You are on page 1of 7

Agroekosistem Lokasi SPFS Jeneponto dan Lombok Tengah

Berlokasi di wilayah pantai, agro ekosistem lokasi SPFS di Jeneponto dan Lombok
Tengah dicirikan dengan kondisi kering dan curah hujan terbatas. Setiap tahun, rata-rata
curah hujan hanya mencapai 1500 mm dengan periode bulan basah hanya selama tiga
bulan (November-Februari). Kondisi ini menyebabkan usahatani di wilayah ini
didominasi padi selama musim hujan sekali setahun. Hanya pada tempat tertentu saja
petani bisa menanam untuk kedua kalinya seperti jagung, kacang hijau atau kedele,
karena resiko kegagalan akibat kekeringan.
Untuk mendukung usaha tani di musim kemarau, petani biasanya mengembangkan
sumur-sumur sementara (Gambar 1) dan irigasi dilakukan dengan menggunakan ember
atau ebor. Dengan menggunakan teknologi ini, wilayah yang bisa ditanami sangat terbats
karena metode ini memerlukan tenaga kerja yang banyak. Intensitas tanaman selam
musim kemarau kurang dari 50%, sebagian besar lahan dibiarkan menganggur. Pada
periode ini biasanya petani pergi ke kota untuk memburuh atau bekerja apa saja.
Observasi pendahuluan: Uji salinitas dan Uji Debit
Pengembangan air tanah untuk usaha tani pada awalnya diusulkan petani melalui FGDP
untuk memperluas kegiatan usaha tani mereka di musim kemarau. Diusulkan, irigasi
akan dilakukan dengan menggunakan pompa air. Petani mengetahui bahwa sebenarnya
tersedia potensi sumber air tanah di lahan mereka, tetapi belum bisa dimanfaatkan karena
keterbatasan tenaga kerja.
Menindak lanjuti usulan kelompok tani, PMU SPFS melaksanakan penelitian lebih
mendalam dengan mengukur tingkat salinitas dan debit air tanah pada saat puncak musim
kemarau (Spetember). Uji salinitas dimaksudkan untuk memastikan bahwa belum terjadi
intrusi air laut dan kualitas (salinitas) air tanah masih aman untuk tanaman. Umumnya,
penggunaan air tanah untuk irigasi dibayangi permasalahan salinitas akibat akumulasi
garam.

Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan EC meter dan pH meter. Sampel


air diambil langsung dari sumur secara acak. Jarak antara sumur dengan tepian laut
dicatat. Hasil uji menunjukkan tingkat salinitas air tanah di Jeneponto berkisar antara
0,715-1,436 mS/cm. Nilai ini masih aman untuk tanaman.

Uji Debit
Aspek kedua yang di observasi adlah kapasitas akuifer untuk memperkirakan potensi
volume air tanah. Uji dilakukan dengan cara sederhana yaitu dengan memompa keluar
air dari sumur hingga habis (asat). Kemudian dilakukan pengukuran waktu yang
dibutuhkan untuk pengisian ulang sampai kembali ke posisi semula. Dengan
memperkirakan volume air yang dipompa (berdasarkan dimensi sumur) dan waktu yang
dibutuhkan, maka dapat dihitung tingkat kemampuan pengisian kembali (recharge rate).
Angka inilah yang dinilai menjadi kapasitas debit air tanah. Hasil uji menunjukkan
kemampuan pengisian ulang mencapai 26-151 liter per menit.
Berdasarkan hasil uji salinitas dan uji debit ini makan dapat disimpulkan bahwa secara
teknis air tanah di Jeneponto dan Lombok Tengah dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan irigasi.

Penentuan kapasitas dan wilayah pelayanan serta jenis pompa


Setelah secara teknis terbukti bahwa potensi air tanah bisa digunakan untuk
irirgasi di musim kemarau, berikutnya dilakukan penghitungan berapa luas areal yang
bisa terairi dari setiap sumur (Gambar 2). Tergantung dari jenis tanaman, luas areal
dihitung dari membandingkan nilai Evapo transpirasi dengan ketersediaan air. Dalam
kaitan ini, dirancang pemompaan air optimum hanya dapat dilakkan selama empat kali
sehari. Sehingga dengan prosedur sederhana tersebut luasan maksimum yang bisa
dikembangkan dapat dihitung. Hasil dari uji debit menunjukkan satu sumur hanya dapat
untuk mendukung luas areal maksimum 0.6 hektar dengan asumsi satu hari terdiri dari
enam jam kerja.
Lebih lanjut, pemilihan jenis dan tipe pompa perlu mempertimbangkan debit dan
kecepatan pengisian kembali khususnya dalam rangka mendapatkan aliran stabil (steady
flow). Dengan ketersediaan air tersebut, disarankan kapasitas pompa yang digunakan
serendah mungkin. Kapasitas terendah yang ada dipasaran adalah 150 liter per menit.
Sehingga jenis dan tipe inilah yang direkomendasikan untuk digunakan (Gambar 3).

Sistem Perguliran Pompa Air


Irigasi pompa perlu dikelola dengan tepat untuk menjamin keberlanjutan dan keadilan
bagi seluruh anggota kelompok tani. Hal ini dinilai isu kritis karena satu pompa harus
digunakan secara bersama-sama, sementara sumur dapat dikembangkan secara individual
di masing-msing lahan petani. Sehubungan dengan hal ini, maka SPFS meminta
kelompok tani merumuskan rencana operasi dan aturan-aturan penggunaan pompa.
Secara umum, sistem manajemen dan aturan-aturan dikembangkan berdasarkan pola
perguliran dana.

Pola perguliran pompa dikelola sebagai berikut:


• Kelompok tani mengelola seluruh pompa yang diterima dari SPFS
• Setiap individu petani menggali sumur di lahan masing-masing. Kenyataannya,
sebagian petani telah memiliki sumur sebelum program ini walau dimanfaatkan
secara tradisional.
• Setiap petani yang ingin memanfaatkan pompa harus mengajukan ke kelompok
tani. Sebagai tindak lanjut, kelompok akan membuat jadwal penggunaan pompa
agar keseluruhan anggota tercukupi. Pada kasus tertentu, kelompok tani dibagi-
bagi menjadi gugus yang terdiri dari enam petani. Setiap gugus diserahi
pengelolaan satu unit pompa.
• Untuk setiap jam operasi, petani harus membayar biaya “sewa” ke kelompok
tani. Namun biaya ini tidak dibayarkan secara langsung tetapi dibayarkan
sesudah musim panen.
• Biaya sewa yang terkumpul dimanfaatkan kelompok tani untuk menutupi biata
pemeliharaan, penyusutan dan pengembalian modal. Penyusutan dipersiapkan
untuk mengganti pompa baru bila telah tercapai umur pakai. Diperkirakan umur
pakai pompa hanya tiga tahun. Sementara biaya pengembalian investasi akan
masuk ke kas kelompok tani sebagai sumber permodalan kelompok untuk
kegiatan produktif lainnya.

Saat ini, biaya sewa per jam yang diterpakan berbeda-beda untuk masing-masing
kelompok, tetapi pada kisaran Rp 4000-Rp 5000. Minyak dan biaya operasi ditanggung
oleh pengguna, tetapi umumnya petani mampu mengoperasikan sendiri pompa tersebut.

Keuntungan Sistem Irigasi Air Tanah


Dampak dari sistem irigasi air tanah sangat tinggi dan penting, antara lain:
• Menguangi beban pekerjaan irigasi. Dengan menggunakan pompa terjadi
penurunan kebutuhan tenaga kerja disbanding cara tradisional. Sehingga petani
dapat menghemat waktu dan memanfaatkan waktunya untuk kegiatan produktif
lainnya.
• Perluasan areal tanam. Penurunan beban dan waktu kerja memungkinkan petani
memperluas areal tanam.
• Peningkatan hasil. Dengan menggunakan sumur dan pompa, irigasi dapat
dilakukan secara merata, sehingga tanaman lebih sehat dan produktivitas
meningkat.

Beberapa pertimbangan dalam pengembangan irigasi air tanah


Air tanah perlu diperlakukan sebagai sumberdaya bernilai tinggi karena untuk
pemanfaatannya diperlukan biaya energi (untuk pengangkatan). Sehingga, aplikasi air
tanah untuk irigasi perlu dilakukan secara efisien. Lebih lanjut, tanaman yang diairi
haruslah tanaman yang bernilai tinggi sehingga dapat menutupi biaya operasi dan
investasi. Disamping itu aspek-aspek teknis juga perlu dipertimbangkan.
1. Metode Irigasi
Metode irigasi yang tepat dengan menggunakan air tanah idealnya adalah dengan sistem
irigasi tetes ata springkler. Tetapi investasi untuk sistem ini sangat besar. Terkait dengan
metode ini, untuk emnigkatkan efisiensi, irigasi dilakukan dengan menggunakan selang.
Air diaplikasikan secara langsung lokasi perakaran tanaman. Dengan cara ini air dapat
dihemat (dibanding cara irigasi biasa)
2. Pemilihan tanaman
Dalam rangka menghasilkan tingkat keuntungan yang layak, tanaman yang diusahakan
dengan irigasi air tanah haruslah tanaman yang bernilai tinggi. Dalam praktek di
Jeneponto, tanaman yang idusahakan adalah cabe dan bawang merah sedangkan di
Lombok Tengah cabe dan tembakau. Di pasar local, kedua komoditi ini bernilai tinggi.
3. Jarak Antar Sumur
Tergantung kondisi geologis dan akuifer, jarak antar sumur harus dikelola untuk
mendapatkan aliran yang satbil. Namun pada umumnya informasi kondisi geologis di
lokasi kegiatan susah diperoleh atau mahal. Di Jeneponto dan Lombok Tengah,
walaupun tidak diketahui informasi geologis, untungnya beberapa petani telah
mengembangkan sumur. Dengan pengamatan dan pengujian terhadap sumur ini, dapat
diperkirakan kondisi akuifer. Kedalaman lapiran berpori diketahui sekitar 5-10 m
dibawah permukaan tanah. Namun untuk pengembangan lebih lanjut disarankan jarak
antar sumur tidak boleh kurang dari dua kali kedalaman sumur.

Kesimpulan
Berdasarkan pengalaman pengembangan irigasi air tanah dan pompa di Jeneponto dan
Lombok Tengah, dapat disimpulkan beberapa hal penting sebagai berikut.
• Pada tingkat tertentu, sumber air tanah dapat dimanfaatkan untuk irigasi. Tetapi
diperlukan analisa mendalam karena biaya investasi untuk pembuatan sumur dan
pembelian pompa cukup tinggi.
• Metode irigasi harus dipilih yang tepat dan efisien karena biaya energi untuk
menaikkan air ke permukaan cukup tinggi.
• Pemilihan tanaman menentukan keuntungan. Hanya tanaman bernilai tinggi
seperti hortikultura yang disarankan untuk diairi dengan air tanah.

DAFTAR PUSTAKA
http://database.deptan.go.id/saims-indonesia/index.php?files=DetailTechnologies-
Indo&id=103 diakses tgl 26 april senin 2010-04-26
http://www.scribd.com/doc/13153112/Pemanfaatan-Air-Tanah-Dan-Irigasi-Pompa
diakses senin 26 april 2010
http://pla.deptan.go.id/pdf/09_PEDUM_HIDRAM_2009.pdf
http://www.scribd.com/doc/13153112/Pemanfaatan-Air-Tanah-Dan-Irigasi-Pompa
http://wapedia.mobi/id/Irigasi
Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan
pertaniannya. Dalam dunia modern saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat
dilakukan manusia. Pada zaman dahulu jika persediaan air melimpah karena tempat yang
dekat dengan sungai atau sumber mata air, maka irigasi dilakukan dengan mangalirkan
air tersebut ke lahan pertanian. Namun demikian irigasi juga biasa dilakukan dengan
membawa air dengan menggunakan wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu-
persatu. Untuk irigasi dengan model seperti ini di Indonesia biasa disebut menyiram.
Sebagaimana telah diungkapkan, dalam dunia modern ini sudah banyak cara yang dapat
dilakukan untuk melakukan irigasi dan ini sudah berlangsung sejak Mesir Kuno.

1. Sejarah Irigasi di Indonesia

1. 1. Irigasi Mesir Kuno dan Tradisional Nusantara

Irigasi pada lahan pertanian di New Jersey

Sejak Mesir Kuno telah dikenal dengan memanfaatkan Sungai Nil. Di Indonesia irigasi
tradisional telah juga berlangsung sejak nenek moyang kita. Hal ini dapat dilihat juga
cara bercocok tanam pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Dengan
membendung kali secara bergantian untuk dialirkan ke sawah. Cara lain adalah mencari
sumber air pegunungan dan dialirkan dengan bambu yang bersambung. Ada juga dengan
membawa dengan ember yang terbuat dari daun pinang atau menimba dari kali yang
dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga.

1. 2. Sistem Irigasi Zaman Hindia Belanda

Sistem irigasi adalah salah satu upaya Belanda dalam melaksanakan Tanam Paksa
(Cultuurstelsel) pada tahun 1830. Pemerintah Hindia Belanda dalam Tanam Paksa
tersebut mengupayakan agar semua lahan yang dicetak untuk persawahan maupun
perkebunan harus menghasilkan panen yang optimal dalam mengeksplotasi tanah
jajahannya.

Sistem irigasi yang dulu telah mengenal saluran primer, sekunder, ataupun tersier.
Tetapi sumber air belum memakai sistem Waduk Serbaguna seperti TVA di Amerika
Serikat. Air dalam irigasi lama disalurkan dari sumber kali yang disusun dalam sistem
irigasi terpadu, untuk memenuhi pengairan persawahan, di mana para petani diharuskan
membayar uang iuran sewa pemakaian air untuk sawahnya.

1. 3. Waduk Jatiluhur 1955 di Jawa Barat dan Pengalaman TVA 1933 di


Amerika Serikat

Tennessee Valley Authority (TVA) [1] yang diprakasai oleh Presiden AS Franklin D.
Roosevelt pada tahun 1933 merupakan salah satu Waduk Serba Guna yang pertama
dibangun di dunia [2]. Resesi ekonomi (inflasi) tahun 1930 melanda seluruh dunia,
sehingga TVA adalah salah satu model dalam membangun kembali ekonomi Amerika
Serikat.

Isu TVA adalah mengenai: produksi tenaga listrik, navigasi, pengendalian banjir,
pencegahan malaria, reboisasi, dan kontrol erosi. Sehinga di kemudian hari Proyek TVA
menjadi salah satu model dalam menangani hal yang mirip. Oleh sebab itu Proyek
Waduk Jatiluhur merupakan tiruan yang hampir mirip dengan TVA di AS tersebut.

Waduk Jatiluhur terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta (±9 km dari


pusat Kota Purwakarta). Bendungan itu dinamakan oleh pemerintah Waduk Ir. H. Juanda,
dengan panorama danau yang luasnya 8.300 ha. Bendungan ini mulai dibangun sejak
tahun 1957 oleh kontraktor asal Perancis, dengan potensi air yang tersedia sebesar 12,9
milyar m3/tahun dan merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia.

2. Jenis Irigasi

2. 1. Irigasi Permukaan

Irigasi Permukaan merupakan sistem irigasi yang menyadap air langsung di sungai
melalui bangunan bendung maupun melalui bangunan pengambilan bebas (free intake)
kemudian air irigasi dialirkan secara gravitasi melalui saluran sampai ke lahan pertanian.
Di sini dikenal saluran primer, sekunder dan tersier. Pengaturan air ini dilakukan dengan
pintu air. Prosesnya adalah gravitasi, tanah yang tinggi akan mendapat air lebih dulu.

2. 2. Irigasi Lokal

Sistem ini air distribusikan dengan cara pipanisasi. Di sini juga berlaku gravitasi, di mana
lahan yang tinggi mendapat air lebih dahulu. Namun air yang disebar hanya terbatas
sekali atau secara lokal.

2. 3. Irigasi dengan Penyemprotan


Penyemprotan biasanya dipakai penyemprot air atau sprinkle. Air yang disemprot akan
seperti kabut, sehingga tanaman mendapat air dari atas, daun akan basah lebih dahulu,
kemudian menetes ke akar.

2. 4. Irigasi Tradisional dengan Ember

Di sini diperlukan tenaga kerja secara perorangan yang banyak sekali. Di samping itu
juga pemborosan tenaga kerja yang harus menenteng ember.

2. 5. Irigasi Pompa Air

Air diambil dari sumur dalam dan dinaikkan melalui pompa air, kemudia dialirkan
dengan berbagai cara, misalnya dengan pipa atau saluran. Pada musim kemarau irigasi ini
dapat terus mengairi sawah

You might also like