You are on page 1of 13

PENDAHULUAN

Hemofilia adalah suatu penyakit kongenital resesif yang terpaut kromosom X.


Penyakit ini ditandai dengan perdarahan yang spontan dan lama pada sendi, otot, dan
organ dalam. Penyakit ini sangat mengancam jiwa dan sering dihubungkan dengan
arthropathy karena perdarahan sendi yang terus-menerus. Penyebab penyakit ini adalah
karena defisiensi faktor pembekuan darah yang esensial. Terdapat dua jenis hemofilia
yaitu hemofilia A yang ditandai dengan defisiensi faktor VIII dan Hemofilia B yang
ditandai dengan defisiensi faktor IX, yang mana secara normal dihasilkan di hati.
Hemofilia A terjadi pada 1 di antara 10.000 pria dan hemofilia B terjadi pada 1 di antara
30.000 pria di dunia (M. K. L. Chuah et al, 2001).
Pengobatan yang ada saat ini untuk penyakit hemofilia baik hemofilia A maupun
hemofilia B adalah dengan menggunakan protein replacement therapy jika terjadi
perdarahan dengan memasukkan faktor VIII (FVIII) atau faktor IX (FIX) yang
diperoleh dari plasma darah, atau yang saat ini digunakan adalah FVIII dan FIX
rekombinan. Walaupun pengobatan ini mampu secara nyata meningkatkan kualitas dan
harapan hidup dari penderita hemofilia, pengobatan ini masih memiliki beberapa
kekurangan. Pasien yang diobati dengan protein replacement therapy masih berisiko
terkena perdarahan yang mengancam jiwa dan kerusakan sendi kronis, khususnya sejak
pembatasan pengobatan profilaksis oleh karena terbatasnya FVIII dan FIX murni di
samping karena harganya yang mahal. Selain itu pengobatan ini juga berisiko terhadap
penularan penyakit khususnya HIV dan penyakit hepatitis pada populasi hemofilia.
Infeksi penyakit hepatitis B dan hepatitis C kronis mengenai hampir semua penderita
hemofilia dewasa, walaupun hepatitis C cenderung tanpa gejala, tetapi dapat memicu
penyakit hati yang progresif, proliferasi sel hepatocyte yang kronis, dan hepatoma, dan
hingga saat ini menjadi penyebab kematian kedua pada penderita hemofilia dewasa.
walaupun digunakan beberapa metode inaktivasi virus seperti menggunakan solvent-
detergent treatment dan pasteurisasi, tetap tidak mampu mencegah infeksi virus secara
sempurna dan tidak mengurangi risiko timbulnya inhibitor yaitu antibodi yang
menetralisir FVIII atau FIX yang diinjeksi (M. K. L. Chuah et al, 2001).

1
Untuk pengobatan yang ideal, terapi haruslah bebas dari produk darah, dan
mampu memiliki therapeutic effect yang cukup lama. Terapi gen mampu menjanjikan
hal tersebut dan secara teori menyembuhkan penyakit secara total. Terapi gen sangat
cocok untuk hemofilia karena merupakan kelainan gen tunggal dan memiliki
therapeutic window yang cukup luas. Selain itu terapi gen mengurangi risiko
perdarahan spontan, kebutuhan akan infusi faktor VIII dan faktor IX secara terus-
menerus, serta risiko penularan penyakit lainnya.

2
PEMBAHASAN

Terapi gen adalah penggunaan gen sebagai obat. Terapi gen meliputi transfer
dari gen therapeutic atau gen yang sudah diperbaiki ke sel yang spesifik dari seseorang
untuk memperbaiki kelainan gen pada orang tersebut. Cara untuk mentransfer gen
tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan virus yang sudah tidak berbahaya lagi
sebagai alat bantu transfer gen (vektor) dan kemudian diinjeksi kepada tubuh penderita
untuk kemudian melakukan perbaikan gen pada sel target (pendekatan transfer gen in
vivo). Dapat juga dilakukan dengan menggunakan stem cell (sel yang belum dewasa
yang nantinya akan membelah atau berkembang menjadi sel-sel dengan fungsi yang
berbeda) dari penderita yaitu dengan memodifikasi stem cell dari penderita tersebut di
laboratorium dan diperbaiki secara genetis baru kemudian di-implant-kan ke tubuh
penderita kembali (pendekatan terapi gen in vivo) (Centre for Genetics Education,
2004).
Terapi gen pada penderita hemofilia dapat dilakukan dengan dua jenis yaitu
dengan pendekatan transfer gen ex-vivo dan pendekatan transfer gen in-vivo. Pada
pendekatan transfer gen ex-vivo dapat dikultur sel yang diisolasi dari penderita
hemofilia, dimodifikasi secara genetik dan kemudian setelah sel tersebut mampu
menghasilkan faktor pembekuan darah yang diperlukan dimasukkan kembali ke tubuh
penderita. Sel tersebut kemudian akan memproduksi faktor pembekuan darah secara
berkelanjutan. Sel-sel yang dikultur dapat berupa fibroblast kulit, sel endotel,
keratinocyte, hepatocytes, hematopoietic progenitor cells, dan myoblast. Pada
pendekatan transfer gen in-vivo modifikasi genetik dilakukan secara in-situ yaitu di
dalam tubuh penderita. Alat transfer gen berupa vektor dimasukkan ke tubuh penderita
yang mana akan melakukan modifikasi genetik pada jaringan yang diinginkan, yang
pada kasus ini adalah modifikasi hati yang merupakan penghasil faktor pembekuan
darah yang utama pada manusia normal (Rob. C. Hoeben, 1998).
Terapi gen pada penderita hemofilia menggunakan vektor yang sudah memiliki
gen yang mampu mengekspresikan faktor VIII atau faktor IX. Vektor tersebut dapat
berupa retroviral, lentiviral, adenoviral, adeno-associated viral (AAV) dan non-viral.
Administrasi intravena dari vektor pembawa gen yang mampu mengekspresikan faktor

3
VIII atau faktor IX lebih murah namun dapat memicu respon imun sehingga
menghalangi administrasi berikutnya jika lebih dari satu kali injeksi diperlukan untuk
mencapai kadar therapeutic faktor VIII atau faktor IX.
Pada pendekatan terapi gen ex vivo , sel implant dimodifikasi dengan
menggunakan alat bantu yang dapat berupa vektor retroviral dan vektor non-viral. Tidak
seperti pendekatan terapi gen in vivo, implantasi berulang dari sel-sel terapi ex vivo
tidak memicu respon antibodi. Namun biaya yang dikeluarkan relatif lebih mahal bila
dibandingkan dengan pendekatan terapi gen in vivo.

A. TERAPI GEN PADA HEMOFILIA A

Gen FVIII sudah mampu dikloning, memiliki panjang 186 kb dan tersebar
sepanjang 26 exons. Ukuran ini terlalu besar untuk dimasukkan pada vektor terapi gen
pada umumnya. Gen tersebut mengkode 9029 nukleotida FVIII mRNA yang ditranslasi
ke polipeptida rantai tunggal yang terdiri atas 2351 asam amino. Protein FVIII terdiri
atas tiga jenis domain yaitu triplicated A-domain yang terdiri atas 330-380 asam amino,
B-domain unik yang terdiri atas 908 asam amino dan duplicated C-domain yang terdiri
atas sekitar 160 asam amino, tersusun dengan urutan A1-A2-B-A3-C1-C2. A-domain
penting untuk berikatan dengan Ca2+ dan C domain penting untuk phospolipid dan
berikatan dengan Von Willebrand Factor (vWF). Dalam protein plasma FVIII terdiri
dari turunan dua rantai inaktif yaitu 200 kDa rantai berat (A1-A2-B) dan 80 kDA rantai
ringan (A3-C1-C2) yang distabilkan oleh Ca2+ dan vWF. Protein FVIII diaktivasi oleh
faktor Xa (thrombin). B-domain tidak diperlukan dalam fungsi FVIII dan setelah
translasi dipisahkan dari rantai berat FVIII pada saat aktivasi proteolisis. Versi 4,6 kb
dari FVIII yang diperoleh dengan cara menghilangkan B-domain pusat dari cDNA tanpa
mempengaruhi immunogenicity-nya dapat secara mudah digunakan dalam vektor terapi
gen, juga mampu mengekspresikan kadar FVIII lebih tinggi daripada rantai panjangnya
(M. K. L. Chuah et al, 2001).
Terapi gen untuk penderita hemofilia A dapat menggunakan beberapa vektor
yaitu vektor retroviral, lentiviral, adenoviral, dan adeno-associated viral (AAV), yang
mana akan dibahas satu persatu.

4
1. Vektor Retroviral MoMLV-based
Vektor retroviral moloney murine leukemia virus (MoMLV) adalah vektor
pertama dan paling sering digunakan dalam ujicoba terapi gen karena mampu
memberikan ekspresi gen jangka panjang yang disebabkan oleh integrasi kromosomnya
yang stabil dan sedikit ekspresi dari gen viral. Di samping itu integrasinya memberikan
jalur transgen ke seluruh sel progenitor. Namun, kelemahan dari terapi gen dengan
menggunakan vektor MoMLV adalah dalam transduksinya memerlukan pembelahan
sel. Sehingga terapi gen pada hemofilia A hanya dapat dilakukan pada bagian sel yang
aktif membelah.
Terapi gen dengan vektor MoMLV-based menggunakan gen FVIII yang sudah
dihilangkan B-domain-nya. Terapi gen dengan vektor MoMLV dapat dilakukan dengan
menggunakan transduksi in vivo atau transduksi ex vivo. Pada lebih dari 100 percobaan
yang dilakukan dengan vektor retroviral tidak ditemukan keracunan atau efek samping
pada sampel hewan maupun manusia. Berdasarkan keadaan tersebut dapat dikatakan
bahwa vektor retroviral relatif aman digunakan untuk terapi gen, sehingga terapi gen
dengan menggunakan vektor MoMLV dapat dikembangkan lebih optimal.
Terapi gen ex vivo dengan menggunakan vektor retroviral sangat dipengaruhi
oleh daerah implantasi, jenis sel target, dan desain vektor. Pada penggunaan sel
fibroblast manusia dengan intron gen FVIII yang sudah dihilangkan B-domain-nya dan
ditanamkan dalam serat kolagen buatan menghasilkan peningkatan yang cukup tinggi
dari ekspresi FVIII dan menurun setelah 2 minggu. Hal ini mungkin disebabkan karena
survival sel yang terbatas serta inaktivasi transkripsional dari ekspresi FVIII tersebut.
Pada penggunaan sel T dan sel progenitor Bone Marrow (BM), ekspresi FVIII yang
dihasilkan sangat rendah. Pada penggunaan sel stroma BM didapatkan hasil ekspresi
FVIII yang cukup lama dengan kadar ekspresi yang cukup tinggi. Sehingga terapi gen
ex vivo pada hemofilia A dengan vektor MoMLV dapat lebih diarahkan
pengembangannya dengan menggunakan sel stroma BM.
Karena vektor MoMLV hanya dapat mentransduksi sel yang aktif membelah,
maka terapi gen in vivo pada hemofilia A dilakukan dengan mentransduksi sel yang
aktif membelah atau dengan merangsang sel untuk membelah. Sel target untuk
transduksi dari vektor MoMLV adalah sel hati. Transduksinya dapat dibantu dengan

5
menambahkan keratinocyte growth factor (KGF) atau hepatocyte growth factor (HGF)
untuk meningkatkan proliferasi sel hati.
Pada percobaan terhadap bayi tikus dengan defisiensi FVIII diperoleh hasil yang
cukup memuaskan. Percobaan dilakukan dengan menggunakan vektor MoMLV yang
sudah dimodifikasi dengan melakukan pseudotyping dan menambahkan G glycoprotein
dari vesicular stomatitis virus (VSV), sehingga vektor MoMLV dibungkus oleh protein
kapsid dari VSV. Percobaan tersebut dilakukan dengan menginjeksi titer tinggi dari
vektor tersebut terhadap bayi tikus dengan defisiensi FVIII. Hasil dari percobaan
tersebut adalah 50% dari bayi tikus tersebut mengekspresi FVIII dengan kadar 20% dari
manusia normal, bahkan beberapa di antaranya mengekspresi FVIII mencapai kadar
1250% dari FVIII yang diekspresi manusia normal. Ekspresi dari FVIII tersebut
bertahan stabil selama lebih dari 14 bulan (M. K. L. Chuah et al, 2001).
Pada percobaan terhadap 12 orang pria dengan hemofilia A berat menggunakan
vektor MoMLV yang sudah dilakukan pseudotyping dengan G glycoprotein VSV dan
promotor Moloney 5’ long terminal repeat (LTR). Vektor tersebut diinjeksi secara
intravena ke subyek tersebut dan dilakukan pengamatan selama 53 minggu. Dari 12
orang, 8 orang terdeteksi mengekspresi FVIII sekitar 1%, 5 di antaranya mengalami
penigkatan yang berulang-ulang, sisanya hanya mengalami 1 atau 2 kali peningkatan.
Selama pengamatan, tidak timbul efek samping yang berarti (Jerry S. Powell et al,
2003).

2. Vektor Lentiviral
Transfer gen dengan vektor lentiviral pada sel yang membelah lebih efisien
daripada dengan vektor retroviral MoMLV-based. Generasi terakhir dari vektor
lentiviral untuk terapi gen hemofilia A adalah self-inactivating HIV-derived vector
backbone yang tidak mengandung gen HIV-1 tapi hanya elemen cis-acting yang
diperlukan untuk integrasi, transkripsi balik, dan ekspresi pada terapi gen. Vektor
lentiviral lain yang non-HIV juga sudah dikembangkan.
Pada percobaan dengan menggunakan self-inactivating HIV-derived vector
backbone ditambah dengan promotor EF1α enhancer pada tikus setelah menginduksi
proliferasi sel hati dengan hepatectomy parsial, diperoleh ekspresi FVIII yang

6
mencapai kadar 15 % dari kadar FVIII manusia normal. Percobaan ini juga
menunjukkan tingkat ekspresi FVIII yang stabil pada tikus dengan immunodefisiensi,
namun tidak pada tikus normal. Hal ini mungkin disebabkan karena inhibitor antibodi
pada tikus normal tersebut. Karena untuk transduksi gen tersebut masih memerlukan
induksi terhadap proliferasi sel hati, kemudian vektor lentiviral HIV tersebut
dimodifikasi dengan menggabungkan bagian cis-acting dari pol gene HIV-1 (central
polypurine tract atau cPPT). Vektor lentiviral cPPT ini mampu mentransduksi sel hati
tanpa perlu menginduksi proliferasi sel hati. Bahkan ketika diujicobakan pada tikus
dengan sel target sel stroma bone marrow (BM) diperoleh ekspresi FVIII yang
mencapai kadar 25% dari kadar FVIII manusia normal walaupun hanya sementara. Hal
ini menunjukkan kemungkinan pengembangan terapi gen in vivo hemofilia A dengan
sel target sel stroma BM untuk mencapai kadar therapeutic yang stabil cukup besar (M.
K. L. Chuah et al, 2001).

3. Vektor Adenoviral
Vektor adenoviral bisa mentransduksi daerah yang luas pada sel yang membelah
sebaik pada sel yang tidak membelah, tidak seperti vektor retroviral MoMLV-based.
Kebanyakan vektor adenoviral merupakan turunan turunan adenovirus pada manusia
serotype 2 dan 5 yang telah dihilangkan gen replikasinya. Kemudian vektor ini
dimasukkan gen yang mampu mengekspresi FVIII. Penelitian penggunaan vektor
adenoviral ini dihentikan karena belakangan ini ditemukan bahwa vektor adenoviral
dapat memicu respon imun yang mana selain membatasi ekspresi transgen dalam
bentuk inhibitor juga memberikan respon peradangan akut (M. K. L. Chuah et al, 2001).

Vektor Adeno-associated Viral (AAV)


AAV adalah virus nonpathogenic yang ada secara alami dan kurang mampu
bereplikasi karena untuk bereplikasi memerlukan co-infeksi dari adenovirus. Vektor
AAV mampu mentransduksi sel-sel yang tidak membelah seperti sel hati, otak, dan sel
otot. Vektor AAV dapat berintegrasi dengan genome sel target atau tetap sebagai
episome sebelum berintegrasi. Kebanyakan manusia seropositif terhadap AAV-2,
sehingga sangat mungkin keberadaan antibodi AAV-specific mengganggu proses

7
transduksi secara in vivo dari vektor AAV. Untuk mengatasinya dapat digunakan
serotype AAV yang lain. Produksi skala besar dari preparasi AAV titer tinggi masih
sulit, namun dapat diatasi dengan mengembangkan stable packaging cell line dan
pemurnian vektor menggunakan kromatografi. Agar efisien, injeksi dari vektor AAV
dilakukan langsung pada vena portal. Tantangan yang utama saat ini adalah mendesain
kaset vektor ekspresi FVIII yang cukup kecil yang mampu ditampung vektor AAV.
Percobaan dengan menggunakan promotor EF1α pada hewan menunjukkan ekspresi
FVIII sekitar 200-400ng/ml yang melebihi kadar fisiologis pada manusia, sehingga
sangat mungkin dikembangkan agar mampu menyembuhkan hemofilia A secara total
(M. K. L. Chuah et al, 2001) .

B. TERAPI GEN PADA HEMOFILIA B

Gen FIX sudah bisa dikloning, memiliki panjang 34 kb dan menyebar seluas 8
exon. Ukuran ini terlalu besar untuk dimasukkan pada vektor terapi gen pada umumnya.
Tidak seperti FVIII, FIX relatif mudah untuk diekspresikan, serta memiliki volume
distribusi yang besar sehingga dibandingkan dengan FVIII, jalur pemberian vektor
terapi gen FIX dapat melalui intramuscular dan subcutaneous selain secara intravena.
Ekspresi dari FIX fungsional memerlukan modifikasi sesudah translasi, khususnya pada
vitamin K-dependent γ-karboksilasi dari residu 12 glutamic-acid, yang mana sangat
esensial dalam fungsi FIX dan ikatannya dengan Ca2+. Sama seperti terapi gen pada
hemofilia A, terapi gen pada hemofilia B dapat dilakukan dengan vektor retroviral,
lentiviral, adenoviral, adeno-associated viral. Sebenarnya dapat juga dilakukan dengan
terapi non viral, tetapi efisiensinya sangat kurang sehingga penelitian terapi gen pada
hemofilia B dengan media non viral kurang berkembang (M. K. L. Chuah et al, 2001).

1. Vektor Retroviral MoMLV-based


Transduksi sel fibroblast dengan vektor retroviral yang mengandung gen FIX
menghasilkan ekspresi FIX yang masih sangat rendah. Pada pendekatan terapi gen ex
vivo menggunakan sel myoblast, endotel, hematopoietic, hepatocyte, keratinocyte, dan
sel epitel usus, setelah transplantasi menunjukkan ada ekspresi FIX namun kadarnya

8
masih sangat rendah, sehingga masih dikembangkan penggunaan promotor alternatif
dan modifikasinya untuk memperoleh hasil yang lebih baik pada pendekatan terapi gen
ex vivo.
Terapi gen in vivo yang cukup potensial lainnya yang menggunakan vektor
retroviral adalah dengan menginjeksi langsung vektor MoMLV yang mengandung
cDNA FIX. Percobaan dengan menginjeksi vektor MoMLV yang mengandung cDNA
FIX anjing pada anjing dengan hemofilia B menunjukkan ekspresi FIX yang sangat
rendah yaitu 0,1% kadar normal. Sehingga terapi gen in vivo pada hemofilia B dengan
menggunakan vektor MoMLV masih memerlukan pengembangan yang lebih lanjut (M.
K. L. Chuah et al, 2001).

2. Vektor Lentiviral
Pada terapi gen dengan vektor lentiviral digunakan vektor lentiviral yang
ditambah promotor EF1α. Ujicoba yang dilakukan pada tikus menunjukkan ekspresi
FIX sekitar 1% di atas normal (50-60 ng/ml). Kadar FIX meningkat stabil sekitar 7%
setelah induksi proliferasi hepatocyte dengan hepatectomy sebagian. Namun,
penggabungan bagian cis-acting cPPT dari gen pol HIV-1 mampu meningkatkan
transfer gen. Setelah dikombinasikan dengan promotor yang lebih kuat dan elemen
post-regulatory virus hepatitis Woodchuck, kombinasi tersebut mampu meningkatkan
ekspresi FIX dengan dosis injeksi vektor 50 kali lebih rendah dan tanpa hepatectomy.
Hingga saat ini masih terus diusahakan desain vektor lentiviral yang lebih berpotensi
dalam terapi gen pada hemofilia B (M. K. L. Chuah et al, 2001) .

3. Vektor Adenoviral
Penggunaan vektor adenoviral dalam terapi gen seperti halnya pada terapi gen
hemofilia A dapat memicu respon imun yang mana selain menurunkan atau
menghentikan ekspresi FIX juga menghalangi administrasi berikutnya dari vektor
adenoviral. Seperti yang telah diujicobakan pada anjing dengan menginjeksi secara
intravena vektor adenoviral yang mengandung FIX cDNA manusia menghasilkan
transduksi sel hepatocyte yang efisien dengan ekspresi FIX yang mencapai kadar
therapeutic dan sementara mampu memperbaiki perdarahan diathesis pada anjing

9
tersebut. Namun kadar ekspresinya menurun dikarenakan pengaruh sistem imun dan
menghalangi ekspresi FIX pada injeksi kedua (M. K. L. Chuah et al, 2001).
Untuk memperlama ekspresi FIX dapat digunakan obat-obatan imunosupresan
yang pada ujicoba mampu memperlama ekspresi FIX hingga 6 bulan. Namun aplikasi
penggunaan obat-obatan imunosupresan pada klinis sangat tidak dianjurkan, sehingga
pengembangan terapi gen pada hemofilia B dengan menggunakan vektor adenoviral
lebih diarahkan kepada rekombinasi dari vektor adenoviral tersebut (M. K. L. Chuah et
al, 2001).

4. Vektor AAV
Prinsip penggunaan vektor AAV pada terapi gen hemofilia A sama dengan pada
hemofilia B. Percobaan terhadap tikus dengan menggunakan vektor AAV dan promotor
CMV menunjukkan ekspresi FIX dalam kadar yang rendah selama 5 bulan. Proses
transduksinya memerlukan γ-irradiation dan wild-type AAV. Namun pada penggunaan
vektor AAV dengan promotor LTR menghasilkan ekspresi FIX dengan kadar 20-60%
yang cukup stabil tanpa γ-irradiation atau wild-type AAV (M. K. L. Chuah et al, 2001).

10
KESIMPULAN

Terapi gen pada hemofilia mampu menjanjikan peningkatan harapan dan


kualitas hidup penderita hemofilia walaupun masih dalam tahap penelitian. Terapi gen
pada hemofilia A maupun B dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan terapi
gen in vivo dan pendekatan terapi gen ex vivo. Pada pendekatan terapi gen in vivo
dilakukan dengan menginjeksi vektor yang akan melakukan modifikasi genetik pada sel
target. Pada pendekatan terapi gen ex vivo vektor digunakan untuk memodifikasi sel
yang diambil dari manusia yang setelah dimodifikasi diimplantkan kembali ke tubuh
manusia.
Terapi gen pada hemofilia A dapat menggunakan vektor berupa vektor
retroviral, lentiviral, adenoviral, dan adeno-associated viral. Dari semua jenis vektor
hanya vektor retroviral yang telah diujicobakan pada manusia berupa vektor MoMLV-
based dengan hasil yang cukup memuaskan. Namun tidak menutup kemungkinan
pengembangan vektor lainnya untuk terapi gen pada hemofilia A.
Terapi gen pada hemofilia B dapat menggunakan vektor berupa vektor
retroviral, lentiviral, adenoviral, dan adeno-associated viral. Saat ini terapi gen pada
hemofilia B belum berkembang sepesat terapi gen pada hemofilia B. Namun dari
penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan potensi terapi gen pada
hemofilia B cukup besar.
Vektor lentiviral lebih efisien dari vektor retroviral karena mampu
mentransduksi sel yang membelah sebaik mentransduksi sel yang tidak membelah
sehingga dapat menjadi alternatif yang bagus untuk terapi gen pada hemofilia. Vektor
adenoviral paling efisien dalam terapi gen untuk hemofilia, namun kecenderungannya
untuk membentuk inhibitor dapat dijadikan pertimbangan untuk memodifikasi vektor
atau promotor yang digunakan. Vektor AAV memiliki potensi yang cukup besar dalam
terapi gen pada hemofilia, hal ini ditunjukkan dengan berbagai penelitian yang
memperlihatkan pencapaian kadar therapeutic dari ekspresi FVIII atau FIX pada hewan
percobaan tanpa efek samping.

11
Terapi gen pada hemofilia masih memerlukan banyak pengembangan baik pada
desain vektor atau pada prosedur terapi gen. Potensi terapi gen pada hemofilia sangatlah
besar karena terapi gen mampu memberikan solusi pengobatan hemofilia dengan efek
samping yang kecil dan secara teori mampu menyembuhkan hemofilia secara total.

12
DAFTAR PUSTAKA

Chuah, M. K. L., Collen, D., VandenDriessche, T. 2001. Gene Therapy for Hemophilia.
The Journal of Gene Medicine. 3(3) :3-20.

S. Powell, Jerry, Ragni, M. V., White, G. C., Lusher, M. J., Wiseman, C. H., Moon, T.
E., Cole, V., Girish, S. R., Roehl, H., Saijadi, N., Jolly, D. J., Hurst, D. 2003.
Phase 1 Trial of FVIII Gene Transfer for Severe Hemophilia A Using a
Retroviral Construct Administered by Peripheral Intravenous Infusion. The
Blood Journal. 102(6) :2038-2045.

Hoeben, R. C. 1998. Gene Therapy for Haemophilia. Gene Therapy and Molecular
Biology. 1 :293- 300.

Centre for Genetics Education, (2004), Genetics Fact Sheet 25, Available at:
www.genetics.com.au/pdf/factSheets/FS25.pdf , (Accessed 2007 Februari 5)

13

You might also like