You are on page 1of 124

Orang-orang yang mengispirasi dalam pembuatan karakter :

Ichsan Tarumanegara : Felix secara sikap, sifat, dan tingkah laku.

Fikri Ichsanuddin : Felix secara fisik dan sifat.

Febri Emilda : Feni secara sifat.

Gita Aprilia : Feni secara fisik.

Jakara Akbar : Antoni secara keseluruhan.

Johan Tampubolon : Radit secara keseluruhan.

Astari Noor Imannasari : Jessica secara keseluruhan.

Fery Putrawan : Rando secara keseluruhan.


1. Permulaan

Hari ini panas sekali.

Aku tak pernah membayangkan situasi rumit seperti ini. Panas yang menyengat kulitku
serasa menusuk-nusuk. Seluruh kulitku hangus terbakar. Darah-darahku serasa mendidih.
Seperti di neraka saja.

Di depanku, Pak Dun dengan tampang sok seramnya masih saja mengitariku dan
membubuhkan bumbu-bumbu politis memuakkan ke wajahku. Sudah lebih dari lima putaran ia
mengitariku. Satu putaran berarti satu kalimat.

Putaran pertama : “Saya paling tidak suka orang yang datang terlambat.”

Putaran kedua : “Waktu saya SMA dulu, gak pernah saya terlambat.”

Putaran ketiga : “Dan kamu Danar, ini ketiga kalinya dalam dua minggu!”

Ia berhenti sejenak untuk menatapku. Dan, ia kembali berputar. Kepalanya diangkat


tinggi-tinggi. Persis orang yang kena penyakit salah bantal. Terus, dan terus begitu hingga
akhirnya menghi-nya kambuh pada putaran keenam.

Ia mendadak kelagapan dan memegang dadanya.

“Ngiii… Ngiii…,” hanya itu yang bisa ia ucapkan. Mungkin itu sebabnya orang-orang
menyebut penyakit ini menghi.

Ia semakin lama semakin heboh saja. Tak jauh dari sana, Pak Umar menunjuk-nunjuk ke
arahku.

“Kamu! Ya, kamu! Bantu saya angkat Pan Dun ke kantor! Cepat!”

Aku melihat lelaki paruh baya yang hampir mati itu. Tak sedikit pun rasa belas kasihanku
luluh saat melihat wajahnya. Kepalanya masih saja terangkat. Oh, jijik rasanya.

“Saya sedang dihukum, Pak.” Jawabku santai.

Satpam itu merengut. Ia lalu memanggil salah satu murid yang lewat. “Ya. Tentu saja
kamu sedang dihukum. Kalau begitu saya tambah satu jam pelajaran lagi!”

Oh, astaga!
Satpam itu segera berlalu setelah selesai bicara. Aku hanya bisa pasrah menerima
nasibku. Aku melihat ke arah kelasku. Sepertinya ini cukup sempurna. Satu jam lebih lama
berarti aku harus berdiri sampai istirahat pertama dimulai. Hebat sekali!

Aku memang kurang beruntung dalam hal apapun.

Jika kita mengambil skala sepuluh, maka dipastikan aku ada di angka empat. Itu artinya,
hidupku tidak terlalu beruntung dan lebih banyak mengalami kesialan. Entah secara social,
hukum, ilmiah, esek-esek atau hal-hal bodoh lainnya. Keberuntungan sangat jarang
menghampiriku. Tiga bulan sekali pun belum tentu. Apalagi seminggu satu kali. Kesialan-
kesialan ini bahkan telah menjadi keseharian dan gaya hidup yang tidak mengenakkan tentu
saja. Tak jarang semua kesialan itu seringkali membawaku pada kekonyolan dan kerugian yang
tersangat amat.

Kesialan pertamaku adalah aku berdiam di rumah kos yang ditinggali oleh dua orang
kembar iseng bernama Roni dan Doni. Dua orang inilah penyebab utama kesengsaraan hidupku.
Penyebabnya tak lain adalah keisengan luar biasa dari dua orang ini yang seringkali
menyusahkan. Pernah satu ketika aku menemukan sepatuku tergantung di pagar teras
kamarku, sementara sebelahnya ada di lobang WC. Dan salah satu yang paling iseng adalah
ketika aku kehilangan kaos kakiku yang akhirnya kutemukan tergeletak di freezer dalam
keadaan membeku alias keras. Satu – satunya yang menghiburku adalah dua orang ini tidak
bersekolah di sekolah yang sama denganku.

Yang terjadi hari ini adalah satu dari sekian banyak kesialan dalam hidupku.

Ini adalah tentang kesialan keduaku : transportasi. Jarak antara sekolah dan kos-kosan
tempat aku tinggal berjarak kurang lebih dua kilometer. Berhubung gak ada taksi dan bis,
angkot adalah pilihan satu-satunya. Masalahnya, aku tinggal sendiri alias tanpa orang tua yang
berada di luar kota. Uang yang sering dikirim pun tidak banyak. “Belajar hidup mandiri dan
pintar mengatur kebutuhan”, itu yang mereka bilang. Namun, masalah sebenarnya bukan soal
uang, namun soal angkot itu sendiri. Angkot di wilayah kami bukanlah yang terbaik, bahkan
tergolong pemalas. Seringkali mereka terbiasa menunggu penuh, sebagian lagi malah
menunggu sampai siang tanpa peduli kepada para pelanggan. Jadi, sepagi apapun kamu pergi
sekolah, maka tetap saja bisa terlambat.

Dan, di sinilah aku sekarang. Di tengah-tengah lapangan basket, menghadap pada tiang
bendera kosong. Beberapa dari anak kelas sepuluh yang melihatku menyunggingkan senyumnya
padaku. Terutama yang cewek-cewek.

Dari kejauhan, aku melihat Mam Yul membawa dua orang siswi bersamanya. Apa mereka
siswi yang terlambat juga? Tapi, kok, mereka tidak dihukum?

Aku merefleksikan pikiranku. Mencoba memutar memori, ingatan, dan kenangan.

Dua hari yang lalu salah satu teman lamaku, Rin, mengatakan dia akan pindah ke
sekolahku hari ini. Yah, jujur, aku tak pernah bertemu dengannya ataupun melihat wajahnya.
Aneh juga, soalnya dia adalah temanku di salah satu fasilitas chatting. Tak pernah sekalipun ia
menunjukkan foto wajahnya. Kurang pede? Mungkin saja.

Salah satu dari dua murid baru itu ditempatkan Mam Yul di kelasku. Apakah itu Rin-ku?
Ah, aku tak tahu.

*************************

Bel istirahat pertama akhirnya berdering. Seriung dua kali menandakan saat istirahat.

Ratusan murid keluar dari kelasnya. Melihat itu, aku segera ngacir. Tak jauh dariku, Pak
Satpam tertidur pulas di kursinya. Mungkin terlalu lama mengawasiku. Dari jauh aku melihat
Pak Dun. Ia menunjuk-nunjuk ke arahku dengan tampang penuh emosi. Kepalanya masih
terangkat. Cara ia menunjuk persis seorang mandor. Namun, tak sampai tiga detik
mengarahkan telunjuknya, menghi-nya kembali kumat. Beberapa guru segera menghampirinya,
menggotongnya kembali ke UKS.

Aku berjalan ke kelas dengan terkikik. Di depan kelas, Felix dan sang pacar, Siska asik
bersenggama, emm.. maksudku bercengkrama.

“Asik berjemurnya, Dan?” cerocos Felix.


“Ya, ya.. Lumayan, Fel. Serasa orang barat gimana gitu…” (wajah cemberut) “Sialan lu,
toge!!!”

Dia hanya tertawa melihat penderitaan temannya ini. Di sampingnya, Siska masih saja
bermanja-manja. Sungguh menjijikkan.

Aku berjalan ke tempat dudukku, menaruh tas di meja, dan duduk untuk istirahat.

Inilah kelasku, dimana kesenangan yang jadi makanan sehari – hari, dan dimana hanya
segelintir orang yang berfikir untuk masa depan, itu terbukti dari sedikitnya orang yang membaca
buku dibanding yang bermain gitar atau pacaran. Di kelasku ini kepintaran sangat merata, alias tak
ada yang terlalu pintar dan terlalu bodoh. Namun, menurutku itu hanya karena mereka tidak
berusaha. Tapi tentu saja ada beberapa yang menonjol seperti Andi, Inu atau Warni yang
merupakan tiga orang yang paling pintar di kelas. Namun justru kaum – kaum yang mendewakan
kesenangan itulah yang paling diterima di kalangan murid – murid SMA. Sungguh ironis. Di saat
bangsa butuh para muda – mudi yang berfikir, mereka justru merelakan otak brilian mereka untuk
bermain, bersenang – senang, bepergian setiap waktu tanpa hasil.

Sepertinya ini memang bukan hari untukku. Tak cukup lama aku istirahat, bel masuk
telah berbunyi. Dan astaga, ini pelajaran Bahasa inggris!

Mam Yul datang tak lama setelah bel berbunyi. Wajahnya yang imut-imut cukup
membuat suasana sedikit menjadi sejuk.

Sedikit penjelasan mengenai Mam Yul. Sebelum ini, ia biasa dipanggil “Miss Honey”.
Mungkin karena ia memang berwajah manis dan imut – imut, ditambah ia belum menikah. Namun,
ia menyatakan akan menikah pada dua bulan ke depan. Para murid pun bermusyawarah untuk
menentukan panggilan baru si guru. Beberapa mengusulkan “Mam Sweet”, sebagian mengusulkan
“Madame” dan yang lain mengusulkan “Mama Four”. Namun semua panggilan itu ditolak oleh Miss
Honey karena ia ingin dipanggil dengan nama aslinya saja yaitu Annisa Yulistia. Maka daripada itu
lalu diputuskan nama panggilan baru untuk Miss Honey adalah “Mam Yul”.
Saat Mam sudah masuk, teman-teman sekelasku satu per satu masuk. Felix mengambil
posisi duduk di sampingku. Dengan sebelah tangannya masih melambai ke pacarnya yang duduk
di sudut kanan, ia meniupkan “ciumannya”. Menjijikkan.

Sesaat setelah memulai pelajaran dua orang siswi datang. Mam mempersilahkan dia
masuk sambil tersenyum. Salah satunya adalah Emmilia, namun yang satu, aku tidak
mengenalinya. Sepertinya dia murid baru yang tadi.

“Itu siapa?” tanyaku pada Felix. Tanganku terangkat, namun tidak menunjukkan gestur
menunjuk.

Felix melihatnya sesaat. Ia lalu melihatku sambil tersenyum. “Dia murid baru, namanya
Karin. Tadi pagi dia sampai waktu kamu dihukum.

“Ya, makanya jangan telat.”

“Kamu tahu sendiri, kan, kenapa aku telat?”

Aku kembali meliriknya saat ia menuju tempat duduknya. Ia melihat padaku. Sesaat saja.
Namun, itu sudah cukup membuatku grogi. Aku mengalihkan pandangan ke papan tulis. Ia terus
saja berjalan ke arahku. Aku melirik kursi yang memang kosong itu. Ia rupanya duduk bersama
Emmilia. Saat ini aku hanya berharap inilah Rin yang selama ini ber-sms ria denganku, bercanda
melalui telepon, ngobrol lewat chatting dan berkirim surat.

Ia melirik padaku sebentar, lalu kembali memandang ke depan.

Ia melakukan hal yang sama sesaat setelah Mam Yul membagikan kelompok diskusi.
Tugasnya adalah membahas sebuah paragraf yang belum ditentukan judulnya, tipenya, dan
jenis tensis apa yang digunakan. Ia melihatku cukup lama. Pada satu momen, kami kembali
saling berpandangan. Namun, itu sangat singkat karena ia kembali berpaling karena Emmilia dan
Putri memanggilnya. Mereka mengobrol satu sama lain, membahas tugas kali ini. Namun, suaranya
hanya terdengar sesekali, tidak sesering Emmilia dan Putri, menandakan tidak ada niatan dalam
obrolannya.

Keheningan berlanjut hingga pelajaran itu berakhir. Mam Yul merapikan peralatan
mengajarnya. Memasukkannya ke dalam tas.

“Anak-anak, saya punya pengumuman buruk”


Kami terdiam.

“Pak Dun tidak bisa masuk hari ini. Dia... kurang enak badan.”

Kelas mendadak meledak. Larut dalam kesenangan. Mam Yul yang kebingungan langsung
kabur dari kelas itu. Takut terkena sial.

Sepertinya guru bengek itu takut mati saat melihatku. Cukup sudah dia dua kali terkena
bengek hari ini olehku. Jangan yang ketiga kalinya.

Murid-murid di kelas itu kembali berhamburan keluar kelas. Dan seperti biasa, segelintir
saja yang tersisa untuk belajar. Sebagian ke kantin, sebagian lainnya berpacaran dengan liarnya.

Aku duduk tenang dengan tanganku berpangku pada meja. Kugerakkan tanganku
mencorat-coret naskah pidato yang akan ditampilkan setelah ini. Kubaca satu per satu kalimat,
memahami, bukan menghapal isi.

“Dan,” sebuah suara menyambangi telingaku. Indah sekali.

“Danar…”

Suara itu semakin jelas.

“Danar…”

Aku menoleh. Suara itu datang dari Karin, murid baru itu.

“Danar, ini Rin. Aku seneng akhirnya bisa ketemu sama kamu. Aku udah menantikan ini sejak
lama”.
2. Sahabat

Menurut data statistik dari tahun ke tahun disebutkan bahwa penduduk di Kepulauan Bangka
Belitung didominasi oleh dua suku : Melayu dan Cina. Jika skala diperkecil, didapatkan angka sebesar
lebih dari 30 % penduduk merupakan keturunan Cina. Ini dapat dimaklumi mengingat beratus –
ratus tahun yang lalu orang – orang Cina datang merantau ke negeri Indonesia, terutama pulau
Bangka untuk berdagang.

Sebagian besarnya konon memutuskan tinggal di negeri ini. Hingga sekarang, kaum Cina pun
beranak-pinak. Beberapa diantaranya kawin dengan anak Melayu hingga akhirnya menghasilkan
anak-anak CM ( Cina-Melayu ) yang kini jumlahnya entah sudah berapa ratus orang.

Hal itu juga rupanya menimpa Karin. Karin merupakan seorang wanita keturunan Cina, yang
didapatkannya dari Ayahnya. Kulitnya yang putih bersih ditambah mata sipit nan indahnya cukup
menggambarkan ke-Cina-annya. Hanya saja, logat dan beberapa bagian tubuhnya seperti bibir, tidak
sama sekali menggambarkan bahwa ia seorang Cina.

Hari ini, tepatnya sekarang, aku dan Karin berjalan berduaan di halaman kantor guru.
Statusku sekarang adalah seorang guide dan Karin berperan sebagai tourist. Jujur, aku belum pernah
berduaan dengan wanita yang bukan keluargaku selain dengan Dewi, sahabatku sejak SMP dan Feni.
Namun, kesan kali ini sangat berbeda. Lebih hangat, bisa dibilang begitu. Berjalan berduaan dengan
Karin bisa dibilang merupakan kontak sosial terbaik yang bisa dialami pemuda jomblo. Kata – kata,
intonasi, serta mimiknya merupakan yang terbaik diantara cewek – cewek lain yang pernah kutemui.
Nada bicaranya sangat menyenangkan, penuh kehati – hatian, namun tidak diperlambat. Jika
diambil skala lima bintang, maka Karin akan mendapatkan empat setengah. Sebuah penghargaan
bagi orang yang nantinya bisa menjadi seorang politikus bermulut ajaib.

Khayalanku melayang tinggi dengan idiotnya. Dalam gambaranku, suara Karin terdengar
sangat jelas. Di ruangan itu aku dan Karin berdampingan. Suaranya sungguh indah, enak didengar
telinga. Saat itu penghulu bertanya:

“Apa engkau dengan hati yang ikhlas bersedia berdampingan dengan lelaki ini?”
“Ya”. Oh..sungguh elok suaranya. Sebuah balutan kecerdasan dan kelembutan hati bersatu
dalam sebuah kata : “Ya”. Ohhh..aku terasa hanyut dalam kalbu khayalanku sendiri. Semua sungguh
terasa nyata dan realistis. Tak terkirakan seberapa berartinya visualisasi itu.

“Dan, bagaimana denganmu, pencinta?” penghulu itu bertanya dengan noraknya.

Alis kiriku mengangkat cepat menatap penghulu yang tersenyum melotot padaku itu. “Ya,
iyalah…” jawabku cepat.

Sungguh bahagianya aku. Aku melihat Karin, dan ia melihatku. Oh, manisnya khayalan-
khayalan ini. Sesaat aku berharap semuanya menjadi nyata.

Dan, dalam sebuah tepukan semuanya menghilang.

“Dan!” Karin memanggilku sambil menepuk kedua belah tangannya.

“Oh, kenapa Rin” aku terbangun dari lamunan.

“Kamu ngelamun?”

“Ah, enggak…”

“Kirain..”

Aku tersenyum kaku.

Namun, hari ini akhirnya berakhir. Sngguh miris bagiku. Sebuah bunyi – bunyian pada
akhirnya memisahkanku dan Karin untuk sementara. Sebuah benda besar hitam yang disebut mobil
jemputan menjadi pemisah antara aku dan Karin. Kertas kecil yang berisikan alamat rumahnya
menjadi kenang – kenangan terakhir untuk hari ini darinya. Sementara aku memandangi mobil
jemputannya yang perlahan menghilang, sebuah suara menghampiri gendang telingaku. Sebuah
suara yang sangat aku kenal, yang setiap hari aku jumpai dan kali ini nadanya sangat tinggi : supir
angkot!

“WOI!! Mau naek apa kagak?”, sang supir berteriak.


Sebagaimana Oliver Kahn, dalam sekejap akupun terbang memasuki angkot biru itu.

Hari ini aku tidak langsung pulang ke kos – kosan, melainkan mampir sebentar ke Video BUSY,
sebuah tempat penyewaan film paling lengkap di Pangkalpinang. Tempat ini merupakan satu-
satunya tempat penyewaan film yang menyewakan kaset original alias asli. Kebanyakan tempat -
bahkan mungkin seluruhnya- lain selalu menyewakan kaset bajakan yang kualitasnya sangat-sangat
(sangat) buruk.

Jadwal kerjaku di tempat ini tidak terlalu rumit. Di sini terdapat tiga orang pegawai: aku,
Ifkan, dan Heri. Jika hari ini aku menjaga, maka besok dan lusanya aku tidak menjaga, begitu
seterusnya. Pekerjaan ini memakan waktu selama empat jam, mulai dari pukul 14:00 sampai pukul
18:00 alias maghrib. Pada jam malam, petugas lain yang akan menjaga. Dari jadwal tersebutlah gaji
bulanan kami tidak tinggi, hanya Rp 30.000,00 per empat kali jaga.

Yang biasa kulakukan disini hanya menunggu waktu berjalan dengan menonton beberapa
film secara gratis, dan berkenalan dengan beberapa member cewek, yang tentu saja selalu menolak
secara halus. Yang terkadang membuatku senang adalah kedatangan dua sahabatku, Felix dan
Arman yang juga merupakan member. Seringkali kami bercanda, dan bercerita. Namun hari ini tidak
ada satupun orang yang datang hingga jam kerjaku habis. Dan, jadilah aku manusia yang sendiri
ditemani sebuah televisi.

Sesampai di rumah, aku langsung berlari ke kamarku . Capek. Berjalan sejauh 300 meter
merupakan hal yang menyakitkan bagi orang berstamina lemah sepertiku. Itulah kenapa setiap
pelajaran olahraga nilaiku tidak pernah tinggi kecuali dalam materi senam dan tolak peluru.

Aku berjalan menaiki tangga menuju kamar. Di depan kamarku si duo kembar asyik bermain
Playstation sementara Tante Minah, sang ibu kos menyambutku dengan sebuah kalimat yang
menyejukkan:

“Dan, udah makan belum?”

Itu adalah sebuah kata menyejukkan bagi anak kos manapun di dunia.

“Belum, tante” jawabku.


“Kalau begitu, makan sana. Lauk sama nasi ada di meja makan.” balasnya.

“Iya tante. Danar ganti baju dulu,” jawabku seraya menganggukkan kepala dan memasuki
kamar.

Tante Minah merupakan ibu kos yang terbaik, paling tidak bagiku. Ia menganggap aku dan
teman sekosku yang lain seperti anaknya sendiri. Sikapnya yang sangat keibuan inilah salah satu
alasan aku tidak meremukkan kepala si duo kembar iseng. Selain itu, Tante Minah juga selalu dapat
menjadi seorang kakak sekaligus ibu bagi para perantau macam aku dan teman – temanku. Hal itu
terbukti dari perhatiannya yang super, termasuk membangunkan kami tidur dan memberi support
disaat kami sedang down.

Hal yang pertama kulakukan di kamarku adalah mengambil HP. Benda yang selalu kutaruh di
balik bantal itupun aku ambil. Akupun membuka sarungnya, menonaktifkan kunci tombolnya, dan
yang kudapatkan adalah empat panggilan tidak terjawab dan enam sms. Namun, yang paling
kuperhatikan adalah sms yang terakhir, yang dikirimkan pukul 16:43. Sebuah sms dari Karin yang
merupakan sms terindah dan membuatku gundah setengah mati:

“Jika ada mantan pacar, aku berharap tidak pernah ada yang namanya mantan sahabat. Dari
sahabatmu, Karin.”
3. Pesona

Aku berjalan di lorong laboratorium fisika bersama Felix. Rencana awal, kami akan ke kantin.
Sekejap, rencana berubah saat Felix tiba-tiba kebelet pipis.

Aku menunggu di bangku yang ada di depan WC. Aku membuka dompetku, memeriksa
seberapa banyak uang yang kupunya. Sepuluh ribu. Lebih dari cukup untuk satu set nasi ayam
goreng dan segelas es teh.

Tak lama, Felix keluar. Kami meneruskan jalan kami ke kantin yang tak jauh dari WC itu. Ia
sedikit jahil dengan tangannya, mencoba mengelap pada bajuku.

Kami mengambil tempat duduk di bangku dekat pintu masuk. Mejanya yang panjang
menempel pada dinding. Felix duduk di sampingku, dengan membawa pecelnya.

“Mana Siska?” tanyaku padanya.

Ia melihat padaku sebentar wajahnya muram sebentar lalu kembali cerah lagi. “Dia sakit. Flu
biasa sebetulnya.”

“Flu?”

“Iya. Tapi dia kan sedikit dimanjakan. Jadi flu biasa itu lebih beresiko daripada kanker. Paling
enggak buat orang tuanya.”

Aku menggelengkan kepala. Heran juga. Felix disampingku tersenyum getir. Mentertawakan
sikap sang pacar. Pacarnya sendiri!

Aku melihat padanya sebentar. Ikut tersenyum.

“Lalu, gimana soal cewek itu? Karin?”

“Apanya yang gimana?”

“Kamu suka dia kan?”


Aku terdiam sesaat. Cukup bodoh menurutku untuk bohong pada Felix. Dia sahabatku.
Kebohongan sekecil apapun pasti akan dia ketahui. Namun tentu saja akan lebih berat bagiku untuk
terus menyimpan rasa ini tanpa memberitahukan siapapun.

Aku baru saja ingin berkata sesuatu pada Felix saat Karin datang ke kantin itu. Ia bersama
Emmilia. Ia tersenyum sebentar padaku sebelum pergi memesan makanan.

Aku menatapnya secara aneh. Gamblang bahkan. Aku serasa tersapu, tersayu saat
melihatnya. Mulutku sedikit ternganga, terdiam melihat wajahnya.

Felix melihatku. Senyumnya licik. Seperti senyum kemenangan. Aku menoleh kepadanya lalu
kembali menyendokkan makanan ke mulutku.

“Sepertinya aku memang suka dia,” ucapku lirih.

Ia mengangguk-angguk. “Aku udah tahu kok. Aku tahu…”

Saat itu Antoni datang dan kami mendadak diam. Terus dan terus saja begitu hingga bel
masuk berbunyi dan kami kembali ke kelas.

***********************

Fisika adalah pelajaran selanjutnya. Itu artinya, Pak Dun yang akan ada di kelasku selama dua
jam!

Kesialanku kembali datang saat buku PR-ku tertinggal di rumah. Dengan penuh kecemasan
kukeluarkan segala isi tasku. Namun hasilnya nihil. Pak Dun, yang telah menekanku sejak awal jam
pelajaran, seolah bertemu kesempatan emas di depan mata. Dengan senyum bikin-bikinan ala
diktatornya, ia menyuruhku berdiri di depan kelas selama dua jam pelajaran dengan kepala
menunduk.

Karin yang melihatku sedikit terkikik saat melihatku berjalan maju.

“Kepalanya menunduk!! Jangan sekali-kali lihat ke depan! Pokoknya ke bawah terus!


Hahahaha…” tawa kepuasan dilemparkannya padaku.
Satu jam pelajaran telah berlalu. Leherku sudah terasa pegal minta ampun. Rasanya kepalaku
tak akan pernah bisa diangkat lagi.

Saat waktu menyisakan satu jam pelajaran, Pak Dun memberikan sebuah soal mengenai
Usaha dan Energi. Tiga soal yang harus sudah selesai dalam waktu dua menit.

Aku sedikit melirik teman-temanku. Kebanyakan dari mereka gusar. Tak bisa tenang, persis
cacing kepanasan. Di depan, Pak Dun menyilangkan kedua tangannya. Dadanya dibusungkan tinggi-
tinggi, kepalanya terangkat, wajahnya dibuat sedemikian rupa agar terlihat sangar. Namun justru
gestur yang seperti itu membuatnya seperti seorang badut. Badut yang buruk.

Waktu yang dua menit seperti yang sudah diduga tidak dapat memunculkan satu orang pun
menyelesaikan soal-soal itu. Aku terkekeh. Pak Dun memandangku. Saat itu juga kuhentikan tawaku.

Seorang murid mengangkat tangannya. Sepertinya ia berhasil menjawab soal itu.

“Yak!” ia menunjuk murid itu. “Silakan Karin. ”

Karin? Kepalaku mendadak terangkat. Aku melihatnya maju selangkah demi selangkah.
Sebuah buku dibawa di tangannya. Langkahnya mantap dengan sinar mata yang mempesona, penuh
keyakinan dan penuh kerendahan hati.

Ia tersenyum padaku sebelum mulai menulis.

“Jangan lupa dijelaskan.” tambah Pak Dun. Ia mengangguk.

Aku melihatnya menulis satu per satu angka-angka dan rumus-rumus untuk menjawab. Aku
memperhatikan dengan cermat. Saat ia sudah menyelesaikannya. Ia menjelaskan perlahan-lahan
soal yang telah dijawabnya.

“Pada saat beban belum diberikan, pegas tidak menyimpan energi potensial…”

Oh! Cerdas sekali! Suara yang indah itu membuatku termangu. Indah, sejuk, dan
menenangkan.
Aku menyimaknya lagi. Satu per satu ilmu mulai masuk ke telingaku, tersimpan di memori
otakku dan ke dalam hatiku. Intonasinya, pemilihan nada-nada yang tercampur dalam
kecerdasannya mampu membuat Fisika yang sulit ini terdengar seperti sebuah simponi untukku.
Seandainya saja semua guru Fisika adalah Karin.

Kepalaku secara tiba-tiba dicengkeram. Aku terkejut. Lamunanku terpecah. Itu Pak Dun.
Wajahnya marah, sangar tak dibuat-buat.

“KEPALANYA MENUNDUK!!!” ia berteriak di wajahku. Di tundukkannya kepalaku secara


paksa. Tak lama, ia menghisap tabung pernapasannya secara menderu. Seisi kelas, seperti biasa,
mentertawakan drama itu. Aku melirik Karin, yang juga melihatku. Kami saling tersenyum satu sama
lain. Ia memang cewek yang luar biasa.

***********************

“Yang tadi oke juga, Rin.” aku membuka lembar-lembar puisi yang kutulis. Lembar-lembar ini
akan digunakan nantinya untuk edisi berikut majalah dinding ekskul Jurnalistik.

“Yang mana?”

“Yang Fisika tadi itu lo.. Kamu pinter juga ya?”

“Ah, enggak, Dan..” ia tersipu malu. Ia mengambil lembar-lembar puisi yang telah kulihat
sebelumnya. “Ini untuk apa, Dan?” tanyanya.

Aku melihat lembaran-lembaran itu. “Itu untuk edisi minggu depan mading Jurnalistik.”

“Jadi, kamu anggota Jurnalistik?”

“Iya. Seksi karya sastra. Si Estu dari XI IPS 1 juga. Tapi dia lebih lihai di pantun. Kalo aku ya,
nulis puisi ini.”

“Puisinya bagus-bagus.”
“Iya. Itu nanti mau disaring lagi. Butuhnya dua puisi.”

“Tapi ini semuanya ada enam?”

Aku memberikan puisi yang tadi kulihat padanya. Totalnya memang ada enam.

“Aku suka yang satu ini, Dan. Yang judulnya Kamu.”

Aku melihat puisi itu. Puisi itu memang bagus. “Kayaknya bagus juga. Kalo gitu itu aja yang
buat ditempel nanti.”

Sedari jauh, Arman memanggilku. Sepertinya rapat Jurnalistik telah dimulai.

Aku meninggalkan Karin. Ia melambaikan tangannya dan senyumnya padaku. Sekali lagi, itu
adalah senyum yang manis.

Rapat Jurnalistik mengambil tempat di kelas XI IPA 1, yang terletak di lantai dua, di ujung
paling kanan. Aku berjalan ke ruang itu bersama Arman. Kulihat di dalamnya telah ada anggota
Jurnalistik yang lain. Harun, sang ketua telah ada dengan laptopnya. Di belakang, Jessica, Radit, dan
Estu berjalan dengan tergopoh-gopoh. Dilihat dari intonasinya, sepertinya mereka berdebat.

“Gak ada public opinion. Ide itu bener-bener gila, Tu! Lama sedikit, bisa-bisa kena asma!”
pekik Jessica.

Aku melihat Karin yang telah bergerak. Sepertinya jemputannya telah datang. Saat ia berlari,
seorang cowok memotongnya dari arah lain. Mereka bertabrakan. Aku tak bisa melihat dengan jelas
cowok itu. Ia membelakangiku.

Saat mereka berdiri, Karin hanya dapat diam melihat lelaki itu. Ia terdiam, dengan tas yang
dipeluknya, mulutnya merapat. Aku melihat kekaguman dari mata dan raut wajahnya. Cowok yang
tadi menubruknya segera pergi sesaat setelah itu. Karin yang diam terus melihatnya, dengan wajah
yang penuh kekaguman, ia tersenyum-senyum saat berjalan ke mobilnya.

Saat itu aku merasakan sesuatu yang berbeda. Dadaku serasa sesak, panas, dan menderu.
Dan saat melihatnya penuh kebahagiaan seperti itu, aku merasa sakit.
4. Feni Ambrita Evindia

Aku tak bisa melakukan segala sesuatu secara benar. Pada rapat Jurnalistik kemarin pun
sama saja.

Saat yang lain sibuk berdebat dengan artikel mengenai Bazar, aku hanya diam tanpa suara.
Arman, yang menegurku hanya kubalas dengan senyum kecut.

Seorang anggota baru membawa sedikit masalah pada kami kemarin. Rando, teman
sekelasku tiba-tiba saja muncul dan membawakan artikel Bazar yang baru, yang lebih mutakhir, dan
lebih bermutu.

Artikel baru itu memancing Jessica, yang adalah seksi pencari berita tidak senang.

Aku hanya bisa melihat perdebatan yang sengit itu penuh kelesuan. Yang ada dalam
pikiranku hanyalah mengenai Karin. Dan tentu saja, cowok misterius yang ditaksirnya itu.

Aku menantikan hari ini karena alasan itu. Aku datang jauh lebih cepat dari biasanya. Aku
bahkan belum sempat sarapan. Karin tak akan mungkin diam tanpa memeberitahuku. Ia sahabatku,
dan tak mungkin dia diam saja saat ia jatuh cinta pada orang lain.

Ia datang pada akhirnya. Matanya masih berbinar dan senyumnya masih ceria saja. Ia
melangkah dengan intonasi yang aneh. Ia melihatku sebentar sebelum masuk ke kelas.

“Hai, Dan.” lambainya padaku.

Aku melihatnya masuk ke kelas. Berharap ia akan keluar lagi. Selang beberapa saat, ia tak
kunjung muncul. Aku mengintip dari jendela. Ia sedang menulis sesuatu di kertasnya. Masih saja dia
tersenyum-senyum sendiri.

Aku memberanikan diri untuk masuk ke kelas dan menanyakan sendiri.

Aku duduk di tempat dudukku. Saat itu hanya ada kami berdua.

“Lagi seneng nih Rin?” aku menyapanya dengan sedikit menggoda.


Ia melihatku dengan senyum dan sedikit rasa ragu. Ia melihatku dan buku yang dicoretnya
bergantian. Dengan sigap, ia tiba-tiba menutup bukunya.

“Ah, enggak… Enggak ada apa-apa.” ia beranjak pergi. Aku, yang ditinggalnya diam
kebingungan. Ini aneh.

Aku memutuskan untuk memberinya waktu hingga istirahat pertama tiba. Namun, ia tetap
saja bungkam. Ia melihatku dengan cara yang aneh. Seperti sesuatu akan ia katakan, namun entah
kenapa sesuatu itu tersangkut di tengah tenggorokan. Alasan yang sulit ditebak.

Bel istirahat pertama telah berbunyi. Karin melihatku sebentar sebelum meninggalkan kelas.
Tatapan penuh keraguan. Aku menunggu. Tak lama, ia pergi. Felix, seperti biasa harus menguntit
Siska. Sementara teman-temanku yang lain berhamburan keluar. Aku sendirian di sini.

Aku berjalan keluar. Terlalu malas diriku untuk pergi ke kantin. Ke kantin terlalu beresiko
untuk bertemu dengan Karin.

Aku memutuskan untuk ke perpustakaan. Di saat seperti ini, mendinginkan badan dan pikiran
adalah jalan yang terbaik. Mungkin aku bisa menemukan beberapa majalah.

Ruang perpustakaan itu terdiri dari beberapa bilik. Ya, seperti bilik-bilik TPS itu. Aku memilih
satu yang ada di sudut belakang ruangan. Di depan salah satu AC. Tak lama, pengumuman rapat
darurat para guru diumumkan. Dua jam pelajaran digunakan untuk koar-koar Bu Nisa, Kepala
Sekolah kami.

*********************

Aku sedang menikmati artikel mengenai buah pakis saat seseorang menyapaku.

“Hai.” sapanya. Ia berdiri di depan bilikku. Kedua tangannya ditopangkan pada mulut bilik itu
sementara dagunya dipangku di atasnya.

“Hai, Fen.” balasku.


“Boleh dong, aku duduk.” Ia menunjuk bilik kosong di sampingku.

Aku mengangguk. Ia bergegas duduk. Di tangannya sebuah buku “Sejarah Dunia”


dipegangnya.

Ia adalah Feni. Feni Ambrita Evindia. Satu lagi wanita cantik yang dekat denganku. Aku
memang dekat dengan banyak wanita cantik. Cukup ironis memang, karena tak satupun dari mereka
berhasil kudapatkan.

“Kelas kalian punya murid baru, ya?” ia bertanya. Tangannya membalik-balik lembaran buku
30 Rahasia Cepat Kaya karya Haji Sumenep yang sedari tadi dipegangnya.

“Iya. Namanya Karin.”

Ia tersenyum lagi. Senyum yang manis.

“Pindahan dari mana?” tanyanya lagi.

“Bogor.”

“Sama kayak kamu, dong?”

Aku mengangguk.

Aku merasa cukup nyaman kepada Feni. Ia sahabatku, itu jelas. Sudah dua tiga hari ini kami
tidak mengobrol satu sama lain. Hanya saling memanggil saja. Kebanyakan karena aku bersama
Karin akhir-akhir ini.

Sedikit cerita mengenai Feni. Feni adalah seorang wanita yang disukai oleh lebih dari 95 %
cowok – cowok di SMA ini. Wajar saja, dengan paras imut – imut dan bodi oke yang dipunyainya,
seorang homo pun dijamin bakal kembali normal untuk sementara waktu. Menelisik persentase
tersebut, wajarlah jikalau akupun mengalami “rasa” yang sama. Namun, tentu saja “rasa” itu telah
tertutupi oleh besarnya sayangku kepadanya sebagai seorang sahabat. Untuk kondisi seperti ini,
sepertinya istilah persahabatan lebih baik dari pacaran memang benar adanya.
Dua tahun bersahabat mungkin sudah cukup untuk mengetahui segala hal tentang Feni.
Termasuk diantaranya, cowok yang disukainya.

Zikri adalah nama cowok yang beruntung itu. Seorang ketua Rohis, barisan terdepan saat
Pawai Baris Berbaris, dan merangkap ketua kelas XI IPA 1.

Dua tahun memendam rasa, dua tahun juga mental dan keberaniannya tak terbentuk.
Bahkan untuk berkenalan saja, Feni tak cukup memberanikan diri. Ironis.

Suasana perpustakaan yang tidak terlalu ramai membuat segalanya menjadi lebih rileks dan
nikmat, ditambah struktur perpustakaan kami yang memakai bilik - bilik. Dan untuk kesekian ratus
kalinya, Feni bercerita tentang hal-hal mengenai Zikri. Dan untuk kesekian ratus kalinya juga, seluruh
kebosananku entah kenapa terusir dengan sangat cepat saat melihat binar – binar matanya. Entah
itu penyebab utamanya atau tidak, yang jelas setiap aku melihat matanya, segala sesuatu yang rumit
terasa mudah dan indah. Dan, disaat aku mendengar caranya bicara, aku bagai tersapu oleh angin
yang berhembus, sangat – sangat mendayu. Setiap kata – katanya, cara bicara kekanak –
kanakannya, suaranya, serta setiap detik yang melaju, semuanya mampu membuat detak jantung
turun drastis, menaikkan tensi, dan mempercepat laju adrenalinku.

Saat ia menyelesaikan ceritanya, akupun masih tetap menatap matanya tanpa mampu
kulepaskan. Tatapan itu dibalasnya dengan hal yang serupa, bahkan jauh lebih indah dari yang
kupunya. Sesaat, semua rasa sayangku sebagai sahabat berubah drastis menjadi sebuah rasa yang
sangat jauh berbeda. Sebuah rasa yang kudapatkan saat pertama kali bertemu dengannya. Kami pun
terdiam dan saling mendekat. Ia memegangi wajahku dan membelainya secara halus dan perlahan.
Aku pun memegang tangannya yang lain, menggenggamnya dengan pasti. Mata kami tak terlepas
antara satu dengan yang lain. Mungkinkah itu akan terjadi? Sebuah peristiwa yang tak pernah ingin
kulakukan dengan Feni.

Aku memejamkan mataku, memasrahkan segala yang akan terjadi. Kami semakin mendekat.
Kutempelkan bibirku pada bibirnya. Kurasakan keharuman wangi tubuhnya.
“Ehem…” seseorang mengetuk bilik itu. Kami tersentak. Saat itu juga mataku terbuka. Secara
spontan, kami melihat orang itu.

Itu adalah Zikri! Ia berdiri memandang kami dengan tidak menyenangkan. Ia melihat pada
Feni dan berlalu saat itu juga. Aku melihat Feni. Ia tediam. Matanya berkaca-kaca. Air mata perlahan
mengalir dari matanya, penuh raut penyesalan.

“Aku minta maaf.” ucapku lambat.

Ia melihatku. Wajahnya penuh rasa bersalah. Tak jelas apa jawaban dari permintaan maafku
itu. Ia berdiri dari tempat duduknya, pergi dari tempat ini dengan tangis dan air mata.

Aku, di sini, hanya dapat tertunduk lesu. Tak dapat kupercayai itu dapat terjadi padaku. Tak
dapat kupercayai segalanya akan jadi seperti ini. Tak dapat kupercayai apapun untuk saat ini.
5. Er Purpone of Love

Ini sulit.

Hari-hari ke depan kedekatanku dengan Feni seolah lenyap tanpa jejak.

Aku tak pernah lagi bertegur sapa dengannya selama lebih dari dua hari. Pesan-pesan singkat
yang kukirimkan pun tak pernah dibalasnya. Aku seringkali melihatnya berjalan meniti lorong kelas.
Kelakuannya aneh. Ia seperti terbeban, terjanggal suatu hal dalam hatinya.

Ia selalu melewati kelasku dengan lunglai. Tatapannya lesu. Saat ia melihat kepadaku,
sekejap ia membuang pandang ke hal lain. Sejenak aku melihatnya. Matanya kosong, hampa, tanpa
sedikitpun isinya.

Aku membawa hal ini ke suatu aspek yang penuh dengan kekomplikasian. Tidak singkron,
bisa dibilang begitu.

Pikiranku berputar dengan kecepatan yang gila. Aku tak dapat mencerna apapun yang ada di
depanku. Astaga. Ini adalah tiga hari terburuk dalam hidupku! Dimulai dari Karin, hingga berlanjut
pada Feni kali ini.

Waktu ke depan menjadi lebih sulit lagi. Segalanya berdampak buruk. Nilai-nilaiku jatuh
drastis, tiap malam aku susah tidur. Dan seperti yang kukatakan sebelumnya, tak satu pun pesanku
yang dibalasnya.

Satu hal positif dalam hal ini, tak satu pun orang yang tahu permasalahan ini kecuali Aku,
Karin, dan Zikri.

*********************
Aku duduk tak jauh dari tempat Rando menggoda Jessica, cewek yang dikalahkannya dalam
pertarungan artikel utama.

“Hai, Jess…” ucap Rando. Tak lama, ia dan teman-temannya tertawa. Sementara Jessica yang
acuh tak acuh mengeluarkan kata-kata yang aku tak begitu jelas mendengarnya.

Aku kembali mengaduk-aduk mi ayamku. Kutuangkan sedikit cabai di dalamnya, ditambah


sedikit kecap dan saus tomat. Aduk, aduk, aduk.

Arman mengambil tempat di sampingku. Felix menyusulnya, dengan semangkok pecel di


tangannya.

“Mana Siska?” tanyaku.

“Praktek Bahasa Jerman.” Ia menuangkan kecap ke mangkoknya. “Yah… karena kemarin


absen.”

Aku dan Arman mengangguk bersamaan. Kusuap sendok pertama mi ayam itu. Menghirup
kuahnya yang hangat.

Jessica dan Radit mengambil tempat tak jauh dari meja kami. Sang cewek terus saja
mengoceh. Kepalanya penuh dengan emosi, masih saja marah-marah soal artikel Bazar itu.

“Maksudku, tentu saja ia tahu kalau kita bakal meliput Bazar itu,” ia berkata pada Radit.
“Bukan kebetulan kan, kalau artikel dia sama kayak kita.”

“Tapi patut diakui, Jes, kalau artikel dia lebih baik dari punya kita.”

Jessica menoleh pada Rando dkk dengan tatapan yang penuh kebencian. Saat itu ia sedang
duduk-duduk santai bersama dua teman karibnya, Inu dan Anto. Mereka sedang tertawa saat itu.
Sepertinya seru sekali. Inu, yang berbadan gendut pun sampai-sampai turun-naik lemak perutnya,
mengikuti irama tawanya.

Semua mata bertumpu pada tingkah Jessica yang semakin tidak dapat terkendali. Ia
mengetuk-ngetukkan sendoknya dengan brutal. Menimbulkan sedikit kebisingan.
Aku kembali fokus pada makananku dan masalahku sendiri. Satu hal yang terlintas di otakku
adalah Feni. Aku cukup peduli dengan apa yang telah terjadi kemarin. Bagaimana wajahnya yang
penuh raut penyesalan dan air matanya yang mengalir, yang membuat hatiku serasa terbelah dan
tak dapat merasakan apapun.

“Man.” panggilku.

“Napa?” jawabnya lugas.

Aku diam sejenak. “Apa kemarin Feni nangis?”.

Ia mengangguk. “Iya.” mulutnya penuh dengan makanan.

“Nangis kenapa, Man?” Felix yang sedari tadi diam ikut berbicara.

“Aku gak tahu Fel. Waktu dia datang ke kelas, dia udah berlinang air mata. Dan, waktu kami
semua bertanya, dia cuma bilang pengen sendiri dulu.

Dan, sampai hari ini, dia belum cerita apa yang bikin dia nangis. Sampai sekarang, kami belum
tahu soal itu.” Ia melihatku. Bahunya diangkat, lalu kembali makan.

“Aku tahu.” bibirku terlipat. Sedikit ragu mengenai ini.

“Aku yang bikin dia nangis.” ucapku. Mereka melihatku dengan pandangan yang aneh. Tidak
percaya sekaligus tidak mengerti.

Aku menghela. “Ini cukup sulit untuk dijelaskan.”

Mereka menunggu. Sesaat saling bertatapan.

“Kamu harus membaginya pada kami, Dan. Atau kamu akan tersiksa terus.” Arman
memegang bahuku. Disampingnya, Felix memberikan senyuman tegar padaku.

“Kalian harus tahu. Ini cukup sulit untuk dijelaskan.”

“Kami akan coba mengerti, Dan.” ucapnya lagi.

Aku mengangguk. Menghela sekali lagi.


“Sebenarnya, aku dan Feni…” -menarik nafas-. “Kami hampir berciuman.”

Felix tersedak mendengar itu. Aku melihat sekeliling, kalau-kalau ada yang mendengar. Tapi
sepertinya tak satu pun orang mendengar pembicaraan ini. Sementara, Felix masih saja tersengal-
sengal. Diminumnya es teh di depannya. Arman menepuk-nepuk pundaknya.

“Apa itu benar, Dan?!” Arman terlihat shock saat mengucapkan itu.

“Ya itu benar.” Aku menunduk. Teringat lagi akan penyesalan itu.

“Tapi kalian harus tahu. Itu diluar kontrolku. Semua terjadi begitu saja.”

Felix kembali dapat mengendalikan dirinya lagi. Dielusnya dadanya pelan-pelan. Diminumnya
lagi es teh di depannya.

“Kamu suka Feni, ya, Dan?” ucapnya lirih.

“A-aku gak tahu.”

Felix sedikit tertawa saat mendengar jawabanku.

“Kenapa?”

“Aneh kalau kamu gak tahu, Dan. Karena yang kamu alami ini pasti datang dari hati kamu,
Dan.”

“Tapi, selama ini… Maksudku, kenapa baru kali ini itu terjadi? Aku udah kenal dia selama dua
tahun. Dan, udah seringkali kami ngobrol berdua di bilik perpustakaan seperti itu.”

Diam sebentar. “Dan, gak pernah terjadi apa-apa.” lanjutku.

Perhatian kami kembali pecah saat Rando kembali berulah dengan Jessica. Seperti biasa,
Jessica acuh tak acuh. Tapi kali ini, cewek aneh ini membuat kebisingan saat mencari masalah denga
nibu kantin. Selang beberapa saat, ia meninggalkan kantin dengan wajah cemberut. Dibelakangnya,
Rando dan teman-temannya tertawa sekeras-kerasnya.

“Kita semua tahu..” lanjut Felix. “… saat itu hati kamu sedang tidak karuan suasananya. Tentu
lebih mudah juga bagi kamu untuk merasakan apa yang selama ini kamu pendam.
“Ini seperti… buah ranum di saat kepanasan.”

Aku sedikit terganggu dengan analogi buah ranum itu. Namun patut diakui ketepatan
perbandingan itu. Namun ini bukan buah ranum. Lebih seperti mata air. Ada di saat aku
membutuhkannya.

Namun, apakah ini cinta yang sejati? Aku cinta Feni, mungkin itu masuk akal adanya. Tapi aku
tak pernah dapat membandingkan cinta yang mana yang disebut sejati. Aku tak pernah tahu. Tidak.
Tidak pernah tahu.
6. Kesialan Keempat

Hal itu terjadi lagi.

Apa yang terjadi pagi ini pun tak jauh berbeda dari beberapa insiden yang lalu. Sekali lagi
aku terlambat. Aku telah menunggu selama lebih dari setengah jam. Kulihat jam tanganku dan
waktu menunjukkan pukul 06 : 48, alias dua belas menit sebelum bel berbunyi. Aku melihat ke
kanan, namun belum ada juga angkot warna biru terang yang kunantikan. Waktu semakin
berlalu. Kini waktu menunjukkan pukul 06 : 55 alias lima menit sebelum bel masuk. Aku mulai
tegang dan berkeringat, sementara duo kembar terus saja meracau dan mengoceh terus
menerus untuk mengganggu ketenanganku. Dua orang ini cukup beruntung karena sekolahnya
memberlakukan waktu masuk lima belas menit lebih lama dibanding sekolahku alias pukul
07:15.

Setelah muak menunggu, angkot biru terang itu akhirnya datang juga. Dengan musik
dangdut yang disetel super keras, sang sopir berwajah tebal itu berdendang tidak karuan. Sama
sekali tidak ada rasa bersalah di wajahnya. Waktu yang tentu saja tidak cukup banyak untuk
mencapai sekolah, ditambah dengan adanya belokan-belokan sinting dan jalan-jalan yang
berlubang dan berbisul membuatku pasrah. Namun, tentu saja aku tidak akan berhenti
sekarang. Aku harus mengejar cita-cita, tegasku dalam hati.

Sangat sulit membayangkan mobil angkot butut ini tiba – tiba berubah menjadi mobil
Lancer Evolution ataupun Lamborghini Murcielago yang mencapai kecepatan 200 km per jam
serta dilengkapi turbo dan nitrous okside. Mobil ini hanya salah satu angkot butut warna biru
yang hanya dapat mencapai kecepatan maksimum 60 km per jam alias kurang dari sepertiga
dari mobil – mobil diatas. Namun, mobil ini tetap saja mempunyai keunggulan dibanding mobil
– mobil tersebut. Di mobil ini terdapat sebuah pencampuran kimia yang sangat teratur dan rapi
dalam bentuk gas luar biasa yang menghasilkan sebuah bau yang sering kita sebut bau tengik.
Pencampuran ini bahkan tidak bisa dilakukan oleh ahli kimia manapun di dunia. Pencampuran
yang menggabungkan bau ikan, bau ayam, bau keringat, ompol bayi, parfum, kentut dan asap
knalpot yang menghasilkan suatu pacuan adrenalin yang dapat membuat orang pingsan apabila
tidak sanggup menghadapinya. Untungnya kali ini aku duduk tepat di depan, disamping pak
supir yang sedang bekerja. Bau kali ini sungguh lebih daripada yang kemarin – kemarin. Aku
hanya berharap dapat selamat menuju ke sekolah tercinta.

Kesialan keempatku adalah dibidang olahraga.

Aku berlari memasuki hamparan tanah yang kecoklatan. Kuterobos pagar sekolah yang tak
ada penjaganya itu. Aku melihat ke kiri dan ke kanan. Sepertinya Pak Dun tidak melihatku terlambat
kali ini. Aku berjalan cepat ke tempat favoritku menyembunyikan tas : belakang laboratorium Fisika.

Aku melihat teman-temanku yang telah berbaris. Dengan langkah cepat dan mantap, aku
menyelinap masuk ke barisan. Pak Erik, dengan sebuah stopwatch di tangannya mengerling padaku
sesaat lalu kembali menjelaskan. Haha, aku suka guru seperti ini. Cuek, dan tidak terlalu mengekang.

Hari ini cuaca panas sekali. Di atas kepalaku, matahari dengan gelombang ultravioletnya
menusuk-nusuk kulitku dengan kejamnya. Peluh bercucuran pelan dari sekujur tubuhku,
membasahinya, namun sama sekali tak menyejukkannya. Dalam keadaan seperti ini imajinasi –
imasjinasi seolah lenyap tiada hingga. Mungkin itulah sebabnya di saat cuaca sepanas ini orang –
orang tidak pernah sama sekali mengalami keceriaan ataupun semangat.

Anehnya, cuaca panas seperti ini bukanlah halangan bagi guru olahraga kami untuk
menghentikan praktek lari jarak jauh yang memakan jarak sekitar enam kilometer. Enam kilometer!

“Semangat! Semangat! Semangat!” guru itu menjerit pada kami.

Semangat? Semangat muke lu. Seperti yang sudah kubilang sebelum–sebelumnya, staminaku
sangat–sangat memprihatinkan. Sekarang saja napasku sesak minta ampun. Satu–satunya temanku
hanya Inu. Berhubung badannya gendut, ia adalah satu–satunya “pesaing” dalam memperebutkan
predikat nilai terkecil pada pelajaran olahraga. Untuk kali ini aku beruntung, karena jarakku dan Inu
cukup jauh dan tentu saja semakin menjauh. Paling tidak urutanku bukan yang paling akhir.
Cukuplah untuk mempertahankan kehormatanku di hadapan cewek – cewek.
Seperti yang kubilang, inilah kesialanku yang keempat, yaitu tidak pernah mendapatkan
predikat bagus di pelajaran olahraga, entah itu kecepatan, ketangkasan, kelincahan, ataupun
lompatan. Padahal, salah satu kriteria cowok maco adalah pintar berolahraga. Itulah kenapa para
pemain ekskul basket dan futsal umumnya sangat mudah mendapatkan pasangan. Kelebihanku di
bidang olahraga hanyalah nilai – nilai Ujian tertulis, baik itu dalam Ujian Akhir, Tengah ataupun Ujian
Semester.

Menyedihkan? Ya, memang. Cewek – cewek di sekitar jalan pun seringkali mentertawakan
aku. Namun, aku tak pernah peduli. Yang kupikirkan hanyalah satu : jari tengah!

******************

Ada suatu saat dimana manusia harus menunggu. Hal yang satu dan yang lain tidak pernah
sama, oleh karena itu wajarlah apabila waktunya pun berbeda antara satu dan yang lain. Contohnya
adalah penghitungan suara dalam suatu pemilihan umum. Waktu yang dibutuhkan untuk mendapat
hasil yang valid paling tidak adalah 1 – 2 minggu, bahkan bisa satu bulan bila ada hal – hal tertentu.
Lain halnya dengan memanggang roti. Untuk memanggang roti hanya butuh waktu maksimal
sepuluh menit untuk mendapat hasil sempurna.

Aku disini pun menunggu. Menunggu sebuah kepastian dari apa yang telah aku perjuangkan.

Aku tak pernah mengirimkan atau mengatakan sesuatu apapun pada Feni selain permintaan
maaf. Terhitung, ini adalah satu bulan sejak saat itu. Waktu yang cukup lama. Terlalu lama malah.

Aku menunggu dan terus menunggu. Selama beberapa hari, segalanya menyiksaku. Angan-
anganku berputar tiada henti. Harap-harapku datang tanpa bisa dikendali.

Aku merasakan sebuah kebosanan dalam diriku. Minggu ke minggu ia tak kunjung berubah.
Tak jua ia menemuiku. Saat melihatku, ia selalu berpaling. Dan saat bertemu denganku, ia selalu
menghindar.
Menurutku aku telah bosan. Waktu yang terlalu lama ini hanyalah membuang waktuku,
membuang hari-hari berhargaku, membuang akal sehatku.

Aku meletakkan segala harapan-harapan kosongku dalam kotak kemuakkan. Muak mungkin
adalah kata yang tepat.

Aku terus mencoba berkomunikasi dengannya. SMS, e-mail, telepon, semua sudah kucoba.
Dan, semuanya tanpa hasil yang cukup menenangkan.

Mungkin dia butuh waktu. Setiap orang memang punya karakteristik yang berbeda. Beberapa
orang hanya butuh satu jam atau bahkan sepuluh menit untuk meredakan masalah. Beberapa butuh
paling tidak tiga atau empat hari. Aku pun yakin Feni punya waktunya sendiri. Dua minggu mungkin?
Atau satu bulan? Malah mungkin yang lebih ekstrim, saat ia sakaratul maut barulah dia bicara
padaku. Ah, hidup siapa yang tahu?

************************

Aku memojokkan kesepianku dan duduk di bangku laboratorium bahasa. Di sini, aku dapat
melihat sejumlah pemandangan SMA Negeri Pancuran. Lab Komputer, Gedung Kelas X, Ruang Guru,
Perpustakaan, Parkir Guru, dan Ruang Kelas XI.

Angin yang sepoi-sepoi begitu menyejukkan tubuhku. Di sekitar taman, daun-daun pohon Jati
berguguran. Saat menyentuh tanah, daun-daun itu tersapu angin, berpindah cukup jauh dari
pohonnya. Daun jatuh jauh dari pohonnya. Ya, aku baru menciptakan peribahasa baru.

Beberapa anak kelas sepuluh bermain bola di lapangan di depan kantor guru. Salah satu anak
yang berbadan besar berlagak sebagai kapten. Suaranya berkoar-koar member komando bagi
teman-temannya. Sayangnya, tak satu pun dari mereka mendengar komandonya.

Di depan kelas, Felix seperti biasa sibuk dengan Siska. Ia selalu menguntit kemana pun Siska.
Tak sehari pun ia dapat bebas dari Siska. Kecuali tentu saja, ada sesuatu yang menghalangi Siska.
Dibalik otaknya yang pintar, Felix ternyata cukup bodoh untuk berpikir jernih tentang wanita. Lihat
saja bagaimana ia memohon maaf untuk kesalahan yang bahkan tidak pernah ada. Menggelikan
bukan?

Aku menunggu waktu. Tak jelas kapan akan berakhirnya. Kutopangkan kaki kananku ke kaki
kiriku. Kupejamkan mata, menikmati sejuknya angin. Kudendangkan sejumput lagu menemani
kesepian ini.

“Danar.” sebuah suara mengejutkanku. Suara yang halus.

Aku membuka mataku. Seorang wanita berdiri di hadapanku. Wanita itu adalah Feni.

“Boleh aku duduk?” ia menunjuk space kosong di sampingku.

Aku tak menjawab. Hanya setengah mengangguk.

Aku mendiamkan diriku. Membenamkan diri dalam kemarahan. Kupalingkan wajahku


darinya.

“Dan..” ia memanggil.

Aku hanya diam.

“Dan.. aku minta maaf..”

Aku melihatnya sebentar. Hatiku teriris. Sedikit iba muncul di hatiku.

“Dan.. aku minta maaf… aku mohon kamu jangan bersikap seperti ini..” nafasnya tersengal.

“Aku gak ngerti Fen.. satu bulan kamu bersikap aneh… Dan sekarang, dengan mudahnya
kamu minta maaf seperti ini…”

“Aku minta maaf Dan… Aku, aku hanya…”

Ia terdiam. Nafasnya semakin tak teratur. Matanya berkaca-kaca.

“Ini bukan salah kamu, Dan… Sungguh… Aku.. aku hanya malu…”

Ia menangis. Aku dalam posisi yang sangat riskan. Apapun yang akan kulakukan, segalanya
seolah beresiko.
“Saat seorang wanita bersikap seperti itu, hanya sebuah hinaan yang akan terpikir oleh para
lelaki.”, ia kembali melirih, diikuti isakan – isakan berarti.

Feni diam. Ia tak kunjung menatapku. Hatiku semakin bingung bercampur rasa bersalah.

“Sejak dulu, aku heran kenapa tidak jua aku menyadari hal ini. Dari segala candamu, tatapan
matamu, dan dari segala kata – katamu, baru sekarang aku menyadari ini”, Feni menegakkan
kepalanya. Ia perlahan menaikkan tangannya ke meja lalu menggenggam tanganku erat – erat. “Aku
sayang kamu, Dan. Sayang yang lebih dari sekedar dua orang sahabat, dan sayang ini lebih dari
sekedar dua orang yang telah lama mengenal satu sama lain.”

Aku diam. Kupejamkan mataku sebelum melihat matanya. Posisiku semakin diplomatis. Ia
belum juga melihat mataku. Ia hanya menunduk. Terkadang melihatku sebentar.

“Aku hanya ingin tahu jawaban dari permintaan maafku, Fen.”

“Kamu gak salah, Dan. Aku yang salah, karena… aku yang memulai..”

“Tapi.. aku pun gak bisa mengendalikan diri… Kalau saja.. kalau saja…” ia menempelkan jari
telunjuknya padaku. Menghentikan ucapanku.

“Aku cinta kamu.”

Aku memasang mimik ragu di wajahku.

“Kenapa?” ia bertanya padaku.

Aku tertawa kecil tanpa maksud. “Aku gak tahu, Fen. Aku gak tahu apa yang harus aku
katakan.”

Ia menurunkan tangannya. “Katakan saja apa yang ada di dalam hatimu.”

Aku terdiam beberapa saat. Aku teringat Karin. Aku teringat rasa yang misterius yang
kurasakan. Aku juga mencintai Feni. Tapi aku ragu akan kemurnian cinta ini. Aku melihat ini seperti
sebuah pilihan. Yang apabila salah, akan membawaku ke lembah jurang.
Aku melihat matanya. Indah, menawan, dan menyejukkan. Aku menggerakkan tanganku
menyapu pipi-pipinya yang basah karena air mata. Aku tersenyum. Ia pun tersenyum. Senyum indah
dan menyejukkan. Mungkin inilah buah dari sebulan yang panjang.

Aku terdiam dalam senyum beberapa saat. Menikmati keindahan matanya.

“Aku juga cinta kamu.”


7. Gosip

Tidak butuh waktu seminggu bagi kalangan SMA Negeri Pancuran untuk mengetahui
hubungan kami. Setiap kasak-kusuk kini telah tersebar luas mulai dari guru, satpam, murid, sampai
tukang syomai pun mengetahuinya. Tak heran jika setiap bertemu teman-temanku maupun teman-
teman Feni selalu mengeluarkan pendapat standar : “makan-makan”.

Ketenaran kami sesungguhnya bukan sebuah hal yang tabu untuk dijalani. Maklum, status
Feni sebagai “jomblo buruan lelaki” & “wanita yang paling banyak menolak lelaki” membuat semua
kalangan terperanjat ketika mereka tahu Feni-lah yang menyatakan cinta kepadaku. Ditambah
statusku yang hanya seorang murid bertampang biasa, banyak ditolak serta berbadan gemuk seolah
pertanda bahwa jika ada wanita yang memilihku sebaiknya wanita tersebut dibawa ke RSJ terdekat.

Semua orang melihat kami. Saat kami duduk, setiap orang yang lewat selalu melambatkan
jalannya, melihat kami dengan tatapan terkejut. Beberapa dari mereka menganga, sebagian saling
berbisik-bisik.

Jessica melambai dari kejauhan memanggil Feni. Salah satu bagian kepalanya masih berbalut
sedikit perban. Sekitar sebulan yang lalu, ia mengalami kecelakaan. Tepatnya malam pada hari yang
sama ia marah-marah di kantin. Kecelakaan, tertabrak mobil. Tragis.

Ia kini kehilangan semua ingatannya. Benturan di kepalanya cukup keras. Namun,


kesembuhan cepat selama dua minggu membuatnya dapat kembali bersekolah beberapa hari yang
lalu. Sementara di tempat lain, Rando lebih pendiam dari biasanya.

Feni melihat padaku. Aku mengangguk. Dengan segera, ia menghampiri Jessica, yang
mendadak menjadi teman wanita terdekatnya.

Aku duduk menikmati suasana tenang sekolah. Hari ini tidak ada angin, cuaca sedikit
berawan, namun juga tidak panas.
“Nah!” Arman dan Felix tiba-tiba muncul. Mereka duduk di sampingku, membuatku berada
diantara mereka berdua.

“Jadi?” Arman membuka pembicaraan.

“Gimana Feni?” Felix melanjutkan. Sesaat kemudian, mereka meneruskan bersama-sama.

“Udah jadian?”

Aku melihat pada mereka berdua. Mereka mengingatkanku pada sosok Roni dan Doni.

“Begitulah” jawabku singkat.

Mereka merengut, mencibir.

“Begitulah bagaimana?”

“Yah.. Ya, aku udah jadian sama dia.”

Mereka memasang wajah yang tidak puas. Sepertinya mereka menginginkan lebih dariku.

Mereka menyandarkan punggung masing-masing pada dinding. Arman mengangkat kaki


sebelah kanannya, menopang tangannya di lutut kakinya.

“Kamu udah yakin dengan ini, Dan?” tanya Felix.

“Yakin soal apa?”

Ia sedikit tersenyum. “Aku tahu ini seperti pilihan bagi kamu. Di dalam, ada cewek yang kamu
sukai.” Ia menunjuk Karin yang tengah mengobrol bersama teman-temannya, membincangkan
tentang katalog terbaru majalah busana. “Tapi kamu belum tahu, kan, apa dia juga suka sama
kamu?”

Aku tertegun. Salah satu kelebihan Felix adalah ia mampu membaca apa yang aku rasa. Aku
tak pernah mampu berbohong padanya. Di samping aku tak mau, akan percuma juga bagiku.

Aku mengangguk. Senyumnya semakin lebar.

“Iya.”
“Aku udah menduga. Haha… “

Ia tertawa kecil. Aku hanya bisa menyunggingkan senyum kekalahan di hadapannya.


8. Ekskul

Bulan Desember berarti bulan kemeriahan. Terutama bulan Desember tahun ini.

Bukan, ini bukan hari ulang tahun Pangkalpinang ataupun Pak Dun. Bulan Desember menjadi
bulan wajib bagi penyelenggaraan Pancuran Cup, pesta ulang tahun SMA Negeri Pancuran. Dan,
tahun ini adalah tahun ke-50 kelahiran SMA Negeri Pancuran.

Di dalamnya, terdapat beberapa lomba. Basket, Futsal, Pemanfaatan barang bekas, Karikatur
guru, Band, catur, Bridge, dan Pembacaan puisi. Ada delapan lomba. Dan, aku tak mengikuti satu
pun dari itu.

Aku hanya bisa berdiri di barisan para anggota Jurnalistik. Berbaris, kedua tanganku
kusilangkan. Di sampingku, ada Estu, rekan sastra-ku. Sementara, di sisi yang lain, Radit masih saja
berbincang-bincang pada sang amnesia, Jessica.

“Kamu tahu Jessica? Jurnalistik adalah ekstrakulikuler favorit kamu.”

“Iya, iya aku tahu Dit. Kamu udah bilang sama aku kemarin.”

Hatiku geli mendengarnya. Tapi ia tak perduli seolah tidak mendengarnya.

“Dan yang paling kamu sukai adalah bagian penulisan Artikel.”

Ia mengangguk-angguk cepat. “Itu juga udah kamu kasih tahu kemarin.”

Saat Radit kembali ingin berkoar, Arman, yang menjadi wakil ketua berdiri di depan kami.
Saat itu juga Radit berhenti bicara.

“Ok. Semuanya sudah ada?” Arman, mengeraskan suaranya.

“Sudah. Kecuali beberapa orang yang ikut lomba,” salah seorang dari kami menjawab.

Arman memperhatikan kami. Jumlah yang hadir saat ini lebih sedikit dari biasanya. Sekitar
lima sampai enam orang mengikuti lomba.

“Baik,” Arman berdehem. “Tadi Kepala Sekolah kita sudah membuka acara ini. Kita, sebagai
anak-anak Jurnalistik berkewajiban meliput acara ini dengan sebaik-baiknya.

“Beberapa dari kita memang berhalangan bertugas karena harus mengikuti lomba. Bahkan,
ketua kita pun harus bertanding futsal dalam beberapa saat ke depan.” Arman mengeluarkan
sebuah buku kecil.

“Estu dan Anton,” panggilnya. Estu mengangkat tangannya sembari mengeluarkan suara
lengking yang tak penting. “Kalian melliput lomba band,” lanjut Arman.

“Dwi dan Luki, pertandingan futsal,” ia membalikkan lembaran bukunya. “Radit dan saya
sendiri, pemanfaatan barang-barang bekas.”

“Ardo dan Rahman, futsal. Dan terakhir…” ia membalik lembaran bukunya sekali lagi. “Danar
dan Jessica, untuk pertandingan basket.”

Aku melihat pada Jessica. Ia memberika kedua jempolnya padaku. Apakah ini akan menjadi
sesuatu yang menarik?

***************************

Ternyata ini tak menarik sama sekali. Aku hanya menjadi kacang di sini. Di kursi di depanku,
Feni dan Jessica asyik mengobrol satu sama lainnya. Feni meninggalkanku sendiri bersama Felix di
sampingku. “Aku gak mau ganggu kamu kerja”. Itu alasannya.

Aku menulis satu per satu hal-hal penting di pertandingan ini.

Hingga quarter ke-3 hampir berakhir, SMA Negeri Pancuran memimpin 31-17. Pelatih tim
SMA Tebing memasukkan dua pemain baru pada menit ke-8.

Aku melihat Jessica. Ia terlihat semangat sekali meliput berita ini. Di sela waktu, ia kembali
mengobrol dengan Feni.

Aku memperhatikan pertandingan itu dengan bosan. Kusandarkan dudukku dengan


malasnya. Di sampingku, Felix masih saja memasang wajah yang cemberut. Ia masih kecewa karena
tak dipanggil tim inti sekolah.
Saat itu aku melihat Karin. Ia seperti biasa bersama Emmilia dan teman-temannya yang lain.
Ia dengan seksama melihat pertandingan itu. Ia terfokus pada seorang pemain. Aku mencari pemain
yang diperhatikannya itu. Mungkinkah itu laki-laki yang disukainya selama ini?

“Yes!” Jessica tiba-tiba berteriak. Ia berdiri dengan kedua tangannya dikepalkan. Saat itu pula
seisi stadion bergemuruh. Skor 40-32 untuk kami. Dan, saat itu juga aku kehilangan fokusku.

Ia kembali duduk. Saat itu juga aku kehilangan minat. Poin-poin kembali diraih. Lima menit
kemudian, skor sudah mencapai angka 53-40 untuk kami. Tak lama, wasit meniup peluitnya.
Pertandingan berakhir. Pertandingan berikutnya SMA Negeri Kuarca melawan SMA Ganai. Itu masih
setengah jam lagi.

Kami keluar dari Gelanggang Olahraga itu. Aku berjalan cepat. Kutinggalkan mereka di
belakangku. Hatiku berat sekali.

Feni datang dan memegang tanganku.

“Kok buru-buru?”

Aku menggelengkan kepalaku. Tersenyum. Kuakui, hatiku sedikit senang dengan adanya dia
sekarang.

“Kamu marah?”

Aku menggeleng sekali lagi. “Enggak kok.”

“Kamu marah? Aku minta maaf, Dan. Aku cuma..”

Aku meletakkan telunjukku di bibirnya.

“Enggak Fen. Aku cuma…” aku tak mampu menyelasikan kata-kata itu. Terdiam sebentar, aku
kembali melanjutkan. “Kamu menikmati pertandingannya?”

Ia terlihat tak terima dengan sikapku. Tapi, ia mengacuhkannya.

“Iya sedikit. Yah.. Pada awalnya tidak terlalu, tapi mendadak akhir semuanya jadi semakin
seru aja.”
“Seru?”

“Iya. Aku deg-degan banget lo, Dan. Apalagi waktu skornya 35-29 itu lo. Waduh. Dua-tiga kali
aja pasti kita udah habis.” Ia cukup menghayati cerita itu. Terlihat dari wajahnya.

Aku mengangguk. “Pak Erik sampai teriak-teriak.”

“Iya.” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kamu tahu, Dan? Menurutku kamu sebaiknya ikut ekskul Basket.”

Aku terdiam. Senyumanku hilang saat itu juga. Di lain pihak, senyum Feni semakin lebar dan
semakin yakin.

****************************

Ia terus memborbardirku dengan anjurannya. Mungkin lebih tepat disebut pemaksaan


dibandingkan anjuran.

“Kalo kamu main basket, pasti keren banget lo, Dan.” Ia yakin sekali dengan pendapatnya itu.
Sepertinya Feni benar-benar jatuh cinta pada basket.

Ekskul basket diadakan setiap hari Senin dan Kamis, mulai pukul 15:30 sampai 17:30. Hari itu
merupakan hari pertamaku mengikuti ekskul ini. Dengan bermodal “good luck” dari Feni,
semangatku beranjak naik hingga ke titik paling tinggi.

Aku dan Felix memasuki lapangan itu dengan berjalan kaki. Seratus meter ke belakang
merupakan tempat parkir motor kami.

Lapangan itu tak begitu luas, tak seluas lapangan basket di kampung kami. Standar untuk
ukuran lapangan basket. Alasnya terbuat dari semen, dengan beberapa ornamen-ornamen abstrak
yang biasa disebut lubang menganga. Di ujung masing-masing kutub, berdiri dengan sombongnya
dua tiang ring basket, yang selama ini telah dimasukkan ratusan hingga ribuan bola per harinya.
Papan penyangga ring itu kini telah rusak. Mungkin terlalu banyak anak pemula seperti aku yang
iseng melempar bola ke dalam ring. Mereka tidak tahu bahwa bola itu harus dimasukkan perlahan
ke dalam ring, bukan dilempar sekuat tenaga.

Angin sepoi-sepoi menyambut kami saat memasuki lapangan. Belum ada satu anak pun
sampai sebelum kami. Kulihat jam tanganku. Jarum menunjukkan pukul tiga lewat dua empat.
“Sebentar lagi”, pikirku. Selagi aku terdiam, kulihat Felix membuang waktunya dengan melakukan
lay up yang sangat menjijikkan. Menurutku lebih mirip tarian balet daripada sebuah lay up. Saat
angin sepoi belum berhenti memanjakan kami, awan-awan pun ikut berkumpul membentuk suatu
bentuk dimana tak seorang pun dapat merasakan panasnya sinar matahari. Sejuk. Oh, hari yang
sangat bagus untuk bermain basket!

“Oh, hari yang sangat bagus untuk bermain basket!” sebuah suara berat mengejutkanku.

Suara berat itu ternyata adalah Pak Erik, pembina ekskul basket. Senyum khasnya
mengumbar sesaat setelah ia menikmati sejuknya udara sore ini, menarik nafas dalam dan
mengehembuskannya perlahan. Aku melihat jamku, tepat pukul tiga lewat tiga lima. Tak lama, anak
basket lain bermunculan satu persatu. Sebagian besar merupakan tim inti Tim Basket SMA Negeri
Pancuran. Doni, Bedu, dan Rando adalah beberapa yang dapat kukenali. Sisanya? Aku tak tahu.

Tak makan waktu lama, latihan dimulai. Setelah pembacaan doa, Pak Erik memimpin latihan
yang dimulai dengan lari-lari kecil. Mudah bukan? Namun, sebetulnya hal ini merupakan pembukaan
bagi latihan-latihan keras yang sangat menyiksa.

Benar saja. Latihan-latihan selanjutnya memang luar biasa menyiksa. Mulai dari latihan
penguatan stamina, agility, speed, dan jumping atau lompatan. Latihan yang paling berat bagiku
adalah agility atau kelincahan. Pada tahap ini, kita diharuskan melakukan lari bolak-balik secepat
mungkin, dan kembali dengan berlari mundur!

Saat itu juga aku mengenal Henqy, seorang pemain inti berposisi sebagai center tim basket
SMA Negeri Pancuran. Sama sepertiku, Henqy mempunyai bentuk badan yang tak terlalu kurus.
Namun, semangat yang membawanya hingga ke tahap seperti ini. Dan, semangat itu coba
ditularkannya kepadaku.

“Terus Dan…jangan menyerah sekarang!” ia menyemangatiku.

“Tapihhh…akuhh..gak kuat lagi…”

“Kamu musti paksa Dan… Gak ada yang gak bisa kamu lakuin selama kamu mau!” ia
menggelegar, membakar semangatku, seolah staminaku tak pernah bisa habis.

Saat istirahat, kami berbincang cukup akrab. Saat itulah aku tahu, dibalik semangat dan
teriakannya, ia masih menyimpan kelembutan hati, sesuatu yang membuatku makin kagum
padanya. Henqy, siswa kelas XI IPS 1. Basket adalah sebagian dari hidupnya saat ini. Tubuh, dengan
otot-otot ini ia bentuk dengan semangat juang yang tiada henti, sungguh luar biasa. Dan kerendahan
hati itu ditempanya dengan sesering mungkin beribadah kepada Yang Maha Kuasa, sungguh
sungguh luar biasa.

“Karir dan ibadah itu, haruslah sejalan, Dan.” ucapnya seraya tersenyum. Beberapa dari
teman-teman tersenyum-senyum melihatku. Saat aku melihat mereka, mereka melempakan
pandang ke arah lain.

Kekagumanku bertambah saat melihatnya bermain. Basket seolah sudah menjadi nafas dan
langkah kakinya. Ia bisa melakukan hal-hal yang orang lain tidak bisa lakukan, dan ia bisa membuat
gerakan-gerakan yang orang lain bahkan belum sempat terpikirkan. Ia tidak egois. Ia tanpa ragu
seringkali memberikan peluang bagi rekannya yang lain yang lebih baik darinya. Sungguh sosok yang
rendah hati.

Saat kami berpisah pun, kerendahan hatinya tak pudar. Ia menyalami satu persatu dari kami
dengan salam khas anak muda, tak peduli pemain cadangan ataupun inti, pemain baru ataupun
lama, bahkan junior-juniornya. Ia memberikan senyumnya padaku sebelum ia menghilang pergi. Aku
mengangkat tanganku dan membalas senyumnya. Ia pun segera menghilang seperti disapu angin.

Aku segera membereskan barang-barangku. Mulai dari handuk, botol minuman, dan lain-lain.
Kuambil mereka satu persatu seraya menengok ke lapangan basket. Sungguh pengalaman yang
menyenangkan. Bertemu teman-teman baru, mempelajari hal-hal baru, serta menyegarkan tubuh
untuk membentuk semangat yang baru.
9. Berbagi Kebahagiaan

Aku berjalan di sekujur lorong kantin dengan lunglai. Kumasuki gerbang kantin itu. Tak ada
satu orang pun di sana. Kulihat dari ujung sudut kantin yang paling jauh dariku hingga ke tempat aku
berdiri sekarang. Hanya ada segelintir orang. Bahkan jumlah ini bisa dihitung dengan jari. Tak sampai
belasan orang.

Aku mengambil sepiring nasi ayam goreng kesukaanku, dan tak lupa juga segelas es teh.

Aku menyodorkan uang sepuluh ribuan pada ibu kantin yang lesu itu. Ia mengambil uangku
dengan gontai, membuka dompetnya tanpa nafsu, dan menyerahkan kembaliannya dengan tanpa
suara.

Aku mendengarnya berbicara sendiri dengan bahasa jawanya. Segera, aku berbalik dan
mengambil tempat duduk sebelum jadi kotak curhat si ibu kantin.

Satu meja di depanku, dua siswa kelas sepuluh sibuk bermesraan dengan menjijikkan. Hatiku
ngilu melihatnya. Aku tak tahu alasan dari rasa yang ada ini. Aku menolehkan kepalaku ke arah lain.
Ke arah yang lebih enak dilihat.

Aku merasa kesepian saat ini.

Lebih dari setengah sekolah ini tak ada di tempat. Seluruh anak kelas dua belas mengikuti
seminar Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), dan sisanya mengikuti pelatihan
Paduan Suara di Dinas Pendidikan Provinsi Bangka Belitung di Air Itam.

Feni dan Radit adalah salah satu anggota Paduan Suara yang harus mengikuti pelatihan. Jadi,
tinggallah aku sendiri di sini. Bengong, bosan, tak ada kerjaan.

Aku menikmati sendok per sendok makananku.

Karin masuk ke kantin saat itu juga, menghentikan gerakanku. Ia cantik seperti biasa.
Menawan dengan kilau mata cerdas yang dimilikinya itu.
Aku merasakan sebuah kerinduan. Dua bulan lamanya kami tidak pernah lagi berkomunikasi
secara dekat. Mengobrol, SMS-an, atau berjalan berduaan. Itu cukup membuatku merasa
kehilangan.

Ia di sana. Di kantin tengah. Di pintu kantin yang terbuka lebar itu. Sepuluh meter jarakku
darinya. Ia melihat sekeliling kantin yang sepi-sepi saja. Aku pura-pura tidak melihatnya saat
matanya menyapu sekitarku. Kuusap-usapkan rambutku, mencoba terlihat cool.

“Danar!” panggilnya.

Oh! Ia memanggilku! Setelah sekian lama ini.

Aku menoleh padanya. Mengangkat tanganku dan melempar senyum padanya.

Ia mendatangiku. Senyum riang ia berikan untukku.

Ia menepuk pundakku dengan tangannya sembari berjalan ke ibu kantin yang masih saja lesu.
Ia mengambil sepiring nasi ayam. Sama seperti pilihanku.

“Aku gak nyangka bakal ketemu sama kamu di sini, lo Dan.” Ia menggeser kursi dan
mendudukinya.

“Aku juga gak nyangka bakal ketemu kamu sekarang. Setelah, ya…” aku diam sebentar. “Ah
udahlah.”

Ia menatapku curiga. Sesaat kemudian, ia kembali meneruskan makannya.

Pembicaraan selanjutnya hanya ada dalam anganku saja. Beberapa saat kami terdiam, hingga
hanya menyisakan bunyi sendok dan garpu yang terpakai saja.

Aku telah menghabiskan makananku sedari tadi. Yang kulakukan kini hanya memutar-mutar
gelas es tehku yang telah kosong. Di tangan kiriku, salah satu batu esnya kugenggam dengan kuat.
Kesal dengan keadaan ini.
Ia sesekali melihatku dengan senyum. Namun, tetap saja diam. Sesekali ia tersenyam-senyum
sendiri.

Belum sempat aku menegur, ia berkoar terlebih dulu.

“Aku seneng banget, lo Dan.”

“Seneng kenapa? Ketemu aku?”

Ia berhenti mengunyah lalu terkikik.

“Ya, ya.. Itu juga salah satunya. Tapi ada yang lain yang lebih penting.”

Ia mengucapkan kata “lebih penting” itu dengan yakin. Membuatku cukup iri.

“Akhirnya kemarin aku dapat kesempatan bicara ama cowok yang aku sukai.”

Cowok yang disukai?

Aku terperanjat, bangun dari lamunanku. Jangan-jangan ini cowok yang dulu?

“Cowok yang mana Rin?” aku bertanya cepat.

“Oh, ya. Aku belum cerita sama kamu. Tapi… aku belum kenal sama dia…”

“Dan kamu juga belum tahu dia itu siapa..” aku memotong tidak sabar.

“.. Atau juga kelas berapa dia..” ia melanjutkan. “Tapi sekarang aku udah tahu Dan.
Semuanya berawal dari lomba basket yang kemaren.”

“Dia ikut basket?”

“Iya. Pemain inti lagi. Aku gak pernah nyangka Dan. Dan saat itu juga aku semakin terpesona
dengan dia.”

Ia menatap langit-langit tanpa fokus. Nafasnya tak teratur. Mirip orang sesak. Tangannya
saling menggenggam. Sedikit norak kurasa.
“Namanya.. Henqy..”

Das!

Aku terdiam mendengarnya. Henqy?

“Dia anak XI IPS 1.”

Kini giliranku yang tak dapat mengatur nafasku. Dadaku serasa sesak. Seolah ada benda besar
yang menimpaku sekarang.

Aku terpaku. Tak dapat kuucapkan satu katapun. Yang terbayang dalam diriku saat ini
hanyalah sosok Henqy. Orang yang telah menyemangatiku saat bermain basket. Orang yang ramah,
baik, alim. Sosok yang cocok sekali dengan Karin.

Mata sayunya mendadak berhenti. Ia kembali fokus. Aku, yang ada di depannya hanya bisa
ternganga. Masih dalam gelombang kejut.

“Oh ya, Dan.” Aku tersentak, terkejut dengan paggilannya.

“Kamu ekskul basket, kan?”

Aku mengangguk.

“Kenal dong, sama Henqy?”

Aku mengangguk sekali lagi.

“Mau kan, bantuin aku?”

Kali ini aku tak langsung mengangguk. Aku berpikir keras.

Kutatap mata penuh permohonan itu. Sudah terlalu terlambat bagiku untuk mencegah
semua ini. Semuanya telah terjadi. Feni telah menjadi milikku. Dan sekarang Karin, ia telah
menemukan orang yang dicintainya.

Ia terlalu cantik bagi siapapun. Terlalu cantik dan terlalu aku menyayanginya. Aku takkan rela
ia bersama sembarang laki-laki. Aku tak pernah dapat membayangkan ia menjadi sepertiku,
membuat sebuah pilihan yang tergesa-gesa. Dan kini, aku merasakan sebuah kepedihan yang sulit
untuk menghilangkannya. Aku tak akan pernah rela Karin merasakan apa yang kurasakan.
Aku mengingat Henqy. Ia laki-laki yang sungguh menakjubkan. Semangatnya tinggi. Juga
hebat bermain basket dan berolahraga. Ia bisa melindungi Karin. Ia punya segala yang dapat
dibanggakan dari dirinya.

Aku menutup mataku dan menarik nafas. Menghela. Saat itu juga aku tersenyum padanya.

“Ya, tentu.”

Senyum indah yang kurindukan itu kembali terpatri. Digoncangkannya tanganku.

“Terima kasih. Kamu memang sahabatku yang paling baik.”

Aku mengangguk terpaksa padanya.

Ia berdiri. Dibawanya piring nasinya yang telah kosong. Sejak kapan piring itu kosong? Aku
mengernyitkan dahi.

Ia berjalan di sampingku. Mengajakku berjalan-jalan. Sama seperti dua bulan lalu, saat
terakhir kami bersama.

Aku menyanggupinya. Kugerakkan badanku untuk berdiri dan berjalan bersamanya keluar
dari kantin itu. Tak setiap hari aku bisa bersamanya.

“Oh, ya.” Ia berhenti sebentar.

“Selamat buat kamu dan Feni.” Ia terkikik, lalu kembali berjalan.

Hatiku semakin miris saja.


10. Kepergian Sang Saudara

Malam itu aku pulang lebih lambat dari biasanya. Siang ini memang sangat sibuk. Pelanggan
yang banyak mendatangi untuk meminjam film memaksa kami bekerja sangat keras untuk
mendatanya. Bahkan, komputer ekstra yang telah tersimpan sekian lama ditarik keluar demi
memudahkan kinerja.

Pada tanggal dan bulan-bulan seperti ini memang para pelanggan biasanya datang dengan
jumlah yang sangat besar. Malah lebih mirip demonstran dibanding peminjam. Pada bulan-bulan ini,
industri perfilman mengeluarkan banyak film-film ngetop setiap tahunnya. Terhitung, lebih dari
sepuluh film top keluar menjelang akhir tahun ini. Contohnya beberapa film seperti : Mengejar
bujangan, Transporters, Liburan Berujung Kematian, dan Duda beranak Tiga, keluar secara beruntun
hanya dalam satu minggu ini.

Keadaan ini memaksa bos besar kami, Pak Heru meminta kami menambah jam kerja
sebanyak dua jam dengan iming-iming uang dua puluh ribu rupiah. Aku pun setuju dengan
kesepakatan ini. Gara-gara kerja lembur ini HP-ku menjalani sakaratul mautnya. Ia berkelap-kelip
cepat. Sejauh itu aku tak mengetahuinya. Keadaan yang sedemikian ramai mengacaukan
konsentrasiku.

***************************

Aku tiba di kos-kosan saat sudah larut malam.

Aku melihat pada jam tanganku. Pukul 20:13. Kukeluarkan kunci rumah dari tanganku.
Kubuka pintu kayu itu. Kudorong gagangnya yang terbuat dari batu keramik itu.

Rumah saat itu sangat sepi. Kulihat ke kiri dan kananku, berharap ada seseorang. Namun tak
ada satupun orang saat itu. Aku berjalan ke dapur, kutinggalkan ruang tengah yang sunyi senyap itu.
Kuambil gelas dan mengisinya penuh dengan air. Di situ tak ada satu orang pun. Aku pun menenggak
air itu, meminumnya hingga tanpa sisa.
Aku berjalan menaiki tangga menuju kamarku. Satu per satu anak tangga kunaiki seraya
melihat sekeliling. Masih tak ada orang. Mungkin mereka sedang pergi. Atau mungkin ini salah satu
taktik jahil si duo kembar.

Aku melihat sekilas pada ikan mas yang ada di akuarium besar itu. Mulut mereka megap-
megap. Sepertinya belum diberi makan. Mereka pasti telah pergi cukup lama. Seharusnya ikan ini
sudah diberi makan lebih dari satu jam yang lalu.

Kuambil kalengan pakan ikan disamping akuarium dan menabur secukupnya di atas air. Para
ikan dengan tanpa basa basi mengerubunginya, memakannya satu per satu. Kutaruh kalengan itu
kembali ke tempatnya dan menutupnya lagi.

Saat aku berjalan ke wastafel, setumpuk kabel joystick Playstation menyangkut di kaki-kakiku.
Astaga. Mereka memang tak pernah rapi. Kumasukkan kabel-kabel itu ke kolong meja. Meyusunnya
agar tak kusut, lalu kembali berjalan ke wastafel.

Aku memasuki kamarku. Kututup pintu bergagang putar itu dengan pelan. Kulempar tasku ke
sudut kamar dan menjajal diriku dengan spring bed empuk dengan lapisan motif bunga itu. Aku
memperhatikan sekeliling. Kamar ini harum, sama seperti biasanya. Lantai-lantai keramik, yang
setiap kilaunya tak pernah pudar, selalu menemaniku dua tahun ini. Ini akan jadi kenangan yang
indah bagiku, paling tidak sampai menjelang hari tuaku. Tante Minah, Roni, Doni, Felix, dan Arman.
Situasi ini melemparku dalam bayangan orangtuaku yang nun jauh di Bogor. Hatiku bimbang. Tak
terbayangkan bagaimana jadinya saat aku meninggalkan semua. Mungkin aku takkan sanggup.
Apakah aku akan menangis? Tak ada salahnya menangis untuk hal ini, paling tidak bagiku.

Aku membaringkan diriku di kasur yang empuk itu. Aku mengingat setumpuk memori hari ini.
Tentang Karin.

Aku memejamkan mataku. Hatiku bimbang. Aku mencintai Karin. Cintaku sangat besar
padanya. Apakah aku terlalu egois? Bukan, bukan.. Lebih tepat jika aku disebut sebagai seorang
pengecut. Pengecut cinta. Ya, bisa dibilang begitu.
Aku berada dalam ketidakyakinan pada diri sendiri saat menerima Feni.

Aku suka Feni, itu jelas. Namun tentu saja cintaku pada Karin jauh lebih besar. Saat itu, rasa
ibaku menerorku. Tatapan mata Feni, yang begitu indah, wajahnya yang begitu ayu, membuatku tak
mampu. Feni, dengan cintanya yang besar, membuatku takluk. Aku terlalu memasrahkan pada
nasib. Paling tidak, aku masih punya hati nurani.

Saat Karin menceritakan tentang Henqy, hatiku serasa pedih. Pedih melihat kenyataan
wanita yang kucintai teramat sangat, kini mencintai seseorang yang lain. Dan aku tak tahu sebesar
apa cinta itu.

Ia begitu bahagia. Matanya kembali berseri, ia kembali ceria. Ia seolah terbebas dari beban
terbesar dari hidupnya. Aku bahagia tentu saja, karena ia pun bahagia. Namun, di sisi lain, aku
merasa perih.

Aku menggoncangkan kepalaku. Mencoba mengusir pikiran-pikiranku yang terbebani. Aku


coba mengalihkan perhatian. Kuambil HP-ku. Sebuah panggilan masuk saat itu juga. Dan, secepat
datangnta panggilan itu, secepat itu juga si HP menemui ajalnya.

Aku berdiri dan menuju meja belajarku yang justru tak pernah dipakai untuk belajar. Kuraba-
raba sela-sela buku mencari charger dan menghubungkannya ke sumber listrik.

“Bismillahirahmaanirrahim…”, tulisan di layar itu muncul.

Aku menunggu sejenak. Kalau-kalau ada pesan atau telepon yang tak sempat masuk.

Ternyata memang ada beberapa SMS yang masuk, mulai dari SMS Arman, Felix, Feni, namun
tak ada satupun dari Karin. Aku membacanya satu persatu, membalasnya dan begitu seterusnya.

HP-ku bergetar saat sedang mengetik SMS untuk Arman.

Roni calling…

‘Tumben.’ pikirku. Kutekan tombol hijau di keypad.

“Halo?”
“Danar! Dan, kamu… kamu ke Rumah sakit sekarang!!” suara Roni begitu serak. Nafasnya
naik turun dengan cepat.

“Ron? Roni..?? Kenap.. Kenapa Ron??”

“Doni Dan.. Doni.. Doni kecelakaan..” suaranya hilang. Isak tangis terdengar samar-samar.

“Rumah Sakit.. Mawar Putih..” katanya pelan.

Saat telepon itu ditutup, aku menyadari bahwa ia telah meneleponku lima kali sekitar lima
belas menit yang lalu. Aku termenung. Doni kecelakaan? Di mana? Siapa yang menabraknya? Atau
malah ditabraknya?

Aku berlari bergegas keluar dari kamarku. Kulewati segala apa yang ada di depanku. Pantas
saja rumah ini sepi.

Aku membuka pintu garasi. Kukeluarkan motor bebek merah yang berdiri gagah. Kupacu
bebek itu cepat, melompat meyusuri jalanan raya.

Saat memasuki lorong rumah sakit, aku tak bisa berpikir apapun. Yang tervisualisasi dalam
pikiranku hanyalah wajah Doni.

Ia mempunyai paras yang menarik. Lucu tepatnya. Wajahnya yang bundar telur, ditambah
kulit kuningnya membuat semua insan seolah ingin menyayanginya, tak ingin menyakiti apalagi
menjerumuskannya dalam lembah maksiat. Ia memang mempunyai aura yang mengagumkan. Tak
heran, sekeji apapun perbuatannya aku tak pernah sanggup memukulnya ataupun menghentakkan
kepalanya ke dinding.

Pada dasarnya, Doni bukanlah seorang anak yang nakal. Ia hanya iseng. Tak pernah sekalipun
aku melihatnya menyakiti Tante Minah. Ia selalu membantu dalan berbagai hal. Mencuci, memasak,
menyirami tanaman, bahkan membersihkan kucing kesayangan Tante Minah. Ia memang sangat
rajin, jauh lebih rajin dari kami, anak kos yang menumpang tinggal di rumah itu.
Saat sampai di lorong ketiga, kuperlambat jalanku. Tak jauh, Roni terduduk lesu dengan
telapak tangannya menutupi mulutnya. Matanya telah memerah, kesadarannya telah melayang
pergi, dan keputusasaan telah membayang sekujur badannya. Ia hanya sendirian. Sepertinya Tante
Minah pergi mengurus sesuatu.

“Ron, Roni…” aku memanggilnya pelan.

Ia menegakkan kepalanya. Terpecah sudah lamunan yang dipendamnya. Ia melihatku. Aku


tahu ia ingin menangis namun tak bisa lagi. Ia mengambil tanganku, berdiri, merangkul, dan
memelukku.

“D-d-d-dann…”, ia tersengal. “D-d-dd-do-donni, d-Dan… Doni…!”.

Aku membalas rangkulannya. Kusapu punggungnya dengan tanganku. Kutepuk-tepukkan


tanganku, mencoba menenangkannya. “Semuanya akan baik, Ron.” bujukku.

Aku mengiringnya perlahan untuk duduk. Kubujuk ia hingga ia lebih tenang. Perlahan ia
memulihkan nafasnya, merapikan perasaanya, dan kembali menatap biasa.

Ia bercerita atas apa yang dilihat mata kepalanya. Bagaimana tubuh Doni terlempar keras,
terpelanting jauh, melawan kerasnya dorongan motor yang menabraknya.

“Saat itu aku hanya terdiam melihat wajahnya yang hanya membisu. Matanya sayu, tak jelas
menatap ke mana. Aku coba membangunkannya, namun semakin kugoyangkan tubuhnya, semakin
deras saja darahnya mengalir. Aku panik. Tak tahu lagi harus berbuat apa. Salah satu dari mereka
lalu menghubungi ambulans. Dan seorang yang lain menyuruhku memberitahu ibuku. Saat itulah
aku teringat kamu. Tapi, kamu gak bisa dihubungi…”,

“HP-ku mati..”, ucapku pelan.

“Oh…”, ia menjawab tanpa intonasi.

Aku menatapnya. Tak terbayangkan olehku bagaimana rasanya. Pedih, mungkin itu yang
dirasakannya.Sedih, itu pasti. Namun, ekspresi seperti ini sungguh membuat hati ngilu. Seorang
saudara yang telah menemani sedari rahim, kini harus bertarung melawan ajal yang membentang
tepat di depan hidung. ‘Ia pasti mati’, perasaan itu seolah tertulis di wajahnya. Aku dapat membaca
itu.

Ia kembali tertunduk. Satu per satu air matanya kembali jatuh. Tak tertahankan lagi
kekhawatiran akan siapa yang disayanginya itu. Aku menampungkan tanganku pada bahunya.
Menepuknya, dan menenangkannya semampuku. Saat itu Tante Minah mendatangi kami.
Langkahnya sangat pelan, seolah-olah ada sesuatu yang membenaninya. Ia pun menunduk. Hanya
saja tak sedalam Roni. Sebelah tangannya menutup siku yang lainnya, sementara tangan satunya
terjuntai, terlunglai pasrah.

“Dokter akan memeriksa.” Ucapnya pelan. Ia lalu duduk di samping Roni. Dielusnya kepala
Roni.

Roni hanya mengangguk pelan mendengar kabar yang menggantung itu. Kini, kami hanya
dapat berdoa dan menunggu.

*******************

Beberapa anak kos lain datang beberapa saat yang lalu. Beberapa saat setelah kuhubungi.
Adi dan Kaslan datang terlebih dahulu. Baru kemudian Madi yang datang belakangan.

Kami sekarang hanya dapat menunggu. Empat puluh lima menit sudah kami memasrahkan
diri seperti ini. Kami hanya dapat duduk di kursi putih panjang ini. Sebagian dari kami duduk di
lantai-lantai keramik putih rumah sakit, sebagian yang lain malah hanya berdiri dengan kuku
jempolnya digigiti.

Roni kini sudah jauh lebih tenang dibandingkan awal tadi. Ia tak lagi menangis. Ia hanya bisa
diam dengan pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Tatapannya kosong, lesu, tak bergairah. Tante
Minah pun tak lagi menangis. Ia diam sembari mengangkat tangannya, berdoa pada Yang Maha
Kuasa. Waktu yang cukup lama membuat segalanya lebih tenang dan tak terdorong emosi.
Saat itu dokter keluar dari kamar operasi. Ia membuka perlahan masker penutup mulutnya.

“Keluarganya?” ia menunjuk kami.

Kami mengangguk. “Ya, kami keluarganya.” Tante Minah menjawab dengan tidak sabar.

“Doni Syahputra, ya?” sang dokter kembali bertanya.

“Ya.”

Dokter itu menghela pelan. Dilepaskannya sarung tangan plastic di tangannya.

“Sepertinya tabrakannya cukup keras.” Ia membetulkan kacamatanya. “Terutama


kepalanya… Dia kehilangan banyak darah.”

Roni dan Tante Minah kembali larut dalam kesedihan. Air mata kembali mengalir dari mata
kami.

“Dia… tidak mampu kami selamatkan.”

Wajah Roni berpeluh deras. Wajahnya memerah. Mulutnya rapat. Tak dapat dipercayanya
apa yang dikatakan sang dokter.

Roni mendadak maju dan menyerang dokter itu. Air mata berhamburan dari matanya.
Digenggamnya kerah dokter itu.

“Dokter sialan!! Kenapa saudara saya?? Kenapa?? Di pasti bisa sembuh, Dok! Dia pasti bisa!!”
ia berteriak-teriak menunjuk dokter itu dengan emosi.

Aku dan yang lainnya menarik Roni menjauhi dokter itu. Teriakannya semakin keras dan tidak
terkendali. Di tengah-tengahnya, terdengar isakan pilu kesedihannya. Saudaranya telah pergi. Pergi
untuk selamanya. Tinggallah Tante Minah bersama dokter itu sementara kami membawa Roni dari
tempat itu. Sang dokter, dengan matanya yang berkaca-kaca hanya dapat berkata kecil pada Tante
Minah:

“Ia telah pergi.”


11. Kisah Duo Kembar

Masih jelas dalam benakku kisah-kisah itu. Seolah baru terjadi kemarin.

Tiga tahun lalu. Saat aku mendaratkan tubuhku di kota ini. Pangkalpinang, Kota Berarti.
‘Slogan yang bagus’, pikirku. Nuansa melayu begitu tercium saat detik-detik pertama aku menghirup
udara kota. Setiap kata-kata yang terucap dari sang porter, penjual makanan, tukang parkir, sungguh
menggambarkan cita rasa melayu. Belum lagi penggunaan logat yang sedikit terkesan kasar,
semakin membuatku kagum akan budaya negeri ini. ‘ka nek kemane?’ adalah salah satu contoh
bahasa yang digunakan di sini.

Tiga tahun lalu, saat tahun ajaran baru dimulai orang tuaku mengirimku ke sini. ‘Belajar hidup
mandiri’, itu alasan mereka. Konon, di kota inilah ayahku mengambil ijazah strata satu-nya. Dan
kebetulan, Tante Minah adalah salah satu teman bermainnya selama di sini.

Saat itu juga aku mengenal Doni dan Roni, dua kembar yang selalu dinaungi hal-hal
menyenangkan selama hidupnya. Saat aku menyerahkan surat dari ayahku, dua orang ini langsung
menyalamiku.

“Aku Doni,”

“Aku Roni,”

“Selamat datang di Pangkalpinang!” ucap mereka dengan nada yang ceria secara bersamaan.

Selama perjalanan tak jauh berbeda dari yang kuperkirakan. Mereka menyenangkan. Ramah,
baik, lucu dan ceria. Kami mengobrol dengan santai, sementara Tante Minah bekerja di belakang
setir mobil. Sangat jarang kutemui individu-individu lain yang seperti ini. Mereka tak pernah
kehabisan topic untuk dibicarakan, mulai dari olahraga, gosip, politik, hingga edukasi mampu
mereka dalami selues mungkin. Sungguh dua bersaudara yang ceria.

****************
Rumah itu berada di sebuah kawasan bernama Selindung Baru. Kami memasuki sebuah gang
bernama Gang Manggis.

Aku turun saat mobil itu berhenti. Kupijakkan kakiku dan kubawa penglihatanku pada
sekelilingku. Halaman depannya cukup luas. Di dalamnya ditanami beberapa tanam hias seperti
aphorbia, melati, kuping gajah, hingga palem botol. Di sisi kiriku, sebuah kolam ikan terbentang.
Kolam itu cukup luas. Sekitar seperempat dari luas taman itu. Sungguh indah. Taman ini memang tak
seluas taman rumahku di Bogor, tapi ini jauh lebih cantik dari taman apapun yang ada di Bogor.

“Ayo masuk.” Tante Minah memanggilku. Aku melihat padanya sebentar. Dan, saat kuputar
badanku ke dalam mobil, tas-tasku telah tak ada di tempat lagi. Aku sedikit menengadah. Dou
kembar itu telah membawanya masuk.

Saat kumasuki rumah itu, decak kagumku tak dapat kutahan lagi. Ruang tamunya sangat luas
dan indah. Di dinding-dindingnya terdapat lukisan-lukisan yang tak kalah indah dengan ornamen
penghias pintunya. Beberapa lukisan kuda, atau gadis yang duduk itu menurutku harganya bisa
mencapai jutaan. Dan apakah semua lukisan itu sudah cukup untuk menghiasi ruang tamu ini?
Ternyata itu belum cukup jua. Di sudut-sudut ruangan, guci-guci cina berdiri tegak dengan gagahnya.
Gambar dewi Kuan In terpampang di kulitnya. Di depan guci itu terdapat kursi-kursi serta meja-meja
yang megah. Kerangkanya tersusun atas kayu-kayu jati bermotifkan bunga matahari. Di atasnya alas
kapuk memasrahkan dirinya untuk diduduki.

Aku menyentuh gapura yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah rumah itu.
Ornamennya begitu mengangumkan. Di pucuknya, ukiran matahari menunjukkan pesonanya.
Mekar, bercahaya.

Ruang tengah rumah itu lebih besar daripada ruang tamunya. Dan juga jauh lebih lapang.
Sebuah LCD TV menyambutku. Di atasnya, sebuah air conditioner menggantungkan dirinya.

Karpet-karpet warna gelap terbaring di lantai-lantai kermaik ruang itu. Di atasnya, sofa-sofa
dan meja berdiri tegar. Indahnya ruangan ini.
“Oke Dan, kamar kamu di atas. Kamar nomor dua di kanan”, Tante Minah menunjuk ke lantai
atas. “Kamar yang lain itu punya tiga orang mahasiswa. Biasanya sih mereka emang jarang pulang.”

Aku mengangguk. Kubawa diriku meniti anak tangga. Di atas, kutemui duo kembar sedang
ribut bermain Playstation. Koper-koperku telah menunggu di depan pintu kamarku.

“Makasih buat kopernya.” Aku berseru, sementara mereka masih saja rebut tak tentu arah,
tak mendengar perkataanku.

Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Kubuka perlahan pintu itu dan
menutupnya kembali. Kuletakkan koperku di samping meja belajar. Kuhempaskan badanku di
ranjang. Aku menghirup udara perlahan, kupejamkan mataku, dan terlelap tidur. Oh, hari yang
melelahkan.

Pagi itu aku bangun pagi-pagi sekali. Hari ini merupakan hari pertama pendaftaran di SMA
Negeri Pancuran.

Kuambil tasku, dan kumasukkan surat-surat yang dibutuhkan. Ijazah, STTB, piagam prestasi,
kumasukkan dalam sebuah map merah. Aku melihat sebentar angka-angka yang tertera.
‘Lumayanlah..’ pikirku.

Saat aku turun, aku melihat duo kembar sedang sibuk melakukan pekerjaan rumahan. Yang
satu menyapu halaman, sedangkan yang lain mencuci piring. Keriangan tertera di wajah mereka,
keikhlasan terpancar dari auranya. ‘Anak-anak yang baik’. Kuteruskan perjalananku menuju garasi.
Di sana, Tante Minah telah menungguku. Ia pengkukang kedua tangannya di pahanya, sambil
bergoyang menikmati alunan musik abang Meggy Z : ‘Anggur Merah’.

“Siap, Dan?” ia tersenyum padaku.

“Siap, Tante” aku mengangguk.

Ia memutar setir mobilnya, menggelincirkan ban-bannya pada jalanan. Perjalanan sejauh 2


kilometer yang menyenangkan.
SMA Negeri Pancuran merupakan sebuah SMA favorit di Pangkalpinang. Itu yang dikatakan
para ibu – ibu, bapak – bapak, hingga siswa – siswi SMP kelas sembilan. Buktinya simpel saja, kita
bisa melihat pada setiap tahun ajaran baru lebih dari empat ratus orang mendaftarkan dirinya, mulai
dari yang pintar, sedang, sampai yang idiot sekalipun. Namun tentu saja ini tidak mudah. Setiap
tahunnya nilai terendah yang terdaftar di SMA ini bisa disandingkan dengan dua puluh besar milik
SMA lain yang jaraknya empat kilometer dari sini, sebut saja SMA Negeri Mantap.

Dan, benar saja gosip-gosip itu. Hari ini, jam sembilan pagi, aku hanya bisa melongo
memperhatikan jumlah pendaftar tahun ajaran baru ini.

Aku mengambil nomor antrian di sebuah meja. Meja itu dejaga oleh Pak Satpam. Aku
tersenyum padanya dan ia pun tersenyum padaku. Belumlah aku tahu saat itu bahwa aku akan
menjadi salah satu murid yang sering bermasalah dengannya.

Pada hari itu juga aku mengenal Felix, yang saat itu masih seorang murid lugu. Tapi, bibit
ketidaktahumaluannya sudah terlihat dengan sangat jelas.

“Kenalin, aku Soebedjo” ia menyalamiku. Beberapa saat setelah aku duduk. “Tapi, panggil
aku Felix” ia berbisik. “Namamu siapa?”

“Aku Danar.” Aku melihatnya dengan ragu. “Pindahan dari Bogor.”

“Bogor, ya?” ia mengangguk politis. Di saat yang sama ibunya masih saja tak perduli pada
apapun. Dagunya terangkat, matanya melotot ke bawah, sesekali melihat sekeliling dengan
setengah menyipit.

“Kenapa jauh-jauh ke Pangkalpinang?”

“Ayahku yang mengirimku ke sini. Yah, dia juga dulu sekolah di sini.”

“Di sini punya saudara?”

“Awalnya sih ada.”

“Awalnya?” ia menatapku bingung.

“Ya, awalnya ada.. Pamanku. Tapi bulan kemarin dia pindah tugas ke Jerman.”

“Waduh..”
“Di perusahaan pertambangan.”

Dia menggeleng kagum. “Ckckck…” hanya itu yang bisa diucapkannya.

“Empat Lapan Tiga!” seseorang dibalik bilik berteriak. Felix dan ibunya maju. Ia mengambil
mapnya sembari menepuk bahuku.

Beberapa lama, nomorku dipanggil.

Aku menyerahkan mapku pada seorang laki-laki di balik bilik yang nantinya kukenal sebagai
Pak Dun. Sedangkan wanita disampingnya nantinya kukenal sebagai Mam Yul.

Dan saat selesai sudah semua prosedur-prosedur itu, dua ibu-anak itu meninggalkan kami.
Felix melambaikan tangannya padaku, dan sang ibu terus saja berjalan buru-buru seperti orang
yang ingin ke toilet. Tidak ramah sama sekali.

Kejutan pertamaku terjadi sepulang dari itu. Awalnya, tak sedikit pun kecurigaanku muncul
pada dua makhluk ini. Seperti biasa, mereka bermain Playstation di ruang tengah, memainkan
permainan favorit mereka, Winning Eleven.

Aku menaiki tangga, berjalan pelan menuju pintu kamarku. Kuputar gagang pintu itu, dan
memasukinya. Alangkah terkejutnya aku, karena sesampai di dalam, aku menemukan sebuah
tubuh teronggok kaku di lantai kamarku, dengan darah-darah yang bersimbah di mana-mana. Aku
menjerit, aku berlari sekencang-kencangnya, menggedor pintu kakak-kakak kos yang lain.

“Mayat! Ada mayat!!” aku berteriak seraya memukul-mukul pintu kamar bertuliskan ‘Kaslan’.
Pintu itu terbuka, dari dalamnya keluar laki-laki berbadan tegap, Kak Kaslan.

“Kenapa?!” ia bertanya dengan nada bosan bercampur bentakan.

“Ada mayat! Ada mayat di kamarku!!”

Ia mendorongku pelan. Berjalan menuju kamarku, dan melihat ‘mayat’ itu.


Ia tersenyum, menggelengkan kepalanya, menyentuh bahuku dengan tangannya. “Anak
baru, dengerin..Hidup di rumah ini jauh lebih keras daripada di Jakarta. Dan mayat itu salah satu
buktinya.”

Mulutku menganga mendengar pernyataan itu. Saat itu juga aku mendengar tawa yang keras
dari ruang tengah. Aku berjalan ke tapi ruangan, sementara Kak Kaslan masuk kembali ke
kamarnya. Aku melongo, terdiam. Di ruang tengah aku melihat duo kembar, Roni dan Doni, tertawa
terpingkal-pingkal sembari melihatku sesekali. Aku termangu. Tak kusangka mereka yang
melakukannya. Mungkin ini yang dimaksud Kak Kaslan. ‘Hidup di rumah ini jauh lebih keras
daripada di Jakarta’.

Kejahilan itu rupanya hanyalah sebuah awal dari kejahilan-kejahilan yang lain. Persis hari-hari
setelahnya, aku mengalami kejahilan yang paling tidak dalam satu harinya satu kejahilan. Berbagai
kejahilan seperti sepatu roda, ranjang keras, hingga muntah palsu sudah kujalani dengan keji.
Praktis, ini seolah menjadi keseharianku. Namun, aku tak pernah dendam atas semua itu. Aku
mengerti mereka hanya ingin mengajak bermain, bukan untuk menyakiti. Tak pernah sekalipun
mereka melakukan kejahilan yang menyakiti hatiku, justru aku terkadang tersenyum sendiri atas itu
semua.

Namun, di balik kejahilan-kejahilan yang laknat itu mereka tetap saja memiliki sisi positif
dalam diri mereka. Seringkali kulihat mereka membantu Tante Minah dalam melakukan pekerjaan
sehari-hari, mulai dari menyapu, menggunting tanaman, menyiram bunga, mencuci, hingga
memandikan kucingpun mereka ikhlas melakukannya. Selain itu, mereka bukan tipe yang egoistis.
Mereka tak sungkan berbagi atas sesuatu yang mereka dapatkan. Tak jarang aku mendapatkan es
krim, kue, sate, hingga minuman. Dan merekalah yang paling sering memberiku, bahkan tanpa
kuminta sekalipun.

Sisi positif yang lain yaitu kepeduliannya. Mereka selalu tahu kapan diriku merasa senang,
sedih, atau marah. Mereka pun tahu bagaimana memperlakukanku sesuai apa yang aku rasakan.
Saat aku sedih, mereka tak sungkan mengajakku bersenang-senang. Saat aku marah mereka tak
pernah menjahiliku. Dan saat aku senang, mereka menambah kesenangan itu lebih dari
sebelumnya. Aku masih sangat ingat ketika aku diopname akibat usus buntu, beberapa minggu
setelah Ujian Semester 1. Merekalah yang menemaniku paling sering, jauh lebih sering dari
siapapun. Mereka membawakanku buah-buahan, komik-komik, dan berbagi guyonan yang seru
dan lucu.

“Kau seperti saudara kami sendiri.” ucap mereka suatu kali.

Mereka adalah dua orang yang menyenangkan, paling tidak untukku. Memang, terkadang
kejahilan mereka menyusahkanku, tapi sekali lagi, tak ada satu pun dari semua kejahilan itu yang
menyakiti hatiku.

Doni dan Roni. Duo kembar ajaib yang selalu ceria, gembira, dan menikmati hidup.

Aku menjadi saksi hidup saat-saat emas mereka berdua saat masih bersama. Mereka selalu
gembira, tersenyum, tertawa bersama-sama. Tak sekalipun kulihat mereka sedih, marah, ataupun
mengutuk diri mereka sendiri. Tawa mereka sejurus dan seranum sihir. Senyum mereka membuat
segalanya menjadi tawa, nikmat tanpa duka. Seolah tawa dan senyum mereka dapat meluruhkan
derita.

Kini, segala senyum dan tawa itu hilang. Satu dari mereka telah pergi. Satu yang lainnya
tinggal sambil meratapi.

Roni hanya dapat diam di tempatnya. Matanya sayu, kosong menatap tanpa arah. Tak ada
lagi senyum ceria itu, tak ada lagi keriangan, tak ada lagi tawa. Yang kini ada hanyalah sebuah
kesedihan yang mendalam. Kesedihan yang seolah tiada akhir. Yang dilakukan Roni sejak hari itu
hanyalah menunduk, menyesali kepergian saudaranya.

“Tubuhnya boleh mati, tapi jiwanya tetap hidup! Kesedihanmu hanya membuat jiwanya
perlahan-lahan mati!” aku memekik padanya.

“Kau tahu apa!? Kami berdua adalah keceriaan. Jikalau keceriaan itu tak lagi utuh, maka yang
ada tak lebih dari sekedar kesedihan tiada sudah!!” ia memekik lebih keras.

Keadaan semakin parah kini.


Ia semakin larut dalam kesedihan. Ia tak mau bicara, tak mau menjawab, tak mau melakukan
apa-apa.

Segala apa yang kami lakukan tak ada gunanya lagi. Ia kini hanya duduk menunduk di atas
kursi depan rumah. Senandung kesedihan yang ia nyanyikan membuat hati serasa larut. Senandung
kerinduan seorang saudara untuk saudaranya yang telah pergi.

Sering aku melihat Tante Minah menangis melihatnya. Hatinya hancur melihat keadaan satu-
satunya anak yang masih ia miliki ini. Namun, itu tak ada gunanya lagi. Roni telah hancur. Ia tak
perduli segala apapun lagi. Ia terus saja bersenandung. Pagi, siang, sore, hingga ke malam hari.
Hingga akhirnya ia tertidur dalam senandung kerinduannya.

“Di kala keceriaan tak lagi utuh, yang ada hanya kesedihan tiada sudah… Na.. Na.. Na…”
12. Hijrah

Keadaan yang sedemikian parah membuat Tante Minah mengirim Roni ke Rumah Sakit Jiwa
di Sungailiat. Ia pun memutuskan pindah ke Sungailiat, menemani anak yang kini tinggal satu-
satunya. Rumah ini untuk sementara ia titipkan ke kerabatnya di sini. Awalnya, ia menyuruhku
menjaga rumah ini. Namun, jujur, aku belum sanggup mengurus rumah sebesar dan semewah ini
sendirian. Bukan soal pekerjaan rumahannya, melainkan tanggung jawabnya.

Kediamanku berpindah ke sebuah kawasan bernama Jalan Balai. Tak jauh dari sekolah.
Jadinya, aku tak perlu lagi naik angkot untuk ke sekolah.

Pemilik rumah itu bernama Gokan Simatupang. Seorang guru di SMK Negeri Kuarca di dekat
alun-alun Merdeka. Seorang guru yang terkenal galak.

“Baik Hanar! Kamar kau di ujung situ! Di dekat WC!” ia menunjuk ujung ruangan. Logat
bataknya sangat mengena.

“Danar, Pak..” aku mengoreksi.

“Ah, apapunlah itu!” ia menggoncangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.

Aku mengambil koperku dan berjalan menuju kamar.

“Eit!” ia menahanku dengan telapak tangannya yang besar. Digosok-gosokkan jari-jarinya


satu sama lain. Alisnya naik turun cepat.

Aku merogoh saku belakangku. Kuambil dompet kulit warna hitam dan mengambil beberapa
lembar uang seratus ribuan. Ia mengambil uang itu dengan cepat dan membalikkan badannya. Ia
bersenandung licik. Kuambil tasku dengan cepat dan berjalan memburu ke pintu kamar.
Rumah ini memang besar, tak beda jauh daripada rumah Tante Minah. Namun entah kenapa
aku merasa rumah ini dinaungi semacam hawa mistis yang menusuk-nusuk. Mungkin karena
tampang Pak Gokan yang seram, atau tempat ini memang terkesan kotor, jorok, dan dekil. Lihat
saja dinding-dindingnya yang sedikit kusam, atau keramiknya yang agak menguning.

Aku menekan gagang panjang pintu itu, membukanya, dan memasukinya.

Sesampainya di dalam aku tercengang. Oh, kamar ini sungguh kecil, jauh lebih kecil daripada
punya Tante Minah. Kamar itu luasnya hanya 3x3.

Aku tak melihat adanya lemari pakaian yang utuh di kamar itu. Yang ada, sebuah lemari kecil
yang menyatu dengan meja belajar yang tidak terlalu besar dan sebuah kasur kecil di depannya.
Hanya itu. Tak lebih.

Aku menatap jijik pada debu yang bertebaran, tebalnya tak terkirakan. Aku mengambil sapu
yang kebetulan ada di belakang pintu, dan membersihkan sekeliling ruangan. Sepertinya tempat ini
dulunya gudang. Pantas saja sewanya murah. Waktuku pun terbuang hanya untuk membersihkan
ruangan hari itu. Sebuah pembukaan yang tidak mengenakkan.

*********************

Hari ini, 10 Agustus. Kini aku menginjak kelas tiga, dan mudah-mudahan dengan izin-Nya,
inilah tahun terakhirku di SMA ini. Tahun ini susunan kelas tidak berbeda jauh dengan tahun
sebelumnya. Felix pada tahun ini kembali sekelas denganku, namun tidak untuk kekasihnya, Siska.
Tahun ini Siska masih tetap eksis di XII IPA 3, sementara kami bergeser ke XII IPA 2. Karin dan Feni
kali ini sekelas, XII IPA 3, dan Arman XII IPA 1.

Hari ini perlombaan tujuh belasan yang diadakan setiap tahun dimulai. Berbagai perlombaan
mulai dari futsal, lomba karung, enggrang, hingga tepuk bantal menjadi santapan kami. Untuk
pertama kalinya selama tiga tahun, aku dipercaya menjadi pesertanya, dalam hal ini aku mengikuti
futsal.
Dalam perlombaan ini, peserta diwajibkan memakai kaos kaki merah putih beserta sarung.

Tim dari kelas kami diikuti oleh tujuh orang, Agi, Umar, Antoni, Felix, Asrul, Budi, dan Aku.
Bisa ditebak, aku dan Felix hanya menjadi pemain cadangan. Praktis, sepanjang pertandingan, kami
hanya melongo, menunggu dan berharap salah seorang dari mereka kakinya patah dan meminta
digantikan.

Dan, hal itu terkabulkan. Namun, kakinya tidak patah, hanya terkilir. Aku pun memasuki
lapangan. Beberapa rekanku menyambut dengan sebuah tos-tosan. Posisiku adalah bek.
Disampingku, Umar yang berbadan besar menemaniku. Jempolnya diangkat. ‘Yakinlah’.

Skor saat itu menunjukkan angka 0-0. Waktu tertinggal tiga menit saat itu. Saat sebagian dari
kami kelelahan, Antoni melakukan sebuah pelanggaran, lima inci dari kotak penalti. Ia diberi kartu
kuning.

Detik itulah segalanya berubah. Sebuah tendangan keras dihentakkan salah satu dari mereka.
Ia meluncur deras menghantam mata kaki Umar, membuat bolanya berbelok arah, menghindari
Agi yang condong ke kiri. Gol yang sontak disambut meriah oleh kelas XI IPS 2 dan cecunguk-
cecunguknya.

Detik berikutnya Felix masuk menggantikan Antoni. Permainan kembali berjalan dengan
bosannya. Operan-operan pendek, itulah yang hanya dapat kami lakukan. Berusaha, dan terus
berusaha menghindari lawan yang coba mengambil bola. Felix lalu agak turun ke tengah, dan
meminta bola. Saat itu aku berinisiatif berlari. Felix menahan bolanya, dan dengan sebuah gerakan
cepat memutar bola menghindari lawan. Saat itu juga ia memberikan sebuah umpan terobosan
manis ke sayap, tempat aku berada. Bola itu kutahan, lalu kuteruskan pada Asrul melalui sebuah
crossing kencang yang akhirnya disambut sebuah tandukan nan sempurna. Gol! Skor berubah
menjadi 1-1 saat itu juga. Kami sontak berteriak dan menyambut gol itu penuh emosi. Sebuah gol
yang dramatis! Dua puluh detik menjelang berakhirnya pertandingan! Asrul pun dikerumuni dan
dipeluk habis-habisan. Namun, pertandingan belum berakhir.

Saat peluit dibunyikan, XI IPS 2 mengambil kick-off. Saat itulah aku terkejut akan Felix.
Sebuah gerakan cepat dibuatnya. Ia mengambil bola dari lawan hanya sepersekian detik sehabis
kick-off. Dibawanya bola itu tak jauh, lalu ditendangnya sekeras mungkin. Tas! Bola itu ditepis sang
kiper seraya melompat terbang, membiarkan tanah menyambutnya. Semua orang ternganga. Tak
dapat dipercaya apa yang terlihat. Sang kiper pun terlihat terkejut atas tendangan itu. Beruntung ia
dapat menangkapnya.

Tendangan sudut pun dilakukan. Yang mengambilnya adalah Asrul. Ia menendang, namun
bola itu masih dapat dihalangi beberapa anak XI IPS 2, menghasilkan sebuah bola liar yang
menggelincir mendekati Felix. Ia pun mengambil ancang-ancang menendang. Sap! Tiba-tiba ia
menahannya, dan menyodorkan bola itu padaku.

“Hantam teman!!!” ia memekik.

Bola itu kudorong masuk ke gawang. Gooooll! Ia masuk! Skor pun berubah menjadi 2-1 bagi
kami. Semua, hingga wali kelas kami pun berlari memelukku. Semua dalam hiruk pikuk dan euforia
yang luar biasa. Mereka berteriak histeris, tak dapat menahan kebahagiaannya. “Danar, Danar,
Danar!!”, mereka bergelora. Tak dapat kupercaya momen yang begitu cepat ini. Sebuah gol, yang
bahkan tak kurencanakan, kini terjadi. Gol yang biasa, namun bagiku sungguh luar biasa. Aku
mengeluarkan diriku dari kerumunan itu, berlari kecil, merangkul Felix dan menengadahkan
telunjukku ke langit. Doni, gol ini untukmu, bung!

*****************************

Berikutnya, parade gelar berlanjut untuk kelas kami.

Bulan Agustus memang merupakan bulan kami. Dalam bulan ini total kami mendapatkan lima
piagam juara. Juara 1 futsal, juara 1 tepuk bantal putra, juara 2 lompat karung putri, juara 1 lompat
karung putra, dan juara 3 lompat karung putra.

Yang mendapat perhatian paling khusus tentu saja futsal, yang notabene adalah lomba
favorit di SMA. Dua dari kami mendapat penghargaan individu. Felix mendapat penghargaan
sebagai assist terbanyak, dan Asrul sebagai top skorer. Aku memeluk Felix sesaat setelah menerima
piagam penghargaan itu. Bertahun-tahun, baru kali inilah ia menunjukkan kehebatan sejatinya.
Sejak kelas satu, memang baru kali ini ia mendapat tempat di lomba futsal. Faktor entertain
berperan penting dalam nasibnya ini.
“Tak sia-sia aku berlatih, Dan” ia tersenyum. Senyum puas yang sangat indah.

Bulan Agustus adalah awal dan akhir sementara bagi kami, siswa kelas dua belas. Selama dua
bulan ke depan, September dan Oktober, kami akan digenjoti pembelajaran yang cukup
memusingkan kepala.
13. Penghianatan Siska

“Unsur-unsur transisi periode-4 antara lain Sc, Ti, V, Cr, Mn, Fe, Co, Ni, Cu, dan Zn,” mata Rani
menyapu seisi kelas, namun aku tahu sesungguhnya ia menatap dinding, bukan kami. “Sifat kimia
unsur-unsur transisi periode-4 salah satunya membentuk senyawa berwarna yang nantinya akan
dijelaskan oleh teman saya yang lain.” kembali ia menjelaskan.

Beberapa dari kami menguap, sebagian lagi malah asyik tidur, bermain HP, ataupun
menggambar grafiti.

Aku adalah salah satu orang yang menguap. Kusilangkan tangan-tanganku di dadaku,
menyandarkan punggung ke kursi, dan menguap beberapa kali. Ini adalah yang ketiga kalinya sejak
presentasi ini dimulai.

Kimia adalah salah satu pelajaran yang tidak kusukai. Aku pun tak tahu mengapa. Seringkali
aku menghapal segala rumus yang ada di buku. Segalanya! Namun, rumus itu seolah tak berguna
saat aku bertemu soal. Pikirkan : diketahui 32 gram H2SO4 dicampur dengan 20 gram NaOH dalam
keadaan standar. Berapa liter garam yang terbentuk? Astaga! Bagaimana bisa dari gram berubah ke
liter? Campur air? Entahlah.

Felix menopang dagunya pada telapak tangannya. Wajahnya terlihat bosan. Sudah beberapa
kali ia menghela dan menghembuskan napasnya lambat-lambat.

“Minggu ini kita ke bukit Mangkol.” katanya tiba-tiba, bangun dari kemalasannya.

“Mau ngapain?”

“Mau ngapain lagi coba? Ya jalan-jalan lah… Dua minggu lagi puasa, kapan lagi mau jalan-
jalan, hitung-hitung gak ada waktu dan kesempatan yang lain lagi.. Soalnya bulan-bulan ke depan,
kita bakal digenjot buat UAN”, ia menjelaskan dengan jari telunjuknya dikibas-kibaskan ke sana ke
mari.
Aku mengangguk. Bel istirahat pertama berbunyi. Presentasi Rani yang belum selesai itu,
ditambah dengan bel tadi membuat Rani gusar dan bertingkah tidak teratur. Bu Ani lalu
menyetopnya sebelum ia mengamuk lebih ganas. Ia pun diam saat itu juga. Tak lama, Bu Ani keluar
kelas setelah ia menutup presentasinya. Wajahnya terlihat tidak puas.

Aku duduk santai bersama Felix saat istirahat pertama itu. Sebuah kursi beton yang
memanjang jadi tempat bernaung kami. Kuangkat sebelah kakiku, menopangnya di kaki yang
sebelahnya lagi. Kunikmati udara yang tak begitu sejuk. Tak apalah, daripada tak sama sekali.

Nun jauh di sana, Karin bersama Henqy berjalan melewati taman sekolah. Mereka lalu duduk
di sebuah bangku beton membelakangiku. Mereka terlihat bahagia dengan canda, tawa, dan
kemesraan.

Enam bulan sudah mereka menjalaninya. Karin, seorang cewek yang baik, dengan henqy
seorang cowok yang baik pula. Sejak hari itu, hari dimana dia memintaku membantunya untuk
mendapatkan Henqy, sejak itu juga aku berusaha membantunya. Membantunya! Karin, seseorang
yang ironisnya aku sukai.

Namun, semua hari-hari kebaikan itu telah berlalu.

Henqy adalah seorang laki-laki yang baik. Pada awalnya, aku meyakini itu. Karena alasan
itulah sebetulnya, aku rela Karin menjalin hubungan dengannya. Namun kini semua berubah.
Bagiku, ia hanyalah seorang lelaki munafik. Ia telah merubah Karin. Karin, seorang cewek yang baik.
Namun kini kebaikan itu hilang tanpa bekas. Ia kini telah berubah. Rambutnya, cara berpakaiannya,
bicaranya, perilakunya seperti seorang wanita liar, preman, yang tak peduli pada apapun. Pada
apapun, kecuali Henqy, Henqy, dan Henqy.

Perubahan ini berimbas pada hubungannya dengan teman-temannya yang lain. Ia tak mau
lagi berkumpul, bercengkrama, dan bercanda dengan orang-orang. Dalam pikirannya hanya ada
satu orang yang baik : Henqy. Selebihnya hanya ia anggap sebagai kumpulan orang-orang tak
penting. ‘Masalahmu bukan masalah bagiku’ ucapnya suatu kali.
Aku telah diperingatkan oleh teman-teman Henqy. Aku pun telah memperingatkan Karin.
Namun, entah karena terlambat atau ia yang keras kepala, tak lama setelah peringatan itu, justru ia
telah menjalin hubungan dengan Henqy.

Di satu sisi aku merasa bersalah.

Aku tak pernah menyangka akan seperti ini. Hanya karena sebuah pilihan kecil, ini terjadi.
Aku tak tahu, entah karena aku atau takdir. Aku tak pernah tahu.

Kami sudah tak bertegur sapa cukup lama. Terakhir kali bertegur sapa, ia mendampratku
dengan sangat menyakitkan.

“Hidupku adalah hidupku, Dan! Kamu gak usah ikut campur!”

**********************

Sabtu pagi, kami memulai perjalanan. Kesibukan para guru yang terlalu padat memaksakan
kami harus berlibur satu hari ini. Keberuntungan atau kesialan? Ah, aku tak peduli.

Felix memajukan jadwal ke hari ini begitu mengetahui jadwal libur itu.

Perjalanan ini tak memakan waktu yang lama. Cukup dua puluh menit dari kos-kosanku. Kami
mengendarai sebuah motor gede milik Felix. 150 cc, warna merah, dan bertuliskan nomor 72 di
depannya. Pagi-pagi, sekitar pukul enam, ia mendatangiku.

“Kita nikmati hari ini, bung”, ucapnya sembari tersenyum. Kami pun memulai perjalan itu.

Dua puluh menit perjalanan telah usai. Kami telah sampai di puncak bukit itu. Felix
memarkirkan motornya tak jauh.

Pemandangan dari bukit Mangkol begitu indah dan menawan mata. Dari atasnya, kamu bisa
melihat sebuah panorama kota Pangkalpinang yang terpapar rapi dan mengagumkan. Udara di
puncak bukit itu pun sungguh menyegarkan. Aku membentangkan tanganku, memejamkan mata,
dan menikmati udara pagi itu. Di sana, matahari belum memanaskan suasana. Sungguh nyaman.
Sementara aku mengagumi panorama itu, Felix berbaring beralaskan kedua tangannya untuk
menopang kepalanya. Ia terkekeh-kekeh melihat tingkahku. ‘udik.’ mungkin itu pikirnya.

Panorama yang terbentang itu sungguh membuatku kagum. Aku dapat melihat kos-kosanku
dari sini. Sebuah rumah besar beratap biru muda. Dari situ juga aku dapat melihat SMA Negeri
Pancuran, sekolahku kini. Aku lalu berputar kea rah Felix, dan dalam satu gerakan, aku mengambil
gambarnya : klik!

“Aloy” ia sedikit membentak. Aloy bisa diartikan sebagai jahil.

“Pemandangan di sini bagus” ucapku sembari mendekatinya. Aku duduk dan


membentangkan kedua kakiku, saling menjauhi.

“Ya iyalah…” jawabnya.

Aku menghirup udara pagi yang segar. Kulihat langit di atasku. Saat itu langit belum jua
menunjukkan kecerahan matahari. Mendung, tepatnya seperti itu. Aku lalu sedikit berjalan.
Kupotret segala sesuatu yang menurutku indah dan enak dipandang mata. Aku melihat mereka,
foto-foto yang kudapatkan. Sungguh menakjubkan. Tak bosan aku menatapnya. Sebuah kenangan
yang tak mudah dilupakan.

“Sebentar lagi kita pisah, ya Dan..” ia bertanya secara tiba-tiba.

Aku menatapnya. Tak kuucapkan apapun. Aku mengangguk satu kali, dan mengalihkan
pandanganku ke lain tempat.

“Enam atau tujuh bulan lagi…” ia melirih. “Dua tahun memang gak terasa cepatnya.”

Aku membalikkan badanku dan berjalan ke arahnya. Aku kembali duduk di sampingnya.
Kulihat, matanya sedikit berkaca-kaca.

“Kita gak akan berpisah” ucapku. “Tinggallah bersamaku nanti.”


“Kalau saja bisa, Dan, aku akan ikut bersamamu” ia tersenyum. “Namun, firasatku berkata,
sepertinya itu cukup sulit.”

“Kenapa? Kamu gak mau tinggal sama aku?”

“Ya.. Tentu aku mau. Mau banget..”

“Terus? Orang tua kamu gak ngasih?”

“Mereka pasti ngasih izin Dan. Tapi…” ia terdiam sebentar. “… firasatku berkata lain.”

“Enggak, Felix. Kita udah pernah ngomongin soal ini sebelumnya. Biarlah dua-tiga tahun ini
jadi dua-tiga abad, kalau perlu jadi persahabatan sampai kita mati!”

Ia tersenyum. “Hatiku ingin mengikutimu, Dan. Tapi…”

“Sudahlah. Kita gak pernah tau masa depan. Yang bisa kita lakukan cuma berusaha!”

Ia mengangguk. Ia menatapku, lalu mengalihkannya, memandang dan menerawang ke


depan. Aku tak tahu apa yang ada di dalam hatinya. Tapi aku tahu ia mengatakan sesuatu. Sesuatu,
yang amat dalam dan menyakitkan.

“Kamu sama Feni gimana?”

“Gitulah, sama seperti hari-hari sebelumnya”, aku menghela sejenak. “Penuh tuntutan,
ekspektasi, macam-macam pokoknya.”

“Wanita itu butuh perhatian Dan..”

“Entahlah, Fel. Sepertinya aku gak bisa jalani dengan baik. Aku masih bimbang, apa pilihanku
untuk memilih Feni itu tepat?”

“Menurut kamu?”

“Aku gak tahu Fel. Tapi.. kalau melihat Karin yang sekarang ini, aku merasa bersalah.”

Ia mengangguk.
“Ia sekarang gak lebih dari cewek badung, liar gak ada mengertinya. Kamu tahu, Fel? Kalau
aku meneruskan perjuanganku dulu, mungkin dia gak akan jadi seperti ini. Aku pun akan jadi lebih
tenang, dan segalanya akan berjalan dengan semestinya.”

Aku melihat Felix. Ia mengerti apa yang kumaksud, sangat sangat mengerti.

“Sebetulnya aku juga sama seperti kamu, Dan. Berhadapan dengan pilihan-pilihan.” Ia
tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

“Siska, dia itu sebetulnya bisa saja aku lepas. Mungkin aku cukup bodoh
mempertahankannya sebagai cewekku. Tapi Dan, hidup itu pilihan. Pilihlah sesuatu yang terbaik
bagi kamu. Aku belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Dan. Tapi aku selalu berharap yang
terbaik. Karena rasa sayangku sangat besar untuknya.”

Aku tersenyum padanya.

“Semuanya akan baik-baik saja” ucapku.

Beberapa saat kemudian, Felix terlelap dalam kemalasannya. Saat itu aku hanya duduk dan
menikmati pemandangan di sekitar. Merasa bosan, aku berdiri dan memutuskan berkeliling.

Saat itu juga matahari menampakkan sinarnya. Di ufuk, cahaya oranye matahari membuat
jantungku berdegup kencang. Indah sekali. Kupotret panorama alam yang indah ini. Udara sekitar
sedikit menghangat, namun tak mengurangi kesegaran udaranya.

Aku berjalan menyusuri jalanan. Tak jauh dari tempatku, aku dapat melihat sebuah pada golf
terbentang luas. Luasnya mungkin beberapa hektar. Aku melihat beberapa orang bermain golf
dengan nikmatnya, dengan para caddy yang cantik-cantik. Dilihat dari parasnya, mereka sepertinya
adalah para pejabat serta orang-orang kaya di kota ini. Aku memotret mereka beberapa kali,
termasuk ekspresi kekecewaan dari salah satu yang jangkung ini.
Aku melanjutkan jalanku menapaki jalan berbatu dekat situ. Hawa dan udara dingin yang
menusuk menemani perjalananku berkeliling.

Di jalanan sekitar, aku menemukan beberapa pasangan yang berpacaran. Beberapa


diantaranya bermesraan di atas motor, beberapa yang lain duduk-duduk dan sebagian lagi sambil
berlari-lari kecil. Tak lupa, aku memotret mereka dari jarak yang tentunya aman. Jalan yang
bertebing sungguh membantuku dalam mendapatkan gambar yang bagus. Tak jarang aku
memotret ke tebing bagian bawah dari tempatku. Dari situlah aku mendapatkan beberapa gambar
burung, kadal, dan awan-awan yang unik dan indah.

Tak jauh dari situ, aku melihat sepasang cowok dan cewek. Mereka bermesraan. Si cewek
berada di motor, sedangkan sang cowok, dengan seragam Paskibrakanya sesekali berputar di
dekatnya. Aku mengarahkan kameraku, memfokuskan lensa, dan berusaha mengambil
pencahayaan yang bagus. Aku menekan tombol pengambilan gambar, dan saat itu juga aku
terkejut akan gambar yang telah aku ambil. Dua orang itu adalah dua orang yang sangat kukenal :
Arman dan Siska.
14. Muak

Aku menghempaskan badannya keras ke dinding parkiran guru yang telah kosong
melompong.

“BRENGSEK!!! Ngapain kamu sama Siska kemarin???!!!”

Ia menatapku dengan mimik terkejut. Keringat bercucur deras di wajahnya. Ia kalah posisi
sekarang.

Jotosku melayang ke sisi samping wajahnya.

“Jawab!!”

Ia meludah lalu memutar wajahnya menatap wajahku.

“Bu-bukannya kalian pergi hari minggu?” ia berkata dengan terbata-bata.

“Perubahan jadwal..” aku menatap dalam matanya. Bencinya aku pada si busuk ini. “Tapi
sepertinya ini ada gunanya, Man… Karena aku bisa tahu semuanya!”

Ia tertawa kecil dengan licik. Ia tak menatapku barang sedetik pun.

“Hah.. Sekarang kamu udah tahu.. Dan pastinya dia gak tahu..”

Aku tak menjawab.

“Hah! Hahaha.. aku tahu pasti.”

Ia menyeka dahinya yang berpeluh. Wajahnya tak berubah sedikit pun.

“Kamu harus tahu, Dan.. Kamu kalah posisi sekarang.”


Aku diam.

“Kamu gak ngerti juga? Kamu memang bodoh..” ia tertawa. “Danar.. Perlu kamu tahu. Kalo
Felix sampai tahu ini semua, kamu tahu kan, dia bakal jadi apa?”

Ia mendorongku mundur dengan keras. Matanya menatapku, menerorku.

“Buzz..” ia menggerakkan kedua tangannya berlawanan.

“Hancur..”

Aku melihat padanya. Ia benar. Felix akan hancur dalam sekejap jika tahu itu semua. Aku
memejamkan mataku. Aku kalah posisi, kalah situasi, kalah segalanya. Tak ada yang bisa kulakukan
saat ini.

Wajah Arman terlihat puas dengan keadaannya saat ini. Ia tersenyum licik.

Aku menerjang ke arahnya kulayangkan sejumlah pukulan yang tak segan dibalasnya. Aku tak
punya pilihan lain selain ini. Biar ia merasakan kesakitan tubuh untuk mengganti segala
kesalahannya ini.

Sebuah tangan menarikku menjauhi Arman.

“Hei, hei.. Sadar, Dan!”

Aku melihat pada orang itu.

“Kenapa kamu?”

“Kamu harus tahu Fel… Dia.. dia…” aku tak sanggup meneruskan kata-kataku saat melihat
Arman. Senyum liciknya kembali memburuku.

“Kenapa Dan? Kanapa Arman?”

“Dia.. itu Fel..”

Arman yang sedari tadi diam, memotong kata-kataku. “Ini lo, Fel… Si Danar ini, gampang
banget tersinggungnya..”
“Maksudnya?”

“Iya, ini Fel. Aku kan cuma bercanda.. Eh, dianya malah emosi..”

Felix melihat tak yakin pada Arman.

“Benar begitu, Dan?”

Aku diam. Aku putus asa. Aku tak punya pilihan lain selain ini. Aku harus berbohong pada
Felix. Ini satu-satunya cara. Maafkan aku, Fel.

“I-Iya, begitu..” aku mengangguk.

“Ckckck…” Felix menepuk-nepuk bahuku. “Jangan begitu dong, Dan.. Arman ini cuma
bercanda aja kok.. Jangan terlalu serius jadi orang..”

Aku mengangguk. Di sana, Arman tersenyum puas atas keadaannya. Di sampingku, Felix
masih saja tersenyum ceria menyemangatiku. Namun, ada yang aneh dari mimik wajahnya.

******************************

Dalam agamaku, salah satu pepatah yang dikenal adalah ‘Hari ini harus lebih baik dari hari
kemarin. Jika hari ini lebih jelek, maka kita celaka, dan jika sama, maka kita merugi. Aku memahami
pepatah itu dengan baik. Namun prakteknya tak semudah itu. Hari demi hariku bertambah, dan
semakin bertambah buruk.

Adalah Feni yang berperan utama dalam hal itu. Hari demi hari, jam demi jam, dan detik
demi detik diisinya hanya dengan satu kegiatan : mengoceh. Ada saja ocehan yang dibuatnya, mulai
dari ekskul, cewek-cewek, hingga tema-tema lain yang entah didapatnya dari mana. Jujur, aku
bukanlah tipe orang yang suka bicara, lebih condong ke pendiam malah. Jadilah hari-hari kami
dalam masa jadian ini diisi dengan pembicaraan yang seringkali secara sepihak.

Segala hari-hari kujalani tanpa ada ketenangan. Ini membuatku muak. Kekhawatiran dan
kebingungan membuat segalanya terasa semakin kacau saja. Semakin membuatku tak pernah bisa
menikmati detik-detik, menit, hingga waktu-waktu di sekitarku.
Sebuah relung dalam hatiku seringkali membuat jiwaku kosong dan tak berisi.

Aku melihat hari-hari bersama ini sebagai hari-hari yang tak berguna. Selalu, dan selalu
secara sepihak. Dalam hal ini, hanya dari Feni, dan bukan dariku.

Aku melihat kehidupan Karin yang semakin hedon dan rusak sejalan waktu. Hatiku sakit. Aku
tak pernah bisa memungkiri bahwa ini adalah penyesalan terbesar dalam hidupku.

Aku menatap Feni, dan beban itu semakin besar saja. Selalu, dan tiap waktu aku berusaha
menambah rasa sayangku padanya. Dan di setiap waktu dan usaha itu pula, rasa saying itu semakin
jauh dari yang aku harapkan.

Aku tak pernah membayangkan sedikitpun akan perpisahan. Namun, justru ia membuat
semua itu semakin dan semakin jelas saja. Tingkahnya, segala kekhawatiran akan kehilanganku,
justru membuatku semakin tidak tenang. Mungkin ini imbasnya dari sikap lemahku padanya.

Aku tak pernah menyakitinya. Membentaknya pun aku tak sanggup. Wajah yang bulat kuning
nan cantik itu membuat segala urat dan ototku melemah dan takluk hanya dalam satu kedipan
mata.

“Aku sudah menduga jadinya kayak gini.”

“Kenapa gitu, Fel?” tanyaku.

“Ya jelas. Seperti yang kubilang dulu, kamu udah memilih pilihan yang salah.”

Aku diam. Berpikir keras.

“Dan kamu lihat sekarang, kan? Kamu jadi menderita hanya karena gak mau berusaha.”

Aku mengangguk.

“Yah.. Mungkin aku memang seorang pengecut…”

“Haduh.. Jangan kecil hati gitu dong..” Felix merangkulku.

“Tapi mungkin lebih baik kalau kalian berpisah, Dan..”


“Tapi,,aku gak tega…”, aku sedikit berbisik.

“Kamu harus tega, Dan. Buat sedemikian rupa supaya dia gak cinta lagi ama kamu. Jauhin dia
lah, jahatin dia lah, tertutup, kalo perlu, ganti indentitas!”

Aku mengangguk dan tidak tertawa atas lelucon absurd ini. Lelucon itu memang tak lucu
adanya. Aku berpikir, tegakah aku menghancurkan hati Feni, seseorang yang mencintaiku? Aku tak
tahu! Aku tak pernah tahu!

“Paling enggak, yakinkan aja dalam hati kamu bahwa ini yang terbaik untuk kelian berdua.”

“Kamu yakin soal ini, Fel?”

Ia mengangguk. Aku semakin bimbang saja. Aku bingung dengan keadaan. Namun, aku tak
mau menyiksa dan membohongi diri sendiri. Di luar itu, lima bulan lagi Ujian Nasional siap
menyambut.
15. Muak bagian dua

Tiga minggu sudah sejak saran itu diajukan Felix. Semuanya berjalan sesuai prediksinya. Feni
jadi uring-uringan, persis cacing kepanasan. Sikap cuek dan perubahan sikapku sepertinya menjadi
faktor utama. Sikap-sikap anehku ini membuat kesempatan berduaan dengannya menjadi
berkurang. Seolah aku ingin menjauhinya. Sebuah pertanyaan muncul dalam benaknya : ‘apa
salahku?’. Bisa dibilang aku menikmati keadaan ini. Lebih tenang, lebih damai.

“Perkembangan bagus, Dan.” ucap Felix.

“Tapi jujur Fel, aku masih gak yakin soal ini.”

“Kenapa pula?”

“Ya.. kamu tahu kan, dia pasti bertanya-tanya soal ini?”

“Itu pasti, Dan. Tapi kamu gak punya pilihan lain. Semakin kalian dekat, semakin dia gak mau
lepas dari kamu. Dan saat itu juga kamu semakin menderita.”

“Tapi bukannya lebih baik kalau ini dibicarakan baik-baik?”

“Tentu, tentu.. Tapi dia pasti bakal lebih menyangka macam-macam.. Tindakan itu lebih baik
dari segalanya, Dan..”

Aku mengangguk.

“Kamu sendiri kan yang bilang mau jaga perasaan dia?”

“Bukannya ini namanya menyakiti hati Fel?”

“Bukan Dan, bukan… Aku gak nyaranin kamu buat ngejauhin dia.. Cuma mengurangi
intensitas aja.. Pelan-pelan gitu lo..”

Aku mengangguk setuju padanya. Di sampingnya, Antoni masih saja bergeleng-geleng tak
keruan. Aku cuma berharap dia tidak mendengar apa yang sedari tadi dibicarakan.
“Dan..” sebuah suara memanggilku. Itu Feni. Ia menatapku sendu namun tetap tersenyum.
Kedua tangannya ia tangkupkan. Felix saat itu juga segera menyingkir, masuk ke kelas.

“Kamu bisa, Dan” ia berbisik sebelum masuk.

Aku melihatnya, tak yakin aku bisa melakukan ini. Ia mengacungkan jempolnya dengan
tegasnya. Oh, hatiku malah bertambah ruwet karenanya.

“Boleh duduk?” Feni menunjuk bagian yang kosong.

Aku mengangguk. “Boleh” jawabku.

Ia lalu duduk, memandangku sesaat lalu mengalihkan pandangannya ke lain tempat. Aku
melihatnya. Semakin kulihat, semakin tak kuat hatiku. Ia kembali memandangku. Sesaat, tak
sampai setengah detik pandangan kami bertemu, sebelum selanjutnya kualihkan pandanganku.

“Kenapa kamu begini, Dan?” ia sedikit membentak.

“Maksudnya?”

“Kenapa kamu…seolah ingin menghindar dari aku?”

“Menghindar?” aku menatapnya. Ia sedikit tersentak karena itu.

“Kamu selalu menghindar dari aku..Tak satu kali pun kamu memberi kepastian sama aku.
Setiap aku tanya sesuatu, kamu gak pernah niat ngejawab!” ia terisak. “Apa salahku, Dan?”

Aku melihat pada matanya. Rasa ibaku kembali muncul.

“Kamu gak salah apa-apa Fen..”

“Tapi kenapa…??” ia tak bisa meneruskan kata-katanya. Bel masuk berbunyi saat itu juga.
Tak lama setelah itu, Pak Dun berjalan memasuki kelas kami. Ia membawa seberkas kertas hasil
Ulangan Tengah Semester kami.

“Bel masuk udah bunyi Fen..aku…” sebelum aku menyelesaikan kalimat itu Feni
menghambur masuk ke kelasnya. Ia tak menangis, hanya terisak. Aku tak tahu apa yang terjadi
selanjutnya, tapi sepertinya itu sangat menyakiti hati terdalamnya.
“Kamu, cepat masuk!” Pak Dun membentak, jari telunjuknya diarahkan tepat ke wajahku.
“Pacaran aja!” lanjutnya.

Dengan segera aku memasuki kelas. Di dalamnya, aku tak konsentrasi pada apapun,
termasuk hasil UTS-ku yang bernilai 45,89. Aku memasukkan kertas itu ke dalam tasku dan
melanjutkan lamunanku. Jahatkah aku?

“Kejarlah tujuan hidupmu, bung!” Felix menepuk punggungku, sembari memegang kertas
nilainya di tangan kanannya. Nilainya 75,60. Mengherankan, padahal aku yang memberinya
jawaban, namun kenyataannya, justru nilaiku yang jeblok.

Ia lalu mengambil HP-nya, dan secara sembunyi-sembunyi mengirim SMS pada Siska : ‘UTS
Fisikamu berapa, cay?’.

****************************

Hujan lagi.

Aku menatap pada langit yang mendung dan bercucuran hujan. Sejak dua jam pelajaran yang
lalu, hujan turun tanpa berhenti. Di hari yang hujan seperti ini, sialnya aku tak membawa jas hujan
ataupun minimal jaket untuk membuatku hangat.

Pak Dun yang baru keluar dari kelas menghisap alat bantuan pernapasannya sambil berlari ke
kantor. Di pelukannya, tas kerjanya dilindunginya dengan fanatik. Tak jauh darinya, satpam
setianya datang dengan payung pink motif bunga-bunga. Adegan itu mirip sekali dengan yang ada
di film-film india.

Kami para murid hanya bisa menunggu di depan kelas masing-masing. Hujan terlalu lebat
untuk dapat pulang. Jalanan becek dimana-mana. Beberapa dari kami dijemput oleh orangtuanya.
Beruntungnya mereka. Sebagian dijemput dengan motor, sebagian yang lain dengan mobil.

Rando berlari terburu-buru dibelakangku. Di tangannya sebuah jaket bulu warna abu-abu
dibawanya. Sedangkan yang dipakainya sekarang berwarna biru garis-garis.
Melihat itu, aku teringat akan Feni.

Aku menggerakkan kaki-kakiku melangkah ke kelas Feni. Kuterobos barisan orang-orang dan
melihat ke dalam kelas. Kelas itu sepi. Hanya ada beberapa orang saja. Namun, tak kulihat Feni. Aku
mengawasi orang-orang yang ada di depan kelas dan di depan laboratorium Bahasa. Namun, tak
kulihat Feni.

Aku kembali berjalan ke parkiran guru. Namun hasilnya sama saja. Tak kulihat Feni di sana.
Hatiku mendadak khawatir karena ini. Rasa bersalahku semakin membuatku sulit.

Aku mencari dan terus mencari hingga ke hampir seluruh sekolah.

Aku diam dan putus asa. Sudah ke seluruh sekolah ini aku mencari Feni. Namun, tetap saja
percuma. Apa dia sudah pulang? Saat hujan seperti ini? Dia pulang pake apa? Pertanyaan-
pertanyaan itu terus menderu dalam nadiku. Aku hancur. Aku tak pernah menyangka akan seperti
ini hanya karena sikapku yang seperti tadi.

Maafkan aku Feni. Bukan niatanku untuk membuatmu seperti ini. AKu bukan ingin
menyakitimu. Namun, aku hanya ingin yang terbaik untuk dirimu.

Aku berjalan dalam keputusasaan di koridor Laboratorium Fisika. Aku melihat pada sekeliling.
Saat itu juga aku melihat Feni.

Ia berjalan lunglai di lapangan basket. Sekujur tubuhnya telah basah karena air hujan. Ia
menatap kosong, berjalan tanpa arah.

Aku berlari melawan hujan mengejarnya. Tak kurasakan sedikitpun dingin yang menyengat,
tak kuperdulikan apapun yang tersemat. Namun, aku terlambat.

Jessica datang tiba-tiba dan menyelimuti Feni dengan jaket abu-abu tadi. Ia membawanya
berteduh ke dalam kelasnya.

Aku hanya bisa terdiam melihatnya. Di sini, di bawah kerindangan pohon-pohon jati, tak ada
keraguan sedikitpun aku adalah seorang pecundang.
******************************

Malam itupun aku tak bisa tenang. Tak berhenti bayangan betapa jahat aku padanya. Hitung-
hitungan di atas kertas ala Felix rupanya meleset jauh.

“Minggu pertama, dia bakal risih sedikit. Tapi, belum akan curiga. Minggu kedua, ia bakal risih
beneran dan akhirnya ngocar-ngacir sendiri. Minggu ketiga dia bakal mempertimbangkan untuk
putus. Dan di minggu keempat, bakalan putus beneran.”

Hitung-hitungan yang ngaco menurutku. Hati orang sebetulnya tidak bisa ditebak.

Berbagai firasat dari kewas-wasanku memenuhi kepala tanpa bisa berhenti. Apa yang akan
terjadi nanti? Gimana kalo Feni dendam? Gimana kalo dia pakai dukun santet? Atau malah dia yang
langsung nyantet? Oh! Segalanya ini membuat hidupku justru bertambah tidak tenang. Tak
konsentrasi lagi aku membaca dan memahami buku Biologi ini. Sungguh tak tertahankan!

Aku mengambil fotonya yang berdiri dengan indahnya di meja belajarku. Aku duduk,
kuperhatikan sekasama tiap lekuk wajah yang ada di foto itu. ‘Cantik’ pikirku. ‘Apa yang
membuatku begitu terpesona?’ hatiku bertanya-tanya. Ia cantik, ia manis, ia memiliki segala alasan
yang diajukan para laki-laki untuk membuat jatuh cinta. Hampir seluruh SMA menginginkannya,
namun kenapa justru aku ingin melepasnya? Oh, hatiku bimbang. Aku memang terpesona padanya,
juga menyayanginya, namun di sisi yang lain, aku teringat satu nama : Karin. Betapa sayang dan
cintaku jauh lebih besar dibanding wanita manapun, betapa inginku padanya jauh lebih dalam dari
wanita manapun di dunia. Aku menyadari besarnya cintaku, saat aku menyadari pula betapa
kecewanya aku pada perubahannya.

Saat itu, sebuah dering telepon memecah pikiranku. Aku berdiri dari kursi belajarku, berjalan
ke tempat tidur dan mencari HP-ku. HP itu tak ada di mana-mana. Di kasur, di bawah bantal, atau di
dalam tasku. Konsentrasiku sepertinya telah jatuh bebas. Tak dapat kutangkap apapun dengan
baik. Aku putus asa dengan keadaan seperti itu. Sangat-sangat menyakitkan.

“Sh**!”, aku berteriak.

Sesaat kupejamkan mataku, kukonsentrasikan segalanya dalam hela nafasku. Aku menarik
nafasku pelan, pelan, dan pelan. Aku mengatur nafasku dalam suatu pola teratur : 1-2, 1-2, 1-2.
Segera, aku menjadi rileks. Bunyi dering itu masih terdengar jelas. Kuikuti langkah per
langkah bunyi itu berasal. Ia berasal dari bantal itu, bantal yang tadi telah kusingkapkan. ‘Aneh’,
pikirku. Aku mengambil bantal itu. Tak ada apa-apa dibaliknya. Aku berpikir sesaat. Tangnku
mengelus-elus dagu, persis para pemikir-pemikir dan hakim-hakim. Aku melihat bantal itu,
kudekatkan telingaku padanya. Bunyi itu semakin jelas. Kuangkat tanganku, dan kumasukkan ke
dalam sarungnya. HP itu ternyata masuk ke dalam sarungnya. Astaga. Aku mengmbil HP itu dan
melempar bantalnya ke ranjang. ‘Feni’, begitu tulisnya.

Aku menghela. Kenapa lagi ini?

Handphone itu terus berbunyi nyaring, dengan nada dering kesukaanku : “Forever in Love”.

“Halo?”

“Dan.. Tolong temui aku besok di perpustakaan… Aku mohon, kali ini kamu mau nemuin aku..
Aku mau ngomong sesuatu…” ia terisak. Tak sampai sedetik, ia membanting teleponnya. Aku hanya
diam penuh kebingungan. Hatiku semakin bingung. Aku merasa seolah telah membunuhnya.

Aku terbaring dalam kesusahan hati. Betapa egoisnya aku. Feni, seorang wanita yang baik,
tulus mencintaiku, dan kini apa yang aku berikan padanya? Kehancuran hati yang mendalam. Aku
memang jahat, aku serasa iblis yang terkutuk! Perhatian-pertatiannya, segala sikap posesifnya, aku
baru menyadarinya kini. Sikap posesif itu, tak lebih dari sekadar pengungkapan sayangnya. Dan
perhatian itu, adalah tanda cinta darinya. Namun hatiku melawan. Aku tak bisa mencintai dengan
paksaan. Aku tak bisa membentuk cinta, aku tak bisa menikmati cinta yang di satu sisi aku tak mau,
dan aku tak bisa melawan kata hatiku.

Aku memejam. Kupasrahkan diriku dalam lelap lembutnya kasur. Kuatur nafasku, dan
kutenangkan jiwaku. Segalanya kini gelap dalam aliran nafas yang menyejukkan. Dalam kegelapan
itu aku melihat sebintik cahaya yang hangat. Kini aku telah membulatkan hatiku.
16. Eksekusi Perpisahan

Setelah bel istirahat berbunyi, aku menghambur keluar kelas dengan tergesa-gesa.
Sebelumnya, kusalami Bu Dona, guru Bahasa Indonesia kami dan mempersilahkannya keluar
duluan.

“Mau kemana, Dan?” Asrul mencegatku.

“Ke Perpus.” Jawabku.

“Perpus? Mau ngapain Dan? Mendingan kita ke kantin.” Ia mengipas-ngipaskan uang dua
puluh ribuang di tangannya. “Aku traktir.”

“Traktir? Hehehe… Makasih Rul, tapi aku harus buru-buru..”

Ia mencibir dan meninggalkanku.

“Aku nitip pisang goreng aja.”

Ia tidak mendengarku. Ia menghampiri Antoni dan mengiming-imingi dengan cara yang sama.
Aku melanjutkan jalanku.

Sesampai di perpus, aku melihat sekeliling. Sepertinya Feni belum datang. Kuhampiri sebuah
bilik di dekat situ, di tempat yang bisa dilihat. Aku duduk rileks, melihat sekeliling, kalau-kalau ia
ada di tempat lain. Setelah memastikan, aku membuka buku yang kubawa. ‘Sang Penulis’ judul
novel yang kubawa. Novel yang bercerita tentang perjuangan seorang penulis hingga masa jayanya.
Lumayan untuk mengisi waktu.

Feni datang tak lama setelah itu. Ia sempat kebingungan mencari sebelum akhirnya aku
yang memanggilnya.

Aku membuka senyum padanya. Ia membalas dengan serupa, namun sedikit dipaksakan.

Aku melihat padanya. Ia tak terlihat begitu baik. Matanya berkantung dan terlihat sayu. Aku
tak dapat membayangkan malam seberat apa yang ia jalani kemarin. Aku tak mau
membayangkannya.
“Dan..” ia memanggil namaku.

“Kenapa, Fen?”

Ia menatapku dengan sebuah pandangan yang seolah merong-rong jiwaku.

“Kamu cinta sama aku, Dan?”

Aku mengangguk. “Iya, tentu Fen..”

“Kamu bohong..”

“Aku gak bohong, Fen.. Aku serius.”

“Terus, kenapa kamu akhir-akhir ini selalu menghindar??”

“Aku..aku…” aku terbata-bata. Tak kutemukan alasan untuk menjawabnya.

“Kenapa, Dan? Jawab aku!”

“Aku tersiksa karena sikap posesif kamu, Fen..!” kuucapkan itu secara spontan. “Aku…aku
kecewa karena itu!”

“Enggak! Pasti ada wanita lain, Dan…” ia menyentak. Tak dapat ditenangkan kepalanya.
Selalu saja berganti arah, kadang ke kiri, kadang ke kanan.

“Enggak, Fen… Enggak ada wanita lain”,

“Enggak! Kamu bohong!” ia mulai terisak.

“Feni! Dengar Fen!” aku memegang pundaknya dan menatap matanya lebih dalam dari
sebelumnya. Ia melihatku, matanya kini berkaca-kaca.

“Tapi..kenapa kamu menghindariku terus, Dan??” ia melirih.

Aku menghela sejenak. “Sikap posesif kamu itu yang bikin aku menghindar, Fen..” ucapku
padanya, setengah berbisik.

“Maafin aku, Dan…”


Aku melepas peganganku. Kuambil tangannya dan kugenggam dengan erat.

“Dan…” ia memulai, sebelum kuucapkan apapun. Ia melepas pegangan tanganku, dan


menatapku dengan sebuah pandangan yang ‘lain’. “Jangan bohongi hatimu, Dan..”

“Aku minta maaf untuk selama ini.. Aku terlalu egois.. Aku gak pernah bisa berpikir
tenang..”

Aku menelan ludah.

“Berbulan-bulan kita menjalani ini. Aku memberikan segala apa yang bisa aku berika
untukmu: materi, motivasi, bahkan hatiku untukmu. Selama itu juga, aku tahu, dan sangat-sangat
tahu kamu juga selalu berusaha memberikan cintamu sama aku. Tapi memang, cinta itu gak bisa
dipaksa, Dan.

“Aku menyadari keegiosanku. Jujur, aku takut kehilangan kamu barang sedetik pun. Saat
aku sadar cintamu mulai mengikis, aku pun sadar harus melakukan sesuatu. Aku juga sadar, cinta
kita bukanlah cinta sejati, hanya sebuah cinta satu pihak seperti orang-orang katakan.”

Aku terdiam dan tertunduk dalam kekalahan. Aku tak pernah menyadari dan tak
menyangka sedikit pun Feni menyadari semua itu. Segala tindak tanduk yang selama ini kulakukan
hanyalah sebagai penegasan saja. Karena Feni telah menyadari semua itu jauh sebelum aku yang
menyadarinya.

“Mungkin sebaiknya kita berpisah, Dan…”

“Enggak, Fen…aku akan menyayangimu sepenuh hati” ucapku.

“Jangan bohongi diri kamu, Dan. Selama ini kamu udah cukup bikin aku bahagia. Dan, aku
akan bahagia jika kamu bahagia, dan aku menderita jika hatimu tersiksa. ”

“Tapi Fen…”

“Segalanya kini jelas, Dan. Sepertinya aku terlalu egois selama ini. Aku sadar kamu
melakukan ini semua untuk membahagiakan sahabatmu.”

“Aku memang cinta sama kamu, Fen” aku mendesak.

“Mungkin, tapi seperti yang aku bilang, cinta kita bukan cinta sejati, Dan..”
“Gimana kamu tahu kalau kita bukan cinta sejati?”

“Hatiku yang berkata seperti itu”

“Kata hati itu gak selalu benar, Fen…”

“Mungkin, tapi kita semua punya mimpi, Dan. Dan sepertinya, gambar laki-laki di dalam
mimpiku bukan kamu.”

Ia menghela. “Tadi malam aku menyadari semua itu. Aku melihat jauh ke dalam hatiku, dan
ia berkata cinta sejatiku adalah orang lain. Orang yang di masa depan nanti baru kutemui.

“Udahlah, Dan. Percayalah padaku, ini yang terbaik untuk kita. Mulai sekarang carilah cinta
sejatimu. Terima kasih juga udah mau jadi pacar aku. Aku banyak belajar dari kamu, Dan” ia
tersenyum. Ia lalu berdiri dan meninggalkanku sendiri di bilik itu. “Semoga sukses, teman” ucapnya.

Aku termenung tak percaya. Benarkah ini terjadi? Aneh. Ia tak marah ataupun jadi gila
karena aku. Ia tersenyum, dan senyum itu senyum kebahagiaan. Aku tak dapat berkata-kata.
Perkembangan kedewasaan yang bagus.

Tak lama, bunyi bel masuk berbunyi. Aku segera keluar, tak kulihat ia di sekelilingku.
Sungguh cepat ia bergerak. Sepanjang jalan aku berpikir mengenai kata-kata yang dibuatnya.
Sungguh mengesankan. Perlahan senyumku terurai. ‘Inilah yang terbaik.’
17. Kebenaran Yang Terungkap

Sebuah berita heboh mampir di kelas kami hari ini. Kabarnya, beberapa kelompok dari
berbagai SMA dan SMK akan mengadakan demo di depan kantor Polisi dekat lapangan merdeka.
Para massa ingin mendesak agar Polisi menangkap Parmo, seorang pejabat DPRD yang telah
merugikan rakyat banyak atas tindakan korupsinya.

Untuk hal seperti ini, tentu saja Felix memberanikan dirinya untuk ikut.

“Nanti bakal dapat nasi kotak, Dan” ucapnya padaku.

Berita ini sontak menyebar ke seluruh sekolah. Dan, yang paling hebat dari semua ini, para
murid dengan hebatnya dapat menutupi berita ini dari kalangan guru. Praktis, hingga jam setengah
dua, yaitu jam pulang sekolah, berita itu masih tertutup rapat. Hingga jam itu pula, massa dari SMA
Negeri Pancuran sudah terkumpul sekitar empat puluh orang.

“Coba kamu ikut” Felix merayuku.

“Enggak ah” aku menolak.

“Ayolah, Dan…”

“Enggak”

“Ayo”

“Enggak”

“Ayo”

“Enggak” ucapku seraya menjauh darinya.

Pada akhirnya aku pun ikut kerumunan itu. Bakat penghasut dan perayu Felix memang
hebat, aku saja bertekuk lutut. Setelah tiga ratus kali rayuan, mau tak mau aku ikut. Paling tidak
supaya dia diam.
Kami pun berkumpul di Taman Sari, tempat yang pada malam hari menjadi tempat
berkumpul para waria. Tedjo, sang pemimpin demo mengabsen kami satu per satu dengan kode
SMA.

“SMA Ganai!”

“Hadir, mas!”

“Berapa orang?”

“Tiga puluh tujuh.” salah satu dari mereka berteriak.

“SMK Oedono?”

“Hadir mas!”

“Berapa?”

“Empat puluh satu.” Ia, yang berdiri tadi melihat kami dengan pandangan sombong.
Bangga sekali dia dengan jumlah yang disebutnya tadi.

“Heh! Udah, udah.. elo duduk cepetan.. males liatnya..”

Dia tadi segera duduk dengan tampang ketakutan. Itulah balasan orang yang sombong.

Aku melihat sekeliling. Sekitar lima SMA dan tergabung dalam kelompok ini. SMA
Pancuran, SMA Ganai, SMA Mantap, SMK Boeahsegar, dan SMK Oedono. Jumlah total mungkin
mencapai dua ratus orang.

“Kita mulai sesudah makan siang, sekitar pukul dua!” ucap Tedjo. Beberapa orang lalu
membagikan pada tiap sekolah satu dus nasi kotak.

“Satu kotak dua orang!” pesan mereka.


Dani, ketua pelaksana kami lalu membagikan nasi-nasi kotak itu. Aku dan Felix makan
bersama.

“Mas Dani?” panggilku.

“Kenapa pula?” nada bicaranya sedikit melengking.

Aku melihat sekeliling, kalau-kalau ada yang menguping. “Apa kepsek kita bakalan tahu hal
ini?” aku berbisik.

“Ah!” ia memundurkan kepalanya. “Semua di sini sudah diatur. Nama-nama kalian yang di
sini disamarkan.”

“Disamarkan?”

“Iyalah!! Kalau untuk demokrasi, apapun akan kami lakukan!!” ia berteriak, heboh sendiri.
“Hah, kau.. Jangan khawatir. Semua yang di sini sudah kami urus dengan sangat baik.”

“Nih!” ia melemparkan sebuah jaket padaku dan Felix. Bagian belakang jaket itu bertuliskan
“LPR : Lembaga Pemerhati Rakyat.”

“Kalian disamarkan sebagai anggota LPR.”

Aku mengangguk. Diam. Tak mau aku berurusan dengannya lagi, jangan sampai nantinya ia
berkelakar tidak karuan.

Aku memperhatikan sekeliling. Mereka orang-orang yang tak kukenal. Sebagian besar dari
mereka bertampang sangar dan arogan. Tampangnya mengingatkanku pada penjahat-penjahat di
film-film barat. Sebagian dari mereka sepertinya adalah orang kaya. Beberapa dari SMK Boeahsegar
malah adalah anak juragan-juragan cina teman Pak Gokan yang seringkali berbisnis timah
dengannya. Lihat itu. Aku yakin HP-HP itu nilainya tak kurang dari empat juta. Hanya saja, mungkin
keberuntungan mereka di material tak sebanding dengan wajah-wajah dianugerahi pada mereka,
belum lagi sikap yang tidak baik.

“Sesudah makan, kita langsung kabur, Dan” Felix berbisik.

“Hah?! Gila kamu!” aku ikut berbisik.


“Udah…Kamu pikir aku mau panas-panas di situ? Yang diincer di sini cuma makan!” ia
terkekeh, dan mendadak tersedak, terbatuk-batuk. Ia mengambil air dan lalu meneguknya.

Aku sedikit tersenyum. Sungguh licik temanku ini. Sudah kuduga jadinya akan begini. Tak
mungkin ia merelakan tubuhnya terpanaskan oleh matahari. Yang dipikirkannya cuma satu : perut.

Waktu telah habis. Tedjo kambali meraung-raung tak karuan.

“Kumpul! Semuanya kumpul!”

Kami berkumpul. Beberapa dari mereka kini tampak memikul dan memegang papan-papan
yang berisi protes-protes. ‘Lawan korupsi’, ‘Tangkap Parmo’, ‘Say no to Parmo’, atau ‘Belah dadaku
ini’ adalah beberapa kata-kata yang tertera. Beberapa yang lain membawa spanduk. ‘Kami adalah
perwakilan dari hati rakyat’, itulah isinya. Aku ingin sedikit tersenyum saat itu juga. ‘Rakyat pun tak
peduli’, pikirku.

Sebuah tanda diberikan Tedjo, dan saat itu juga orang-orang mulai bergerak. Felix
menyentuhku, dan memberikan sebuah tanda untuk lari dari tempat itu. Aku mengangguk, dan
saat itu pula kami berusaha membebaskan diri dari kerumunan badan itu.

Semuanya terasa sia-sia. Kelompok yang berjaln itu terlalu padat untuk dilewati. Celah yang
tersedia terlalu kecil dan riskan bagi kami untuk berlari atau bergerak. Aku menoleh pada Felix, dan
ia pun menoleh padaku. Sepertinya kami punya pikiran yang sama : inilah balasan bagi orang-orang
yang licik.

*********************

Panas menyelimuti demo kali ini. Aku, bersama Felix celakanya berdiri di barisan terdepan,
tanpa ada satupun penghalang kami. Sementara itu, berbagai kendaraan lalu lalang dan sebagian
dari mereka menyahut-nyahut tidak karuan.
“Setuju, setuju” ucap salah satu dari mereka. Mereka bahkan tak tahu apa yang mereka
setujui. Aku tak heran bila mereka akhirnya gampang ditipu orang.

Setengah jam sudah kami berdiri dengan bosannya. Saat itu Tedjo, sang pelopor, masih saja
berteriak-teriak dengan semangatnya. Ia berdiri dengan dadanya yang dibusungkan tinggi-tinggi. Di
tangannya dipegangnya TOA warna putih volume kecil kesayangannya. Syal putih merah belang-
belang melingkar rapi di lehernya, sangat tidak singkron dengan jaket LPR warna oranye yang
dikenakannya. Di kepalanya, topi seniman coklat yang kusam menambah kesannya sebagai seorang
seniman jalanan yang gagal total.

“Apakah kita akan membiarkan semua ini terjadi begitu saja saudara-saudara?” ia
menirukan gaya Presiden Soekarno dengan sangat buruk.

“Tidaaakk!!!” kami memekik bersamaan.

“Tidak! Karena memang kami tidak menyukai korupsi sebagaimana kami tidak menyukai
babi!” ia berteriak ke arah kerumunan Polisi yang kerjanya hanya mengobrol saja. “Betul tidak
saudara-saudara?” ia kembali menunjuk kami.

“Bedaaakkk!!”

Aku terdiam, semua orang terdiam. Bedak? Sebagian orang rupanya menjawab ‘tidak’
dalam sesi itu. Kata ‘betul’ dan ‘tidak’ bercampur menjadi ‘bedak’. Kami saling lihat. Penasaran
siapa yang mengucapkan itu.

“Babi tidak terlalu buruk” ucap salah satu dari mereka yang menjawab tidak. Ia adalah
seorang cina.

“Baik. Babi tidak terlalu buruk. Baiklah…saya ulang kalau begitu”, ia berbalik pada para
Polisi. “Kami tidak menyukai korupsi sebagaimana kami tidak menyukai nasi basi. Betul tidak
saudara-saudara?” ia menunjuk kami.

“Betuuulll” jawab kami.

Sungguh demonstrasi yang idiot. Aku tak tahu kapan demo ini berakhir, namun lebih baik
ini cepat berakhir.
Aku menyeka keringat di dahiku. Panas yang menyengat entah kenapa bertambah panas
saja. Berdiri selama dua jam dengan ketidakpastian ini membuatku haus. Aku memanggil seorang
penjual es krim yang duduk tak jauh dari tempat kami. Aku membeli salah satu yang rasa vanilla
dengan balutan coklat kacang di luarnya. Kunikmati es krim itu. Ini cukup untuk menawar rasa
hausku.

Felix melihatku dengan tatapan mengiba. Matanya bersinar-sinar tak jelas menusuk
mataku. Tangan jahilnya mencoba merebut es krim yang baru kucicipi seperdelapan bagian ini.
Secepat kilat aku menghindari tangannya dan menepuknya dengan keras.

“Beli sendiri!” aku menjulurkan lidahku. Enak saja. Gara-gara dia juga aku berpanas-panas
seperti ini.

Dengan wajah cemberut Felix memanggil tukang es krim yang tadi dan membeli sebuah es
krim cone rasa stroberi. Ia membuka kertas penutupnya dan menjilat es krimnya tepat di depan
wajahku.

Tedjo, sang pelopor kembali berkoar-koar tanpa henti. Sudah dua jam ia berkoar-koar.
Merasa tak cukup hanya memprovokasi polisi, ia beralih untuk mewawancarai penduduk lokal.

“Ibu, bagaimana ibu memandang kasus Parmo ini?” ia mengarahkan mikrofonnya ke


seorang ibu-ibu.

Ibu itu memandang Tedjo dengan pandangan aneh. ‘Orang gila’, begitu yang dapat kubaca
dari mimik wajahnya. Ia diam dan terus saja menghina dalam hatinya, sementara Tedjo terus saja
tersenyum seperti badut. Dan, saat si ibu-ibu menyadari sebuah kamera salah satu televisi lokal
mengarah padanya, barulah ia mau buka suara.

“Menurut saya, ya mas..” ia mulai berdiplomatis. “..keadilan memang seharusnya


ditegakkan. Dan Parmi ini..”

“Parmo bu..” Tedjo mengoreksi.

“Ya. Parmo maksud saya.” Mata ibu-ibu itu terus saja melihat kamera. “Dia harus ditangkap
tentu saja. Dia sudah banyak merugikan rakyat.” Ibu-ibu itu memasang mimik bangga bercampur
grogi. Ia memasang senyum kaku. Lubang hidungnya kembang-kempis dengan cepat. Matanya
masih tak berhenti menatap kamera dan memasang gaya yang menurutnya paling oke.
“Nah! Rakyat pun menginginkan penjahat ini ditangkap! Dan jika rakyat menginginkan
Parmo ditangkap, maka dia harus ditangkap! Betul tidak??!!” ia mengarahkan telunjuknya lagi pada
kami.

“Betuuull..”

Sebagian dari kami mulai mengoceh dalam kebosanan tiada tara ini. Sebagian dari mereka
mengeluhkan durasi yang terlalu lama ini. Ditambah dengan panas yang hebat, suasana semakin
tak terkendali.

Di saat segenting ini salah seorang di belakang secara tiba-tiba mengeluarkan kata-kata
provokasi. Ia mengejek salah satu dari SMA di situ. Mendadak, situasi menjadi ricuh. Mereka
berdebat, dan tanpa disadari, semakin panas dan secara tiba-tiba, seseorang dari mereka
menghujam dengan satu pukulan. Sontak, keadaan menjadi ribut, dan tawuran tak terelakkan.

Saat itu akupun dihujani oleh pukulan dari berbagai sisi. Aku dapat menangkal salah
satunya, namun tidak pada yang lainnya. Aku termundur, dan sebuah terjangan aku hadiahi pada
orang tadi. Namun itu hanya sementara. Beberapa saat kemudian aku kembali diterjang dan
dipukuli. Perkelahian pun terjadi. Sementara Polisi menciduk kami satu persatu, Tedjo, sang
pelopor terdiam dan ternganga melihat situasi yang seperti itu.

Aku melihat Felix, ia dengan lincah menghindari satu persatu pukulan. Sebuah pukulan
mengenainya, namun segera dibalasnya. Saat itu para warga memadati pinggiran jalan ujung,
menonton tawuran massal ini secara eksklusif, langsung di depan mata. Aku melihat salah satu dari
mereka, itu Arman dan Siska. Mereka berhenti sejenak dan memperhatikan kami. Siska saat itu
duduk dibelakang, dipeluk pinggang Arman dengan mesranya.

Sebuah terjangan menghantamku. Itu Polisi. Ia membekukku dan mengikat kedua


tanganku. Aku tak melawan, aku hanya diam, karena aku tahu, semakin aku melawan, semakin
keras terjangan yang ia berikan. Aku melihat kedua pasangan itu dengan penuh kebencian.
Harapanku Felix tak mengetahuinya.
Aku melihat Felix. Setelah sebuah pukulan telaknya pada seorang jangkung, ia tiba-tiba
menoleh ke ujung jalan. Aku melihatnya terkesima tak percaya. Arman dan Siska saat itu pun
melihatnya, mereka membalas tatapan itu dengan suatu pelukan dan tatapan yang mengerikan.
Raut Felix berubah seketika itu juga. Saat itulah seorang Polisi menghantamnya. Ia juga tertangkap.
Ia dihujani berbagai pukulan, namun aku tahu, sakit itu tak terasa dibanding dengan apa yang
dilihatnya : Penghianatan.
18. Tiga Bulan Terakhir

Malam itu Felix setidaknya dihujani pukulan dua kali oleh bapaknya. Aku tahu itu jika
melihat dari bendam di wajahnya. Wajahku pun bendam, tapi bedanya, ia lebih banyak dariku.
Sebagian kecil didapatnya dari tawuran itu, dan sebagian besar disumbangkan Polisi dan bapaknya.

“Apa kamu gak apa-apa ke sini?” tanyaku.

“Gak apa-apa, Dan. Di rumah kan gak ada siapa-siapa, jadi aku bisa keluar semauku”
ucapnya sembari tersenyum.

“Kamu ngeliat itu juga?”

“Ngeliat apa?” ia melihat padaku.

“Arman..dan…Siska” aku memperlambat ucapanku.

“Iya, aku liat. Aku liat dengan jelas” ia menunduk. “Sebuah penghianatan atas apa yang
udah aku kasih selama ini.”

“Kamu gak apa-apa, kan, Fel?” aku melihatnya penuh kekhawatiran.

“Enggak, aku gak apa-apa” ia tersenyum. “Malam itu, aku nelpon dia, dan saat itu juga aku
mutusin dia.”

Ia diam dalam hampa. Wajahnya penuh kekecewaan dan kesedihan. Aku dapat merasakan
sakit yang dideritanya. Sakit karena penghianatan atas apa yang telah diberikan selama ini.

“Maaf aku gak cerita sama kamu Fel. Aku…”

“Gak apa-apa, Dan. Aku juga akan melakukan hal yang sama kalau jadi kamu.” Ia
tersenyum.

“Berarti, waktu kalian berkelahi, itu juga karena itu?”

“Iya, Fel..”
“Aku udah merasakan ada yang aneh saat itu. Karena aku tahu kamu, Dan. Kamu bukan
orang yang gampang tersinggung.”

Aku tersenyum. Memang tak pernah sekalipun aku bisa membohongi sahabat terbaikku ini.

“Aku ini bukan seorang pengecut, Dan. Dan, si Arman itu, dia pengecut sejati”.

Yap, kamu bukan pengecut, Fel. Sedari aku mengenalmu, aku sudah tahu itu. Kamu
memang pelawak sejati, namun kamu juga seorang pria sejati, yang tak semudah membalikkan
telapak tangan untuk meruntuhkanmu.

Aku menepuk-nepuk punggungnya pelan. Ia sedikit mengerang. Dan bisa ditebak, menit
berikutnya ia membuatku tertawa terbahak-bahak, seperti kebiasaannya yang telah lalu. Aku
memang percaya padanya, namun aku tetap menyimpan sebuah kekhawatiran yang besar pada
dirinya.

Selama tiga hari ke depan, yang kami dapat adalah skorsing dari pihak sekolah. Dan selama
masa itu, segala sesuatunya menjadi sangat vital. Empat bulan ke depan Ujian Nasional
menyambut. Tiga hari ini ini bukanlah sebuah batu penghadang bagiku. Ini adalah tapak pertama
dari batu langkah masa depanku.

**********************

Butuh keberuntungan ekstra untuk membuat kami tetap dapat eksis di sekolah ini. Status
tinggi ibu Felix cukup membantu kami.

“Dengar, hei anak-anak berandal.” Pak Dun kembali memulai ceramahnya.

“Pada masa saya dulu, orang-orang seperti kalian ini pasti sudah dikerek lehernya di
sumur.”

Ia menghembuskan panjang nafasnya. Dibuat berwibawa. Kepalanya diangkat tinggi-tinggi.


Kepalanya memang selalu terangkat. Aku pun tak tahu kenapa seperti itu. Dan anehnya seiring
tahun ajaran baru, dan seiring diangkatnya beliau sebagai Wakil Kepala Sekolah bagian kesiswaan,
kepalanya malah terangkat lebih tinggi, jauh lebih tinggi dari biasanya. Tinggal tunggu waktu saja
kepalanya berputar ke belakang.

“Dan saya adalah salah satu murid terbaik di sekolah ini. Saya tidak pernah macam-macam
seperti kalian.”

Aku dan Felix saling bertatapan. Kami sangat ingat kisah masa SMA Pak Dun yang
diceritakan ibu kantin. Pak Dun adalah salah satu murid paling culun di SMA Negeri Pancuran,
paling sering dijahili, dan gengsinya paling tinggi.

“Dan kamu Bedjo!” ia menunjuk Felix. “Kamu beruntung punya Ibu yang selalu ramah pada
sekolah ini. Untuk menghargai ibu kamu, kami tetap menolong kamu untuk mengikuti Ujian
Nasional nanti.”

Kami tersenyum. Kuberikan jempolku untuk dia.

“Dan juga..” Pak Dun melihat pada kami berdua. “Ini yang terakhir kali untuk kalian.
Mengerti?”

Kami mengangguk. Ia lalu mengusir kami keluar dengan enggan. Kepalanya masih diangkat.
Segera saat itu juga kami ngacir keluar, meninggalkan ruang sial itu.

Beberapa bulan setelah kejadian itu, sekolah kami mengalami perubahan jadwal berkaitan
dengan persiapan Ujian Nasional. Mulai hari ini, jadwal masuk dimajukan ke pukul enam lewat lima
belas pagi dan diakhiri pukul empat. Terhitung, total jam adalah sepuluh jam pelajaran.

Sebuah SMS datang tak lama setelah kami keluar. Itu dari Tante Minah.

“Selamat menikmati jadwal baru, Dan. Sekarang Roni udah agak mendingan, udah bisa
diajak ngomong sedikit-sedikit. Kata dokter dia belum boleh dibawa pulang, masih harus beberapa
saat lagi. Tahun depan mudah-mudahan dia udah bisa sekolah lagi. Tente doain semoga sukses
selalu” begitu bunyi SMS itu.

Aku lalu menekan tombol ‘balas’ dan mengirim balasan pesan singkat pada Tante Minah.
“Amin, Tante. Danar juga mendoakan semoga Tante dan Roni sehat selalu.”

Aku melihat pada jam tanganku. Waktu menunjukkan pukul tujuh. Satu jam sudah kami
diceramahi Pak Dun.

“Bener-bener sial, Dan.” Felix mengumpat.

“Kenapa pula?”

“Si Dunadi itu.. Males aku liatnya.”

“Udahlah. Yang penting kita udah bisa tenang untuk UAN nanti. Oh ya, sampaikan terima
kasihku untuk mama kamu.”

“Iya. Nanti aku sampaikan.”

Pelajaran Kimia telah berjalan selama satu jam pelajaran saat kami masuk. Kami mengetuk
pintu dengan senyum kepolosan. Aku mengatur sinar mataku untuk menghipnotis Bu Ani agar
mengasihani kami dan mempersilahkan kami duduk.

Namun semua itu tak ada gunanya. Ia melambaikan tangannya mengusir kami keluar. Aku
dan Felix hanya bisa tertunduk lesu dan berjalan keluar. Ini adalah pembukaan paling buruk yang
pernah kujalani!

Aku dan Felix duduk-duduk di kursi beton depan kelas setelah mengisi perut di kantin. Dua
jam kimia telah terlewatkan dan bel istirahat telah berbunyi. Bersama Felix, aku mengobrol dan
bercerita tentang berbagai hal. Mulai dari yang positif, hingga yang paling negatif sekalipun.
Sekarang pun, kami sedang sibuk membicarakan mengenai dua artis porno, Miyabi dan Sora Aoi.
Felix sepertinya lebih tahu dari aku. Sementara aku mengagguk-angguk, ia semakin ganas bercerita
mengenainya.

“Kamu tahu Miyabi kan, Dan..??”


“Tahu Fel, tahu…”

“Kamu gak tahu? Haduh.. sering-sering liat internet, Dan…”

“Heh, toge! Tadi aku jawabnya apaan??”

Ia tak mendengarkanku dan terus saja berkoar-koar. Seisi kelasku telah keluar satu per
satu. Aku melihat sekeliling dengan cermat, namun hari itu tak sekalipun aku melihat Karin.

Tak sadar, saat itu Feni mendatangiku. Aku terkejut, tak dapat aku berkata apa-apa
mengenai obrolan kami.

“Kalian ngobrol apa? Kayaknya asik betul.”

“I-itu Fen…Anu…” aku terbata, tak tahu mau ngucap apa. Aku melihat pada Felix. Aku
menyalahkannya untuk situasi ini.

“Jepang, Fen” jawab Felix santai.

“I-iya. Lagi ngomongin Jepang, Fen..” aku tergugup. Miyabi memang berasal dari Jepang.

“Emang Jepang kenapa, Dan?”

Aku kembali melihat Felix. Ia memberikan gestur ‘tetap tenang’ padaku. Ia mengarahkan
telapak tangannya padaku. Seperti gaya pidato bapak Soesilo Bambang Yudoyono.

“Kita sedang membicarakan bagaimana rakyat Jepang bangkit dari kehancuran Hiroshino-
Nagasaki.” Felix, dengan gaya berwibawanya membuatku geli. Ia tak sadar salah mengucapkan
‘Hiroshima’ menjadi ‘Hiroshino’.

“Ooh..” Feni mengangguk.

Beberapa bulan setelah putus, kami kembali seperti sebelumnya, dua sahabat yang saling
bercerita. Tak tergambar sama sekali kami pernah menjalin cinta satu dan lainnya. Tak ada
kekakuan, tak ada sungkan, dan tak ada kebencian. Putus, memang tak selamanya menjadi
permusuhan.

“Kamu ngeliat Karin, gak, Fen?” tanyaku.


Dia menggeleng. Mendadak kekhawatiran muncul dalam benakku. Tak ada kabar apapun
darinya. Apa dia sakit? Hatiku saat itu juga berinisiatif mengirimkan sebuah SMS.

“Kamu sakit, ya Rin?”

Aku mengirimkan SMS itu. Dan sembari menunggu, kami mengobrol cukup banyak. Felix,
masih dengan keceriaannya, membuat suasana melebur dengan kegembiraan. Aku cukup terkejut
dengan ini.

Bel masuk kembali berbunyi. Feni melambaikan tangannya pada kami sebelum
menghambur ke kelas. Aku dan Felix masuk ke dalam kelas. Aku berjalan ke tempat dudukku.
Kekhawatiranku semakin besar saja.

“Kenapa kamu, Dan?” Felix bertanya padaku sesaat setelah aku duduk.

“Karin udah dua hari gak masuk Fel..”

“Mungkin dia sakit, Dan..”

“Mungkin. Tapi aku khawatir…”

“Semuanya akan baik-baik, Dan..” ia menepuk punggungku.

Aku mengangguk. Aku berharap semuanya akan baik-baik saja. Dan aku berharap ia akan
mengabariku secepatnya.

Hingga esok hari, Karin tak mengabari apapun.

Saat aku terbangun dari tidurku, aku merasakan sesuatu yang ganjil. Segalanya terasa salah
saja. Pikiranku terasa gusar, hatiku tak tenang, dan semua itu membuatku tersiksa.

Aku mengikat tali sepatuku dengan terburu-buru, padahal masih ada lima belas menit
sebelum bel masuk.
“Om Gokan, saya pergi dulu” aku menyahut pada Pak Gokan yang masih duduk menatap
televisi.

“Ya, pergilah kau sana” ia menjawab.

Aku keluar dan berlari menuju sekolah. Hari ini aku merasa gila pagi ini tanpa sebab yang
jelas. Aku tak tahu dan entah kenapa aku seperti ini. Aku merasa seolah terbebani oleh sesuatu
yang membuatku gusar, membuatku tan tenang, membuatku ingin lari dari itu.

Aku berlari dan terus berlari hingga aku sampai di sekolahku. Aku berpeluh, namun tak
sampai membasahiku. Aku berjalan tenang menuju kelas sembari mengatur nafas. Aku berjalan ke
kelas Karin. Sebagian besar dari mereka telah datang.

Aku melihat pada papan absen yang bertuliskan nama Karin. Angka dua tertera di papan
itu. Huruf “A” yang kemarin aku lihat itu juga telah berganti menjadi “S”.

“Emiili!” aku memanggil Emmilia yang saat itu sedang menyapu kelas.

Ia berbalik ke arahku.

“Karin sakit?”

“Iya, Dan. Tadi pagi suratnya baru datang.”

“Sakit apa?”

“Katanya sih, deman, Dan. Dua hari kemarin orangtuanya ke luar kota, jadi suratnya baru
bisa diantar hari ini.”

“Dia gak nelpon kamu?”

“Dia nelpon aku. Tapi kamu tahu sendiri, kan, peraturan sekolah ini?”

“Ya, aku tahu.” Hatiku sedikit lebih tenang sekarang.

“Gimana dia? Sakitnya masih parah?”


“Dia sih bisa jalan. Tapi badannya lesu, dan sering muntah-muntah. Kayaknya komplikasi
sama masuk angin, Dan.” Ia mengangkat bahunya. “Ya, kamu tahu sendiri, kan, dia itu sering keluar
malam.”

Aku mengangguk.

Aku meninggalkan Emmilia dan kembali ke kelas. Beberapa saat kemudian, teman
sekelasku yang lain satu demi satu datang ke sekolah. Kebanyakan dari mereka datang dengan
menguap dan mata lelah. Salah satu di antaranya Felix.

“Dasar!” ia marah-marah padaku.

“Tadi aku ke tempat kamu, kata Pak Gokan kamu udah pergi duluan!”

“Sori Fel, sori.. aku tadi lagi pengen dateng pagi-pagi. Udaranya masih seger.”

Ia cemberut. “Iya deh, iya…” Ia masuk ke kelas sembari melambaikan tangannya.

Aku menghirup udara pagi yang masih segar ini. Sejuk, nyaman, dan menyegarkan. Tak
terasa, ini adalah tiga bulan terakhir menjelang Ujian Nasional dimulai.

************************

Bel istirahat kedua berbunyi kencang menabur bumbu-bumbu semangat untuk kami para
siswa. Semangat untuk makan.

Aku dan Felix berjalan keluar bersama. Perutku sedari tadi sudah berbunyi sumbang.
Memang, untuk pengetatan biaya hidup, aku hanya makan pada jam istirahat kedua saja.

“Dan,, temenin aku ke WC dulu ya..” Felix berkata padaku dengan nada manja. Cukup
membuatku merasa jijik mendengarnya. Ia memang selalu begitu, merubah rencana secara tiba-
tiba. Padahal kami sudah sangat dekat dengan kantin.

“Coba deh, kalau mau ke WC itu dari tadi.” Aku menggerutu.


“Baru terasa, Dan.” Ia berjalan mantap ke dalam salah satu kamar kecil pria yang ada di
situ.

“Kamu jaga jangan sampai ada yang ngeliat aku telanjang.” ucapnya sembari membuka
pintu WC.

“Siapa yang bakalan nafsu sama elu!?” aku menjulurkan lidahku. Ia pun terkekeh-kekeh
mendengarnya.

Aku mengambil tempat di bangku depan WC itu. Pintu WC itu tidak mempunyai kunci.
Otomatis, kita harus sering-sering menggerakkan tangan untuk menutupnya jikalau ia terbuka
secara tiba-tiba.

Saat menunggu Felix, aku memainkan HP-ku dan melihat beberapa dataku. Diantaranya
foto, lagu, dan file-file dokumen.

Sebuah panggilan masuk ke HP-ku saat itu juga. Itu Karin. ‘Sebuah kejutan.’ pikirku.

“Halo, Rin?”

“Dan.. Danar..” suaranya samar-samar kudengar.

“Karin?? Kenapa Rin? Kamu gak apa-apa?” kepanikanku membuncah. Di ujung sana, aku
mendengar Karin terisak pilu.

“Aku.. Aku hamil, Dan.. Dia.. Henqy.. Dia brengsek!!” ia berkata pilu. Aku mendengarnya
kini menangis penuh rasa sakit. Aku terdiam mendengarnya.

“Karin.. Tenang Rin.. Ada aku di sini..”

“Maaf.. Maafkan aku, Dan.. Maaf aku gak mau dengerin kamu..”

“Iya, Rin.. Iya… Kamu tenang, ya.. Semuanya akan baik-baik aja..”

Tepat saat itu juga, aku mendengarnya berteriak. Sebuah teriakan yang pedih. Tangis tak
dapat ditahannya lagi. Ia tak tahu lagi kini harus bagaimana, begitupun aku. Emosiku menguak,
terbayang wajah brengsek Henqy.
Aku diam mendengarnya merasakan kedukaannya. Maafkan aku Karin, maaf karena sikap
pengecutku, keegoisanku, dan ketidakpedulianku.

Aku mendekapkan wajahku dengan telapak tanganku. Karin kini telah hamil. Ia tak punya
masa depan lagi. Segalanya, segala kecemerlangannya, kecerdasannya, kini lenyap tanpa bekas.
Lenyap seperti masa depannya yang kini tak jelas dan tak tentu arahnya.

Pintu kamar kecil itu terbuka secara tiba-tiba. Aku melihat sesuatu berwarna merah
menggenang dibaliknya. Aku berjalan, dan kubuka pintu itu. Alangkah terkejutnya aku, saat aku
melihat tubuh Felix, yang kini telah terlumuri oleh darah yang berasal dari nadi tangannya.

“Dan? Danar?” Karin memanggilku, dengan terisak.

Aku terkesima melihat Felix. Kuangkat HP itu dan mengucapkan sejumput kalimat.

“Rin, Felix mati…” ucapku lirih. Aku memutus koneksi itu, dan mematikan HP-ku dengan
segera. Aku melihatnya selama beberapa saat. Hatiku pedih, kini aku kehilangan sahabat yang
paling kusayangi. Tak tahu aku kini harus bersandar pada siapa lagi. Ia, Felix, sahabatku telah pergi
meninggalkanku.

Air mata mengalir di pipi-pipiku. Sahabat terbaikku telah pergi, orang yang kusayangi kini
seolah pergi meninggalkanku satu per satu.

Aku memeluk jasadnya yang telah berlumuran darah itu. Aku menangis di bahunya yang
telah kaku itu. Masih kurasakan kehangatan harum tubuhnya, seolah masih berdegup jantungnya.

Aku berteriak memanggil namanya. Beberapa guru datang, diikuti murid-murid yang lain.
Mereka melihatku, melihat jasad Felix, dan melihat darah yang mengalir dari nadinya.

Bu Ani menyentuh pundakku dan menarikku ke arahnya. Aku memeluknya dan


mencurahkan segala kesedihanku. Ia menpuk pundakku dengan hangat. Kurasakan air mata
mengalir dari matanya dan ia terisak. Kudengar beberapa dari murid ikut menangis dan meratapi
kepergian Felix.

Para guru memeriksa Felix. Dengan seksama aku melihatnya.


Pak Saiful dan Pak Satpam saling pandang dengan penuh kesedihan.

“Dia sudah pergi.”

Hatiku perih mendengarnya. Tubuhku terasa lemas. Aku tak mampu berdiri. Aku terduduk
di tanah. Aku berteriak. Teriakan perih yang tak terperikan.

Saat itu aku melihat Arman. Matanya terbelalak. Sebelah tangannya menutupi mulutnya. Ia
terdiam dan terkejut melihat itu. Aku mendatanginya dan menerjangnya hingga ia terduduk di
tanah.

“Ini semua salahmu!” aku berteriak padanya.

Ia terdiam. Tak dapat diucapkannya satu katapun. Ia melihat pada jasad Felix yang
terbaring kaku berlumuran darah. Ingin aku membunuhnya saat ini juga, namun beberapa temanku
menghalangiku hingga tak sempat kusentuh ia sedikitpun.

Di sana, Siska memperhatikan Felix. Rasa bersalah terlukis dalam rautnya. Aku melihatnya
dengan sebuah tatapan benci.

“Murahan!”, aku berteriak padanya.

Aku berdiri meratapi jasad temanku itu. Tak dapat kupercaya ia akan berakhir seperti ini.
Segala tawa, keceriaan, dan lelucon yang ditampilkannya beberapa bulan ini adalah sebuah topeng
dari penderitaan hatinya yang sangat dalam. Aku mengenalnya bertahun-tahun, namun tak
kusadari kahancuran hatinya. Ia memang orang paling hebat yang pernah kutemui.

Saat itu, Pak Saiful memanggilku. Ia membawa sepucuk surat bertuliskan namaku.

“Surat ini sepertinya untukmu, Dan”, ia memberikan surat itu padaku.

Untuk Danar. Begitu tulisan pada surat yang berlumur darah itu. Aku membaca surat itu,
dan hatiku semakin perih. Aku terduduk. Tangisku tak dapat kutahan lagi. Terselimutlah aku dalam
duka dan tangis yang mendalam. Namun tangis ini bukan tangis seorang banci, ini tangis kasih
sayang seseorang pada sahabatnya.
Untuk Danar, sahabat terbaikku.

Bertahun-tahun kita lewati bersama, Dan. Kita tertawa, kita menangis, kita merasakan hal-
hal yang indah bersama-sama.

Maafkan aku soal ini, Dan. Maafkan aku yang selama ini memakai topeng untuk menutupi
kesedihanku. Aku minta maaf. Maafkan aku pula jika aku telah membuatmu terganggu atas
kahadiranku. Tak sedikitpun inginku menyakiti kamu. Apa yang telah kau beri, takkan pernah
kulupakan hingga aku mati.

Tentang mati, maafkan aku atas kematianku yang sungguh mendadak ini. Hanya saja, aku
tak tahu lagi harus bagaimana. Aku mengajarkan kamu tentang kekuatan, Dan, tapi sesungguhnya
aku adalah orang yang paling lemah hatinya di dunia ini.

Kamu sahabat terbaikku, Dan. Dan itu bukanlah sebuah kebohongan. Itu sebuah kejujuran.
Maafkan aku karena tak bisa bersama kamu mengail masa depan bersama-sama. Namun,
percayalah Dan, aku akan selalu ada di sekitar kamu, menemanimu merajut masa depan,
mengambil keputusan, serta mengehmbuskan nafas kehidupan.

Selamat tinggal, Danar. Selamat tinggal sahabat terbaikku.

Felix, Sahabatmu..
19. Satu Sisi yang Penuh Perih

Aku berdiri dibawah payung langit biru di atas tanah yang lembut kecoklatan.

Aku melihat jasad yang telah berbalut kain putih itu. Wajahnya masih tertutupi. Tubuhnya
terbujur kaku penuh kedamainan.

Di sekelilingku, warga sekolah berdatangan satu per satu sejak satu jam yang lalu. Kepala
Sekolah, Guru-guru, staf Tata Usaha, hingga siswa-siswi datang ke tanah kuburan ini.

Aku menyeka keringatku dan menaruh pacul itu disampingku. Liang kubur yang telah siap
itu kugali bersama dengan beberapa penggali yang lain. Tak kuketahui secara pasti dalam dan
lebarnya.

Aku melihat dua kakak laki-laki Felix, Rachmad dan Sunarman. Mereka datang jauh-jauh
dari Palembang begitu mendengar kabar buruk tentang si bungsu. Peluh juga mengucur dari tubuh
mereka. Peluh dan air mata.

Seorang bapak-bapak dengan sorban yang melingkari kepalanya berdiri di depan jasad
Felix. Ia membawa sebuah buku kecil di tangannya. Ia mengucapkan sebaris kalimat yang tak bisa
kudengar dengan jelas.

Ia memberikan isyarat bagiku untuk naik, keluar dari situ. Segera, aku mencari pegangan
dan melompat naik ke atas tanah.

Ia membaca sejumput ayat yang tertera di buku kecilnya. Kami mengangkat tangan kami
untuk memanjatakan doa.

“Soebedjo Kurnia bin Ahmad Saleh. Pangkalpinang, 23 Maret 1992.”

Aku tertunduk dan merasakan perih dalam hatiku.

Pria bersorban itu membaca bait per bait kalimat-kalimat suci.


Aku melihat ayah dan ibu Felix. Mereka berdampingan. Sang ayah, Pak Saleh merangkulkan
tangannya pada sang istri, Tante Ranti. Wanita itu, sang anggota DPR angkuh, terlarut dalam
kesedihan tiada hingga.

Aku memejamkan mata dan mengikuti bait-bait ayat suci itu. Aku terbayang akan wajahnya
yang tersenyum, yang putih bulat nan lucu itu.

“Hei kamu! Kamu Danar yang kemarin itu, kan?”

Kata-katanya begitu jelas di kepalaku. Itu adalah kata-kata yang ia ucapkan di hari
pembagian kelas sepuluh.

“Ya, ya. Dan kamu pasti Soebedjo yang narsis kemarin itu.”

“Ssstt…” ia menempelkan telunjuk di bibirnya. “Sudah kubilang, panggil aku Felix.”

“Ayo duduk sama aku.” Ia menunjuk kursi kosong di sampingnya.

Aku berjalan dan duduk di sampingnya.

“Ha.. aku udah punya firasat bakal ketemu kamu lagi, Dan.”

“Dan aku juga punya firasat bakal ketemu orang gila hari ini.”

Ia tersenyum getir dan mengeluarkan beberapa buku dan alat tulis. Aku melihat pada jam
dinding yang ada di kelas itu.

“Soal nama itu.. Kenapa aku harus manggil kamu Felix?”

“Ah. Kau Danar.. Ini dunia SMA, Dan. Dunia yang penuh gengsi, penuh ego. Kalau kau tidak
tenar di SMA, kau bakal susah nantinya..

“Dan nama itu –Felix- itu sudah kupikirkan sejak lama, boi..Kau perlu tahu Dan. Di SMA ini,
kita harus populer. Ikut ekskul ini, ikut ekskul itu. Pokoknya ikut kegiatan yang elit-elit. Nah, coba
kau pikir. Kalau nantinya aku jadi cowok paling populer di sekolah, masa aku dipanggil ‘Bedjo’. Dan
mungkin boi.. dak mungkin…”

Ia tertawa riang tanpa kontrol. Aku memasukkan tanganku ke tas dan mengeluarkan buku
dan pulpen.
“Kalau kamu gimana, Dan? Mau juga kukasih nama panggilan keren?”

“Ah, tidak. Tidak usah.” Aku menggeleng.

“Ah kau, Dan. Tak usah malu-malu..”

“Tidak-tidak. Aku senang ama namaku sekarang ini.”

Ia tidak mendengarku sama sekali.

“Kita bisa panggil kamu Marco.”

“Tidak.”

“Bagaimana kalau Kristian?”

“Aku ini orang Islam.”

“Oh ya. Rhicard aja kalo gitu.”

“Tidak.”

“Robert?”

“Tidak.”

“Thomas?”

“Tidak.”

“T-Man?”

“Tidak.”

Ia memasang wajah tidak senang.

“Kamu tahu, Dan, aku punya seribu nama di kepalaku.”

“Dan aku punya sejuta kata tidak untuk semua itu.”

“Elsen?”

“Tidak.”
“Zami?”

“Tidak.”

“Kuro?”

………

Pria bersorban dan beberapa orang membuka kain kafan lapis pertama yang menutupinya.
Kain itu dibuka perlahan dari kaki menuju kepalanya. Kami bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Wajahnya dipenuhi dengan ketenangan dan sedikit rona yang aneh.

“Kamu tahu siapa cewek itu, Dan?” ia menunjuk pada seorang wanita yang berjalan tak
jauh dari tempat kami duduk.

Aku menggeleng.

“Namanya Siska. Siska Dewi Pramasani.”

“Kamu kenal dia?”

“Dia itu dulu satu SMP sama aku, Dan.”

“Dan kalau boleh kutebak, kamu suka sama dia?”

“Iya.”

“Kalo gitu ngapain aja kamu tiga tahun di SMP? Kamu takut PDKT sama dia?”

“Gak ada kesempatan, Dan.”

Aku tersenyum menggelengkan kepalaku padanya. Melemparkan pandangan mengejek.

“Kamu harus tahu, Dan. Cewek ini gak pernah susah dapet cowok.”

“Maksud kamu playgirl? Astaga, Fel. Kamu yakin mau sama dia?”

“Tentu. Manusia bisa berubah, Dan. Akulah orang pertama yang akan merubah dia.”
Aku melompat masuk ke dalam liang kubur itu. Dua saudara Felix menyusulku. Seseorang
memberikan tanah liat yang telah dibentuk untuk sandaran kepala. Rachmad meletakkan tanah liat
itu di salah satu sisi kubur itu.

“Danar!” ia berlari dari kejauhan dan memelukku saat itu juga.

“Aku berhasil, Dan. Aku berhasil ngedapetin Siska.”

Jenazah itu diturunkan perlahan. Aku mengangkat tanganku untuk menopangnya. Aku
mendapatkan bagian kakinya. Kupegang erat tubuh itu. Dapat kurasakan keharuman tubuh
sahabatku ini. Membuatku semakin perih.

Kuletakkan perlahan tubuhnya ke tanah. Sunarman, sang kakak tertua menopang


kepalanya di tanah liat yang telah ditaruhnya tadi. Ia lalu mengazankan Felix di telinganya. Suara
azan yang bergema sungguh indah. Membuatku terlarut dalam keheningan yang sepi.

“Kamu yakin soal ini, Fel?”

“Tentu aku yakin, Dan. Aku tahu ini berat.”

Aku mengusap dahiku dengan gelisah. Tak habis pikir.

“Menurutku ini terlalu berlebihan, Fel. Ini gak sehat. Tiap hari kulihat dia selalu pengen
menang sendiri. Tiap hari juga kamu nguntit dia ke mana dia pergi. Kita bahkan gak bisa lagi pergi
ke kantin sama-sama.”

“Ya. Aku tahu, Dan. Tapi percaya, deh. Ini bagian dari proses. Nanti aku bakal usahain biar
kita bisa ke kantin sering-sering lagi.”

“ini bukan masalah pergi ke kantin, Fel. Ini untuk kebaikanmu juga. Kamu harus bergaul
sama orang lain juga. Kamu bahkan dikeluarin dari OSIS gara-gara keseringan bolos.”
“Ya. Aku tahu, Dan. Aku tahu.. Aku minta maaf.” Ia menghela. “Nanti aku bakal ngomong
sama Siska.”

Suara-suara itu begitu nyata di telingaku. Seolah ia sendiri yang berbicara kini. Aku
memejam dan mencoba tersenyum. Semua terasa nyata. Paling tidak, ini jadi bukti kerinduan dan
kasih sayang ini.

Aku melompat naik saat papan terakhir selesai disusun. Orang-orang paruh baya di sekitar
kami membawa pacul di tangannya dan mulai mencangkul satu per satu tanah dan menutupi liang
kubur itu.

Pelan-pelan lubang itu tertutup oleh tanah yang kecoklatan. Pelan-pelan pula kesedihan itu
tertutup. Aku harus belajar melepas orang yang kusayangi. Pelan-pelan pula aku harus merajut
mimpi, merajut hidup, dan merajut cita-cita. Demi dia, demi sahabat terbaikku.

Have a nice sleep my best friend.

************************

Kami melingkar dalam kelompok yang sedikit.

Malam ini adalah malam akad nikah Karin. Tepat tiga hari yang lalu, surat pemberhentian ia
dan Henqy sebagai murid telah dikeluarkan pihak sekolah. Habis sudah masa depannya, cita-
citanya, impian-impian suci yang dituliskannya, serta kebahagiaan-kebahagiaan yang diinginkannya.

Tak sampai belasan orang hadir malam ini. Hanya ada aku, Feni, Zikri, Jessica, Rando, dan
beberapa anak-anak SMA Negeri Pancuran lain. Tak ada guru atau staf Tata Usaha. Tak ada. Tak
tampak sama sekali.

Aku duduk dihadapan Karin. Wajahnya tertunduk. Tak tampak sama sekali kebahagiaan di
raut wajahnya. Penuh rasa sakit, penuh kepedihan, dan penuh kesedihan.
Di sampingnya Henqy tak jauh berbeda. Wajahnya penuh penyesalan, kekesalan, dan
kesalahan. Orang tua mereka duduk tak jauh dari mereka. Wajah mereka diliputi rasa malu yang
tak terkirakan. Ayah Karin mengusap-usap wajahnya berkali-kali tanpa pernah sanggup mengubah
raut wajahnya. Di dekatnya, sang istri masih saja menangis tanpa henti.

Sang penghulu, dengan wajah yang gusar memepersilahkan Ayah Karin untuk memulai.

Sang Ayah, Fredy Muhammad, meraih tangan Henqy dengan enggan. Diucapkannya
kalimat ijab kabul, diikuti Henqy dengan terbata-bata. Perlu tiga kali pengulangan hingga ia bisa
mengucapkannya dengan benar. Dan semakin perih pula kesedihan yang dirasakan Karin.

Penghulu itu melihat pada sekelilingnya. “Bagaimana? Sah?”

Orang-orang mengangguk-angguk pelan. Semua orang. Semua, kecuali aku. Aku diam
memejamkan mata. Masih sakit rasanya hatiku melihat akhir dari semua ini. Melihat bagaimana
nasib Karin selanjutnya. Melihat bagaimana sebuah kecerdasan dan pesona luar biasa berakhir
dalam keadaan yang seperti ini. Melihat bagaimana seharusnya aku dapat mengubah segalanya
dan membuatnya lebih baik.

Karin tiba-tiba berdiri dan berlari meninggalkan ruangan itu. Isak tangisnya terdengar jelas.
Semua orang terdiam dalam simponi pilu yang disenandungkan Karin. Hanyut seiring tangisan dan
isak napasnya.

Aku berdiri dan berjalan menhampirinya. Ia, dengan pakaian nan sederhana itu tetap
membuatku menganguminya. Kuletakkan tanganku di bahunya. Ia berbalik. Matanya memerah dan
pipinya basah oleh air mata. Aku menatapnya. Hatiku serasa remuk. Seremuk hatinya. Membuat
tubuhku melemah dan mati. Membuat jiwaku serasa terbang tinggi meninggalkan jasadku yang
lemah ini.

Ia memelukku dengan dekapan yang kuat. Seolah tak ingin melepasnya lagi.

“Maafkan aku, Dan.. Maaf.. Maafkan aku…”


Beberapa bulan kemudian….
20. Perantauan

Aku terbangun pagi-pagi sekali.

Tidurku lumayan nyenyak malam ini. Sungguh nyenyak. Tahu mengapa? Karena kali ini aku
tidur di sebuah hamparan kasur nan empuk. Bukan kasur keras yang entah mungkin berisi batu
bara di dalamnya.

Tiga hari sudah orang tuaku di Pangkalpinang. Dan tiga hari sudah aku menginap di hotel
“Nyaman Betul” yang letaknya tak jauh dari Kantor Pos. Di hotel! Bukan di rumah tengik Pak Gokan
yang galak itu.

Misi utama orang tuaku hari ini adalah mengambil hasil ujian nasional. Hasil kerja keras
selama tiga tahun pelajaran yang penuh intrik, emosi, dan polemik.

Aku duduk di bangku semen di depan kelasku. Kulihat jam tanganku. Satu jam lagi adalah
waktu pembagian hasil Ujian Nasional. Beberapa dari orang tua telah datang. Dan untuk pertama
kalinya dalam tiga tahun ini, teman-teman sekelasku mendadak menjadi pendiam yang kaku.

“Bisa-bisanya kamu santai gitu?? Ini masa depan kita teman.. Gimana kalo kita gak lulus??
Gimana??” Doris berputar-putar di tempat sambil bicara sendiri menunjuk satu per satu dari kami.

“Aku gak bisa bayangin, An.. Aku nyesel.. Aku nyesel gak belajar tiga tahun…” Emmilia, sang
pacar terus saja menggosok-gosok kepalanya ke siku Antoni. Sungguh menjijikkan.

Aku melihat pada pesan “Selamat, anda diterima sebagai mahasiswa UGM” itu berkali-kali.
Aku gembira, namun di sisi lain aku sedih. Teman terbaikku, Felix tak ada di sampingku untuk
bergembira bersama-sama. Ia tentu akan dengan sangat mudah menjadi mahasiswa universitas
manapun.
Bu Doriah (bukan Rodiah), wali kelas kami memasuki kelas dengan langkah tegap. Ia
melihat kami beberapa saat dengan wajah optimistis.

“Semangat anak-anak!” ia mengepalkan tinjunya ke atas sembari berjalan masuk ke kelas.

Semangat yang terlalu berlebihan itu menggelitik kami untuk bergosip tentang hasil ujian
nasional. Pak Saiful yang adalah wali kelas XII IPS 4 pun tak luput dari sasaran kami. Wajahnya yang
sembrawut itu menghasilkan satu kesimpulan : ada murid kelasnya yang tidak lulus. Dan karena
wali kelas kami semangatnya begitu berkobar, kemungkinan kami akan lulus seratus persen.

Benar saja. Begitu kata ‘seratus persen’ itu selesai diucapkan, kelas kami berkobar bak api
memakan kayu bakar. Kami bersorak, melompat-lompat, bersemangat menyambut kejayaan dan
kemenangan dari usaha-usaha kami. Dan tentu saja ‘usaha-usaha’ yang lainnya.

Begitu segalanya selesai, kami melakukan ritual lazim : coret-coretan baju sekolah. Aku pun
tak luput dari tradisi yang cukup menyenangkan dan sama sekali tidak bersih ini. Aku paling tidak
mendapatkan lima enam kali serangan cat semprot di punggungku, perut, dada, dan sekitar
pantatku. Dan yang terbaik, aku mendapatkan banyak tanda tangan. Mungkin sekitar lima ratus
buah. Membual? Pastinya.

Feni mendatangiku dari kejauhan dengan keadaan paling berantakan yang pernah kulihat.
Ia tersenyum padaku. Dalam keramaian itu, dapat kulihat begitu jelas wajahnya, kulitnya yang
putih bersih begitu nyata, sebagaimana cantik dan pancaran pesona yang ia miliki.

Keramaian begitu membuncah hingga hampir memekakkan telinga. Di sekelilingku, orang-


orang melompat ke sana ke mari dengan girangnya. Mereka meloncat tinggi, menggapai angin dan
merasakan udara.

Angin yang berhembus membuat segalanya hanya berfokus padanya. Segalanya berjalan
lambat mengikuti alur langkah dan tapak-tapak kakinya. Aku dapat melihatnya begitu jelas, biarpun
ada yang terlempar keras, biarpun ada yang mendorongku, biarpun begitu kerasnya orang-orang
berteriak di sekelilingku, aku tetap tak sanggup mengalihkan pandanganku dari matanya. Semua
terasa hening, mengalir mengikuti alur angin yang berhembus pelan menyapu.
Aku menyentuh wajahnya dan memeluknya erat, penuh dekapan dalam jari jemariku pada
tubuhnya. Sesaat itu juga aku merasa tak menjadi diriku. Aku merasakannya, perih, seperti sebuah
kebohongan yang sulit diungkapkan. Aku merasakannya, seperti sebuah kehangatan yang tulus.
Aku merasakannya, seperti masa lalu yang begitu indah, yang dibohongi oleh keegoisan yang keji.

Kebisingan-kebisingan di sekitar tak mampu melawan kami. Aku bahkan telah lupa oleh
semua itu.

Ia melihatku, matanya berkaca-kaca. Perlahan-lahan air mata mengalir dari matanya.

“A-aku minta maaf.. Seharusnya aku..”

Ia menempelkan telunjuknya padaku.

“Enggak, Dan. Justru aku bahagia. Aku berterima kasih karena kamu selalu baik padaku.
Terima Kasih.”

Ia memelukku lagi. Dalam pelukannya ia kembali terisak dan menangis.

“Apa.. Kita bisa ketemu lagi, Dan??”

Aku memejamkan mata dan mengusap rambutnya. Lalu tertawa kecil.

“Tentu aja, Fen.. Masa kamu lupa? UGM, Fen. UGM?”

Ia melepaskan pelukanku dan menyeka air matanya. “Oh, ya.. ya… Bagaimana aku bisa
lupa?” Ia tertawa sembari menggelengkan kepalanya.

“Feni!” seseoang memanggilnya. Ia melambai-lambai pada Feni.

“Foto-foto!” dia menunjuk pada seorang anggota OSIS yang memegang kamera.

Ia melihat padaku sesaat. “So, sampai nanti, Dan..”

Aku melambai kecil padanya. Ia berlari cepat ke rombongan kelasnya, memasang pose
yang lumayan narsis.

HP-ku berdering. Itu Tante Minah.

“Gimana, Dan? Gimana? Kamu lulus, kan..”


“Iya, Tante.. Danar lulus..”

“Alhamdulillah.. Akhirnya doa kita semua terkabulkan, ya Dan? Oke. Mulai sekarang kamu
harus rajin belajar lagi. Kamu bentar lagi kuliah. Inget, kuliah itu jauh lebih berat. Apalagi kamu
ngambilnya jurusan yang.. yang apa ya?? Kemarin itu kamu ngambil jurusan apa, Dan? Tante lupa,
nih..”

“Arsitektur, Tante..”

“Ya pokoknya jangan malas belajar. Oke? Moga sukses. Assalamualaikum.”

“Wa’alaikum salam.”

Dering berikutnya adalah SMS dari Karin.

“Gimana, Dan? Kamu lulus?”

“Iya.. Alhamdulillah..”

Aku menerawang sekeliling sekolah. Kulihat satu per satu gedung-gedung yang berdiri
kokoh, pohon-pohon rindang yang tanpa pamrih memberi keteduhan, tanah-tanah tempat kami
menapak, dan guru-guru yang mengajar tanpa mengharap balasan. Aku melihat pada Pak Dun. Ia
melirik padaku sebentar lalu mengalihkan pandangannya. Kepalanya masih terangkat saat aku
telah ada di depannya. Perlahan kepala yang diangkat tinggi-tinggi itu turun hingga akhirnya sejajar
dengan wajahku. Ia tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Ditepuknya bahuku. Ia mengangguk-angguk
cepat seolah berkata : ‘Bapak senang pernah menjadi guru kamu’.

Sejenak aku teringat pada Felix, sahabat sejatiku. Seandainya ia di sini, ia pasti telah
merangkulku, dan aku akan merangkulnya. Wajahnya begitu jelas terlukis dalam ingatanku.
Kesedihan kembali datang dalam hatiku. Membayangkan bagaimana kami akan berlari dan
melompat bersama saat kami merayakan kelulusan ini, membayangkan bagaimana kali akan saling
melempar cat, beradu siapa yang dapat mengotori lawannya paling banyak, bernyanyi
menumpahkan kegembiraan, bertekad bulat merangkai dan menuliskan cita-cita di atas kertas-
kertas perkamen buku takdir kami.

Kerinduanku terasa dalam, dan saat kerinduan itu semakin dalam, sebuah tepukan
mendarat di bahuku. Spontan, aku melihat ke sekeliling. Saat itu tak kulihat seorang pun. Namun,
aku merasa ada seseorang yang merangkul bahuku. Firasatku kali ini bermain, namun aku tak
merasa takut, yang ada hatiku terasa semakin tentram karenanya. Ia serasa semakin dekat saja.

“Aku lulus, teman.” bisikku pada diriku sendiri.

Aku telah terbentuk. Mentalku telah bertabur serbuk-serbuk keinginan, bibit-bibit impian,
dan bara-bara semangat. Menunggu untuk ditabur, dipanen, serta dikobarkan tanpa ada yang
sanggup menghalangi.

Aku menapakkan satu kakiku dalam ornamen almamater menuju keinginan terbesarku.
Satu dari tahap yang tak terhingga itu telah aku lewati. Di hadapanku tahapan-tahapan lain yang
tak terhitung jumlahnya menabuhkan tubuhnya untuk menghadangku. Namun aku tak takut, aku
akan terus berjalan, terus berhitung, dan terus berpikir untuk selanjutnya.

Jogja, I’m very close to you.

You might also like