You are on page 1of 9

Bab 1.

PENDAHULUAN

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Sistem Pendidikan Nasional ditetapkan melalui undang-undang berupa


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 dan ditetapkan pada
tanggal 27 Maret 1989.

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui


kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa
yang akan datang ;
2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan
bangsa Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 ;
3. Sistem pendidikkan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari
semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya
untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional ;
4. Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan
sifat dan kekhususan tujuannya;
5. Jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan
yang ditempatkan berdasarkan tingkat perkembangan para peserta didik
serta keluasan dan kedalaman bahan pengajaran;
6. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
tertentu;
7. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri
dalam penyelenggaraan pendidikan;
8. Tenaga pendidikan adalah anggota masyarakat yang bertugas
membimbing, mengajar dan/atau melatih peserta didik;
9. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar;
10. Sumber daya pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan
pendidikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana, dan prasarana yang
tersedia atau diadakan dan didayagunakan oleh keluarga, masyarakat,
peserta didik dan Pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama;
11. Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia;
12. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab atas bidang pendidikan
nasional.

BAB.2 PEMBAHASAN

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL:


Benarkah untuk Mencerdaskan Bangsa?

Hari Pendidikan Nasional yang diperingati pada tanggal 2 Mei setiap


tahunnya telah menjadi momentum untuk memperingatkan segenap negeri akan
pentingnya arti pendidikan bagi anak negeri yang sangat kaya ini. Di tahun 2003,
telah dilahirkan pula Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional
melalui UU No. 20 tahun 2003 yang menggantikan UU No. 2 tahun 1989.
Tersurat jelas dalam UU tersebut bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu
menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi
dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan
tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu
dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan.

Bila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, tersebutkan dalam pasal 31


ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pada ayat
2 disebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya. Dan dalam UU No. 20/2003 pasal 5, bahwa
setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, warga negara
di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak
memperoleh pendidikan layanan khusus, warga negara yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus serta
setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan
sepanjang hayat.

Peran masyarakat dalam pendidikan nasional, terutama keterlibatan di dalam


perencanaan hingga evaluasi masih dipandang sebagai sebuah kotak keterlibatan
pasif. Inisiatif aktif masyarakat masih dipandang sebagai hal yang tidak dianggap
penting. Padahal secara jelas di dalam pasal 8 UU No. 20/2003 disebutkan bahwa
masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan
dan evaluasi program pendidikan. Peran serta masyarakat saat ini hanyalah dalam
bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dimana proses pembentukan
komite sekolahpun belum keseluruhannya dilakukan dengan proses yang terbuka
dan partisipatif.

Kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar pun


hingga saat ini masih sangat jauh dari yang diharapkan. Masih terlalu banyak
penduduk Indonesia yang belum tersentuh pendidikan. Selain itu, layanan
pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu pun masih hanya di
dalam angan. Lebih jauh, anggaran untuk pendidikan (di luar gaji pendidik dan
biaya pendidikan kedinasan) di dalam APBN maupun APBD hingga saat ini
masih dibawah 20% sebagaimana amanat pasal 31 ayat 4 UUD 1945 dan pasal 49
UU No. 20/2003, bahkan hingga saat ini hanya berkisar diantara 2-5%.

Bila melihat peristiwa yang belum lama terjadi di Indonesia, misalnya kasus
tukar guling SMP Negeri 56 Jakarta serta kasus Kampar adalah sebongkah
cerminan dari kondisi pendidikan di Indonesia, dimana kalangan pendidik dan
kepentingan pendidikan masihlah sangat jauh dari sebuah kepentingan dan
kebutuhan bersama, dimana pendidikan masih menjadi korban dari penguasa.

Sementara di berbagai daerah, pendidikan pun masih berada dalam kondisi


keprihatinan. Mulai dari kekurangan tenaga pengajar, fasilitas pendidikan hingga
sukarnya masyarakat untuk mengikuti pendidikan karena permasalahan ekonomi
dan kebutuhan hidup. Pada beberapa wilayah, anak-anak yang memiliki keinginan
untuk bersekolah harus membantu keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup
karena semakin sukarnya akses masyarakat terhadap sumber kehidupan mereka.

Belum lagi bila berbicara pada kualitas pendidikan Indonesia yang hanya
berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya
menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada dalam sistem pendidikan Indonesia
saat ini sangat membuat peserta didik menjadi pintar namun tidak menjadi cerdas.
Pembunuhan kreatifitas ini disebabkan pula karena paradigma pemerintah
Indonesia yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk
pemenuhan kebutuhan industri yang sedang gencar-gencarnya ditumbuhsuburkan
di Indonesia.

Sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung hingga saat ini masih
cenderung mengeksploitasi pemikiran peserta didik. Indikator yang
dipergunakanpun cenderung menggunakan indikator kepintaran, sehingga secara
nilai di dalam rapor maupun ijasah tidak serta merta menunjukkan peserta didik
akan mampu bersaing maupun bertahan di tengah gencarnya industrialisasi yang
berlangsung saat ini.

Pendidikan juga saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai
sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya
praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi
diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar,
telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau
semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan
hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi
kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Ironinya, ketika ada inisiatif
untuk membangun wadah-wadah pendidikan alternatif, sebagian besar dipandang
sebagai upaya membangun pemberontakan.

Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa


haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian
untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan
kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut
hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki
bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di
bawah ketiak bangsa asing.

Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana sistem pendidikan di


Indonesia menciptakan anak bangsa yang memiliki sensitifitas terhadap
lingkungan hidup dan krisis sumber-sumber kehidupan, serta mendorong
terjadinya sebuah kebersamaan dalam keadilan hak. Sistem pendidikan harus
lebih ditujukan agar terjadi keseimbangan terhadap ketersediaan sumberdaya alam
serta kepentingan-kepentingan ekonomi dengan tidak meninggalkan sistem sosial
dan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Hari Pendidikan Nasional tahun ini di tengah-tengah pertarungan politik


Indonesia sudah selayaknya menjadi sebuah tonggak bagi bangkitnya bangsa
Indonesia dari keterpurukan serta lepasnya Indonesia dari ?penjajahan?? bangsa
asing. Sudah saatnya Indonesia berdiri di atas kaki sendiri dengan sebuah
kesejahteraan sejati bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Hilangnya Sistem Pendidikan Nasional

Sistem pendidikan nasional telah kehilangan roh nasionalnya akibat


kebijakannya yang bertumpu pada basis material dan formalisasi agama. Kuatnya
basis material itu dipicu dorongan dari luar, sedangkan kuatnya formalisasi agama
merupakan dorongan dari dalam pascareformasi politik 1998.

Kuatnya peran kapital dalam pendidikan itu ditandai oleh munculnya


berbagai kebijakan yang lebih bersifat padat modal, misalnya pendidikan berbasis
IT, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, sertifikasi ISO, world class
university, double degree, memprivatisasi perguruan tinggi negeri menjadi
perguruan tinggi badan hukum milik negara, hingga memprivatisasi semua
lembaga pendidikan melalui pengesahan Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan. Semua kebijakan itu lalu membentuk watak pendidikan menjadi
korporasi, menutup akses orang miskin untuk mendapat layanan pendidikan,
praksis pendidikan pun menjadi monoton, kering, tidak berpijak pada budaya
masyarakat. Fungsi pendidikan sebagai proses integrasi bangsa terabaikan.

Dampak kuatnya peran kapital itu secara institusional, cara menilai kinerja
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pun hanya dari satu sisi, yaitu daya
serap anggaran, tidak dilihat bagaimana implikasi penggunaan anggaran terhadap
kesejahteraan masyarakat.

Sedangkan secara gagasan, Depdiknas menempatkan perolehan sertifikasi


ISO sebagai simbol keberhasilan pengelolaan lembaga pendidikan. Padahal, selain
sertifikat ISO tidak gratis (padat modal), juga standardisasi proses pendidikan
akan menumpulkan kreativitas guru, inovasi, serta menghilangkan model-model
pendekatan nonmanajerial (humanis, budaya, nilai, dan lainnya) karena semua
harus berjalan sesuai dengan standar baku yang sudah ditentukan asesor.

Memerdekakan manusia

Ki Hadjar Dewantara, pendiri Perguruan Tamansiswa sekaligus salah


seorang peletak dasar sistem pendidikan nasional, menyatakan, maksud
pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama ialah
memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat). Dalam pendidikan
harus diingat, kemerdekaan bersifat tiga macam, yaitu berdiri sendiri
(zelfstandig), tidak tergantung orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur diri
sendiri (vrijheid, zelfbeschikking).

Implikasi konsep Ki Hadjar adalah pendidikan harus mampu menumbuhkan


makhluk sosial agar dapat menjadi bagian integral masyarakat-bangsa. Karena itu,
dalam praksis, proses pendidikan tidak dibangun berdasarkan prinsip persaingan,
tetapi kerja sama. Karena itu, model-model pendidikan melalui permainan itu
penting karena permainan selalu mengajarkan kerja sama antartim.

Konsep Ki Hadjar itu diturunkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional


Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Pokok-pokok Pengajaran di
Sekolah. Ini berbeda dari tujuan pendidikan nasional dalam UU No 20/2003
tentang Sisdiknas yang lebih membentuk manusia sebagai makhluk individu.
Konsekuensinya, kebijakan turunannya diarahkan untuk membentuk manusia
sebagai makhluk individu yang harus bersaing dengan sesama. Kebijakan
pendidikan seperti ini menciptakan segregasi masyarakat berdasarkan basis
ekonomi (mampu dan tidak mampu). Padahal, Ki Hadjar mengingatkan, sekolah
itu bukan toko, tetapi perguruan (tempat guru tinggal atau dapat diartikan tempat
studi). Sebagai tempat studi, siapa saja bisa datang untuk menimba ilmu. Kalau
toko, hanya mereka yang punya uang yang dapat mengakses, yang tidak punya
uang hanya menonton.

Formalisasi agama

Faktor internal yang turut menghilangkan ciri nasional sistem pendidikan


kita adalah kuatnya keinginan sebagian kelompok untuk membentuk sistem
pendidikan yang lebih agamis dan itu terakomodasi dalam UUD 1945 hasil
amandemen. Ayat 2 Pasal 31 UUD 1945 yang asli mengatakan, ”Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional; yang
diatur dengan undang-undang”. Tetapi Ayat 3 Pasal 31 UUD 1945 diamandemen
menyatakan, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-
undang”. Implikasi kedua pasal itu jelas berbeda terhadap turunannya (Sisdiknas)
dan kebijakan lain.

Pada tingkat praksis kita melihat, dari soal seragam (bagi siswi, pakaian
bawah harus sampai menutup tumit), salam pembuka/penutup di kelas, pilihan
jenis kegiatan di sekolah, sampai pengaturan tempat duduk di ruang kelas kini
banyak didasarkan pada pandangan agama. Ironisnya, praksis pendidikan
semacam itu justru lebih kuat terjadi di sekolah-sekolah negeri yang seharusnya
lebih universal dan netral sehingga dapat menjadi pilihan pertama bagi orangtua
yang bermacam latar belakang agama, suku, maupun budaya untuk
menyekolahkan anaknya tanpa ada sekat apa pun. Mereka yang ingin
menyekolahkan anaknya dengan tujuan sekaligus memperkuat keimanan dapat
memilih sekolah swasta berbasis agama.

Perkembangan sekolah saat ini membuat minoritas (di daerahnya) memilih


sekolah swasta yang sesuai dengan agamanya. Akibatnya, tanpa disadari, orang
ditarik ke kelompok masing-masing. Padahal, sekolah negeri seharusnya menjadi
ruang terbuka bagi siapa pun untuk membangun interaksi sosial dan integrasi
bangsa tanpa mengalami sekat agama, suku, agama, maupun ekonomi. Kebijakan
pendidikan yang menciptakan segregasi masyarakat berdasarkan kemampuan
ekonomi dan agama jelas kurang menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pendidikan kebangsaan perlu mendapat perhatian serius di sekolah
negeri agar lulusannya memiliki jiwa kebangsaan yang luas dan tidak makin
kerdil.

Kini diperlukan menteri pendidikan yang punya visi tentang bangsa dan
negara sehingga menjadikan pendidikan sebagai proses integrasi bangsa.
Pendidikan harus dikembalikan sebagai proses kebudayaan, bukan korporasi yang
diukur dengan sertifikasi ISO. Juga kembalikan sekolah negeri menjadi milik
publik agar dapat diakses semua warga (apa pun agama dan kemampuan
ekonominya). Kita juga memerlukan presiden yang peduli pendidikan.

Dicari, Guru yang Profesional

Guru adalah komponen penting dalam pendidikan. Di pundaknya siswa


menggantungkan harapan terhadap pelajaran yang diajarkannya. Benci atau
sukanya siswa terhadap suatu pelajaran bergantung pada bagaimana guru
mengajar. Saya katakan bahwa guru adalah ujung tombak dalam sistem
pendidikan. Sebagai ujung tombak, tentu kita sangat berharap kepada peran guru
dan kharismanya di hadapan siswa.

Sekarang, mari kita tengok bagaimana peranan guru di kelas. Kita harus
berani mengakui bahwa guru berperan besar dalam menjadikan sebuah pelajaran
di sekolah sulit dan tidak menarik minat siswa untuk mempelajarinya. Fakta ini
didukung oleh pendapat banyak siswa sekolah yang pernah penulis temui dan
pengalaman penulis saat sekolah dulu. Dari pengalaman siswa tersebut, penulis
mendapati banyak guru yang tidak punya motivasi dan semangat untuk mengajar
di kelas. Entah karena malas atau kurang menguasai materi pelajaran, sering guru
tidak hadir di kelas dan kalaupun hadir tidak memberikan pelajaran sesuai dengan
waktu yang tersedia. Sering waktu pelajaran di kelas diisi dengan mencatat
ataupun mengerjakan tugas tanpa siswa diberi wawasan secukupnya tentang
materi tersebut.

You might also like