You are on page 1of 5

GURU MEMILIKI KEPRIBADIAN

GURU DALAM PENDIDIKAN “no teachers no education”


(Ho Chi Minh) GURU SEBAGAI PRIBADI, GURU DALAM
KELUARGA, GURU DI SEKOLAH, GURU SEBAGAI ANGGOTA
MASYARAKAT & WARGA NEGARA, GURU SEBAGAI HAMBA
ALLAH SWT .

Selain harus memiliki bekal pengetahuan yang cukup, guru juga dituntut
untuk memiliki integritas kepribadian yang tinggi dan keterampilan mengajar
yang dapat diandalkan, sehingga mampu menciptakan iklim belajar mengajar
yang kondusif, sehat, dan menyenangkan. Hanya dengan bekal ideal tersebut,
guru akan tampil sebagai figur yang benar-benar mumpuni, disegani, dan digugu
dan ditiru (dipercaya dan diteladani). Kalau hanya mengajarkan suatu mata
pelajaran tanpa proses pendidikan lebih lanjut, sembarang orang juga bisa
asalkan ada literaturnya. Untuk itu, guru dituntut memiliki nilai lebih (added
value) dalam melaksanakan pembelajaran.

Proses pembelajaran yang diidamkan adalah bila mampu memacu


keingintahuan dan motivasi peserta didik untuk membedah masalah-masalah
seputar lingkungannya sekaligus dapat membentuk opini pribadi terhadap
masalah tersebut. Di sini, mereka bukan lagi dianggap sebagai kertas kosong atau
pribadi yang menerima secara pasif sajian guru atau pribadi yang tidak
mengetahui apa-apa, melainkan pribadi yang telah berinteraksi dengan
lingkungan dan berhak untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.

Motivasi dapat timbul bila ada pemenuhan kebutuhan secara signifikan dalam
mempelajari sesuatu. Peserta didik akan termotivasi jika ia menemukan manfaat
yang berarti bagi dirinya, sehingga kemudian bisa dilanjutkan dengan
berlangsungnya aktualisasi diri melalui proses pembelajaran. Sebagaimana
dikatakan oleh Abraham Maslow (1908-1970), dalam teorinya, yakni bahwa
semakin tinggi need of achievement atau tuntutan pemenuhan kebutuhan
berprestasi yang dimiliki seseorang maka akan kian serius ia menggeluti suatu hal.
Jadi, guru dituntut menjadi motivator yang mampu memperlihatkan sejumlah
manfaat pada setiap sajian pembelajaran.

Demi mengoptimalkan capaian proses pembelajaran, guru hendaknya


mampu menempatkan dirinya sebagai sosok yang mempunyai kewibawaan dan
otoritas tinggi, guru harus bisa menguasai kelas serta mengontrol peserta
didiknya. Namun, guru juga seharusnya bisa menimbulkan suasana nyaman
dalam berhubungan dengan peserta didik, sehingga mereka leluasa menimba ilmu
dan mengembangkan potensinya. Di era keterbukaan, guru tidak boleh lagi
terjebak dalam model pendidikan sistem bank (banking education), dimana
peserta didik adalah tabungan dan guru sebagai penabung. Pandangan tentang
pendidikan semacam ini pada praktiknya cenderung bersifat otoriter dan
menghalangi kesadaran peserta didik untuk berkembang.Sebagai ganti sistem
tadi, guru bisa mengembang -kan sistem hadap-masalah (problem-posing
education). Dalam sistem ini, ditekankan metode pendidikan yang disebut
“pendidikan dialogis” di mana terdapat suatu dinamika dialektik antara pendidik
dengan peserta didik.

Penekanannya adalah pada kesadaran pendidik dan peserta didik


mengenai kemampuan dan keberanian menghadapi realitas secara kritis dan ber-
1
tindak mengubah dunia secara kreatif. Di sini, pendidik tidak hanya berfungsi
sebagai fasilitator bagi tumbuhnya perkembangan kesadaran peserta didik,
namun sekaligus menjadi seorang rekan yang melibatkan dirinya sambil
merangsang daya pemikiran kritis peserta didik.

Dalam penyampaian materi pelajaran, guru diharapkan lebih kreatif


(dengan memperhatikan keadaan sekolah), menggunakan media yang interaktif
dan atraktif, seperti alat peraga, skema/diagram, artikel, atau film pendek.
Diharapkan peserta didik dapat merasa at home, menyenangi pelajaran, merasa
membutuhkan ilmu itu, serta mampu melaksanakan pesan pembelajaran.Akan
lebih baik pula jika peran aktif peserta didik dalam mengeksplorasi dan
mengkonstruksi pengetahuan nya, melalui diskusi maupun dialog, diutamakan.
Mereka dibimbing, bukan dipaksa, mengikuti pola-pola kognitif baku juga
mengembangkan konsep pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan
menurut referensi ilmu serta kebenaran epistemologis tertentu. Apa yang telah
dipelajari langsung bisa diaplikasikan di masyarakat dan dibuktikan
kesesuaiannya dengan kondisi riil kehidupan, demikianlah seharusnya penutup
dari proses pembelajaran oleh guru yang pantas menyandang guru favorit.

Untuk memastikan bahwa cerminan ini bukanlah gambaran ideal (das


sollen, idealita) yang seringkali berjarak teramat jauh dengan kenyataan (das sein,
realita), tentu jalan berliku masih menanti di depan.

Makna Kepribadian Terhadap Pengembangan Guru

Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru,


dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan
sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan. (UU No 20 tahun 2003 tentang sisdiknas pasal 1
ayat 6). Dari hal itulah guru mempunyai beberapa kompetensi, sesuai dengan
Peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan
yaitu; (a) Kompetensi pedagogik. (b) Kompetensi kepribadian. (c) Kompetensi
profesional; dan (d) Kompetensi sosial. Namun yang paling menentukan dalam
proses

pembelajaran adalah kompetensi kepribadian karena dengan kompetensi tersebut


dapatlah diukur seberapa besar tingkat keberhasilan guru dalam mengemban
amanah, yaitu memper -baiki akhlak.

Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan belajar


anak didik. Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam Syah (2000:225-226)
menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi
pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi
perusak atau penghancur bagi masa depan anak didiknya terutama bagi anak
didik yang masih kecil (tingkat dasar) dan mereka yang sedang mengalami
kegoncangan jiwa (tingkat menengah).

Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam


menggeluti profesinya adalah meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan
psikologis. Fleksibilitas kognitif atau keluwesan ranah cipta merupakan
kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara simultan dan memadai
dalam situasi tertentu. Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan
adanya keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Selain itu, ia memiliki resistensi
atau daya tahan terhadap ketertutupan ranah cipta yang prematur dalam
pengamatan dan pengenalan.
2
Dalam Undang-undang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi kepri
-badian adalah “kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif,
dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik”. Surya (2003:138) menyebut
kompetensi kepribadian ini sebagai kompetensi personal, yaitu kemampuan
pribadi seorang guru yang diperlukan agar dapat menjadi guru yang baik.
Kompetensi personal ini mencakup kemampuan pribadi yang berkenaan dengan
pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri. Setiap
guru mempunyai pribadi masing-masing sesuai ciri-ciri pribadi yang mereka
miliki. Ciri-ciri inilah yang membedakan seorang guru dengan guru lainnya.
Kepribadian sebenarnya suatu masalah yang abstrak, hanya dapat dilihat lewat
penampilan, tindakan, ucapan, cara berpakaian, dan dalam menghadapi setiap
per -sonalan. Zakiah Daradjat (1985) mengatakan bahwa kepribadi -an yang
sesungguhnya adalah abstrak (ma’nawi), sukar dilihat atau diketahui secara
nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi
dan aspek kehidupan. Misalnya dalam tindakannya, ucapan, cara bergaul,
berpakaian, dan dalam menghadapi setiap persoalan atau masalah, baik yang
ringan atau yang berat.

Kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur


psikis dan fisik. Dalam makna demikian, seluruh sikap dan perbuatan seseorang
merupakan suatu gambaran dari kepri-

badian orang itu, asal dilakukan secara sadar. Dan perbuatan yang baik sering
dikatakan bahwa seseorang itu mempunyai kepribadian yang baik atau berakhlak
mulia. Sebaliknya, bila seorang melakukan suatu sikap dan perbuatan yang tidak
baik menurut pandangan masyarakat, maka dikatakan bahwa orang itu tidak
mempunyai kepribadian yang baik atau mempunyai akhlak yang mulia. Oleh
karena itu, masalah kepribadian adalah suatu hal yang sangat menentukan tinggi
rendahnya kewibawaan seorang guru dalam pandangan anak didik atau
masyarakat. Dengan kata lain, baik tidaknya citra seseorang ditentukan oleh
kepribadian. Lebih lagi bagi seorang guru, masalah kepribadian merupakan
faktor yang menentukan terhadap keberhasilan melaksanakan tugas sebagai
pendidik. Kepribadian dapat menentukan apakah guru menjadi pendidik dan
Pembina yang baik ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari
depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah
dasar) dan bagi mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat
remaja).

Namun begitu, seseorang yang berstatus guru tidak selamanya dapat


menjaga wibawa dan citra sebagai guru dimata anak didik dan masyarakat.
Ternyata masih ada sebagian guru yang mencemarkan wibawa dan citra guru. Di
media massa (cetak maupun elektronik) sering diberitakan tentang oknum-oknum
guru yang melakukan suatu tindakan asusila, asosial, dan amoral. Perbuatan itu
tidak sepatutnya dilakukan oleh guru. Lebih fatal lagi bila perbuatan yang
tergolong tindakan criminal itu dilakukan terhadap terhadap anak didik sendiri.

Kepribadian adalah unsur yang menentukan keakraban hubungan guru


dengan anak didik. Kepribadian guru akan tercermin dalam sikap dan
perbuatannya dalam membina dan membimbing anak didik. Menurut Mikeljohn
dalam bahri (2000: 41) tidak seorangpun yang dapat menjadi guru yang sejati
(mulia) kecuali dia menjadikan dirinya sebagi bagian dari anak didik yang
berusaha untuk memahami semua anak didik dan kata-katanya. Guru yang dapat
3
memahami tentang kesulitan anak didik dalam hal belajar dan kesulitan lainnya
diluar masalah belajar, yang bisa menghambat aktifitas belajar anak didik, maka
guru tersebut akan disenangi anak didiknya.

Nilai-nilai Kepribadian Guru dalam Penanaman Akhlak Siswa :

Sebagai teladan, guru harus memiliki kepribadian yang dapat dijadikan


profil dan idola, seluruh kehidupan adalah figur yang paripurna. Itulah kesan
terhadap guru sebagai sosok yang ideal. Sedikit saja guru berbuat yang tidak atau
kurang baik, akan mengurangi kewibawaannya dan kharisma pun secara
perlahan lebur dari jati diri. Karena itu, kepribadian adalah

masalah yang sangat sensitif sekali. Penyatuan kata dan perbuatan dituntut dari
guru, bukan lain perkataan dengan perbuatan, ibarat kata pepatah; pepat diluar
runcing di dalam.

Imam Al-Ghazali mengemukakan, bahwa akhlak adalah suatu sifat yang


tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan
mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dahulu). Ahmad
Amin menjelaskan, bahwa akhlak adalah adatul iradah atau kehendak yang
dibiasakan. (Mustofa, 2005: 12). Menurut Ibnu ‘Ilaan Ash-Shiddieqy, bahwa
akhlak adalah suatu pembawaan dalam diri manusia yang dapat menimbulkan
perbuatan baik, dengan cara yang mudah (tanpa dorongan dari orang lain).
Sedangkan Abu Bakar Al-Jazairy mengatakan, bahwa akhlak adalah bentuk
kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia, yang menimbulkan perbuatan baik
dan buruk, terpuji dan tercela dengan cara yang sengaja (Mahyuddin, 2001: 3).

Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan, bahwa akhlak adalah
perbuatan manusia yang berasal dari dorongan jiwanya karena kebiasaan, tanpa
memerlukan pikiran terlebih dahulu. Maka gerakan refleks, denyut jantung, dan
kedipan mata tidak dapat disebut akhlak.

Guru adalah mitra anak didik dalam kebaikan. Guru yang baik, anak
didik pun menjadi baik. Tidak ada seorang guru yang bermaksud
menjerumuskan anak didiknya kelembah kenistaan. Karena kemuliaan guru,
sebagai gelarpun di sandangnya. Guru adalah pahlawan tanpa pamrih, pahlawan
tanpa tanda jasa, pahlawan ilmu, pahlawan kebaikan, pahlawan pendidikan,
makhluk serba bisa, atau sebagai julukan lain seperti makhluk interpreter, artis,
kawan, warga Negara yang baik, pembangun manusia, pembawa kultur, pioneer,
reformer dan terpercaya, soko guru, bhatara guru, kiajar, sang guru dan
sebagainya. Itulah atribut yang pas untuk guru yang diberikan oleh mereka yang
mengagumi figur guru. Oleh karena itu, penyair telah mengakui pula nilai guru
dengan kata-katanya, “berdiri dan hormatilah guru dan berilah ia penghargaan,
seorang guru hamper saja merupakan seorang rasul”. Pribadi guru adalah
uswatun hasanah, kendati tidak sesempurna seperti rasul. Betapa tingginya
derajat seorang guru, sehingga wajarlah bila guru diberi berbagai julukan yang
tidak akan pernah ditemukan pada profesi lain. Semua julukan itu perlu
dilestarikan dengan pengabdian yang tulus ikhlas, dengan motivasi kerja untuk
membina jiwa dan watak anak didik, bukan segalanya demi uang.

Guru adalah spiritual father atau bapak rohani dari seorang anak didik
ialah yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu pendidikan akhlak, dan
membenarkannya, maka menghormati guru berarti menghormati anak didik kita,

4
menghargai guru berarti penghargaan terhadap anak-anak kita, dengan guru
itulah mereka hidup dan berkembang, sekiranya setiap guru itu menunaikan
tugasnya itu dengan sebaik-baiknya. Abu Dardaa’ melukiskan pula mengenai
anak didik itu bahwa keduanya adalah berteman dalam “kebaikan” dan tanpa
keduanya tak akan ada “kebaikan”.

Profil guru yang ideal adalah sosok yang mengabdikan diri berdasarkan
panggilan jiwa, panggilan hati nurani, bukan karena tuntutan uang belaka yang
membatasi tugas dan tanggung jawabnya sebatas dinding sekolah. Guru yang
ideal selalu ingin bersama anak didik di dalam dan di luar sekolah. Jadi
kemuliaan hati seorang guru tercermin dalam kehidupan sehari-hari, bukan
hanya sekedar simbol atau semboyan yang terpampang di kantor dewan guru.

Posisi guru dan anak didik boleh berbeda, tetapi keduanya tetap sering dan
setujuan, bukan seiring tapi tidak setujuan. Sering dalam arti kesamaan langkah
dalam mencapai tujuan bersama. Anak didik berusaha mencapai cita-citanya dan
guru dengan ikhlas mengantar dan membimbing anak didik kepintu gerbang cita-
citanya. Itulah barangkali sikap guru yang tepat sebagi sosok pribadi yang mulia.
Pendek kata, kewajiban guru adalah menciptakan “khairunnas” yakni manusia
yang baik.

Pontianak, 27 Juli 2010


PESERTA

M U L I N S Y A H, A, Ma, Pd
Nip : 19631110 198609 1 001.

You might also like