Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
BAB.2 PEMBAHASAN
Bila melihat peristiwa yang belum lama terjadi di Indonesia, misalnya kasus
tukar guling SMP Negeri 56 Jakarta serta kasus Kampar adalah sebongkah
cerminan dari kondisi pendidikan di Indonesia, dimana kalangan pendidik dan
kepentingan pendidikan masihlah sangat jauh dari sebuah kepentingan dan
kebutuhan bersama, dimana pendidikan masih menjadi korban dari penguasa.
Belum lagi bila berbicara pada kualitas pendidikan Indonesia yang hanya
berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya
menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada dalam sistem pendidikan Indonesia
saat ini sangat membuat peserta didik menjadi pintar namun tidak menjadi cerdas.
Pembunuhan kreatifitas ini disebabkan pula karena paradigma pemerintah
Indonesia yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk
pemenuhan kebutuhan industri yang sedang gencar-gencarnya ditumbuhsuburkan
di Indonesia.
Sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung hingga saat ini masih
cenderung mengeksploitasi pemikiran peserta didik. Indikator yang
dipergunakanpun cenderung menggunakan indikator kepintaran, sehingga secara
nilai di dalam rapor maupun ijasah tidak serta merta menunjukkan peserta didik
akan mampu bersaing maupun bertahan di tengah gencarnya industrialisasi yang
berlangsung saat ini.
Pendidikan juga saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai
sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya
praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi
diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar,
telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau
semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan
hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi
kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Ironinya, ketika ada inisiatif
untuk membangun wadah-wadah pendidikan alternatif, sebagian besar dipandang
sebagai upaya membangun pemberontakan.
Dampak kuatnya peran kapital itu secara institusional, cara menilai kinerja
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pun hanya dari satu sisi, yaitu daya
serap anggaran, tidak dilihat bagaimana implikasi penggunaan anggaran terhadap
kesejahteraan masyarakat.
Memerdekakan manusia
Formalisasi agama
Pada tingkat praksis kita melihat, dari soal seragam (bagi siswi, pakaian
bawah harus sampai menutup tumit), salam pembuka/penutup di kelas, pilihan
jenis kegiatan di sekolah, sampai pengaturan tempat duduk di ruang kelas kini
banyak didasarkan pada pandangan agama. Ironisnya, praksis pendidikan
semacam itu justru lebih kuat terjadi di sekolah-sekolah negeri yang seharusnya
lebih universal dan netral sehingga dapat menjadi pilihan pertama bagi orangtua
yang bermacam latar belakang agama, suku, maupun budaya untuk
menyekolahkan anaknya tanpa ada sekat apa pun. Mereka yang ingin
menyekolahkan anaknya dengan tujuan sekaligus memperkuat keimanan dapat
memilih sekolah swasta berbasis agama.
Kini diperlukan menteri pendidikan yang punya visi tentang bangsa dan
negara sehingga menjadikan pendidikan sebagai proses integrasi bangsa.
Pendidikan harus dikembalikan sebagai proses kebudayaan, bukan korporasi yang
diukur dengan sertifikasi ISO. Juga kembalikan sekolah negeri menjadi milik
publik agar dapat diakses semua warga (apa pun agama dan kemampuan
ekonominya). Kita juga memerlukan presiden yang peduli pendidikan.
Sekarang, mari kita tengok bagaimana peranan guru di kelas. Kita harus
berani mengakui bahwa guru berperan besar dalam menjadikan sebuah pelajaran
di sekolah sulit dan tidak menarik minat siswa untuk mempelajarinya. Fakta ini
didukung oleh pendapat banyak siswa sekolah yang pernah penulis temui dan
pengalaman penulis saat sekolah dulu. Dari pengalaman siswa tersebut, penulis
mendapati banyak guru yang tidak punya motivasi dan semangat untuk mengajar
di kelas. Entah karena malas atau kurang menguasai materi pelajaran, sering guru
tidak hadir di kelas dan kalaupun hadir tidak memberikan pelajaran sesuai dengan
waktu yang tersedia. Sering waktu pelajaran di kelas diisi dengan mencatat
ataupun mengerjakan tugas tanpa siswa diberi wawasan secukupnya tentang
materi tersebut.