You are on page 1of 7

Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi

neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari sel myeloid. Bila tidak diobati,
penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai
bulan sesudah diagnosis. Di Negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari
seluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada anak
(15%). Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga masa dewasa muda.
Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara eksponensial sejalan dengan
meningkatnya usia. LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orang yang
berusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang yang berusia di atas 65 tahun adalah sebesar 13,7%.
Secara tidak umum tidak didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi LMA, meskipun
pernah dilaporkan adanya insidens LMA tipa M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali besar pada ras
Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat dibandingkan dengan ras Kaukasia.

Etiologi

Etiologi LMA tidak diketahui. Meskipun demikian, ada beberapa faktor yang diketahui dapat
menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene
merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu, radiasi ionik juga diketahui dapat
menyebabkan LMA. Terdapat penelitian pada orang-orang yang selamat dari serangan bom atom
Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut
mulai tampak sejak 1.5tahun sesudah pengeboman dan mencapai puncak 6 atau 7 tahun sesudah
pengeboman. Faktor lain yang merupakan predisposisi untuk LMA adalah trisomi kromosom 21
yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom Down. Pasien sindrom Down mempunyai risiko
10 hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7. Selain itu
pasien beberapa sindrom genetik seperti sindrom Bloom dan anemia Fanconi juga diketahui
mempunyai risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk menderita LMA.
Faktor lain yang memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan kempterapi sitotoksik pada
pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka panjang yang serius dari
pengobatan limfoma, mieloma multipel, kanker payudara, kanker ovarium dan kanker testis.
Jenis kemoterapi yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan alkalyting agent
dan topoisomerase II inhobitor. LMA akibat terapi mempunyai prognosis yang lebih buruk
dibandingkan LMA de novo sehingga di dalam klasifikasi leukemia versi WHO dikelompokkan
tersendiri.

Patogenesis

Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi
sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di
sumsum tulang. Akumulasi blast di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan
hematopoesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum
tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia,
leukopenia dan trombositopenia). Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan
pada kasus yang lebih berat sesak nafas, adanya trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda
perdarahan, sedang adanya leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi,
termasuk infeksi oportunistis dari flora bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia. Selain
itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan
berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem syaraf pusat dan
merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.

Tanda dan Gejala

Tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang
15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% pasien mengalami
netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan
ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenis
sel-sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis
pada orang yang diduga menderita LMA.

Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan
oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan di atas. Perdarahan biasanya
terjadi adalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau
berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali
pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai di tenggorokan,
paru-paru, kulit dan daerah perirektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti
pada pasien LMA dengan demam.

Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (>100 ribu/mm3), sering terjadi
leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena
maupun arteri. Gejala leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran
pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi
sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada
dan priapismus. Angka leukosit yang sangat tinggi juga sering menimbulkan gangguan
metabolisme berupa hiperurisemia dan hipoglikemia. Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit
yang berproliferasi secara cepat dalam jumlah yang besar. Hipoglikemia terjadi karena konsumsi
gula in vitro dari sampel darah yang akan diperiksa, sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang
asimptomatik karena hipoglikemia tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in vivo pada tubuh
pasien.

Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ yang di
infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan
yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan
menyebabkan nodul di bawah kulit (lkoroma). Infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipun
jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah menings dan untuk
penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil
melalui prosedur pungsi lumbal.

Diagnosis

Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, morfologi sel dan
pengecatan sitokimia. Sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu berkembang 2 teknik
pemeriksaan terbaru: immunoserotyping dan analisis sitogenetik. Berdasarkan pemeriksaan
morfologi sel dan pengecatan sitokimia, klasifikasi LMA terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai M7).
Klasifikasi ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi FAB
saat ini masih menjadi dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA adalah
Sudan Black B (SBB) dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan
memberikan hasil positif pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4 dan M6.

Klasifikasi WHO Untuk LMA


I. LMA dengan translokasi sitogenetik rekuren
LMA dengan t (8;21)(q22;q22),AML 1 (CBFα)/ETO
APL dengan t(15;17)(q22;q11-12) dan varian-variannya, PML/RARα
LMA dengan eosinofil sumsum tulang abnormal dengan inv (16)(p13q22) atau
t(16;16)(p13;q11)CBFβ/MHY11
LMA dengan abnormalitas 11q23 (MLL)
II. LMA dengan multilineage dysplasia dengan sindrom myelodisplasia tanpa sindrom
myelodisplasia
III.LMA dan sindrom myelodisplastik yang berkaitan dengan terapi akibat obat
alkilasi akibat epipodofilotoksin (beberapa merupakan kelainan limpfoid) tipe
lain
IV. LMA yang tidak terspesifikasi
LMA diferensiasi minimal
LMA tanpa maturasi
LMA dengan diferensiasi monositik
Leukemia monositik akut
Leukemia eritroid akut
Leukemia megakariositik akut
Leukemia basofilik akut
Panmielosis akut dengan mielofibrosis

Terapi

Terapi LMA direncanakan untuk tujuan kuratif. Penderita yang mempunyaipeluang besar untuk
mencapai tujuan kuratif adalah mereka yang berusia <60 tahun, tanpa komorbiditas yang berat
serta mempunyai profil sitogenik yang favorable. Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang
maksimal, sangat penting untuk melakukan skrining awal dengan teliti sebelum pengobatan
dimulai. Skrining awal ini, terutama ditujukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya infeksi,
gangguan fungsi jantung (regimen terapi standar LMA mengandungi preparat golongan
antrasiklin yang bersifat kardiotoksik) dan adanya koagulopati yang sering ditemukan pada
penderita LMA. Selain itu, penderita yang mempunyai angka leukosit pra-terapi yang sangat
tinggi (>100 ribu/mm3), mungkin memerlukan tindakan leukoparesis emergensi untuk
menghindari leukostaisi dan sindrom tumor lisis akibat terapi induksi, sangat penting untuk
mengingatkan agar terapi LMA sebaiknya dilakukan di rumah sakit yang mempunyai tim
leukemia yang bersifat multi-disiplin, sarana laboratorium mikrobiologi yang memadai, akses
untuk transfusi darah yang lengkap serta ruang steril/semi-steril untuk pelaksanaan pengobatan.
Tanpa prasarana tersebut angka kematian saat pengobatan akan sangat tinggi.

Untuk mencapai hasil pengobatan yang kuratid harus dilakukan eradikasi sel-sel klonal leukemik
dan memulihkan hematopoesis normal di dalam sumsum tulang. Survival jangka panjang hanya
didapatkan pada pasien yang mencapai remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu diturunkan
karena alasan adanya sitopenia, karena dosis yang diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek
samping berat berupa supresi sumsum tulang, tanpa punya efek yang cukup untuk mengeradikasi
sel-sel leukemik maupun untuk mengembalikan fungsi sumsum tulang.

Eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, memerlukan strategi pengobatan yang baik.
Umumnya regimen kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari dua fase: fase induksi dan fase
konsolidasi. Kemoterapi fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif bertujuan untuk
mengeradikasikan sel-sel leukemik secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit. Istilah
remisi komplit digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali normal serta
pulihnya populasi sel di sumsum tulang termasuk tercapainya jumlah sel-sel blast <5%. Perlu
ditekankan disini, meskipun terjadi remisi komplit tidak berarti sel-sel klonal leukemik telah
tereradikasi seluruhnya, karena sel-sel leukemik akan terdeteksi secara klinik bila jumlahnya
lebih dari 109 log sel. Jadi pada kasus remisi komplit, masih tersisa sejumlah signifikan sel-sel
leukemik di dalam tubuh pasien tetapi tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini berpotensi
menyebabkan kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu, meskipun pasien
telah mencapai remisi komplit perlu ditindak lanjuti dengan program pengobatan selanjutnya
yaitu kemoterapi konsolidasi. Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus
kemoterapi dan menggunakan obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar dari dosis
yang digunakan pada fase induksi. Pengobatan eradikasi sel-sel tumor ini sebenarnya dapat
menyebabkan eradikasi sisa-sisa sel hematopoiesis normal yang ada di dalam sumsum tulang,
sehingga pasien LMA akan mengalami periode apalsia pasca terapi induksi. Pada saat tersebut
pasien sangat rentan terhadap infeksi dan perdarahan. Pada kasus yang berat kedua komplikasi
ini dapat berakibat fatal. Oleh karena itu terapi suportif berupa penggunaan antibiotika dan
transfusi komponen darah (khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat penting untuk
menunjang keberhasilan terapi LMA.

Terapi LMA dibedakan menjadi 2 yaitu terapi untuk LMA pada umumnya dan terapi khusus
untuk leukemia promielositik akut (LPA).
Terapi LMA pada Umumnya

Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubisin
dengan protokol sitarabin 100mg/m2 diberikan secara infus kontinyu selama 7 hari dan
daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari. Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi
komplit dengan terapi sitarabin dan daunorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedang
bila diberikan sebagai kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Bila terdapat
residual disease pada hari ke-28 perlu dipertimbangkan adanya gagal terapi primer dan perlu
dimulai terapi alternatif dengan regimen lain.

Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung pemakaian antrasiklin merupakan kontra indikasi
terutama bila terdapat riwayat miokard infark dan fraksi ejeksi kurang dari 50%. Pilihan terapi
pada kondisi ini adalah high dose cytarabine (ara-C)/HDAC. Regimen terapi yang dipakai pada
HDAC adalah sitarabin 2-3 g/m2 infus iv selama 1-2 jam tiap 12 jam selama 12 dosis atau
sitarabin 2-3 g/m2 selama 2 jam setiap 12 jam pada hari 1,3 dan 5.

Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi konsolidasi, transplantasi sel stem
hematopoetik (hematopoetic stem cell transplantion/HSCT) otolog, atau HSCT alogenik. Jenis
terapi pada pasca remisi ditentukan berdasarkan usia dan faktor prognostik, terutama profil
sitogenetik. Sebagian besar pasien usia muda memberikan respons yang lebih baik dibanding
pasien usia tua.

Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi intensif dan/atau HSCT untuk mencapai
remisi komplit kedua atau hanya diberikan perawatan suportif. Pencapaian remisi komplit kedua
tidak begitu dipengaruhi karakter sitegenetik, namun lebih dipengaruhi oleh durasi remisi
komplit pertama, usia, dan ada tidaknya komorbiditas aktif. Durasi median remisi komplit kedua
umumnya kurang dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease-free survival kurang dari 10
bulan. Survival meningkat bila sebelumnya pasien telah menjalani HSCT alogenik, namun donor
untuk prosedur tersebut umumnya terbatas.

Terapi Leukemia Promielositik Akut

Insidensi LPA sebesar 10-15% pasien LMA. Penyakit ini ditandai dengan kelainan sitogenetik
berupa t (15,17) yang dijumpai pada sekitar 90% kasus. Kelainan sitogenetik t (15;17) akan
menyebabkan fusi gen PML dan RAR, menjadi gen PML-RAR. Fusi gen PML-RAR
mengakbatkan blokade maturitas pada seri promielosit sehingga terjadi LPA. Kini
dikembangkan suatu obat yang disebut all-trans retinoic acid (ATRA) yang menjadikan fusi gen
PML-RAR sebagai target aksi kerjanya. Pengobatan LPA dengan ATRA menghasilkan angka
kesembuhan lebih dari 70%.

LPA merupakan predisposisi untuk terjadinya koagulopati yang dalam hal ini diakibatkan oleh
kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan manifestasi koagulopati yang
dalam hal ini diakibatkan oleh kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan
manifestasi koagulopati harus segera mendapat terapi induksi (ATRA). Pada pasien yang
mengalami perdarahan yang tidak terkendali (setelah terapi transfusi) dapat diberikan e-
aminocaproic acid (EACA) dan trananexamid acid.

Terapi induksi LPA terdiri atas kombinasi ATRA plus kemoterapi berbasis antrasiklin.
Antrasiklin dapat menginduksi remisi pada 60-90% pasien bila digunakan sebagai obat tunggal.
Sel leukemik pasien LPA sensitif terhadap antarsiklin karena rendahnya ekspresi Pgp dan
petanda resistensi lainnya pada sel-sel LPA dibanding dengan subtipe LMA lainnya. ATRA
adalah suatu derivatif vitamin A yang mampu menginduksi remisi klinis dengan mengaktifkan
maturasi sel tanpa menyebabkan hipoplasia sumsum tulang. Sebagai obat tunggal ATRA
menginduksi remisi pada 72-81% pasien. Umumnya ATRA mulai diberikan dalam 2-3 hari
pertama pada pasien dengan perdarahan berat untuk mengatasi koagulopati pada LPA sebelum
mulai dengan terapi berbasis antrasiklin. Cara ini akan menyebabkan angka lekosit menjadi tidak
terlalu tinggi lagi. Selain itu, cara ini menurunkan insidens sindrom asam retinoid (retinoid acid
syndrome/RAS)

Terapi induksi menggunakan ATRA 45mg/m2/hari per oral yang terbagi dalam 2 dosis setiap
hari sampai remisi komplit plus derivat antrasiklin, daunorubisin 50-60 mg/m2/hari selama 3 hari
atau idarubisin 12mg/m2/hari selama 4 hari. Terapi induksi dilanjutkan dengan terapi konsolidasi
dengan kemoterapi berbasis antarsiklin dan terapi pemeliharaan dengan menggunakan ATRA.

RAS dapat terjadi pada 10-15% pasien dan umumnya terjadi 7-14 hari setelah terapi ATRA.
RAS jarang terjadi selama penyembuhan akibat aplasia setelah kemoterapi dan selama terapi
pemeliharaan. RAS adalah suatu sindrom kebocoran kapiler dengan manifestasi demam, distres
respirasi, dan munculnya infiltrat pada paru. Dapat juga terjadi peningkatan berat badan, efusi
pleura atau efusi perikard, dan gagal ginjal. Lekositosis berat merupakan faktor prognostik
walaupun PAS sering juga terjadi pada lekopenia. Bila angka lekosit lebih dari 5000-10000/uL,
ATRA dan kemoterapi diberikan bersama-sama pada saat awal terapi. Bila saat monoterapi
ATRA terjadi lekositosis lebih dari 10000/uL induksi kemoterapi harus segera dimulai. Tanpa
melihat angka lekosit dan kemungkinan sepsis netropenia, bila terdapat sesak dan infiltrat paru,
dengan atau tanpa demam, terapi deksametason harus segera diberikan (10mg iv 2 kali sehari).
Terapi ATRA dapat dihentikan sampai RAS menunjukkan perbaikan.

Sekitar 20%-30% pasien LPA ang mencapai remisi komplit dengan terapi berbasis ATRA akan
mengalami relaps dan umumnya kelompok pasien ini juga resisten terhadap terapi ATRA yang
berikutnya. Arsenik, suatu racun yang sudah digunakan sebagai obat pada pengobatan tradisional
Cina sejak beberapa abat yang lalu, diketahui mempunyai efek pengobatan yang positif pada
pasien ATRA yang relaps atau resisten terhadap terapi ATRA. Salah satu komponen arsen yang
sering digunakan di dalam klinik untuk terapi LPA yang relaps atau resisten terhadap ATRA
adalah arsenic trioxide (ATO). Sebagai terapi LPA, ATO mempunyai mekanisme kerja; memacu
degradasi fusi protein PML-RAR (khususnya protein PML, menginduksi apoptosis, memacu
diferensiasi sel-sel leukemik serta menghambat apoptosis. ATO umumnya diberikan dengan
dosis 0,15 mg per KG BB melalui infus 3 jam hingga tercapai remisi komplit dengan maksimal
pemberian 50 hari. Pada pasien LPA relaps, terapi ATO menghasilkan respon sebesar 70%
hingga 100%.

You might also like