai koefisien rejim
sungai (Qmax / Qmin) rendah. Untuk tanaman pinus ternyata
menunjukkan fenomena yang menarik. Konversi hutan alam dengan
hutan pinus di beberapa daerah dianggap menyebabkan hilangnya
sumber air.
Dengan demikian disadari bahwa kegiatan dalam DAS
menyangkut berbagai aspek, seperti fisik, sosial ekonomi,
kependudukan, hukum, kelembagaan dan kerekayasaan. Oleh karena
itu keterpaduan dalam berbagai aspek dalam pengelolaan DAS sangat
diperlukan, termasuk di dalamnya pengelolaan lahan melalui kegiatan
rekontruksi lahan serta konservasi tanah dan air.

| 156 |
Pengelolaan Hutan Pinus....(Sudarsono dan Purwanto)

Pada saat ini hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani, baik
hutan produksi maupun hutan lindung sebagian diantaranya ditanami
jenis pinus (Pinus merkusii). Tanaman pinus merupakan tanaman
pioner pada program penghijauan dan reboisasi. Pinus mampu
tumbuh baik pada tanah yang relatif kurang baik (lahan kritis) untuk
tanaman lainnya, sehingga penggunaan pinus untuk konservasi tanah
merupakan alternatif yang sangat tepat. Disamping itu pinus
mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan mampu menyediakan
lapangan kerja (tumpangsari, penyadapan, penebangan) dalam waktu
relatif lama.
Namun demikian tanaman pinus memiliki keterbatasan, yaitu
adanya kekhawatiran sebagian masyarakat bahwa tanaman pinus
menyebabkan kehilangan air yang besar, sehingga kurang cocok untuk
tanaman pengatur tata air tanah. Kekhawatiran itu berdasarkan teori
dan kenyataan di lapangan bahwa sumber air yang dulu ada sekarang
menjadi kering setelah ada hutan pinus.
Penyebab kekhawatiran masyarakat akan kehilangan air adalah
evapotranspirasi dan penggunaan air untuk pertumbuhan vegetasi.
Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap besarnya
evapotranspirasi antara lain radiasi matahari, suhu, kelembaban udara,
kecepatan angin, jenis tanaman, dan ketersediaan air di dalam tanah
(kelengasan tanah).

II. TUJUAN

1. Mempelajari besaran komponen neraca air DAS serta faktor –


faktor yang mempengaruhi masing – masing komponen.
2. Mempelajari neraca air pada hutan pinus dengan
menggunakan satuan wilayah DAS sebagai Unit Penelitian.
3. Tersusunnya suatu sistem pengelolaan hutan pinus, sehingga
manfaat hutan pinus dapat dipertahankan dan dampak
negatifnya dapat diperkecil.
III. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan menggunakan metode petak erosi
berukuran 20 m x 10 m pada berbagai penggunaan lahan dan
perlakuan di hutan pinus (kontrol, pemangkasan cabang, rorak).
Pengamatan meliputi : limpasan permukaan ( ditampung pada

| 157 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 155-160

kolektor yang dipasang diujung bawah petak percobaan), aliran


batang dan hujan lolos tajuk ( untuk menghitung intersepsi),
evaporasi, transpirasi, evapotranspirasi, kandungan air tanah (dengan
Neutron Probe) dan data iklim.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Mekanisme kehilangan air tampaknya disebabkan oleh tingginya
penguapan (transpirasi dan intersepsi), tetapi faktor lainnya masih
belum diketahui. Pada musim kemarau evapotranspirasi masih tetap
tinggi karena pinus mampu mengambil air dari lapisan tanah yang
lebih dalam, sehingga dapat mengurangi cadangan air dalam tanah
pada akhir musim kemarau. Kehilangan air dari lahan hutan pinus
lebih tinggi dibandingkan dengan hutan alam atau tanaman semusim.
Hal ini karena evapotranspirasi pada tanaman pinus 1.353 mm/tahun
lebih tinggi dari pada hutan alam 908 mm/tahun dan tanaman
semusim 610 mm/tahun.
Di beberapa tempat, penggunaan lahan untuk hutan pinus
mengindikasikan kontribusi yang negatif terhadap hasil air secara
total, tetapi tanaman pinus dapat meningkatkan kemampuan tanah
untuk menahan air pada musim hujan lebih baik dari pada tanaman
semusim. Limpasan permukaan dari lahan pertanian jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan hutan penggunaan lahan yang lain. Bila
dibandingkan dengan hutan lindung maka limpasan permukaan lahan
hutan pinus lebih tinggi. Nilai limpasan permukaan di hutan alam 73
mm/tahun, hutan pinus 139 mm/tahun, dan pada tanaman jagung
247 mm/tahun. Limpasan permukaan hutan pinus sebesar 4%
sedangkan pada tanaman semusim 10.59% dari curah hujan (Anonim,
1999).
Hutan pinus juga meningkatkan infiltrasi dibanding lahan
pertanian, sehingga limpasan permukaan jauh lebih rendah. Laju
infiltrasi pada tanah terbuka dan tumpangsari 45 cm/jam, tegakan
pinus umur 35 tahun 108 cm/jam, sedangkan hutan alam 204
cm/jam. Pada tegakan pinus tua banyak dijumpai serasah dan
kandungan bahan organik yang menutupi lantai hutan, sehingga
memperbaiki struktur tanah, yang memungkinkan curah hujan
diinfiltrasikan ke bawah (Anonim, 1999). Hal ini sangat positif untuk
mempertahankan kualitas terhadap kerusakan tanah karena erosi.

| 158 |
Pengelolaan Hutan Pinus....(Sudarsono dan Purwanto)
Dari hasil penelitian diperoleh data sebagai berikut
Tabel 1. Hasil Pengamatan Penelitian dengan Metode Petak Erosi
Limpasan permukaan Evapotranspirasi Keterangan
Kondisi
mm % CH mm
1. Kontrol 70,6 3,18 1.204
2. Pemangka- 102,7 4,62 975
san cabang
3. Rorak 60,9 2,74 1.316

Berdasarkan data-data hasil penelitian diketahui bahwa


kehilangan air dari hutan pinus dapat mencapai 1.800 – 2.000
mm/tahun. Oleh karena itu, agar hutan pinus tidak mengganggu
kondisi tata air, terutama sumber air maka disarankan hutan pinus
ditanam pada daerah dengan curah lebih dari 2.000 mm/tahun.
Pruning/pemangkasan terhadap tanaman pinus dan semak
dibawahnya serta pemberian mulsa dapat menurunkan kehilangan air
melalui evapotranspirasi. Pengurangan jumlah daun pinus secara
langsung akan mengurangi jumlah luas permukaan daun secara
keselurahan, sehingga memperkecil jumlah air yang menguap. Dengan
pemangkasan cabang dan semak maka evapotranspirasi sebesar 550 –
607 mm, sedangkan pada perlakuan tanpa pangkas evapotranspirasi
mencapai 762,9 mm.
Pemangkasan tanaman pinus dapat menurunkan intersepsi
hujan. Tanpa pemangkasan intersepsi hujan mencapai 33-36 mm dari
hujan 161 mm. Namun pada perlakuan pangkas maka intersepsi
hujan hanya 22 – 26 mm. Dengan berkurangnya intersepsi akan
menambah air yang disimpan di dalam profil tanah. Pada perlakuan
pangkas cabang dan semak pada hutan pinus mempunyai cadangan
air yang lebih tinggi, yaitu 322,4 mm – 330,2 mm dibanding tanpa
pangkas yang hanya sebesar 300,5 mm – 301,4 mm. Kelembaban
tanah yang masih cukup tinggi pada musim kemarau merupakan
kontribusi positif untuk memelihara iklim mikro yang baik bagi
kehidupan biologi.
Salah satu kegiatan konservasi tanah dan air dapat dilakukan
dengan pembuatan rorak di bawah tegakan pinus. Rorak dapat
berfungsi menyerap aliran permukaan dan dapat menangkap tanah
yang tererosi. Pembuatan rorak dapat menurunkan limpasan
permukaan dari 70.6 mm menjadi 60.9 mm, sedangkan dengan
kombinasi perlakuan pemangkasan dan rorak akan dapat menurunkan
kehilangan air sebesar 30% karena evapotranspirasi dan 14% karena
limpasan permukaan.

| 159 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 155-160

V. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Penanaman hutan dengan jenis pinus agar diarahkan pada daerah


yang mempunyai curah hujan tinggi, sehingga tanaman pinus
disarankan tidak ditanam pada daerah yang curah hujannya
kurang dari 2.000 mm/tahun.
2. Kegiatan konservasi sumberdaya air pada hutan pinus dapat
dilakukan dengan pengelolaan sederhana antara lain pemangkasan
/ pruning atau pembuatan rorak.
3. Penelitian tentang aspek hidrologi pada pengelolaan hutan pinus
perlu dilanjutkan, sehingga pengelolaan hutan pinus dapat lestari
dari aspek ekologis, sosial, dan ekonomi dapat terwujud.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Segenap Tim


Peneliti pada Pusat Penelitian Lingkungan Hidup,Universitas
Brawijaya Malang yang telah berkenan bekerjasama dengan Perum
Perhutani untuk melaksanakan penelitian dengan topik tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1996. Pengelolaan Lahan Hutan Pinus untuk Konservasi


Sumberdaya Air. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama
Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dengan Fakultas
Pertanian, Universitas Brawijaya. Malang.

Anonim. 1999. Pengelolaan Hutan Pinus untuk Konservasi


Sumberdaya Air . Himpunan Hasil Penelitian Perum
Perhutani Tahun 1999.

Soedjoko, S. A. dan Surjatmoko, H. 2005. Pengaruh Hutan. Fakultas


Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Utomo, W. H. 1995. Pengelolaan Lahan Hutan Pinus untuk


Konservasi Sumber Daya Air. Laporan Penelitian FP Univ.
Brawijaya - Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

| 160 |
16. PEMILIHAN JENIS POHON UNTUK MEMBANGUN
HUTAN DALAM DAERAH ALIRAN SUNGAI1

Oleh :
A. Syaffari Kosasih2, Rina Bogidarmanti2, Nina Mindawati2

ABSTRAK

Di Indonesia, terbentuknya lahan terdegradasi atau lahan kritis umumnya


diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan pemanfaatan lahan yang tidak diimbangi
dengan penerapan keindahan-keindahan konservasi berupa penanaman tanaman
tahunan atau pepohonan seperti pola agroforestry, hutan lindung, dan pada
daerah dengan fungsi konservasi yang dominan. Dengan semakin bertambahnya
luasan lahan yang terdegradasi ini, dapat mengakibatkan terjadinya bencana
banjir dan tanah longsor. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk
mengatasi hal ini, yaitu dengan kegiatan penanaman kembali lahan-lahan
tersebut. Jenis-jenis pohon yang akan digunakan untuk memulihkan kondisi
lahan terdegradasi, secara umum harus memenuhi persyaratan : (1) termasuk
jenis cepat tumbuh, (2). bertajuk lebat, (3). sistem perakaran melebar, kuat, dan
dalam, (4). mudah bertunas, (5). mampu tumbuh di tempat terbuka dengan
penyinaran penuh (jenis pioner, intoleran, beriap besar), (6) dapat bersimbiose
dengan jasad renik, (7). biji atau bagian vegetatif untuk pembiakan mudah
didapat. Daftar jenis-jenis pohon yang dapat digunakan dalam kegiatan
pemulihan lahan terdegradasi atau lahan kritis dengan cara membangun hutan,
disajikan pada tulisan ini.

Kata kunci : lahan terdegradasi, lahan kritis, hutan

I. PENDAHULUAN
Bencana banjir dan tanah longsor dewasa ini banyak sekali terjadi
bukan saja di pulau Jawa, tapi sudah banyak meluas ke beberapa pulau
besar seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Hal tersebut dipicu
oleh curah hujan yang tinggi serta maraknya penebangan hutan
secara liar hingga ke kawasan konservasi dimana seharusnya kawasan
tersebut dipertahankan vegetasinya sebagai hutan rimba oleh seluruh

________________________
1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
2 Peneliti pada Pusat Litbang Hutan Tanaman, Kampus Balitbang Kehutanan

Jl. Gunung Batu No.5 Bogor Po Box 331 e-mail :safari_silvik.@.yahoo.co.id

| 161 |
Prosiding Workshop, 2009 : 161-175

lapisan masyarakat Indonesia. Laju kerusakan hutan pada tiga pulau


besar, yakni Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi antara tahun 1997
s/d 2005 mencapai 1,6 s/d 2,8 juta ha per tahun (Sumarhani, 2004).
Total luas lahan terdegradasi di Indonesia sampai tahun 2000
48,5 juta ha (RLPS, 2000) karena pengrusakan hutan masih terus
berlanjut dan lebih cepat dari pada usaha penanaman kembali, maka
pada tahun 2005 lahan yang terdegradasi berada pada angka 60 juta
ha. (Target penanaman 500.000 ha/tahun; laju kerusakan hutan rata-
rata 1,3 juta ha per tahun). Hutan rimba sebagai satuan ekologi yang
mempunyai fungsi serbaguna berupa pengaturan tata air, tempat
berlindung dan tumbuhnya kehidupan liar penghasil pakan dan
tempat wisata alam (Balitbang Kehutanan, 1992 ).
Keberadaan vegetasi hutan dalam wilayah Daerah Aliran Sungai
(DAS) merupakan unsur utama sebagai pengatur dan pelindung
lingkungan karena tanpa adanya hutan baik dalam jumlah luasan serta
mutunya maka pengelolaan DAS tidak akan berjalan dengan baik
sebagaimana diinginkan untuk mengurangi terjadinya banjir, erosi,
dan longsor. Dampak positif keadaan hutan tropika sebagai
pengendali ekologi telah banyak dilakukan di Indonesia, dimana
penelitiannya sudah dimulai tahun 1930 sebagaimana dilaporkan
Fauzi (1987).
Pemilihan jenis pohon untuk membentuk kembali vegetasi hutan
didalam DAS akan membantu percepatan proses keseimbangan
ekologi maupun ekonomi.
Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai
dasar-dasar pemilihan jenis-jenis pohon yang dapat digunakan untuk
membangun kembali hutan dalam DAS.
II. LAHAN TERDEGRADASI
Pengertian
Sebagai salah satu sumberdaya alam yang amat penting, tanah
mempunyai dua fungsi utama, yaitu (1) sebagai sumber hara bagi
tumbuhan dan (2) sebagai matriks tempat akar tumbuhan berjangkar
dan air tanah tersimpan, serta sebagai tempat unsur-unsur hara dan
air
ditambahkan. Kedua fungsi tersebut dapat menurun atau hilang,
yang dikenal sebagai kerusakan tanah atau degradasi tanah (Arsyad,
1989).

| 162 |
Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)

Hilangnya fungsi yang pertama dapat terus-menerus diperbaharui


dengan cara pemupukan, sedangkan hilangnya fungsi yang kedua
tidak mudah untuk diperbaharui, karena diperlukan waktu puluhan
bahkan ratusan tahun untuk pembentukan struktur tanah yang baik
seperti semula.
Lebih lanjut disebutkan bahwa kerusakan tanah dapat terjadi
karena : (1) kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah
perakaran, (2) terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinisasi),
terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan
racun bagi tanaman, (3) penjenuhan tanah oleh air (waterlogging) dan
(4) erosi. Kerusakan yang dialami pada tanah tempat erosi terjadi yaitu
berupa kemunduran sifat-sifat kimia dan fisik tanah, seperti
kehilangan unsur hara dan bahan organik, memburuknya sifat fisik
tanah yang tercermin antara lain pada menurunnya kapasitas infiltrasi
dan kemampuan tanah menahan air, meningkatnya kepadatan dan
ketahanan penetrasi tanah dan berkurangnya kemantapan struktur
tanah, sehingga menyebabkan memburuknya pertumbuhan tanaman
dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas.
Luas lahan yang terdegradasi
Berdasarkan kriteria yang terdapat dalam Statistik Kehutanan
Indonesia (2001), disebutkan bahwa penetapan lahan
terdegradasi/lahan kritis yaitu lahan yang telah mengalami kerusakan,
sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas
toleransi. Lahan-lahan tersebut umumnya memenuhi fungsi sebagai
kawasan hutan lindung, fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan
dan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian. Berdasarkan
kriteria tersebut, luas lahan kritis di Indonesia sampai dengan akhir
tahun 2001 adalah :
- Dalam Kawasan Hutan : 8.136.646 Ha
- Luar Kawasan Hutan : 15.106.234 Ha

Laju pengrusakan hutan (deferastasi) dan lahan terbuka


berdasarkan citra satelit daratan Indonesia pada tahun 2000 sampai
dengan 2003 mencapai 100,7 Ha dengan laju kerusakan 1,6 juta
sampai dengan 2, 8 juta pertahun tapi sejak tahun 2004 sampai 2007
turun menjadi rata-rata 1,3 juta Ha pertahun.
Dengan melihat data-data luasan lahan kritis dan deforestasi yang
ada di wilayah Indonesia umumnya dan di wilayah Jawa Barat, maka
dipandang perlu untuk menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah
dan air berupa peghutanan kembali seperti kegiatan gerakan
rehabilitasi lahan dan hutan (GERHAN) yang dimulai tahun 2003.

| 163 |
Prosiding Workshop, 2009 : 161-175

III. METODE PENGENDALIAN EROSI DAN


KONSERVASI TANAH
Menurut Arsyad (1989) dan Cendrawasih, dkk (2000), secara garis
besar, kegiatan pengendalian erosi dan konservasi tanah dapat
dilakukan dengan cara :
Metode vegetatif
Yaitu penggunaaan tanaman atau tumbuhan dan serasahnya
untuk mengurangi daya rusak hujan yang jatuh, serta jumlah dan daya
rusak aliran permukaan/erosi. Dalam metode ini antara lain
dilakukan penanaman tanaman penutup tanah secara terus menerus,
penanaman dalam bentuk strip, pergiliran tanaman dengan tanaman
pupuk hijau, sistem wanatani dan lain sebagainya.
Metode mekanik
Metode mekanik ini meliputi semua perlakuan fisik mekanik yang
diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk
mengurangi aliran permukaan dan erosi serta meningkatkan
kemampuan penggunaan tanah. Metode ini antara lain meliputi
pembuatan teras sederhana (batu, bambu, ranting), guludan, rorak,
tanggul dan teras.
Metode kimia
Metode ini dilakukan dengan menggunakan preparat kimia
sintesis atau alami. Preparat-preparat kimia ini dikenal dengan istilah
soil conditioner. Penggunaan preparat ini bertujuan untuk membentuk
struktur tanah yang stabil. Pada tahun 1950-an senyawa yang banyak
digunakan yaitu campuran dimethyl dichlorosilane dan
methylthrichlorosilane (MCS). Namun berhubung harga preparat ini
relatif mahal, maka dicari alternatif lain yaitu yang dikenal dengan
nama Emulsi Bitumen. Bahan kimia ini merupakan cairan yang
mudah menguap, dimana gas yang terbentuk bercampur dengan air
tanah. Senyawa yang terbentuk menyebabkan agregat tanah menjadi
stabil. Disamping itu pula, permeabilitas tanah dipertinggi dan erosi
menjadi berkurang. Pengaruh penggunaan senyawa ini berjangka
lama, dikarenakan senyawa tersebut tahan terhadap serangan mikroba
tanah.
IV. PEMILIHAN JENIS POHON
Dasar-dasar
Lahan-lahan terdegradasi yang terbentuk akibat adanya
bencana banjir atau tanah longsor, umumnya memiliki kondisi tanah
yang buruk, yaitu mengalami kehilangan secara berlebihan beberapa
unsur hara dari daerah perakaran, serta berkuranganya kemampuan

| 164 |
Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)

tanah tersebut untuk menyerap dan menahan air. Oleh karena itu
dalam hal pemilihan jenis-jenis pohon/tanaman yang akan digunakan
untuk memulihkan kondisi tersebut, disarankan untuk menggunakan
jenis-jenis yang dalam pertumbuhannya tidak memerlukan air yang
terlalu banyak, evapotranspirasi rendah dan mempunyai sifat tahan
terhadap kekeringan (Cendrawasih, dkk, 2000). Secara lebih lengkap
lagi Arsyad (1989) menyebutkan bahwa jenis-jenis yang digunakan
sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut :
o Termasuk jenis yang cepat tumbuh.
o Harus mampu menghasilkan serasah yang banyak
o Bertajuk lebat
o Mampu hidup dengan baik di tempat tersebut.
o Sistem perakaram melebar, kuat, dalam dan berakar serabut
cukup banyak
o Mudah ditanam dan tidak memerlukan pemeliharaan
o Tahan terhadap hama dan penyakit
o Mampu memperbaiki tanah terutama untuk kandungan unsur
nitrogen
o Sedapat mungkin bernilai ekonomis dan dalam jangka pendek
dapat menghasilkan bahan makanan seperti buah-buahan,
makanan ternak dan lain-lain.
Menurut Ginting dkk (1995) persyaratan yang perlu dipenuhi
dalam pemilihan jenis-jenis pohon untuk tujuan reboisasi atau
pemulihan lahan terdegradasi antara lain :
o Mampu tumbuh di tempat terbuka dengan penyinaran penuh
(jenis pioner, intoleran, beriap besar).
o Dapat tumbuh dan bersaing dengan alang-alang serta cepat
menutup tanah.
o Mudah bertunas setelah terbakar atau dipangkas
o Dapat bersimbiose dengan jasad renik tanah
o Biji atau bagian vegetatif untuk pembiakan mudah
didapat/diperoleh
o Untuk tujuan penghijauan, jenis-jenis pohon yang dipilih harus
disenangi oleh masyarakat.
Adapun ciri-ciri jenis pioner untuk lahan kritis menurut
Hendromono 2004 (dari Steenis 1941 yang diterjemahkan
Hardjosoediro 1981 ) adalah:
o Tidak toleran terhadap naungan
o Mampu tumbuh pada iklim dan tanah yang beragam
o Perakarannya kuat dan mempunyai akar vena yang kuat
o Bijinya banyak dan dapat berbuah pada umur muda

| 165 |
Prosiding Workshop, 2009 : 161-175

o Mudah keluar terubusan


o Kebanyakan berumur pendek
Guna menunjang keberhasilan kegiatan pemulihan lahan-lahan
yang terdegradasi atau lahan kritis, faktor lain yang perlu diperhatikan
yaitu adanya kesesuaian antara kualitas lahan yang tersedia dengan
persyaratan tumbuh jenis yang terpilih. Dalam Gintings, dkk (1995)
disebutkan bahwa persyaratan tempat tumbuh yang utama, yaitu
meliputi: tinggi tempat, curah hujan, temperatur, tekstur tanah/ jenis
tanah, pH, drainase dan toleransi tanaman terhadap cahaya.
Disamping itu, dalam hal pemilihan jenis-jenis pohon yang akan
digunakan dalam kegiatan pemulihan lahan-lahan terdegradasi,
disarankan menggunakan jenis-jenis lokal atau jenis andalan setempat.
Hal ini merupakan salah satu upaya untuk mengurangi kegagalan
pelaksanaan kegiatan tersebut, dengan asumsi bahwa jenis-jenis
tersebut dianggap memiliki kemampuan yang cukup untuk dapat
tumbuh baik di lingkungannya. Disisi lain jika ingin menggunakan
jenis-jenis yang eksoktik, sebaiknya dipilih jenis pohon yang sudah
melaui tahap domestikasi.
Faktor lainnya yang perlu diperhatikan adalah, perlu melakukan
pemilihan jenis tumbuhan bawah atau tanaman sela dengan tepat.
Hal ini disebabkan seringkali dalam kegiatan pemulihan lahan-lahan
yang terdegradasi, yang diutamakan hanya pemilihan jenis pohon
utama, sedangkan tumbuhan bawahnya terabaikan, akibatnya erosi
masih dapat terjadi.
Tanaman penutup tanah tersebut pada dasarnya mempunyai
peranan yang cukup besar untuk mengurangi erosi, dikarenakan dapat
mengurangi dispersi air hujan, mengurangi kecepatan aliran
permukaan, serta dapat memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah.
Selain kriteria-kriteria di atas pemilihan jenis pohon untuk
membentuk hutan menurut Landsberg dan Gower (1997) proses tata
air dalam hutan dipengaruhi oleh bentuk tajuk dan kerapatan tegakan.
Adapun bentuk tajuk pohon berbeda-beda menurut jenis pohon serta
umur tegakan semakin tua dapat menangkap curah hujan (intersepsi)
semakin banyak tetapi semakin jarang suatu tegakan semakin sedikit
air yang tertahan oleh tajuk ( Kimmins, 1987 ).
Jenis-Jenis Terpilih
Berdasarkan kriteria pada dasar-dasar pemilihan jenis pohon yang
telah disebutkan di atas, maka jenis-jenis yang direkomendasikan
untuk dipilih dengan persyaratan tumbuh yang dapat dilihat pada
Tabel 1, 2, 3, 4 dan 5 terlampir sebagai berikut :

| 166 |
Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)

Sebagai pengendali erosi


Dengan ciri sebagai berikut:
o Tajuk rindang dan sedang
o berakar intensif dengan akar tunggang panjang,
o tumbuh cepat di waktu muda.
Jenis Pohon antara lain:
- Sengon (Paraserianthes falcataria)
- Tisuk (Hibiscus macrophyllus)
- Marmojo (Indigofera galegoides)
- Gianti (Sesbania sesban)
- Hahapaan (Flemingia congesta)
- Kemlandingan (Leucaena glauca)
- Johar (Cassia siamea)
- Mindi (Melia azedarach)
- Balsa (Ochroma bicolor)
- Wunggu/bungur (Lagrestromia speciosa)
- Alingsem (Homalium tomentosum)
- Eucalyps (Eucalyptus alba)
- Laban (Vitex pubescens)
- Kemiri (Aleurites moluccana)
- Damar (Agathis sp )

Sebagai pengendali longsor


Dengan ciri sebagai berikut:
- berakar kurang intensif, akar tunggang tumbuh cepat dan dalam,
pertumbuhan batang kurang cepat di waktu muda. Tajuk sedang
s/d rimbun
Jenis Pohon antara lain:
- Tekik (Albizzia lebeck)
- Pilang (Acacia leucophlocea)
- Asem (Tamarindus indica)
- Tajuman (Bauhinia malabarica)
- Trengguli (Cassia fistula)
- Sonokeling (Dalbergia latifolia)
- Sonosisso (Dalbergia sisso)
- Sonokembang (Pterocarpus indicus)
- Mahoni daun lebar (Swietenia macrophylla)
- Rengas (Gluta renghas)
- Kesambi (Schleichera oleosa)
- Jati (Tectona grandis)

Pilihan jenis untuk usaha penghutanan kembali dikemukakan


Manan 1992 dalam Dep. Kehutanan, sebagai berikut :

| 167 |
Prosiding Workshop, 2009 : 161-175

1. Hutan lindung 2. Hutan konservasi


a. Schima noronhae, a. Ficus benjamina,
b. Atingia excelsa, b. Tamarindus indica,
c. Schima bancana, c. Antidesma bunius,
d. Peronema canescens, d. Adenanthera pavonin,
e. Acacia decurrens, e. Mangifera sp.,
f. Cassia siamea, f. Canarium sp.,
g. Pterocarpus indicus, g. Eugenia sp.,
h. Duabanga mollucana, h. Lagerstromia sp.,
i. Schima walichii i. Durio sp.,
j. Melaleuca leucadendron, j. Artocarpus integra
k. Eucalyptus deglupta,
l. Quercus sp,
m. Shorea stenoptera, 3. Hutan Produksi
n. Aleuritas maluccana, a. Tectona grandis,
o. Arenga pinnata, b. Eucalyptus deglupta,
p. Anacardium occidentale,c. E. urophylla,
q. Parkia speciosa, d. Acacia mangium,
r. Bambussa sp, e. A. decurrens
s. Gnetum gnemon, f. Swietenia macrophylla,
t. Artocarpus integra, g. Pterocarpus indicus,
u. Gosampinus heptaph, h. Dalbergia latifolia,
v. Durio zibethinus. i. Pinus merkusii
j. Paraserianthes falcataria
Tanaman buah-buahan yang dianjurkan untuk pengawetan
tanah dan air/jenis
Dengan ciri: - berumur panjang.
Jenis Pohon antara lain:
- Cengkeh (Eugenia aromatica)
- Jambu mete (Anacardium occidentale)
- Jambu biji (Psidium guajava)
- Rambutan (Nephelium lappaceum)
- Sirsak (Annona muricata)
- Alpukat (Persea americana)
- Nangka (Artocarpus heterophyllus)
- Aren (Arenga pinnata)
Untuk tujuan penyediaan makanan ternak
Jenis Pohon antara lain:
- Kemlandingan (Leucaena glauca)
- Putri malu (Mimosa pudica)
- Orok-orok (Crotalaria spp)

| 168 |
Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)

- Turi (Sesbania grandifolia)


- Dadap (Erythrina lithosperma)
- Rumput gajah (Pennisetum purpureum)
- Sentro (Centrocema pubescens)
- Stilo (Stilosanthes spp)
- Rumput raja (Pennisetum purpoides)
- Rumput setaria (Setaria anceps)
- Rumput bahia (Paspalum notarum)
Tanaman penguat teras atau tepi sungai/tebing juga sebagai
penahan longsor
Jenis Pohon antara lain:
- Aren (Arenga pinnata)
- Bambu (Giganthochloa sp)
- Kaliandra (Calliandra calothyrsus)
- Gamal (Glyricidia sepium)
- Salak (Salacca edulis)
- Rotan (Calamus sp)
Jenis-jenis untuk hutan rakyat
Jenis Pohon antara lain:
- Jati (Tectona grandis)
- Pinus (Pinus merkusii)
- Mahoni daun lebar (Switenia macrohylla)
- Damar (Agathis dammara)
- Sungkai (Peronema canescens)
- Kayu Afrika (Maesopsis eminii)
- Karet (Hevea brasiliensis)
- Durian (Durio zibethinus)

| 169 |
Prosiding Workshop, 2009 : 161-175

DAFTAR PUSTAKA

Al Rasyid, H. dan T. Samingan, 1979. Pendekatan Pemecahan


Masalah Kerusakan Kehutanan Sumber Daya Tanah dan Air
daerah Aliran Sungai, Dipandang dari Segi Ekologi. Lap. No.
300. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air . Institut Pertanian
Bogor.
Balai Teknologi Perbenihan, 2001. Atlas Benih Tanaman Indonesia.
Jilid 2, 3, dan 4. Penyunting: Buharman, D.F. Djam’an, N.
Widyana, dan Sudrajat S. Pulikasi Khusus Vol. 2 No. 6. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor. Indonesia.
Cendrawasih, P; O. Setiawan ; G. Tjakrawarsa; H. Yudono SHN, dan
W. Handayani, 2000. Petunjuk Teknis: Model Jalur Gamal
sebagai Alternatif Penanganan Lahan Kritis. Pusat Litbang
Hutan dan Konservasi alam. Balai Teknologi Pengelolaan
DAS Ujung Pandang.
Depertemen Kehutanan, 2001. Statistik Kehutanan Indonesia.
Penyunting: Bidang Statistik Kehutanan, Badan Planologi
Kehutanan.
Fauzi. A. M. 1987. Perencanaan Penelitian dan Monitoring DAS
secara terpadu kemungkinan dan masalahnya. Makalah
disampaikan dalam Lokakarya Hasil Penelitian Hidrologi dan
Erosi, Batu, Malang.
Gintings, A. N.; C. A. Siregar; Masano; Hendromono; M. Y. Mile dan
Hidayat. 1995. Pedoman Pemilihan Jenis Pohon Hutan
Tanaman dan Kesesuaian Lahan. Jakarta.
Kimmins, J. P. 1987. Forest Ecology Macmillan Publishing Company.
New York.
Landsberg and Gower. 1997. Application of Physiologycal Ecology
to Forest Management, Academic Press. San Diego.
Martawijaya, A; I. Kartasujana; K. Kadir; S. Among Prawira. 1995.
Atlas Kayu Indonesia. Jilid I dan II. Balai Penelitian Hasil
Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor. Indonesia.
Pratiwi, 2000. Jenis-jenis Pohon Andalan Setempat di Pulau Jawa dan
Sumatera Bagian Selatan. Sebaran dan Beberapa Data

| 170 |
Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)

Dasarnya. Info Hutan No. 123. Badan Penelitian dan


Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor, Indonesia.
Soerianegara, I and R.H.M.J. Lemmens (Editors). 1994. Plant
Resources of South-East Asia. No. 5 (1). Timber Trees :
Major Commercial Timbers. PROSEA. Bogor. Indonesia.
Sumarhani. 2004. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat sebagai
solusi rehabilitasi hutan dan lahan. Prosiding expose penerapan
hasil litbang. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.

| 171 |
Prosiding Workshop, 2009 : 161-175

LAMPIRAN

Tabel 1. Persyaratan Tumbuh beberapa Jenis Pohon Potensial


Pengendali Longsor / Erosi
No Persyaratan tumbuh
Jenis Pohon Nama Ketinggian Curah Tempe- Jenis
Daerah (m. dpl) hujan ratur Tanah /
(mm/th) (0C) pH
1. Paraserianthes Sengon Sengon 2000-4000 20 - 34 Tanah
falcataria laut laut kering,
lembab
pH asam -
netral
2. Hibiscus Waru Waru na na Tanah
macrophyllus gunung gunung lembab,
mangrove
3. Indigofera Marmojo Marmojo na na Berbagai
galegoides jenis tanah
4. Sesbania saban Gianti Gianti na na Berbagai
jenis tanah
5. Flemingia Hahapaan Hahapaan na na Berbagai
strobilifera jenis tanah
6. Leucaena Kemlandin 0 - 800 600-1000 25 - 30 Berbagai
glauca gan jenis tanah
pH asam -
netral
7. Cassia siamea Johar 0 - 1000 650-1500 13 - 35 Tanah
berkapur,b
erpasir
8. Melia Mindi 0 - 1000 A - C na Tanah liat,
azedarach berbatu
9. Ochroma Balsa 0 - 1000 1250-3000 22 - 27 Tanah
bicolor vulkanik,
allluvial
10. Lagerstroemia Bungur 0 - 800 C na Tanah
speciosa basah, liat,
berpasir
11. Homalium Alingsem 50 - 300 A - B na Tanah liat
tomentosum berpasir,
kering
12. Eucalyptus Eucalyps 0 - 1800 2500-5000 23 - 31 Berbagai
alba jenis tanah
13. Vitex Laban 0 - 1200 Berbagai
pubescens Jenis tanah
14. Aleurites Kemiri 0 - 1200 1100-2400 20 - 35 Tanah
moluccana subur,berp
asir,berkap
ur
15. Agathis sp Damar 0 - 2400 2000-4000 na Tanah
sarang,
agak
dalam,
subur

| 172 |
Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)

No Persyaratan tumbuh
Jenis Pohon Nama Ketinggian Curah Tempe- Jenis
Daerah (m. dpl) hujan ratur Tanah /
(mm/th) (0C) pH
16. Albizzia lebeck Tekik 0 - 300 2000 - 20-34 Tanah
4000 kering,
lembab
pH netral
17. Acacia Pilang 0 - 500 1500 - 12-34 Tanah
leucophlocea 3000 ultisol,
latosol
18. Vitex Asem 0 - 700 < 4000 na Berbagai
pubescens jenis
tanah,
kapur
19. Bauhinia Tajuman 0 - 400 na na
malabarica
20. Cassia fistula Trengguli 0 - 1000 650 - 1500 13-35 Tanah di
bawah
tegakan
jati
21. Dalbergia Sonoke- 0 - 600 C, D 24-33 Tanah
latifolia ling berbatu,
keras
pH asam-
netral
22. Dalbergia sisso Sonosisso 0 - 1500 500 - 18-33 Berbagai
4000 jenis tanah
pH asam-
netral
23. Pterocarpus Sono 0 - 800 A - D na Berbagai
indicus kembang jenis tanah
24. Swietenia Mahoni 0 - 1000 A - D na Bersolum
macrophylla daun lebar agak
dalam,
tekstur
sedang-
berat, pH
basa-netral
25. Gluta renghas Rengas 0 - 300 A, B, C 18-32 Tanah
pasir, liat
26. Schleichera Kesambi na na na
oleosa
na = data tidak tersedia

Tabel 2. Persyaratan Tumbuh beberapa Jenis Pohon Potensial Pengawetan Tanah dan Air
Persyaratan tumbuh
No Jenis Pohon Nama Ketinggian Curah Temperatur Jenis
Daerah (m. dpl) hujan (0C) Tanah /
(mm/th) pH
1. Eugenia aromatica Cengkeh na na na Tanah
vulkanik

| 173 |
Prosiding Workshop, 2009 : 161-175

Persyaratan tumbuh
No Jenis Pohon Nama Ketinggian Curah Temper Jenis
Daerah (m. dpl) hujan atur Tanah /
(mm/th) (0C) pH
2. Anacardium occidentale Jambu 0-600 80-1000 25-30 Berbagai
mete jenis
tanah,
tanah
kurus
3. Psidium guajava Jambu biji 0-1500 1000-2000 15-45 Berbagai
jenis tanah

4. Nephelium lappaceum Rambutan 30-600 > 500 18-25 Tanah


subur,berp
asir, liat
5. Annona muricata Sirsak 0-1000 > 1000 Berbagai
jenis tanah
6. Persea americana Alpukat 0-1000 300-2500 25-33 Berbagai
jenis tanah
pH asam-
netral
7. Artocarpus heterophyllus Nangka 400-1200 > 1500 16-21 Berbagai
jenis
tanah,
drainase
baik
8. Arenga pinnata Aren 500-800 > 1200 na Tanah liat,
berlumpur
, berpasir,
pH asam
na = data tidak tersedia

Tabel 3. Persyaratan Tumbuh beberapa Jenis Pohon Potensial Makanan Ternak


Persyaratan tumbuh
No Jenis Pohon Nama Daerah Ketinggian Curah Temper Jenis
(m. dpl) hujan atur Tanah
(mm/th) (0C) / pH
1. Leucaena glauca Kemlandingan 0-1500 na na na
2. Mimosa pudica Putri malu na na na na
3. Crotalaria spp Orok-orok 100-300 na na na
4. Sesbania grandifolia Turi 0-800 1000-2000 18-34 Berbaga
i jenis
tanah
5. Erythrina Dadap > 1200 na na Tanah
lithosperma basah,
rawa
6. Pennisetum Rumput gajah na na na na
purpureum
7. Centrosema pubescens Sentro na na na na
8. Stilosanthes spp Stilo na na na na
9. Pennisetum purpoides Rumput raja na na na na
10. Setaria sphacelata Rumput setaria 200-3000 600-1000 20-30 na
11. Paspalum notarum Rumput bahia na na na na
na = data tidak tersedia

| 174 |
Pemilihan Jenis…..(A. Syaffari Kosasih, dkk)
Tabel 4. Persyaratan Tumbuh beberapa Jenis Pohon Potensial Penguat Teras, Tepi Sungai dan
Tebing
Persyaratan tumbuh
No Jenis Pohon Nama Ketinggian Curah Tempe- Jenis Tanah /
Daerah (m. dpl) hujan ratur pH
(mm/th) (0C)
1. Arenga pinnata Aren 500-1400 > 1200 na Tanah liat,
berlumpur,
berpasir , pH
asam
2. Giganthochloa Bambu 0-1200 2000-2500 20-30 Berbagai jenis
spp tanah, tidak
terlalu kering,
pH sedikit
asam
3. Calliandra Kaliandra 0-1800 2000-4000 25-30 Berbagai jenis
calothyrsus tanah
pH asam -
netral
4. Glyricidia sepium Gamal 0-2000 500-1800 na Berbatu,
berkapur
5. Salacca edulis Salak > 500 1700-3100 na Podzolik,
Regosol
6. Calamus sp Rotan 800 - 1300 3500 14-24 Berbagai jenis
tanah
na = data tidak tersedia

Tabel 5. Persyaratan Tumbuh beberapa Jenis Pohon Andalan Di Jawa Barat


Persyaratan tumbuh
No Jenis Pohon Nama Ketinggian Curah Tempe- Jenis Tanah /
Daerah (m. dpl) hujan ratur pH
(mm/th) (0C)
1. Tectona grandis Jati 0-900 1200-3000 18-32 Tanah berkapur,
pH netral - basa
2. Pinus merkusii Pinus 200-1600 2000-3000 16-30 Berbagai jenis
tanah, porous
pH asam- netral,
vulkanik
3. Swietenia Mahoni 50-1400 1400-1600 16-35 Solum agak
macrophylla daun dalam
lebar pH netral-basa
4. Agathis dammara Damar 100-1600 2000-4000 12-34 Tanah sarang,
agak dalam dan
subur, pH asam-
netral
5. Peronema Sungkai 0-600 > 1000, A 24-33 Tanah
canescens -C kering/basah,
pH asam-netral
6. Maesopsis eminii Kayu 100-1500 1400-3600 16-32 Tanah bebas
afrika genangan air
7. Hevea brasiliensis Karet 0-300 2000-4000 26-28 pH netral-asam
8. Durio zibethinus Durian 50-1000 A 22-32 pH netral-asam,
vulkanik

| 175 |
17. PENGELOLAAN HUTAN LESTARI SEBAGAI BASIS
PENINGKATAN DAYA DUKUNG
DAERAH ALIRAN SUNGAI1

Oleh :
Paimin2

ABSTRAK

Penyelenggaraan kehutanan lestari pada aspek lingkungan abiotik (non hayati)


diamanatkan UU No. 41 Tahun 1999 yakni bahwa tujuan penyelenggaraan
kehutanan adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang
berkeadilan dan berkelanjutan dengan meningkatkan daya dukung Daerah
Aliran Sungai (DAS). Hutan memiliki kekhasan ekosistem tertentu sehingga
hutan ditetapkan berdasarkan fungsi pokoknya yakni hutan konservasi,
lindung, dan produksi dengan sistem pengelolaan sesuai dengan fungsinya.
Melalui daur air (hidrologi) dalam unit DAS, peran hutan sebagai pelindung
efektif sumberdaya tanah serta regulator tata air dapat dievaluasi untuk
mengukur kelestarian penyelenggaraan kehutanan. Untuk mengelola hutan
produksi, hutan alam dan hutan tanaman, pemerintah telah memberikan
kriteria dan indikator yang harus dipenuhi oleh para penyelenggara hutan
produksi (mandatory) melalui Keputusan Menteri Kehutanan. Disamping itu
banyak institusi yang juga mengeluarkan pedoman untuk sertfikasi pengelolaan
hutan alam dan hutan tanaman produksi lestari, bersifat pilihan (voluntary),
seperti dari LEI, ITTO, dan CIFOR. Semua pedoman pada prinsipnya
menekankan tiga aspek kelestarian utama dalam pengelolaan hutan produksi
lestari yakni aspek produksi (ekonomi), lingkungan, dan sosial budaya. Unsur
dukungan kelestarian DAS dicerminkan dari parameter penyusun kelestarian
lingkungan non hayati yakni kelestarian tanah dan tata air. Fungsi hutan
sebagai pelindung tanah akan berubah dengan perubahan ekosistem tanaman
hutan, seperti penebangan yang diikuti pembukaan lahan, kebakaran, dan
tanah longsor. Kebakaran hutan merupakan gangguan yang besar terhadap
ekosistem hutan. Meskipun tanaman pokok hutan tidak mati oleh api tetapi
serasah dan tumbuhan bawah yang habis terbakar mengakibatkan tanah
terbuka sehingga rentan terhadap erosi dan banjir. Sebagai regulator tata air,

1
Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007.
2
Peneliti Madya Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah, Balai Penelitian
Kehutanan Solo. Jl. A. Yani Po Box 295 Pabelan. Telp.+62.271.716709, Fax.
+62.271.716709, email : paimin_das@yahoo.com.

| 176 |
Pengelolaan Hutan Lestari....(Paimin)
hutan dalam satuan wilayah DAS merupakan sumber cadangan dan pasokan
air yang sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian, industri, dan konsumsi
rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan tidak
meningkatkan hasil air (pasokan) tetapi justru menurunkan hasil air karena
evapotranspirasi yang tinggi.Walaupun hasil air berkurang tetapi peran hutan
yang lebih besar perlu dipertimbangkan dalam membangun hutan seperti jenis
tanaman, kualitas air, pengendalian banjir, kemantapan pasokan air, nilai
ekonomi air, dan jasa lingkungan sebagai kompensasi pengurangan hasil air
tersebut. Hasil air (jumlah, mutu, dan kontinyuitas) dari kawasan hutan tidak
hanya tergantung vegetasi hutannya tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor alam
lainnya, seperti jenis batuan (geologi), tanah, lereng, dan iklim. DAS
merupakan integrator yang obyektif dan rasional dalam membangun jalinan
instititusional antar penyelenggara lahan, baik hutan dan non hutan, secara
terpadu interaktif-simbiotik.

Kata kunci : hutan lestari, DAS, lahan, tata air, integrator

I. PENDAHULUAN
Sumberdaya alam dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi
lingkungan hidup. Atas dua fungsi dasar tersebut, sumberdaya alam
senantiasa harus dikelola secara seimbang untuk menjamin
keberlanjutan pembangunan nasional. Demikian juga sumberdaya
hutan yang merupakan modal pembangunan nasional bagi kehidupan
dan penghidupan bangsa, pengelolaannya diselenggarakan berasaskan
manfaat dan lestari yakni setiap pelaksanaan penyelenggaraan
kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur
lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi (UU No. 41 Tahun
1999). Dalam mencapai manfaat secara seimbang tersebut maka
praktek pengelolaan hutan tidak hanya berorientasi pada hasil kayu
dan hasil hutan bukan kayu tetapi diubah menjadi pengelolaan yang
berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya hutan, termasuk
plasma nuftah dan jasa lingkungan, dan berbasis pada pemberdayaan
masyarakat. Unsur lingkungan hutan bersifat biotik (flora dan fauna)
maupun abiotik (tanah dan air).
Penyelenggaraan kehutanan yang memperhatikan unsur
lingkungan abiotik hutan diamanatkan dalam pasal 3 amar (c)
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yakni bahwa tujuan
penyelenggaraan kehutanan adalah untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan

| 177 |
PROSIDING Workshop, 2009 :176-185
meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS).
Melalui satuan wilayah DAS maka penyelenggaraan kehutanan dapat
dievalusi kelestarian sumberdaya lahan di dalam DAS dan kelestarian
sumberdaya air di dalam maupun yang keluar dari kawasan hutan
dalam DAS. Laju deforestasi semakin meningkat yakni 1,6 juta hektar
per tahun pada periode 1985-1997 menjadi 2,1 juta hektar per tahun
paada periode 1997-2001. Praktek penebangan liar dan konversi
lahan hutan menimbulkan dampak yang luas dimana salah satunya
adalah kerusakan ekosistem dalam tatanan DAS. Kondisi DAS kritis
meningkat dari 22 DAS pada tahun 1984 menjadi berturut-turut 39,
62, dan 282 pada tahun 1992, 1998, dan 2004 (Peraturan Presiden No
7 tahun 2005). Dengan demikian indikasi lemahnya daya dukung
DAS menunjukkan menurunnya penyelenggaraan pengelolaan hutan
secara lestari, tidak saja pada hutan produksi tetapi juga pada hutan
lindung dan hutan konservasi.
Kelestarian hutan terhadap peningkatan daya dukung DAS tidak
hanya bemanfaat bagi kawasan hutannya sendiri tetapi juga bagi
wilayah di luar kawasan hutan bagian hilir (off site) yakni berupa
pasokan air untuk kehidupan, seperti untuk irigasi pertanian, industri,
rumah tangga, sebagai pengendali banjir, dan sebagai pengurangan
sedimentasi waduk, sungai, saluran air, dan bangunan air yang vital
lainnya. Dari aspek jasa ternyata aliran air yang jernih dan mengalir
sepanjang tahun dalam lingkungan alam yang indah bisa menjadi
tempat wisata yang bisa memberikan keuntungan ekonomi, termasuk
bagi masyarakat sekitarnya.
Tulisan yang disampaikan ini bertujuan untuk memberikan
telaah tentang peran pengelolaan hutan dalam meningkatkan
kelestarian lingkungan abiotik (lahan dan air) hutan dalam satuan
wilayah DAS. Keberhasilan pengelolaan hutan juga dipengaruhi oleh
penyelenggara kehutanannya sendiri dalam memahami hutan sebagai
sumberdaya dan lingkungan secara menyeluruh.

II. PENGELOLAAN HUTAN LESTARI

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan


berisi sumberdaya alam hayati (biotik) yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya
tidak bisa dipisahkan. Memperhatikan pengertian hutan seperti ini

| 178 |
Pengelolaan Hutan Lestari....(Paimin)
maka sebagian masyarakat memahami hutan hanya sebagai komunitas
pepohonan tanpa menelaah lebih dalam tentang pengertian tersebut.
Sumberdaya alam hayati memberikan pengertian bahwa hutan tidak
saja berisi pohon tetapi juga tanaman bawah lainnya yang sangat
beragam jenisnya (flora) serta hewan dari hewan liar yang besar
sampai jasad renik atau mikro-organisme. Persekutuan alam
lingkungan menunjukkan interaksi menyeluruh dari sumberdaya alam
hayati, non hayati (abiotik), dan iklim sehingga membentuk ekosistem
hutan yang khas.
Dengan kekhasan ekosistem hutan tersebut maka hutan
mempunyai tiga fungsi yakni fungsi konservasi, fungsi lindung, dan
fungsi produksi. Oleh karena itu hutan ditetapkan berdasarkan fungsi
pokok tersebut yakni hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan
produksi (UU No. 41 Tahun 1999). Berkenaan dengan ketetapan
hutan berdasarkan fungsi tersebut maka sistem pengelolaannyapun
berbeda sesuai dengan fungsinya. Untuk mengelola hutan produksi,
hutan alam dan hutan tanaman, pemerintah telah memberikan kriteria
yang harus dipenuhi oleh para penyelenggara hutan produksi
(mandatory) melalui Keputusan Menteri Kehutanan.
Sebagai pedoman penyelenggaraan pengelolaan hutan produksi
alam lestari, Menteri Kehutanan telah mengeluarkan Keputusan No.
252/Kpts-II/1993 jo SK MenHut No. 4795/Kpts-II/2002. Dalam
Keputusan tersebut dituangkan 4 (empat) kriteria, dengan disertai
indikator-indikatornya, yakni kriteri prasarat (enam indikator),
produksi (tujuh indikator), ekologi (enam indikator), dan sosial (lima
indikator). Disamping itu banyak institusi yang juga mengeluarkan
pedoman untuk sertfikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari
(PHAPL), bersifat pilihan (voluntary), seperti dari Lembaga Ekolabel
Indonesia (LEI, 2002), International Timber Trade Organization
(IITO, 2000), dan Center for International Forestry Research
(CIFOR, 1999). Semua pedoman pada prinsipnya menekankan tiga
aspek kelestarian utama dalam pengelolaan hutan alam produksi
lestari yakni aspek produksi (ekonomi), lingkungan, dan sosial budaya.
Unsur dukungan kelestarian DAS dicerminkan dari parameter
penyusun kelestarian lingkungan non hayati (abiotik) yakni kelestarian
tanah dan tata air.
Demikian juga untuk Pengelolaan Hutan Tanaman Produksi
Lestari (PHTPL), pemerintah memberikan pedoman pengelolaan,

| 179 |
PROSIDING Workshop, 2009 :176-185
bersifat mandatory, melalui Keputusan Menteri Kehutanan No
177/Kpts-II/2003. Seperti pada pengelolaan hutan alam produksi,
LEI dan CIFOR juga menerbitkan pedoman sertifikasi untuk
PHTPL. Kriteria dan indikator telah ditetapkan dalam setiap
pedoman, yang mencakup aspek produksi, lingkungan, dan sosial
budaya, untuk digunakan sebagai acuan penilaian (assesssment) tingkat
kelestarian dari pengelolaan hutan yang diselenggarakan.
Sementara itu untuk penyelenggaraan pengelolaan hutan
lindung dan konservasi, pedoman yang tersedia belum selengkap
seperti yang digunakan untuk penilaian kelestarian hutan produksi.
Padahal dari interaksi sistem sumberdaya alam yang berada di
dalamnya mestinya penilaian kawasan lindung tidak hanya pada tata
air, dan pada kawasan konservasi tidak hanya flora dan fauna,
melainkan seluruh sumberdaya alam hutan secara keseluruhan.

III. KONDISI DAS SEBAGAI INDIKATOR


KELESTARIAN HUTAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang


merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya,
yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang
berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas
di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU
No. 7 Tahun 2004). Air di bumi selalu bergerak dalam berbagai
bentuk dan letaknya mengikuti kaidah siklus/daur air
(water/hydrological cycle). Daur air inilah yang membentuk hubungan
wilayah hulu dan hilir dimana setiap intervensi manusia terhadap
sumberdaya alam, terutama aktivitas penggunaan lahan, berdampak
pada proses hidrologis (Dixon dan Easter, 1986). Melalui daur air
(hidrologi) dalam unit DAS, hutan secara umum dipandang memiliki
peran penting sebagai pelindung efektif sumberdaya tanah serta
regulator tata air, baik jumlah, mutu, maupun distribusinya. Oleh
karena itu pengelolaan hutan lestari dipandang bisa meningkatkan
daya dukung DAS. Lebih lanjut diamanatkan dalam pasal 18 UU No
41 Tahun 1999 bahwa guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat
sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat, pemerintah
menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan

| 180 |
Pengelolaan Hutan Lestari....(Paimin)
dan penutupan hutan untuk setiap DAS dan atau pulau minimal 30%
dengan sebaran proporsional. Pengertian ini tidak hanya pada hutan
lindung tapi seluruh bentuk penggunaan lahan hutan baik hutan
produksi maupun hutan konservasi. Angka 30% ini sering disalah
artikan bahwa kebutuhan luas hutan hanya 30% sehingga kelebihan
luas bisa dikonversi untuk penggunaan lain tanpa mempertimbangkan
kondisi DAS, karakteristik lahan, tipe sungai, fungsi hutan, sosial
budaya, ekonomi, dan kelembagaan masyarakat seperti diamanatkan
dalam pasal 17 UU No 41 tahun 1999. Persentase luas dalam DAS
menjadi beragam tergantung dari kondisi iklim (hujan), geologi,
bentuk lahan, topografi, tanah, dan sosial ekonomi masyarakat
sekitarnya.
Proses interaktif antara vegetasi (hutan), tanah, dan iklim
berpengaruh terhadap limpasan permukaan (surface runoff) maupun
erosi. Fungsi hutan sebagai pelindung tanah akan berubah dengan
perubahan dalam ekosistem tanaman hutan, seperti penebangan yang
diikuti pembukaan lahan, kebakaran, dan tanah longsor. Kebakaran
hutan merupakan gangguan yang besar terhadap ekosistem hutan.
Meskipun tanaman pokok hutan tidak mati oleh api tetapi serasah
dan tumbuhan bawah yang habis terbakar mengakibatkan tanah
terbuka sehingga rentan terhadap erosi. Kerusakan erosi pada tanah
terbuka di bawah tegakan pohon lebih besar dibandingkan tanah
terbuka tanpa tanaman. Besarnya erosi dari kawasan hutan dapat
tercermin dari sedimen yang terangkut dalam aliran air yang keluar
dari Daerah Tangkapan Air (DTA) terukur. Hal ini menunjukkan
kelestarian produksi/ekonomi terjaga tetapi kelestaraian sumberdaya
tanah dan air (ekologi) mengalami degradasi.
Apabila tutupan hutan dan ekosistem tanaman dalam kondisi
baik tetapi aliran air yang keluar dari hutan lebih keruh dari biasanya,
kemungkinan terjadi tanah longsor dengan massa tanah cukup besar
terangkut aliran air. Tanah longsor pada tebing sungai yang kemudian
menyumbat palung sungai secara tidak sengaja akan membentuk
waduk/dam. Apabila sumbat ini jebol, sementara itu tandon air di
hulu waduk sudah cukup besar, maka akan mengakibatkan banjir
bandang dengan kerugian besar di daerah hilirnya. Seperti peristiwa
banjir bandang di Pacet dan Jember, Jawa Timur, serta di Bohorok,
Sumatera Utara, ternyata banjir yang terjadi bukan banjir normal
karena deforestasi atau illegal logging tetapi merupakan akumulasi

| 181 |
PROSIDING Workshop, 2009 :176-185
dari aliran air banjir normal ditambah jebolnya air tampungan yang
besar dari palung sungai yang tersumbat oleh tanah longsor di tebing
sungai. Memperhatikan adanya multi-proses tanah longsor dan banjir
tersebut maka observasi proses demikian sangat penting pada
kawasan hutan lindung dan hutan konservasi yang jarang sekali
dikunjungi atau dijamah petugas.
Sebagai regulator tata air, DAS dipandang merupakan cadangan
dan pasokan air yang sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian,
industri, dan konsumsi rumah tangga. Kecukupan pasokan air sangat
diharapkan dari kawasan hutan yang bisa memberikan kecukupan
baik jumlah, mutu, maupun kontinyuitasnya. Hutan memiliki
kemampuan sebagai penahan air hujan yang jatuh di atasnya untuk
disimpan di dalam bumi yang kemudian secara alami dialirkan
sepanjang tahun melalui aliran bawah permukaan (sub surface flow),
terutama pada musim kemarau. Namun berdasarkan hasil penelitian
akhir-akhir ini menunjukkan bahwa hutan tidak meningkatkan hasil
air tetapi justru sebaliknya menurunkan hasil air karena besarnya
jumlah evapotranspirasi (Hamilton, dan Pearce, 1986). Transpirasi
tanaman hutan yang tinggi mengakibatkan kandungan lengas tanah di
bagian bawah (daerah perakaran dalam) lebih kering dibandingkan
bagian atas yang tertutup serasah sehingga evaporasi di permukaan
tanah rendah.
Walaupun pasokan air dari hutan berkurang dibanding areal
bukan hutan tetapi peran hutan yang lebih besar perlu
dipertimbangkan seperti pengendali kualitas air dari sedimen,
pengendalian banjir, dan kemantapan kawasan sebagai kompensasi
pengurangan hasil air tersebut. Perubahan hutan menjadi penggunaan
lain, seperti pertanian dan padang rumput, akan berdampak pada
tingkat erosi yang lebih tinggi sehingga berakibat pada penurunan
kualitas lahan, kualitas air menurun karena kekeruhan dan bahan
pencemar lainnya, serta penurunan fungsi sarana prasarana di daerah
hilirnya akibat sedimentasi. Disamping itu debit puncak (air banjir)
akan meningkat sehingga derita kerugian di hilir akan lebih besar pula.
Pasokan air yang keluar dari kawasan hutan lehih mantap
dibandingkan yang keluar dari penggunaan lahan lainnya yang relatif
lebih dinamis sehingga jaminan pasokan lebih mudah diperhitungkan
secara rasional dan obyektif. Dengan demikian penyelenggaraan
hutan lestari yang kemungkinan menurunkan pasokan air bukan

| 182 |
Pengelolaan Hutan Lestari....(Paimin)
merupakan pembenaran terhadap penggundulan dan konversi hutan.
Hal ini merupakan peringatan bagi penyelenggara kehutanan untuk
berhati-hati dalam mengelola hutannya sehingga tidak menimbulkan
defisit pasokan air dari kawasannya. Hasil air (jumlah, mutu, dan
kontinyuitas) dari kawasan hutan tidak hanya tergantung vegetasi
hutannya tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor alam lainnya, seperti
jenis batuan (geologi), tanah, lereng, dan iklim. Pemilihan jenis
tanaman hutan, terutama eksotik, harus dilakukan secara cermat agar
tidak menimbulkan penurunan potensi hasil air.
Sumbangan air yang cukup besar dari kawasan hutan masih
jarang dinilai secara ekonomis dalam sistem pengelolaan hutan dalam
satuan DAS. Hal ini menjadi tidak adil apabila ternyata air yang
dihasilkan dimanfaatkan secara komersial, seperti untuk industri air
minum, konsumsi hotel, tenaga listrik, dll. Memperhatikan fakta
lapangan tersebut perlu adanya pencermatan dan pemilahan nilai
manfaat antara pemanfaatan publik dan komersial. Penilaian hasil
secara ekonomi akan bisa menuntun upaya kompensasi antara
pemanfaat (hilir) dan pemelihara (hulu) sumberdaya air.

IV. DAS SEBAGAI INTEGRATOR PENYELENGGARA


KEHUTANAN

Berkaitan dengan tata air dalam DAS, banyak pihak terkait baik
sebagai pemelihara maupun sebagai sebagai pemanfaat pasokan air
dari kawasan hutan. Hubungan antar pihak perlu ditata secara cermat
sehingga hak dan kewajibannya secara jelas dapat difahami dan tata
hubungan kerja dapat dibangun secara sinergis. Wilayah DAS
tersusun dari berbagai penggunaan lahan seperti hutan, perkebunan,
pertanian, pemukiman, tambang, dan industri, dll. Masing-masing
penggunaan lahan bisa berfungsi sebagai pemelihara dan atau sebagai
pemanfaat sumberdaya air. Namun demikian belum bisa diharapkan
setiap penyelenggara kawasan/lahan memiliki kesadaran kewajiban
dalam pelestarian daya dukung DAS.

| 183 |
PROSIDING Workshop, 2009 :176-185

PERKEBU
NAN PEMUKIMAN

DAS

PERTANIA
HUTAN HUTAN
N
RAKYAT KONSERVA
PANGAN HUTAN SI
NEGARA
DAS
Hut-Lindung,
Hut-Produksi, HUTAN
Hut-Konsvasi LINDUNG
HUTAN,
Produksi

Gambar 1. Ekosistem DAS Sebagai Integrator Pemangku


Penggunaan Lahan
Secara internal kehutanan, hutan sendiri terdiri dari fungsi-
fungsi produksi, lindung, dan konservasi dimana masing-masing
fungsi berbeda institusi penyelenggara atau pemangkunya. Peran para
pihak kehutanan, terutama para penyelenggara kehutanan,
merupakan suatu keharusan dalam meningkatkan pasokan air,
menanggulangi bencana banjir, kekeringan, erosi sedimentasi, dan
tanah longsor sebagai salah satu bentuk penjabaran dan implementasi
dari UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Pasal 3 butir (c)
seperti disebutkan sebelumnya.
Sebagai penyatu pemahaman kesatuan lintas wilayah
pemangkuan, wilayah DAS dapat digunakan bersama sebagai alat
intregator seperti diilustrasikan pada skema Gambar 1. Kesatuan
pemangku kawasan/wilayah penggunaan lahan dalam satuan
ekosistem DAS akan memberikan dukungan sistem pengelolaan yang
kuat dalam upaya menuju penyelenggaraan kehutanan lestari.
V. PENUTUP
Daerah Aliran Sungai sebagai ekosistem digunakan sebagai unit
analisis untuk menilai tingkat kelestarian ekosistem abiotik hutan.

| 184 |
Pengelolaan Hutan Lestari....(Paimin)
Hubungan interaktif-simbiotik sumberdaya hutan biotik-abiotik
menjadikan DAS sebagai unit pengelolaan rasional semua fungsi
kawasan hutan (lindung, konservasi, dan produksi). Keberhasilan
penyelenggraan pengelolaan hutan dalam meningkatkan daya dukung
DAS akan memberikan multi-manfaat, baik di dalam dan sekitar
hutan maupun daerah hilirnya, sebagai pemasok air, baik untuk
kebutuhan soial/publik maupun komersial, pengendali sedimen,
pengendali pencemaran, banjir, dan kekeringan.
Nilai kelestarian ekologi tata air dan lahan dalam DAS pada
pengelolaan hutan seyogyanya tidak menggunakan satu nilai karena
kondisi kawasan hutan sangat beragam seperti jenis batuan (geologi),
tanah tanah, lereng, dan iklim, serta fungsi hutannya. Unit DAS
sangat penting untuk digunakan sebagai intregator pemangku
kawasan atau pengguna lahan sehingga diperoleh hubungan hulu-hilir
secara harmonis.

DAFTAR PUSTAKA

Dixon, J.A., K.W. Easter. 1986. Integrated Watershed Management :


An Approach to Resource Management. Hlm. 3-15. Dalam.
K.W. Easter, J.A. Dixon, and M.M. Hufschmidt. Eds.
Watershed Resources Management. An Integrated Framework
with Studies from Asia and the Pasific. Studies in Water Policy
and Management, No. 10. Westview Press and London.
Honolulu.
Hamilton, L.S., A.J. Pearce. Biophysical Aspects in Watershed
Management. Hlm. 33-52 Dalam. K.W. Easter, J.A. Dixon, and
M.M. Hufschmidt. Eds. Watershed Resources Management.
An Integrated Framework with Studies from Asia and the
Pasific. Studies in Water Policy and Management, No. 10.
Westview Press and London. Honolulu.
Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009. Lembaran
Negara RI Tahun 2005 Nomor 11.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Lembaran
Negara RI Tahun 1999 Nomor 167.
Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 32.

| 185 |
18. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI1
Oleh:
Saeful Rachman2

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara utuh mulai dari daerah hulu sampai hilir
terdiri dari berbagai tipe ekosistem yang mengandung potensi sumber daya alam
hayati dan non-hayati yang sangat berguna bagi kehidupan manusia baik dari
aspek ekonomi, lingkungan maupun sosial budaya. Sumber daya alam di DAS
tersebut dikelola oleh berbagai sektor dalam rangka pembangunan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi karena banyak pihak
yang berkepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam DAS yang relatif
sangat terbatas, maka seringkali terjadi konflik kepentingan antar para pihak
tersebut dan atau terjadi pemanfataan sumberdaya alam yang melebihi daya
dukung DAS. Akibatnya adalah terjadi degradasi sumbe1rdaya alam dan
lingkungan DAS seperti kerusakan hutan, makin luasnya lahan kritis, tanah
longsor, erosi dan sedimentasi, pencemaran tanah dan air, bencana seperti banjir
dan kekeringan. Dalam suatu DAS terdapat keterkaitan yang erat antar
aktivitas di hulu dengan daerah di hilirnya baik dalam hal manfaat maupun
dampaknya (externalitas), Karena itu pengelolaan DAS harus dilakukan
secara terpadu dengan melibatkan semua pemangku kepentingan baik unsur
pemerintah, swasta maupun masyarakat mulai dari daerah hulu sampai daerah
hilir DAS. Untuk mewujudkan itu diperlukan pengembangan kelembagaan
pengelolaan DAS sehingga memungkinkan terjadinya koordinasi, integrasi,
sinkronisasi, dan sinerji (KISS) antar pemangku kepentingan dengan
pengelolaan sumberdaya dalam DAS. Tidak terpenuhinya KISS akan mudah
menimbulkan konflik kepentingan sehingga mengganggu tercapainya tujuan
bersama dalam pengelolaan DAS. Kelembagaan pengelolaan DAS tersebut
perlu dikembangkan, baik pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota
maupun pada tingkat DAS. Sektor kehutanan melaui Balai Pengelolaan DAS
di daerah yang merupakan salah satu pemangku kepentingan yang cukup
berperan dalam pengelolaan DAS telah menginisiasi dan memfasilitasi

1
Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007.
2Kepala Subdit Pembinaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Ditjen RLPS

Departemen Kehutanan, Gd. Manggala Wanabakti Blok I Lt 14, Telp. 021-


5730303, email saefulrachman@yahoo.com.

| 186 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)
pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS di berbagai daerah dengan nama
”Forum DAS”. Akan tetapi forum-forum DAS yang ada tersebut masih
harus ditingkatkan kapasitas dan perannya sehingga bisa berfungsi sebagaimana
yang diharapakan.
Kata kunci :Kelembagaan, Pengelolaan DAS

I. PENDAHULUAN
Daerah aliran sungai atau DAS adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya,
yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang
berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas
di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU
No. 7 Tahun 2004, Pasal 1 ayat 11).
Pengertian DAS tersebut diatas memperlihatkan bahwa dalam
suatu DAS secara utuh akan terdiri dari berbagai type ekosistem
seperti hutan, perkebunan, pertanian, pemukiman, lahan basah dan
wilayah pantai. Dalam berbagai ekosistem tersebut terlibat berbagai
sektor dan parapihak pemangku kepentingan dengan tujuannya
masing-masing. Tiap sektor biasanya selalu berusaha meningkatkan
aktivitasnya dalam rangka pembangunan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi aktivitas tersebut seringkali
lebih bertumpu pada kepentingan ekonomi dan kurang
memperhatikan daya dukung DAS sehingga mendorong timbulnya
permasalahan DAS seperti meluasnya hutan rusak dan lahan kritis;
meningkatnya erosi dan sedimentasi; terjadi bencana alam banjir dan
tanah longsor; kekeringan; dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang. Fenomena yang terjadi di banyak DAS
tersebut merupakan indikasi dari rendahnya kinerja pengelolaan DAS
yang dilaksanakan oleh berbagai sektor dan lembaga terkait.
Aspek yang diduga menjadi penyebab utama rendahnya kinerja
pengelolaan DAS adalah masalah kelembagaan DAS yang antara lain
mencakup : (1) pembagian posisi dan peran lembaga/instansi kurang
sesuai untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan DAS; (2) koordinasi
antar lembaga pemerintah yang terkait dalam kegiatan pengelolaan
DAS kurang harmonis; dan (3) rendahnya kapasitas lembaga
pemerintah dalam mengatasi masalah yang terjadi di DAS. Ketiga
aspek tersebut merupakan sebagian dari aspek kelembagaan DAS
yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan DAS.

| 187 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
Makalah ini akan mencoba mengemukakan konsepsi tentang
bagaimana kelembagaan pengelolaan DAS dikembangkan dan kondisi
lembaga koordinatif pengelolaan DAS yang telah ada saat ini. Akan
tetapi pada awal makalah akan dikemukakan lebih dulu tentang
prinsip, tujuan, ruang lingkup dan pemangku kepentingan (stakeholders)
pengelolaan DAS sehingga diperoleh pemahaman yang sama tentang
perlunya pengelolaan DAS secara terpadu termasuk pengembangan
kelembagaannya.
II. PRINSIP, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
PENGELOLAAN DAS
A. Prinsip Pengelolaan DAS Terpadu
Prinsip-prinsip yang harus menjadi dasar acuan dalam
pengelolaan DAS terpadu adalah sebagai berikut :
1. Pengelolaan DAS dilakukan dengan memperlakukan DAS
sebagai suatu kesatuan ekosistem dari hulu sampai hilir, satu
perencanaan dan satu pengelolaan.
Prinsip ini menegaskan bahwa dalam satu DAS sebagai
suatu kesatuan ekosistem terdapat keterkaitan hulu-hilir DAS
dalam hal aktivitas pengelolaan sumberdaya dan dampak yang
ditimbulkannya (”on-site” maupun ”off-site impact”). Hal ini
terutama dikarenakan adanya air sebagai sumberdaya alam DAS
yang mengalir dari hulu sampai dengan hilir. Hal ini yang
mendasari digunakannya ekosistem DAS sebagai satuan terbaik
dalam pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem dan untuk itu
harus ada satu rencana pengelolaan DAS terpadu dari hulu
sampai dengan hilir sehingga terdapat satu sistem pengelolaan
sumberdaya DAS yang disepakati oleh para pihak yang terlibat
untuk menjamin kelestarian DAS dalam jangka panjang.
2. Pengelolaan DAS terpadu melibatkan multipihak, koordinatif,
menyeluruh dan berkelanjutan.
Prinsip ini menegaskan bahwa sumberdaya alam DAS
yang sangat beragam (hayati dan non hayati) merupakan sistem
yang kompleks sehingga pengelolaan DAS secara terpadu
memerlukan partisipasi berbagai sektor dan multipihak dengan
pendekatan inter-disiplin, lintas bidang keilmuan dan seringkali
lintas wilayah administrasi. Kewenangan pengelolaan
sumberdaya dalam DAS berada pada lebih dari satu sektor. Oleh
karena itu, pengelolaan DAS terpadu memerlukan koordinasi,
integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar para pihak baik dalam

| 188 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful
Rachman)
penetapan kebijakan, perencanaan program dan kegiatan
maupun dalam implementasi dan pengendalian penyelenggaraan
pengelolaan DAS. Pengelolaan juga tidak hanya mencakup
kegiatan pemanfaatan/pendayagunaan sumberdaya alam tetapi
juga harus mengandung kegiatan perlindungan dan konservasi
sumberdaya alam agar manfaatnya bisa berkelanjutan serta
upaya-upaya pengendalian terhadap daya rusak yang mungkin
timbul/disebabkan oleh kondisi ekstrim dari sumberdaya alam,
karena itu pengelolaan DAS harus dilakukan secara holistik,
komprehensif dan berkelanjutan.
3. Pengelolaan DAS bersifat adaptif terhadap perubahan kondisi
yang dinamis dan sesuai dengan karakteristik DAS.
DAS merupakan suatu kesatuan ekosistem yang bersifat
dinamis dimana unsur biofisik (misalnya flora, fauna, iklim,
lahan, bangunan sarpras), sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat selalu berubah seiring dengan berjalannya waktu.
Oleh karena itu apabila terjadi perubahan unsur-unsur ekosistem
di dalam DAS maka diperlukan respon dari para penyelenggara
pengelolaan DAS baik dalam hal kebijakan maupun
implementasi program dan kegiatan sehingga tujuan pengelolaan
DAS dapat tercapai.
4. Pengelolaan DAS dilaksanakan dengan pembagian beban biaya
dan manfaat antar multipihak secara adil.
Prinsip ini menegaskan bahwa dalam pengelolaan DAS
terdapat berbagai pihak yang memperoleh manfaat dari barang
dan jasa DAS sekaligus juga terdapat pihak yang membuat
pencemaran atau kerusakan terhadap ekosistem DAS, karena itu,
sangat adil jika pembiayaan kegiatan penyelenggaraan DAS tidak
hanya dibebankan kepada pemerintah, tetapi juga dibiayai dari
para penerima manfaat barang dan jasa DAS dan pencemar
ekosistem DAS terutama untuk kegiatan rehabilitasi, restorasi
dan/atau reklamasi sumberdaya hutan, lahan dan air bagi
kepentingan kelestarian ekosistem DAS itu sendiri dan
peningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas. Prinsip
keadilan juga harus mempertimbangkan keterkaitan hulu dan
hilir DAS dimana seringkali daerah hulu DAS harus melakukan
konservasi hutan, tanah dan air untuk kepentingan kelestarian
sumberdaya air di daerah hilir DAS.
5. Pengelolaaan DAS memerlukan akuntabilitas para pemangku
kepentingan.

| 189 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
Prinsip ini menegaskan bahwa pengelolaan DAS pada
dasarnya adalah keterpaduan lintas sektor dan lintas wilayah
administrasi dalam pengelolaan sumberdaya dalam kerangka
pembangunan secara berkelanjutan. Dalam rangka mendapatkan
manfaat yang optimal dari sumberdaya alam DAS untuk manusia
dan kehidupan lainnya secara berkelanjutan tersebut diperlukan
akuntabilitas dari setiap sektor atau para pemangku kepentingan.
Setiap sektor dalam melaksanakan misinya dan kegiatannya tidak
boleh berlawanan atau kontradiktif dengan tujuan pengelolaan
DAS terpadu yang telah disepakaiti bersama, tetapi kegiatann
sektor tersebut harus sejalan atau menunjang pencapaian tujuan
pengelolaan DAS terpadu.
B. Tujuan Pengelolaan DAS Terpadu
Tujuan pengelolaan DAS terpadu sangat ditentukan oleh
karakteristik biofisik, sosial ekonomi budaya dan kelembagaan yang
ada pada setiap DAS. Tetapi secara umum tujuan pengelolaan DAS
terpadu adalah sebagai berikut:
1. Mewujudkan kondisi tata air DAS yang optimal meliputi
kuantitas, kualitas dan distribusi menurut ruang dan waktu.
Neraca air dalam suatu DAS menggambarkan hubungan
individual unsur-unsur hidrologis yang meliputi input hujan,
penyimpanan (storage) di permukaan, dalam tanah dan aknifer,
pengurangan dalam bentuk intersepsi, evapotranspirasi dan luaran
(ouput) dalam bentuk aliran permukaan, aliran dalam tanah dan
aliran akifer dalam bentuk total aliran sungai. Pengelolaan DAS
menginginkan tata air yang optimal yang berarti air di DAS
tersebut mendukung pemenuhan berbagai jenis kebutuhan air
dalam segi kuantitas, kualitas dan distribusi menurut ruang dan
waktu secara memadai dan terus menerus dalam jangka panjang.
2. Mewujudkan kondisi lahan yang produktif secara berkelanjutan.
Pengelolaan DAS sebagai salah satu upaya mengendalikan
hubungan timbal balik antara manusia dengan sumberdaya alam
(dalam hal ini lahan) bertujuan agar lahan sebagai salah satu unsur
ekosistem DAS dan faktor produksi harus dapat menghasilkan
produk barang dan jasa yang diinginkan dalam batas daya dukung
dan daya tampung yang ada sehingga kapasitas produksi dapat
mendukung kehidupan manusia yang dinamis saat ini dan generasi
yang akan datang. Hutan dan lahan yang telah rusak (kritis)
kondisinya harus direhabilitasi sehingga fungsinya bisa pulih dan
meningkat.
| 190 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)
3. Mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan.
Pengelolaan DAS yang terkelola dengan baik dan efektif
harus terdapat keseimbangan antara potensi sumberdaya yang
tinggi dan manfaat yang bisa diperoleh oleh manusia dan dapat
mendukung permintaan akan barang dan jasa dari berbagai pihak
berkepentingan tanpa adanya degradasi lingkungan yang lebih
besar dari kemampuan pemulihan alami sehingga produksi bisa
lestari, memberikan pendapatan yang memadai dan sekaligus
aman bagi masyarakat. Pengelolaan DAS terpadu juga harus
memperhatikan pemerataan kesejahteraan antara masyarakat di
hulu dan di hilir yang perannya relatif berbeda dimana masyarakat
hulu biasanya ditekankan untuk melakukan konservasi hutan,
tanah, dan air, sedangkan masyarakat di hilir lebih banyak
menikmati hasil-hasil konservasi atau menerima dampak dari
kegiatan di hulu.
C. Ruang lingkup Kegiatan Pengelolaan DAS Terpadu
Secara garis besar ruang lingkup pengelolaan DAS terpadu
meliputi kegiatan sebagai berikut :
1. Penatagunaan lahan (land use planning) untuk memenuhi berbagai
kebutuhan barang dan jasa serta kelestarian lingkungan.
2. Pengelolaan sumber daya air (pemanfaatan, perlindungan dan
pengendalian).
3. Pengelolaan lahan dan vegetasi di dalam kawasan hutan dan di luar
kawasan hutan (pemanfaatan, rehabilitasi, restorasi, reklamasi dan
konservasi).
4. Pengelolaan dan pengembangan sumberdaya buatan.
5. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan
pengelolaan DAS.
Bobot dan intensitas kelima ruang lingkup pengelolaan DAS
terpadu tersebut bervariasi dari satu DAS ke DAS lainnya dan sangat
tergantung pada karakteristik dan permasalahan DAS yang
bersangkutan .
III. PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM
PENGELOLAAN DAS
Selama ini sejumlah kegiatan dan proyek yang berkaitan
dengan pengelolaan DAS telah dilaksanakan oleh banyak pemangku
kepentingan (stakeholders) baik insatansi-instansi pemerintah maupun
non pemerintah yang terkait dengan sector Pekerjaan Umum,
Kehutanan, Perkebunan, Pertanian, Dalam Negeri, Badan Pertanahan
Nasional, Pertambangan dan Energi, Lingkungan Hidup dan lain-
| 191 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
lain. Masing-masing pemangku kepentingan mempunyai pendekatan
yang berbeda dalam kegiatan pengelolaan DAS baik dalam unit
perencanaan maupun implementasinya sehingga dapat dikatakan
bahwa pengelolaan DAS merupakan hal yang sangat kompleks baik
ditinjau dari banyaknya pihak yang terlibat maupun sumber daya yang
ada di dalam suatu DAS.
Instansi/lembaga tertentu memiliki tanggung jawab untuk suatu
wilayah pengelolaan atau suatu komoditas. Sebagai contoh, penataan
ruang dan tataguna lahan utamanya ditangani oleh Pekerjaan Umum
dan Badan Pertanahan Negara yang dasarnya adalah wilayah
administrasi dan seringkali kurang mempertimbangkan kelestarian
ekosistem DAS; pengelolaan sumber daya air khususnya yang
mengangkut pemanfaatan/pendayagunaan dan pengendalian daya
rusak air permukaan dilaksanakan oleh Direktorat Sumber Daya Air
Departemen Pekerjaan Umum dan jajarannya sampai di daerah;
urusan air tanah dan pertambangan ditangani oleh Departemen
Energi dan Sumberdaya Mineral, tetapi kualitas air lebih ditangani
oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan instansi Kesehatan.
Pengelolaan hutan termasuk urusan konservasi tanah dan air di areal
hutan menjadi tanggung jawab Departemen Kehutanan dan jajarannya
sampai di daerah, sedangkan pengelolaan lahan-lahan pertanian dan
perkebunan banyak ditangani oleh masyarakat dan swasta yang
pembinaannya menjadi tanggung jawab instansi yang diserahi tugas
mengurus pertanian dan perkebunan, walaupun kegiatan rehabilitasi
lahan dan konservasi tanah dan air banyak juga yang ditangani oleh
Departemen Kehutanan.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan
tugas dan fungsinya, masing-masing lembaga tersebut cenderung
bersifat sektoral. Rencana, program dan pelaksanaan kegiatannya
hanya mementingkan pencapaian misi dan target sektornya sendiri
dan sering kurang memperhatikan kepentingan atau tujuan
pengelolaan DAS secara terpadu. Oleh karenanya, seringkali terjadi
tabrakan kepentingan (conflict of interest) antar lembaga yang terlibat
dalam pengelolaan DAS. Pada era otonomi daerah setelah reformasi
ini banyak kawasan lindung baik berupa kawasan hutan negara
maupun lahan milik dimaksimalkan pemanfaatannya demi
kepentingan ekonomi jangka pendek (meningkatkan pendapatan asli
daerah) tanpa memikirkan akibat kerusakan lingkungan dalam jangka
panjang. Daerah perbukitan milik masyarakat maupun badan usaha
dijadikan lahan pertanian intensif atau real estate padahal dari segi
kemampuan lahan seharusnya menjadi daerah dengan penutupan
vegetasi permanen. Kawasan hutan negara banyak yang diserobot
| 192 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)
untuk dijadikan perkebunan dan pertanian bahkan menjadi
pemukiman, kemudian illegal loging dan illegal mining terjadi tidak hanya
di hutan produksi tetapi sudah merambah kedalam hutan lindung dan
konservasi sehingga terjadi kerusakan tegakan hutan yang relatif cepat.
Semua aktivitas yang berdalih demi pembangunan ekonomi tersebut
banyak menimbulkan penurunan kualitas fungsi hutan dan lahan
terutama fungsi ekologisnya sehingga terjadi ketidakseimbangan
kondisi hidrologi DAS seperti semakin besarnya fluktuasi debit
maksimal dan minimal, bahkan menyebabkan banjir, kekeringan dan
pencemaran air. Permasalahan DAS ini semakin kompleks pada DAS
yang melintasi beberapa wilayah kabupaten/kota sebagai wilayah
otonom. Sering timbul pernyataan “Apa adil kabupaten/kota di hulu
selalu diminta untuk mengkonservasi/melindungi daerahnya berupa
hutan sehingga PADnya kecil, sementara manfaatnya (supply air dan
mencegah banjir) lebih banyak dinikmati oleh kabupaten/kota
dibagian hilirnya?“ dan “Bagaimana mekanisme hubungan hulu-hilir
tersebut supaya ada pembagian manfaat dan biaya secara rasional dan
adil?” .
Untuk menghindari terjadinya tabrakan kepentingan dalam suatu
DAS dan pembagian manfaat dan biaya secara adil, diperlukan
pengaturan kelembagaan dan regulasi yang mengatur mekanisme kerja
antar lembaga/pihak berkepentingan tersebut. Kelembagaan tersebut
memungkinkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar
lembaga/pihak yang berkepentingan, kemudian terdapat klarifikasi
dan identifikasi secara jelas tentang tugas dan wewenang masing-
masing lembaga dalam menjalankan fungsinya.
IV. KONSEPSI KELEMBAGAAN DALAM
PENGELOLAAN DAS
Tantangan terbesar pada tahap pelaksanaan pengelolaan DAS
adalah terbangunnya organisasi dan kelembagaan yang
memungkinkan berjalannya mekanisme koordinasi dan kerjasama
antar lembaga pada setiap jenjang pemerintahan (pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota). Aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh masing-
masing pihak dalam pengelolaan DAS harus terorganisir dan
terintegrasi secara solid satu dengan lainnya sehingga kinerja setiap
pihak mendukung kearah tercapainya tujuan pengelolaan DAS
terpadu yang telah disepakati bersama.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu, selama ini
perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya DAS
dilakukan secara sektoral oleh masing-masing instansi terkait sesuai
dengan tupoksinya. Sebagai hasilnya, kinerja pengelolaan DAS jauh
| 193 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
dari pada memuaskan. Oleh karena itu, ke depan perencanaan dan
pelaksanaan pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu dengan
melibatkan semua pihak yang mempunyai kepentingan dalam
pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan DAS.
Pengelolaan DAS Terpadu tersebut harus diarahkan untuk mencapai
tujuan pengelolaan DAS sebagaimana telah dirumuskan pada bagian
terdahulu.
Adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinerji (KISS)
antara para pihak dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan DAS merupakan pra-kondisi untuk mewujudkan tujuan
ganda tersebut di atas. Hal ini mengandung arti bahwa aktivitas-
aktivitas yang dilakukan masing - masing pihak dalam pengelolaan
DAS harus terorganisir dan terintegrasi secara solid, satu dengan
lainnya. Pengorganisasian dan pengintegrasian aktivitas-aktivitas yang
terpadu seperti itu dapat dicapai hanya bila ada pembagian peran dan
fungsi yang jelas antara para pihak, serta adanya sarana dan
mekanisme kelembagaan untuk melakukan dialog diantara para pihak
tersebut dalam perumusan kebijakan, rencana kegiatan dan dalam
pelaksanaan dan pengawasannya (monitoring dan evaluasi). Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan/pengembangan
kelembagaan pengelolaan DAS antar lain :
1. Identifikasi dan Pemetaan Para Pihak, Fungsi dan
Peran
Langkah awal dalam menciptakan KISS adalah mengidentifikasi
para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS Terpadu. Kiranya
perlu dicermati bahwa, secara umum, ada perbedaan fundamental
antara keterlibatan lembaga-lembaga pemerintah dan pihak-pihak
bukan pemerintah dalam pengelelolaan DAS. Peranan dan fungsi
lembaga-lembaga pemerintah lebih fokus pada pengendalian kapasitas
fungsi DAS yang dilakukan dalam bentuk kegiatan-kegiatan
konservasi, rehabilitasi sumberdaya alam ataupun pengendalian banjir.
Sementara, pihak-pihak bukan pemerintah (seperti petani, rumah
tangga dan swasta) lebih fokus pada pemanfaatan kapasitas DAS
untuk tujuan ekonomi.
Meskipun keterlibatan lembaga-lembaga pemerintah dalam
pengelolaan DAS mengarah pada satu fokus, yaitu pemeliharaan,
pemulihan dan pengendalian dayadukung DAS, bukan berarti tidak
mungkin terjadi ketidak-harmonisan dalam keterlibatan masing-
masing lembaga dalam pengelolaan DAS. Ketidak-harmonisan dapat
terjadi karena adanya pertentangan kepentingan ataupun tidak adanya
koordinasi antar lembaga. Permasalahan ini sangat mungkin terjadi
| 194 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)
terutama bila DAS mencakup wilayah yang melintasi lebih dari satu
pemerintahan kabupaten/kota. Oleh karena itu, proses identifikasi
para pihak serta peran dan fungsinya harus bertitik-tolak pada prinsip
dasar bahwa DAS harus dikelola sebagai satu kesatuan utuh, yang
mencakup bagian hulu dan bagian hilir DAS, tanpa dibatasi oleh
administrasi kewilayahan pemerintahan. Dengan demikian identifikasi
harus mencakup semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS
baik yang berada pada bagian hulu maupun pada bagian hilir DAS.
Tujuan yang hendak dicapai dalam melakukan identifikasi
tersebut di atas untuk memberikan masukan bagi sinkronisasi fungsi
dan peran para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS, baik di
bagian hulu maupun di bagian hilir DAS. Sinkronisasi fungsi dan
peran ini merupakan pintu masuk untuk menciptakan KISS dalam
pengelolaan DAS.
Untuk itu, hasil identifikasi tersebut di atas harus digunakan
sebagai bahan untuk pemetaan fungsi dan peran para pihak yang
telibat dalam pengelolaan DAS. Selanjutnya, peta tersebut perlu
dianalisis untuk mengidentifikasi area di mana telah terjadi atau
kemungkinan akan terjadi konflik kepentingan ataupun masalah
koordinasi antar pihak. Setelah teridentifikasi, maka langkah
selanjutnya adalah merumuskan solusi guna mensinkronkan fungsi
dan peran para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS.
2. Membuat Kesepakatan Mengenai Fungsi dan Peran Para
Pihak
Hasil pemetaan, analisis potensi konflik dan masalah koordinasi
serta alternatif solusi untuk sinkronisasi fungsi dan peran para pihak
yang terlibat dalam pengelolaan DAS harus dimusyawarahkan dengan
para pihak yang terlibat. Musyawarah dimaksudkan untuk
memperoleh kesepakatan mengenai fungsi dan peran para pihak
dalam pengelolaan DAS. Kesepakatan-kesepakatan yang telah
dihasilkan dalam musyawarah harus bersifat mengikat. Oleh karena
itu, kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan harus dituangkan dalam
suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak dan akan
menjadi pedoman dalam melaksanakan fungsi dan peran para pihak.
Dokumen kesapakatan tersebut mestinya tidak bersifat abadi, sebab
konteks pengelolaan DAS dapat berubah dalam perjalanan waktu,
sehingga para pihak memungkinkan mengadaptasi perubahan
tersebut dalam konteks pengelolaan DAS.

| 195 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
3. Pembentukan Lembaga Beserta Fungsi dan Perannya dalam
Pengelolaan DAS Terpadu
Adanya kesepakatan mengenai fungsi dan peran dalam
pengelolaan DAS dari masing-masing pihak belum akan efektif
mencegah kemungkinan terjadinya masalah pertentangan kepentingan
dan masalah koordinasi. Meskipun sudah ada kesepakatan mengenai
hal tersebut, konflik dan masalah koordinasi akan selalu muncul bila
masing-masing pihak bertindak langsung secara individual
melaksanakan fungsi dan perannya dalam pengelolaan DAS.
Kesepakatan akan berguna mencegah terjadinya konflik dan
masalah koordinasi dalam pengelolaan DAS hanya bila masing-masing
pihak memainkan fungsi dan perannya melalui suatu struktur
kelembagaan yang telah disepakati. Untuk itu, kelembagaan yang tepat
untuk memfasilitasi keterlibatan para pihak ini adalah lembaga
koordinasi atau forum pengelolaan DAS. Struktur kelembagaannya
disusun sebagai berikut ini.
3.1. Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS Tingkat
Nasional(LK-PDAS Nasional)
Pada tingkat nasional, dibentuk satu forum pengelola nasional
DAS. Forum ini dinamakan Lembaga Kordinasi Pengelolaan DAS
Tingkat Nasional (LK-PDAS Nasional). Forum ditetapkan oleh
presiden dengan Keputusan Presiden (KEPPRES).
Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS tingkat Nasional bersifat
non struktural, berada di bawah dan bertanggungjawab langsung
kepada Presiden. Keanggotaan Forum Nasional Pengelolaan DAS
terdiri dari unsur pemerintah (para pimpinan departemen terkait), dan
unsur bukan pemerintah seperti unsur BUMN/S, tokoh-tokoh
nasional, pemerhati masalah-masalah DAS, LSM yang bergerak dalam
penanganan masalah-masalah DAS pada level nasional, serta para
pakar dari perguruan tinggi nasional dan lembaga penelitian, seperti
LIPI dan BPPT yang mempunyai kepentingan dengan DAS.
Sebaiknya, ketua forum dipilih secara demokratis dari para anggota
forum.
Koordinasi Pengelolaan DAS Tingkat Nasional mempunyai
tugas membantu Presiden dalam:
a. merumuskan kebijakan nasional dan strategi pengelolaan DAS;
b. memberikan pertimbangan untuk penetapan DAS prioritas
nasional;

| 196 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)
c. melaksanakan koordinasi dan konsultasi untuk memadukan dan
menyelaraskan kepentingan antar sektor dan antar provinsi;
d. melaksanakan koordinasi dan konsultasi terhadap Lembaga
Koordinasi Pengelolaan DAS tingkat provinsi dan tingkat
kabupaten/kota;
e. memfasiltasi pembiayaan pengelolaan DAS yang bersumber dari
dunia usaha dan masyarkat seacara transparan dan akuntabel.
f. melaksanakan pengendalian terhadap penggunaan dan pemanfaatan
lahan yang dilakukan oleh instansi sektoral, badan usaha dan
masyarakat untuk DAS dalam lintas provinsi.
3.2. Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS Tingkat Provinsi
(LK-PDAS Provinsi)
Forum pengelolaan DAS di tingkat provinsi dibutuhkan untuk
pengelolaan DAS yang mencakup wilayah lebih dari satu
kabupaten/kota dalam provinsi yang sama. Forum ini dinamakan
Lembaga Kordinasi Pengelolaan DAS Tingkat Provinsi (LK-PDAS
Provinsi). Forum ditetapkan oleh Peraturan Gubernur.
Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS tingkat Provinsi bersifat
non struktural, berada di bawah dan bertanggungjawab langsung
kepada Gubernur. Keanggotaan Forum Provinsi Pengelolaan DAS
terdiri dari unsur pemerintah daerah (para pimpinan dinas terkait)
dan unsur bukan pemerintah seperti unsur BUMN/D/S, para tokoh-
tokoh provinsi, pemerhati/pakar masalah-masalah DAS setempat,
LSM yang bergerak dalam penanganan masalah-masalah DAS pada
level provinsi, para pakar dari perguruan tinggi setempat. Sebaiknya,
ketua forum dipilih secara demokratis dari para anggota forum.
Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS tingkat Provinsi
mempunyai tugas membantu Gubernur dalam:
a. merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan DAS
lintaskabupaten/kota;
b. melaksanakan koordinasi dan konsultasi untuk memadukan dan
menyelaraskan kepentingan antar sektor, antar wilayah dan para
pemilik kepentingan lainnya dalam pengelolaan DAS lintas
kabupaten/kota;
c. menyusun rencana pengelolaan DAS terpadu untuk DAS lintas
provinsi;
d. menyusun rencana pengelolaan DAS terpadu untuk DAS lintas
kabupaten/kota;
e. memfasiltasi pembiayaan pengelolaan DAS yang bersumber dari
dunia usaha dan masyarakat secara transparan dan akuntabel.

| 197 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
f. melaksanakan pengendalian terhadap penggunaan dan pemanfaatan
lahan yang dilakukan oleh instansi sektoral, badan usaha dan
masyarakat untuk DAS lintas kabupaten/kota.

3.3 Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS Tingkat


Kabupaten/Kota (LK-PDAS Kabupaten/Kota)
Forum pengelolaan DAS di tingkat kabupaten/kota dibutuhkan
untuk pengelolaan DAS yang mencakup wilayah satu
kabupaten/kota dalam provinsi yang sama. Forum ini dinamakan
Lembaga Kordinasi Pengelolaan DAS Tingkat Kabupaten/Kota (LK-
PDAS Kabupaten/Kota). Forum ditetapkan oleh peraturan
Bupati/Walikota.
Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS tingkat kabupaten/kota
bersifat non struktural, berada di bawah dan bertanggungjawab
langsung kepada Bupati/Walikota. Keanggotaan Forum
Kabupaten/Kota Pengelolaan DAS terdiri dari unsur pemerintah
daerah ( pimpinan dinas teknis terkait dengan pengelolaan DAS yang
menjadi objek forum) dan unsur bukan pemerintah seperti unsur
BUMN/D/S, tokoh-tokoh setempat, pemerhati/pakar masalah-
masalah DAS setempat, LSM yang bergerak dalam penanganan
masalah-masalah DAS pada level kabupaten/kota, perguruan tinggi
setempat. Sebaiknya, ketua forum dipilih secara demokratis dari para
anggota forum.
Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS tingkat
Kabupaten/Kota mempunyai tugas membantu Bupati/Walikota
dalam:
a. merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan DAS di dalam
kabupaten/kota;
b. melaksanakan koordinasi dan konsultasi untuk memadukan dan
menyelaraskan kepentingan antar sektor dan para pemilik
kepentingan lainnya dalam pengelolaan DAS di dalam
kabupaten/kota;
c. menyusun rencana pengelolaan DAS terpadu untuk DAS di
dalam kabupaten/kabupaten;
d. memfasiltasi pembiayaan pengelolaan DAS yang bersumber dari
dunia usaha dan masyarakat secara transparan dan akuntabel.

| 198 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)
4. Struktur Organisasi Internal Lembaga Koordinasi
Pengelolaan DAS (LK-PDAS)
Efektivitas LK-PDAS dalam melaksanakan fungsinya sebagai
sarana koordinasi sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan
Pengelolaan DAS Terpadu mencapai tujuannya. Untuk
mengefektifkan fungsi LK-PDAS sebagai sarana koordinasi, maka
lembaga ini harus mempunyai organisasi birokratis yang kompeten
dalam mendukung perannya sebagai sarana koordinasi dalam
penyelenggaraan Pengelolaan DAS Terpadu.
Kondisi dan karakteristik sosial, ekonomi dan fisik DAS berbeda
dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Oleh karena itu, adalah tidak tepat
untuk membuat suatu desain organisasi LK-PDAS yang berlaku
untuk semua DAS. Agar dapat berperan secara optimal, maka struktur
organisasi internal LK-PDAS harus disesuaikan dengan kebutuhan
setempat. Para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan
Pengelolaan DAS Terpadu harus memutuskan secara musyawarah
desain struktur organisasi LK-PDAS.
Dalam struktur organisasi yang disepakati, harus ditetapkan secara
jelas dan tegas mengenai tugas dan fungsi dari setiap elemen
organisasi. Juga, harus ada uraian yang jelas mengenai jalur otoritas
dan komunikasi dalam struktur organisasi tersebut. Sebaiknya,
jabatan-jabatan dalam organisasi diisi oleh para pihak yang terlibat
dalam penyelenggaraan Pengelolaan DAS Terpadu.
5. Penyusunan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah
Tangga (ART) LK-PDAS
Kedudukan, fungsi, mekanisme kerja, struktur organisasi internal
dan pembiayaan LK-PDAS perlu diatur dalam Anggaran Dasar (AD)
dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Para pihak perlu melakukan
musyawarah untuk merumuskan AD/ART secara bersama-sama.
AD/ART yang telah disepakati perlu dikonsultasikan dengan
pemerintah setempat.
AD/ART yang telah disepakati dan disetujui oleh pemerintah
perlu disahkan oleh pejabat pemerintah yang kompeten. Pengesahan
LK-PDAS Nasional oleh Presiden, LK-PDAS Provinsi oleh
Gubernur, dan LK-PDAS Kabupaten/Kota oleh Bupati/Walikota.
6. Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) Sebagai
Kelembagaan Implementatif yang Bersifat Sektoral dalam
Pengelolaan DAS

| 199 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) merupakan
kelembagaan implementatif yang bersifat sektoral dalam pengelolaan
DAS. Sebagai eksekutor di lapangan, maka SPKD harus
mensinkronkan rencana kegiatannya dengan rencana pengelolaan
DAS terpadu yang telah disahkan pemerintah tersebut.
Sebelum mengajukan usulan kegiatannya yang terkait dengan
pengelolaan DAS ke instansi yang menjadi atasannya, maka usulan
tersebut harus disampaikan ke forum pengelolaan DAS yang terkait
untuk dievaluasi konsistensinya dengan rencana pengelolaan DAS
terpadu yang telah disahkan oleh pemerintah. Adanya rekomendasi
dari forum atas usulan tersebut penting untuk memastikan
konsistensinya dengan dengan rencana pengelolaan terpadu tersebut.
7. Peran Lembaga Kordinasi Pengelolaan DAS Terpadu (LK-
PDAS) dalam Kegiatan Monitoring dan Evaluasi (MONEV)
Kegiatan monitoring dan evaluasi (MONEV) merupakan sarana
untuk mengawasi pelaksanaan pengelolaan DAS agar tidak
menyimpang dari rencana pengelolaan DAS terpadu yang telah
disepakati dan diresmikan oleh pemerintah. Meskipun demikian,
lembaga-lembaga koordinasi tidak perlu melakukan sendiri kegiatan
monitoring dan evaluasi. Untuk menjaga objektivitas, maka kegiatan
monev sebaiknya diserahkan kepada lembaga lain yang bersifat
independen yang ditunjuk oleh pemerintah. Namun, hasil MONEV
perlu dilaporkan kepada lembaga-lembaga koordinasi untuk dapat
digunakan sebagai bahan masukan dalam mengevaluasi dan
memperbaiki rencana pelaksanaan Pengelolaan DAS Terpadu yang
telah disusunnya.
8. Pemberdayaan Masyarakat Akar Rumput Untuk
Mendorong Partisipasinya dalam Pengelolaan DAS
Terpadu
Adalah suatu fakta bahwa masyarakat akar rumput banyak terlibat
dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan DAS.
Keterlibatan mereka sangat besar perannya dalam menentukan
keberhasilan pelaksanaan Pengelolaan DAS Terpadu. Dalam
kenyataannya, keterlibatan mereka ini sering tidak kondusif bagi
pelaksanaan Pengelolaan DAS Terpadu.
Paling sedikit ada dua faktor dibalik keterlibatan yang tidak
kondusif tadi, yaitu (a) kemiskinan dan (b) kekurang-pahaman akan
masalah konservasi sumberdaya alam dan lingkungan DAS di mana
mereka melakukan aktivitas sosial-ekonominya. Mengingat peran
keterlibatan mereka ini dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan
| 200 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)
Pengelolaan DAS Terpadu, maka perlu upaya-upaya pemberdayaan
untuk mengatasi kedua faktor tersebut. Upaya-upaya ini dapat
dilakukan secara sektoral melalui kelembagaan - kelembagaan yang
telah ada pada aras akar rumput, seperti kelompok tani dan kelompok
tani hutan.
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) sering efektif dalam
menggerakkan masyarakat akar rumput dalam pelaksanaan suatu
program pemerintah. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan LSM
dalam pelaksanaan program-program pemberdayaan yang dimaksud
di atas.
V. PERKEMBANGAN FORUM DAS
Lembaga koordinatif pengelolaan DAS terpadu dalam bentuk
”Forum DAS” sampai Oktober 2007 telah tercatat 41 Forum DAS
yang pembentukannya diinisiasi oleh Balai Pengelolaan DAS dan
instansi/lembaga lain terkait. Secara legalitas Forum DAS dibentuk
dengan SK Gubernur untuk Forum DAS ditingkat propinsi, dan oleh
Bupati untuk Forum DAS ditingkat kabupaten. Status 41 Forum DAS
tersebut terdiri 13 forum DAS tingkat propinsi (SK Gubernur), 13
forum DAS tingkat Kabupaten/kota (SK Bupati/Walikota), 8 forum
tingkat DAS yang belum mendapat pengukuhan dan 7 forum masih
dalam pembentukan formatur. Sedangkan Forum DAS tingkat
nasional sudah disepakati oleh para pihak terkait untuk dibentuk
dengan keputusan Presiden (Tim teknis sedang mempersiapkan
pembentukannya).
Forum-forum DAS yang telah terbentuk pada umumnya sudah
melibatkan perwakilan dari pemangku kepentingan yaitu unsur
pemerintah dan bukan pemerintah dimana ketuanya diplih secara
demokratis atau kesepakatan diantara para anggotanya. Forum DAS
yang ada tersebut masih belum berfungsi secara efektif antara lain
karena faktor-faktor berikut : a) belum adanya persamaan persepsi
antar para pihak dalam pengelolaan DAS terpadu, b) kendala yang
terkait dengan kapasitas SDM dan sarana prasarana, c) masih kuatnya
ego-sektoral, dan d) kendala pendanaan baik dalam forum itu sendiri
maupun pembiayaan untuk pengelolaan DAS secara luas.
Masalah belum adanya persamaan persepsi terutama dalam hal
tujuan bersama pengelolaan DAS, perencanaan dan implemntasi
program, mekanisme kerja dan tangung jawab pendanaan. Kapasitas
sumber daya manusia yang secara langsung terlibat dalam
kepengurusan dan keanggotaan Forum DAS umumnya bukan
personil yang memiliki kapasitas pengambilan keputusan, personil

| 201 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
yang mengikuti kegiatan forum tidak selalu tetap sehingga tidak ada
kesinambungan informasi dan komunikasi. Sarana dan prasarana yang
dibutuhkan dalam forum seperti untuk kesekretariatan dan
pendukungnya masih sangat tidak memadai. Permasalahan
egosektoral terkait dengan program sektor yang selalu mengutamakan
kepentingan sektornya masing-masing tanpa atau kurang
mempertimbangkan kepentingan atau tujuan bersama. Pendanaan
operasional forum sampai saat ini masih lebih banyak mengandalkan
dana dari BPDAS dan sangat sedikit forum DAS yang memiliki
sumber dana lain walaupun di beberapa forum telah memliki dana
dari non pemerintah seperti LSM, swasta maupun lembaga donor.
Sedangkan pembiayaan pengelolaan DAS saat ini, terutama kegiatan
konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan masih mengandalkan dana
pemerintah dan dari pemerintah daerah, kontribusi dari para
pemanfaat barang dan jasa lingkungan DAS masih sangat sedikit.
Balai PDAS dalam pengembangan kelembagaan pengelolaan
DAS sangat berperan dalam inisiasi pembentukan dan fasilitasi
berbagai kegiatan forum. BPDAS juga sebagai sumber utama dalam
menyediakan data dan informasi DAS serta dibeberapa tempat
BPDAS sebagai pusat pengelolaan sistem informasi DAS yang banyak
dipergunakan oleh Forum DAS. Kegiatan forum DAS lainnya antara
lain :
a. Mendukung penyelenggaraan kegiatan sosialisasi dan
pembentukan sekretariat Gerakan Nasional Kemitraan
Pengelolaan Air (GNKPA) ditingkat provinsi dan tingkat
b. kabupaten yang dilaksanakan secara terkoordinasi dengan
Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Pertanian.
c. Identifikasi pemangku kepentingan (stakeholders) dalam
pengelolaan DAS dan pengembangan database tentang
stakeholders .
d. Terlibat dalam pembahasan rencana-rencana pengelolaan DAS,
RHL, menyiapkan peraturan di daerah, mengorganisir kegiatan
rapat-rapat koordinasi, sosialisasi kebijakan, lokakarya, workshop
dan publikasi informasi DAS.
e. Beberapa anggota forum DAS telah terlibat dalam pelatihan teknis
bagi petugas dan kelompok masyarakat. Masih sedikit sekali
anggota forum DAS selain BPDAS terlibat dalam pemantauan
dan evaluasi DAS.
Dengan kondisi dan permasalahan yang dihadapi forum DAS di
daerah, maka masih perlu peningkatan kapasitas dan peran forum
DAS.
| 202 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful
Rachman)
VI. PENGELOLAAN HUTAN DALAM PENGELOLAAN
DAS
Pengelolaan hutan didasarkan UU 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan mempersyaratkan bahwa untuk mencapai pengelolaan
hutan secara lestari perlu dibuat perencanaan hutan yang antara lain
dengan tataguna hutan berdasarkan peruntukan fungsinya dimana
dalam pelaksanaannya mempertimbangkan DAS sebagai unit analisis
ekosistem. Kawasan hutan nasional di bagi dalam 3 kelas peruntukan
yaitu Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Hutan
konservasi berfungsi sebagai kawasan untuk melindungi
keanekaragaman hayati (tingkat gen s/d ekosistem); hutan lindung
diperuntukan berfungsi untuk perlindungan air dan tanah, dan hutan
produksi terutama diperuntukan bagi menghasilkan kayu dan hasil
hutan non-kayu. Klasifikasi peruntukan hutan tersebut antara lain
mempertimbangkan faktor-faktor topografi, tanah, curah hujan, tata
air, dan keanekeragaman hayati.
Dalam pasal 17 UU 41 tahun 1999 dinyatakan bahwa dalam
rangka pengelolaan hutan perlu dibentuk wilayah pengelolaan hutan
dalam berbagai tingkat yaitu untuk tingkat provinsi, kabupaten/kota,
dan unit pengelolaan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan
tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan
karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran
sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat
termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi
pemerintahan. Penjelasan pasal 17 ayat 1 menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan
terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola
secara efisien dan lestari, antara lain kesatuan pengelolaan hutan
lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP),
kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK), kesatuan
pengelolaan hutan kemasyarakatan (KPHKM), kesatuan pengelolaan
hutan adat (KPHA), dan kesatuan pengelolaan daerah aliran
sungai (KPDAS).
Dari penjelasan tersebut apabila suatu kawasan hutan dengan
fungsi tertentu layak menjadi unit pengelolaan secara lestari, maka
dapat dibentuk KPH berdasarkan fungsi hutan tersebut seperti
KPHL, KPHK atau KPHP. Tetapi bagaimana jika suatu kawasan
hutan dengan fungsi tertentu ternyata tidak layak menjadi KPH
tersendiri? Mungkin sebaiknya disatukan dengan fungsi hutan lainnya
menjadi satu KPH tanpa merubah fungsi hutan yang telah ditetapkan
tersebut, penamaan KPHnya menurut fungsi hutan yang terluas
| 203 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
arealnya. Sedangkan yang dimaksud dengan Kesatuan Pengelolaan
DAS (KPDAS) tidak secara langsung dan ekplisit diartikan sebagai
Kesatuan Pemangkuan Hutan DAS, sehingga dalam hal ini dapat
diartikan bahwa semua kawasan hutan yang berada dalam satu Satuan
Wilayah Pengelolaan DAS (SWPDAS) harus dikelola secara efisien
dan lestari untuk mendukung peningkatan kualitas fungsi DAS.
Dalam suatu SWPDAS besar misalnya DAS Kapuas, Musi, Barito,
kawasan hutan bisa terdiri dari beberapa KPH. Sebaliknya dalam satu
SWPDAS yang terdiri dari beberapa DAS kecil misalnya di bagian
barat Pulau Sumatera (Sumbar dan Bengkulu) atau di bagian tengah
dan utara Pulau Sulawesi, maka satu KPH bisa terletak dalam
beberapa DAS kecil.
Begitu pentingnya peranan hutan dalam menjaga kelestarian
fungsi DAS, maka UU 41 dalam pasal 18 mengamanahkan kepada
Pemerintah untuk menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas
kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran
sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan,
manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana
dimaksud minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah
aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
Berapapun jumlah kawasan hutan dan apapun fungsi hutan dalam
suatu DAS, pengelola/pemangku kawasan hutan tersebut harus tetap
berusaha agar hutannya berfungsi secara baik dan lestari. Dengan
kondisi hutan yang baik dan lestari tersebut akan menunjang
pencapaian tujuan pengelolaan DAS terpadu yang diinginkan.
Kawasan hutan dengan masing-masing kelas peruntukannya
saat ini dikelola oleh lembaga/instansi yang berbeda. Kawasan hutan
konservasi saat ini terutama dikelola oleh Pemerintah melaui UPT
Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Balai Taman Nasional
kecuali Taman Hutan Raya yang dikelola oleh Dinas Kehutanan
Provinsi. Hutan Produksi dikelola oleh BUMN dan swasta kecuali
hutan produksi yang tidak/belum dibebani hak masih dikelola oleh
pemerintah. Dan hutan lindung dikelola oleh Pemerintah Daerah dan
atau Perhutani. Sedangakan KPH seperti yang dimaksud dalam pasal
17 UU 41 tahun 1999 untuk luar pulau Jawa belum terbentuk secara
definitive tetapi Badan Planologi Kehutanan sampai tahun 2006 telah
membangun 7 Model KPH di 6 provinsi dan tahun 2007 mulai
diinisisasi 13 model KPH. Dalam konteks pengelolaan DAS secara
terpadu, instansi/lembaga pengelola kawasan hutan atau kesatuan
pemangkuan hutan yang seluruh atau sebagaian arealnya ada dalam
| 204 |
Kelembagaan Pengelolaan….(Saeful Rachman)
satu SWP DAS, maka pemangku hutan tersebut dalam mencapai
tujuannya harus juga memperhatikan tujuan pengelolaan DAS
terpadu. Karena itu para pemangku kawasan hutan harus terlibat
dalam kelembagaan pengelolaan DAS secara terpadu dan dapat
menunjukkan peran hutan dan kehutanan secara proporsional dan
professional dalam mendukung kinerja DAS. Jangan sampai sektor
kehutanan selalu disalahkan ketika terjadi banjir dan tanah longsor
disuatu DAS, padahal hal tersebut tidak selalu benar. Kawasan hutan
dalam suatu DAS tidak selalu dapat mengendalikan banjir dan tanah
longsor. Banyak DAS yang proporsi kawasan hutannya relative kecil
(<30%) sehingga sebaik apapun hutan tersebut jika kondisi curah
hujan diatas normal, maka hutan tersebut tidak akan mampu
mengendalikan banjir yang terjadi di DAS tersebut, dan banyak tanah
longsor terjadi lebih dikarenakan oleh faktor geologi dan tanah bukan
oleh tidak ada atau rusaknya hutan.
VII. PENUTUP
Pengelolaan DAS jelas melibatkan banyak pihak yang
berkepentingan baik lintas sektoral maupun lintas wilayah
administrasi sehingga untuk mewujudkan tujuan pengelolaan DAS
terpadu diperlukan kelembagaan yang memadai yang dapat
memfasilitasi koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinegi antar pihak
berkepentingan tersebut. Walupun beberapa lembaga koordinatif
”Forum DAS” telah terbentuk namun masih banyak tugas dan fungsi
forum belum berjalan secara optimal karena masih menghadapi
berbagai kendala dan permasalahan yang cukup kompleks. Karena itu
dimasa yang akan datang masih diperlukan penelitian atau kajian
untuk mendukung pembinaan dan pengembangan kelembgaan DAS
kearah yang lebih baik. Kebutuhan penelitian atau kajian kelembagaan
tersebut antara lain:
1) Analisis posisi dan peran lembaga ditinjau dari aspek lembaga
yang terlibat dalam kebijakan, program dan kegiatan dalam
pengelolaan DAS.
2) Menganalisis kapasitas lembaga pemerintah yang terlibat dalam
mengatasi masalah yang terjadi di DAS.
3) Menganalisis mekanisme koordinasi antar lembaga yang terlibat
dalam pengelolaan DAS.
4) Merancang bangun alternatif kelembagaan pengelolaan DAS.
Kajian atau penelitian tersebut harus bersifat lokal suatu DAS
karena masing-masing DAS memilki karakteristik biofisik, sosek dan

| 205 |
PROSIDING Workshop, 2007: 186-206
permasalahan yang berbeda satu sama lain. Kelembagaan DAS
disuatu daerah belum tentu cocok untuk diterapkan di DAS lain.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang


Kehutanan.

| 206 |
19. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN
SUNGAI (DAS)1
Oleh:
Hendro Prahasto2

ABSTRAK

Pembangunan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan bagian integral dari


pembangunan nasional sehingga harus dilaksanakan secara bertanggung jawab
dan transparan, untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Dalam pengelolaan DAS idealnya harus tetap
memperhatikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya sehingga pemanfaatan
sumber daya DAS tidak hanya diarahkan untuk menghasilkan keuntungan
ekonomi semata tetapi yang lebih penting adalah keberlanjutan fungsi sumber
daya DAS itu sendiri untuk menopang kehidupan manusia antar generasi.
Namun, dalam prakteknya seringkali terjadi penyimpangan. Para pemangku
kepentingan masih banyak yang belum dapat membaca atau menginterpretasikan
rencana yang telah disusun, karena kekurang-pahaman mengenai penataan
ruang. Akibatnya banyak terjadi pemanfaatan yang menyimpang dari rencana
yang telah ada. Selain itu, masih terikatnya masing-masing sektor oleh target
sektoral yang sulit untuk menterjemahkan ke dalam ruang. Beberapa sektor
atau departemen secara kelembagaan terkait dengan pengelolaan sumber daya
DAS antara lain adalah kehutanan, pertambangan, pekerjaan umum,
lingkungan hidup, pertanian dan pertanahan. Sampai saat ini konsep yang
mapan dan jelas tentang pengelolaan DAS secara nasional belum dapat
diwujudkan, karena sifatnya masif bersifat klausal dan sektoral sehingga
pengelolaan DAS belum merupakan suatu pengelolaan yang terpadu, dimana
semua kepentingan sektor dapat terakomodasi dan tidak menimbulkan konflik.
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sama
sekali tidak mengatur soal koordinasi antar sektor dalam rangka pengelolaan
sumber daya alam. Namun, pengaturan mengenai koordinasi tersebut dapat
ditemukan di sejumlah peraturan perundangan-undangan yang lain. Dalam
pengelolaan sumber daya DAS perlu adanya koordinasi antar sektor terkait.
Koordinasi tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam satu kerjasama yang
operasional sifatnya, tetapi juga koordinasi dalam pembuatan kebijakan.

1
Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007.
2
Peneliti pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Jl.
Gunung Batu No. 5 PO. BOX 272 Bogor 16610 Indonesia. Telp. +62-0251-
8633944 ; Fax. +62-0251-8634924
| 207 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
Koordinasi dalam kerjasama operasional dan kebijakan diharapkan akan
menjamin terjadinya sinkronisasi pengelolaan sumber daya DAS, Dengan
adanya koordinasi dalam penyusunan kebijakan diharapkan akan
menghasilkan kebijakan yang sistematis dan tidak berbenturan satu dengan yang
lain.

Kata kunci: kelembagaan, koordinasi, daerah aliran sungai

I. PENDAHULUAN
Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 52 Tahun 2001
yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu
daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa,
sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk
menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya
dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya. Sementara
itu, pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal
balik antara sumber daya alam dengan sumber daya manusia di dalam
DAS dan segala aktivitasnya untuk mewujudkan kemanfaatan sumber
daya alam bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem
DAS serta kesejahteraan masyarakat.
Sampai saat ini, pengelolaan DAS yang ada belum optimal antara
lain disebabkan tidak adanya keterpaduan antar sektor dan antar
wilayah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan DAS
tersebut. Program atau kegiatan masing-masing sektor dan wilayah
berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak
belakang. Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa
dengan adanya otonomi daerah, dimana masing-masing daerah
berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Permasalahan
ego-sektoral dan ego-kedaerahan akan menjadi sangat komplek pada
DAS yang lintas kabupaten/kota atau propinsi. Oleh sebab itu, dalam
rangka memperbaiki kinerja pembangunan DAS maka perlu
dilakukan pengelolaan DAS secara terpadu.
Pengelolaan DAS terpadu adalah rangkaian upaya perumusan
tujuan, sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian
pengelolaan sumber daya DAS lintas pemangku kepentingan secara
partisipatif berdasarkan kajian kondisi biofisik, ekonomi, sosial,
politik dan kelembagaan guna mewujudkan tujuan pengelolaan DAS.
Pengelolaan DAS terpadu bertujuan untuk mewujudkan koordinasi,
integrasi, sinkronisasi dan sinergi berbagai pemangku kepentingan
| 208 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)
yang terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di
dalam DAS agar dapat dicapai kondisi tata air DAS yang optimal,
kondisi lahan yang produktif sesuai daya dukung wilayah dan daya
tampung lingkungan serta meningkatnya kesejahteraan masyarakat
(Departemen Kehutanan, 2006). Pengelolaan DAS terpadu dilakukan
secara menyeluruh mulai dari keterpaduan kebijakan, penentuan
sasaran dan tujuan, rencana kegiatan, implementasi program yang
telah direncanakan serta monitoring dan evaluasi hasil kegiatan secara
terpadu. Pengelolaan DAS terpadu selain mempertimbangkan faktor
biofisik dari hulu sampai hilir juga mempertimbangkan faktor sosial-
ekonomi, kelembagaan dan hukum.
Sampai saat ini konsep yang mapan dan jelas tentang
pengelolaan DAS secara nasional belum dapat diwujudkan, karena
masih bersifat klausal (sebab-akibat) dan sektoral sehingga
pengelolaan DAS belum merupakan suatu pengelolaan yang terpadu,
dimana semua kepentingan sektor dapat terakomodasi dan tidak
menimbulkan konflik. Untuk tercapainya pembangunan DAS yang
berkelanjutan, kegiatan pembangunan ekonomi dan perlindungan
lingkungan harus diselaraskan. Dalam hal ini diperlukan penyatuan
kedua sisi pandang tersebut secara realitis, melalui penyesuaian
kegiatan pengelolaan DAS dan konservasi daerah hulu ke dalam
kenyataan-kenyataan ekonomi dan sosial. Oleh sebab itu, formulasi
kebijakan yang harus dituntaskan apabila tujuan pembangunan yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dapat diwujudkan.
Pengelolaan DAS yang baik perlu didukung oleh kebijakan yang
dirumuskan dengan baik pula. Dalam hal ini kebijakan yang berkaitan
dengan pengelolaan DAS seharusnya mendorong dilaksanakannya
praktek-praktek pengelolaan lahan yang kondusif terhadap
pencegahan degradasi tanah dan air. Dengan demikian penataan dan
pemanfaatan ruang di daerah hulu DAS harus dilakukan secara
komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif dan efisien
dengan memperhatikan faktor politik , ekonomi, sosial dan budaya
serta kelestarian lingkungan hidup. Harus selalu disadari bahwa biaya
yang dikeluarkan untuk rehabilitasi DAS jauh lebih mahal daripada
biaya yang dikeluarkan untuk usaha-usaha pencegahan dan
perlindungan DAS.

II. DEGRADASI LINGKUNGAN


Kerusakan lingkungan di Indonesia telah menjadi keprihatinan
banyak pihak, timbulnya bencana alam yang silih berganti seperti
bencana alam banjir, tanah longsor dan kekeringan yang akhir-akhir
| 209 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
ini cenderung meningkat, baik frekuensi maupun dampak kerusakan
yang ditimbulkannya. Rusaknya wilayah hulu DAS sebagai daerah
tangkapan air diduga merupakan sebagai salah satu penyebab utama
terjadinya bencana alam tersebut. Beberapa faktor yang diduga
sebagai penyebab terjadinya degradasi lingkungan antara lain adalah
tekanan penduduk, krisis ekonomi, perubahan kebijakan terutama
pada era otonomi daerah, dan inkonsistensi atau ketidak sesuaian
antara penggunaan lahan dan ruang yang ada dengan arahan yang
diperintahkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) serta
lemahnya penegakan hukum.
Kegiatan pembangunan di suatu wilayah memerlukan
dukungan sumber daya alam, baik sebagai wahana kegiatan, maupun
sebagai faktor produksi yang dipergunakan guna menopang aktivitas
kegiatan ekonomi yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan
manusia. Ada keterkaitan yang sangat erat sekali antara penduduk dan
sumber daya alam. Perubahan yang terjadi atas dinamika penduduk
sangat berpengaruh terhadap pemanfaatan sumber daya alam, yang
pada gilirannya nanti akan berdampak terhadap berbagai aspek
lingkungannya. Selain tekanan penduduk, munculnya krisis ekonomi
serta adanya penyerahan beberapa urusan dalam rangka otonomi
daerah, juga mendorong terjadinya eksploitasi yang berlebihan
terhadap sumber daya alam. Dalam kondisi krisis ekonomi yang tidak
kunjung usai, para pelaku ekonomi cenderung berusaha menciptakan
kondisi untuk memaksimalkan keuntungan dengan cara menekan
biaya produksi, termasuk upaya untuk mengurangi biaya pengelolaan
lingkungan dan penerapan teknologi yang kurang ramah lingkungan.
Semuanya ini berdampak negatif seperti: munculnya kasus
pencemaran lingkungan (air, tanah dan udara); banjir dan kekeringan;
degradasi sumber daya tanah yang berakibat terhadap penurunan
produksi pertanian; hilangnya keanekaragaman hayati dan lain-lain.
Kerusakan lingkungan ini diperparah lagi dengan lemahnya
penegakan hukum sehingga degradasi lingkungan semakin cepat dan
tidak terkendali.
Konsep pembangunan secara berkelanjutan sebenarnya sudah
dicanangkan lebih dari dua dekade yang lalu, namun dalam
prakteknya pembangunan di masa orde baru dan era reformasi masih
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, seperti pertimbangan
peningkatan PAD, serta kepentingan lain yang berakar dari kondisi
kemiskinan, ketidak-tahuan, ketidak-pedulian, dan keserakahan
manusia. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini, tanpa
| 210 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)
mengurangi kesempatan pemenuhan kebutuhan hidup generasi
selanjutnya. Pembangunan berkelanjutan dicirikan dengan asas
pembangunan yang memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan,
dimana fungsi-fungsi dan interaksi antar komponen lingkungan
diserasikan. Besarnya tekanan penduduk serta orientasi pembangunan
yang berfokus pada keuntungan ekonomi sesaat, telah mengakibatkan
kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan banyak dilanggar,
sehingga keharmonisan lingkungan terganggu dan tingkat kerawanan
terhadap bencana meningkat.
Hal ini tercermin dari banyaknya kerusakan lingkungan terjadi
di seluruh Indonesia, termasuk di Propinsi Jawa Barat. Dari tahun
1994 sampai 2000, hutan lindung di Jawa Barat berkurang sekitar
106.851 ha (24%), sementara hutan produksi berkurang sekitar
130.589 ha (31%). Pesawahan dalam periode ini telah diubah menjadi
lahan bukan pesawahan seluas kurang lebih 165.903 ha (17%). Gejala
ini bisa menurunkan daya dukung lingkungan wilayah Jawa Barat
(Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2000: Pola Dasar Pembangunan
Jawa Barat 2001-2007). Kerusakan yang sama juga terjadi pada
kawasan hutan di Jawa Barat yang luasnya 791.571 ha atau 22%
daratan Jawa Barat, ternyata penutupan vegetasi hutannya hanya 9%
atau sekitar 323.802 ha pada tahun 2000. Kerusakan hutan Jawa Barat
diperkirakan akan semakin parah dalam waktu dekat apabila tidak
dilakukan tindakan-tindakan yang memadai (BPLHD Jawa Barat,
2002).
Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat (2004) melaporkan
bahwa luas lahan kritis di DAS Citarum Hulu sudah mencapai
150.000 ha, Cimanuk Hulu seluas 24.000 ha, Citanduy sekitar 64.000
ha dan lebih dari 9.000 ha lahan kritis di DAS Ciliwung Hulu. Lahan
kritis adalah lahan yang keadaan fisiknya demikian rupa sehingga
lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan
peruntukannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air
(Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 52 Tahun 2001). Adanya
lahan-lahan kritis tersebut umumnya disebabkan oleh adanya kegiatan
pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, seperti
pemanfaatan lereng bukit untuk lahan pertanian yang tidak
menerapkan teknologi konservasi, perubahan fungsi kawasan lindung
menjadi areal permukiman dan lain-lain.
Dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI dengan Kementerian
Lingkungan Hidup tanggal 11 November 2003 mengungkapkan
bahwa pembangunan lingkungan hidup masih banyak mengalami
hambatan, antara lain disebabkan oleh:
| 211 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
o Masih rendahnya komitmen nasional pada prinsip pembangunan
berkelanjutan.
o Masih rendahnya komitmen Kepada Daerah dan DPRD dalam
menyikapi berbagai masalah lingkungan hidup di daerah, karena
daerah pada umumnya masih berorientasi pada peningkatan PAD
melalui eksploitasi sumber daya alam tanpa diimbangi dengan
pelestarian fungsi lingkungan.
o Konflik permasalahan lingkungan hidup yang bersifat lintas
daerah ditangani hanya dengan menggunakan pendekatan batas
wilayah administrasi dan mengabaikan batas-batas ekologis.
o Pemekaran Propinsi, Kabupaten/Kota pada umumnya tidak
berdasarkan pada kepentingan lingkungan, melainkan lebih
banyak didasarkan pada kepentingan penguasaan sumber daya
alam dan politik.
Di samping itu, banyaknya peraturan-peraturan yang bersifat
sektoral juga memberikan kontribusi pada kekacauan pengendalian
tata guna lahan di kawasan tersebut. Sementara terpecahnya lokasi
kawasan pada beberapa daerah administrasi menyebabkan terjadinya
perencanaan tata ruang yang kurang terpadu, serta upaya melempar
tanggung jawab masalah konservasi Sumber Daya Alam (SDA)
kepada pihak lain. Selain itu,
sudah tidak ada harmoni diantara pemanfaat ruang dan tidak adanya
kesepahaman antara perencana tata ruang dan pemanfaat ruang.
Untuk mengatasi degradasi lingkungan perlu adanya
keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian
lingkungan hidup. Selain itu, perlu diserasikan antara ketersediaan
sumber daya alam dengan dinamika penduduk, terutama dalam
memadukan dan mensinergikan dimensi ekonomi, sosial budaya dan
lingkungan, penerapan teknologi ramah lingkungan, peningkatan
kesadaran aparat, masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sumber
daya alam dan menjaga kesinambungan lingkungan, peningkatan
kemampuan aparat dan kelembagaan serta penegakan hukum dan
perbaikan sistem/ perangkat hukum yang akomodatif, partisipatif dan
adil perlu lebih ditingkatkan. Selain itu perlu ditingkatkan pula upaya-
upaya strategis yang melibatkan berbagai pihak dalam pengelolaan,
pengawasan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan.
III. PEMBANGUNAN KAWASAN HULU-HILIR DAS
Sumber utama terjadinya ketimpangan hubungan transaksional
antara masyarakat di DAS bagian hulu dan hilir adalah kerangka
kebijakan pembangunan yang terlalu memihak pada kawasan hilir.
| 212 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)
Ketimpangan hubungan transaksional antara kawasan DAS (hulu-
hilir) bermula dari bias kebijakan pemerintah, kemudian berlanjut
pada marjinalisasi kawasan hulu. Ada kesejajaran antara kerusakan
kawasan hulu dengan lemahnya berbagai faktor pendukung kawasan
hulu ini. Beberapa jenis modal strategis di kawasan hulu sangat
ketinggalan dibanding dengan kawasan hilir. Modal prasarana
ekonomi, seperti sarana transportasi dan komunikasi, di kawasan hulu
relatif sangat lemah. Dukungan kelembagaan modal finansial di
kawasan hulu kalah jauh dibanding kawasan hilir. Pendirian
kelembagaan ekonomi, seperti Koperasi dan Bank Rakyat Indonesia
(BRI) Unit Desa/Kecamatan, yang sarat dengan bantuan pemerintah
lebih banyak diarahkan untuk pengembangan kawasan hilir (Pranadji,
2005).
Program yang banyak menyedot modal finansial, terutama
untuk pengembangan konservasi kawasan DAS hulu, masih lebih
banyak dengan pendekatan pemberian bantuan yang bersifat “cuma-
cuma”. Di lapangan jarang ditemukan adanya program konservasi
lahan dataran tinggi (upland areas) yang diintegrasikan langsung
dengan transformasi perekonomian masyarakat setempat.
Pemberdayaan masyarakat melalui pengikut-sertaan masyarakat secara
menyeluruh dan komprehensif, yang mengarah pada keswadayaan
masyarakat belum banyak ditemukan. Program pengelolaan kawasan
hulu DAS yang melibatkan partisipatif aktif masyarakat setempat
belum banyak dijalankan. Selain itu, juga belum ditemukan rancangan
program rehabilitasi kawasan DAS hulu yang diintegrasikan dengan
transformasi masyarakat pedesaan setempat.
Di samping itu, masyarakat yang mendiami kawasan hulu DAS
umumnya mengalami tekanan relatif berat di bidang ekonomi,
lingkungan alam, dan pemenuhan kebutuhan dasar yang telah
berlangsung lama. Dari pengamatan di lapangan, menunjukkan bahwa
modal atau sumber daya manusia di kawasan hulu DAS relatif lebih
rendah dibanding kawasan hulir. Dengan tingkat kemampuannya
yang serba terbatas, dan dihadapkan pada tekanan lingkungan yang
serba berat, maka proses marjinalisasi masyarakat dan daerah
tangkapan air di kawasan hulu DAS ini dari waktu ke waktu
berlangsung semakin tajam.
Untuk mempertahan hidupnya, masyarakat di kawasan hulu
DAS, yang serba terbatas kemampuannya ini, tidak mempunyai
pilihan lain kecuali mengeksploitasi daerah-daerah resapan air di
lereng-lereng perbukitan yang curam. Kerusakan atau penghancuran
modal alam (natural capital) oleh masyarakat kawasan hulu DAS
| 213 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
menjadi sulit dihindari. Untuk menghindari kerusakan lingkungan
yang lebih parah, maka perlu adanya pengendalian pemanfaatan
lahan, terutama di kawasan hulu DAS.
Pengendalian pemanfaatan di kawasan hulu DAS dapat
dilakukan melalui perizinan pemanfaatan ruang, pemberian insentif
dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Perizinan pemanfaatan ruang
bertujuan untuk menertibkan pemanfaatan ruang sehingga setiap
pemanfaatan ruang harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang.
Izin pemanfaatan ruang diatur oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya. Pemberian insentif bertujuan untuk memberikan
imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana
tata ruang, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh
pemangku kepentingan lainnya. Bentuk insentif tersebut antara lain
dapat berupa keringanan pajak, pemberian kompensasi dan
penghargaan. Sebaliknya, pemberian disinsentif bertujuan untuk
mencegah atau membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan
yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang. Disinsentif antara lain
dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi, kompensasi dan penalti.
Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang maka penegakan hukum dapat dilakukan
lebih tegas seperti pengenaan sanksi bagi seluruh pemangku
kepentingan yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang. Bahkan, dalam peraturan tersebut, sanksi juga dikenakan
kepada pejabat pemerintah yang menerbitkan izin pemanfaatan ruang
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
IV. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS
Sampai saat ini perekonomian Indonesia masih tergantung
pada sektor sumber daya alam. Hal ini diperparah oleh pola
pengelolaan sumber daya alam dengan pendekatan sektoral. Dengan
demikian dalam satu wilayah DAS akan terdapat banyak pihak dengan
masing-masing kepentingan, kewenangan, bidang tugas dan tanggung
jawab yang berbeda, sehingga tidak mungkin dikoordinasikan dan
dikendalikan dalam satu garis komando. Pendekatan sektoral yang
selama ini digunakan dalam prakteknya sulit untuk dikoordinasikan,
diintegrasikan dan disinergikan sehingga seringkali terjadi konflik
kepentingan antar sektor.
Oleh karena itu koordinasi yang dikembangkan adalah dengan
mendasarkan pada hubungan fungsi melalui pendekatan keterpaduan.
Diantara pemangku kepentingan yang terlibat harus dikembangkan
prinsip saling mempercayai, keterbukaan, tanggung jawab, dan saling
| 214 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)
membutuhkan. Dengan demikian dalam pelaksanaan pengelolaan
DAS terpadu ada kejelasan wewenang dan tanggung jawab setiap
pihak (siapa, mengerjakan apa, bilamana, dimana, dan bagaimana).
Mengingat batas satuan wilayah DAS tidak selalu bertepatan (co-incide)
dengan batas unit administrasi pemerintahan, sehingga koordinasi dan
integrasi antar pemerintahan otonom, instansi sektoral dan pihak-
pihak terkait lainnya menjadi sangat penting.
A. Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Meningkatnya degradasi sumber daya alam pada kawasan DAS
akibat kesalahan karena masalah struktural, yaitu kesalahan
pengelolaan (mismanagement) DAS. Setiap instansi yang terkait dalam
pengelolaan DAS melakukan tupoksinya (tugas pokok dan fungsi)
masing-masing secara parsial. Selain parsial, terjadi pula konflik
kepentingan, karena belum jelasnya kewenangan dan ”aturan main”
dalam pengelolaan sumber daya dalam suatu DAS. Hal ini disebabkan
sampai saat ini belum ada konsep yang komprehensif dan holistik
tentang kelembagaan pengelolaan DAS, sehingga pengelolaan DAS
belum merupakan suatu pengelolaan yang terpadu, dimana semua
kepentingan sektor dapat terakomodasi dan tidak menimbulkan
konflik.
Beberapa pertimbangan yang mengharuskan pengelolaan DAS
dilakukan secara terpadu adalah: (i)Terdapat keterkaitan antar
berbagai kegiatan (multi sektor) dalam pengelolaan sumber daya dan
pembinaan aktifitasnya; (ii) Batas DAS tidak selalu bertepatan dengan
batas wilayah administrasi pemerintahan; (iii) Interaksi daerah hulu
sampai hilir yang dapat berdampak negatif maupun positif sehingga
memerlukan koordinasi antar pemangku kepentingan. Oleh sebab itu
perlu adanya adanya penataan ruang di wilayah DAS yang berasaskan
keterpaduan, keserasian, keselarasan, keseimbangan, keberlanjutan,
keberdayagunaan dan keberhasilgunaan.
Keterpaduan mengandung pengertian bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang
bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.
Sementara itu, keserasian, keselarasan, keseimbangan mengandung
makna bahwa penataan ruang diselenggarakan untuk mewujudkan
keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara
kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan
pertumbuhan dan perkembangan antar daerah Undang-Undang (UU
Nomor 26 Tahun 2007). Penataan ruang di wilayah DAS juga harus
dilakukan secara berkelanjutan untuk menjamin kelestarian dan
| 215 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan sehingga
dapat mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang berada
di dalamnya.
Lahirnya UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup pada awalnya diharapkan mampu memunculkan
koordinasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Harapan tersebut
cukup rasional, karena secara normatif UU Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang menyatakan bahwa dalam rangka mendayakan sumber
daya alam untuk memajukan kesejahteran umum seperti diamanatkan
dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup
berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup berdasarkan
kebijakan nasional terpadu dan menyeluruh dengan
memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa
depan.
1. Kebijakan di Tataran Pusat
Kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang terpadu dan
menyeluruh diperlukan adanya koordinasi antar sektor yang terkait.
Namun, dalam kenyataan pasca diberlakukannya UU Pengelolaan
Lingkungan Hidup, koordinasi dalam pengelolaan sumber daya alam
antar sektor terkait belum terwujud. Sebaliknya, dalam era reformasi
justru banyak lahir UU yang sifatnya sektoral seperti UU Nomor 41
tTahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan, UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan UU
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air,
sehingga aroma ego-sektoral sangat dominan. Hal ini berdampak pada
semakin ruwetnya regulasi pengelolaan sumber daya alam, karena
penyusunan rencana dan implementasi kebijakan dari masing-masing
sektor masih berjalan sendiri-sendiri.
Beberapa sektor atau departemen/non-departemen secara
kelembagaan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, antara
lain adalah kehutanan, pekerjaan umum, energi dan sumber daya
mineral, pertanian dan perkebunan, kelautan dan perikanan,
pertanahan, dan lingkungan hidup. Kewenangan masing-masing
sektor atau departemen/non-departemen telah diatur dalam
Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen, dan Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara.
| 216 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)
Untuk melaksanakan tugas dan fungsi pokoknya masing-
masing departemen/non-departemen, perlu adanya koordinasi antar
sektor dalam pembuatan kebijakan. Ketentuan ini telah diatur dalam
UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Pada Pasal 18 ayat (1) UU ini menyatakan
bahwa rancangan UU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh
Menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-departemen, sesuai
dengan lingkup tugas dan tanggung-jawabnya. Selanjutnya pada ayat
(2) dalam pasal yang sama menyatakan bahwa pengharmonisan,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang
yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas
dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang undangan.
Dalam Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001, tugas
koordinasi tersebut dilimpahkan kepada Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia, yang sekarang berubah menjadi Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia. Hanya sayang, dalam Keputusan Presiden
tersebut metoda, definisi, maksud dan tujuan koordinasi tidak
diuraikan lebih lanjut.
Untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi antar sektor
dalam pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya juga telah diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan
Tata Kerja Menteri Negara Koordinator. Menurut Pasal 2 Keputusan
Presiden ini, Menteri Koordinator mempunyai tugas membantu
Presiden dalam mengkoordinasikan dan menyinkronkan penyiapan
dan penyusunan kebijakan serta pelaksanaannya di bidang tertentu
dalam kegiatan pemerintahan negara. Dalam kasus pengelolaan
sumber daya alam maka Menteri Koordinator yang bertanggung
jawab adalah Menteri Koordinator Perekonomian.
Dalam melaksanakan tugasnya, Menteri Koordinator
Perekonomian menyelenggarakan fungsi: a. pengkoordinasian para
Menteri Negara dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non
Departemen dalam keterpaduan pelaksanaan tugas di bidang
perekonomian, termasuk pemecahan permasalahan dalam
pelaksanaan tugas; b. pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan
dalam penyiapan dan perumusan kebijakan pemerintahan Kantor
Menteri Negara, Departemen, dan Lembaga Pemerintah Non
Departemen di bidang perekonomian; c. pengendalian
penyelenggaraan kebijakan, sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
huruf b. Dalam menyelenggarakan fungsinya, Menteri Koordinator
Perekonomian antara lain mempunyai kewenangan: a. penetapan
| 217 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
kebijakan secara makro untuk keterpaduan dan sinkronisasi seluruh
kebijakan lembaga Pemerintah di bidangnya; b. perumusan dan
penetapan agenda dan prioritas kebijakan secara makro di bidangnya;
c. penyusunan rencana makro untuk menyinkronkan rencana dan
program lembaga Pemerintah di bidangnya.
Pelaksanaan koordinasi oleh Menteri Koordinator dapat
dilakukan melalui rapat koordinasi Menteri Koordinator atau
koordinasi gabungan antar Menteri Koordinator, rapat-rapat
kelompok kerja yang dibentuk oleh Menteri Koordinator, forum-
forum koordinasi yang sudah ada, dan konsultasi langsung dengan
para Menteri, Pemimpin Lembaga Pemerintah Non-Departemen, dan
pimpinan lembaga lain terkait.
Dalam Pasal 76 Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001
menyebutkan dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya
Menteri yang memimpin Departemen berkoordinasi dan saling
berkonsultasi sesama Menteri Negara, Pimpinan Lembaga
Pemerintah Non-Departemen, dan Pimpinan Lembaga terkait. Hal
yang sama juga berlaku bagi setiap pimpinan satuan organisasi dalam
melaksanakan tugas wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi
dan sinkronisasi serta bekerja sama baik dalam lingkup internal
maupun eksternal Departemen.
Dengan demikian jelas bahwa perangkat kebijakan di tataran
pusat untuk pengelolaan sumber daya alam telah diatur dengan jelas.
Hanya saja dalam implementasinya di lapangan tidak seluruhnya
berjalan mulus sehingga masing-masing sektor seringkali masih
berjalan sendiri-sendiri dalam merumuskan kebijakan pengelolaan
sumber daya alam.
2. Kebijakan di Tataran Provinsi dan Kabupaten/Kota
Sejak berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, muncul
beberapa UU sektoral yang berhubungan dengan pengelolaan sumber
daya alam. Beberapa diantaranya adalah UU Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air, UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dan UU
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
Dalam rangka melaksanakan ketentuan UU, Peraturan
Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden, masing-masing sektor
menerbitkan Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Karena
| 218 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)
sifatnya sebagai kebijakan sektoral, maka Peraturan Menteri dan
Keputusan Menteri kadangkala bertabrakan antara sektor satu dengan
yang lain. Selain kebijakan yang bersifat sektoral, masing-masing
Pemerintahan Daerah juga mengatur kebijakan pengelolaan sumber
daya alam di daerahnya baik dalam bentuk Peraturan
Gubernur/Bupati/Walikota atau Keputusan
Gubernur/Bupati/Walikota atau Peraturan Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota.
Uleh karena itu tidak mengherankan bahwa dalam suatu
kawasan diatur oleh banyak peraturan perundangan yang bersifat
sektoral yang seringkali bertentangan satu dengan yang lain sehingga
berdampak terhadap kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan karena
cara pandang masing-masing sektor terhadap sumber daya alam yang
terkotak-kotak dan tidak terintegrasi sehingga melahirkan kebijakan
yang sifatnya sangat sektoral. Menyadari bahwa permasalahan
pengelolaan sumber daya alam disebabkan oleh adanya cara pandang
yang keliru terhadap sumber daya alam, maka dalam hal pengelolaan
sumber daya alam harus dilakukan dengan pendekatan holistik.
Sumber daya alam seharusnya dipandang sebagai satu kesatuan yang
utuh dan menyeluruh. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya alam
tidak dibatasi oleh kewenangan sektoral dan administratif belaka,
sehingga dalam implementasi kebijakan memerlukan koordinasi
dan keterpaduan antar sektor dan antar daerah. Menyadari sulitnya
untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi program sektoral dan
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, maka melalui Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,
diharapkan hubungan antar sektor dan pusat-daerah menjadi lebih
jelas.
Pemerintahan Daerah, menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang
menjadi urusan Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut,
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan
asas otonomi dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan desentralisasi
mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah
dengan Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari
urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama
| 219 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan
pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antar tingkatan dan
susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan
pemerintahan selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
urusan Pemerintah. Dengan demikian dalam setiap bidang urusan
pemerintahan yang bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian
urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, berusaha untuk
menjembatani kewenangan daerah terkait dengan UU sektoral.
Namun, dalam rumusan kewenangan terdapat perbedaan yang cukup
mendasar mengenai kewenangan daerah dalam pengelolaan sumber
daya alam. Sebagai contoh, dalam pengaturan sumber daya air,
Pemerintahan Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) memiliki
kewenangan yang setara dengan kewenangan yang dimiliki oleh
Pemerintah Pusat sesuai dengan tatarannya. Pemerintah Daerah
memiliki kewenangan dalam penetapan: kebijakan pengelolaan, pola
pengelolaan, rencana pengelolaan, pengelolaan kawasan lindung
sumber air, dan pembentukan wadah koordinasi sumber daya air.
Demikian pula kewenangan pemerintahan daerah dalam penataan
ruang di era otonomi daerah cukup besar. Kewenangan pengaturan
yang diberikan kepada pemerintahan daerah adalah penetapan
Peraturan Daerah (PERDA) bidang penataan ruang, penetapan
penataan ruang perairan, penetapan criteria penentuan dan perubahan
fungsi kawasan/lahan, dan penetapan kawasan strategis di tingkat
provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan tatarannya. Sebaliknya, dalam
pengelolaan DAS kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten/
Kota hanya terbatas pada pertimbangan teknis dalam penyusunan
rencana pengelolaan dan pertimbangan teknis penyelenggaraan
pengelolaan DAS skala kabupaten/kota. Keterbatasan kewenangan
yang sama juga berlaku bagi Pemerintahan Daerah Provinsi.
Penetapan DAS prioritas dan penyusunan rencana pengelolaan DAS
terpadu masih ditangani oleh Pemerintah Pusat.
Sementara itu, keberhasilan pengelolaan sumber daya air tidak
terlepas dari keberhasilan pengelolaan DAS, dan keberhasilan
pengelolaan DAS tidak terlepas dari keberhasilan penataan ruang di
kawasan konservasi atau kawasan lindung. Dengan adanya
kesenjangan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam
pengelolaan sumber daya air, penataan ruang dan pengelolaan DAS,
maka pemerintah daerah akan cenderung menggunakan kewenangan
yang dimiliki dalam pengelolaan sumber daya air dan penataan ruang
| 220 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)
untuk menata kawasan hulunya tanpa memperhatikan DAS sebagai
satuan perencanaan. Dengan memperhatikan kemampuan, situasi dan
kondisi daerah, sebaiknya Pemerintah Pusat dapat menyerahkan
kewenangan penetapan rencana pengelolaan dan rencana pengelolaan
DAS kepada daerah berdasarkan asas desentralisasi. Pada era otonomi
daerah, sudah selayaknya bila pemerintah daerah memiliki
kewenangan yang semakin besar dalam penyelenggaraan berbagai
kegiatan yang ada di daerahnya masing-masing, dengan
mempertimbangkan adanya keserasian dan keterpaduan antar daerah
dan antara pusat dan daerah agar tidak menimbulkan kesejanjangan
antar daerah.
B. Implementasi Kebijakan Pengelolaan DAS
1. Praktek Pengelolaan DAS
Perencanaan DAS memegang peranan penting karena akan
menentukan keberhasilan pencapaian tujuan. Perencanaan DAS
mempunyai keterkaitan dan keterpaduan antar sektor dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat lokal, regional dan nasional
yang berwawasan lingkungan. Namun, fakta yang ditemukan di
lapang yang terkait dengan perencanaan DAS masih sangat jauh dari
pengertian perencanaan DAS terpadu. Berdasarkan hasil wawancara
dengan pihak-pihak terkait, terungkap bahwa penyusunan rencana
pengelolaan DAS secara terpadu belum dilaksanakan oleh institusi-
institusi pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan DAS atau
pemanfaatan lahan di kawasan DAS. Perencanaan DAS cenderung
masih disusun secara sektoral dan wilayah. Pada saat penyusunan
rencana pada umumnya institusi tersebut melakukan identifikasi
masalah, pengumpulan data primer/sekunder, penentuan skala
prioritas dilakukan secara sendiri-sendiri, dan pada umumnya tidak
melakukan koordinasi dengan instansi lain yang terkait. Masukan data
dan informasi dari instansi lain untuk penyempurnaan program atau
kegiatan di suatu kabupaten baru dilakukan setelah rencana atau
program/kegiatan tersebut di bahas pada tataran kebupaten yang
dikoordinasi oleh Bappeda. Mengingat program atau kegiatan institusi
teknis tersebut pada umumnya terkait dengan misi dari departemen
atau non-departemen yang ada di pusat, dan pada umumnya telah
dianggarkan sehingga masukan yang diberikan oleh intutusi lain yang
terkait pada umumnya tidak banyak berpengaruh terhadap program
atau kegiatan yang telah ditetapkan oleh instansi teknis tersebut.
Seharusnya perencanaan DAS disusun secara konsepsional dan
terpadu dalam satu kesatuan yang utuh dari berbagai perencanaan
| 221 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
kegiatan sumber daya yang ada di wilayah tersebut. Perencanaan DAS
seharusnya dilaksanakan secara transparan, partisipatif, terpadu
dengan memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah. Suatu
perencanaan memerlukan penjabaran dan analisis dari masalah dan
penyelesaiannya berdasarkan informasi yang ada serta kajian yang
komprehensif. Rencana Pengelolaan DAS terpadu merupakan
rencana jangka panjang yang bersifat strategis, dengan rentang waktu
rencana disesuaikan dengan rencana pembangunan daerah
bersangkutan dengan unit analisis DAS. Rencana jangka menengah
bersifat semi detail pada tingkat wilayah yang lebih kecil seperti
tingkat Sub DAS, sedangkan rencana jangka pendek merupakan
rencana implementasi dan rencana teknis pada tingkat tapak. Untuk
kesuksesan suatu proses perencanaan maka perlu ada suatu konsep
strategi dan implementasi perencanaan yang jelas. Strategi
perencanaan mengakomodasi rencana mendesak, rencana jangka
pendek, rencana jangka menengah dan rencana jangka panjang.
Dengan perencanaan yang masih bersifat sektoral maka
program atau kegiatan yang terkait dengan pengelolaan DAS masih
dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah di tataran
kabupaten/kota atau propinsi yang secara teknis berada di bawah
Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen
Pertanian, Departemen Pertambangan, serta Departemen Kelautan
dan Perikanan, juga masih dilakukan secara sektoral.
Masalah menonjol yang masih banyak ditemui di lapangan
adalah pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Banyaknya pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan
di daerahnya antara lain disebabkan oleh:
o Pertambahan penduduk yang sangat cepat,
o Perencanaan pembangunan yang tidak matang dan selalu
ketinggalan,
o Persepsi para perancang dan pelaksana belum sama dan belum
berkembang,
o Pelaksanaan yang tidak sesuai dengan perencanaan,
o Kebutuhan pembangunan yang mendesak, dan
o Para perencana yang belum berwawasan lingkungan dengan tidak
berpandangan ke depan.
Hal-hal inilah yang menyebabkan pembangunan di daerah sulit
dikontrol sehingga terjadilah kerancuan pemanfaatan tata ruang. Dari
hasil analisis yang dilakukan juga ditemukan beberapa permasalahan
dalam pemanfaatan lahan antara lain:
| 222 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(HendroPrahasto)
o Para pelaku pembangunan belum memahami secara lengkap
mengenai pentingnya keputusan-keputusan tersebut dalam
pemanfaatan ruang. Selain itu, masih banyak yang belum dapat
membaca atau menginterpretasikan rencana yang telah disusun
karena kekurang-pahaman mengenai penataan ruang.
o Masih terikatnya masing-masing sektor oleh target sektoral yang
sukar untuk menterjemahkan ke dalam ruang. Saat ini, masing-
masing sektor memiliki target tertentu berdasarkan interpretasi
terhadap sektor makro. Sebenarnya, hal ini bukan masalah dari
sektor tersebut, melainkan masalah dalam proses tersebut.
o Sukarnya membentuk keterpaduan dana sehingga dalam
pelaksanaannya sering digunakan dana yang dimiliki oleh sektor
tersebut sendiri, atau tidak meratanya dana yang disalurkan
untuk melaksanakan kegiatan yang telah ditetapkan di dalam
rencana tata ruang.
o Kurang serasinya pemanfaatan sumber daya lahan oleh dunia
usaha karena belum adanya rencana tata ruang yang diacu. Hal
ini dapat dilihat dari pembangunan pemukiman skala besar oleh
swasta yang menyebar.
o Kurang jelasnya pihak yang bertanggung jawab dalam proses
perubahan tata guna lahan, termasuk kriteria yang digunakan
untuk melakukan perubahan tersebut. Akibatnya banyak lahan
yang berubah fungsinya tanpa arah, seperti terjadinya perubahan
lahan irigasi teknis untuk kegiatan pembangunan lainnya. Hal ini
dapat memberi dampak bagi kehidupan sosial ekonomi
masyarakat setempat, seperti hilangnya mata pencaharian mereka
dan semakin tersisih oleh pendatang. Di samping itu, alih guna
lahan tersebut juga menimbulkan kerugian bagi pemerintah,
karena investasi irigasi yang telah dibangun dengan biaya cukup
besar akhirnya tidak dapat dimanfaatkan lagi.
Selain itu, juga terjadi masalah dalam pelibatan pemangku
kepentingan dalam pembangunan di suatu daerah. Kebijakan yang
dirumuskan untuk mencapai sasaran perencanaan pada umumnya
hanya melihat dari sisi satu pemangku kepentingan saja yaitu
pemerintah. Pembangunan daerah tidak hanya diselenggarakan oleh
pemangku kepentingan pemerintah saja, tetapi juga oleh pihak swasta
atau dunia usaha, dan masyarakat. Rancangan yang ada kurang peka
terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat sehingga pendekatan
perencanaan untuk sebuah daerah yang satu dan daerah lainnya sering

| 223 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
kali sama. Hal ini sering mengakibatkan perencanaan daerah tidak
sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Kegiatan monitoring dan evaluasi merupakan bagian tidak
terpisahkan dari kegiatan pengelolaan DAS secara terpadu.
Berdasarkan hasil wawancara pada pemangku kepentingan yang
terlibat dalam pengelolaan DAS menunjukan bahwa monitoring dan
evaluasi yang dilakukan hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan proyek
di lingkup masing-masing institusi pemangku kepentingan tersebut.
Monitoring yang dilakukan lintas instutusi yang dilakukan secara
menyeluruh belum pernah dilakukan. Pelibatan personal dari instansi
lain dalam kegiatan monitoring dan evaluasi hanya terbatas pada
kegiatan fisik di lapang. Hasil monitoring dan evaluasi dari kegiatan
institusi teknis pada umumnya tidak didistribusikan ke institusi teknis
lain yang memiliki kegiatan yang berbeda pada lokasi DAS yang sama.
Institusi di tataran kabupaten yang menerima hasil monitoring dan
evaluasi kegiatan pengelolaan di suatu DAS dari institusi teknis hanya
Bappeda. Mengingat terbatasnya kapasitas yang dimiliki oleh Bappeda
di tataran kabupaten, hasil monitoring dan evaluasi yang telah
dilaporkan pada umumnya hanya dikompilasi dan tidak banyak
diinformasikan atau dimanfaatkan oleh institusi teknis atau pemangku
kepentingan lainnya yang ada di daerah tersebut. Untuk itu dalam
monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS terpadu perlu diciptakan
bagaimana mekanisme monitoring dan evaluasi dilakukan termasuk
parameter-parameternya dan bagaimana informasi hasil monitoring
dan evaluasi tersebut dapat diakses oleh seluruh pemangku
kepentingan termasuk masyarakat.
2. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan DAS
Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah baik di masa
Orde Baru maupun era Reformasi, masih menganut paradigma
pembangunan yang semata-mata menekankan pada pertumbuhan
ekonomi. Sumber daya alam dilihat sebagai modal yang akan tersedia
secara terus-menerus, sementara pengelolaan lingkungan dianggap
sebagai beban. Walaupun, ruang untuk partisipasi masyarakat pada
era reformasi ini sudah lebih besar daripada ketika masa orde baru,
namun bukan berarti masyarakat sudah dapat secara efektif ikut
mempengaruhi kebijakan.
Selama ini pemanfaatan sumber daya alam dilakukan hampir tanpa
melibatkan partisipasi masyarakat, terutama masyarakat setempat.
Masyarakat merupakan unsur pelaku utama, sedangkan pemerintah
sebagai unsur pemegang otoritas kebijakan, fasilitator dan pengawas
yang direpresentasikan oleh instansi-intansi sektoral Pusat dan
| 224 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)
Daerah. Masyarakat berperan penting dalam pengelolaan sumber daya
alam. Peran masyarakat selain relevan bagi mewujudkan kesejahteraan
masyarakat yang merata, berdasarkan prinsip kebersamaan dan
keseimbangan, untuk mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi,
konflik sosial dan budaya dan mewujudkan perlindungan hukum bagi
masyarakat lainnya, juga relevan bagi tujuan untuk melestarikan fungsi
sumber daya alam yang berkelanjutan. Oleh sebab itu peran
masyarakat sangat dibutuhkan untuk mendorong perlindungan
lingkungan hidup dan sumber daya alam.
Dalam banyak hal, suara-suara masyarakat lokal dan marjinal
tetap tidak didengar oleh para pembuat keputusan. Protes terhadap
kebijakan tertentu yang dirumuskan pemerintah dan DPR sering tidak
didengar. Dalam situasi di mana masyarakat tidak dapat
menyampaikan pendapatnya dengan leluasa dan aman, perumusan
kebijakan tetap akan didominasi oleh pemerintah dan legislatif. Hal
ini akan mempertajam konflik yang ada sehingga akan memperburuk
krisis lingkungan dan sumber daya alam.
Agar perannya dapat dilaksanakan, masyarakat harus memiliki
hak-hak mendasar dalam pengelolaan sumber daya alam. Hak harus
dijamin dalam (a) memperoleh keadilan, (b) mendapatkan kesempatan
dalam menikmati hasil pemanfaatan SDA, (c) memperoleh informasi
yang benar, akurat dan tepat waktu, (d) memberikan persetujuan atas
rencana pengelolaan sumber daya alam yang akan berakibat pada
kehidupannya, (e) memperoleh penggantian yang layak atas kondisi
yang dialaminya sebagai akibat dari pemanfaatan SDA, (f) mendapat
perlindungan untuk mempunyai hubungan sepenuhnya dengan SDA
di wilayah negara Indonesia.
Dengan adanya ketentuan tersebut maka masyarakat akan
memiliki peran yang lebih besar dalam proses pembuatan keputusan.
Dengan demikian posisi masyarakat menjadi lebih kuat. Namun, hal
ini dapat menjadi ancaman bagi sektor yang masih mengedepankan
paradigma yang hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi dengan
mengeksploitasi sumber daya alam, sebagaimana yang berlaku selama
ini.
3. Peraturan Perundangan dan Penegakan Hukum
Persoalan krusial yang dihadapi oleh DAS seperti DAS Citarum
adalah menumpuknya peraturan perundang-undangan (UU, PP,
KEPPRES, PERDA, PERMEN, PERGUB, PERBUP) yang
dikeluarkan oleh berbagai instasi baik di pusat maupun daerah terkait

| 225 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
untuk mengelola DAS. Sebagai gambaran, diperkirakan ada sekitar
40-50 peraturan yang terkait dengan pengelolaan DAS Citarum.
Beberapa peraturan perundang-undangan di tataran nasional
(UU dan PP) yang terkait dengan pengelolaan DAS antara lain adalah:
o Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria
o Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
o Undang Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman
o Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
o Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
o Undang Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan
Varietas Tanaman
o Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air
o UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
o Undang Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
o Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Kehutanan
Perikanan
o Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
o Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
o Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang
o Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan
Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peranserta
Masyarakat dalam penataan ruang
o Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan
o Peraturan Pemerintah No 77 Tahun 2001 tentang Irigasi
o Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
o Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 100 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara Koordinator

| 226 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)
o Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara
o Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Departemen
o Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota
Selain banyaknya peraturan perundangan baik di tataran pusat
maupun daerah, penyebab terjadinya kerusakan lingkungan di
kawasan DAS, berdasarkan pengamatan di lapangan adalah lemahnya
penegakan hukum (law enforcement). Diterbitkannya peraturan
perundang-undangan (Undang Undang dan Peraturan Pemerintah)
dengan tujuan agar pengelolaan sumber daya DAS dapat dilakukan
secara tertib dan berwawasan lingkungan. Namun, dalam
kenyataannya peraturan perundang-undangan yang ada sering
dilanggar. Pelanggaran tidak diikuti dengan sanksi maupun hukuman
yang tegas, walaupun sudah dinyatakan secara eksplisit dalam
peraturan perundang-undangan tersebut. Pengawasan dari pihak
berwenang seringkali tidak dilakukan. Kasus yang sering dijumpai di
lapangan adalah pembuangan sampah di drainase atau sungai.
Drainase atau sungai adalah sebagai jalan air yang berfungsi untuk
mengalirkan kelebihan air. Namun, karena drainase atau sungai juga
berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah, maka fungsi drainase
atau sungai tidak dapat berfungsi dengan baik, dan hal ini merupakan
salah satu faktor penyebab terjadinya banjir di wilayah hilir.
Pembuangan sampah ke drainase atau sungai dapat dikatakan sebagai
salah satu contoh bentuk pelanggaran yang dilakukan secara kolektif
dan tidak ada sanksi.
Pelanggaran peraturan perundang-undangan yang juga sering
terjadi adalah adanya bangunan permanen yang didirikan di bantaran
drainase atau sungai. Peraturan tentang garis sempadan sungai telah
diterbitkan namun tetap dilanggar. Penegakan hukum sulit dilakukan
tatkala penghuni atau pemilik bangunan memiliki izin untuk
mendirikan bangunan di sempadan sungai yang dikeluarkan oleh
instansi resmi. Pemilik atau penghuni umumnya juga memiliki bukti
pembayaran pajak bumi dan bangunan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) dan juga bukti pembayaran rekening listrik, sehingga dengan
izin dan bukti pembayaran dianggap sebagai bukti pengesahan untuk
bangunan tersebut.
| 227 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
Pelanggaran peraturan perundang-undangan yang sangat serius
adalah perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali. Hal ini dapat
mengakibatkan dampak negatif baik langsung maupun tidak langsung
terhadap penurunan daya dukung lingkungan dan sumber daya air. Di
daerah hulu DAS pada umumnya memiliki pesona pemandangan
alam yang indah sehingga tumbuh bangunan-bangunan permanen
secara pesat seperti rumah, perumahan elit, hotel dan restoran.
Perubahan fungsi lahan ini berakibat terjadinya banjir di daerah hilir
menjadi lebih besar dan cadangan air di dalam tanah semakin
berkurang.
Dengan melihat kenyataan di lapangan tersebut maka penegakan
hukum perlu terus dilakukan dengan berbagai cara dan upaya.
Beberapa cara dan upaya yang dapat dilakukan antara lain adalah:
o Sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
lingkungan kepada seluruh pemangku kepentingan.
o Perlu adanya shock therapy dengan menerapkan sanksi, denda atau
hukuman maksimal dari peraturan yang ada. Hal ini dimaksudkan
agar pemangku kepentingan menjadi jera dan mau mentaati
peraturan yang berlaku.
o Perlu adanya lembaga pengawasan melekat pada instansi yang
berkompeten, yang berfungsi mengawasi pengelolaan sumber
daya DAS
Dengan diberlakukannya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang diharapkan perubahan tata guna lahan di kawasan
lindung atau konservasi dapat dicegah dan hukum dapat ditegakan
tanpa pandang bulu.
C. Lembaga Pengelolaan DAS
Kesulitan yang dihadapi dalam mengintegrasikan
pengelolaan DAS ke dalam konsep multisasaran seringkali tidak
disadari oleh kebanyakan pengelola DAS. Pada tingkat awal,
dapat saja sasaran atau tujuan pengelolaan didasarkan pada
orientasi sumber daya. Namun pengambil keputusan juga harus
menyadari adanya implikasi pengelolaan multisasaran yang
berorientasi pada wilayah yang harus diperhitungkan, terutama
apabila DAS sebagai unit analisis mencakup wilayah yang luas.
Pengambil keputusan juga harus menyadari bahwa dalam usaha
mengintegrasikan pengelolaan DAS kedalam konsep
multisasaran, kemungkinan akan terjadi benturan kepentingan
mengenai formulasi kebijakan pengelolaan sumber daya dan
| 228 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro
Prahasto)
mekanisme kerja kelembagaan yang terlibat. Agar penggabungan
konsep multisasaran ke dalam pengelolaan DAS dapat berjalan
efektif, diperlukan beberapa hal:
1. Pengukuran output dari berbagai sumber daya yang ada di tempat
tersebut dan alternatif sistem pengelolaan multisasaran yang sedang
diterapkan.
2. Pemahaman tentang besarnya biaya dan manfaat dari masing-
masing aktivitas pengelolaan yang diusulkan.
3. Pengukuran kemungkinan timbulnya dampak di daerah hilir akibat
aktivitas pengelolaan di daerah hulu seperti banjir di daerah hilir
akibat meluasnya konversi hutan menjadi areal non-hutan.
Hal yang sering dijumpai dalam pengelolaan DAS di Indonesia
adalah adanya fragmentasi kegiatan pengelolaan DAS antar
departemen utama yang terkait dan lembaga non-departemen lainnya.
Konsekuensi dari hal tersebut adalah adanya pembagian kewenangan.
Pelaksana pengelolaan DAS di daerah hulu melibatkan Departemen
Kehutanan, Departemen Pertanian dan Departemen Dalam Negeri.
Sementara di daerah tengah dan hilir, Departemen Pekerjaan Umum,
mempunyai wewenang mengelola daerah irigasi. Di daerah hilir
(wilayah pantai) Departemen Kehutanan juga mempunyai wewenang
mengelola hutan mangrove selain Departemen Kelautan dan
Perikanan yang bertanggung jawab terhadap aspek perikanan. Dengan
demikian, keterlibatan dan wewenang masing-masing departemen di
seluruh wilayah DAS adalah saling mengisi. Namun demikian, pada
setiap daerah tersebut dapat ditentukan departemen yang mempunyai
tanggung jawab lebih besar (leading agency). Beberapa departemen
yang juga mempunyai kewenangan terhadap pengelolaan sumber daya
alam DAS dapat disebutkan antara lain Departemen Perindustrian,
Departemen Energi dan Sumber daya Mineral, dan Menteri Negara
Lingkungan Hidup.
Pengelolaan DAS yang efektif selain memerlukan penegasan isu-isu
atau permasalahan penting yang memerlukan penanganan segera juga
pembagian kewenangan pengelolaan. Dengan demikian, masalah
mekanisme koordinasi kelembagaan dalam pelaksanaan program
pengelolaan DAS menjadi salah satu kunci keberhasilan. Selain
masalah kelembagaan dan wewenang pengelolaan sumber daya, tidak
kalah pentingnya adalah perumusan secara jelas permasalahan
biogeofisik (kemerosotan sumber daya hutan, tanah dan air) dan
sosial ekonomi (konflik pemanfaatan sumber daya dan peningkatan
pendapatan petani).
| 229 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
Dalam pengelolaan DAS terpadu mempersyaratkan pendekatan
ekosistem. Pendekatan ekosistem adalah kompleks karena melibatkan
multi-sumber daya (alam dan buatan), multi-kelembagaan, multi-
pemangku kepentingan, dan bersifat lintas batas (administratif).
Dalam konteks Indonesia, pola pengelolaan DAS yang akan
diterapkan masih bertumpu pada mekanisme koordinasi. Oleh
karenanya, koordinasi dalam pengelolaan DAS menjadi elemen
penting untuk terlaksananya pengelolaan DAS secara optimal.
Fungsi koordinasi adalah proses pengendalian berbagai kegiatan,
kebijakan atau keputusan berbagai organisasi/lembaga sehingga
tercapai keselarasan dalam pencapaian tujuan-tujuan dan sasaran-
sasaran umum yang telah disepakai bersama. Koordinasi mencakup
dua aspek, yaitu (i) koordinasi kebijakan dan (ii) koordinasi kegiatan
atau program.
Koordinasi kebijakan secara umum menyerupai koordinasi
dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Pengelolaan
DAS melibatkan beberapa departemen sektoral yang masing-masing
departemen membuat kebijakan pengelolaan sumber daya sesuai
dengan kepentingan sektornya masing-masing. Keadaan ini
mengakibatkan tumpang-tindih kebijakan dan bahkan tabrakan
kepentingan antar departemen sektoral. Untuk mencegah dan atau
menyelesaikan permasalahan tersebut perlu dilakukan koordinasi.
Koordinasi kebijakan dibedakan (i) koordinasi kebijakan preventif
dan (ii) koordinasi kebijakan strategis. Koordinasi kebijakan preventif
bertujuan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya tabrakan
kepentingan antar instansi terkait. Koordinasi kebijakan strategis
ditujukan untuk penyelarasan kebijakan agar tujuan yang telah
ditetapkan dapat tercapai.
Koordinasi program secara umum lebih berkaitan dengan
koordinasi kegiatan administratif. Koordinasi program dibedakan (i)
koordinasi administrasi prosedural dan (ii) koordinasi administrasi
subtansial. Koordinasi administrasi prosedural bertujuan untuk
menciptakan efisiensi administrasi dan konsistensi dalam mencapai
tujuan yang telah disepakati, sedangkan koordinasi administrasi
subtansial bertujuan untuk menciptakan keselarasan kerja dan
kegiatan (sinergi), bagi setiap unit organisasi dan perorangan demi
tercapainya tujuan yang telah disepakai.
Prinsip dasar dalam penyusunan Rencana Pengelolaan DAS
Terpadu adalah mekanisme penyusunannya dilakukan secara
partisipatif. Begitu pula pada kegiatan-kegiatan selanjutnya yaitu
| 230 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro Prahasto)
pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian hasil-hasilnya. Untuk
menjaga keterpaduan agar tetap efektif dapat dilakukan dengan
membentuk forum koordinasi pengelolaan DAS atau
memberdayakan forum sejenis yang telah ada. Pada wilayah yang
belum memiliki forum koordinasi, inisiasi pembentukan forum dapat
dilakukan oleh pemangku kepentingan yang berkepentingan dengan
pengelolaan DAS di wilayahnya. Forum komunikasi yang dibentuk
harus merepresentasikan pemangku kepentingan yang ada di wilayah
DAS dari hulu sampai hilir, seperti unsur pemerintah, dunia usaha,
dan masyarakat. Untuk meningkatkan efektivitas koordinasi dan
partisipasi pemangku kepentingan, harus membangun suatu
komunikasi yang baik dan tata kerja yang jelas yang didasarkan atas
kebersamaan dan diagendakan dalam suatu program kerja. Forum
DAS diarahkan sebagai organisasi non struktural, dan bersifat
independen yang berfungsi untuk membantu memecahkan
permasalahan yang timbul dan merumuskannya secara bersama-sama
dalam wilayah DAS seperti konflik kepentingan antar sektor, antar
pemerintah daerah serta dalam mengintegrasikan berbagai program
dan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.
Organisasi non struktural dalam hal ini dapat berupa Badan
Koordinasi Pengelolaan DAS yang bertanggung jawab kepada
Gubernur untuk DAS lintas kabupaten dan Bupati untuk DAS lokal.
Tugas dari Badan Koordinasi tersebut merumuskan dan menetapkan
kebijakan pengelolaan DAS terpadu yang efisien, dan efektif;
mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS bencana
secara terpadu; dan memberikan pedoman dan pengarahan terhadap
kegiatan pengelolaan DAS.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Masih terikatnya masing-masing sektor oleh target sektoral
dimana masing-masing sektor memiliki target tertentu sehingga
sulit untuk melakukan koordinasi dengan sektor lain.
2. Dalam penyusunan suatu rencana, kebijakan yang dirumuskan
untuk mencapai sasaran perencanaan pada umumnya hanya
melihat dari sisi satu pemangku kepentingan saja yaitu
pemerintah.
3. Adanya fragmentasi kegiatan pengelolaan DAS antar departemen
utama yang terkait dan lembaga non-departemen lainnya sehingga
konsekuensinya adalah adanya pembagian kewenangan yang
saling mengisi.
| 231 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 207-233
4. Dalam pelaksanaan tata ruang di suatu daerah, dijumpai banyak
hal yang tidak sesuai dengan yang direncanakan, sehingga
menyebabkan pembangunan sulit dikontrol sehingga terjadilah
kerancuan tata ruang.
5. Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu, pelaksanaan
kegiatan, pemantauan, dan penilaian hasil-hasilnya harus
dilakukan secara partisipatif. Untuk menjaga keterpaduan agar
tetap efektif dapat dilakukan dengan memberdayakan forum
sejenis yang telah ada. Organisasi Pengelolaan DAS bersifat non
struktural dan independen dapat berupa Badan atau Dewan
Koordinasi Pengelolaan DAS.
B. Saran
Untuk meningkatkan efektivitas koordinasi dan partisipasi para pihak,
harus membangun suatu komunikasi yang baik dan tata kerja yang
jelas yang didasarkan atas kebersamaan dan diagendakan dalam suatu
program kerja. Forum DAS yang telah ada diarahkan sebagai
organisasi non struktural, dan bersifat independen yang berfungsi
untuk membantu memecahkan permasalahan yang timbul dan
merumuskannya secara bersama-sama dalam wilayah DAS seperti
konflik kepentingan antar sektor, antar pemerintah daerah serta dalam
mengintegrasikan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai
tujuan bersama. Untuk dapat terciptanya Badan Koordinasi
Pengelolaan DAS perlu adanya payung hukum, minimal dalam
bentuk Keputusan Presiden.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa
Barat, 2002. Degradasi Sumber daya Alam. Website
http://www.bplhdjabar.go.id/index. Diakses pada tanggal
12 Desember 2002
Departemen Kehutanan. 2006. Rancangan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Air
Terpadu (Draft ke 13). Tidak diterbitkan.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 52/Kpts-II/2001 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 100 Tahun 2001
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara Koordinator
| 232 |
Kelembagaan Pengelolaan DAS….(Hendro
Prahasto)
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2001
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2001
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Departemen
Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2003. Jawaban dan Tanggapan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Dalam Rapat Kerja dengan
Komisi VIII DPR-RI, Masa Sidang II Tahun Sidang 2003-2004
pada 11 November 2003.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2000
tentang Pola dasar Pembangunan Jawa Barat
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota
Pranaji, T. 2005. Transaksi Timpang Antar Kawasan DAS (Hulu-
Hilir) dan The Spirit of (Super) Capitalism.
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah daerah
Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Undang Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

| 233 |
20. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN
SUMBERDAYA AIR DAN HASIL AIR DARI HUTAN1
Oleh:
Purwanto2

ABSTRAK

Salah satu fungsi hutan adalah menyimpan dan mengalirkan air yang
digunakan untuk memasok kebutuhan air areal lahan-lahan di bagian hulunya.
Pemanfaat air baik yang berasal dari hutan maupun penggunaan lahan lainnya
berbeda-beda tergantung dari kebutuhannya karena perbedaan penggunaan
lahan atau karena kebutuhan zat air itu sendiri. Peraturan perundang-
undangan tentang pengelolaan air dan sumberdaya air sudah dalam bentuk
Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 2004 namun aturan pelaksanaannya
masih sering berbeda antara satu sektor dengan sektor lainnya. Pemanfaat air
terbesar adalah untuk keperluan irigasi kemudian disusul yang lain seperti
untuk PDAM, industri, rumah tangga, dll. Pemanfaatan air dari hutan
sebaiknya dilakukan secara kolaboratif manajemen dan sebagai leading sektor
adalah Gubernur, cq Bappeda Propinsi sebagai lembaga perencana dan
pengendalian. Sedangkan institusi lain baik pemerintah maupun swasta turut
mengambil bagian sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Kajian kelembagaan
yang sebaiknya dilakukan antara lain: a). kajian peraturan pelaksanaan dan
perundangan yang terkait serta kebijakan yang diambil oleh masing-masing
sektor, 2). kajian kelembagaan dan kompensasi hulu hilir, 3). Kajian pola
pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh sektor-sektor terkait, dan 4). Kajian
kelembagaan internasional untuk mengatasi masalah perubahan iklim.

Kata Kunci : hasil air, kelembagaan pemanfaatan air

I. PENDAHULUAN

Hutan yang baik merupakan sub sistem yang memiliki fungsi


spongi yang dapat mempertahankan kontinuitas aliran dan kualitas air
yang keluar (water yield) dari hutan tersebut. Hal ini akibat komposisi
dan struktur vegetasi hutan serta serasah di lantai hutan yang
memudahkan air masuk ke dalam tanah sehingga memperbesar daya

1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007
2 Peneliti Madya Bidang Ekonomi Sumberdaya Alam, Balai Penelitian Kehutanan
Solo, Jl. A. Yani, Pabelan, Surakarta, tlp. 0271 716709, email:
purwanto_fris@yahoo.com

| 234 |
Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)
penyimpanan air tanah (Darsono, 1992). Kondisi tersebut
menyebabkan hutan dapat menghasilkan air yang terus menerus baik
dalam musim hujan maupun kemarau.
Distribusi air secara spasial dari hulu ke hilir melewati berbagai
penggunaan lahan sehingga air dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan. Disamping itu air juga memiliki potensi daya yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan zat air itu sendiri maupun
sumber tenaga mekanik dan listrik sehingga berbagai lembaga
maupun perorangan memanfaatkan air sesuai dengan kebutuhannya.
Akibat dari berbagai pemanfaatan tersebut, terdapat berbagai
organisasi dan lembaga pemanfaat air. Organisasi dan lembaga
tersebut masih berdiri sendiri atau koordinasinya masih lemah bahkan
terkadang terjadi konflik kepentingan.
Indonesia yang terletak di daerah tropis memiliki dua musim,
sehingga pada saat tertentu air berlimpah bahkan menimbulkan
banjir sedangkan pada saat musim kemarau terjadi kekeringan. Pada
saat banjir sering terjadi saling menyalahkan antar pihak pengelola
lahan di hulu yang kebanyakan adalah kawasan hutan dengan
masyarakat di hilir sedangkan pada saat musim kemarau sering terjadi
konflik pemanfaatan akibat defisit air.
Dari aspek legal formal, pengelolaan air dan sumberdaya air
telah memiliki payung hukum yaitu Undang-Undang (UU) No. 7
tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Peraturan pelaksanaannya sudah
banyak walaupun Peraturan Pemerintah yang menjabarkan UU No. 7
tahun 2004 tersebut masih dalam proses penerbitan. Masalah yang
muncul dalam aspek peraturan perundang-undangan adalah di tingkat
pelaksanaan dimana masing-masing sektor mengeluarkan peraturan
dan kurang pas dengan peraturan dari sektor lain.
Persepsi masyarakat tentang air dan sumber daya air adalah
anugrah Tuhan Yang Maha Esa sehingga masyarakat tidak perlu
membayar atau turut mengelola kawasan hutan sebagai pengatur tata
air. Demikian juga persepsi salah tentang konservasi air anggota
masyarakat, bahwa konservasi hanya dilakukan di sekitar lokasi
sumber air bukan konservasi seluruh daerah tangkapannya.
Dalam sektor kehutanan, air diharapkan merupakan salah satu
hasil hutan non kayu yang saat ini masih merupakan barang publik,
belum merupakan barang ekonomi. Namun dengan adanya Undang-
undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air: Pasal 45 ayat 2
dan 3, pengusahaan sumberdaya air dapat dilaksanakan oleh Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, perseorangan, badan

| 235 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250
usaha, atau kerjasama antar badan usaha berdasarkan izin
pengusahaan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Pasal 45,
ayat 1menyebutkan bahwa pengusahaan sumberdaya air
diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian
lingkungan hidup. Berdasarkan Undang-undang tersebut
dimungkinkan adanya perubahan air sebagai barang publik menjadi
barang ekonomi. Perubahan air dari barang publik menjadi barang
ekonomi akan menimbulkan potensi konflik. Di sisi lain, air
merupakan kebutuhan vital bagi kehidupan sehingga World Water
Forum Ke- 2 di Den Haag, 17-22 Maret 2000, merekomendasikan
bahwa semua pihak wajib mengusahakan pengelolaan sumberdaya air
secara integral agar semua orang dapat memiliki akses pada air yang
aman untuk dikonsumsi (Heynardhi dan Wermasubun, 2004).
Untuk menghindari konflik pemanfaatan air dan untuk
menjaga kelestarian sumberdaya air, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air perlu dibentuk lembaga
pengelolaan sumberdaya air untuk masing-masing Daerah Aliran
Sungai (DAS). Makalah ini menyajikan beberapa hasil kajian analisis
kelembagaan pengelolaan sumberdaya air yang berasal dari hutan.
Tujuan Makalah ini adalah menyampaikan potret pengelolaan
sumberdaya air dan rekomendasi kelembagaan ke depan dalam
pengelolaan sumberdaya air dalam suatu DAS.
II. BEBERAPA PENGERTIAN
A. Kelembagaan atau Institusi
Menurut Kartodihardjo et al. (2000) terdapat empat faktor
kunci yang berpengaruh terhadap kinerja pembangunan yaitu: 1).
sumberdaya alam (natural capital), 2). sumberdaya manusia (human
capital), 3). sumberdaya buatan manusia (man made capital) dan 4).
pranata institusi formal maupun informal masyarakat (social capital).
Lembaga dapat diartikan sebagai organisasi untuk membantu
masyarakat dengan tujuan yang lebih spesifik (Awang, 2001).
Lembaga juga dapat diartikan sebagai suatu perangkat aturan yang
mengatur atau mengikat dan dipatuhi masyarakat. Aturan – aturan
tersebut menentukan tatacara, kerjasama dan koordinasi dengan
masyarakat dalam pemantauan serta membantu mereka dalam
menentukan hak serta kewajiban masing – masing (Hayami dan
Kikuchi dalam Kasryno, 1984). Menurut Pakpahan (1990) dalam
Kartodiharjo (1998), kelembagaan (institusi) adalah suatu sistem yang
komplek, rumit, abstrak, mencakup ideologi, hukum, adat istiadat,
aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Darmawan

| 236 |
Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)
(2001) mendefinisikan kelembagaan sebagai organisasi dan pranata
yang didalamnya meliputi infrastruktur pendukung seperti aturan-
aturan, wewenang, mekanisme dan sistem pendanaan masing-masing
lembaga.
Menurut Ruttan dan Hayami dalam Djogo, et al. (2003) lembaga
adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi
yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu
mereka dengan harapan dimana setiap orang dapat bekerja sama atau
berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama
yang diinginkan. Pendapat yang hampir sama disampaikan oleh
Schmidt (1987), bahwa institusi merupakan seperangkat ketentuan
yang mengatur masyarakat, dimana masyarakat tersebut telah
mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, bentuk-bentuk
aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak
lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan, serta tanggungjawab
yang harus mereka lakukan. Hak-hak dan kewajiban tersebut
mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat
dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu.
Institusi juga dapat diartikan sebagai inovasi manusia untuk mengatur
atau mengontrol, interdependensi antar manusia terhadap sesuatu,
kondisi atau situasi melalui inovasi dalam hak kepemilikan, aturan
representasi, atau batas yurisdiksi.
Kelembagaan dan kehutanan dapat dilihat sebagai hal yang
saling berkaitan erat di dalam suatu sistem desa yang utuh. Sebutan
desa mengandung arti bahwa dalam satu ruang tempat kehidupan
berproses, hubungan antar subsistem sangat erat. Subsistem
kehutanan, subsistem pertanian, pemasaran, pengairan atau subsistem
manusia saling terkait satu sama lainnya (Awang, 2001).
Menurut Gilmann (1995) dalam Awang (2001) di desa terdapat
lembaga yang erat atau berkaitan antar subsistem dengan subsistem
lainnya, sumberdaya hutan, padang penggembalaan, sumberdaya air
akan berkaitan erat dengan usaha tani masyarakat dan sistem
peternakan di desa. Sedangkan Ostorm (1990), Poffenberger (1990),
Branley et al. (1992), Becker dan Gibson (1996) dalam Awang (2001)
menyatakan bahwa di banyak negara dunia ketiga, kebijakan
konservasi sumberdaya alam pada tiga dasa warsa terakhir ini telah
berubah fokus orientasinya pada kebijakan terpusat kepada negara ke
arah pemecahan masalah pada tingkat Kabupaten dan Propinsi. Para
pemikir mempunyai kesamaan pandang bahwa untuk mencapai
tingkat keberhasilan pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat
lokal, perlu diarahkan pada tiga persoalan fundamental:
| 237 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250
1. Sumberdaya hutan harus dapat memberi manfaat pada masyarakat
lokal,
2. Property right tiap individu harus dikembangkan bagi mereka yang
menggunakan sumber daya hutan, sehingga memungkinkan
mereka memperoleh manfaat,
3. Individu masyarakat tingkat Kabupaten dan Propinsi harus
mempunyai kemampuan membangun lembaga-lembaga mikro
untuk mengatur penggunaan sumber daya hutan.
Sebagian pakar setuju bahwa aspek penentu keberhasilan
penggunaan sumberdaya hutan ditentukan oleh faktor-faktor
pemanfaatan tingkat lokal, pemilihan sumber daya hutan dan
kelembagaan ( Becker et al., dalam Awang 2001).
Institusi merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit dan
abstrak yang mencakup idiologi, hukum, adat istiadat, aturan dan
kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Institusi mengatur apa
yang dilarang dikerjakan oleh individu (perorangan atau organisasi)
atau dalam kondisi bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu.
Oleh karena itu institusi adalah instrumen yang mengatur hubungan
antar individu (Kartodiharjo et al. (2000)
Menurut Schmidt (1987), North (1991) dan Barzel (1993) aturan
main merupakan bentuk institusi yang menentukan interdependensi
antar individu atau kelompok masyarakat yang terlibat. Implikasi
bentuk interdependensi tersebut menurut Schmidt (1987)
mengakibatkan siapa mendapatkan apa dalam suatu sistem ekonomi
tertentu.
Dalam ekonomi kelembagaan, situasi yang melekat pada kapital,
seperti inkompabilitas, biaya eksklusi, biaya transaksi, dampak
bersama yang ditimbulkannya, skala ekonomi dan surplus,
memberikan pengaruh yang kuat terhadap bentuk interdependency antar
pelaku ekonomi yang terlibat dalam pemanfaatan kapital tersebut
(Kartodiharjo, 1995). Sumberdaya air apabila berubah dari barang
publik menjadi barang ekonomi, akan berubah dari barang publik
menjadi kapital yang sifat kepemilikannya lebih ke quasi private goods,
secara eksklusif tidak dapat ditetapkan. Kartodiharjo (1995) lebih
lanjut menyatakan, kebijakan ekonomi tanpa mampu mengendalikan
situasi kapital tersebut dianggap tidak akan mampu mengubah
perilaku ekonomi untuk mencapai kinerja (performance) yang
diharapkan.
Pada saat ini sumberdaya air dan air dikelola dan dimanfaatkan
oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sendiri. Menurut Fauzi

| 238 |
Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)
(2004) alokasi sumberdaya air yang dilakukan pemerintah memiliki
beberapa kelebihan dan kekurangan. Dinar et al. (1997) menyatakan
bahwa alokasi yang dilakukan publik atau pemerintah dapat menjawab
aspek pemerataan (equity) dalam pengelolaan sumberdaya air karena
pemerintah dapat mengalokasikan air ke daerah yang tidak mencukupi
sehingga masyarakat miskin dapat mengakses air. Disisi lain alokasi
pemerintah sering harus dibarengi oleh subsidi untuk membantu
alokasi air ke daerah-daerah dengan tingkat kebutuhan yang tinggi
namun kemampuan membayarnya rendah.
B. Fungsi Hutan dalam Siklus Hidrologi
Hidrologi hutan adalah ilmu yang berkaitan dengan gerakan-
gerakan masa dan perubahan fase cair dalam suatu lingkungan hutan.
Parameter hidrologi hutan diukur dengan peneracaan air. Peneracaan
air merupakan suatu metode kuantitatif aliran masa dan transformasi
yang dapat dibuktikan dengan pengukuran langsung (Lee, 1990).
Menurut Dumairy (1992) unsur-unsur yang mempengaruhi
kualitas air dapat dikategorikan menjadi: fisik, kimia dan biologi.
Unsur-unsur fisik meliputi: pancaran pengaman aquifer, variasi aliran,
kandungan minyak, radioaktifitas, kandungan zat terlarut dan suhu.
Unsur-unsur kimiawi meliputi: keasaman dan kebasaan, kebutuhan
oksigen biokimiawi, kandungan oksigen terlarut, nutrien, dan
kandungan senyawa beracun. Unsur-unsur biotik meliputi: kandungan
baksil, kotoran, dan kehidupan aquatik.
Hutan dan bentuk vegetasi lain mempunyai peranan penting
dalam daur hidrologi. Dengan adanya hutan lebih banyak air yang
meresap ke dalam tanah. Sebagian lagi terserap oleh serasah di atas
lantai hutan.Hutan mempunyai laju evapotranspirasi yang besar
sehingga dengan adanya hutan lebih banyak air yang menguap
daripada bila tidak ada hutan. Karena air yang meresap ke dalam
tanah dan yang menguap lebih banyak dan sebagian lagi terserap oleh
serasah maka air yang mengalir di atas permukaan tanah lebih sedikit
(Soemarwoto, 1994).
Air yang masuk ke dalam tanah, sebagian akan keluar sebagai
mata air di tempat lain. Air yang terserap di dalam serasah perlahan-
lahan akan lepas lagi, selama serasah itu mengandung air di atas titik
jenuh. Dengan demikian air tanah dan air yang terserap dalam serasah
merupakan simpanan air yang tersedia lama setelah hujan jatuh. Jadi,
walaupun hutan mengurangi jumlah total air yang tersedia tetapi
distribusi sepanjang tahun menjadi lebih baik. Banjir pada musim

| 239 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250
hujan dan kekeringan pada musim kemarau dapat dikurangi
(Soemarwoto, 1994).
C. Landasan Teoritis
Teori yang digunakan sebagai landasan kajian makalah ini adalah
teori kelembagaan. Teori kelembagaan yang dipilih yaitu teori
kelembagaan Kartodiharjo (1995) yaitu kelembagaan terdiri dari
struktur, kognitif, normatif, dan regulatif serta aktifitas yang
memberikan stabilitas dan makna bagi perilaku sosial. Teori ini
diperjelas oleh pendapat Geertz, Meyer, dan Zucker (Scott, 1995)
yaitu menekankan sentralitas unsur kognitif dalam lembaga dan teori
kelembagaan Scott (1995) yang bertumpu pada pilar normatif (Scott,
1995).
III. BEBERAPA HASIL KAJIAN KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN AIR
A. Peraturan Pengelolaan Air dan Sumberdaya Air
Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan yang
sudah diamandemen, pada pasal 33 dinyatakan tanah, air dan
kekayaan di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat. Undang-undang No. 7 tahun
2004 tentang Sumberdaya Air, Pasal 1 ayat 7 menyebutkan bahwa
Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan,
melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan
konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya rusak air. Di dalam Undang-undang No. 41 tahun
1999, pasal 3 dikatakan penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan
dengan meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai. Berdasarkan
UUD 1945 dan UU di atas maka pengelolaan hutan merupakan
bagian dari pengelolaan sumberdaya alam yang salah satunya adalah
air dan sumberdaya air untuk kesejahteraan masyarakat dan menjaga
kelestariannya.
Berbagai Peraturan pelaksanaan seperti: 1). Keputusan Menteri
Pemukiman dan Prasarana Wilayah No. 341/KPTS/M/2002 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian Izin Penggunaan Air dan Atau
Pemanfaatan Sumber-sumber Air di Wilayah Sungai Bengawan Solo
Kepada Gubernur Jawa Tengah dan Gubernur Jawa Timur, 2).
Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah No.
330/KPTS/M/2004 tentang Penetapan Tarif Biaya Jasa Pengelolaan
Sumberdaya Air (d/h Iuran Pembiayaan Eksploitasi dan
Pemeliharaan Prasarana Pengairan) Perum Jasa Tirta I untuk
| 240 |
Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)
Perusahaan Air Minum di Wilayah Sungai Bengawan Solo Propinsi
Jawa Tengah. Di tingkat Propinsi terdapat Peraturan Daerah yang
mengatur pengelolaan air dan sumberdaya air misalnya: 1). Peraturan
Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 13 yang merupakan
penyempurnaan PERDA Propinsi Jawa Tengah No. 9 tahun 2002
tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan dan 2).
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 20 tahun 2003 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Lintas
Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah.
Dari aspek legal formal tampaknya peraturan yang memayungi
pengelolaan air dan sumberdaya air sudah cukup lengkap. Dari UUD
1945 sampai peraturan pelaksanaannya relatif lengkap. Namun setelah
keluarnya UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya air diperlukan
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan kemudian
dilakukan penyesuaian terhadap peraturan-peraturan di bawahnya.
Bagiamana Peraturan Pemanfaatan air dari kawasan hutan?
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007,
pasal 1 ayat 17, menyatakan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu
yang selanjutnya disingkat IPHHBK adalah izin untuk mengambil
hasil hutan berupa bukan kayu pada hutan lindung dan/atau hutan
produksi antara lain berupa rotan, madu, buah-buahan, getah-
getahan, tanaman obat-obatan, untuk jangka waktu dan volume
tertentu. Di dalam Peraturan Pemerintah ini air dan sumberdaya air
tidak disebut secara eksplisit sebagai hasil hutan bukan kayu.
Beberapa contoh ijin pemanfaatan air antara lain: pemanfaatan
sumber air dari hutan lindung Baturaden oleh PDAM Kabupaten
Banyumas dilakukan dengan menggunakan ijin pemanfaatan sumber
air yang telah disetujui dengan SK Menteri Kehutanan
837/Menhut/II/1992. Masa berlaku ijin pemanfaatan air tersebut
berakhir pada tahun 1999. PDAM Banyumas diwajibkan membayar
pajak kepada Pemerintah daerah Tingkat I Jawa Tengah sebesar Rp.
12.500.000,- setiap tahunnya. Pembayaran pajak air ini didasarkan
pada Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No. 9 Tahun 2002
tetang Pajak Pengambilan Air Bawah Tanah.dan Air Permukaan
(Purwanto, 2005).
Pemanfaatan air untuk pembangkit turbin PLTA Ketenger,
Baturaden, Banyumas dimulai tahun 1938 oleh Belanda. Tidak
diperoleh informasi perijinan pemanfaatan air oleh PLTA Ketenger
ke Perum Perhutani KPH Banyumas Timur. Namun oleh Pemerintah
Propinsi Jawa Tengah, PT. Indonesia Power, Banjarnegara sebagai
unit usaha yang salah satu kegiatannya mengelola PLTA Ketenger,
| 241 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250
diberi beban pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan
sebesar Rp. 5,-/kilowatt listrik yang dihasilkan. Pajak tersebut
disetorkan kepada Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Jawa Tengah
(Purwanto, 2005).
Dari contoh di atas Peraturan yang memayungi pemanfaatan air
relatif sudah lengkap, namun demikian di masa depan perlu
dipikirkan aturan main untuk pemanfaatan air dan sumberdaya air
dari hutan untuk kelestarian hutan itu sendiri maupun air dan
sumberdaya air yang dimanfaatkan.
B. Pemanfaat Hasil Air
Informasi siapa atau lembaga apa yang memanfaatkan dalam
suatu DAS sudah banyak diketahui oleh masyarakat. Lembaga terkecil
yang memanfaatkan air adalah keluarga, kemudian kelompok
masyarakat misalnya Persatuan Petani Pemakai Air (P3A), kemudian
untuk memfasilitasi dan pengelolaan air di tingkat Kabupaten
dibentuk Dinas Pengairan Kabupaten. Di tingkat Propinsi dibentuk
Direktorat Sumberdaya Air, Balai Pengelolaan Sumberdaya Air
(BPSDA), Departemen Kehutanan membentuk Direktorat
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan untuk DAS-DAS besar
dibentuk Balai Besar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Di Departemen Pekerjaan Umum
dibentuk, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air, Balai
Sungai, dan Perum Jasa Tirta. Lembaga pemanfaat air misalnya
PDAM untuk memasok kebutuhan air rumah tangga dan industri,
Indonesia Power untuk pembangkit listrik dan sebagainya. Yang
masih menjadi masalah adalah koordinasi seluruh pengelola,
pendistribusi dan pemanfaat masih lemah. Terkadang masing-masing
lembaga memiliki sistem rencana, implementasi dan monitoring
sendiri-sendiri. Karena pengelolaan air dan sumberdaya air
merupakan bagian dari pembangunan wilayah seharusnya Badan
Perencana Pembangunan baik di tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi
atau BAPPENAS tergantung dari hirarkhi Daerah Aliran Sungai,
sebagai leading sektor untuk pengelolaan air dan sumberdaya air
sedangkan sektor lain harus mengikuti rencana yang sudah dibangun
oleh Badan Perencana Pembangunan.
Permasalahan yang lain adalah belum banyak diketahui berapa
dan bagaimana aturan main dalam pemanfaatan air atau sumber air
tersebut. Beberapa hasil kajian tentang siapa pemanfaat air dan
berapa besarnya disampaikan sebagai berikut: Pemanfaat air yang
paling besar dari suatu DAS adalah untuk kepentingan irigasi: + 75 %

| 242 |
Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)
untuk DAS Bengawan Solo dan + 70% untuk DAS Citarum (Paimin,
2005). Purwanto (2005) menyatakan hasil air dari hutan lindung
Baturraden dimanfaatkan untuk kegiatan wisata, Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) Kabupaten Banyumas, sumber air untuk hotel,
MCK masyarakat, irigasi, peternakan, dan sumber air untuk
Pembangkit Listrik Tenaga Air Ketenger.
Kegiatan wisata yang memanfaatkan air dari hutan lindung
Baturraden adalah: 1). Sunber air panas Pancuran Tujuh dan kamar
mandi air panasnya, 2). Pancuran Tiga, 3). Goa Sarabadak 4). Telaga
Sunyi, 4). Bumi Perkemahan, 5). dan 6). Loka Wisata. Sumber air
panas Pancuran Tujuh dan Pancuran Tiga digunakan untuk rekreasi
mandi air panas dan lulur belerang, keindahan pancurannya dan alam
sekitarnya. Pemanfaat kedua air dari hutan lindung Baturraden adalah
PDAM Kabupaten Banyumas. Total potensi air yang dapat digunakan
untuk air minum dari Baturraden adalah 509,6 liter/detik (Purwanto,
2005).
PLTA Ketenger memanfaatkan langsung dari hutan lindung
Baturraden di hulu sungai Banjaran. PLTA menyudet Sungai
Sarbadak dan mengalirkan air dari hulu S. Banjaran ke Bendungan
Muntu sebagai Bendungan Pengatur (regulator dam) sebelum dialirkan
ke turbin PLTA Ketenger melalui pipa besi. Di bagian lebih hilir dari
Sungai Banjaran, - + 3 km dari hutan lindung - dibangun dam Jepang
untuk menambah debit air ke PLTA Ketenger. PLTA Ketenger
memanfaatkan air sebesar + 49.373.302 m3/tahun (Purwanto,
2005).
C. Persepsi Masyarakat tentang Pemanfaatan Air
1) Persepsi Pengelolaan Hutan tentang Air
Setelah kayu sebagai produk utama hutan sudah mulai berkurang
maka pemangku hutan mulai melihat hasil hutan bukan kayu sebagai
alternatif hasil hutan yang bernilai ekonomi termasuk di dalamnya air.
Namun demikian akibat adanya perundang-undangan maka air tidak
bisa dipungut sebagai provisi hasil hutan. Kajian nilai ekonomi air dari
hutan sudah banyak dilakukan untuk mengantisipasi bila air dapat
dijadikan barang ekonomi.
Disisi lain, apabila terjadi banjir yang berasal dari kawasan hutan,
pemangku kawasan sering dimintai pertanggungjawaban. Hal ini perlu
pemahaman bahwa banjir merupakan bagian dari resiko pengelolaan
kawasan. Untuk itu pemantauan kawasan terkait dengan bahaya banjir
dan tanah longsor harus dimasukan ke dalam bagian dari manajemen

| 243 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250
kawasan hutan sehingga tidak terjadi banjir dan tanah longsor atau
kerugian yang diakibatkan dapat diminimalkan.
2) Persepsi Pengguna Air
Kajian persepsi masyarakat tentang pemanfaatan air yang
hulunya berada di kawasan hutan yang dilakukan di Sub DAS Pelus
dan Sub DAS Banjaran tanpaknya cukup mewakili persepsi
masyarakat pengguna air pada umumnya. Purwanto (2005)
menyatakan Pengelola areal wisata Baturraden (PT. Palawi dan Dinas
Pariwisata Kabupaten Banyumas) sebagai salah satu pemanfaat
sumberdaya air hutan lindung sangat faham pentingnya sumberdaya
air sebagai aset pengembangan pariwisata yang dikelolanya. Sumber
daya air baik air panas maupun air biasa merupakan aset daya tarik
wisatawan. Namun kedua pengelola wisata tidak membayar provisi ke
BKPH Gunung Slamet Barat sebagai pengelola kawasan hutan
lindung Baturraden. Mereka mengganggap sumberdaya air tersebut
sebagai endowment resource dan barang publik yang dapat
dimanfaatkan tanpa harus memberi korbanan dalam bentuk biaya
pemanfaatan.
Manajemen PDAM Kabupaten Banyumas mengetahui betapa
pentingnya konservasi sumberdaya air. Namun pemahamannya tidak
komprehensif. Salah satu usaha untuk melestarikan sumberdaya air
yang dimanfaatkan, telah dilakukan penghijauan di sekitar sumber air
Ketenger dengan lebar + 50 m dari sumber air. Konsep pengelolaan
DAS belum diterapkan dalam kegiatan konservasi sumberdaya air
tersebut, karena hulu dari sumber air Ketenger adalah Sub DAS
Gemiwang sehingga untuk melestarikan sumber air Ketenger
pengelolaan Sub DAS Gemiwang seharusnya yang dilakukan.
Tentang provisi sumberdaya air dari hutan lindung Baturraden,
manajemen PDAM juga tidak merasa berkewajiban membayar provisi
ke Perum Perhutani KPH Banyumas Timur karena telah membayar
pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan ke Dinas
Pendapatan Daerah Propinsi Jawa Tengah (Purwanto, 2005).
Selanjutnya Purwanto (2005) mengatakan bahwa untuk masyarakat
pemakai air dari hutan lindung yang digunakan untuk irigasi ada dua
kelompok; satu kelompok yaitu masyarakat Desa-desa Karangsalam,
Kotayasa, dan Limpakuwus mengetahui bahwa air irigasi yang
dimanfaatkan berasal dari hutan lindung yang berada di hulu Sungai
Pelus sedangkan masyarakat Desa-desa Karangnangka, Beji, dan
Bobosan yang mendapatkan air dari bendungan Karangnangka, Beji
dan Bobosan di Sungai Banjaran yang hulunya merupakan hutan
lindung Baturraden merasa tidak mendapatkan air dari hutan lindung
Baturraden karena jarak terdekat bendungan dengan hutan lindung
| 244 |
Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)
sejauh 7,1 km. Padahal pengukuran yang dilakukan pada akhir musim
kemarau tahun 2006, proporsi air hutan lindung yang digunakan
untuk irigasi di masing-masing: Dam Karang Nangka 57,86%, Dam
Beji 39,14%, dan Dam Bobosan 37,69% dari debit air masing-masing
sebesar 1,0 m3/detik, 1,6 m3/detik, dan 0,6 m3/detik. Masyarakat
Desa-desa Karangsalam, Kotayasa dan Limpakuwus merasakan
betapa pentingnya sumberdaya air dari hutan lindung Baturraden.
Namun mereka mengganggap bahwa sumberdaya air merupakan
sumberdaya berkah dari Tuhan (endowment resouce) yang cara
mendapatkannya tidak perlu membayar.
Ada dua alasan, kenapa petani yang memanfaatkan air irigasi
tidak perlu membayar air. Pertama, rata-rata petani hidup dalam
kemiskinan. Menurut Shiva (2003) alam memberi air secara cuma-
cuma, membeli dan menjual demi keuntungan merupakan tindakan
yang mencederai hak inheren manusia atas anugrah alam dan
menyangkal hak-hak masyarakat miskin. Kedua, pertanian pangan
merupakan program Pemerintah untuk mempertahankan ketahanan
pangan. Namun demikian petani harus diberi pengertian bahwa air
merupakan barang ekonomi yang nilainya cukup besar sehingga
petani memanfaatkan air secara efektif dan efisien.
Pengelola PLTA Ketenger sangat faham pentingnya konservasi
cachment yang mengeluarkan air untuk penggerak turbin yang
digunakannya. Mereka sadar pentingnya kesehatan cachment karena
pada waktu musim kemarau debit air yang digunakan lebih kecil
sehingga produksi listriknya pun menjadi kecil. Namun apabila
ditanya apakah bersedia membayar provisi untuk pengelolaan hutan
lindung di hulu, mereka mengatakan bahwa sudah membayar pajak
pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan sebesar Rp. 5,-
/kilowatt listrik yang dihasilkannya.
3) Organisasi Pemanfaatan Hasil Air
Para pihak (stake holders) yang terkait dengan pemanfaatan hasil
air dari hutan adalah seluruh pemangku kawasan atau lahan,
pendistribusi air misalnya Jasa Tirta dan PDAM dan pemanfaat air
baik untuk irigasi, industri maupun untuk kebutuhan rumah tangga.
Pemangku kawasan hutan yang terkait dengan hasil air antara lain:
pengelola hutan lindung yang di Pulau Jawa diberikan kepada Perum
Perhutani dan di luar Jawa di serahkan kepada Dinas Kehutanan,
Pemangku hutan produksi yang di P. Jawa oleh Perum Perhutani dan
di luar Jawa oleh pemegang HPH serta organisasi yang terkait dengan
pengelolaan air dan sumberdaya air untuk tingkat Propinsi adalah 1).
Bappeda Tingkat I yaitu yang mempunyai tugas pokok
| 245 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250
mempersiapkan bahan penyusunan perencanaan program
pemanfaatan sumberdaya alam, pengairan, pembangunan sarana
prasarana perhubungan dan pariwisata serta pembangunan tata ruang
dan tata guna tanah. Di Bappeda tingkat Kabupaten ada Sub Bidang
Pengairan yang memiliki tugas pokok mempersiapkan bahan
penyusunan rencana dan program pengairan. Untuk Dinas
Kehutanan Kabupaten yang terkait dengan pemanfaatan hasil air,
terdapat Sub Dinas Konservasi Perlindungan yang terdapat salah satu
Seksi Konservasi Lahan dimana memiliki tugas menyusun pedoman
konservasi lahan, dukungan teknis konservasi lahan, dan
menyelemnggarakan pengawasan dan pengendalian konservasi lahan.
Lembaga pengelolaan sumberdaya air dan pemanfaatan air
sebaiknya dalam bentuk manajemen bersama (collaborative management).
Pengelolaan sumberdaya air dan pemanfaatan air dari hutan harus
didasarkan fungsi manajemen yaitu: perencanaan, implementasi,
monitoring dan evaluasi. Penyusunan rencana harus dilakukan
bersama dan diusulkan agar Gubernur c.q Bappeda sebagai leading
sector dan Dinas Pengairan dalam pengelolaan Air dan Sumberdaya
Air lintas Kabupaten. Karena pada saat ini, Pemangku hutan
merupakan salah satu institusi yang bertugas untuk memelihara
kelestarian kawasan hutan agar fungsi hutan sebagai pengatur tata
masih berjalan dengan baik. Implementasi dilakukan oleh masing-
masing stakeholder dan masyarakat sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya sedangkan monitoring dan evaluasi dilakukan oleh semua
pihak ditambah dengan LSM yang konsern terhadap pengelolaan
sumberdaya air dan pemanfaatan air dari hutan. Pembiayaan
diusahakan dari provisi sumberdaya air yang digunakan untuk
kegiatan komersial. Namun demikian dalam pemanfaatan tersebut
jangan sampai terbentuk masyarakat transaksional (Soros, 1998),
dimana hubungan sosial semata-mata didasarkan pada kepentingan
ekonomi dan mengabaikan nilai-nilai kemanusian yang lebih luas.
D. Riset Kelembagaan Pengelolaan Air
Penelitian kelembagaan pengelolaan hasil air tidak terlepas dari
permasalahan baik fisik maupun sosial ekonomi pemanfaatan air.
Permasalahan fisik antara lain: 1). kualitas dan kuantitas air yang
berasal dari kawasan hutan belum banyak dilakukan pengamatan, 2).
Distribusi air secara spasial dan proporsi sumbangan volume air di
lokasi tertentu dari bagian Daerah Aliran Sungai juga belum banyak
diketahui, 3). Kebutuhan air untuk masing-masing penggunaan lahan
masih perlu lebih banyak dilakukan kajian. Permasalahan sosial
ekonomi antara lain: 1). Adanya tumpang tindih undang-undang,
| 246 |
Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)
peraturan pelaksanaan antar sektor diperlukan kajian peraturan
pelaksanaan dan perundangan yang terkait serta kebijakan yang
diambil oleh masing-masing sektor, 2). Hubungan hulu hilir dalam
pemanfaatan air dan sumberdaya air sering terjadi konflik
kepentingan sehingga perlu kajian kelembagaan dan kompensasi hulu
hilir, 3). Karena air mengalir melalui berbagai pemanfaatan lahan
diperlukan kajian pola pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh
sektor-sektor terkait, dan 4). Adanya perubahan iklim menyebabkan
gangguan terhadap ketersediaan air maka diperlukan kajian
kelembagaan internasional untuk mengatasi masalah tersebut.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Banyak organisasi dan lembaga pengelola kawasan yang berfungsi


sebagai pengatur tata air, pengelola sungai dan pendistribusi air
dan pemanfaat air tetapi koordinasinya masih lemah.
2. Peraturan pengelolaan air dan sumberdaya air relatif sudah
lengkap tetapi peraturan pemerintah sebagai salah satu acuan
dalam penerapan UU No. 7 tahun 2004 perlu segera untuk
diterbitkan.
3. Persepsi masyarakat tentang air dan sumberdaya air, mereka
masih menganggap bahwa air merupakan anugerah dari Tuhan
Yang Maha Esa dan bagi lembaga pemanfaat sumber air ada yang
belum memahami bahwa pengelolaan air harus dilakukan pada
seluruh tangkapannya bukan hanya di sekitar sumber airnya.
4. Banjir yang berasal dari suatu kawasan yang dipangku oleh
lembaga tertentu belum dimasukkan ke dalam manajemen
pengelolaan.

B. Saran-saran
1. Diperlukan kelembagaan yang anggotanya meliputi seluruh
stakeholder baik pengelola maupun pemanfaat air dari hutan.
2. Penyelesaian konflik kepentingan antara beberapa stakeholder
dapat diselesaikan melalui pemahaman bersama tentang
pentingnya hutan sebagai pengatur tata air namun bukan berarti
hutan dibiarkan tanpa dapat dimanfaatkan untuk produksi kayu
dan non kayunya asal prinsip-prinsip kelestariannya
dipertahankan.
3. Kajian kelembagaan yang sebaiknya dilakukan antara lain: a).
kajian peraturan pelaksanaan dan perundangan yang terkait serta
| 247 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250
kebijakan yang diambil oleh masing-masing sektor, b). kajian
kelembagaan dan kompensasi hulu hilir, c). kajian pola
pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh sektor-sektor terkait,
dan d). kajian kelembagaan internasional untuk mengatasi
masalah perubahan iklim.

DAFTAR PUSTAKA

Awang, S.A. 2001. Politik Kehutanan Masyarakat. Center for Critical


Social Studies dan Kreasi Wacana. Yogyakarta.
Brazel. A. 1993. Economic Analysis of Property Rights. Cambridge
Iniversity. Press. Sydney.
Darsono, V. 1992. Pengantar Ilmu Lingkungan. Edisi Revisi. Penerbit
Universitas Atmajaya. Yogyakarta.
Darmawan, D.A. 2001. Analisa Kelembagaan. Paper Diskusi
Pengelolaan DAS Terpada dalam Rangka Otonomi Daerah.
Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Departemen Kehutanan. 1999. Undang–Undang Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan.
Koperasi Karyawan Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Dinar, A., M. Rosegrant dan R. Meinzen-Dick. 1997. Water
Allocation Mechanism: Principles and Examples. Policy
Research Working Paper 1779. World Bank. Washington DC.
Djogo, T., Sunaryo, D. Suharjito, dan M. Sirait. 2003. Kelembagaan
dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestry. World
Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor.
Dumairy. 1992. Ekonomi Sumberdaya Air. BPFE. Yogyakarta.
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori
dan Aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Heynardhi, H. dan S. Wermasubun. 2004. Dagang Air. Perihal Peran
Bank Dunia dalam Komersialisasi dan Privatisasi Layanan Atas
Air di Indonesia. Widyasari Press. Salatiga.

Kartodiharjo, H. 1995. Kegagalan Teori Rente Ekonomi Hutan:


Implikasi terhadap Penyempurnaan Sistem Pengusahaan
Hutan. Prima. Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial. No. 2
Tahun XXIV, Februari 1995.

| 248 |
Kelembagaan Pengelolaan Sumber....(Purwanto)
Kartodihardjo, H. 1998. Peningkatan Kinerja Pengusahaan Hutan
Alam Produksi Melalui Kebijaksanaan Penataan Institusi.
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kartodiharjo, H., K. Murtilaksono, H.S. Pasaribu, U. Sudadi, dan N.
Nuryantono. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan
Konservasi Tanah. Kelompok Pengkajian Pengelolan
Sumberdaya Berkelanjutan (K3SB). Bogor.
Kasryno, F. 1984. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan
Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Lee, R. 1990. Hidrologi Hutan (Terjemahan Forest Hydrology oleh
Sentot Subagyo). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia.
2004. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah
Nomor 330/KPTS/2004 tentang Penetapan Tarif Biaya Jasa
Pengelolaan Sumberdaya Air (d/h Iuran Pembiayaan
Eksploitasi dan Pemeliharaan Prasarana Pengairan) Perum Jasa
Tirta untuk Perusahaan Daerah Air Minum di Wilayah Sungai
Bengawan Solo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004.
North, D.C. 1991. Instututions, Institutional Change, and Economic
Performance. Political Economy of Institutions and Decisions.
Cambridge University Press. Cambridge.
Paimin. 2005. Laporan Kajian Karakterisasi Daerah Aliran Sungai.
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Barat. Surakarta.
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 13 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Propinsi Jawa
Tengah Nomor 9 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Permukaan. Lembaran Daerah Propinsi Jawa
Tengah Tahun 2004 Nomor 51 Seri B Nomor 1.
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 20 Tahun 2003
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Penngendalian Pencemaran Air Lintas Kabupaten/Kota di
Propinsi Jawa Tengah. Lembaran Daerah Propinsi Jawa
Tengah Tahun 2002 Nomor 72.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007
Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.

| 249 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 234-250
Purwanto. 2005. Laporan Hasil Kajian Nilai Ekonomi Air Hutan
Lindung. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Barat.
Surakarta.
Schmidt, A. 1987. Property, Power, and an Inquiry into Law and
Economic. Praeger. New York.
Scott, R. 1995. Instututions and Organizations. Sage Publication: An
International and Profesional Publisher. Thousand Oaks,
London-New Delhi.
Shiva, V. 2003. Water Wars. Insist – WALHI. Yogyakarta.
Soemarwoto, O. 1994. Ekologi Lingkungan Hidup dan
Pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Soros, G. 1998. The Crisis of Global Capitalism: Open Society
Endangered. Little Brown and Company. UK.

| 250 |
21. PERAN PEMERINTAH DAERAH
DALAM REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI1
Oleh :
Sri Puryono2

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu
daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga
merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui
daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah
hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai
utamanya (single outlef). Daerah Aliran Sungai merupakan ekosistem di mana
di dalamnya terjadi proses interaksi antara faktor-faktor biotik, non biotik dan
manusia. Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada masukan (input) ke
dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi
berdasarkan keluaran (output) dari ekosistem tersebut. Pengelolaan DAS
adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang
bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah
aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan
terjadinya kerusakan sumberdaya tanah dan air. Ekosistem DAS merupakan
bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS.
Kompleksitas permasalahan yang ada, kelembagaan di Provinsi maupun
Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pengelolaan DAS tidak terlepas dari
komponen yang bertanggung jawab dalam pengelolaan DAS pada masing-
masing wilayah, utamanya kelembagaan Pertanian dan Kehutanan, Penataan
Ruang dan Wilayah, Kelautan dan Perikanan, Lingkungan Hidup, dan juga
kelembagaan administratif.

Kata kunci : Pemerintah Daerah, Dinas Kehutanan, DAS, Rehabilitasi

1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007.
2 Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah , Jl. Menteri Soepeno 1/2

Semarang 50241 Telp. (024) 8319140 Fax. (024) 8319328, email :


kadinas@dinashut-jateng.go.id

| 251 |
PROSIDING Workshop,2009 : 251-262

I. PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum dapat didefinisikan


sebagai suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya
sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan
anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya
untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air
lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya (single
outlef). Satu DAS dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya (DAS-
DAS lain) oleh pemisah alam topografi, seperti punggung perbukitan
dan pegunungan. Oleh karena itu, pengelolaan DAS merupakan
suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS
sebagai suatu unit pengelolaan yang pada dasarnya merupakan usaha-
usaha penggunaan sumberdaya alam di suatu DAS secara rasional
untuk mencapai tujuan produksi pertanian yang optimum dalam
waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai dengan upaya untuk
menekan kerusakan seminimum mungkin sehingga distribusi aliran
merata sepanjang tahun (Marwah, 2001).
Cakupan luas suatu DAS di bumi kita ini sangat bervariasi mulai
dari beberapa puluh meter persegi sampai dengan ratusan ribu hektar.
Secara hierarkis suatu DAS yang luas/besar biasanya terdiri atas
beberapa DAS yang lebih kecil. DAS-DAS yang lebih kecil tersebut
dinamai sub DAS dari DAS yang lebih besar. Sub DAS mungkin juga
terdiri atas beberapa sub-sub DAS.
Dalam tataran operasional pengelolaan, DAS harus diperlakukan
sebagai unit kesatuan yang utuh dalam perencanaan, dan
pengendalian. Perbedaan batas wilayah DAS dengan batas
administrasi pemerintah daerah (provinsi maupun kabupaten)
memberikan konsekuensi bagi daerah-daerah yang berada dalam satu
wilayah DAS untuk lebih intensif melakukan penanganan secara
kolaboratif. Hal ini mutlak dilakukan karena DAS merupakan satu
kesatuan ekosistem yang pengelolaannya harus dilakukan secara
terintegrasi, antara DAS bagian hulu, tengah dan hilir.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka tulisan ini akan
menyajikan peran pemerintah daerah dalam rehabilitasi Daerah Aliran
Sungai. Diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengambil
kebijakan khususnya dalam pengelolaan DAS.

| 252 |
Peran Pemerintah Daerah....(Sri Puryono)
II. TUJUAN PENGELOLAAN DAS
Daerah Aliran Sungai merupakan ekosistem di mana di
dalamnya terjadi proses interaksi antara faktor-faktor biotik, non
biotik dan manusia. Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada
masukan (input) ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di
dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output) dari
ekosistem tersebut. Komponen masukan dalam ekosistem DAS
adalah curah hujan, sedangkan keluarannya terdiri dari debit air dan
muatan sedimen. Komponen-komponen DAS yang meliputi :
manusia, vegetasi, tanah, iklim, topografi dan saluran/ sungai
bertindak sebagai prosessor/pengolah.
Pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan
implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi
sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai
untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan
terjadinya kerusakan sumberdaya tanah dan air. Termasuk dalam
pengelolaan DAS adalah identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan,
tanah dan air, dan keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS
(Asdak, 2002). Secara hidrologi, pengelolaan DAS berupaya untuk
mengelola kondisi biofisik permukaan bumi, sedemikian rupa
sehingga didapatkan suatu hasil air (water yield, total streamflow) secara
maksimum, serta memiliki regime aliran (flow regime) yang optimum,
yaitu terdistribusi merata sepanjang tahun (Purwanto, 1992).
Tujuan dari pengelolaan DAS adalah melakukan pengelolaan
sumberdaya alam secara rasional supaya dapat dimanfaatkan secara
maksimum lestari dan berkelanjutan sehingga dapat diperoleh kondisi
tata air yang baik. Sedangkan pembangunan berkelanjutan adalah
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam bagi kepentingan
umat manusia pada saat sekarang ini dengan masih menjamin
kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk generasi yang
akan datang. Karyana (2001) mengemukakan bahwa tujuan dari
pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada dasarnya adalah
pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan dengan terlanjutkan
(sustainable) sehingga tidak membahayakan lingkungan lokal, regional,
nasional dan bahkan global.
Ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena
mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS. Aktifitas dalam DAS
yang menyebabkan perubahan ekosistem, misalnya perubahan tata
guna lahan di daerah hulu, dapat memberikan dampak pada daerah
hilir berupa perubahan fluktuasi debit air, kandungan sedimen serta
| 253 |
PROSIDING Workshop,2009 : 251-262

material terlarut lainnya. Pengelolaan DAS mempunyai pengaruh


terhadap produktivitas dan fungsi DAS secara keseluruhan. Oleh
karena itu di dalam pengelolaan DAS harus diarahkan pada target
sebagai berikut :
1. Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi;
2. Mampu menjamin kelestarian DAS, yaitu menjamin produktivitas
yang tinggi, erosi dan sedimen serendah mungkin, dan fungsi
hidrologi DAS memberikan water yield yang tinggi dan cukup
merata sepanjang tahun;
3. Mampu membina DAS yang lentur terhadap goncangan
perubahan yang terjadi (resilient);
4. Tetap menjamin terlaksananya unsur-unsur pemerataan (equity)
pada petani. (Arsyad et al., 1985 dalam Tikno, 1999)

III. KONDISI DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN


DAS DI JAWA TENGAH

A. Kondisi DAS di Jawa Tengah


Provinsi Jawa Tengah dengan luas daratan mencapai 3.254.412
Ha, terbagi dalam 5 Daerah Aliran Sungai besar, yaitu : DAS Pemali,
DAS Jratun, DAS Solo, DAS Serayu dan DAS Opak Progo. Setiap
wilayah DAS tersebut memiliki karakteristik dan permasalahannya
masing-masing. Secara umum dapat kami sampaikan bahwa kondisi
fisik secara umum DAS di Jawa Tengah telah mengalami perubahan
fungsi lahan pada DAS. Wilayah hulu DAS yang seharusnya lebih
dominan sebagai kawasan dengan fungsi lindung berubah untuk
pemanfaatan lainnya, seperti untuk budidaya pertanian intensif dan
pemukiman. Akibat lebih lanjut yang ditimbulkan dari perubahan
fungsi kawasan lindung untuk pemanfaatan bukan lindung dengan
pengolahan lahan yang intensif adalah menurunnya kemampuan lahan
untuk menjalankan fungsi lindung serta sistem penyangga kehidupan.
Fenomena kekeringan pada musim kemarau dan kejadian banjir pada
musim penghujan yang telah menjadi kebiasaan pada dekade terakhir
ini merupakan indikator terjadinya penurunan fungsi DAS dalam
menjaga keseimbangan ekosistem DAS itu sendiri.
Luas lahan kritis di Jawa Tengah pada tahun 2005 mencapai
697.126 Ha (di dalam dan luar kawasan hutan, atau setara dengan
21,42% dari luas wilayah Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan hasil
penelitian pada berbagai titik lokasi, rata-rata tingkat erosi yang terjadi
mencapai 2,75 s/d 10,7 mm/tahun. Rincian kondisi kekritisan lahan
di Jawa Tengah adalah sbb. :
| 254 |
Peran Pemerintah Daerah....(Sri Puryono)
- luas lahan dengan kondisi Sangat kritis : 18.990 Ha,
- luas lahan dengan kondisi Kritis : 156.309 Ha
- luas lahan dengan kondisi agak kritis : 469.954 Ha

Terkait dengan kondisi keberadaan DAS dan lahan kritis,


penanganan Daerah Aliran Sungai yang ada di Jawa Tengah
umumnya merupakan kelompok DAS Prioritas, artinya DAS tersebut
telah mengalami penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam
serta degradasi atau kerusakan lingkungan. Permasalaan sumberdaya
alam dan lingkungan yang dihadapi pada banyak DAS tersebut
merupakan masalah yang bersifat multi dimensional.
Salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas dan
kuantitas sumberdaya alam dan lingkungan pada wilayah DAS adalah
sistem pengelolaan yang sentralistis, dimana sejak tahap perencanaan,
inisiasi kegiatan hingga implementasi dan evaluasi program
seluruhnya dilakukan secara terpusat (top down). Kegiatan yang
dilakukan tidak memberikan ruang yang cukup untuk menampung
aspirasi lokal bisa berkembang.
B. Permasalahan Pengelolaan DAS di Jawa Tengah
Permasalahan umum dalam pembangunan pengelolaan DAS
(Karyana, 2001) adalah belum mantapnya institusi dan lemahnya
sistem perencanaan yang komprehensif. Gejala umum yang timbul
dari kondisi di atas antara lain: (1) masyarakat dalam DAS masih
ditempatkan sebagai objek dan bukan subjek pembangunan; (2)
manfaat pembangunan lebih banyak dinikmati oleh elit-elit tertentu
dan belum terdistribusi secara merata; (3) masyarakat belum mampu
untuk berpartisipasi secara nyata dalam proses pembangunan; (4)
masyarakat masih menjadi bagian terpisah (eksternal) dari ekosistem
DAS.
Sedangkan permasalahan utama dalam pengelolaan DAS dan
konservasi tanah berkaitan dengan masalah kelembagaan berupa : (1)
perbedaan sistem nilai (value) masyarakat berkenaan dengan
kelangkaan sumberdaya; (2) orientasi ekonomi yang kuat tidak
diimbangi komitmen terhadap perlindungan fungsi lingkungan yang
berimplikasi pada munculnya persoalan dalam implementasi tata
ruang; (3) persoalan laten berkaitan dengan masalah agraria dan (4)
kekosongan lembaga/instansi pengontrol pelaksanaan program
(Marwah, 2001).

| 255 |
PROSIDING Workshop,2009 : 251-262

Pendekatan yang terkotak-kotak dan cenderung


mempertahankan "egoisme-regional" akan menekan efektivitas
pengelolaan DAS pada tingkat terendah. Oleh karena itu setiap
daerah yang bagian dari wilayahnya termasuk ke dalam wilayah DAS
akan cenderung mengembangkan kawasan mereka menurut selera
masing-masing. Padahal, DAS sebagai suatu kesatuan dan jejaring
ekosistem, sangat rentan pada pendekatan parsial karena proses-
proses pertukaran energi, materi dan informasi dalam suatu
ekosistem sesungguhnya tidak "mengenal" batas wilayah
administratif.
Dalam perspektif kelembagaan, terdapat hubungan sebab-
akibat antara "sumberdaya alam & lingkungan" dengan "sistem
sosial"-nya. Secara teoritis dan empiris, konsep "kelembagaan"
dapat menjelaskan hubungan antara perubahan-perubahan
sumberdaya alam dan lingkungan dan sistem sosialnya. Indikasi
penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya alam erat kaitannya
dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi pada tingkat
rumahtangga, kelompok dan organisasi sosial, komunitas, dan
masyarakat (sistem sosial). Secara sosiologis tingkatan sistem sosial
tersebut dan pola hubungan antar-kelompok dan organisasi sosial
tersebut dipandang sebagai suatu "kelembagaan".
Perubahan penggunaan lahan di pada wilayah DAS
mengindikasikan telah terjadi proses penurunan kuantitas dan
kualitas sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. Secara
sosiologis indikasi tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan-
perubahan sosial di wilayah DAS, khususnya perubahan
kelembagaan yang cenderung mengindikasikan bahwa kelembagaan-
kelembagaan dan hubungan kelembagaan di wilayah DAS tidak
berkelanjutan (institutional unsustainability).
IV. PENDEKATAN PARTISIPATIF DALAM
PENGELOLAAN DAS
Perspektif tentang sistem pengelolaan dan tata kepemerintahan
dalam perjalanan pembangunan di Indonesia mengalami
perkembangan-perkembangan yang sangat radikal, selaras dengan
berlangsungnya pergeseran nilai-nilai kehidupan sosial ekonomi dan
politik pada tataran sistem sosial kemasyarakatan, selama satu dekade
terakhir. Tata pemerintahan sentralisme yang dikenal otoritarian,
berpendekatan serba seragam, serta mengabaikan inisiatif lokal telah
digantikan oleh pendekatan yang memberikan bobot pada upaya

| 256 |
Peran Pemerintah Daerah....(Sri Puryono)
perubahan berencana berbasis pada prakarsa masyarakat (akar
rumput) yang sering dikenal dengan pendekatan bottom up.
Pendekatan pembangunan secara bottom up dicirikan oleh
semangat partisipatif-kolaboratif, berbasis pada sumber kekuatan
yang dimiliki oleh komunitas lokal, mengakui eksistensi kepentingan
beragam (multistakeholders) yang didukung kuat oleh semangat
demokratisme. Pendekatan pembangunan secara bottom up ini
mendapat relevansi yang sangat kuat, manakala perhatian diarahkan
kepada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dalam konteks
kesatuan wilayah DAS. Selama ini wilayah ”lingkungan” dalam
kesatuan wilayah DAS dikenal memiliki derajat konflik dari beragam
pelaku kepentingan yang sangat tinggi.
Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pemberdayaan
potensi dan kemampuan daerah, serta mendukung partisipasi tersebut
makin kokoh kedudukannya sejak bergulir implementasi Otonomi
Daerah dengan semangat desentralisme diundangkan melalui UU No.
22 tahun 1999. Sejak saat itu, masyarakat sipil mendapatkan makin
banyak kesempatan dan ruang yang leluasa untuk terlibat langsung
dalam proses perencanaan dan pembuatan kebijakan, yang selama
beberapa dekade lalu didominasi oleh elit pemegang kekuasaan
negara. Dari sisi ini dimensi ketatapemerintahan dalam pengelolaan
DAS menjadi titik krusial dalam pengelolaan sumberdaya alam yang
lestari dimasa mendatang.
Konsep tata-pemerintahan lingkungan (environmental
governance) yang partisipatoris merupakan salah satu alternatif, oleh
karena konsep ini bekerja atas dasar asumsi akomodasi atas
kemajemukan cara pandang dalam menyikapi persoalan sumberdaya
alam dan lingkungan dalam kerangka pengelolaan DAS. Konsep ini
menekankan bahwa benturan yang selalu terjadi dan berulang
karena perbedaan pandangan, akan dapat dicarikan titik-temunya
melalui proses komunikasi yang multi-pihak dan kerjasama aksi yang
bersifat kolaboratif.
Persoalan konflik kepentingan dalam pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya alam adalah masalah klasik yang selalu
menjadi wacana penting. Sebagaimana diketahui, sumberdaya alam
dipandang secara berbeda oleh masyarakat. Terdapat dua kutub
masyarakat yang tak pernah satu pandangan, yaitu mereka yang
menganut mahzab antroposentrisme melawan mereka dari golongan
ekosentrisme.Kemajemukan cara pemahaman terhadap eksistensi
sumberdaya alam dan lingkungan yang demikian itu, secara potensial
| 257 |
PROSIDING Workshop,2009 : 251-262

bisa menghantarkan sebuah sistem sosial-kemasyarakatan pada


situasi konflik berkepanjangan yang bisa membawa entitas sosial
tersebut pada situasi disintegratif yang justru kontra-produktif
terhadap keseluruhan hasil pembangunan yang diharapkan. Untuk
mencari hasil optimal dan titik temu yang bisa diterima secara luas,
salah satu solusinya adalah membuka akses lebih besar masyarakat
sipil dan semua pihak berkepentingan kepada ruang-ruang
kekuasaan yang memungkinkan para-pihak bisa membangun dialog
yang kondusif dan komunikatif, terutama dalam perumusan
kebijaksanaan pemanfaatan sumberdaya alam pada wilayah DAS.
V. PERAN KELEMBAGAAN DI DAERAH DALAM
DESENTRALISASI PENGELOLAAN DAS
Kebijakan dan kelembagaan (institusi) sulit dipisahkan, seperti
dua sisi sekeping mata uang. Kebijakan yang bagus tetapi dilandasi
kelembagaan yang jelek tidak akan membawa proses pembangunan
mencapai hasil secara maksimal. Demikian juga sebaliknya,
kelembagaan yang bagus tetapi kebijakannya tidak mendukung juga
membuat tujuan pembangunan sulit dicapai sesuai harapan.
Pengalaman menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan seringkali
bersumber dari kegagalan negara dan pemerintah dalam membuat
dan mengimplementasikan kebijakan yang benar serta mengabaikan
pembangunan kelembagaan yang seharusnya menjadi dasar dari
seluruh proses pembangunan baik sosial, ekonomi, politik, teknologi
maupun pengelolaan sumber daya alam. Ringkasnya kegagalan terjadi
karena tata kelola pemerintahan yang buruk.
Berbicara tentang kelembagaan, atau institusi, umumnya
pandangan orang lebih diarahkan kepada organisasi, wadah atau
pranata. Organisasi hanyalah wadahnya saja, sedangkan pengertian
lembaga mencakup juga aturan main, etika, kode etik, sikap dan
tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau suatu sistem.
Bayangkan apa yang akan terjadi di dalam suatu tim kerja, kelompok
masyarakat atau tim olah raga tertentu ada organisasi tetapi tidak ada
aturan mainnya? Kebijakan adalah intervensi pemerintah (dan publik)
untuk mencari cara pemecahan masalah dalam pembangunan dan
mendukung proses pembangunan yang lebih baik. Kebijakan adalah
upaya, cara dan pendekatan pemerintah untuk mencapai tujuan
pembangunan yang sudah dirumuskan. Kebijakan bisa juga
merupakan upaya pemerintah untuk memperkenalkan model
pembangunan baru berdasarkan masalah lama. Kebijakan juga adalah
upaya untuk mengatasi kegagalan dalam proses pembangunan.
Kegagalan itu bisa kegagalan kebijakan itu sendiri, kegagalan
| 258 |
Peran Pemerintah Daerah....(Sri Puryono)
pemerintah dan negara, kegagalan dalam bidang kelembagaan,
kegagalan dalam ekonomi, perdagangan dan pemasaran dan
sebagainya (Djogo et al., 2003).
Pengertian kelembagaan yang digunakan untuk mendefinisikan
kelembagaan dalam pengelolaan DAS adalah : Suatu tatanan dan pola
hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling
mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia
atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau
jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat
berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk
pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan
mencapai tujuan bersama.
Berbagai unsur penting dari kelembagaan dalam upaya
mewujudkan pengelolaan DAS yang berkelanjutan (Djogo et al., 2003)
adalah:
1. Institusi merupakan landasan untuk membangun tingkah laku
social masyarakat
2. Norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan
diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang
mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar
manusia yang terstruktur
3. Peraturan dan penegakan aturan/hukum
4. Aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan
kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban
anggota
5. Kode etik
6. Kontrak
7. Pasar
8. Hak milik (property rights atau tenureship)
9. Organisasi
10. Insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan

VI. PENUTUP

Dari berbagai elemen di atas dapat kita lihat bahwa definisi


institusi atau kelembagaan didominasi oleh unsur-unsur aturan,
tingkah laku atau kode etik, norma, hukum dan faktor pengikat
lainnya antar anggota masyarakat yang membuat orang saling
mendukung dan bisa berproduksi atau menghasilkan sesuatu karena
ada keamanan, jaminan akan penguasaan atas sumber daya alam yang
didukung oleh peraturan dan penegakan hukum serta insentif untuk
| 259 |
PROSIDING Workshop,2009 : 251-262

mentaati aturan atau menjalankan institusi. Tidak ada manusia atau


organisasi yang bisa hidup tanpa interaksi dengan masyarakat atau
organisasi lain yang saling mengikat. Perpaduan antara berbagai
pendekatan ini bisa menghasilkan analisis kelembagaan yang
memadai. Apa implikasi dari pembangunan atau penguatan
kelembagaan bagi pengembangan wanatani? Kelembagaan (institusi)
bisa berkembang baik jika ada infrastruktur kelembagaan, ada
penataan kelembagaan dan mekanisme kelembagaan.
Pengembangan kelembagaan dalam pengelolaan DAS sangat
sulit mengingat kompleksnya komponen-komponen dalam
pengembangannya. Ada aspek ekologi, teknologi, sistem produksi
pertanian, pengelolaan hutan, sosial, ekonomi dan politik. Terlepas
dari kompleksitas permasalahan yang ada, kelembagaan di Provinsi
maupun Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pengelolaan DAS
tidak terlepas dari komponen yang bertanggung jawab dalam
pengelolaan DAS pada masing - masing wilayah, utamanya
kelembagaan Pertanian dan Kehutanan, Penataan Ruang dan Wilayah,
Kelautan dan Perikanan, Lingkungan Hidup, dan juga kelembagaan
administratif.

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Djogo, T, Sunaryo, D. Suharjito dan M. Sirait. 2003. Kelembagaan
dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri. Bahan
Ajaran Agroforestri 8. World Agroforestry Center (ICRAF).
Bogor.
Karyana, A. 2000. Pembangunan Partisipatoris dalam Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai, [online],
(http://www.rudyct.com/PPS702-
ipb/01101/AKARYANA.htm), diakses tanggal 1 Januari
2004.
Marwah, S. 2001. Daerah Aliran Sungai (DAS) Sebagai Satuan Unit
Perencanaan Pembangunan Pertanian Lahan Kering
Berkelanjutan, [online] (http://www.rudyct.com/PPS702-
ipb/03112/sitti_marwah.htm), diakses tanggal 1 Januari
2004.

| 260 |
Peran Pemerintah Daerah....(Sri Puryono)
Purwanto, E. (1992). Pemanfaatan dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai
Dengan Menggunakan Parameter Hidrologi. Majalah
Kehutanan Indonesia, Edisi No. 10 tahun 1991/1992.
Tikno, S. 1999. Pengelolaan DAS dan Kaitannya Dengan Program
Pengembangan Wilayah. Prosiding Konperensi Energi,
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPP Teknologi Jakarta,
11-13 Augustus 1999.

| 261 |
PROSIDING Workshop,2009 : 251-262

Lampiran: Luas Lahan Kritis di Luar Kawasan Hutan Menurut


Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003.

| 262 |
22. PERAN KAWASAN KONSERVASI
DI JAWA TENGAH DALAM MENDUKUNG
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)1
Oleh :
Minto Basuki2

ABSTRAK

Hutan sebagai salah satu sumber daya alam hayati merupakan unsur penting
dari lingkungan hidup yang mendukung hidup dan kehidupan manusia.
Kerusakan hutan juga berdampak bagi ekosistem daerah aliran sungai Daerah
Aliran Sungai (DAS). Sedangkan kawasan konservasi merupakan salah satu
kawasan hutan yang masih tersisa pada era reformasi ini bila di bandingkan
dengan kawasan hutan produksi dan yang lainnya. Selain mempunyai fungsi
utama sebagai pengawetan dan pelestarian keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya, kawasan konservasi juga mempunyai peranan penting
dalam pengendalian sistem tata air bagi daerah sekitar kawasan terutama bagi
kawasan konservasi yang ada di sekitar DAS. Kawasan konservasi merupakan
benteng terakhir dalam pengelolaan hutan di Indonesia yang dikarenakan dua
bentuk kawasan hutan yang lain yaitu kawasan produksi dan kawasan lindung
telah tinggi tingkat degradasi hutannya oleh sebab eksploitasi hutan yang
berlebihan dan konversi lahan yang tidak memenuhi kaidah lingkungan.

Kata kunci : Kawasan konservasi, DAS.

I. PENDAHULUAN

Hutan sebagai salah satu sumber daya alam hayati merupakan


unsur penting dari lingkungan hidup yang mendukung hidup dan
kehidupan manusia. Untuk menjamin diperolehnya manfaat yang
sebesar-besarnya dari hutan, maka manusia harus menjaga kualitas
hutan dengan luas yang cukup dan kondisi yang bagus. Kerusakan
hutan dan lahan yang terjadi sekarang ini telah berdampak luas
terhadap berbagai aspek kehidupan seperti menurunnya tingkat
keanekaragaman hayati, menurunnya kemampuan hutan sebagai paru-
paru dunia yang semakin berkurang dalam memproduksi oksigen

1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS Surakarta, 22 Nopember 2007.
2 Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah, Jl. Menteri Supeno I/2

Lt. IV Semarang. Telp 024-8414750.


| 263 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 271-280
termasuk menurunnyakemampuan menciptakan stabilitas hidrologi,
mengurangi banjir, mengendalikan erosi, longsor dan sedimentasi.
Siklus hidrologi tak lagi stabil, akibatnya musim kemarau jadi
berkepanjangan dan banjir serta tanah longsor pada musim
penghujan.
Kerusakan hutan juga berdampak bagi ekosistem daerah aliran
sungai Daerah Aliran Sungai (DAS). Saat ini di Indonesia terdapat
sekitar 458 DAS yang secara umum tidak berfungsi. Parahnya laju
kerusakan hutan semakin tinggi mencapai 2,83 juta hutan/tahun
(Departemen Kehutanan, 2006). Akibat banyaknya lahan kritis ,
ketika musim penghujan, apalagi bila Intensitas curah hujan tinggi,
aliran permukaan sangat tinggi, sehingga memyebabkan kembalinya
air ke laut tidak tertahankan sedangkan yang terserap ke tanah hanya
sedikit. Hutan tergolong sebagai sumber daya yang terbarui (renewable
resources), meski demikian bila hutan rusak maka untuk merestorasi
hutan akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Hutan yang kritis
akan berdampak pada kerusakan sistem DAS, baik ekologis bentang
lahan maupun tata air. Hal ini berarti fungsi DAS sebagai penyedia air
dalam kehidupan akan terganggu.
Kawasan konservasi merupakan salah satu kawasan hutan yang
masih tersisa pada era reformasi ini bila di bandingkan dengan
kawasan hutan produksi dan yang lainnya. Selain mempunyai fungsi
utama sebagai pengawetan dan pelestarian keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, kawasan konservasi juga
mempunyai peranan penting dalam pengendalian sistem tata air bagi
daerah sekitar kawasan terutama bagi kawasan konservasi yang ada di
sekitar DAS.
II. KAWASAN KONSERVASI DI PROPINSI JAWA TENGAH
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah
sebagai UPT Departemen Kehutanan di bawah Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam mengelola kawasan
konservasi yang tersebar di seluruh Provinsi Jawa Tengah dengan
berbagai perwakilan tipe ekosistem, antara lain :
1. Ekosistem pantai :Cagar Alam (CA) Nusakambangan
Barat, Nusakambangan Timur
dan Taman Wisata Alam (TWA)
Gunung Selok;
2. Ekosistem dataran rendah : CA Pagerwunung Darupono dan
CA Cabak;

| 264 |
Peran Kawasan Konservasi....(Minto
Basuki)
3. Ekosistem dataran Tinggi : TWA Telogo Warno/ Pengilon, CA
Telogo Dringo, CA Guci dan CA
Telogo Ranjeng.
Balai KSDA Jawa Tengah memangku sebanyak 35 kawasan
konservasi, yang terdiri dari 29 Cagar Alam, 5 Taman Wisata Alam
dan 1 Suaka Margasatwa. Luas total seluruh kawasan konservasi
tersebut adalah 3.089 ha (Menteri Kehutanan, 2007). Secara
administratif wilayah kerja Balai KSDA Jawa Tengah meliputi wilayah
Provinsi Jawa Tengah, yang terdiri atas 35 Kabupaten / kota.
Kawasan konservasi memerlukan pengelolaan dan penanganan
yang intensif dan terencana. Pengelolaannya mencakup aspek-aspek
ekologis, ekonomi dan sosial budaya. Faktor-faktor inilah yang
menentukan kelangsungan kelestarian kawasan. Dalam perjalanan
waktu hingga saat ini, kondisi kawasan suaka alam mengalami
penurunan, baik kondisi habitat maupun potensi alamnya.
Dari 35 kawasan konservasi yang dikelola Balai KSDA Jawa Tengah
beberapa diantaranya merupakan kawasan penyangga DAS bagi
lingkungan sekitarnya.
1. Cagar Alam Nusa Kambangan Barat dan Timur
Cagar Alam Nusa Kambangan merupakan kawasan hutan hujan
tropis yang masih bisa dilihat di Pulau Jawa ini. Kawasan Cagar
Alam Nusa Kambangan yang terletak di Pulau Nusa Kambangan
yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Cilacap
berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia. Selain
menyimpan potensi keanekaragaman hayati tinggi, kawasan ini
merupakan benteng penyelamat bagi Kabupaten Cilacap pada saat
terjadi bencana tsunami tahun 2006. Pulau Nusa Kambangan
mempunyai nilai strategis dan menjadi tembok penghalang
sehingga ombak besar dari tsunami tidak sampai menghancurkan
kota Cilacap seperti yang terjadi di Pangandaran.
2. Cagar Alam Telogo Dringo
Cagar Alam Telogo Dringo terletak di Kabupaten Banjarnegara
yang berada di kawasan Pegunungan Dieng. Di tengah kawasan
terdapat sebuah telaga/danau seluas ± 10 hektar. Pada saat
musim kemarau danau ini menjadi tumpuan penduduk sekitar
untuk memenuhi kebutuhan air, terutama untuk pertanian.

| 265 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 271-280
3. Cagar Alam Guci
Kawasan yang terletak di kaki Gunung Slamet bagian wilayah
Kabupaten Tegal ini mempunyai potensi utama sebagai
penyangga sumber mata air panas. Sumber mata air ini
dimanfaatkan oleh Pemda setempat untuk obyek wisata
pemandian air panas dan disalurkan ke penginapan-
penginapan/homestay yang ada di sekitar kawasan.
4. Cagar Alam Telaga Ranjeng
Cagar Alam Telaga Ranjeng adalah kawasan cagar alam yang
berada di Kabupaten Brebes dan berada di kaki Gunung Slamet
bagian Utara. Ciri utama kawasan ini adalah telaga air tawar
dengan luasnya sekitar 18,5 hektar yang di dalamnya terdapat
ribuan ikan lele yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar
kawasan. Barang siapa yang berani mengambil sesuatu dari telaga
pasti akan mendapat musibah demikian kepercayaan masyarakat
di sana yang patut dilestarikan.
5. Cagar Alam Moga
Cagar Alam Moga berada di Kabupaten Pemalang. Di dalam
kawasan ini terdapat sumber mata air Kali Granggang yang
mengalir menuju Kali Comal. Sumber mata air ini digunakan
masyarakat sekitar kawasan untuk kebutuhan air bersih dan
pengairan.
6. Cagar Alam Curug Bengkawah
Kawasan yang terletak di Kabupaten Pemalang ini juga
menyimpan potensi hidrologi bagi masyarakat sekitar kawasan. Di
dalam Cagar Alam ini terdapat air terjun yang cukup besar dan
alami yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk pemenuhan
kebutuhan air.
7. Cagar Alam Gunung Clering
Gunung Clering merupakan kawasan konservasi terluas di Jawa
Tengah dengan total luas kawasan 1328,40 Ha. Kawasan ini
berada di Kabupaten Jepara dan dekat dengan Laut Jawa. Di
dalam kawasan ini terdapat beberapa mata air dan air terjun kecil
yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk pemenuhan
kebutuhan air bersih dan pengairan sawah.

| 266 |
Peran Kawasan Konservasi....(Minto Basuki)
8. Cagar Alam Keling II/III
Cagar Alam Keling II/III berada di Kabupaten Jepara, kawasan
ini berbatasan langsung dengan Laut Jawa dan berfungsi untuk
mencegah abrasi dan intrusi air laut bagi daerah sekitarnya.
9. Taman Wisata Alam Gunung Selok
Taman Wisata Alam Gunung Selok merupakan salah satu
kawasan konservasi di Kabupaten Cilacap. Kawasan ini salah satu
TWA dari 4 TWA yang dikelola oleh Balai KSDA Jawa Tengah
dengan daya tarik wisatanya adalah obyek wisata gua-gua dan
wisata religi. Gunung Selok berbatasan langsung dengan Samudra
Indonesia, selain berfungsi sebagai tempat wisata kawasan ini juga
berfungsi sebagai pencegah abrasi dan intrusi air laut ke daratan di
sekitarnya
10. Taman Wisata Alam Tlogo Warno/Pengilon
Taman Wisata Telogo Warno/Pengilon ini berada di kawasan
Pegunungan Dieng. Di dalam kawasan ini terdapat dua buah
telaga yang berdampingan yang mempunyai karakteristik yang
berbeda. Air di dalam Tlogo Warno berwarna hijau dan
mengandung gas CO sedangkan air di Tlogo Pengilon bening
seperti cermin. Selain berfungsi sebagai tempat wisata, air dari
telaga ini digunakan oleh masyarakat di sekitar kawasan terutama
pada musim kemarau untuk pengairan ladang mereka, karena
daerah ini dikenal sebagai sentra penghasil kentang.
11. Taman Wisata Alam Sumber Semen
Taman Wisata Sumber Semen terletak di Kabupaten Rembang,
dan di dalamnya terdapat wisata pemandian. Jaringan hidrologi di
kawasan TWA Sumber Semen diawali dengan adanya sumber air
yang berasal dari mata air yang tersebar di pinggir Sungai
Walanggabeng yang disebut Sumber Sewu, dan mata air yang
mengisi pemandian Sumber Semen yang terdapat di sebelah Utara
di dalam pemandian tersebut. Sumber/mata air tersebut
mempunyai debit air 600 liter/detik dan tidak pernah kering
sepanjang tahun. Sumber mata air ini juga dimanfaatkan
masyarakat sekitar untuk keperluan sehari-hari.
12. Taman Wisata Alam Grojogan Sewu
Taman Wisata Alam Grojogan Sewu merupakan salah satu kawasan
wisata yang terkenal di Jawa Tengah. Kawasan ini tidak pernah sepi
dari pengunjung yang datang dari berbagai kota untuk menikmati
keindahan air terjun. Selain menikmati keindahan air terjun,
| 267 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 271-280
pengunjung juga bisa merasakan kesejukan udara pegunungan
dibawah pepohonan rindang yang terdapat di sekitar kawasan. Air
terjun ini kemudian mengaliri sungai-sungai yang berada di bawah
kawasan yang kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar
kawasan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih dan pengairan
sawah.
III. PERMASALAHAN
Keberadaan kawasan konservasi di tengah-tengah lingkup
masyarakat akan selalu mengundang berbagai bentuk permasalahan
dan tekanan yang mengancam kelangsungannya. Laju pertambahan
penduduk dan peningkatan kebutuhan hidup yang semakin tinggi
mendorong aktivitas manusia semakin mendesak ke arah
pemanfaatan sumber daya hutan di kawasan konservasi yang ada di
sekitar mereka.
Di samping itu keterbatasan kemampuan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam menjaga keutuhan ekosistem kawasan
konservasi mengakibatkan banyak kawasan yang menjadi sumberdaya
alam yang terbuka (open acces). Kondisi demikian seringkali
dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk
keuntungan ekonomi jangka pendek yang menimbulkan dampak
negatif terhadap keutuhan ekosistem kawasan.
Beberapa permasalahan yang sering muncul di kawasan
konservasi wilayah Balai KSDA Jawa Tengah antara lain :
1. Pemanfaatan tanpa ijin, baik perambahan kawasan,
pemanfaatan hasil hutan maupun jasa lingkungan air illegal;
2. Belum adanya tata batas kawasan;
3. Keterbatasan sarana dan prasarana serta personil;
4. Kerusakan kawasan yang cenderung meningkat sebagai
akibat dari meningkatnya aktivitas masyarakat ke dalam
kawasan.
Terdapat dua permasalahan kawasan penting di wilayah kerja
Balai KSDA Jawa Tengah yang memerlukan penanganan segera dan
prioritas, yaitu :
1. Batas Kawasan Konservasi
Masalah klasik yang masih menjadi kendala dalam
pengelolaan kawasan konservasi adalah masalah batas kawasan.
Permasalahan yang sering dijumpai adalah :
a. Sudah ditata batas tetapi pal batas tidak ada (CA
Nusakambangan Barat dan CA Nusakambangan Timur);
| 268 |
Peran Kawasan Konservasi....(Minto Basuki)
b. Tanah timbul di TWA Gunung Selok;
c. Pergeseran pal batas akibat penjarahan kawasan (TWA
Telogo Warno/ Pengilon);
d. Hilang / rusaknya beberapa pal batas (CA Gunung Celering
dan CA Telogo Ranjeng);
e. Terdapatnya perbedaan persepsi mengenai status kawasan
dengan Perum Perhutani (CA Vak 53 Comal).

2. Perambahan Kawasan Konservasi


Seiring dengan meningkatnya laju pertambahan penduduk
yang disertai krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak tahun
1998, maka gangguan terhadap hutan dan kawasan konservasi
pun ikut meningkat. Gangguan tersebut sudah pada tingkat yang
membahayakan, mengingat banyaknya aktivitas di dalam kawasan
konservasi, seperti penjarahan dan perambahan yang tidak
terkendali sehingga hutan tidak/ kurang mampu lagi menjalankan
fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan. Akibatnya adalah
hilangnya plasma nutfah yang berada di dalam kawasan
konservasi dan berkurangnya fungsi kawasan sebagai pelindung
sistem tata air bagi kawasan sekitarnya.
Beberapa kawasan konservasi di wilayah kerja Balai KSDA
Jawa Tengah tidak luput dari penjarahan dan perambahan
tersebut dan kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Salah
satu kawasan konservasi yang paling mendapat tekanan akibat
kegiatan tersebut adalah CA Keling dan CA Gunung Celering,
Kabupaten Jepara.
Modus operandi yang umumnya mereka pakai adalah
menghilangkan pal batas kawasan dengan cara menimbun atau
membuang pal batas ke tempat lain. Hal ini dapat ditunjukan
dengan ditemukannya pal-pal yang roboh yang lokasinya jauh
dari lokasi semula. Selanjutnya lahan kawasan yang dirambah
masyarakat dijadikan sebagai lahan pertanian tanaman pangan,
agroforestri, dan perkebunan. Kondisi tersebut jelas sangat
berpengaruh terhadap kondisi kawasan, apalagi mengingat
kawasan CA Keling II/III berbatasan langsung dengan pantai
sehingga fungsinya sebagai pencegah abrasi dan intrusi air laut
berkurang.
Pada tahun 2002 Balai KSDA Jawa Tengah telah melakukan
rehabilitasi areal bekas perambahan dengan jenis endemik setempat,
tetapi tanaman ini dicabuti masyarakat yang melakukan perambahan
| 269 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 271-280
kawasan. Patroli pengamanan pun sering dilakukan di kawasan ini
tetapi ketika petugas sudah pulang masyarakat kembali melakukan
perambahan. Oleh karena itu sangat diperlukan kerjasama dengan
berbagai instansi terkait untuk menyelesaikan masalah perambahan
kawasan yang terjadi di kedua kawasan tersebut.
Permasalahan yang dilematis ini menyebabkan sulitnya untuk
menentukan langkah pengelolaan kawasan, seperti adanya benturan
dengan kepentingan vital masyarakat setempat dan peraturan yang
berlaku. Status kawasan konservasi yang hanya dapat dimanfaatkan
untuk keperluan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan
kegiatan yang menunjang budidaya menutup kemungkinan adanya
pemanfaatan dan kegiatan lainnya.
Di sisi lain, segala keterbatasan baik secara fisik (sarana dan
prasarana) serta sumber daya manusia (personil) tidak mampu
mencegah laju kerusakan kawasan yang diakibatkan oleh berbagai
faktor. Oleh karena itu, kegiatan pemulihan kawasan haruslah menjadi
prioritas program dalam pengelolaan kawasan baik melalui pembinaan
habitat, restorasi maupun rehabilitasi agar kawasan konservasi dapat
berfungsi kembali secara optimal.
IV. ALTERNATIF SOLUSI
Beberapa alternatif solusi yang bisa ditempuh antara lain :
- Melakukan rekonstruksi tata batas kawasan untuk
menghindari terjadinya claim pihak-pihak tertentu terhadap
kawasan;
- Sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat guna
memperkenalkan keberadaan dan pentingnya fungsi kawasan
konservasi di lingkungan mereka sekaligus mengajak mereka
untuk ikut menjaga dan melestarikannya;
- Melakukan pengamanan / patroli dan pengecekan kawasan
secara rutin dan intensif;
- Monitoring potensi kawasan guna mengetahui perkembangan
kondisi dan potensi kawasan yang dapat dijadikan dasar bagi
langkah pengelolaan selanjutnya;
- Khusus untuk penanganan perambahan di CA Keling dan
CA Gunung Celering perlu penanganan yang lebih lagi,
alternatif solusi yang bisa ditempuh adalah dengan :
1. Evaluasi fungsi kawasan, melalui kegiatan :
a. Rapat koordinasi dengan pihak terkait, seperti Dinas
Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, BPKH Wilayah XI, Dinas
| 270 |
Peran Kawasan Konservasi....(MintoBasuki)
Kehutanan dan Perkebunan Kab. Jepara, Perum Perhutani
KPH Pati, Polres dan Polsek setempat, Kepala Desa dan
tokoh masyarakat setempat, guna bersama-sama mencari
solusi terbaik untuk mengatasi perambahan;
b. Bersama-sama pihak terkait mengadakan pendekatan dan
sosialisasi kepada masyarakat mengenai pengelolaan cagar
alam dalam rangka mencari bentuk kegiatan/ program untuk
masyarakat agar tidak kembali merambah kawasan.
2. Monitoring kawasan;
3. Rekonstruksi tata batas yang bekerjasama dengan BPKH Wilayah
XI;
4. Apabila masyarakat masih merambah maka perlu adanya tindakan
represif melalui operasi gabungan antara Balai KSDA Jawa
Tengah bersama dengan Instansi terkait;
5. Pembinaan habitat CA Keling dan CA Gunung Celering melalui
kegiatan rehabilitasi/ restorasi kawasan bekas perambahan;
6. Monitoring dan pemeliharaan pasca rehabilitasi/ restorasi.

V. PENUTUP
Kawasan konservasi merupakan benteng terakhir dalam
pengelolaan hutan di Indonesia yang dikarenakan dua bentuk
kawasan hutan yang lain yaitu kawasan produksi dan kawasan lindung
telah tinggi tingkat degradasi hutannya oleh sebab eksploitasi hutan
yang berlebihan dan konversi lahan yang tidak memenuhi kaidah
lingkungan. Akan tetapi perkembangan jaman yang menuntut tingkat
pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih tinggi menyebabkan
kerusakan hutan juga merambat ke kawasan konservasi yang
disebabkan karena faktor alam (bencana alam seperti banjir dan tanah
longsor) ataupun faktor manusia (perambahan, pemanfaatan hasil
hutan yang ilegal, illegal logging, rusak/hilang/bergesernya/belum
adanya pal batas kawasan, maupun tumpang tindihnya status
pengelola kawasan). Kawasan hutan harus diprioritaskan dijaga
kelestariannya terutama kawasan-kawasan hutan yang terletak di DAS,
baik itu DAS hulu maupun hilir karena DAS merupakan area yang
berfungsi sebagai regulator (pengatur) siklus air. Oleh karenanya
kawasan hutan yang berada di dalam suatu DAS harus difungsikan
sebagai kawasan konservasi dan kawasan lindung dan dalam
pengelolaan DAS sangat diperlukan kerjasama multi stakeholders
(pemerintah pusat, daerah, BUMN, swasta/BUMS, LSM, dan

| 271 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 271-280
masyarakat) yang baik agar tujuan pengelolaan hutan yaitu hutan
lestari masyarakat sejahtera dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 2006. S.01/II/PIK-
1/2006 tanggal 2 Januari 2006, [online],
(http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/2037),
diakses tanggal 1 Mei 2006.
Menteri Kehutanan Republik Indonesia, 2007. Peraturan Menteri
Kehutanan No : P.02/Menhut-II/2007 tentang Daftar
Wilayah Kerja Seksi Konservasi Wilayah Lingkup Balai Ksda
Jawa Tengah Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan.
Departemen Kehutanan, 2007.

| 272 |
23. ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) BRANTAS1
Oleh:
Purwanto2 dan Paimin2

ABSTRAK

Keluaran (output) pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dipengaruhi oleh


input yang meliputi kondisi fisik, sosial, ekonomi, kelembagaan dan aktivitas
manajemen itu sendiri. Dalam proses penyusunan perencanaan, masukan
tersebut harus diketahui untuk menentukan strategi dan skenario
pengelolaannya. Karena masukan dalam pengelolaan DAS berbeda satu DAS
dengan DAS-DAS lainnya maka input tersebut merupakan ciri khas atau
karakter tertentu suatu DAS. Untuk penyusunan rencana jangka panjang
pengelolaan DAS dalam satu propinsi perlu diketahui karakter sosial ekonomi
untuk masing-masing kota dan kabupaten dalam propinsi tersebut. Makalah ini
merupakan hasil kajian karakterisasi DAS Brantas yang didasarkan pada
Data Statistik Tahun 2004. Kajian dilakukan dengan pengumpulan data
sekunder dan penelitian kualitatif melalui indepth interview. Parameter
dalam kajian ini meliputi: kepadatan penduduk, pendapatan per kapita,
pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, dan kelembagaan dalam pengelolaan
DAS. Sebagian besar dari data dikumpulkan dari Biro Pusat Statistik
Propinsi Jawa Timur dan Biro Pusat Statistik Kota dan Kabupaten di DAS
Brantas sedangkan data kelembagaan dikumpulkan melalui snowball
analysis dengan informan kunci terdiri dari stakeholders yang terkait dengan
perencanaan pengelolaan DAS Brantas. Hasil kajian menunjukkan: 1).
Kepadatan penduduk di DAS Brantas adalah 1.213 orang/km2 (berdasarkan
FAO, 1985 penduduk padat adalah > 250 orang/km2), 2). Pendapatan per
kapita Rp. 10.129.787,-/orang/tahun (lebih rendah dari pendapatan rata-
rata penduduk Propinsi Jawa Timur sebesar Rp. 10.965.076,-/orang/tahun)
kecuali Kota Kediri sebesar Rp. 59.843.787,-/orang/tahun. 3). Pertumbuhan
ekonomi regional di DAS Brantas 4,9% lebih tinggi dari pertumbuhan
ekonomi Jawa Timur (4,2%) pada tahun 2004), 4). Struktur ekonomi: a.
pertanian ditemukan di satu kota dan delapan kabupaten, b. struktur industri
ditemukan di tiga kota dan dua kabupaten, dan c. struktur jasa ditemukan di
dua kota, 5). Dari aspek kelembagaan terdapat beberapa institusi sebagai
1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS Surakarta, 22 Nopember 2007.
1 Peneliti Ekonomi Sumberdaya Hutan Balai Penelitian Kehutanan Solo Jalan A.

Yani. Pabelan, P.O.Box 295 Surakarta, Tilp.0271 716709, e-mail purwanto_ alas@
yahoo.com

| 273 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288
perencana tetapi satu dengan lainnya koordinasinya lemah sedangkan
implementator terdiri berbagai Dinas Tingkat II dan UPT Pemerintah Pusat
sedangkan monitoring dan evaluasi belum dilakukan untuk seluruh DAS.

Kata kunci: Pengelolaan DAS, Aspek Sosial Ekonomi, Karakterisasi DAS.

I. PENDAHULUAN
Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai salah satu
unsur utama dalam pengelolaan DAS adalah perencanaan,
implementasi, monitoring dan evaluasi. Dalam sektor Kehutanan,
karakteristik DAS tersebut, lebih lanjut dituangkan dalam Keputusan
Menteri Kehutanan No. 52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pengelolaan DAS. Dalam Pedoman tersebut,
karakteristik DAS mencakup parameter: luas, topografi, geologi,
tanah, iklim, kondisi hidrologi, penggunaan lahan, kerapatan drainase,
sosial, ekonomi dan kelembagaan. Disamping itu DAS juga
diklasifikasi berdasarkan perwilayahan yakni DAS lokal, regional,
nasional, dan internasional (Dept. Kehutanan, 2001). Pengelolaan
DAS dalam Surat Keputusan tersebut di atas, belum selaras dengan
perencanaan pembangunan yang didasarkan pada daerah administrasi,
propinsi, kota dan kabupaten.
Disisi lain, pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan
bagian dari pembangunan wilayah. Secara administrasi pemerintahan,
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi menjadi wilayah
besar Propinsi dan wilayah kecil (kota dan Kabupaten). Oleh sebab
itu rencana pembangunan daerah dibagi menjadi Rencana
Pembangunan Propinsi dan Rencana Pembangunan Kota dan
Propinsi.
DAS Brantas merupakan bagian dari wilayah Propinsi Jawa
Timur yang meliputi 16 daerah otonom yaitu enam kota dan 10
kabupaten. Keenam belas daerah otonom tersebut memiliki ciri
ekonomi regional masing-masing. Karena pengelolaan DAS
merupakan bagian pembangunan wilayah secara keseluruhan maka
ciri khas masing-masing kota dan kabupaten perlu diketahui dan
dimanfaatkan sebagai potensi atau sumberdaya pembangunan.
Disamping itu pengelolaan, DAS Brantas merupakan DAS antar kota
dan kabupaten yang organisasi formal pengelolaannya dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Propinsi, Kota dan Kabupaten disamping instansi
vertikal dari pemerintah pusat. Namun demikian bagaimana
hubungan antar stakeholders dalam pengelolaan DAS tersebut perlu
dikaji lebih lanjut.
| 274 |
Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto
dan Paimun)
Tulisan ini merupakan eksplorasi ekonomi wilayah dan
kelembagaan pemerintah pusat, propinsi, kota dan kabupaten di
Propinsi Jawa Timur yang diharapkan dapat digunakan sebagai
landasan penyusunan sistem perencanaan jangka panjang pada
pengelolaan DAS regional yang selaras dengan unit perencanaan
pembangunan daerah otonom.
II. METODE
A. Lokasi dan Waktu Kajian
Berdasarkan deliniasi peta rupa bumi (RBI) skala 1 : 250.000,
Wilayah DAS Brantas mencakup luas 12.000 km2 yang secara
geografis terletak pada koordinat 07o10’27” – 08o15’54” LS dan
111o30’22” – 112o55’33” BT. Secara administratif DAS Brantas
berada di wilayah Kabupaten-kabupaten: Malang, Blitar, Kediri,
Tulungagung, Trenggalaek, Madiun, Mojokerto, Jombang, Nganjuk,
Sidoarjo dan Kota-kota: Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan
Surabaya (Gambar 1). Penelitian dilakukan pada tahun 2006.

Gambar 1. Batas DAS, Sub DAS dan Kabupaten di DAS Brantas.

B. Rancangan Kajian
Parameter sosial ekonomi karakter DAS dipilih berdasarkan
dugaan pengaruhnya terhadap kesehatan DAS dan herarkhi

| 275 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288
perencanaan pengelolaan DAS. Parameter sosial ekonomi
karakteristik DAS tersebut terdiri dari: 1). Kepadatan penduduk, 2).
Struktur ekonomi, 3). Pendapatan masyarakat, 4). Pertumbuhan
ekonomi, dan 5). Kelembagaan pengelolaan DAS.
Berdasarkan pengaruhnya terhadap kesehatan DAS, kepadatan
penduduk diduga sangat berpengaruh terhadap kesehatan DAS.
Makin tinggi kepadatan penduduk maka penggarapan lahan semakin
intensif baik pada lahan pertanian maupun pemukiman. Pada lahan
pertanian penggarapan intensif yang melebihi kemampuan lahan
menyebabkan lahan terdegradasi. Pada kawasan pemukiman,
kepadatan yang tinggi menyebabkan kebutuhan untuk perumahan dan
infrastruktur makin luas sehingga kemampuan tanah menginfiltrasi air
hujan semakin kecil dan peluang terjadinya banjir semakin besar.
Dari data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat
diketahui struktur ekonomi suatu Kabupaten atau Kota. Untuk
kabupaten yang memiliki struktur ekonomi pertanian berarti kegiatan
perekonomian sebagian berasal dari sektor pertanian. Permasalahan
yang mungkin timbul dalam wilayah yang demikian antara lain erosi
dan sedimentasi. Semakin intensif perekonomian dalam sektor
pertanian maka semakin tinggi erosi dan sedimentasi. Sedangkan
apabila suatu wilayah kabupaten/kota memiliki struktur ekonomi
industri biasanya akan berdampak terhadap banjir dan pencemaran
yang diakibatkan oleh pembangunan infrastruktur dan kegiatan
industri.
Parameter pendapatan per kapita masyarakat dan pertumbuhan
ekonomi merupakan parameter yang berkaitan dengan kesejahteraan
masyarakat. Semakin tinggi pendapatan per kapita masyarakat
memiliki kecenderungan semakin tinggi kesejahteraan masyarakatnya
dengan asumsi distribusinya yang merata. Sedangkan parameter
pertumbuhan ekonomi menunjukkan kecepatan kesejahteraan suatu
masyarakat dapat dicapai. Parameter kelembagaan menunjukkan
kemampuan lembaga dalam melakukan pengelolaan DAS dari
perencanaan, implementasi, serta monitoring dan evaluasi.
C. Pengumpulan Data
Sesuai dengan tujuan kajian yaitu untuk perencanaan jangka
panjang maka data yang dikumpulkan relatif tidak detail dan
merupakan data sekunder yang dikumpulkan dari instansi terkait
seperti Biro Pusat Statistik Jawa Timur, Bappeda Propinsi Jawa
Timur, Bapedalda Propinsi Jawa Timur, dan Balai Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Brantas, Perum Jasa Tirta I di Malang dan Biro

| 276 |
Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto
dan Paimun)
Pusat Statistik Kabupaten serta Kota yang ada di DAS Brantas.
Disamping itu juga dilakukan wawancara terstruktur pada para pihak
(stakeholders) yang terkait dengan pengelolaan DAS Brantas pada
instansi tersebut di atas.
D. Pengolahan dan Analisis Data
Data kepadatan penduduk dihitung rata-ratanya dan dilakukan
perbandingan dengan standar kepadatan penduduk FAO (1989)
dalam BTPDAS (2000). Struktur ekonomi diolah dari PDRB
kemudian dilakukan analisis proporsi untuk sektor pertanian, industri
dan jasa. Parameter aglomerasi industri dihitung dari jumlah
perusahaan di empat kabupaten kajian. Pendapatan per kapita
masyarakat dihitung dari PDRB dan dibagi dengan jumlah penduduk.
Pertumbuhan ekonomi dihitung dari:

PDRB 2004 – PDRB 2003


G = ______________________ X 100%
PDRB 2003

Kelembagaan pengelolaan DAS dianalisis secara kualitatif.


III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Kajian
1. Kepadatan Penduduk
Berdasarkan hasil perhitungan dari data Jawa Timur Dalam
Angka (Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur, 2004) rata-rata
kepadatan penduduk di DAS Brantas sebesar 1.213 orang/km2
dengan sebaran setiap kabupaten seperti pada Tabel 1. Menurut FAO
(1985) nilai kepadatan penduduk di DAS Brantas termasuk kategori
‘padat’ (>250 orang/km2). Penduduk terpadat ditemukan di Kota
Surabaya sebesar 8.152 orang/km2 dan kepadatannya paling rendah
penduduknya di DAS Brantas adalah Kabupaten Trenggalek sebesar
557 orang/km2.

Tabel 1. Kepadatan Penduduk di Kota dan Kabupaten yang Ada di DAS Brantas
No Kabupaten/ Kota Jumlah Luas Kepadatan
Penduduk (km2) /km2
1. Kota Batu 177.210 92,78 1.910
2. Kota Malang 767.558 110,06 6.974

| 277 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288

No Kabupaten/ Kota Jumlah Luas Kepadatan


Penduduk (km2) /km2
3. Kota Blitar 123.343 32,57 3.787
4. Kota Kediri 252.015 63,40 3.975
5. Kota Mojokerto 111.994 16,46 6.804
6. Kota Surabaya 2.660.487 326,36 8.152
7. Kab. Malang 2.338.837 2.979,41 785
8. Kab. Blitar 1.110.564 1.588,79 699
9. Kab. Kediri 1.474.757 1.386,05 1.064
10. Kab. Tulungagung 960.430 1.046,22 918
11. Kab. Trenggalek 671.308 1.205,22 557
12. Kab. Madiun 657.059 1.010,86 650
13. Kab. Nganjuk 1.028.437 1.224,33 840
14. Kab. Mojokerto 968.318 692,15 1.399
15. Kab. Jombang 1.172.358 903,90 1.297
16. Kab. Sidoarjo 1.682.402 634,39 2.652
Jumlah/rata-rata 16.157.077 13.312,95 1.213
Sumber : Diolah dari Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2005
2. Pendapatan Masyarakat
Besarnya pendapatan rata-rata per kapita merupakan potensi
kesejahteraan masyarakat. Dikatakan potensi karena masih juga
dipengaruhi oleh pemerataan. Apabila pendapatan rata-ratanya besar
dan merata maka kesejahteraan masyarakat secara umum akan lebih
baik. Pendapatan rata-rata masyarakat di DAS Brantas dapat dilihat
pada Tabel 2.

Tabel 2. Pendapatan Per Kapita Penduduk DAS Brantas Tahun 2004


No Kota dan PDRB Jumlah Rata-rata Dibanding
Kabupaten Tahun Pendudk Pndapatan Rata-2
2004 (juta (orang) /tahun Pndapatan
Rp) (Rp/thn) Prop. Jatim
(Rp/thn)
1. Kota Batu 643.669 177.210 3.632.238 <
2. Kota Malang 7.737.210 767.558 10.080.293 <
3. Kota Blitar 465.823 123.343 3.776.647 <
4. Kota Kediri 15.081.532 252.015 59.843.787 >>>

| 278 |
Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto dan Paimun)

No Kota dan PDRB Jumlah Rata-rata Dibanding


Kabupaten Tahun Pendudk Pndapatan Rata-2
2004 (juta (orang) /tahun Pndapatan
Rp) (Rp/thn) Prop. Jatim
(Rp/thn)
5. Kota 846.591 111.994 7.559.253 <
Mojokerto
6. Kota 48.696.101 2.660.487 18.303.453 >
Surabaya
7. Kab. Malang 8.284.798 2.338.837 3.542.272 <
8. Kab. Blitar 3.317.273 1.110.564 2.987.016 <
9. Kab. Kediri 3.595.506 1.474.757 2.438.032 <
10. Kab. 4.697.952 960.430 4.891.509 <
Tulungagung
11. Kab. 1.278.325 671.308 1.904.230 <
Trenggalek
12. Kab. Madiun 5.929.741 657.059 9.024.670 <
13. Kab. Nganjuk 2.845.893 1.028.437 2.767.202 <
14. Kab. 3.350.682 968.318 3.460.311 <
Mojokerto
15. Kab. 3.970.319 1.172.358 3.386.609 <
Jombang
16. Kab. Sidoarjo 12.788.719 1.682.402 7.601.464 <
J u m l ah/Rata2 16.157.07 13.849.367
7
Sumber : Diolah dari Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2005

Keterangan > Pendapatan per kapita Kabupaten Xi lebih besar dari


pendapatan per kapita Propinsi Jawa Timur
< Pendapatan per kapita Kabupaten Xi lebih kecil dari
pendapatan per kapita Propinsi Jawa Timur
>>> Pendapatan per kapita Kabupaten Xi jauh lebih
besar dari pendapatan per kapita Propinsi Jawa
Timur

Dari Tabel tersebut di atas, terdapat data yang memencil (out


layer) yaitu pendapatan rata-rata per kapita Kota Kediri sebesar Rp.
59.843.787,-/tahun sehingga harus dikeluarkan dari perhitungan.
Pendapatan per kapita yang tinggi di Kabupaten Kediri terutama
karena adanya nilai tambah dari Pabrik Rokok PT. Gudang Garam.

| 279 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288
Hasil perhitungan pendapatan rata-rata masyarakat di DAS
Brantas setelah dikeluarkannya Kabupaten Kediri sebesar Rp.
10.129.308,-/tahun. Bila dibandingkan dengan pendapatan rata-rata
per kapita Propinsi Jawa Timur sebesar Rp. 10.965.076,- maka
pendapatan rata-rata masyarakat di DAS Brantas sedikit lebih kecil.
Hampir semua kota dan kabupaten di DAS Brantas memiliki
pendapatan rata-rata lebih kecil dari pendapatan rata-rata masyarakat
di Propinsi Jawa Timur, kecuali Kota Kediri dan Surabaya. Sedangkan
untuk Kota dan Kabupaten yang memiliki pendapatan rata-rata
mendekati pendapatan rata-rata penduduk Jawa Timur adalah
Kabupaten Malang, Madiun, Mojokerto dan Sidoarjo.
Untuk Kabupaten yang lain, pengelolaan DAS sebaiknya
dilakukan dengan mempertimbangkan percepatan pertumbuhan
ekonomi melalui investasi yang produktif disamping untuk kegiatan
konservasi. Percepatan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan
dengan peningkatan investasi, teknologi dan keahlian serta
ketrampilan sumberdaya manusianya yang tentunya dengan
mempertimbangkan konservasi sumberdaya alam yang ada di dalam
DAS Brantas.
Kajian hubungan pertumbuhan ekonomi dan investasi
dilakukan oleh Harod (1939) dan Domar (1946, 1947). Harold dan
Domar menyatakan bahwa suatu masyarakat miskin akibat kurangnya
modal (capital) untuk itu meningkatkan pendapatan masyarakat perlu
dilakukan investasi dari luar. Teori tersebut didasarkan atas teori
sebelumnya tentang lingkaran setan kemiskinan, vicious circle of poverty
(Rosenstein-Rodan, 1943) yang menyatakan pertumbuhan ekonomi
rendah akibat produktivitas masyarakat rendah. Produktivitas rendah
menyebabkan pendapatan masyarakat rendah. Akibat pendapatan
rendah maka tabungan menjadi rendah. Akibat tabungan rendah
maka investasi menjadi rendah. Akibat investasi rendah maka
pertumbuhan ekonomi menjadi rendah. Untuk itu, Harold–Domar
menyampaikan teorinya untuk mengatasi investation gap maka perlu
adanya investasi dari luar wilayah. Investasi akan efektif apabila
ditanamkan pada sektor-sektor yang memiliki perbandingan antara
output dan kapital yang kecil. Artinya untuk mencapai output tertentu
diperlukan kapital yang relatif kecil dibandingkan dengan sektor
lainnya. Dengan adanya keterbatasan sektor pemerintah dalam hal
modal dan keahlian, penanaman investasi dapat melibatkan sektor
swasta. Perencanaan dapat memberikan arah (indikatif), penciptaan
iklim, dan perangsang kegiatan terhadap peran kegiatan usaha swasta
tersebut.

| 280 |
Aspek Sosial Ekonomi....(Purwantodan Paimun)
Dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS, untuk meningkatkan
perekonomian masyarakat tidak harus menginvestasikan langsung ke
on farm sektor tetapi dapat dilakukan di industri hilir. Sebagai contoh
untuk meningkatkan kemajuan pembangunan hutan rakyat dapat
dilakukan dengan memberi kredit kepada industriawan sehingga
industri perkayuan rakyat maju dan membutuhkan bahan baku yang
lebih banyak yang pada akhirnya akan mendorong pembangunan
hutan rakyat. Begitu juga sebaliknya, pada kondisi industri perkayuan
kekurangan bahan baku maka percepatan produksi kayu melalui
penanaman jenis-jenis pohon cepat tumbuh.
3. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan perubahan
PDRB tahun 2003-2004 berdasarkan harga konstan tahun 2000
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kabupaten-kabupaten di
DAS Brantas sebesar 4,9% pada tahun 2003-2004 (Tabel 3). Apabila
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Timur
yang sebesar 4,2% maka rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten-
kabupaten di DAS Brantas lebih besar dibanding pertumbuhan
ekonomi Propinsi Jawa Timur namun masih ada Kabupaten yang
memiliki pertumbuhan di bawah rata-rata yaitu Kabupaten Kediri,
Madiun, dan Trenggalek.
Hal ini sesuai dengan teori double sectors (Lewis, 1955) dimana
sektor perkotaan (industri dan jasa) memiliki surplus ekonomi yang
lebih tinggi dibanding sektor pertanian. Pendapat tersebut didukung
oleh Kindleberger dan Herrick (1977) dan Todaro (1993) yang
menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi pada dasarnya
merupakan suatu proses transformasi struktural yang ditandai dengan
terjadinya pergeseran (share) dari sektor pertanian ke sektor industri
manufaktur dan jasa dalam sistem ekonomi.
Tabel 3. Pertumbuhan Ekonomi Kota dan Kabupaten di DAS Brantas
No Kabupaten PDRB PDRB Kenaikan Pertum
atau Kota Tahun Tahun PDRB buhan
2004 (juta 2003 (juta 2003- (%)
Rp) Rp) 2004
(juta Rp)
1. Kota Batu 643.669 610.155 33.514 5.5
2. Kota Malang 7.737.210 7.314.688 422.522 5.8
3. Kota Blitar 465.823 440.646 25.177 5.7
4. Kota Kediri 15.081.532 14.267.742 813.790 5.7

| 281 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288

No Kabupaten PDRB PDRB Kenaikan Pertum-


atau Kota Tahun Tahun PDRB buhan
2004 (juta 2003 (juta 2003- (%)
Rp) Rp) 2004
(juta Rp)
5. Kota 846.591 800.368 46.223 5.8
Mojokerto
6. Kota 48.696.101 46.181.149 2.514.952 5.4
Surabaya
7. Kabupaten
Malang
8. Kab. Blitar 3.317.273 3.171.001 146.272 4.6
9. Kab. Kediri 3.595.506 3.516.939 78.567 2.2
10. Kab. 4.697.952 4.472.847 225.105 5.0
Tulungagung
11. Kab. 1.278.325 1.231.792 46.533 3.8
Trenggalek
12. Kab. Madiun 5.929.741 5.747.544 182.197 3.2
13. Kab. Nganjuk 2.845.893 2.708.191 137.702 5.1
14. Kab. 3.350.682 3.193.755 156.927 4.9
Mojokerto
15. Kab. 3.970.319 3.782.145 188.174 5.0
Jombang
16. Kab. Sidoarjo 12.788.719 12.119.611 669.108 5.5
Total dan Rata-rata 7.720.633 7.338.970 381.662 4.9
(Total and Average)
Sumber : Diolah dari Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2005
4. Struktur Ekonomi
Struktur ekonomi menunjukkan peranan sektor-sektor
perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa dengan
menggunakan sumberdaya yang tersedia di suatu wilayah. Struktur
ekonomi dibentuk oleh nilai tambah yang diciptakan oleh masing-
masing sektor. Struktur ekonomi kabupaten yang wilayahnya berada
di DAS Brantas seperti disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Struktur Ekonomi Kota dan Kabupaten di DAS Brantas

No Kabu- Pertanian Industri Jasa Total % thd % % In- %Ja- Domi-


paten (juta Rp.) (juta (juta (juta PDRB Per- dustri sa nan
Rp.) Rp.) Rp.) DAS tanian
1. Kota 123.827 69.156 89.925 282.908 43,7 24,4 31,8 Perta-
Batu nian

| 282 |
Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto dan Paimun)

No Kabu- Pertanian Industri Jasa Total % thd % % In- %Ja Domi-


paten (juta Rp.) (juta Rp.) (juta (juta Rp.) PDRB Per- dustri -sa nan
Rp.) DAS tanian
2. Kota 46.718 2.758.648 905.906 3.711.272 1,3 74,3 24,4
Malang Industri
3. Kota 45.250 66.341 129.810 241.401 18,7 27,5 53,8
Blitar Jasa
4. Kota 30.500 11.406.712 129.810 11.567.022 0,3 98,6 1,1
Kediri Industri
5. Kota 9.489 92.754 102.160 204.403 4,6 45,4 50,0
Mojoke
rto Jasa
6. Kota 87.091 15.344.830 2.268.599 17.700.520 0,5 86,7 12,8
Surabay
a Industri
7. Kab. 2.648.099 1.310.339 905.906 4.864.344 54,4 26,9 18,6 Perta-
Malang nian
8. Kab. 1.719.890 100.358 78.380 1.898.628 90,6 5,3 4,1 Perta-
Blitar nian
9. Kab. 1.564.525 404.481 371.440 2.340.446 66,8 17,3 15,9 Perta-
Kediri nian
10. Kab. 962.649 828.829 495.448 2.286.928 42,1 36,2 21,7
Tlngagu Perta-
ng nian
11. Kab. 472.123 92.933 244.498 809.554 58,3 11,5 30,2
Trengg Perta-
alek nian
12. Kab. 230.657 12.750 126.457 369.864 62,4 3,4 34,2 Perta-
Madiun nian
13. Kab. 1.021.005 315.515 244.032 1.580.552 64,6 20,0 15,4
Nganju Perta-
k nian
14. Kab. 919.592 959.512 229.540 2.108.644 43,6 45,5 10,9
Mojoke
rto Industri
15. Kab. 1.530.232 413.512 385.535 2.329.279 65,7 17,7 16,6
Jomban Perta-
g nian
16. Kab. 822.230 6.370.283 435.086 7.627.599 10,8 83,5 5,7
Sidoarj
o Industri
Jumlah 12.233.877 40.546.953 7.142.532 59.923.362

Sumber : Diolah dari Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2005


Sumbangan pendapatan domestik regional bruto menunjukkan
sumbangan sektor pembangunan. Dari 16 Kota dan Kabupaten yang
ada di DAS Brantas: sembilan Kabupaten memiliki struktur ekonomi
pertanian, lima Kabupaten memiliki struktur ekonomi industri dan
dua kabupaten memiliki struktur ekonomi jasa. Hal ini berarti bahwa
perekonomian DAS Brantas banyak dipengaruhi oleh sektor
pertanian. Sedangkan sektor industri menyebar baik di hulu-tengah
maupun hilir.

| 283 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288
5. Kelembagaan
Organisasi yang terkait dengan pengelolaan DAS Brantas
antara lain Balai Pengelolaan DAS Brantas di Surabaya, Dinas yang
terkait sektor Kehutanan di setiap kabupaten, Badan Pengendalian
Lingkungan Daerah Kabupaten, Dinas Kehutanan Propinsi Jawa
Timur dan Bappeda Propinsi Jawa Timur. Rencana pengelolaan DAS
Brantas telah dilakukan oleh BPDAS Brantas: adalah Pola
Pengelolaan DAS (1984), Rencana Teknik Lapangan RLKT Brantas
(1997), dan Rencana Teknik Lapangan RLKT Brantas (1992).
Disamping Rencana tersebut di atas, BAPEDALDA Propinsi Jawa
Timur menyusun Rencana Induk Pengelolaan Lingkungan Hidup
Satuan Wilayah Sungai Brantas. Monitoring dan evaluasi hanya
dilakukan berdasarkan hamparan untuk kegiatan Gerakan Rehabilitasi
Lahan dan pada titik-titik pengamatan untuk pemantauan arus sungai
dan belum dilakukan berdasarkan satuan DAS. Dari uraian tersebut
di atas fungsi manajemen di DAS Brantas: perencanaan (ada),
koordinasi pelaksanaan (ada) walaupun masih lemah dan monitoring
dan evaluasi seluruh DAS masih parsial.
B. Analisis dan Sintesis
Jumlah penduduk memiliki korelasi positif dengan struktur
ekonomi. Untuk Kota dan kabupaten yang memiliki struktur
ekonomi industri dan jasa memiliki jumlah penduduk yang lebih
banyak dari kota dan kabupaten yang memiliki struktur ekonomi
pertanian. Bila dilihat dari jumlah penduduk dan struktur ekonomi
ada teori model dua sektor yang terdiri dari sektor modern yaitu
industri perkotaan dan tradisional yaitu pertanian (Lewis, 1955).
Sektor pertanian ditandai oleh produktivitas sangat rendah atau
bahkan nol sedangkan sektor industri biasanya memiliki produktivitas
yang tinggi. Tenaga kerja akan pindah dari sektor pertanian ke sektor
industri perkotaan akibat adanya perbedaan tingkat upah tenaga kerja
(Fei dan Ranis, 1964). Pergerakan penduduk juga disebabkan oleh
adanya modernisasi pertanian yang menimbulkan berkurangnya
permintaan tenaga kerja di bidang pertanian sawah (Abustam, 1989).
Perserikatan Bangsa-bangsa melaporkan bahwa penduduk dunia
makin lama semakin banyak tinggal di kota, pada tahun 1998 hampir
separuh penduduk dunia tinggal di perkotaan. Laporan ini juga
menyajikan proyeksi bahwa melewati milenium baru, penduduk
perkotaan akan melampaui jumlah penduduk yang tinggal di pedesaan
dan pada tahun 2030 diperkirakan 3/5 penduduk dunia akan tinggal
di perkotaan (United Nation Organization 1998). Hal ini akan
berakibat pada memburuknya kualitas lingkungan di perkotaan yang
| 284 |
Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto
dan Paimun)
salah satunya adalah penyediaan air bersih dan pencemaran
lingkungan yang merupakan bagian dari tugas pengelolaan DAS. Di
kota-kota besar Indonesia, penyediaan air bersih masih menjadi
problem sebagian penduduk. Hal ini juga terjadi di kota-kota pada
penduduk di negara berkembang lainnya seperti: India 735 juta orang
dan Cina 725 juta orang tidak memiliki sanitasi air yang memadai
(Department for International Development, 2005).
Apabila dilihat dari perkembangan pembangunan maka
masyarakat di DAS Brantas dapat dikategorikan dalam tahap
prasyarat untuk menuju tinggal landas. Sektor pertanian merupakan
sektor yang dominan. Sesuai dengan teori linear stages model of
development (Rostow, 1971) menyatakan bahwa proses pembangunan
dapat dibedakan menjadi 5 (lima) tahap yaitu:
1). Masyarakat tradisional (the traditional society), produktivitas per
pekerja masih rendah sehingga sebagian besar sumberdaya
masyarakat digunakan untuk kegiatan sektor pertanian. Pada
masyarakat ini struktur masyarakatnya bersifat herarkis dan
mobilitas vertikal anggota masyarakat sangat kecil.
2). Prasyarat untuk tinggal landas (the preconditions for take off), dalam
tahap ini sektor pertanian memiliki peran yang penting. Peranan
tersebut antara lain: Kemajuan pertanian menjamin penyediaan
bahan pangan bagi penduduk pedesaan dan perkotaan.
Kenaikkan produktivitas sektor pertanian akan memperluas pasar
industri penghasil input pertanian, akan menaikkan penerimaan
pemerintah dari sektor pertanian melalui pajak sektor pertanian,
dan akan menciptakan tabungan yang digunakan sektor lain
sehingga bisa meningkatkan investasi sektor lain.
3). Tinggal landas (take off), pada tahap ini pertumbuhan ini selalu
terjadi, terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi dan
terbukanya pasar-pasar baru. Akibat perubahan tersebut akan
mempercepat laju pertumbuhan pendapatan daerah dan melebihi
tingkat pertumbuhan penduduk, dengan demikian tingkat
pendapatan per kapita semakin besar.
4). Menuju kedewasaan (the drive to maturity); yaitu masa dimana
masyarakat secara efektif menggunakan teknologi modern pada
hampir semua kegiatan produksi. Pada tahap ini sektor-sektor
pemimpin baru akan muncul menggantikan sektor-sektor
pemimpin lama yang akan mengalami kemunduran. Sektor-sektor
pemimpin baru ini coraknya ditentukan oleh perkembangan
teknologi, kekayaan alam dan kebijakan pemerintah, dan

| 285 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288
5). Masa konsumsi tinggi (the age of mass-consumption).
Dari Teori Rostow tersebut berdasarkan pengalaman
pembangunan negara-negara maju dapat dikelompokkan menjadi
tiga sektor yaitu pertanian, industri, dan jasa.
Dari aspek kelembagaan; organisasi perencana, implementator
dan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan DAS Brantas
seluruhnya lengkap namun koordinasi masih lemah. Hal ini perlu
koordinasi dari tahap perencanaan, implementasi, monitoring dan
evaluasi sehingga kegiatan pengelolaan DAS lebih efektif dan efisien.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Penduduk di DAS Brantas relatif padat, yaitu 1.213 orang/km2


2. Pendapatan rata-rata masyarakat Kota dan Kabupaten di DAS
Brantas berada di bawah pendapatan rata-rata masyarakat Jawa
Timur hanya Kabupaten Kediri dan Kota Surabaya yang memiliki
pendapatan rata-rata masyarakat Jawa Timur.
3. Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten-kabupaten di DAS
Brantas sebesar 4,9% setahun yang berada di bawah
pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 4,2%.
4. Terdapat sembilan kabupaten di DAS Brantas yang memiliki
struktur ekonomi pertanian, tiga kota dan dua kabupaten
memiliki struktur ekonomi industri dan dua kota memiliki
struktur ekonomi jasa.
5. Kelembagaan pengelolaan DAS Brantas, secara organisasi
terdapat perencana dan implemetator tetapi tidak ada evaluator
dan koordinasi antar lembaga masih lemah.

B. Saran

Diperlukan perencanaan yang lebih detail untuk perencanaan


lima tahunan pada tingkat Sub DAS yang memuat parameter sosial,
ekonomi dan kelembagaan antara lain:
1. Wilayah yang memiliki penduduk yang padat dan sangat
padat.
2. Tekanan penduduk terhadap lahan akibat penduduk yang
padat.
3. Kantong-kantong kemiskinan untuk memilih strategi
pengelolaan DAS yang dapat meningkatkan pendapatan.
| 286 |
Aspek Sosial Ekonomi....(Purwanto
dan Paimun)
4. Hasil analisis sektor unggulan untuk menentukan investasi yang
dapat memberikan return yang optimal dalam pengelolaan DAS.
5. Pemilihan kegiatan pengelelolaan DAS yang dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
6. Kelembagaan lokal yang mendorong pengelolaan DAS yang
lestari.

DAFTAR PUSTAKA

Abustam, M.I. 1989. Gerak Penduduk, Pembangunan dan Perubahan


Sosial: Kasus Tiga Komunitas Padi Sawah di Sulawesi Selatan.
Seri Tesis. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur. 2004. Jawa Timur Dalam
Angka Tahun 2004. Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur.
Surabaya.
Departemen Kehutanan. 2001. Pedoman Penyelenggaraan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. DitJen. RLPS. Dit. RLKT.
Jakarta.
Department for International Development. 2005. Water Sanitation
and Health. DFID KAR Newsletters, p:3.
Domar, E.D. 1946. Capital Expansion, Rate of Growth and
Employment. Econometrica, April 1946: 137-147.
__________ 1947. The Problem of Capital Accumulation. American
Economic Review, March 1947: 35-55.
FAO. 1985. Applied Research Needs and Soil Conservation
Techniques for Field Trials in the Outer Islands. Minsitry of
Forestry. United Nation Development Programme. Food and
Agriculture Organiation of United Nations. Solo. Indonesia.
Fei, JCH dan G. Ranis. 1964. Development of the Labour Surplus
Economy: Theory and Policy. Homewood, IL: Richard A.
Irwin.Inc.
Harrod, R.F. 1939. An Essay in Dynamic Theory. Economic
Journal.Vol. 9: 14-33.
Kindleberger, C.P. dan B. Herrick. 1977. Economic Development.
Third Development. McGraw-Hill International Book
Company. Tokyo.

| 287 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 273-288
Lewis, W.A. 1954. Economic Development with Unlimited Supplies
of Labour. The Manchester School of Economic and Social
Studies XXII (2) Mei 1954.
Rosenstein-Rodan, P. 1943. Problems of Industrialization of Eastern
and Southeastern Europe. Economic Journal 5 (210-211) Juni-
September 202-211.
Rostow, W.W. 1971. The Stages of Economic Growth, rev. ed.,
Cambridge University Press. Cambridge.
Todaro, M. 1993. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Erlangga.
Jakarta.
Tjokroamidjojo, 1995. Perenecaan Pembangunan. Cetakan Kedelapan
belas PT. Toko Gunung Agung. Jakarta.
United Nation Organization, 1998. World Urbanization Prospects the
1996 Revision: Estimates and Projections and Urban
Agglomerations. Department of Economic, Social Affairs, and
Population Division. New York.

| 288 |
24. PEMBENTUKAN FORUM DAERAH ALIRAN SUNGAI
(DAS) DALAM UPAYA PENINGKATAN FUNGSI DAS
BAGI LINGKUNGAN
(Studi kasus upaya persiapan pembentukan forum DAS
di Kalimantan Selatan)1

Oleh
Wawan Halwan2

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito merupakan salah satu dari empat DAS
di Kalimantan yang kondisi lahannya sudah kritis. DAS Barito merupakan
bagian dari 60 DAS kritis di Indonesia yang menjadi prioritas utama untuk
direhabilitasi. Pembentukan forum DAS di setiap propinsi merupakan salah
satu upaya pemerintah memfasilitasi terbentuknya wadah para pihak yang peduli
dengan penyelamatan DAS-DAS kritis tersebut. Tujuan pembuatan tulisan
ini adalah untuk mengkaji kelembagaan forum DAS dilihat dari aspek proses
pembentukannya, dan hal-hal yang menjadi prospek dan kendala dari forum
DAS di Kalimantan Selatan ini dilihat dari sisi kelembagaannya. Kekuatan
: Forum DAS dibentuk atas Partisipasi masyarakat, Kondisi DAS yang
rusak, Ketersediaan Sumber Daya Manusia, Legalisasi forum DAS.
Kelemahan: Keterlibatan masyarakat hulu kecil, DAS di Kalimantan
Selatan meliputi dua propinsi, Kurangnya sosialisasi, Sumber Dana.
Peluang: Isu bencana dan adanya nilai jual/kompensasi. Ancaman:
Paradigma otonomi yang sempit dan lemahnya koordinasi

Kata kunci : DAS Kritis, forum DAS Kalimantan Selatan, Prospek dan
tantangan

I. PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito merupakan salah satu dari


empat DAS di Kalimantan yang kondisi lahannya sudah kritis. DAS
Barito merupakan bagian dari 60 DAS kritis di Indonesia yang
menjadi prioritas utama untuk direhabilitasi. Di Indonesia saat ini ada

1 Makalah pada Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya
Dukung DAS. Surakarta, 22 Nopember 2007.
2 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru).Jl. Sei Ulin No. 28 B

Banjarbaru Kalimantan Selatan, Telp (0511) 4772085,


wawanhalwany@foreibanjarbaru.or.id
| 289 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 289-299

458 DAS kritis, 60 DAS yang menjadi prioritas utama untuk


ditangani, 222 DAS dalam prioritas kedua, dan 176 DAS prioritas
ketiga. DAS Sungai Barito yang memiliki panjang 1.160 km
mengalami kerusakan ekosistem akibat hutannya terus dibabat.
Kondisi sebagian sungai dan anak-anak sungainya juga rusak serta
mengalami pendangkalan. Bahkan diantaranya ada yang tercemar
akibat penggunaan merkuri dalam kegiatan penambangan emas tanpa
izin, dan limbah rumah tangga (Kompas, 2007).

Dalam lima tahun terakhir (2000-2005) laju deforestasi


(penghilangan hutan) sebesar 1,08 juta ha. Sementara laju rehabilitasi
lahan yang rusak itu setiap tahunnya hanya 500.000 ha hingga 700.000
ha (Direktur Pengelolaan DAS, 2007). Dari luas hutan Indonesia
120,35 juta ha, saat ini 30,83 juta ha sudah tidak berhutan lagi.
Pembentukan forum DAS di setiap propinsi merupakan salah satu
upaya pemerintah memfasilitasi terbentuknya wadah para pihak yang
peduli dengan penyelamatan DAS-DAS kritis tersebut. Saat ini ada
13 propinsi di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi yang sudah membentuk
forum ini. Sementara di Kalimantan, semuanya masih dalam
persiapan (Sunarya, 2007).

Tujuan pembuatan tulisan ini adalah untuk mengkaji


kelembagaan forum DAS dilihat dari aspek proses pembentukannya
dan hal-hal apa saja yang menjadi prospek dan kendala dari forum
DAS di Kalimantan Selatan ini dilihat dari sisi kelembagaannya.
Diharapkan dari tulisan ini dapat memberikan sedikit masukan dalam
proses pembentukan forum DAS di daerah lain sehingga forum DAS
dapat bekerja sabagaimana mestinya.

II. BEBERAPA INFORMASI TENTANG FORUM DAS

Berdasarkan keterangan dari Kasubdit Pengembangan


Kelembagaan Pengelolaan DAS, latar belakang pembentukan forum
DAS adalah sebagai berikut:

 Menteri Kehutanan melalui surat No. S.652/Menhut-V/2006


telah meminta kepada seluruh Gubernur untuk mendorong
pembentukan Forum DAS di daerahnya. Forum DAS daerah
merupakan wadah koordinasi yang tidak struktural (independent)
dapat berperan aktif sebagai pemerhati DAS dan membantu
| 290 |
Pembentukan Forum Daerah....(Wawan Halwany)

pemerintah dalam merumuskan dan mengkoordinasikan


pengelolaan DAS secara efektif.
 Forum DAS daerah dibentuk sebagai wadah komunikasi,
koordinasi, pengkajian dan perumusan kebijakan Pengelolaan
DAS dari berbagai pihak (multi Stakeholders) yang peduli terhadap
kelestarian ekosistem DAS dalam mendukung pembangunan di
Provinsi.
 Forum DAS daerah mempunyai tugas untuk mengkaji dan
merumuskan kebijakan-kebijakan pengelolaan DAS dan
mengoordinasikan dengan lapisan masyarakat, Instansi dan
lembaga terkait sebagai bahan masukan bagi pemerintah baik
pusat maupun daerah dalam penetapan kebijakan yang terkait
dengan kelestarian ekosistem DAS.
 Forum sebagaimana dimaksud Diktum kesatu dalam
melaksanakan tugasnya, melaporkan hasil pelaksanaannya dan
bertanggung jawab kepada Gubernur
 Biaya yang dikeluarkan akibat ditetapkannya keputusan ini
dibebankan kepada Instansi yang terkait melalui program
kegiatan penanganan, pengelolaan daerah aliran sungai dan
sumber-sumber dana lainnya yang sah.
 Forum DAS Nasional adalah wadah koordinasi multipihak di
tingkat Pusat berbasis komitmen bersama untuk memantau,
membina dan memfasilitasi forum DAS di daerah dalam rangka
pengelolaan DAS terpadu di Indonesia.
 Forum DAS Nasional bersifat nonstruktural beranggotakan dari
kalangan pemerintah ditetapkan oleh Menteri. Sedangkan forum
DAS daerah ditetapkan oleh Gubernur.
 Forum DAS sebagai organisasi masyarakat (NGO/LSM) sifatnya
nonstruktural. independent, dan legitimit karena ditetapkan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota akan mampu berperan dalam
mempersatukan para pihak yang terkait dalamDAS secara
terpadu melakukan pengelolaan DAS.
 Forum DAS tidak terpengaruh oleh hirarkhi birokrasi dan
mempunyai waktu yang lebih banyak serta bebas untuk berperan
aktif membantu pemerintah dalam pengelolaan DAS.
 Forum DAS mempunyai SDM yang kuat perlu dimanfaatkan
untuk memikirkan pengelolaan DAS secara berdaya guna.
 Program sektor belum sepenuhnya diarahkan pada konteks
pengelolaan DAS terpadu.

| 291 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 289-299

 Masih ada program sektor yang tidak berwawasan konservasi


DAS
 Belum ada master plan DAS terpadu.
 Isu DAS yang lintas sektor. Oleh karena itu dalam menghimpun
dan menyinergikan kebijakan lintas sektor perlu wadah
koordinasi dalam bentuk forum DAS.
 Keberadaan forum DAS tidak duplikasi, malah akan saling
mendukung dengan wadah koordinasi lain di tingkat daerah.

Hubungan koordinasi antara Direktorat Pengelolaan DAS (DIT


PDAS), BPDAS, Forum DAS, dan Stakeholders, dapat dilihat pada
diagram alur di bawah ini :
koordinasi FORUM DAS NASIONAL ANGGOTANYA DOMINAN
DIT PDAS UNSUR PEMERINTAH PUSAT
fasilitasi

pembina Dorong forum DAS daerah agar


an jalan:
- arahan kebijakan
- hirarkhi
BPDAS - instruksional

fasilitasi

FORUM DAS STAKEHOLDERS


DAERAH DAERAH (dominan
(Anggotanya unsur dinas pemda)
dominan non
pemerintah)

Rekomendasi, Saran
pertimbangan,
informasi,
pertemuan rutin,
pertemuan
insidentil

Sumber : Kasubdit Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan


DAS, 2007
Gambar 1. Diagram hubungan koordinasi multipihak

| 292 |
Pembentukan Forum Daerah....(Wawan Halwany)

Dari Gambar 1 di atas terlihat bahwa Forum DAS Daerah


(anggotanya dominan non pemerintah) berperan untuk memberikan
rekomendasi, saran, pertimbangan, informasi , pertemuan rutin, dan
pertemuan insidentil bagi para stakeholders daerah (dominan unsur
dinas pemda). Kegiatan forum DAS daerah akan difasilitasi oleh
BPDAS. Sedangkan Forum DAS Nasional berperan untuk
mendorong Forum DAS Daerah dengan memberikan arahan
kebijakan, instruksional dan pedoman.

III. KONDISI DAERAH ALIRAN SUNGAI DI


KALIMANTAN SELATAN

Di Provinsi Kalimantan Selatan terdapat 23 DAS, salah


satunya adalah DAS Barito dengan luas 1.720.491,89 ha. DAS Barito
terbagi dalam dua provinsi yaitu Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah. DAS Barito di Kalimantan Selatan terbagi menjadi empat
Sub DAS yaitu Martapura, Alalak, Negara dan Paminggir.
Berdasarkan hasil interpretasi Citra Landsat (3 Mei 2003) keadaan
penutupan lahan di sub DAS Martapura adalah: hutan (165.253,20
ha), belukar (20.607,012 ha), semak /alang-alang (129.149,65 ha),
lahan terbuka(29.116,61ha), Awan (22084,97 ha) dan waduk (7031,64
ha) (Sirang, 2007).

Penurunan luas dan kualitas hutan menyebabkan penurunan


infiltrasi kawasan dan seterusnya meningkatkan aliran permukaan .
Apabila tanah telah jenuh, pada waktu musim hujan, aliran
permukaan tinggi menyebabkan banjir. Semua sungai di DAS –Sub
DAS bagian hulu mempunyai fluktuasi debit di atas batas Koefisien
Regim Sungai (KRS 1 : 80). Keadaan ini dipengaruhi selain oleh
faktor yang telah disebutkan terdahulu juga dipengaruhi oleh luas,
bentuk sistem drainase, kedalaman tanah dan kemiringan kawasan
Daerah Tangkapan Air (DTA). Keadaan air sungai tidak ada satu pun
yang jernih, kecuali jauh di bagian hulu. Air sungai keruh karena di
dalamnya terdapat banyak partikel tanah melayang akibat terjadinya
erosi (permukaan tanah dan sungai). Pada saat ini kondisi hampir
semua DAS-Sub DAS-DTA di Kalimantan Selatan sudah sangat
memprihatinkan sehingga mendesak untuk segera disusun sistem
pengelolaan yang menyeluruh dan berbasis masyarakat (Sirang, 2007).

| 293 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 289-299

Di Kalimantan Selatan kelembagaan DAS nampaknya belum


mendapat perhatian yang memadai dari masyarakat. BPDAS Barito
merupakan organisasi pemerintah pusat tidak dapat berbuat banyak
karena kehadirannya tidak mempunyai wewenang memerintah kepala
daerah. Padahal semua DAS-Sub DAS-DTA berada di daerah. Oleh
sebab itu diperlukan sebuah kelembagaan daerah di tingkat provinsi
sampai kabupaten yang bertugas melakukan koordinasi pada semua
kabupaten/kota dalam melaksanakan arahan Pengelolaan DAS. Di
tingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh organisasi masyarakat yang
mengelola sebuah DTA dan Sub DTA; pemerintah berfungsi sebagai
motivator dan pengawas (Sirang, 2007). Pembentukan forum DAS
yang diprakarsai oleh BPDAS ini merupakan langkah awal yang baik
yang harus didukung oleh semua pihak demi perbaikan lingkungan.

IV. PROSPEK DAN KENDALA PENGEMBANGAN


FORUM DAS DI KALIMANTAN SELATAN

Berikut ini akan dibahas prospek dan tantangan dalam


pengembangan forum DAS di Kalimantan Selatan. Sebagaimana
diketahui forum DAS ini masih baru bagi stakeholder (parapihak) di
Kalimantan Selatan. Selama ini instansi pusat yang konsen pada
bidang DAS adalah BPDAS. Seiring dengan perkembangan jaman
maka partisipasi masyarakat diperlukan dalam pengelolaan DAS
terpadu. Namun karena hal ini dinilai mahal, masih baru, dan
terdapat banyak kekurangan maka perlu dianalisis faktor-faktor yang
mendukung/prospek dan tantangan dalam pengembangan forum
DAS ini.

A. Kekuatan
a. Forum DAS dibentuk atas Partisipasi masyarakat
Forum DAS merupakan wadah yang dibentuk berdasarkan
partisipasi peserta. Forum ini sifatnya independent dan bebas dari
tekanan siapa pun. Pada saat ini pembentukan formatur DAS
merupakan langkah awal yang baik bagi Kalimantan Selatan
sehingga nantinya forum DAS ini dapat mendukung pengelolaan
DAS lebih baik lagi.

b. Kondisi DAS yang rusak


Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah

| 294 |
Pembentukan Forum Daerah....(Wawan Halwany)

Kalimantan Selatan, menyatakan ada enam dari 12 DAS di empat


kabupaten yang kondisinya sangat kritis karena sebagian besar tidak
berhutan lagi dan lingkungan sungai yang buruk. Kondisi hutan enam
DAS tersebut tinggal 30 %, akibat dari kegiatan penebangan pohon,
perladangan, kebakaran hutan, penambangan baik yang legal maupun
ilegal. Sungai-sungainya juga mengalami sedimentasi tinggi.

Hal ini merupakan kekuatan dari lembaga Forum DAS Daerah.


Dimana forum ini diperlukan untuk memberikan masukan
berdasarkan kajian-kajian dalam pengelolaan DAS. Selain itu forum
ini sifatnya independent sehingga diharapkan suara dari forum DAS ini
dapat didengar oleh parapihak baik itu dari pihak pertambangan,
pertanian perkebunan, kehutanan, atau pihak manapun yang
berkepentingan dengan Daerah Aliran Sungai khususnya DAS
Barito.

c. Ketersediaan SDM
Sumber daya manusia dalam forum DAS di Kalimantan Selatan
cukup baik. Dimana salah satu ketuanya adalah seorang dosen
dari perguruan tinggi di Kalimantan Selatan yang diakui oleh
seluruh peserta yang hadir untuk memimpin forum ini Lampiran
1). Selain menguasai kondisi DAS di Kalimantan Selatan juga
mempunyai perhatian yang baik terhadap kondisi DAS tersebut.
Di samping itu, SDM lainnya dalam forum DAS ini juga memiliki
kapasitas dalam pengelolaan DAS di Kalimantan Selatan.

d. Legalisasi forum DAS


Pembentukan forum DAS saat ini baru pada tahapan persiapan.
Namun nanti pada akhirnya forum DAS yang terbentuk ini akan
ditandatangani oleh pihak Gubernur. Hal ini merupakan legalitas
yang cukup kuat dari forum DAS ini untuk menyuarakan
pengelolaan DAS. Diharapkan forum DAS ini mempunyai posisi
tawar yang baik bagi para pihak yang berkepentingan dalam
memanfaatkan kawasan DAS.

B. Kelemahan
a. Keterlibatan masyarakat hulu kecil
Kelemahan upaya pembentukan forum DAS di Kalimantan
Selatan adalah keterlibatan masyarakat kawasan sekitar hulu DAS

| 295 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 289-299

sangat kecil. Sebagai bagian dari sistem DAS, masyarakat sekitar


hulu mempunyai tanggung jawab yang besar untuk menjaga DAS
sehingga kondisi DAS dapat berfungsi optimal. Kita tidak bisa
menyalahkan secara langsung masyarakat sekitar DAS dalam
memanfaatkan kawasan hulu dari DAS tersebut. Harus ada upaya
yang konkrit dari pemerintah daerah untuk membina masyarakat
sekitar hulu dalam pemanfaatan lahan hulu. Masyarakat sekitar hulu
tidak boleh hanya dilarang dalam pemanfaatan kawasan DAS hulu
tersebut. Namun harus ada upaya strategis dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat hulu.
Salah satu upaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat hulu
adalah:
- Adanya pola-pola pemanfaatan lahan yang ramah lingkungan
atau sustainable, seperti menerapkan pola-pola agroforestry.
Dimana pada pola ini masyarakat diajak untuk peduli
terhadap lingkungan selain pemanfaatan langsung bagi
kehidupannya.
- Dalam proyek kehutanan masyarakat/agroforestry, partisipasi
masyarakat perlu dilibatkan baik dalam perencanaan maupun
pelaksanaannya.
- Perlu adanya kompensasi bagi masyarakat sekitar hulu dalam
menjaga kawasan hulu dari DAS. Perlu dicari pihak-pihak
siapa saja yang wajib membayar dalam pemanfaatan DAS.
Seperti pihak PLN daerah atau produsen air minum yang
memanfaatkan air yang berasal dari DAS. Pihak yang
memanfaatkan perlu membayar untuk kompensasi bagi
masyarakat sekitar hulu dalam menjaga kondisi DAS di
bagian hulu.

b. DAS di Kalimantan Selatan meliputi dua propinsi


Hal ini merupakan kelemahan yang harus diatasi oleh forum DAS
di Kalimantan Selatan dimana pada bagian hulu DAS Barito
meliputi kawasan Propinsi Kalimantan Tengah. Dengan demikian
perlu dilakukan koordinasi yang lebih intensif dengan pihak
provinsi Kalimantan Tengah.

c. Kurangnya sosialisasi
Sosialisasi rencana pembentukan forum DAS ini terasa kurang
bagi para peserta. Peserta tidak dibekali informasi yang cukup
pada saat diundang, sehingga wakil yang ada dari pihak yang
diundang tidak cukup mempunyai wewenang dalam pembentukan
| 296 |
Pembentukan Forum Daerah....(Wawan Halwany)

forum DAS ini. Oleh karena itu diharapkan perlu adanya sosialisasi
yang lebih intensif lagi dalam pembentukan forum DAS ini, sehingga
pihak-pihak yang berkepentingan akan mengetahui mengenai fungsi
dan peranan dari forum DAS daerah ini.

d. Sumber Dana
Sumber dana meruapakan hal penting dalam forum DAS ini.
Perlu ada keinginan yang kuat dari pemerintah daerah dalam
mendukung kegiatan forum DAS ini, dan diharapkan forum
DAS ini dapat bekerja sebagaimana mestinya.

C. Peluang
a. Isu bencana
Musibah atau bencana alam yang hampir tiap tahun terjadi di
Kalimanatan Selatan merupakan peluang bagi forum DAS dalam
memberikan masukan/rekomendasi bagi daerah dalam
pengelolaan lingkungan dan tata guna lahan khususnya yang
menyangkut dengan Daerah Aliran Sungai. Isu bencana bisa
dijadikan poin dalam menekan pihak-pihak yang memanfaatkan
potensi sumber daya alam yang tidak sesuai dengan aturan yang
ada dan melanggar aspek kelestarian lingkungan.
b. Adanya nilai jual/kompensasi
Adanya nilai jual jasa lingkungan merupakan peluang bagi forum
DAS dalam mengelola kawasan DAS di Kalimantan Selatan. Hal
ini merupakan peluang bagi forum DAS dalam mengelola jasa
lingkungan di Kalimantan Selatan.

D. Ancaman
a. Paradigma otonomi yang sempit
Paradigma otonomi daerah yang sempit perlu ditiadakan.
Anggapan bahwa otonomi daerah mempunyai wewenang penuh
atas pengelolaan sumber daya alam demi pendapatan daerah perlu
ditiadakan. Pengelolaan sumber daya alam khususnya Daerah
Aliran Sungai harus memperhatikan aspek-aspek yang terkait.
Pengelolaan DAS harus bersifat integral, lintas sektoral, dan lintas
administrasi pemerintahan, sehingga otonomi daerah jangan
diartikan pemerintah bebas dalam pengelolaan daerah sungai.
Namun perlu diperhatikan aspek yang berkaitan dengan
pengelolaan daerah sungai.

| 297 |
PROSIDING Workshop, 2009 : 289-299

b. Lemahnya koordinasi
Lemahnya koordinasi dalam pembentukan forum DAS in
merupakan ancaman dalam keberlanjutan forum DAS. Sebaiknya
dalam rencana pembentukan forum DAS perlu dilakukan tahapan
pertemuan sebelum secara forum yang lebih besarOleh karena itu
ada pemahaman yang sama mengenai forum DAS ini.

IV. PENUTUP

1. Forum DAS daerah dibentuk sebagai wadah komunikasi,


koordinasi, pengkajian, dan perumusan kebijakan Pengelolaan
DAS dari berbagai pihak (multi Stakeholders) yang peduli terhadap
kelestarian ekosistem DAS dalam mendukung pembangunan di
Provinsi.
2. Forum DAS tidak terpengaruh oleh hirarkhi birokrasi dan
mempunyai waktu yang lebih banyak serta bebas untuk berperan
aktif membantu pemerintah dalam pengelolaan DAS.
3. Dalam proses pembentukan Forum DAS untuk mengoptimalkan
proses sebaiknya melibatkan tim fasilitator. Diharapkan dengan
menggunakan fasilitator dapat mengatur dan mengarahkan
peserta dalam pemahaman mengenai tujuan pembentukan Forum
DAS ini.

DAFTAR PUSTAKA

Direktur Pengelolaan DAS. 2007. Kebijakan Umum Pengelolaan


DAS. Makalah disampaikan dalam rangka Lokakarya
Pembentukan Forum DAS Barito Kalimantan Selatan.
Banjarbaru. Tidak dipublikasikan.

Sunaryo, N. 2007. Upaya Pengembangan Forum DAS di Indonesia.


Makalah disampaikan dalam rangka Lokakarya
Pembentukan Forum DAS Barito Kalimantan Selatan.
Banjarbaru. Tidak dipublikasikan.
Kompas. 2007. DAS Empat Sungai Besar di Kalimantan Selatan
Makin Kritis. www.kompas.com/kompas-
cetak/0710/31/daerah/3964002.htm-51k-

Sirang, K. 2007. Pembentukan Forum DAS Propinsi Kalimantan


Selatan (Aspek Kelembagaan). Makalah disampaikan
dalam rangka Lokakarya Pembentukan Forum DAS Barito
Kalimantan Selatan. Banjarbaru. Tidak dipublikasikan
| 298 |
Pembentukan Forum Daerah....(Wawan Halwany)
Lampiran 1. Draft kepengurusan forum DAS Kalimantan Selatan
LAMPIRAN : KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN
SELATAN
NOMOR :
TANGGAL :
SUSUNAN PERSONALIA FORUM DAERAH ALIRAN
SUNGAI (DAS)
PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERIODE 2007-2011

I. Pembina : Gubernur Kalimantan Selatan


II. Ketua Umum : Ir. KARTA SIRANG, MS.
Ketua I : Kepala BAPEDALDA
Ketua II : HEGAR, SP. (LSM. WALHI)
III. Sekretaris : Ka. BPDAS Barito
Wakil Sekretaris : Ka.SubDin Bina Hutan,Dishut Prop.KalSel
IV. Bendahara : PT. ADARO
V. Komisi-Komisi
1. Rehabilitasi dan Konservasi DAS
Koordinator : Prof. Dr. Ir. H. M. RUSLAN, MS
Anggota : 1.
2. Tata Air DAS
Koordinator : Ka. Dinas KimPraswil
Anggota : 1.
3. Pemberdayaan Masyarakat
Koordinator : LSM. BASTARI
Anggota : 1.
4. Kelembagaan/Kerjasama
Koordinator : LSM. RINDANG BANUA
Anggota : 1.
5. Pemantauan dan Evaluasi
Koordinator : Ir. H. SYARIFUDIN K. MSi.
Anggota : 1.
6. Tata Ruang/Wilayah
Koordinator : Kepala Bidang Tata Ruang (BAPPEDA Kal-
Sel)
Anggota : 1.
7. Sekretariat (Tempat) : Kantor BPDAS Barito

Jln. Sei Ulin No. 28 A. Banjarbaru


GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

Drs. H. RUDI ARIFIN


| 299 |
PROSIDING Workshop, 2009

JADWAL ACARA

Jam Acara
08.30 – 09.20 Pendaftaran
08.30 – 09.20 - Laporan Penyelenggaraan Workshop
- Sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa
Tengah
- Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan
- Pembacaan Do’a
09.20 – 09.45 Istirahat/snack
Pleno Bidang (1-3) :
1. Peran Hutan Dalam Pengendalian Bencana Banjir-
Kekeringan-Tanah Longsor (identifikasi masalah dan
teknik pengendalian)
Dr. Ir. Robert J. Kodoatie
2. Sumbangan Hutan Terhadap Pasokan Air (fisik-
ekonomi)
Prof. Dr. Daniel Murdyarso
3. Kelembagaan Kehutanan dalamPengelolaan Daerah
Aliran Sungai
Dr. Saeful Rachman, M.Sc(Direktorat Pengelolaan
DAS)
12.00 – 13.00 Ishoma
Sidang Kelompok/Komisi dan Sintesis (Bidang 1, 2 dan 3)
13.00 – 14.45
Sessi I Peran Hutan Dalam Pengendalian Bencana Banjir-
Kekeringan-Tanah Longsor
Ketua Sidang Dr. Ir. Robert J. Kodoatie
Sekretaris Ir. Nining W, M.Sc
1. Hubungan Luas Tutupan Hutan Terhadap Potensi
Banjir dan Koefisien Limpasan di Beberapa DAS di
Indonesia
Nana Mulyana
2. Peran Hutan dalam Pengendalian Tanah Longsor
Sukresno
3. Analisis Tingkat Kekeringan Sebagai Dasar dalam
Pengelolaan DAS yang Berhutan di DAS Progo
Sudibyakto
13.00 – 14.45
Sessi II Sumbangan Hutan Terhadap Pasokan Air
Ketua Sidang Prof. Dr. Daniel Murdyarso
Sekretaris Ir. Heru D. Riyanto
1. Sumbangan Hutan terhadap Hasil Air
Sigit Hardwinarto

| 300 |
Lampiran-lampiran

Jam Acara
2. Nilai dan Distribusi Ekonomi Pengelolaan Kawasan
Lindung Sebagai Pengatur Tata Air : Kasus di Sub
DAS Brantas Hulu
Kirsfianti L. Ginoga
3. Neraca Air di Dalam HutanHutan
Irfan Budi Pramono
13.00 – 14.45
Sessi III Kelembagaan Kehutanan Dalam Pengelolaan DAS
Ketua Sidang Dr. Saeful Rachman, M.Sc
Sekretaris Ir. Dewi R I
1. Kelembagaan Pengelolaan DAS
Hendro Prahasto
2. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Air dan
Hasil Air dari Hutan
Purwanto
3. Peran Pemerintah Daerah dalam Rehabilitasi DAS
Sri Puryono
14.45 – 15.00 Istirahat/snack
Diskusi dan Paparan Hasil
15.00 – 16.00 Diskusi Pleno
Ketua Sidang Dr. Harry Santoso
Sekretaris Ir. Sukresno, M.Sc
1. Paparan Hasil Sidang Komisi Bidang I
Dr. Ir. Robert J. Kodoatie
2. Paparan Hasil Sidang Komisi Bidang II
Prof. Dr. Daniel Mudyarso
3. Paparan Hasil Sidang Komisi Bidang III
Dr. Saeful Rachman, M.Sc
16.00 – 16.30 Penutupan

| 301 |
PROSIDING Workshop, 2009

DAFTAR PESERTA

NO. NAMA INSTANSI


1. A. Kristano Balitbangda Jateng
2. Abdul Munir Dishutbun
3. Adinda Kusumadewi BPDAS Pemali
4. Agus Dwiandono Tn. Bromo Tengger Semeru
5. Agus Salim Bapedal Prov. Jateng
6. Agus Wuryanta BPK Solo
7. Anwar P3HKA
8. Aris Boediyono BPK Solo
9. Bambang S. Antoko BPK Aek Nauli
10. Bambang Sunarto Pusair
11. Beny Harjadi BPK Solo
12. C. Nugroho SP. P3HT
13. Cuk Sunaryono PSDA Jateng
14. Daniel Mudyarso CIFOR/Mipa IPB
15. Dewi Retno I BPK Solo
16. Dian Banjar Agung BTN Baluran
17. Djoko Widagdo BPK Solo
18. Dody Prakosa BPK Palembang
19. Dody Setiadi B2PD
20. Dona Octavia BPK Solo
21. Dradjad BPK Solo
22. Dwi Kristanto Forest
23. Dwianto Tn. Merbabu
24. Edy Subagyo BPK Solo
25. Eko Priyanto BPK Solo
26. Erna Satriana Pusat Litbang SDA
27. Giri Tutuko BPSDA Bengawan Solo
28. Gunarjo BPK Makasar
29. Harry Santoso P3HT
30. Hatma Fak. Kehutanan UGM
31. Hendro Prahasto Puslit Sosek
32. Henie Eka W BPK Solo
33. Heru D.R BPK Solo
34. Herudoyo BPDAS
35. Hunggul Y. BPK Makasar
36. IGD. Oka Suparta BPTP Samboja
37. Iman Santoso Puslit Sosek
38. Irfan Budi Pramono Balai Penelitian Kehutanan Solo
39. Irfan Budi Pramono BPK Solo
40. Ismatul Hakim Puslit Sosek

| 302 |
Lampiran-lampiran
NO. NAMA INSTANSI
41. Judi Kurniawan ESP USAID
42. Karman BPSDA Bengawan Solo
43. Kristian M. BPK Manado
44. Kumala Nurhayati BPDAS Solo
45. Lily Mahisa Pusdal Reg. II
46. Minto Basuki BKSDA Jateng
47. Nana Mulyana Fak. Kehutanan IPB
48. Nardi BPK Solo
49. Nining W BPK Solo
50. Nova Indri Hapsari BTN Gunung Cermai
51. Nurhadi BTN Gn Merapi
52. Oka Karyanto Fak. Kehutanan UGM
53. Paimin BPK Solo
54. Pamungkas B P BPK Solo
55. Pipin P. BPK Ciamis
56. Prapto Suhendro BPK Solo
57. Purwanto Puslitbang Cepu
58. Purwanto Balai Penelitian Kehutanan Solo
59. Purwijanto Wisnubroto BPK Solo
60. Purwoto Pustanling
61. Putu Sudira Fak. TP UGM
62. Radika Pusair
63. Robert J. Kodoatie Fak. T Sipil UNDIP Semarang
64. Saeful Rachman Direktorat pengelolaan DAS
65. Salamah Retnowati BPK Solo
66. Sigit Hardwinarto Fak. Kehutanan UNMUL
67. Sikamto BPK Solo
68. Sinta Damayanti BPDAS Solo
69. Soenarno P3HT
70. Soewarti BPK Solo
71. Sofyan D. Majokayo Pusat Litbang SDA
72. Sri Suparti BPDAS Pemali
73. Sudarsono Puslitbang PHT
74. Sudibyakto Fak. Geografi UGM
75. Sukirno Fak. TP UGM
76. Sukresno Balai Penelitian Kehutanan Solo
77. Sunaryo BPK Solo
78. Supri Fak. Kehutanan UGM
79. Surachman BPK Solo
80. Susi Abdiyani BPK Solo
81. Sutarman A BPK Solo
82. Sutarmin Balai Besar Wil. Sungai Brantas

| 303 |
PROSIDING Workshop, 2009

83. Sutedjo BPK Solo


84. Sutomo BPK Solo
85. Sutopo Fak. Pertanian UNS
86. Syahrul Donie BPHPS
87. Teguh Suprapto PERSEPSI
88. Titus Muladi BKSDA Jogjakarta
89. Tri Wilaida BPTP Bogor
90. Triyono,MP Dishut Prop. Jateng
91. U.W. Heri P BPK Solo
92. Untung Suprapto BTN Merbabu
93. Wahyu Budiarso BPK Solo
94. Wardojo BPK Solo
95. Wardoyo Dishutbun Pacitan
96. Wawan Halwany BPK Banjarbaru
97. Wuri Handayani BPK Ciamis
98. Y. Sugiyono BKSDA
99. Yogi Wulan P BPK Solo
100. Yonki Indrajaya BPK Ciamis

| 304 |
Lampiran-lampiran

DISKUSI

Bidang I. Peran Hutan dalam Pengendalian Bencana Alam.

1. Peran Hutan Dalam Pengendalian Bencana Banjir-Kekeringan-


Tanah Longsor (Identifikasi Masalah Dan Teknik Pengendalian) )
Robert J. Kodoatie
o Bencana-bencana banjir, longsor dan kekeringan yang sering
melanda merupakan bukti dari degradasi lingkungan.
o Hutan bisa menahan run-off (aliran permukaan), sehingga
apabila hutan digunduli atau menjadi kawasan pemukiman
maka aliran permukaan akan meningkat signifikan dan
terjadilah banjir di musim penghujan dan waktu musim
kemarau tidak ada lagi air yang tersisa sehingga terjadilah
kekeringan.
2. Hubungan Luas Tutupan Hutan Terhadap Potensi Banjir Dan
Koefisien Limpasan Di Beberapa DAS Di Indonesia
Nana Mulyana, Cecep Kusmana, Kamaruddin Abdulah, Lilik B. Prasetio
o Keampuhan tipe hutan dan penggunaan lahan dalam
mengendalikan banjir adalah sejauh mana rasio total hujan
yang mampu diresapkan kedalam tanah pada kondisi
intensitas hujan tinggi.
o Hutan sangat efektif dalam pengendalian aliran permukaan
karena mempunyai jumlah resapan yang tinggi, karena sistem
perakaran dan serasah sangat mendukung peresapan air.
o Kapasitas infiltrasi hutan selalu lebih besar dari intensitas
hujan maksimum sehingga luas hutan sangat signifikan
terhadap pengurangan potensi banjir.
3. Peran Hutan Dalam Pengendalian Tanah Longsor
Sukresno
o Peran positif hutan dalam pengendalian longsor ditunjukkan
oleh kemampuan vegetasi dalam meningkatkan kuat geser
tanah dan menurunkan tegangan geser tanah.
o Peran negatifnya ditunjukkan oleh pengaruh vegetasi dalam
menurunkan kuat geser tanah dan meningkatkan tegangan
geser tanah.
o Vegetasi hutan mempengaruhi stabilitas lereng, dapat
diketahui dari berat biomassnya, bentuk sistem perakaran,

| 305 |
PROSIDING Workshop, 2009

kedalaman akar, distribusi/sebaran perakaran, susunan akar,


dan kekuatan akar.
Bidang II: Peran Hutan Sebagai Pemasok Air Dan Pengendali
Kekeringan

4. Peranan Vegetasi Hutan dalam Mengatur Pasokan Air


Daniel Murdyarso, Sofyan Kurnianto
o Peranan vegetasi (hutan) sangat tergantung pada kondisi
iklim setempat. Hutan tidak menambah aliran sungai (debit),
tetapi justru menguranginya. Namun demikian hutan dapat
mengatur fluktuasi aliran sungai karena peranannya dalam
mengatur limpasan dan infiltrasi
o Pengaruh hutan sangat ditentukan skala penutupan lahannya
namun alih-guna lahan’ khususnya pengurangan penutupan
hutan hingga 15 persen tidak memberikan pengaruh yang
berarti tehadap pasokan air. Karena itu penggunaan lahan
dapat diatur secara partisipatif sesuai dengan kepentingan
masing-masing pihak
o Perubahan iklim memberikan pengaruh yang nyata,
khususnya pada musim kemarau, baik terhadap AET
maupun SMD.

5. Analisis Tingkat Kekeringan sbg Dasar Dalam Pengelolaan DAS


Yang Berhutan di DAS Progo
Sudibyakto
o Wilayah DAS Progo secara hidrometeorologis dapat
dibedakan menjadi tiga mintakat kekeringan, yaitu zone
kekeringan ringan, sedang dan tinggi.
o Variasi nilai Ia (indeks kekeringan) selain ditentukan oleh
curah hujan, juga variasi dari nilai evapotranspirasi, kapasitas
tanah menahan air, dan jenis penggunaan lahan.
o Secara umum, daerah penelitian dalam jangka panjang tidak
mengalami déficit air (kekeringan) yang berarti terutama pada
Sub DAS hulu, namun terjadinya kekeringan akan muncul
bilamana kondisi Sub DAS telah mengalami degradasi
lingkungan.

| 306 |
Lampiran-lampiran

6. Sumbangan Hutan Terhadap Hasil Air


Sigit Hardwinarto
o Sumbangan hasil air dari beberapa kawasan hutan relatif
berbeda, karena dibatasi oleh faktor geografis, biogeofisik
dan iklim yang relatif beragam.
o Sumbangan hasil air dari DAS berhutan yang memiliki
fluktuasi aliran air dari yang rendah sampai tinggi secara
berurutan yaitu kawasan peruntukan Hutan Lindung,
Pengusahaan Hutan Alam Produksi (HPH), Pemasok Air
Waduk, Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), serta
Kombinasi Peruntukan seperti HPH, HTI, Taman Nasional,
Perkebunan, Pertambangan dan lain-lain.
o Ada kemungkinan kecenderungan menurunnya nilai
persentase luasan hutan terhadap luasan DAS dapat
mempengaruhi penurunan kualitas air.

7. Neraca Air Di Dalam Hutan


Irfan Budi Pramono
o Evapotranspirasi merupakan faktor utama dalam mengelola
hutan untuk menghasilkan air.
o Dalam rangka pelestarian sumber daya hutan dan air maka
tingkat evapotranspirasi dari jenis hutan serta tingkat infiltrasi
di bawahnya harus diperhitungkan dengan teliti.
o Sepanjang curah hujan jauh lebih besar dari evapotranspirasi
dan tingkat infiltrasi lebih besar dari tingkat evapotranspirasi
maka penamanan tanaman hutan di suatu wilayah dianggap
aman dari masalah kelangkaan air.

Bidang III. Peran Kelembagaan Kehutanan dalam Pengelolaan


DAS
8. Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Saeful Rachman
o Pengelolaan DAS jelas melibatkan banyak pihak yang
berkepentingan baik lintas sektoral maupun lintas wilayah
administrasi sehingga untuk mewujudkan tujuan pengelolaan
DAS terpadu diperlukan kelembagaan yang memadai yang

| 307 |
PROSIDING Workshop, 2009

dapat memfasilitasi koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan


sinegi antar pihak berkepentingan.
o Walupun beberapa lembaga koordinatif ”Forum DAS” telah
terbentuk namun masih banyak tugas dan fungsi forum
belum berjalan secara optimal karena masih menghadapi
berbagai kendala dan permasalahan yang cukup kompleks.

9. Kelembagaan Pengelolaan DAS


Hendro Prahasto
o Untuk meningkatkan efektivitas koordinasi dan partisipasi
para pihak, harus membangun suatu komunikasi yang baik
dan tata kerja yang jelas yang didasarkan atas kebersamaan
dan diagendakan dalam suatu program kerja.
o Forum DAS yang telah ada diarahkan sebagai organisasi non
struktural, dan bersifat independen yang berfungsi untuk
membantu memecahkan permasalahan yang timbul dan
merumuskannya secara bersama-sama dalam wilayah DAS
seperti konflik kepentingan antar sektor, antar pemerintah
daerah serta dalam mengintegrasikan berbagai program dan
kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.
o Untuk dapat terciptanya Badan Koordinasi Pengelolaan DAS
perlu adanya payung hukum, minimal dalam bentuk
Keputusan Presiden.
10. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Air Dan Hasil Air Dari
Hutan
Purwanto
o Diperlukan kelembagaan yang anggotanya meliputi seluruh
stakeholder baik pengelola maupun pemanfaat air dari hutan.
o Kajian kelembagaan yang sebaiknya dilakukan antara lain: a).
kajian peraturan pelaksanaan dan perundangan yang terkait
serta kebijakan yang diambil oleh masing-masing sektor, b).
kajian kelembagaan dan kompensasi hulu hilir, c). kajian pola
pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh sektor-sektor
terkait, dan d). kajian kelembagaan internasional untuk
mengatasi masalah perubahan iklim.
11. Peran Pemerintah Daerah Dalam Rehabilitasi Daerah Aliran
Sungai
Sri Puryono

| 308 |
Lampiran-lampiran
o Kompleksitas permasalahan kelembagaan di Provinsi
maupun Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan
pengelolaan DAS tidak terlepas dari komponen yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan DAS pada masing-
masing wilayah, utamanya kelembagaan Pertanian dan
Kehutanan, Penataan Ruang dan Wilayah, Kelautan dan
Perikanan, Lingkungan Hidup, dan juga kelembagaan
administratif.

| 309 |
PROSIDING Workshop, 2009

Lampiran 1. Susunan Acara Workshop “Peran Hutan dan


Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS”
Surakarta, 22 Nopember 2007.

NO WAKTU KEGIATAN PELAKSANA


1 08.00 – 08.30 Pendaftaran Peserta Panitia
2 08.30 – 09.20 Acara Pembukaan MC : Insiwi Tuti W,
- Laporan B.Sc
Penyelenggaraan Ir. Edy Subagyo,
Workshop M.P
(Ka BPK Solo)
- Kata Sambutan Ir. Sri Puryono,
M.P
(Kepala Dinas
Kehutanan Prop.
Jateng)
- Pembukaan Ir. Anwar, M.Sc
Workshop (mewakili Kepala
Badan Litbang
Kehutanan)
- Doa Eko Priyanto
4 09.20 – 09.45 Break Pagi
5 Pleno Bidang (1-3) :
09.45-12.15 1. Peran Hutan Dalam Dr. Ir. Robert J.
Pengendalian Kodoatie
Bencana Banjir- (F-T Sipil UNDIP
Kekeringan-Tanah Semarang)
Longsor
(identifikasi
masalah dan teknik
pengendalian)
2. Sumbangan Hutan Prof Dr. Daniel
Terhadap Pasokan Murdyarso
Air (fisik-ekonomi) (CIFOR/F-Mipa IPB)
3. Kelembagaan Dr. Saeful
Kehutanan Rachman, M.Sc
dalamPengelolaan (Direktorat
Daerah Aliran Pengelolaan DAS)
Sungai
6 12.00 – 13.00 ISHOMA
| 310 |
Lampiran-lampiran

NO WAKTU KEGIATAN PELAKSANA


7 Sidang Kelompok/ Komisi dan Sintesis (Bidang 1, 2 dan 3)
13.00 – 14.45 Bidang 1 Peran Hutan Moderator : Dr. Ir.
Dalam Robert J. Kodoatie
Pengendalian Sekretaris : Ir. Nining
Bencana W, M.Sc
Banjir-
Kekeringan- Ir. Nana Mulyana,
Tanah M.Sc
Longsor (F-Kehutanan IPB)
(Ruang : Soemardjo
Ballroom)
4. Hubungan Luas Ir. Sukresno, MSc
Tutupan Hutan (BPK Solo)
Terhadap Potensi Dr. H.A Sudibyakto,
Banjir dan MS
Koefisien (F-Geografi UGM)
Limpasan di
Beberapa DAS di
Indonesia
5. Peran Hutan
terhadap
Pengendalian
Longsor
6. Analisis Tingkat
Kekeringan
Sebagai Dasar
Dalam
Pengelolaan DAS
yang Berhutan di
DAS Progo
13.00 – 14.45 Bidang 2 Sumbangan Moderator : Prof Dr
Hutan Terhadap Daniel Mudyarso
Pasokan Air Sekretaris : Ir. Heru
(Ruang Triwindu I, D. Riyanto
Lantai I)
1. Sumbangan Hutan Dr Ir Sigit
terhadap Hasil Air Hardwinarto, M. Agr
(F-KehutananUNMUL)
2. Nilai dan Distribusi Dr Krisfianti L. Ginoga
Ekonomi Peng. (Puslit Sosek dan
Kaw. Lindung Sbg Kebijakan Kehutanan)
Pengatur Tata Air
: Kasus di Sub
DAS Brantas Hulu
3. Neraca Air Hutan Drs Irfan BPramono,
MSc (BPK Solo)
| 311 |
PROSIDING Workshop, 2009

NO WAKTU KEGIATAN PELAKSANA

13.00 – 14.45 Bidang 3 Moderator : Dr.


Kelembagaan Saeful Rahman, M.Sc
Kehutanan dalam Sekretaris : Ir. Dewi R
Pengelolaan DAS I, M.Si
(Ruang : Triwindhu II,
lantai I)

1.Kelembagaan Ir Hendro Prahasto,


Pengelolaan DAS MP (Puslit Sosek)
2. Kelembagaan Ir Purwanto (BPK
Pengelolaan Solo)
Sumber Daya
Airdan Hasil Air
dari Hutan
3. Peran Pemerintah Ir. Sri Puryono, M.P
Daerah Dalam (Kadishut Prop
Rehabilitasi DAS Jateng)
8 14.45 – 15.00 Break Sore
9 Diskusi dan Paparan Hasil
15.00 – 16.00 Diskusi Pleno Moderator : Dr. Harry
(Ruang : Soemardjo Santoso
Ballroom) Sekretaris : Ir.
Sukresno, M.Sc
1. Paparan Hasil Sidang Dr. Ir. Robert J.
Komisi Bidang I Kodoatie
2. Paparan Hasil Sidang Prof. Dr. Daniel
Komisi Bidang II Mudyarso
3. Paparan Hasil Sidang Dr. Saeful Rahman,
Komisi Bidang III M.Sc
16.00 – 16.15 Perumusan Ir. Paimin, M.Sc
(Ketua)
Dr. H.A Sudibyakto,
MS (Anggota)
Ir. Sri Astuti Soedjoko
(Anggota)
10 16.15-16.30 Penutupan Ir. Anwar, M.Sc
Kapus Litbang Hutan
dan Konservasi Alam

| 312 |
Lampiran-lampiran
Lampiran 2. Daftar Hadir Peserta Workshop “Peran Hutan dan
Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS” Surakarta, 22
Nopember 2007.

NO. NAMA INSTANSI


1 2 3
1. Sutarmin Balai Besar Wil. Sungai Brantas
2. Wawan Halwany BPK Banjarbaru
3. IGD. Oka Suparta BPTP Samboja
4. Sofyan D. Majokayo Pusat Litbang SDA
5. Erna Satriana Pusat Litbang SDA
6. Nova Indri Hapsari BTN Gunung Cermai
7. Tri Wilaida BPTP Bogor
8. Agus Dwiandono Tn. Bromo Tengger Semeru
9. Purwoto Pustanling
10. Agus Salim Bapedal Prov. Jateng
11. Soenarno P3HT
12. Radika Pusair
13. Salamah Retnowati BPK Solo
14. Lily Mahisa Pusdal Reg. II
15. Dona Octavia BPK Solo
16. Wuri Handayani BPK Ciamis
17. Wardojo BPK Solo
18. Gunarjo BPK Makasar
19. Hunggul Y. BPK Makasar
20. Kristian M. BPK Manado
21. Dody Setiadi B2PD
22. A. Kristano Balitbangda Jateng
23. Sinta Damayanti BPDAS Solo
24. Kumala Nurhayati BPDAS Solo
25. Dwi Kristanto Forest
26. Dwianto Tn. Merbabu
27. Wardoyo Dishutbun Pacitan
28. Adinda Kusumadewi BPDAS Pemali
29. Sri Suparti BPDAS Pemali
30. Dian Banjar Agung BTN Baluran
31. C. Nugroho SP. P3HT
32. Titus Muladi BKSDA Jogjakarta
33. Syahrul Donie BPHPS
34. Teguh Suprapto PERSEPSI
35. Y. Sugiyono BKSDA

| 313 |
PROSIDING Workshop, 2009

1 2 3
36. Herudoyo BPDAS
37. Sutopo Fak. Pertanian UNS
38. Sudarsono Puslitbang PHT
39. Giri Tutuko BPSDA Bengawan Solo
40. Karman BPSDA Bengawan Solo
41. Yonki Indrajaya BPK Ciamis
42. Bambang S. Antoko BPK Aek Nauli
43. Nurhadi BTN Gn Merapi
44. Hatma Fak. Kehutanan UGM
45. Supri Fak. Kehutanan UGM
46. Oka Karyanto Fak. Kehutanan UGM
47. Bambang Sunarto Pusair
48. Judi Kurniawan ESP USAID
49. Cuk Sunaryono PSDA Jateng
50. Sunaryo BPK Solo
51. Agus Wuryanta BPK Solo
52. Dody Prakosa BPK Palembang
53. Putu Sudira Fak. TP UGM
54. Sukirno Fak. TP UGM
55. Susi Abdiyani BPK Solo
56. Ismatul Hakim Puslit Sosek
57. Untung Suprapto BTN Merbabu
58. Abdul Munir Dishutbun
59. Henie Eka W BPK Solo
60. Pipin P. BPK Ciamis
61. Minto Basuki BKSDA Jateng
62. Purwanto Puslitbang Cepu
63. Aris Boediyono BPK Solo
64. Soewarti BPK Solo
65. Sutedjo BPK Solo
66. Surachman BPK Solo
67. Ir. Nana Mulyana, M.Sc. Fak. Kehutanan IPB
68. Ir. Sukresno, M.sc Balai Penelitian Kehutanan Solo
69. Dr. Sudibyakto Fak. Geografi UGM
70. Dr. Ir. Sigit H, M.Agr. Fak. Kehutanan UNMUL
71. Dr. Saeful R, M.Sc. Direktorat pengelolaan DAS
72. Drs. Irfan B.P., M.Sc. Balai Penelitian Kehutanan Solo
73. Ir. Hendro P, MP. Puslit Sosek
74. Ir. Purwanto Balai Penelitian Kehutanan Solo
75. Ir. Triyono, MP. Dishut Prop. Jateng

| 314 |
Lampiran-lampiran

1 2 3
76. Dr. Ir. R J. Kodoatie Fak. T Sipil UNDIP Semarang
77. Prof. Dr. Ir. Daniel M CIFOR/Mipa IPB
78. Ir. Iman Santoso, M.Sc Puslit Sosek
79. Ir. Anwar, M.Sc P3HKA
80. Dr. Harry Santoso P3HT
81. Ir. Edy Subagyo, M.P BPK Solo
82. Ir. Sutarman A, M.Si BPK Solo
83. Drs. Prapto Suhendro BPK Solo
84. Pamungkas B P, S.Hut BPK Solo
85. Sikamto BPK Solo
86. Drs. Irfan B P, M.Sc BPK Solo
87. U.W. Heri P, S.Hut BPK Solo
88. Ir. Nining W, M.Sc BPK Solo
89. Yogi Wulan P, S.Si BPK Solo
90. Wahyu Budiarso BPK Solo
91. Purwijanto Wisnubroto BPK Solo
92. Eko Priyanto BPK Solo
93. Nardi BPK Solo
94. Sutomo BPK Solo
95. Djoko Widagdo BPK Solo
96. Dradjad BPK Solo
97. Ir. Paimin, M.Sc BPK Solo
98. Ir. Heru D.R BPK Solo
99. Ir. Dewi Retno I, M.P BPK Solo
100. Ir. Beny Harjadi, M.Sc BPK Solo

| 315 |
PROSIDING Workshop, 2009

DISKUSI

Bidang I. Peran Hutan dalam Pengendalian Bencana Alam.

12. Peran Hutan Dalam Pengendalian Bencana Banjir-Kekeringan-


Tanah Longsor (Identifikasi Masalah Dan Teknik Pengendalian) )
Robert J. Kodoatie
o Bencana-bencana banjir, longsor dan kekeringan yang sering
melanda merupakan bukti dari degradasi lingkungan.
o Hutan bisa menahan run-off (aliran permukaan), sehingga
apabila hutan digunduli atau menjadi kawasan pemukiman
maka aliran permukaan akan meningkat signifikan dan
terjadilah banjir di musim penghujan dan waktu musim
kemarau tidak ada lagi air yang tersisa sehingga terjadilah
kekeringan.
13. Hubungan Luas Tutupan Hutan Terhadap Potensi Banjir Dan
Koefisien Limpasan Di Beberapa DAS Di Indonesia
Nana Mulyana, Cecep Kusmana, Kamaruddin Abdulah, Lilik B. Prasetio
o Keampuhan tipe hutan dan penggunaan lahan dalam
mengendalikan banjir adalah sejauh mana rasio total hujan
yang mampu diresapkan kedalam tanah pada kondisi
intensitas hujan tinggi.
o Hutan sangat efektif dalam pengendalian aliran permukaan
karena mempunyai jumlah resapan yang tinggi, karena sistem
perakaran dan serasah sangat mendukung peresapan air.
o Kapasitas infiltrasi hutan selalu lebih besar dari intensitas
hujan maksimum sehingga luas hutan sangat signifikan
terhadap pengurangan potensi banjir.
14. Peran Hutan Dalam Pengendalian Tanah Longsor
Sukresno
o Peran positif hutan dalam pengendalian longsor ditunjukkan
oleh kemampuan vegetasi dalam meningkatkan kuat geser
tanah dan menurunkan tegangan geser tanah.
o Peran negatifnya ditunjukkan oleh pengaruh vegetasi dalam
menurunkan kuat geser tanah dan meningkatkan tegangan
geser tanah.
o Vegetasi hutan mempengaruhi stabilitas lereng, dapat
diketahui dari berat biomassnya, bentuk sistem perakaran,
kedalaman akar, distribusi/sebaran perakaran, susunan akar,
dan kekuatan akar.
| 316 |
Lampiran-lampiran
Bidang II: Peran Hutan Sebagai Pemasok Air Dan Pengendali
Kekeringan

15. Peranan Vegetasi Hutan dalam Mengatur Pasokan Air


Daniel Murdyarso, Sofyan Kurnianto
o Peranan vegetasi (hutan) sangat tergantung pada kondisi
iklim setempat. Hutan tidak menambah aliran sungai (debit),
tetapi justru menguranginya. Namun demikian hutan dapat
mengatur fluktuasi aliran sungai karena peranannya dalam
mengatur limpasan dan infiltrasi
o Pengaruh hutan sangat ditentukan skala penutupan lahannya
namun alih-guna lahan’ khususnya pengurangan penutupan
hutan hingga 15 persen tidak memberikan pengaruh yang
berarti tehadap pasokan air. Karena itu penggunaan lahan
dapat diatur secara partisipatif sesuai dengan kepentingan
masing-masing pihak
o Perubahan iklim memberikan pengaruh yang nyata,
khususnya pada musim kemarau, baik terhadap AET
maupun SMD.
16. Analisis Tingkat Kekeringan sbg Dasar Dalam Pengelolaan DAS
Yang Berhutan di DAS Progo
Sudibyakto
o Wilayah DAS Progo secara hidrometeorologis dapat
dibedakan menjadi tiga mintakat kekeringan, yaitu zone
kekeringan ringan, sedang dan tinggi.
o Variasi nilai Ia (indeks kekeringan) selain ditentukan oleh
curah hujan, juga variasi dari nilai evapotranspirasi, kapasitas
tanah menahan air, dan jenis penggunaan lahan.
o Secara umum, daerah penelitian dalam jangka panjang tidak
mengalami déficit air (kekeringan) yang berarti terutama pada
Sub DAS hulu, namun terjadinya kekeringan akan muncul
bilamana kondisi Sub DAS telah mengalami degradasi
lingkungan.
17. Sumbangan Hutan Terhadap Hasil Air
Sigit Hardwinarto
o Sumbangan hasil air dari beberapa kawasan hutan relatif
berbeda, karena dibatasi oleh faktor geografis, biogeofisik
dan iklim yang relatif beragam.

| 317 |
PROSIDING Workshop, 2009

o Sumbangan hasil air dari DAS berhutan yang memiliki


fluktuasi aliran air dari yang rendah sampai tinggi secara
berurutan yaitu kawasan peruntukan Hutan Lindung,
Pengusahaan Hutan Alam Produksi (HPH), Pemasok Air
Waduk, Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), serta
Kombinasi Peruntukan seperti HPH, HTI, Taman Nasional,
Perkebunan, Pertambangan dan lain-lain.
o Ada kemungkinan kecenderungan menurunnya nilai
persentase luasan hutan terhadap luasan DAS dapat
mempengaruhi penurunan kualitas air.
18. Neraca Air Di Dalam Hutan
Irfan Budi Pramono
o Evapotranspirasi merupakan faktor utama dalam mengelola
hutan untuk menghasilkan air.
o Dalam rangka pelestarian sumber daya hutan dan air maka
tingkat evapotranspirasi dari jenis hutan serta tingkat infiltrasi
di bawahnya harus diperhitungkan dengan teliti.
o Sepanjang curah hujan jauh lebih besar dari evapotranspirasi
dan tingkat infiltrasi lebih besar dari tingkat evapotranspirasi
maka penamanan tanaman hutan di suatu wilayah dianggap
aman dari masalah kelangkaan air.

Bidang III. Peran Kelembagaan Kehutanan dalam Pengelolaan


DAS
19. Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Saeful Rachman
o Pengelolaan DAS jelas melibatkan banyak pihak yang
berkepentingan baik lintas sektoral maupun lintas wilayah
administrasi sehingga untuk mewujudkan tujuan pengelolaan
DAS terpadu diperlukan kelembagaan yang memadai yang
dapat memfasilitasi koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan
sinegi antar pihak berkepentingan.
o Walupun beberapa lembaga koordinatif ”Forum DAS” telah
terbentuk namun masih banyak tugas dan fungsi forum
belum berjalan secara optimal karena masih menghadapi
berbagai kendala dan permasalahan yang cukup kompleks.

| 318 |
Lampiran-lampiran
20. Kelembagaan Pengelolaan DAS
Hendro Prahasto
o Untuk meningkatkan efektivitas koordinasi dan partisipasi
para pihak, harus membangun suatu komunikasi yang baik
dan tata kerja yang jelas yang didasarkan atas kebersamaan
dan diagendakan dalam suatu program kerja.
o Forum DAS yang telah ada diarahkan sebagai organisasi non
struktural, dan bersifat independen yang berfungsi untuk
membantu memecahkan permasalahan yang timbul dan
merumuskannya secara bersama-sama dalam wilayah DAS
seperti konflik kepentingan antar sektor, antar pemerintah
daerah serta dalam mengintegrasikan berbagai program dan
kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.
o Untuk dapat terciptanya Badan Koordinasi Pengelolaan DAS
perlu adanya payung hukum, minimal dalam bentuk
Keputusan Presiden.
21. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Air Dan Hasil Air Dari
Hutan
Purwanto
o Diperlukan kelembagaan yang anggotanya meliputi seluruh
stakeholder baik pengelola maupun pemanfaat air dari hutan.
o Kajian kelembagaan yang sebaiknya dilakukan antara lain: a).
kajian peraturan pelaksanaan dan perundangan yang terkait
serta kebijakan yang diambil oleh masing-masing sektor, b).
kajian kelembagaan dan kompensasi hulu hilir, c). kajian pola
pengelolaan kawasan yang dilakukan oleh sektor-sektor
terkait, dan d). kajian kelembagaan internasional untuk
mengatasi masalah perubahan iklim.
22. Peran Pemerintah Daerah Dalam Rehabilitasi Daerah Aliran
Sungai
Sri Puryono
o Kompleksitas permasalahan kelembagaan di Provinsi
maupun Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan
pengelolaan DAS tidak terlepas dari komponen yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan DAS pada masing-
masing wilayah, utamanya kelembagaan Pertanian dan
Kehutanan, Penataan Ruang dan Wilayah, Kelautan dan
Perikanan, Lingkungan Hidup, dan juga kelembagaan
administratif.
| 319 |

You might also like