Professional Documents
Culture Documents
Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Sang pemberi karunia ilmu yang
tidak satu ilmupun yang kita miliki melainkan yang telah Ia berikan kepada kita, Ialah
Allohu Samiun 'alim. Sholawat serta salam semoga tercurah dan terlimpah kepada sang
pemimpin ilmu, pembawa cahaya ilmu, pengangkat derajat para penuntut ilmu ialah Nabi
Besar Muhammad SAW juga beserta keluarga, sahabatnya, dan moga kita juga
mendapatkan cucuran rahmat dari ilmu beliau. Amien.
Dalam makalah ini kami menyajikan berbagai permasalahan dalam ruang lingkup
pembahasan ijtihad yakni mencakup pengetian, kedudukan, fungsi, dan sejarah serta
perkembangan serta relevansinya dengan tuntutan dunia modern. Dn kami sangat
berharap makalah yang kami buat ini dapat menjadi referensi yang bermanfaat bagi
pembaca sekalian dan menjadi konstribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
Islam itu sendiri.
Kami mengucapkan mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam pengeditan atau
salah dalam penggunaan bahasa, semua tidak lepas dari kodrat kami sebagai manusia
yang selalu belajar dari kesalahan-kesalahan untuk selalu berusaha menjadi yang terbaik.
Demi kesempurnaan makalah yang kami buat, kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca sekalian.
Tim Penulis
-1-
BAB I
PENDAHULUAN
-2-
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi ijtihad
• Kita mengatakan: Si Fulan bersungguh-sungguh (Ijtihad) dalam pekerjaannya.
Atau Mahasiswa bersungguh-sungguh dalam belajarnya manakala ia sungguh
mencurahkan seluruh kemampuannya untuk melaksanakan pekerjaan itu, atau
mendapatkan ilmu sesuai dengan beban/program studi yang ditetapkan
kepadanya.
• Kita mengatakan: Ini dokter yang tekun (Mujtahidun) ini insinyur yang tekun atau
ini ekonom yang tekun, apbila ia dapat menyempurnakan spesialisasinya dan
pekerjannya sejauh mungkin berdasarkan pengetahuan, pengalaman, kemahiran,
dan seterusnya.
Pengertian Ijtihad
• Menurut bahasa:
o Ijtihad adalah penyerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan segala
sesuatu yang sulit.
o Menyerahkan kesungguhan dan mengoptimalkan kemampuan dalam
mengerjakan sesuatu pekerjaan.
• Menurut praktek para sahabat: Ijtihad ialah penelitian dan pemikiran untuk
mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan kitab Allah SWT dan sunah
-3-
Rasullullah SAW. Baik melalui suatu nash,yang disebut 'qiyas' (ma'qul nash)
maupun melalui suatu maksud dan tujuan umum hikmah syari'at, yang disebut
'maslahat'.
• Menurut mayoritas ulama ushul: Ijtihad ialah pengerahan segenap kesanggupan
oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat zhann
(penduga kuat) mengenai suatu hukum Syara'.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan
bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum.
Dalamhubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan,
“yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum
fiqih/hukum furu". (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379)
Sementara ada pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang
aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh
-4-
mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini
bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi
juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal.
Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanyaberlaku di bidang
hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Dalam melaksanakan ijtihad,
para ulama telah membuat methode-methode antara lain sebagai berikut
a. Qiyas
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan
oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah
diterangkan hukumnya oleh al-Qur’an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Contoh
: Menurut al-Qur’an surat al-Jum’ah 9; seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar
adzan Jum’at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain ( selain jual beli ) yang
dilakukan pada saat mendengar adzan Jum’at ? Dalam al-Qur’an maupun al-Hadits tidak
dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli
karena dapat mengganggu shalat Jum’at dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-
perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat Jum’at, juga dilarang. Contoh lain :
Menurut surat al-Isra’ 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada orang tua. Maka
hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar
analogi terhadap hukum cis tadi. Karena sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman
Rasulullah saw pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas
tersebut. Yaitu ketika ‘ Umar bin Khathabb berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya
telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal saya sedang dalam
keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu sedang
berpuasa ? Jawab ‘Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah
puasamu
b. Ijma
Yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah
ijtihadiyah. Ketika ‘Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang
kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur’an dan as-
Sunnah, maka Rasulullah mengatakan : ” Kumpulkan orang-orang yang berilmu
kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah “. Yang menjadi persoalan
-5-
untuk saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma
tersebut, karena ummat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi
termasuk para ulamanya
c. Istihsan
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas
dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain.
Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi ( analogi samar-samar ) atau
disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas
pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih
salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek maka kita harus mengambil yang
lebih ringan kejelekannya. Dasar istihsan antara lain surat az-Sumar 18
d. Al-Mashlahah Al-Mursalah
yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas
pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari’at. Perbedaan
antara istihsan dan mashalihul mursalah ialah : istihsan mempertimbangkan dasar
kemaslahan ( kebaikan ) itu dengan disertai dalil al-Qur’an / al-Hadits yang umum,
sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan
tanpa adanya dalil yang secara tertulis exsplisit dalam al-Qur’an / al-Hadits
Kedudukan Ijtihad
Ijtihad dikalangan ulama Islam merupakan salah satu metode istinbath atau
penggalian sumber hukum syara melalui pengarahn seluruh kemampuan dan kekuatan
nalarnya dalam memahami nash- nash syar’I atas suatu peritiwa yang dihadapi dan belum
tercantum atau belum ditentukan hukumnya
Adapun hukum melakukan ijtihad antara lain
1.Orang tersebut dihukumi pardlu a’in untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang
menimpa dirinya
juga dihukumi fardlu a’in jika ditanykan tentang suatu permasalahan yang belum ada
hukumnya
-6-
. Dihukumi fardlu kifayah ,jika permasalahan yang dijukan kepadanya tidak
dikhawatirkan akan habis waktunya
. Dihukumi Sunnah apabila ber-Ijtihd terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya
maupun tidak
. Dihukum haram,apabila ber-Ijtihad terhdap permasalhan yang sudah ditetapkan secara
qat’I ,sehingga hasil ijtihad itu bertentangan engan dalil syara
Ijtihad dapat dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hokum
Islam.Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali,baik melalui
pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat,diantaranya adalah Firman Allah SWT
yang berbunyi
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.(QS.Surat An-Nisa,105)
Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian
yang dilakukan Thu’mah dan ia Menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang
Yahudi. Thu’mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri
barang itu orang Yahudi. hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu’mah kepada Nabi
s.a.w. dan mereka meminta agar Nabi membela Thu’mah dan menghukum orang-orang
Yahudi, Kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu’mah, Nabi
sendiri Hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu’mah dan kerabatnya itu terhadap
orang Yahudi
Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi Wafat .Mereka selalu
berijtihad jika menemukan suatau masalah baru yang tidak terdapat dalam AL-Qur’an
dan Sunnah Rasul
-7-
turunnya wahyu), dan nâsikh wa al-mansûkh (ayat yang menghapus dan ayat yang
dihapus). Asbâb al-nuzûl berarti memperhatikan dan memprioritaskan realita atas teks,
memperhatikan pertanyaan daripada jawaban. Seperti ayat-ayat wa yas`alûnaka `ani-l
khamr (mereka bertanya kepadamu mengenai khamer/minuman keras), wa yas`alûnaka
`ani-l mahîdl (menstruasi), wa yas`alûnaka `ani-l anfâl.. dst. Saat ini apa pertanyaaan-
pertanyaan yang dihadapai kaum muslimin? wa yas`alûnaka `ani-l awlamah (globalisasi),
wa yas`alûnaka `an nihâyah at-târîkh (akhir sejarah), wa yas`alûnaka `ani-l ihtilâl
(kolonialisme), wa yas`alûnaka `ani-l faqr (kemiskinan), wa yas`alûnaka `ani-l bathâlah fi
indûnisiâ (pengangguran di Indonesia), wa yas`alûnaka `ani-l fasâd (kerusakan)...dst.
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah permulaan, dari permasalahan dan musibah yang
menggejala di seluruh masyarakat muslim. Jadi kita memulai dari realita yang general
Maka dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwasannya fungsi ijtihad dewasa ini ialah
sebagai salah satu cara untuk menentukan hukum islam yang tidak tercntum secara jelas
dalm Al-Quran dan Al-Hadist
-8-
kemudian mereka menemukan air, sementara waktu shalat masih ada. Masing–masing di
antara mereka berijtihad. Ijtihad salah satu di antara mereka berdua adalah mengulangi
shalat dan yang lain tidak. Kasus ini diketahui Rasulullah, dan dia mengakui (kebenaran)
hasil ijtihad kedua sahabat itu.1
Pada masa Rasulullah tidak ada problem metodologis pemahaman al-Qur’an karena
para sahabat berada langsung di bawah bimbingannya, dan bila perlu mereka dapat
bertanya secara langsung mengenai masalah-masalah yang tidak jelas bagi mereka karena
waktu itu belum muncul kaidah-kaidah yang pada masa kemudian dibakukan dalam teori
yurisprudensi. Satu–satunya yang ideal bagi mereka adalah perilaku Nabi. Mereka belajar
wudlu, shalat dan haji dengan cara mengamati langsung tindakan Rasulullah. Demikian
juga, bila ada kasus-kasus tertentu, mereka mengajukan dan minta keputusan Nabi.
Tetapi, lain halnya setelah Nabi wafat, wahyu sudah tidak turun lagi, Rasul tempat
bertanya telah tiada, sementara persoalan–persoalan kemasyarakatan dan agama justru
berkembang sebagai akibat luasnya wilayah yang didiami umat. Banyak masalah baru
timbul dan belum pernah ada petunjuk pemecahannya baik dalam al-Qur’an maupun
hadis Nabi. Para sahabat dengan demikian harus berijtihad dengan menafsirkan ulang dan
memperluas pengertian–pengertian hukum yang telah tersedia dalam al-Qur’an dan Hadis
Nabi SAW.
Pada periode awal, ra’yu (pertimbangan pemikiran yang sehat) banyak digunakan
dan merupakan alat ijtihad yang utama. Istilah ini merupakan istilah generik yang
mendahului pertumbuhan hukum serta prinsip–prinsip qiyas dan istihsan yang lebih
sistematis.
Para sahabat tidak memahami al-Qur’an dan Sunah Rasul secara harfiah. Mereka
menggali semangat dan prinsip yang terkandung di dalamnya untuk kemudian diterapkan
pada keadaan konkrit yang mereka hadapi. Sebagai contoh, Umar ibn Khattab tidak
membagi-bagikan tanah-tanah di Irak (yang disebut tanah Sawad) kepada para prajurit
yang menaklukkannya seperti yang berlaku dalam tradisi Rasulullah dan Abu Bakar.
Alasan Umar tidak membagikan tanah tersebut ditemukan dalam al-Qur’an (Q.S.,59:6-
10) yang pada intinya melarang penumpukan harta pada orang orang yang telah kaya.
Dari sejarah kita ketahui bahwa tentara pada jaman Rasulullah dan Abu Bakar tidak
1
Ali Hasabullah, Ushul Tasyri’ al-Islamy (Mesir: Dar-Ma’arif, 1964), hal. 76.
-9-
digaji karena itu mereka mendapat bagian dari rampasan perang. Tetapi, pada jaman
Umar diadakan tentara reguler dan diberi tunjangan tetap. Karena itu, Umar tidak
memberi rampasan perang kepada mereka. Hasil tanah Sawad tersebut digunakan oleh
Umar untuk kepen-tingan umum seperti tunjangan bagi mereka yang kurang mampu dan
biaya pemeliharaan perbatasan, dan lain-lain.2
Pada masa tabi’in dan sesudahnya kegiatan ijtihad kian berkembang berikut dengan
berbagai kecenderungan masing-masing. Perbedaan-perbedaan kian berkembang dan
corak ijtihad sangat dipengaruhi oleh sifat kedaerahan. Orang–orang Irak dianggap lebih
cenderung pada penggunaan rasio, sementara orang–orang Madinah lebih menyukai
tradisi atau Hadis. Namun, kedua kecenderungan ini tidaklah merupakan kutub-kutub
yang bertentangan satu sama lain secara frontal. Kecenderungan-kecenderungan itu
hanya merupakan perbedaan porsi saja dalam pemakaian rasio atau Hadis. Pada dasarnya
keduanya sama-sama memakai ra’yu dan Hadis, namun orang-orang Madinah lebih
banyak menggunakan referensi Hadis, sedang orang Irak terpaksa berhati-hati menerima
Hadis karena mereka memang agak jauh dari sumber tradisi Rasulullah di Madinah.
Pada periode imam-imam mujtahidin yang berlangsung di abad II H sampai
pertengahan abad IV H, terjadi perkembangan ijtihad yang pesat, mazhab–mazhab
hukum mengalami kristalisasi, dan metode-metode pemahaman al-Qur’an dan Hadis
dibakukan. Peranan yang sangat menonjol dalam bidang ini dimainkan oleh Asy-Syafi’i
(W. 204 H.) yang menyusun kitab al-Risalah yang menjadi buku pertama dalam
metodologi pemahaman hukum dan dalam metodologi Hadis. Bahkan, dalam disiplin
ilmu-ilmu syari’ah metodologi beliau masih tetap relevan dan dipertahankan sampai
sekarang.
2
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terj. Agah Gornad (Bandung: Pustaka, 1984), hal. 108.
- 10 -
hanya berkisar pada pendapat yang sudah ada dan tidak keluar dari padanya. Ini pada
akhirnya membawa kepada kecenderungan membela mazhab, betapapun pemikiran yang
ada di dalamnya lebih lemah dari pendapat lain.
Selanjutnya, setelah jatuhnya Baghdad keadaan intelektual kaum muslimin tidak
mengalami banyak perubahan. Pekerjaan para ulama hanya berkisar pada membuat
syarah (penjabaran) dan hasyiah (penjabaran atas syarah). Pada masa inilah tingkat
kreativitas dan orisinalitas intelektual disebut sebagai tingkat yang lebih rendah. Ciri
umum masyarakat muslim saat itu ialah suasana traumatis terhadap perpecahan dan
perselisihan sehingga yang muncul sebagai dambaan atau obsesi utama masyarakat ialah
ketenangan dan ketentraman. Agaknya dambaan mereka tercapai, tetapi dengan ongkos
mahal, yaitu stagnasi atau kemandegan sebab ketenangan dan ketentraman itu mereka
“beli” dengan menutup dan mengekang kreativitas intelektual dan penjelasan atas nama
doktrin taqlid dan tertutupnya ijtihad.3
Namun demikian, selama periode kemunduran ini masih tetap ada saja tokoh-tokoh
cemerlang yang menyerukan perlunya ijtihad semisal Ibn Taimiyah (1263-1328 M).
“Program” Ibn Taimiyah ialah menghimbau kaum muslimin untuk mencari kembali
ajaran Islam yang sejati, dan untuk melakukan ijtihad dalam menafsirkan doktrin–doktrin
agama. Bagi Ibn Taimiyah pintu ijtihad tidak pernah tertutup, bahkan beliau menyatakan
dirinya sebagai seorang mujtahid mutlak.4
Sebenarnya penutupan pintu ijtihad itu tidak pernah dinyatakan secara resmi, dan
memang tidak ada suatu otoritas pun dalam Islam yang berhak menutup pintu ijtihad.
Akan tetapi, penilaian terhadap kehidupan intelektual kaum muslimin pada masa sesudah
periode imam mujtahidin itu memperlihatkan keadaan yang lambat laun aktivitas berpikir
kreatif telah begitu mundur. Di samping itu, landasan-landasan yang mendorong proses
kreatif itu hancur sehingga pada akhirnya mengakibatkan terhentinya kegiatan intelektual
yang mampu membuat sintesis besar dalam kebudayaan Islam. Terhentinya aktivitas
inilah sebenarnya yang diartikan sebagai “tertutupnya pintu” ijtihad.
3
Nurcholish Madjid, “Syarah”, hal. 313.
- 11 -
2. Ittiba dan Taqlid
Pengertian
Ittiba menurut bahasa berarti mengikuti atau menuruti. Sedang secara istilah ialah
mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan oleh
Rasulullah saw.
Dengan kata lain ittiba adalah mengikuti pendapat mujtahid dengan mengetahui dari
mana hukum yang ditetapkan oleh mujtahid tersebut diambil.
Dari pengertian ittiba diatas dapat diketahui bahwa ittiba itu ada 2 bentuk, yaitu ittiba
kepada Allah dan Rasulnya dan ittiba kepada selain Allah dan Rasulnya atau kepada
orang lain, sedangkan Taqlid menurut bahasa berarti meniru.
Sedang dalam taqlid, orang yang mengikuti tidak mengetahui sumber yang dijadikan
dasar oleh orang yang di ikuti dalam mengemukakan pendapatnya. Seperti seseorang
mengikuti Umar bin Khattab dalam melaksanakan shalat Tarawih 2 0 Rakaat, tetapi dia
tidak mengetahui alas an yang dijadikan dasar oleh Umar.
4
Syafi’i Ma’arif, Metode, hal. xii.
- 12 -
Hukum ittiba
Para ulama membedakan ittiba kepada 2 bentuk, yaitu ittiba kepada Allah dan Rasulnya,
dan ittiba selain Allah dan Rasulnya.
Para ulama sepakat bahwa hukum ittiba kepada Allah dan Rasulnya adalah
wajib, Allah berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan Mu, dan janganlah
kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin,sedikit sekali kamu mengambil
pelajaran (QS. AL-Araf :3)
Mengenai ittiba jenis ini, para ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka
menyatakan bahwa ittiba kepada selain ALLAH dan Rasul nya itu hukumnnya
tidak boleh. Sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa ittiba kepada ulama
diperbolehkan, sebab ulama sebagai pewaris Nabi.
- 13 -
Hukum Taqlid
Haram, yaitu Taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al- Quran dan
Al- Sunah, taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuaannnya, dan
taqlid kepada pendapat seseorang sedang ia mengetahui bahwa pendapat orang itu
salah.
a. Boleh, yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan
selalu beruasaha menyelidiki kebenaran masalah yang di ikuti, denga kata lain
bahwa taqlid seperti itu sifatnya hanya semnetara.
b. Wajib, yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan, dan ketetapannya
dijadikan Hujjah, yaiatu Rasullah saw.
- 14 -
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pertama, ijtihad adalah intellectual exercise seorang muslim untuk menetapkan suatu
kasus hukum yang secara tegas belum ada ketentuan nash-nya dalam al-Qur’an dan
Hadis.
Kedua, kedudukan ijtihad dalam Islam amat penting, ijtihad merupakan sebagai ruh
dari dinamika hukum Islam, dengan kata lain, ijtihad adalah modal penting agar hukum
Islam senantiasa dapat menjawab persoalan kemanusiaan sesuai dengan perkembangan
jaman.
Ketiga, sejak dicanangkan gerakan pintu ijtihad telah tertutup pada awal abad 4 H/10
M, setelah wafat Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310/922), sampai dengan
dimulainya gerakan pembaharuan pemikiran Islam pada penghujung abad 12/18 umat
Islam seakan berhenti berpikir. Ibn Taimiyah (w. 728/1327) pada awal abad 7/13 pernah
menggaungkan terbukanya pintu ijtihad. Namun, gaungan dan gugatan itu seakan
tenggelam dalam gemuruh ber-taqlid. Dalam bidang fiqh para fuqaha hanya membatasi
diri berijtihad dalam masing–masing mazhab yang dianutnya saja. Tidak ada lagi
mujtahid muthlaq yang berijtihad langsung dari sumber pokok hukum-hukum al-Qur’an
dan Hadis. Secara teoritis, kata Iqbal, kemungkinan berijtihad muthlaq masih tetap diakui
oleh Sunni, namun dalam prakteknya kemungkinan itu sangat sulit diwujudkan sebab
syarat-syarat yang ditetapkan untuk bolehnya seseorang berijtihad terlalu berat dan sukar
untuk dapat dipenuhi.
Keempat, dari uraian di atas tampaknya disintegritas umat dapat merongrong
landasan kultural dan intelektual dalam jangka panjang. Di samping itu, dogma-dogma
teologis yang mengecilkan arti kemampuan manusia dan kompetensi akalnya, kurang
berguna dalam mempertajam wawasan serta mendekati kebenaran secara progresif.
- 15 -
DAFTAR PUSTAKA
- 16 -