You are on page 1of 19

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK, PENUNJANG DAN PENATAALAKSANAAN

MEDIK PADA BENIGNA PROSTATE HIPERPLASIA (BPH)

Disusun oleh:

Kelompok 3B
Agustina Dwi 0706270213
Diana Tri Budi S0706270384
Fitri Annisa 0706270592
Hedy Hardiana 0706
Hestiana Rahayu 0706270705
Listarina Noviani 0706270831
Nur Fitriani Y 0706270964
Rio Febrian 0706271121
Titin Hermaneti 0706271241

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS INDONESIA
2010
 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK UNTUK BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA
Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan:
1. LaboratoriumMeliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin
2. RadiologisIntravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning, cystoscopy,
foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk,
ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans
Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat
pula menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti
difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997).
3. Prostatektomi Retro PubisPembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih
tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada
anterior kapsula prostat.
4. Prostatektomi Parineal Yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui
perineum.

 PEMERIKSAAN PENUNJANG UNTUK BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA


1. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria. BPH
yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu buli-buli atau penyakit lain
yang menimbulkan keluhan miksi, di antara-nya: karsinoma buli-buli in situ atau striktura
uretra, pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya kelainan. Untuk itu pada kecurigaan
adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat 3
kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine. Pada
pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah memakai kateter, pemeriksaan
urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria maupun
eritostiruria akibat pemasangan kateter.

2. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)


PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer
specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam
hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:
a. pertumbuhan volume prostat lebih cepat
b. keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan
c. lebih mudah terjadinya retensi urine akut.
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA.
Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi kadar PSA makin cepat laju
pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar
PSA 0,2- 1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl
sebesar 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun19. Kadar PSA di
dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat
(biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia
yang makin tua. Sesuai yang dikemukakan oleh Wijanarko et al (2003) bahwa serum PSA
meningkat pada saat terjadi retensi urine akut dan kadarnya perlahanlahan menurun terutama
setelah 72 jam dilakukan kateterisasi. Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan
usia adalah:
o 40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml
o 50-59 tahun:0-3,5 ng/ml
o 60-69 tahun:0-4,5 ng/ml
o 70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml
Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma prostat, tetapi
kelompok usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma prostat. Pemeriksaan PSA
bersamaan dengan colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam
mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia ini pemeriksaan PSA
menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat. Sebagian
besar petunjuk yang disusun di berbagai negara merekomendasikan pemeriksaan PSA
sebagai salah satu pemeriksaan awal pada BPH, meskipun dengan sarat yang berhubungan
dengan usia pasien atau usia harapan hidup pasien.
Tes PSA ini sebaiknya dilakukan setiap tahun sejak berumur 50 tahun, namun untuk
pria yang memiliki riwayat penyakit kanker prostat atau orang keturunan Afrika-Amerika, tes
PSA sebaiknya dimulai sejak umur 40 tahun.

Adapun menurut Mansjoer Arief, (2000) pemeriksaan penunjang pada penyakit BPH,
meliputi :
1. Pemeriksaan laboratorium
o Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat
adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus
diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu,
infeksi saluran kemih.
o Elektrolit, kadar ureum, dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari
fungsi ginjal dan status metabolik.
o Pemeriksaan Prostat Spesifik Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan.
2. Pemeriksaan radiologis yang biasanya dilakukan adalah foto polos abdomen,
pielografi intravena, USG dan sistoskopi, tujuannya adalah untuk memperkirakan
volume BPH.
3. Pemeriksaan fisik
Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan pemeriksaan yang
penting pada pasien BPH, disamping pemerik-saan fisik pada regio suprapubik untuk mencari
kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan
adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu
tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung
underestimate daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar,
hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar. Kecurigaan suatu keganasan pada
pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-34% yang positif kanker prostat pada
pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat
sebesar 33%. Perlu dinilai keadaan neurologis, status mental pasien secara umum dan fungsi
neuromusluler ekstremitas bawah. Disamping itu pada DRE diperhatikan pula tonus sfingter
ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks
di daerah sakral.

4. Pemeriksaan fungsi ginjal


Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bawah
ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30%
dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah
(25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas
menjadi enam kali lebih banyak. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan
dilatasi sistem pelvikalises 0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9%  jika
terdapat kelainan kadar kreatinin serum10. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini
berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran
kemih bagian atas.
5. Catatan harian miksi (voiding diaries)
Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi traktus urinarius
bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas yang cukup baik. Pencatatan miksi ini sangat
berguna pada pasien yang mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan
mencatat kapan dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa
jumlah urine yang dikemihkan dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik,
instabilitas detrusor akibat obstruksi infra-vesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang
berlebih. Sebaiknya pencatatan dikerjakan 7 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang
baik2,10, namun Brown et al (2002) mendapatkan bahwa pencatatan selama 3-4 hari sudah
cukup untuk menilai overaktivitas detrusor.

6. Pemeriksaan residual urine


Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang tertinggal
di dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada orang normal adalah 0,09-
2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh delapan persen pria normal mempunyai
residual urine kurang dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu urine tidak lebih
dari 12 mL.
Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melaku-kan
pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun
non invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine melalui USG atau bladder scan. Pengukuran
melalui kateterisasi ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak meng-enakkan
bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga
terjadi bakteriemia. Pengukuran dengan cara apapun, volume residual urine mempunyai
variasi individual yang cukup tinggi, yaitu seorang pasien yang diukur residual urinenya pada
waktu yang berlainan pada hari yang sama maupun pada hari yang berbeda, menunjukkan
perbedaan volume residual urine yang cukup bermakna.
Variasi perbedaan volume residual urine ini tampak nyata pada residual urine yang
cukup banyak (>150 ml), sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu banyak (<120
ml) hasil pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama. Dahulu para ahli urologi
beranggapan bahwa volume residual urine yang meningkat menandakan adanya obstruksi,
sehingga perlu dilakukan pembedahan; namun ternyata peningkatan volume residual urine
tidak selalu menunjukkan beratnya gangguan pancaran urine atau beratnya obstruksi. Hal ini
diperkuat oleh pernyataan Prasetyawan dan Sumardi (2003), bahwa volume residual urine
tidak dapat menerangkan adanya obstruksi saluran kemih. Namun, bagaimanapun adanya
residu uirne menunjukkan telah terjadi gangguan miksi. Watchful waiting biasanya akan
gagal jika terdapat residual urine yang cukup banyak, demikian pula pada volume residual
urine lebih 350 ml seringkali telah terjadi disfungsi pada buli-buli sehingga terapi
medikamentosa biasanya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Beberapa negara
terutama di Eropa merekomendasikan pemeriksaan PVR sebagai bagian dari pemeriksaan
awal pada BPH dan untuk memonitor setelah watchful waiting. Karena variasi intraindividual
yang cukup tinggi, pemeriksaan PVR dikerjakan lebih dari satu kali dan sebaiknya dikerjakan
melalui melalui USG transabdominal.

7. Pencitraan traktus urinarius


Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan terhadap traktus urinarius
bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan prostat. Dahulu pemeriksaan IVP pada BPH
dikerjakan oleh sebagian besar ahli urologi untuk mengungkapkan adanya:
(a) kelainan pada saluran kemih bagian atas,
(b) divertikel atau selule pada buli-buli,
(c) batu pada buli-buli,
(d) perkiraan volume residual urine, dan
(e) perkiraan besarnya prostat.
Pemeriksaan pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai IVP atau USG, ternyata
bahwa 70-75% tidak menunjukkan adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas;
sedangkan yang menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil saja (10%) yang membutuhkan
penanganan berbeda dari yang lain. Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian atas
tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada pemeriksaan awal
diketemukan adanya:
(a) hematuria,
(b) infeksi saluran kemih,
(c) insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan USG),
(d) riwayat urolitiasis, dan
(e) riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia.
Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna memperkirakan besarnya
prostat atau mencari kelainan pada buli-buli saat ini tidak direkomendasikan. Namun
pemeriksaan itu masih berguna jika dicurigai adanya striktura uretra. Pemeriksaan USG
prostat bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat, dan mencari kemungkinan adanya
karsinoma prostat. Pemeriksaan ultrasonografi prostat tidak direkomendasikan sebagai
pemeriksaan rutin, kecuali hendak menjalani terapi:
(a) inhibitor 5-α reduktase,
(b) termoterapi,
(c) pemasangan stent,
(d) TUIP atau
(e) prostatektomi terbuka.
Menilai bentuk dan ukuran kelenjar prostat dapat dilakukan melalui pemeriksaan
transabdominal (TAUS) ataupun transrektal (TRUS). Jika terdapat peningkatan kadar
PSA, pemeriksaan USG melalui transrektal (TRUS) sangat dibutuhkan guna menilai
kemungkinan adanya karsinoma prostat.

8. Uretrosistoskopi
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika dan buli-buli.
Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher buli-buli, batu buli-buli,
trabekulasi buli-buli, selule, dan divertikel bulibuli. Selain itu sesaat sebelum dilakukan
sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi. Sayangnya pemeriksaan ini tidak
mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra,
dan retensi urine sehingga tidak dianjurkan sebagai
pemeriksaan rutin pada BPH.
Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk
menentukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka. Disamping itu
pada kasus yang disertai dengan hematuria atau dugaan adanya karsinoma buli-buli
sistoskopi sangat membantu dalam mencari lesi pada buli-buli.

9. Pemeriksaan urodinamika
Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien mempunyai
pancaran urine yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya, pemeriksaan
urodinamika (pressure flow study) dapat membedakan pancaran urine yang lemah itu
disebabkan karena obstruksi leher buli-buli dan uretra atau kelemahan kontraksi otot detrusor.
Pemeriksaan ini cocok untuk pasien yang hendak menjalani pembedahan. Mungkin saja
LUTS yang dikeluhkan oleh pasien bukan disebabkan oleh BPO melainkan disebabkan oleh
kelemahan kontraksi otot detrusor sehingga pada keadaan ini tindakan desobstruksi tidak
akan bermanfaat. Pemeriksaan urodinamika merupakan pemeriksaan optional pada evaluasi
pasien BPH bergejala. Meskipun merupakan pemeriksaan invasif, urodinamika saat ini
merupakan pemeriksaan yang paling baik dalam menentukan derajat obstruksi prostat (BPO),
dan mampu meramalkan keberhasilan suatu tindakan pem-bedahan. Menurut Javle et al
(1998)30, pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas 87%, spesifisitas 93%, dan nilai prediksi
positif sebesar 95%. Indikasi pemeriksaan uro-dinamika pada BPH adalah berusia kurang
dari 50 tahun atau lebih dari 80 tahun dengan volume residual urine>300 mL, Qmax>10
ml/detik, setelah menjalani pembedahan radikal pada daerah pelvis, setelah gagal dengan
terapi invasif, atau kecurigaan adanya buli-buli neurogenik.
10. Diagnosis Banding
Kelemahan otot destrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf (kandung kemih
neurologik), misalnya pada lesi medula spinalis, neuropati diabetes, bedah radikal yang
mengorbankan persarafan didaerah pelvis, dan penggunaan obat-obatan (penenang,
penghambat reseptor ganglion dan parasimpatik).
Kekakuan leher buli-buli dapat disebabkan oleh proses fibrosis. Resistensi uretra dapat
disebabkan oleh pembesaran prostat (jinak atau ganas), tumor dileher buli-buli, batu uretra
dan striktur uretra.

Penatalaksanaan Medis Benigna Prostat Hiperplasia


Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan menyebabkan
penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi empat gradasi
berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin. Derajat satu, apabila
ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas
mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml. Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan
gejala sama seperti pada derajat satu, prostat lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba
dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Derajat tiga, seperti derajat dua,
hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml, sedangkan derajat
empat, apabila sudah terjadi retensi urin total. Organisasi kesehatan dunia (WHO)
menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS
(WHO prostate symptom score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas delapan
pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15.
Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi
bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.
Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan
untuk menentukan cara penanganan. Pada penderita dengan derajat satu biasanya belum
memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan pengobatan secara konservatif.
Pada penderita dengan derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi
operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral
resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih belum mau dilakukan operasi,
dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan konservatif. Pada derajat
tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup berpengalaman melakukan
TUR oleh karena biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram.
Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai
dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka. Pada hiperplasia prostat derajat
empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita dari
retensi urin total, dengan jalan memasang kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif
dapat dengan TUR P atau operasi terbuka.1,2
Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan
kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan. Tindakan
bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus).
Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-
bedah yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah.
Mengingat gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran
kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan
detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan untuk :
1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor 2,7
Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan hiperplasia prostat
benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan tindakan, yaitu :
TERAPI KONSERVATIF NON OPERATIF
Sampai dengan tahun 1980-an kasus-kasus BPH selalu diatasi dengan operasi.
Didorong oleh faktor biaya dan morbiditas post operatif yang tidak nyaman maka terus dicari
pendekatan yang lebih aman, nyaman dan bahkan lebih ekonomis. Di dalam penatalaksanaan
terapi hiperplasia prostat ini terdapat istilah terapi konservatif yang merupakan terapi non
operatif. Untuk penderita yang oleh karena keadaan umumnya tidak memungkinkan
dilakukan operasi dapat diusahakan pengobatan konservatif.
A. Watchful Waiting
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan. Tindakan yang
dilakukan adalah observasi saja tanpa pengobatan.
B. Terapi Medikamentosa
Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa).
1.Penghambat adrenergik a
Seperti kita ketahui persyarafan trigonum leher vesika, otot polos prostat dan kapsul
prostat terutama oleh serabut-serabut saraf simpatis, terutama mengandung reseptor alpha,
jadi dengan pemberian obat golongan alpha adrenergik bloker, terutama alpha 1 adrenergik
bloker maka tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat akan berkurang,
sehingga sehingga menghasilkan peningkatan laju pancaran urin dan memperbaiki gejala
miksi. Bila serangan prostatismus memuncak menjurus kepada retensio urin ini adalah
pertanda bahwa tonus otot polos prostat meningkat atau berkontraksi sehingga pemberian
obat ini adalah sangat rasional. Episode serangan biasanya cepat teratasi.
Contoh obatnya adalah Phenoxy benzanmine (Dibenyline) dosis 2x10 mg/hari. Sekarang
telah tersedia obat yang lebih selektif untuk alpha 1 adrenergik bloker yaitu Prazosine,
dosisnya adalah 1-5 mg/hari, obat lain selain itu adalah Terazosin dosis 1 mg/hari,
Tamzulosin dan Doxazosin. Pengobatan dengan penghambat alpha ini pertama kali dilakukan
oleh Caine dan kawan-kawan yang dilaporkan pada tahun 1976. Dengan pengobatan secara
ini ditemukan perbaikan sekitar 30-70% pada symptom skore dan kira-kira 50% pada flow
rate. Tetapi kelompok obat ini tidak dapat digunakan berkepanjangan karena efek samping
obat ini berupa hipotensi ortostatik, palpitasi, astenia vertigo dan lain-lain yang sangat
mengganggu kualitas hidup kecuali bagi penderita hipertensi.
Penelitian terakhir di Amerika Serikat menyebutkan bahwa Doxazosin terbukti efektif
dalam pengobatan hiperplasia prostat jangka panjang pada pasien hipertensi dan normotensi.
Prazosine diketahui lebih selektif sebagai alpha 1 adrenergik bloker, sedang phenoxy
benzanmine meskipun lebih kuat tetapi tidak selektif untuk reseptor alpha 1 dan alpha 2, dan
sekarang ditakutkan phenoxy benzanmine bersifat karsinogenik. Jadi kelompok obat
penghambat adrenoreseptor alpha ini hanya dapat digunakan untuk jangka pendek dan akan
lebih fungsional pada terapi tahap awal, obat ini mempunyai efek positif segera terhadap
keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikitpun. Bila respon dari
pengobatan ini baik maka ini merupakan indikator untuk masuk kedalam tahap perawatan
“Watch and wait”.
2. Fitoterapi
Kelompok kemoterapi pada umumnya telah mempunyai informasi farmakokinetik
dan farmakodinamik terstandar secara konvensional dan universal. Kelompok obat ini juga
disebut dengan “obat modern”. Tidak semua penyakit dapat diobati secara tuntas dengan
kemoterapi ini. Banyak penyakit kronis, degeneratif, gangguan metabolisme, dan penuaan
yang belum ada obatnya seperti: kanker, hepatitis, HIV, demensia, dll. Banyak pula yang
belum bisa dituntaskan pengobatannya. Termasuk ini adalah: BPH, DM, hipertensi, rematik,
dll. Sehingga diperlukan terapi komplementer atau alternatif. Kelompok terapi ini disebut
Fitoterapi. Disebut demikian karena berasal dari tumbuhan. Bahan aktifnya belum diketahui
dengan pasti, masih memerlukan penelitian yang panjang.
Namun secara empirik, manfaat sudah lama tercatat dan semakin diakui. Diantara
sekian banyak fitoterapi yang sudah masuk pasaran, diantaranya yang terkenal adalah
Serenoa repens atau Saw Palmetto dan Pumpkin seeds yang digunakan untuk pengobatan
BPH. Keduanya, terutama Serenoa repens semakin diterima pemakaiannya dalam upaya
pengendalian prosatisme BPH dalam kontek “watchfull waiting strategy”. Di Jerman 90%
kasus BPH di terapi dengan Serenoa repens tunggal atau kombinasi, dan di negara-negara
Eropa dan Amerika pemakaiannya terus meningkat dengan cepat.
a. Saw Palmetto Berry (SPB)
Yang disebut juga Serenoa repens adalah suatu obat tradisional Indian. Catatan
empiriknya tentang manfaat tumbuhan ini untuk gangguan urologis sudah ada sejak tahun
1900. Isu back to nature memberikan iklim yang kondusif bagi pemakaian obat ini.
Bukti-bukti empirik lapangan dan empirik uji klinik semakin banyak mencatat
efektifitas dan keamanannya. Dalam Current Medical Diagnosis and Treatment (2001)
dinyatakan bahwa Saw Palmetto Berry (SPB) ini didalam 18 RCT (Randomized Clinical
Trial) dengan 2939 subyek adalah superior terhadap placebo dan efektifitasnya sama dengan
finasteride. Efek samping obat berupa disfungsi ereksi = 1,1% sedangkan finasteride = 4,9%.
Dalam Life Extension Update dimuat, dari sebanyak 32 publikasi studi terdapat catatan
bahwa extract dari SPB ini secara signifikan menunjukan perbaikan klinis dalam hal :
a) Frekuensi nokturia ® berkurang
b) Aliran kencing ® bertambah lancar
c) Volume residu dikandung kencing ® berkurang
d) Gejala kurang enak dalam mekanisme urinoir ® berkurang
Mekanisme kerja obat ini belum dapat dipastikan tetapi diduga kuat ia :
a) Menghambat aktifitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir reseptor androgen
b) Bersifat anti inflamasi dan anti udem dengan cara menghambat aktifitas enzim
cycloxygenase dan 5 lipoxygenase.
b. Pumpkin seeds (Cucurbitae peponis semen)
Testimoni empirik tradisional bahan ini telah digunakan di Jerman dan Austria sejak
abad 16 untuk gangguan “urinoir” dan belakangan ini ekstraknya dipakai untuk mengatasi
gejala yang berhubungan dengan BPH didalam konteks farmakoterapi maupun uji klinis
kombinasi dengan ekstraks serenoa repens.
Penelitian di Jerman melakukan studi terhadap preparat yang mengandung komponen utama
beta-sitosterol dengan sedikit campuran campesterot dan stigmasterol untuk mengobati
hiperplasia prostat. Hasilnya, terjadi perbaikan seperti halnya terapi menggunakan
penghambat reseptor alpha dan 5-alpha reduktase, tetapi dengan efek samping yang lebih
minimal. Walaupun mekanisme kerja dari preparat campuran fitosterol ini belum dapat
dibuktikan, penelitian terus dikembangkan untuk keperluan di masa depan.9,10
c. Hormonal
Pada tingkat supra hypofisis dengan obat-obat LH-RH (super) agonist yaitu obat yang
menjadi kompetitor LH-RH mempunyai afinitas yang lebih besar dengan reseptor bagi LH-
RH, sehingga obat ini akan “menghabiskan” reseptor dengan membentuk LH-RH super
agonist reseptor kompleks. Sehingga mula-mula oleh karena banyaknya LH-RH super
agonist yang menangkap reseptor, pada permulaan justru akan terjadi kenaikan produksi LH
oleh hypofisis. Tetapi setelah reseptor “habis”maka LH-RH tidak dapat lagi mencari
reseptor , maka LH akan menurun. Contoh obat adalah Buserelin, dengan dosis minggu I 3dd
500 mg s.c. (7 hari) dan minggu II intra nasal spray 200 mg, 3 kali sehari.
Pemberian obat-obat anti androgen yang dapat mulai pada tingkat hipofisis misalnya dengan
pemberian Gn-RH analogue sehingga menekan produksi LH, yang menyebabkan produksi
testosteron oleh sel leydig berkurang. Cara ini tentu saja menyebabkan penurunan libido oleh
karena penurunan kadar testosteron darah.
Pada tingkat infra hipofisis pemberian estrogen dapat memberikan umpan balik dengan
menekan produksi FSH dan LH, sehingga produksi testosteron juga menurun. Contoh
preparatnya ialah Diaethyl Stilbestrol (DES) dosis satu kali 1-5 mg sehari.
Pada tingkat testikular, orchiectomi untuk pengobatan pembesaran prostat jinak hanya
dikenal pada sejarah, sekarang cara pengobatan ini untuk hiperplasia prostat telah
ditinggalkan. Untuk karsinoma prostat tentu saja orchiectomi masih dikerjakan oleh karena
pertimbangan kemungkinan penyebaran ca prostat dan juga biasanya penderita telah tua.
Pada tingkat yang lebih rendah dapat pula diberikan obat anti androgen yang mekanisme
kerjanya mencegah hidrolise testosteron menjadi DHT dengan cara menghambat 5 alpha
reduktase, suatu enzim yang diperlukan untuk mengubah testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT), suatu hormon androgen yang mempengaruhi pertumbuhan
kelenjar prostat, sehingga jumlah DHT berkurang tetapi jumlah testosteron tidak berkurang,
sehingga libido juga tidak menurun. Penurunan kadar zat aktif dehidrotestosteron ini
menyebabkan mengecilnya ukuran prostat. Contoh obat tersebut ialah Finesteride, Proscar
dengan dosis 5 mg/hari dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan, Finasteride mengurangi
volume prostat sampai 30%. Penelitian lain di Kanada menyatakan bahwa Finasteride
mengurangi volume prostat pada 613 pria dengan angka rata-rata 21%, mengurangi gejala
dan memperbaiki laju pancaran urin sampai 12%. Obat ini mempunyai toleransi baik dan
tidak mempunyai efek samping yang bermakna.
Obat anti androgen lain yang juga bekerja pada tingkat prostat ialah obat yang mempunyai
mekanisme kerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap reseptor DHT sehingga DHT tidak
dapat membentuk kompleks DHT-Reseptor. Contoh obatnya ialah : Cyproterone acetate 100
mg 2 kali/hari, Flutamide, medrogestone 15 mg2 kali/hari dan Anandron. Obat ini juga tidak
menurunkan kadar testosteron pada darah, sehingga libido tidak menurun. Golongan gestagen
dan ketokonazole, obat-obat ini mempunyai khasiat : mengurangi enzim dehidrogenase dan
isomerase yang berguna untuk metabolisme steroid, menekan LH dan FSH, menjadi saingan
testosteron untuk 5 alpha reduktase sehingga DHT tidak terbentuk. Contoh obatnya adalah
Megestrol acetat 160 mg empat kali sehari dan MPA 300-500 mg/hari. Kesulitan pengobatan
konservatif ini adalah menentukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping dari
obat.
TERAPI OPERATIF
A.Terapi Bedah Konvensional
Open simple prostatectomy.Indikasi untuk melakukan tindakan ini adalah bila ukuran
prostat terlalu besar, di atas 100g, atau bila disertai divertikulum atau batu buli-buli.
B. Terapi Invasif Minimal
- Trans urethral resection (TUR)
Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir seluruhnya
terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama kapsulnya.
Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada
sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh pasien yang sungguh
membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna
untuk membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien non-obstruksi. Evaluasi ini berperan
selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TUR. Suatu penelitian menyebutkan
bahwa hasil obyektif TUR meningkat dari 72% menjadi 88% dengan mengikutsertakan
evaluasi urodinamik pada penilaian pra-bedah dari 152 pasien. Mortalitas TUR sekitar 1%
dan morbiditas sekitar 8%.
Saat ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di
seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-uretra dengan mempergunakan cairan
irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh
darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar
tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya
cukup murah adalah H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat
masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi.
Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air
atau dikenal dengan sindroma TUR P. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai
gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi.
Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam
keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TUR P ini adalah sebesar 0,99%.
Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma TUR P dipakai cairan non ionik yang lain
tetapi harganya lebih mahal daripada aquades, antara lain adalah cairan glisin , membatasi
jangka waktu operasi tidak melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi suprapubik untuk
mengurangi tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat.
Keuntungan :
- Luka incisi tidak ada
- Lama perawatan lebih pendek
- Morbiditas dan mortalitas rendah
- Prostat fibrous mudah diangkat
- Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol
Kerugian :
- Tehnik sulit
- Resiko merusak uretra
- Intoksikasi cairan
- Trauma spingter eksterna dan trigonum
- Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar
- Alat mahal
- Ketrampilan khusus
- Trans urethral incision of prostate (TUIP)
Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran
prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada
pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher buli-
buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara
endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yangg dipakai pada TUR P tetapi
memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara
ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul prostat.
Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan menurunnya kejadian
ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TUR.
c. Terapi Operatif Lainnya
Prostatektomi terbuka
- Retropubic infravesika (Terence millin)
Keuntungan :
- Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada subservikal
- Mortaliti rate rendah
- Langsung melihat fossa prostat
- Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli
- Perdarahan lebih mudah dirawat
- Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama bila membuka
vesika
Kerugian :
- Dapat memotong pleksus santorini
- Mudah berdarah
- Dapat terjadi osteitis pubis
- Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal
- Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam vesika
Komplikasi :
- Perdarahan
- Infeksi
- Osteitis pubis
- Trombosis
- Suprapubic transvesica/TVP (Freyer)
Keuntungan :
- Baik untuk kelenjar besar
- Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat
- Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit :
1. Batu buli
2. Batu ureter distal
3. Divertikel
4. Uretrokel
5. Adanya sistsostomi
6. Retropubik sulit karena kelainan os pubis
- Kerusakan spingter eksterna minimal
Kerugian :
- Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica sembuh
- Sulit pada orang gemuk
- Sulit untuk kontrol perdarahan
- Merusak mukosa kulit
- Mortality rate 1 -5 %
Komplikasi :
- Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder neck stenosis 4%)
- Inkontinensia (<1%)
- Perdarahan
- Epididimo orchitis
- Recurent (10 – 20%)
- Carcinoma
- Ejakulasi retrograde
- Impotensi
- Fimosis
- Deep venous thrombosis
- Transperineal
Keuntungan :
- Dapat langssung pada fossa prostat
- Pembuluh darah tampak lebih jelas
- Mudah untuk pinggul sempit
- Langsung biopsi untuk karsinoma
Kerugian :
- Impotensi
- Inkontinensia
- Bisa terkena rektum
- Perdarahan hebat
- Merusak diagframa urogenital
-Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy)
Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk mengangkat prostat
yang membesar merupakan operasi yang berdarah, sedang pengobatan dengan TUMT dan
TURF belum dapat memberikan hasil yang sebaik dengan operasi maka dicoba cara operasi
yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan.
Penggunaan laser untuk operasi prostat pertamakali diusulkan oleh Sander (1984). Untuk
mengobati ca prostat yang masih lokal dengan memakai Nd YAG (Neodymium, Yttrium
Aluminium Garnet) Solid state Nd YAG ini pertamakali diperkenalkan tahun 1964 tapi baru
tahun 1975 baru dicoba dibidang urologi untuk mengablasi tumor buli superficial
(Hoffstetter). Pc Phee menulis mengenai penggunaan YAG laser untuk photo irradiasi
segmental pada mukosa buli.
YAG laser ini mempunyai panjang gelombang yang cocok untuk pengobatan prostat
oleh karena mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Mula-mula laser untuk prostat ini
hanya dipakai untuk pengobatan tambahan setelah TUR P pada ca prostat, yang biasanya
diberikan 3 minggu setelah TUR P (Shanberg 1985, Mc Nicholas 1990).
Kemudian Shenberg mengajukan pemakaian Nd YAG ini untuk melaser prostat pada
penderita yang tidak dapat mentoleransi perdarahan apabila dilakukan TUR. Roth dan Aretz
(1991) menjadi pelopor penggunaan laser Transuretral Ultrasound Guided Laser Induced
Prostatectomy (TULIP), yang dibimbing dengan pemakaian USG untuk dapat menembak
prostat yang disempurnakan dengan menggunakan alat pembelok (deflektor) sinar laser
dengan sudut 90 derajat sehingga sinar laser dapat diarahkan ke arah kelenjar prostat yang
membesar.
Nd YAG mempunyai panjang gelombang 1064 nm sehingga gelombang ini tidak
banyak diserap oleh air seperti laser CO2 dan mempunyai sifat divergensi tetapi masih
mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Apabila laser Nd YAG ini mengenai jaringan
prostat energinya akan berubah menjadi energi termal yang dapat menguapkan jaringan
dengan Nd YAG tanpa kontak dengan jaringan mempunyai efek laser maksimal pada
kedalaman 3mm dibawa mukosa dan efek termal dapat mencapai 100°C sehingga pada
kekuatan 40 – 60 watts akan menyebabkan koagulasi pada kedalaman 3mm sehingga akan
terjadi letusan kecil yang disebut “pop corn effect”. Nd YAG ini aman untuk pengobatan
prostat oleh karena pembuluh darah yang agak besar dan pembuluh darah pada kapsul prostat
akan menjadi penahan panas (heat sink) sehingga tidak akan terjadi penjalaran panas keluar
dari prostat.
Tahun 1989 Johnson menemukan alat pembelok Nd YAG sehingga sinar laser
tersebut dapat dibelokkan 90° dengan menggunakan pembelok dari emas yang ditempelkan
diujung serat laser, sehingga sinar laser dapat diarahkan ke jaringan prostat dari dalam uretra.
Dengan alat pembelok ini 92% dari energi laser masih dapat mencapai jaringan preostat.
Costello (1992) mempelopori penggunaan laser ini utnuk ablasi pembesaran prostat jinak
menggunakan laser yang dibelokkan 90° melalui sistoskopi.
Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk masing-
masing lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu ablasi akan
ditemukan pop corn effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada permukaan
prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera akan menjadi lebih lebar, yang kemudian
masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang kan menyebabkan “laser nekrosis” lebih dalam
setelah 4-24 minggu sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat
menyerupai rongga yang terjadi sehabis TUR.
Keuntungan bedah laser ialah :
1. Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi retensi akibat
bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi
2. Teknik lebih sederhana
3. Waktu operasi lebih cepat
4. Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat
5. Tidak memerlukan terapi antikoagulan
6. Resiko impotensi tidak ada
7. Resiko ejakulasi retrograd minimal
Kerugian :
Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional)

DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC, 1997.
Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat, Majalah Kedokteran
Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI, 1998.
Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama, Jakarta :
Binarupa Aksara, 1995.
Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta : EGC,
1994.
Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta : EGC, 1997.
Rahardja K, Tan Hoan Tjay. Obat - Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek – Efek
Sampingnya edisi V, Jakarta : Gramedia, 2002.
Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan, Jakarta :
Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo, 1993.
Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK UNDIP.
Nasution I. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), Semarang :
Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.
Soebadi D.M. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH, Surabaya : SMF/Lab. Urologi RSUD Dr.
Soetomo-FK Universitas Airlangga, 2002.
Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar – Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000.
Anonim. Kumpilan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina, 1997.
Hugh. A.F. Dudley. Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th edition, Gadjah Mada
University Press, 1992.
Mansjuoer Akan, Suprohaita, Wardhani W.I, Setiowulan W., Kapita Selekta Kedokteran, 3rd
edition,Jakarta : Media Aesculapius FK-UI, 2000

ppni-klaten.com/index.php?view...catid...64%3Abph => pdf


http://ortotik-prostetik.freetzi.com/media.php?module=detailberita&id=356
Kee, Joyce Lefever. 2005. Laboratory and Diagnostic Tests with Nursing Implications. New
Jersey: Pearson Education Inc.

You might also like