You are on page 1of 108

NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tonggak sejarah baru ketatanegaraan Indonesia sejak

dihembuskannya reformasi pada tahun 1998 telah mengubah secara

mendasar Sistem Ketatangaraan Indonesia. Tuntutan reformasi agar

terwujud demokratisasi dan supremasi hukum, oleh karena

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang terjadi sepanjang

rejim orde lama dan orde baru telah menyadarkan untuk

mengembalikan kedaulatan kepada rakyat.

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 mengamanatkan bahwa susunan Negara Republik

Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam

pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh

hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.1

1Penjelasan Umum UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD,
dan DPRD.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
1
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Negara Indonesia dipahami sebagai perwujudan kehendak

kolektif bangsa, karena itu kehendak setiap individu rakyat itu harus

disalurkan dengan sebaik-baiknya melalui prosedur demokrasi yang

bersifat langsung melalui sistem perwakilan. Secara tidak langsung,

system perwakilan dapat disalurkan melalui berbagai instrument

antara lain dengan melalui partai politik2 dan lembaga perwakilan

rakyat (DPR dan DPD); melalui fungsi perwakilan perorangan daerah-

daerah yang setelah perubahan UUD 1945 di Indonesia dilakukan oleh

DPD sesuai dengan prinsip-prinsip perwakilan daerah (regional

representation); dan melalui perwakilan golongan fungsional di luar

kerangka partai politik atau perwakilan daerah.

Dengan melalui prosedur seperti yang dikemukakan diatas,

setiap warga Negara diharapkan dapat berperan aktif sebagai bagian

dari partisipasi politik masyarakat (political participation) secara tidak

2Berbagai pendapat mengemuka terkait dengan fungsi Partai Politik itu sendiri, seperti G.B. de
Huszar, T.A. Stevenson dan Maurice Duverger. Namun pada pokoknya ada 6 fungsi utama, yaitu :
Komunikasi Politik dan Penyaluran Aspirasi, Pendidikan dan Pemasyarakatan Politik kepada
Rakyat, Membina Calon-Calon Pemimpin yang mengutamakan Kepentingan Umum,
Penanggulangan konflik melalui cara-cara damai, melaksanakan pemerintahan (jika menjadi
pemenag pemilu), dan mengawasi pelaksanaan tugas-tugas pemerintah.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
2
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

langsung dalam setiap pengambilan keputusan kenegaraan dan

pemerintahan. Disamping melalui mekanisme tidak langsung tersebut,

partisipasi rakyat diatur pula melalui mekanisme yang sifatnya

langsung dan terbuka. Pemilu yang diadakan setiap lima tahun sekali

untuk memilih wakil rakyat dan Presiden adalah sarana partisipasi

rakyat secara langsung.

Dengan formula baru kedaulatan rakyat maka memberikan

pembenaran pelaksanaan kekuasaan legislative berada di tangan DPR.

Jika kedaulatan dalam hal membuat undang-undang berada di DPR

maka pilihan system perwakilan dalam kaitan dengan system

pemerintahan menjadi sangat penting artinya bagi penataan format

baru di bidang perundang-undangan. Perubahan dari system

unicameral menjadi system bicameral seharusnya dapat menyelesaikan

kelemahan system pembuatan undang-undang. Namun demikian

mengubah suatu system harus diperhatikan aspek lain yang terkait

terutama menyangkut kepentingan daerah dalam tataran kebijakan

nasional.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
3
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

B. Identifikasi Masalah

Dengan mendasarkan kajian terhadap fungsi, tugas, dan

wewenang masing-masing lembaga perwakilan baik MPR, DPR,

dan DPD serta DPRD dalam UUD 1945 dan UU Nomor 22 Tahun

2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD

terlebih dengan menghubungkan kebutuhan masyarakat dan

daerah bagi penataan hubungan pusat dan daerah yang lebih

dinamis serta akan hadirnya lembaga perwakilan daerah yang

benar-benar dapat mengakomodasi aspirasi masyarakat dan daerah,

maka beberapa masalah yang mengemuka dapat diidentifikasi

sebagai berikut :

1. Pasal-pasal dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan

dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD pada dasarnya

sudah menjabarkan gagasan normatif dan filosofis Susunan

dan Kedudukan DPD sesuai dengan semangat yang

terkandung dalam UUD 1945 tetapi perumusannya belum

sempurna, karena itu perlu disempurnakan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
4
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

2. Prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan normatif dan filosofis

yang terdapat dalam UUD 1945 belum diatur dan dijabarkan

oleh UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan

Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, oleh karena itu perlu

ditambah dan dilengkapi.

3. Perlu mempertegas kedudukan DPRD dalam kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Desain desentralisasi secara

teoritis tidak mengenal lembaga legislatif di tingkat daerah

maka perlu mendudukan kembali kedudukan DPRD sesuai

dengan ketentuan Pasal 18 UUD 1945.

Dalam rangka membahas dan menyempurnakan ketentuan-

ketentuan dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan

Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, perlu pendekatan secara

sistematis, komprehensif dengan visi yang jelas untuk

mendudukkan kembali peran DPD dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia serta dalam kerangka menciptakan sistem hukum

nasional yang lebih bertitik tolak pada kebutuhan masyarakat dan

daerah.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
5
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
6
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

C. Metode

Metode pengkajian yang dilakukan adalah metode komprehensif

dalam arti pengkajian menyeluruh, terpadu, dengan

memperhatikan pengaturan dalam UU Nomor 22 Tahun 2003

tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD

dengan hakekat yang termaktub dalam UUD 1945 serta kondisi

teroritik dan praktis.

C.1. Pendekatan

Dalam melakukan pengkajian komprehensif terhadap

materi perubahan UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan

dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD digunakan

pendekatan filosofis, historis, sosiologis, politis, yuridis, dan

komparatif.

C.2 Tahapan Pengkajian

(1) Menelaah rumusan yang tertuang dalam UU Nomor 22

Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
7
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

DPD, dan DPRD serta melakukan kajian terhadap

substansi Pasal-Pasal dalam UUD 1945;

(2) Mempelajari teori-teori mengenai sistem perwakilan yang

ditetapkan dalam konstitusi berbagai negara;

(3) Melakukan penyerapan aspirasi masyarakat untuk

mengetahui bagaimana pendapat masyarakat tentang

Kedudukan DPD serta substansi yang diusulkan;

(4) Berdasarkan kajian teoritis dan aspirasi masyarakat

tersebut dilakukan penyempurnaan terhadap hasil

perubahan UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan

dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

D. Sistematika

Secara keseluruhan, sistematika naskah akademis Rancangan

Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwkilan Rakyat, dan Dewan

Perwakilan Daerah memuat sistematika sebagai berikut.

1. Pendahuluan, berisikan latar belakang masalah;

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
8
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

2. Sistem Perwakilan di Indonesia;

Bagian ini mencakup:

- Konteks Studi dan Analisa;

- Perbandingan Badan Legislatif Bikameral Negara Lain; dan

- Desain Sistem Perwakilan di Indonesia

3. Critical Review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang


Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD;

Bagian ini mencakup:

- Tingkat substansi undang-undang

- Tingkat Pelaksanaan dan Mekanisme Kerja

4. Materi Muatan RUU

Bagian ini mencakup:

- Konstruksi Kelembagaan dan Hubungan Pusat-Daerah

- Konteks Kelembagaan dan Pendukung

5. Penutup.

Berisikan kesimpulan dan saran.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
9
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

BAB II
SISTEM PERWAKILAN DI INDONESIA

A. Konteks Studi dan Analisa

Sejak reformasi politik bergulir di Indonesia tahun 1998, salah

satunya dengan melakukan perubahan (amandemen) konstitusi.3

Restrukturisasi MPR dan lembaga legislatif berhasil dilakukan

pada tahun 20024 untuk diwujudkan sesudah pemilu 2004.

Namun beberapa faktor telah melambatkan proses restrukturisasi

itu sendiri, seperti keinginan memegang teguh nilai-nilai yang

tertuang dalam konstitusi dan lembaga asli, kesulitan dalam

merumuskan bentuk parlemen Indonesia sesungguhnya terutama

dengan adanya lembaga perwakilan baru yaitu Dewan Perwakilan

Daerah (DPD), serta penataan implikasi dari restrukturisasi

3 Kajian tentang perubahan konstitusi merupakan salah satu bagian penting dari kajian tentang
konstitusi. Dalam kajian tentang perubahan konstitusi dikemukakan teori dan asas – asas sebagai
dasar dalam pelaksanaan perubahan konstitusi dan yang akan menentukan keabsahan perubahan
konstitusi. Secara yuridik, perubahan konstitusi dapat dilakukan apabila dalam konstitusi itu telah
ditetapkan tentang syarat dan prosedur perubahan konstitusi. Perubahan konstitusi yang
ditetapkan dalam konstitusi disebut perubahan secara formal (formal amendment). Di samping itu,
perubahan konstitusi dapat dilakukan melalui cara tidak formal yaitu oleh kekuatan – kekuatan
yang bersifat primer (some primary forces), penafsiran oleh pengadilan (judicial interpretation) dan
oleh kebiasaan dalam bidang ketatanegaraan (usages and conventions). Beberapa ahli yang
membahas hal ini antara lain, C.F. Strong, K.C. Where, dan Sri Soemantri.
4 Melalui Amandemen ke-4 UUD 1945, terutama Pasal 2 ayat (1) UUD 1945.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
10
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

lembaga-lembaga Negara pasca perubahan UUD 1945 terutama

lembaga-lembaga Negara yang baru dibentuk.

Idealnya restrukturisasi dan rekontruksi lembaga perwakilan

dilakukan dengan memperjelas jenis parlemen dalam tipologi

unikameral atau bikameral. Tetapi desain dan penataan lembaga

perwakilan ini sudah bermasalah sejak awal karena yang

dihasilkan adalah hubungan lembaga perwakilan yang tidak jelas,

baik menyangkut MPR, DPR maupun DPD.

Desain perwakilan ini oleh beberapa pakar dinyatakan

berbeda-beda, Jimly Assidiqie5 misalnya menyebut sebagai soft

bicameralism sedangkan Komisi Konstitusi6 menyatakan sebagai

pola parlemen yang asimetrik. Gagasan soft bicameralism menurut

Jimly Assidiqie sebenarnya juga tidak begitu kentara oleh karena

beberapa hal seperti :

5 Jimly Assidiqie “Organ Negara dan Pemisahan Kekuasaan” dalam “Konstitusi dan
Konstitusiolisme Indonesia”. MKRI dan Pusat Studi HTN FH UI, 2004, hal.150.
6 Komisi Konstitusi “Kajian Terhadap Perubahan Undang-Undang Dasar 1945”.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
11
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

1. DPD sama sekali tidak diberi kewenangan legislatif karena

DPD tidak mempunyai hak untuk ikut dalam pengambilan

keputusan.

2. Keanggotaan MPR merupakan keanggotaan perorangan

bukan kelembagaan.

3. MPR mempunyai kewenangan-kewenangan sendiri dan

Pimpinan sendiri sehingga merupakan institusi tersendiri

dengan demikian, struktur Parlemen Indonesia menjadi

tricameralism (tiga kamar).7

Sedangkan disebut Asimetrik karena sistem pemilihan,

jumlah anggota, wewenang masing-masing lembaga, mekanisme

pengambilan putusan dan hubungan interkameral pada

umumnya. Akibatnya, pelembagaan perwakilan daerah (spatial

representation), baik pada tingkat UUD maupun dalam teknis

hubungan antarlembaga seperti yang tergambar dalam UU No. 22

Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD terutama

dilandasi adanya pembentukan DPD yang tidak setara.

7 Jimly Assidiqie op.cit

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
12
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Terkait dengan pembentukan DPD, Perubahan UUD 1945

memang telah meletakan gagasan tentang kehadiran lembaga

perwakilan ini, pertama, gagasan mengubah sistem perwakilan

menjadi sistem dua kamar (bikameral). DPD dan DPR

digambarkan serupa dengan sistem perwakilan seperti yang

diberlakukan di Amerika Serikat8 yang terdiri dari Senate sebagai

perwakilan negara bagian (DPD) dan House of Representatives

sebagai perwakilan seluruh rakyat (DPR).9 Kedua, gagasan untuk

meningkatkan keikutsertaan daerah terhadap jalannya politik dan

pengelolaan negara.10

Ide dasar penempatan kedua lembaga tersebut sebagai

lembaga perwakilan juga didasarkan pada konteks pemisahan

kekuasaan (separation of power). Pemisahan kekuasaan pada

dasarnya merupakan doktrin pemerintahan yang bertujuan untuk

8 Pasal 1 ayat (1) Konstitusi Amerika Serikat (1787) menyatakan “ All legislative powers herein granted

shall be vested in a Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of
Representatives. Perubahan UUD 1945 memang mendesain system perwakilan menjadi “2 kamar”
namun keduanya tidak setara.
9 Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C,L; 2003, “DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru”, FH UII

Press, hal. 53.


10 Ibid.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
13
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

melindungi kebebasan dan memfasilitasi pemerintahan yang baik

(good governance).11

Karena itu pemisahan kekuasaan, dapat dipahami sebagai

doktrin konstitusional atau doktrin pembatasan pemerintahan

dengan membagi kekuasaan menjadi cabang kekuasaan legislatif,

eksekutif, dan yudikatif. Tugas kekuasaan legislatif adalah

membuat undang-undang (hukum), kekuasaan eksekutif adalah

menjalankan hukum tersebut, dan kekuasaan yudikatif bertugas

menafsirkan hukum tersebut. 12 Masing-masing cabang kekuasaan

terebut harus saling mengontrol dan mengimbangi satu sama lain

(checks and balances). Dalam kaitan di atas, UUD 1945

menempatkan kekuasaan lembaga-lembaga negara sebagaimana

mestinya. Jalinan konstitusional antarcabang kekuasaan tidak

secara tegas dilaksanakan.

11 Agus Wahyudi, “Doktrin Pemisahan Kekuasaan: Akar Filsafat dan Praktek”, dalam Jentera edisi
8 Tahun III, Maret 2005.
12 Ibid.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
14
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Sebagai gambaran, untuk melaksanakan sistem presidensiil

murni meski UUD 1945 telah menetapkan prinsip-prinsipnya

secara komprehensif:

a) Presiden dipilih secara langsung;

b) Kekuasaan presiden fixed term; dan

c) Presiden berkedudukan sebagai kepala negara (head of

state) sekaligus sebagai kepala pemerintahan (chief

executive);

Namun pada kenyataannya tidak diimbangi mekanisme check

and balances dari lembaga legislatif. Penguatan dari sisi legislatif

hanya dalam hal-hal yang berhubungan dengan legislasi (pada

perubahan I UUD 1945 tahun 1999) tetapi tidak menjangkau upaya

mengakomodasi kepentingan daerah yang lebih luas dalam

tataran pengambilan kebijakan nasional. Konsep lembaga

perwakilan (representative institution) sebanarnya adalah lembaga

yang mewakili rakyat dalam melakukan fungsi-fungsinya. Hal ini

didasari karena adanya tujuan dari negara untuk menjalankan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
15
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

ketertiban dan keamanan serta mewujudkan keadilan dan

kemakmuran bagi warga negaranya.

Dengan kehadiran DPD seharusnya penguatan lembaga

perwakilan dapat dilakukan secara lebih terpadu dan sistematis.

Namun kenyataannya kehadiran DPD masih belum sempurna,

UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,

DPR, DPD, dan DPRD justru mendudukan DPD dalam porsi yang

semakin kecil.

Kekuasaan kehakiman telah ditempatkan secara independen

dan merdeka, seluruh cabang-cabang kehakiman ditempatkan

dibawah Mahkamah Agung dan telah berdiri Mahkamah

Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan judicial review.

Demikianlah, sejumlah perubahan mendasar sebagai hasil

proses perubahan UUD 1945. Sejumlah perubahan ketatanegaraan

tersebut dapat disaksikan sebagai prinsip pengejawantahan

kedaulatan rakyat dan pemisahan kekuasaan dengan cara

memisahkan kekuasaan MPR. Jika sebelumnya MPR ditempatkan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
16
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

sebagai penjelmaan seluruh rakyat dan sebagai lembaga tertinggi

negara dengan kekuasaan tidak terbatas sehingga kekuasaan

rakyat akhirnya dibagi-bagikan secara vertikal kedalam lembaga-

lembaga tinggi negara dibawahnya (vertical hierarkie). Pada saat ini

MPR ditempatkan sederajat dengan lembaga-lembaga negara yang

lain. Kekuasaan tertinggi berada di dalam UUD yang diserahkan

kepada lembaga-lembaga negara menurut fungsi-fungsinya

(horizontal functional).

Sejalan dengan perubahan yang mendasar tersebut, struktur

kelembagaan parlemen di Indonesia juga mengalami perubahan,

meski demikian sejumlah permasalahan yang melingkupinya

terutama terkait pelaksanaannya dalam UU Nomor 22 Tahun 2003

tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Desain sistem pewakilan di Indonesia tersebut, jika dianalisa

lebih lanjut merupakan kebutuhan untuk mengakomodasi

perkembangan demokrasi di tanah air. Secara teoritis, konteks

lembaga perwakilan dimulai dari perkembangan masyarakat yang

makin maju. Pengelompokan masyarakat makin besar, dengan


Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
17
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

demikian diperlukan sebuah organisasi masyarakat untuk

melindungi dan mengatur.

Filsuf Islam Ibnu Khaldun13 menyatakan bahwa adanya

organisasi kemasyarakatan (ijtima’i wal insani) adalah sebuah

keharusan. Pendapat ini kemudian diikuti oleh filsuf dan ahli

hukum Islam (al hukama) dengan adagiumnya yang terkenal ”al

insanu madaniyyun’ biath-thab’i” (manusia bersifat politis menurut

tabiatnya).

Sementara Aristoteles menyebut bahwa perkumpulan

masyarakat yang nantinya menjadi negara itu merupakan suatu

persekutuan hidup secara politis, atau disebut he koinona politika14.

Sejalan dengan pemikiran awal Aristoles tersebut pada

perkembangan kondisi politik Eropa pada masa itu telah

melahirkan beberapa pemikir terkenal, beberapa diantaranya

antara lain Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau15. Meski

sebenarnya terdapat perbedaan prinsipil dari ketiganya. Utrecht

13 Ibnu Khaldun, “Mukaddimah” Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hal.71.


14 Drs. Teuku May Rudy, SH, MA, MIK “Pengantar Ilmu Politik”, Eresco – Bandung, 1993, hal.30.
15 Lihat dalam Miriam Budiardjo “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Gramedia, Jakarta, 1999.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
18
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

mengatakan bahwa banyak hal yang membedakannya pemikiran

awal Aristoteles tersebut dengan beberapa pemikiran tokoh-tokoh

diatas, pada jaman Aristoteles konsep negara sangat sederhana

(Polis), sedangkan perkembangan pemikiran pada jaman Eropa

pertengahan lebih didasarkan perkembangan masyarakat pada

masa itu yang sedang menggeliat ke arah demokrasi. Locke

misalnya menjamin negara kerajaan konstitusional harus

memberikan jaminan mengenai hak-hak dan kebebasan pada

manusia (life, liberty, healthy, and property). Rousseau bahwa negara

bersifat perwakilan rakyat dan selayaknya negara demokrasi maka

rakyat lah yang berdaulat. Agak beda dengan 2 pendapat tersebut,

Hobbes menyakini bahwa negara harus absolut (tidak terbatas).

Perjanjian yang dilakukan berarti penyerahan secara absolut hak

rakyat kepada negara16

Pemikiran diatas, sedikit banyak telah melahirkan pandangan

dasar mengenai demokratisasi negara. Konsep ini sejalan dengan

perkembangan sosial-budaya masyarakat yang pada akhirnya


16Solly Lubis “Ilmu Negara” Manda Maju – Bandung 1989, hal.35. Konsep pengakuan hak rakyat
tersebut melahirkan non derogable rights.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
19
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

melahirkan teori demokrasi representatif17. Karena pada saat ini

tidak mungkin semua rakyat berkumpul untuk menentukan

keinginannya setiap saat. Direct democracy yang digunakan

sebagai bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat

keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh

seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur-

prosedur mayoritas, karena faktor populasi penduduk yang tidak

memungkinkan dilakukan pada satu tempat dan pada suatu saat,

sehingga harus dicari pemecahan masalahnya maka muncullah

konsep demokrasi Perwakilan Rakyat atau yang sering lebih

disebut sebagai Demokrasi Representatif yang hampir dilakukan

disetiap negara modern pada saat ini.

Meski perkembangan demokrasi representatif ini

mengalami perkembangan yang panjang mulai dari konsep

Yunani Kuno hingga ke jaman Romawi kuno. Peradaban Romawi

yang membuat suatu konsep baru yaitu Senat sebagai perwakilan

17.Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, h. 70

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
20
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

yang berfungsi sebagai pengawas dan Caesar sebagai pemegang

kekuasaan eksekutif dan perwakilan rakyat dibidang

pemerintahan. Konsep dan imbas peradaban romawi ini menjalar

ke seantero Eropa dengan munculnya negara-negara monarki

yang menjadikan satu orang (raja) sebagai pusat dari

pemerintahan. Pola penyerahan kewenangan mengatasnamakan

rakyat dari rakyat ke lembaga negara ini lebih merupakan konsep

monarki absolut karena lembaga negara mempunyai otoritas

untuk memerintah rakyat.18

Menurut Robert Paul Wolf peran lembaga negara yang

mengatasnamakan negara itu, diartikan sebagai ”suatu kelompok

orang yang mempunyai otoritas tertinggi dalam wilayah tertentu

terhadap penduduk tertentu“.19

Kekuasaan yang besar diberikan oleh Negara menjadi

masalah jika ternyata tidak digunakan sebagai sarana

18 Banding pandangan kaum Marxis terhadap Negara. Kaum Marxis menganggap bahwa Negara
adalah alat penguasa. Tentang Negara, Kekuasaan, dan ideology lihat dalam Arif Budiman, “Teori
Negara; Negara, Kekuasaan, dan Ideologi”. Gramedia pustaka Utama Jakarta 2002.
19 Carol C.Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1993, h.229

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
21
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

mensejahterakan masyarakat dan bagaimana kekuasaan tersebut

dapat dikoreksi? Kekuasaan Negara sudah terlanjur besar

sedangkan kekuatan masyarakat sangat kecil. Karena itu, harus

ada kekuatan besar yang merupakan representasi rakyat dalam

mengontrol Negara. Pada perkembangannya muncullah teori-teori

kedaulatan yang mencoba merumuskan siapa dan apakah yang

berdaulat dalam suatu negara.20

Menurut Harold J. Laski bahwa:

“the modern state is a sovereign state. It is, therefore,


independent in the face of other communities. It may infuse its
will towards them with a substance which need not be affected by
the will of any external power. It is, moreover, internally supreme
over the territory that it control”21.

Dalam anggapan Laski maka kedaulatan merupakan suatu

keharusan yang dimiliki oleh negara yang ingin independen atau

merdeka dalam menjalankan kehendak rakyat yang dipimpinnya.

20Ibid, h 154
21Harold J Laski, A Grammar Of Politics, George Allen & Unwin LTD, London ,1938 h. 44. secara
bebas dapat diterjemahkan sebagai berikut Negara modern adalah negara yang mempunyai
kedaulatan. Hal ini untuk independen dalam menghadapi komunitas lain. Dan akan
mempengaruhi substansi yang akan diperlukan dalam kekuasaan internal dan kekuasaan
eksternal. Hal ini lebih jauh merupakan kekuasaan yang tertinggi atas wilayahnya.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
22
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Sehingga kedaulatan merupakan hal yang mempengaruhi seluruh

kehidupan bernegara.

Hal ini senada seperti ungkapan Jean Bodin yang dikenal

sebagai bapak teori kedaulatan yang merumuskan bahwa:

“Suatu keharusan tertinggi dalam suatu negara, dimana kedaulatan


dimiliki oleh negara dan merupakan ciri utama yang membedakan
organisasi negara dari organisasi yang lain di dalam negara. Karena
kedaulatan adalah wewenang tertinggi yang tidak dibatasi oleh hukum
dari pada penguasa atas warga negara dia dan orang-orang lain dalam
wilayahnya”.22
Pada perkembangan berikutnya prinsip-prinsip kedaulatan

tersebut dirumuskan secara berbeda-beda disesuaikan dengan

konsep negara dan pemerintahan yang berlaku. Setidaknya

terdapat 5 (lima) bentuk kedaulatan yang dapat dijumpai, yaitu:

1. Kedaulatan Tuhan;

2. Kedaulatan Raja;

3. Kedaulatan Rakyat;

4. Kedaulatan Negara; dan

5. Kedaulatan Hukum.

1. Kedaulatan Tuhan

22 Padmo Wahjono, Ilmu Negara, Ind Hill Co, Jakarta, 1996 hal. 153

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
23
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Teori kedaulatan Tuhan dimana kekuasaan yang tertinggi ada

pada Tuhan jadi titik berat faham kedaulatan ini didasarkan

pada agama. Teori-teori teokrasi ini dijumpai, bukan saja di

dunia barat tapi juga di timur. Dikatakan bahwa kekuasaaan

trtinggi ada pada Tuhan, Negara merupakan ciptaan Tuhan

dan raja adalah wakil di dunia. Apabila pemerintah negara itu

berbentuk kerajaan (monarki) maka dinasti yang memerintah

disana dianggap turunan dan mendapat kekuasaannya dari

Tuhan. Misalnya jika Tenno Heika di Jepang dianggap

berkuasa sebagai turunan dari Dewa matahari.23

2. Kedaulatan Raja

Teori kedaulatan menyatakan bahwa kekuasaan yang

tertinggi ada pada raja dan kekuasaan mutlak pada raja/satu

penguasa24 maka muncul menjadi negara adalah raja. L’etat

cest moi yang diungkapkan oleh Louis XVI yang menjadi

sumbu pemicu dari pergerakan Revolusi Perancis.

23 M. Solly Lubis, Op.Cit, h. 41

24 Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 2, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2003, h.59

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
24
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

3. Kedaulatan Rakyat

Teori ini lahir dari reaksi pada kedaulatan raja. Yang menjadi

bapak dari ajaran ini adalah JJ. Rousseau yang pada akhirnya

teori ini menjadi inspirasi Revolusi Perancis25. Teori ini

menjadi inspirasi banyak negara termasuk Amerika Serikat

dan Indonesia, dan dapat disimpulkan bahwa trend dan

simbol abad 20 adalah tentang kedaulatan rakyat.

Menurut teori ini, rakyatlah yang berdaulat dan mewakilkan

atau menyerahkan kekuasaannya kepada negara. Kemudian

negara memecah menjadi beberapa kekuasaan yang diberikan

pada pemerintah, ataupun lembaga perwakilan. Tetapi karena

pada saat dilahirkan teori ini banyak negara yang masih

menganut sistem monarki, maka yang berkuasa adalah raja

atau pemerintah. Bilamana pemerintah ini melaksanakan

tugasnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat

akan bertindak mengganti pemerintah itu. Kedaulatan rakyat

ini, didasarkan pada kehendak umum yang disebut “ volonte

25 Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1980, h.121

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
25
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

generale” oleh Rousseau.26 Apabila Raja memerintah hanya

sebagai wakil, sedangkan kedaulatan penuh ditangan rakyat

dan tidak dapat dibagikan kepada pemerintah itu.

4. Kedaulatan Negara

Teori ini juga sebagai reaksi dari kedaulatan rakyat, tetapi

melangsungkan teori kedaulatan raja dalam suasana

kedaulatan rakyat. Menurut paham ini, Negaralah sumber

dalam negara. Dari itu negara (dalam arti

government=pemerintah) dianggap mempunyai hak yang

tidak terbatas terhadap life, liberty dan property dari warganya.

Warga negara bersama-sama hak miliknya tersebut, dapat

dikerahkan untuk kepentingan kebesaran negara. Mereka taat

kepada hukum tidak karena suatu perjanjian tapi karena itu

adalah kehendak negara.

Hal ini terutama diajarkan oleh madzhab Deutsche Publizisten

Schule, yang memberikan konstruksi pada kekuasaan raja

Jerman yang mutlak, pada suasana teori kedaulatan rakyat.

26 Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Mizan, Jakarta, 1999, h.162

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
26
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Kuatnya kedudukan raja karena mendapat dukungan yang

besar dari 3 golongan yaitu:

1. Armee (angkatan perang);

2. Junkertum (golongan idustrialis); dan

3. Golongan Birokrasi ( staf pegawai negara).

Dengan demikian praktis rakyat tidak mempunyai

kewenangan apa-apa dan tidak memiliki kedaulatan. Tetapi

wewenang tertinggi tersebut berada pada negara. Sebenarnya

negara hanyalah alat, bukan yang memiliki kedaulatan. Jadi

ajaran kedaulatan negara ini adalah penjelamaan baru dari

kedaulatan raja. Karena pelaksanaan kedaulatan adalah

negara, dan negara adalah abstrak maka kedaulatan ada pada

raja.27

5. Teori Kedaulatan Hukum

Teori kedaulatan hukum timbul sebagai penyangkalan

terhadap teori kedaulatan negara dan dikemukan oleh

Krabbe. Teori ini menunjukkan kekuasaan yang tertinggi

27 Padmo Wahjono, Op.Cit, h, 156

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
27
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

tidak terletak pada raja (teori kedaulatan raja) juga tidak pada

negara (teori kedaulatan negara). Tetapi berada pada hukum

yang bersumber pada kesadaran hukum pada setiap orang.28

Menurut teori ini, hukum adalah pernyataan penilaian yang

terbit dari kesadaran hukum manusia. Dan hukum

merupakan sumber kedaulatan. Kesadaran hukum inilah

yang membedakan mana yang adil dan mana yang tidak

adil.29

Teori ini dipakai oleh Indonesia dengan mengubah Undang-

Undang Dasarnya, dari konsep kedaulatan rakyat yang

diwakilkan menjadi kedaulatan hukum. Kedaulatan hukum

tercantum dalam UUD 1945 “Kedaulatan ada ditangan rakyat

dan dilaksanakan oleh Undang-Undang Dasar30.

Pada tingkat implementasi, muncullah berbagai teori tentang

bagaimana seharusnya dalam menjalankan kedaulatan. Faham ini

28 Ibid, h.156

29 M.Solly Lubis, Op, Cit, h. 41


30 Indonesia, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, pasal 1 ayat (2).

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
28
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

akhirnya pada jaman modern ini banyak dianut oleh banyak

negara. Faham yang sering dianggap lebih demokratis didasarkan

pada pemerintahan yang berdasarkan rakyat. Faham demokrasi

ini kemudian berkembang atas 2 teori, yaitu : 31

1. Teori Demokrasi Langsung (direct democracy) dimana

kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dalam

arti rakyat sendirilah yang melaksanakan kekuasaan

tertinggi yang dimilikinya.

2. Teori Demokrasi tidak langsung (representative democracy).

Representasi disini sangat diperlukan bagi eksistensi

otoritas politik di samping beberapa hal pokok lainnya.

Bagi para ahli politik tentang kekuasaan, faham ini sangat

tergantung pada beberapa tuntutan lain dan biasanya

berhubungan dengan konstitusionalisme: pembatasan

kekuasaan pemerintah dan kebebasan politik warga

negara.32

31 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, h. 70

32 April Carter, Otoritas Dan Demokrasi, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, h. 65

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
29
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Berangkat dari teori Rosseau mengenai Demokrasi

Perwakilan. Menurut Rousseau maka rakyatlah yang berdaulat

dan kemudian mewakili kedaulatannya kepada suatu lembaga

yaitu pemerintah (siapa yang memerintah untuk menjalankan

kedaulatan tersebut). Konsep demokrasi rakyat seperti ini menjadi

suatu hal yang diminati pada saat Renaissance33, dan menjadi

konsep yang sering dipakai pada saat ini.

Kemudian perkembangan lembaga perwakilan di duniapun

menjadi beragam dan berkembang. Hal ini sesuai dengan tuntutan

zaman dan dilekatkan pada kekuasaan membuat undang-

undang.34

Akan tetapi hal ini membawa kekhawatiran tentang

kekuasaan yang diberikan kepada satu lembaga. Seperti yang

dikatakan oleh Montesquieu:

33 Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kepada kesusasteraan dan
kebudayaan Yunani Kuno yang selama Abad Pertengahan telah disisihkan. Aliran ini
membelokkan perhatianyang tadinya semata-mata diarahkan kepada tulisan-tulisan keagamaan ke
arah soal-soal keduniawian dan mengakibatkan timbulnya pandangan-pandangan baru.
34 AV, Dicey, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Mc. Millan Education LTD,

London, 1959, h. lxi.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
30
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

“When the legislative and executive powers are united in the same
persons or body, there can be no liberty, because apprehensions may arise
lest the same monarch or senate should enact tyrannnical laws, to enforce
them in tyrannical manner.....Were the power of judging joined with the
legislature, the life and liberty of the subject would then be exposed to
arbitrary control, for the judge would then be the legislator. Were it
joined to the executive power, the judge might behave with all the
violence of an opressor”.35

Pada perkembangannya, konsep lembaga perwakilan menjadi

beragam sesuai dengan perkmbangan sosial politik yang terjadi di

masyarakat. Namun demikian, tugas dan wewenang dari lembaga

perwakilan tersebut dapat dikelompokkan menjadi:

1. Sebagai lembaga perwakilan rakyat yang mengawasi jalannya

pemerintahan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan

eksekutif agar kekuasaan pemerintah tidak menindas rakyat

sehingga kekuasaan tidak dijalankan secara sewenang-

wenang.36

35 Harold J Laski, A Grammar Of Politics, George Allen & Unwin LTd, London, 1938. h. 297. secara
bebas dapat diterjemahkan: “Ketika kekuasaan legislatif dan eksekutif bersatu dalam satu orang atau
lembaga, berarti kemungkinan akan tidak ada kebebasan, karena kesanggupan akan muncul dengan membuat
perundang-undangan yang tiran dan dilakukan oleh pemerintahan monarki atau senat, dan lembaga tersebut
akan berbuat tirani..... Dan ketika kekuasaan mengadili bersatu dengan legislatif, maka kehidupan dan
kebebasan dari pengadilan tersebut akan kemudian terkena kontrol yang sepihak dimana hakim tersebut
menjadi legislatif. Dan ketika kekuasaan mengadili digabung dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim
mungkin akan bertindak dengan segala kekerasan sebagai penindas”.
36 Lawrence Dood, Coalitions in Parliamentary Government, Princeton University Press, New Jersey,

1976, h.16

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
31
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

2. Sebagai pemegang kekuasaan legislatif untuk menjalankan

keinginan rakyat. Dan diinterprestasikan dalam undang-

undang dan juga sebagai pembuat Undang-Undang Dasar

(supreme legislative body of some nations)37.

B. Perbandingan Badan Legislatif Bikameral Negara Lain38

Secara teoritik dapat dikatakan bahwa dalam sebuah negara

yang demoratis setiap warga negara dan unit-unit politik harus

diwakili dan terwakili. Badan-badan perwakilan tersebut lazim

disebut parlemen. Salah satu isu yang paling fundamental adalah

penentuan berapa jumlah “kamar” dalam parlemen tersebut dan

bagaimana proses pengambilan putusan serta proses legislasi yang

diemban oleh parlemen tersebut.39 “Kamar-kamar” dalam

37Bryan A Garner (ed in chief), Black’s Law Dictionary , sevent edition,West Group, St Paul, Minn,
1999

38NDI pernah melakukan penelitian khusus mengenai hal ini.


39Lihat pada Pendahuluan yang ditulis oleh Samuel C. Patterson dalam ”Senate, Bicameralism in The
Comtempory World”, Ohio State University, USA, hal. 1.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
32
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Parlemen tersebut dapat berjumlah “satu”, “dua”, “tiga”, atau

“empat”.40

Desain parlemen, pada dewasa ini cenderung ke arah Badan

Legislatif yang terdiri atas dua majelis, yang biasanya susunannya

menjadi majelis rendah (dengan berbagai nama seperti House of

Representatives, House of Commons, Chamber of Deputies, Federal

Assembly, dan sebagainya) dan Mejelis Tinggi (dengan berbagai

nama seperti Senate, House of Lord dan sebagainya).41

Dari pengamatan menyeluruh, terdapat sejumlah konteks

perkembangan dan kebutuhan politik yang melatari gejala

tumbuh suburnya sistem bikameral tersebut. Secara umum, hal itu

terkait dengan tuntutan perwakilan wilayah (daerah otonom atau

negara bagian) di panggung kekuasaan nasional (model Amerika

Serikat) dari pada karena motif untuk melestarikan privelese politik

dari suatu kelas sosial tertentu (model Inggris) yang semakin

40 Parlemen satu kamar (unicameral), dua kamar (bicameral), tiga kamar (threecameral), dan empat
kamar (tetracameral).
41 Mengenai macam-macam bicameralism, lihat “Parliament and Congresses, Concentration Versus

Division of Legislative Power” dalam Arend Lijphart, 1999, “Patterns of Democracy”, Chapter 11, Yale
University Press.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
33
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

terasa kurang relevan dalam konteks perubahan sosio-politik

kontemporer. Dalam arus semacam itu, Forum Senat Dunia

(“Forum of the World’s Senate”), di dalam pertemuan

internasionalnya di Paris, 14 Maret 2000, mencatat sejumlah alasan

seperti yang diringkas berikut ini.42

Pertama, menguatnya arus devolusi dan desentralisasi

kekuasaan di banyak negara, yang diikuti tuntutan akan

akomodasi kepentingan mereka lewat perwakilan independen di

level kekuasaan nasional (pusat); kedua, proses demokratisasi dan

konsolidasi yang menuntut keterlibatan semua komponen

kekuatan dalam suatu negara melahirkan kebutuhan akan sistem

parlemen bikameral sebagai formula akomodasi dan faktor kohesif

untuk menjamin suatu stabilitas transisi yang sedang berlangsung;

ketiga, kecenderungan terbentuknya sistem majority-rule dalam

first/lower chamber menuntut kehadiran sistem bikameral sebagai

mekanisme separasi kekuasaan, penyeimbang dan pemecah

oligarki politik yang potensial terbentuk; dan keempat, berbeda dari

42 Institute For Local Government; 2006 “Mengenal DPD-RI Sebuah Gambaran Awal”, hal 11.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
34
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

anggapan umum, sistem bikameral dihadirkan sebagai penjamin

efisiensi dalam proses legislasi lewat fungsinya dalam menguji

setiap proposal kebijakan dan mereview aturan yang dibuat oleh

first/lower chamber.

Perbedaan dalam hal faktor dominan (di antara berbagai

faktor di atas), atau perbedaan dalam perjalanan sejarah dan latar

belakang sosial politik yang lain tentu membuat opsi rancang-

bangun parlemen bikameral (khususnya menyangkut second/upper

chamber) setiap negara sedikit banyak juga berbeda. Untuk melihat

variasi yang ada, dua contoh utama berikut bisa dilihat. Pertama

dari segi struktur kelembagaan, dengan melihat metoda

nominasi/sistem pemilihan anggota second/upper chamber, besaran

jumlah dan masa kekuasaan, dan jenis keterwakilan. Kedua, dari

segi isi kewenangannya sendiri, yakni dengan melihat kesetaraan

maupun kesenjangan kuasa legislatif antara kedua kamar

parlemen dan kekuasaan ekstra-lkegislatif yang dimiliki oleh

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
35
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

second/upper chamber. Secara rinci dapat dijabarkan sebagai

berikut:43

I. Metode nominasi/sistem pemilihan para anggota

second/upper chamber. Terdapat 3 variasi metode pemilihan,

yakni (A) semua anggota dipilih (elected), baik secara

langsung oleh rakyat/direct suffrage (21 negara seperti

Australia, Bolivia, Brazil dan Amerika Serikat), secara tidak

langsung/indirect suffrage oleh otoritas lokal tertentu (16

negara seperti Afrika Selatan, Austria dan Ethiopia oleh

legislatif provinsi, Federasi Rusia oleh badan legislatif dan

eksekutif Negara Bagian dan Gabon oleh perwakilan

otoritas lokal/komune) atau gabungan antara pemilihan

oleh otoritas lokal dan pemilihan oleh rakyat (Spanyol dan

Belgia). (B) metode gabungan, di mana sebagian dipilih

(elected) baik secara langsung oleh rakyat (seperti Chili dan

Italia) maupun tidak langsung melalui institusi politik

43 Ibid, hal 11-20, atau temukan juga dalam “Parliament and Congresses, Concentration Versus Division
of Legislative Power” dalam Arend Lijphart, 1999, “Patterns of Democracy”, Chapter 11, Yale University
Press.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
36
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

tertentu (seperti Algeria, Irlandia dan Kazakhstan) dan

sebagian lainnya diangkat (appointed). Pada umumnya

jumlah bagian yang dipilih lebih banyak dibanding yang

diangkat seperti 114 anggota dipilih dan 96 anggota

diangkat di Algeria , 324 berbanding 315 di Italia, 60

berbanding 49 di Irlandia, dll. (C) semua anggota diangkat

(appointed), terdapat di 14 negara, umumnya terjadi pada

negara-negara transisi demokrasi seperti Yordania dan

Kamboja.

II. Jumlah anggota dan masa jabatan. (A) Secara umum,

jumlah anggota second/upper chamber terbatas dan terbilang

kecil jika dibanding dengan jumlah anggota first/lower

chamber. Di luar Inggris yang jumlah anggota

first/lowerchamber. Di luar Inggris yang jumlah anggota

House of Lords-nya amat besar sebagai kasus khusus, Italia,

India, Spanyol, Jepang, Thailand, Mesir dan Morocco

adalah sedikit contoh negara yang memiliki anggota

second/upper chamber besar, antara 240 sampai 329 orang.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
37
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Sementara mayoritas negara lainnya rata-rata memiliki

anggota sekitar 100 atau bahkan lebih kecil lagi. Di 27

negara yang pada umumnya berpenduduk sedikit atau

wilayah kecil, jumlah anggota senatnya 19 orang atau

kurang; sejumlah sedikit negara memiliki anggota antara

20-50 orang, seperti Filipina (24), Bolivia (27), Uruguay (30),

Paraguay (45), dan Chili (47); 22 negara memiliki jumlah

anggota antara 50-109 seperti Jerman, Belanda, Belgia,

Malaysia, Kamboja, Nepal, dst. (B) Sementara dalam hal

masa jabatan, secara umum adalah sekitar 4 sampai 6 tahun

(terdapat 13 negara bagian dengan masa jabatan 4 tahun, 22

negara dengan masa jabatan 5 tahun, dan 17 negara dengan

masa jabatan 6 tahun), namun 3 negara kurang dari 3 tahun

(Bosnia 2 tahun, Burkina Faso dan Malaysia 3 Tahun) dan 3

negara lainnya sekitar 9 tahun (Perancis, Moroko dan

Liberia).

III. Jenis Keterwakilan. Pada dasarnya, peran yang menjadi

misi keberadaan second/upper chamber adalah perwakilan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
38
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

atas kelompok kekuatan sosial/unit teritorial yang berbeda

dalam masyarakat/negara dan pencarian keseimbangan

politik dalam sistem legislatif secara keseluruhan. Dalam

kerangka itu, sekurang-kurangnya terdapat 3 jenis

keterwakilan, yakni (A) sebagai perwakilan organisasi/

level teritorial pemerintahan, yang terlihat pada National

Council of Provinces di Afrika Selatan, Federation Council di

Rusia, federal Council di Ethiopia yang para anggotanya

dipilih Provincial Council, atau senat di Brazil yang

mewakili negara-negara bagian. (B) sebagai perwakilan

organisasi profesi atau kelompok sosial, seperti para

anggota Chamber of Councillors di Moroko yang

sebagiannya dipilih (sebagiannya lagi oleh otoritas lokal)

dan dipekerjakan oleh badan-badan profesional, senat di

Irlandia yang para anggotanya dinominasi oleh dewan-

dewan lokal dan dipilih oleh berbagai universitas

berdasarkan keanggotaan mereka di suatu lembaga

profesional, dan anggota Chamber of Representatives di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
39
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Burkina Faso yang dipilih oleh serikat pekerja, federasi

perempuan, asosiasi desa dan berbagai kelompok sosial

lainnya. (C) sebagai perwakilan elite tradisional, yang

umumnya terdapat di negara-negara Afrika, di mana para

pemimpin suku atau tokoh adat yang merasa terpinggirkan

sejak masa kemerdekaan menuntut hak perwakilan dalam

parlemen. Senat di Mauritania, Council of Chiefs di

Botswana dan negara-negara lain seperti Libanon

mengakomodasi tuntutan tersebut, dengan bahkan

menciptakan kamar perwakilan tersendiri bagi mereka.

Semuanya ini menyerupai model House of Lords di Inggris.

IV. Bobot kekuasaan legislatif kedua kamar. Kalau dibuat

neraca timbang, bobot kekuasaan legislatif (ihwal inisiatif

legislatif dan kewenangan mengamandemen) antara kedua

kamar (first/lower chamber dan second/upper chamber) di

kebanyakan negara adalah setara, namun senjang di

sebagian kecil lainnya. (A) bobot kekuasaan setara dalam

hal, pertama, inisiatif legislatif, di mana terdapat 33 negara

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
40
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

(seperti Amerika Serikat, Australia, Brazil, dll) yang

memiliki bobot kekuasaan setara secara penuh; dan kedua,

kekuasaan mengamandemen, hampir semua negara

memberikan masing-masing kamar parlemen bobot

otoritas penuh dalam merubah usulan legislasi dari kamar

yang lainnya, kecuali di sedikit negara (Kamboja, Krygstan

dan Belanda) sama sekali tidak memberikan otoritas

tersebut bagi second/upper chamber-nya. (B) bobot kekuasaan

senjang, dengan dua jenis: pertama, kekuasaan terbatas dan

lebih kecil bagi second/upper chamber, terdapat negara-

negara Anglo-Saxon seperti Antiqua, Bahamas, Barbados

dan negara Karibian lainnya dengan adanya restriksi

kewenangan menyangkut legislasi fiskal. Bahkan pada

level ekstrim, second/upper chamber hanya berperan sebagai

lembaga konsultatif dengan tidak terlibat dalam

pembahasan dan pengambilan keputusan namun hanya

memberi pandangan/nasihat atas isi kalau dirasa perlu

(kasus Burkina Faso, Mesir, Slovenia dan Botswana). Kedua,

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
41
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

kekuasaan lebih besar lagi second/upper chamber

menyangkut sejumlah bidang legislasi tertentu, seperti hak

persetujuan mutlak dari Bundesrat Jerman bagi setiap

rencana legislasi yang mengatur persoalan Lander, hak

veto National Council Afrika Selatan atas semua aturan

yang mempengaruhi kehidupan propinsi, atau kekuasaan

memutuskan pada tingkat akhir bagi senat Belgia atas

legislasi terkait ratifikasi perjanjian internasional, kerja

sama antara negara federal dengan negara bagian dan

organisasi yudisial. Varian lebih lunak dari ini adalah,

kewenangan second/upper chamber sebagai the last resort/last

world namun dengan persetujuan mayoritas para

anggotanya (kasus Rusia dan Jepang) atau bisa dianulir

oleh first/lower chamber dengan dukungan persetujuan

mayoritas anggotanya (kasus Algeria dan Paraguay).

V. Kekuasaan ekstra-legislatif bagi second/upper chamber. Di

sejumlah negara, second/upper chamber diberikan kekuasaan

khusus (ekstra-legislatif) menyangkut satu atau lebih dari

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
42
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

urusan berikut. (A) sebagai penjamin konstitusi

berdasarkan ide konstitusionalisme yang berintikan hak-

hak dan kepentingan rakyat menjadi rujukan. Untuk

memastikan hal itu, second/upper chamber diberi

kewenangan untuk mengangkat hakim-hakim mahkamah

konstitusi untuk menjalankan fungsi penjagaan konstitusi.

Variasi peran ekstra-legislatif semacam ini menjadi trend di

banyak negara, seperti di kawasan Eropa Barat (Perancis,

Jerman, Spanyol, Italia dan Belgia), Amerika Selatan

(Kolombia, Chili dan Paraguay), Afrika (Mauritania, Gabon

dan Morocco) dan Asia (Kamboja dan Kazakhstan). (B)

fungsi pengangkatan pejabat negara tertentu, baik secara

langsung maupun tidak langsung melalui

pertimbangan/persetujuan second/upper chamber. Model

pertama biasanya terkait dengan pengangkatan para

pejabat senior birokrasi, diplomat atau hakim agung (kasus

Bolivia, Kolombia, Spanyol, Rusia, dll); sementara model

kedua yang lazim terjadi di banyak negara adalah

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
43
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

pemenuhan persyaratan atau pertimbangan/ persetujuan

second/upper chamber seperti yang berlaku di Amerika

Serikat dalam pengangkatan para menteri kabinet, duta

besar dan pejabat senior birokrasi, atau serupa dengan itu

di Argentina, Bolivia, Brazil dan sebagainya. (C) kekuasaan

yudisial, baik bersama dengan first/lower chamber maupun

sendirian dalam memeriksa kasus-kasus pelanggaran para

pejabat negara, dengan jalan meminta

pertanggungjawaban maupun prosedur impeachment (kasus

Rusia, Brazil, Argentina, Bolivia, Kolombia atau Amerika

Serikat sebagai contoh populer).

Selain hal-hal diatas, wadah kedua kamar tersebut sebagai

cerminan dari badan perwakilan tersebut juga berbeda. Seperti

Conggress sebagai nama badan perwakilan untuk Amerika Serikat

yang terdiri atas Senate dan House of Representatives. Di Belanda

dikenal lembaga perwakilan Staten Generaal yang terdiri atas de

Eerste Kamer (perwakilan daerah) dan de Tweede Kamer (perwakilan

seluruh rakyat). Di Inggris dikenal badan perwakilan Parliament

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
44
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

yang terdiri atas House of Lord (perwakilan golongan, biasanya dari

golongan ningrat) dan House of Commons (perwakilan seluruh

rakyat).44

Dari uraian diatas, penggunaan nama yang digagas dalam

sistem bikameral akan memiliki spesifikasi tersendiri. Untuk

badan perwakilan di Indonesia adalah tetap digunakan nama

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), namun demikian tidak

seperti Conggress di Amerika, MPR memiliki ruang dan wilayah

kerja tersendiri hanya asal keanggotaannya berasal dari anggota

DPR dan anggota DPD.45

Idealnya, sebagai konsekuensi penggunaan nama MPR

sebagai sisem dua kamar maka MPR tidak lagi menjadi suatu

lingkungan jabatan sendiri. Wewenang MPR seharusnya melekat

pada wewenang DPR dan DPD. Sehingga seperti praktek

ketatangaraan di negara lain, seperti yang terjadi di Amerika

44 Lebih kurang ada 68 negara yang menggunakan sistem bikemeral pada parelemennya termasuk
Indonesia, Formappi. Op.cit, hal. 10.
45 Lihat Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 dan bandingkan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (8) Konstitusi

Amerika yang mengatur wewenang Conggress dalam menetapkan undang-undang mengenai


pajak, cukai, peminjaman uang atas nama Amerika Serikat, perdagangan antar negara bagian dan
luar negeri, kewarganegaraan, menetapkan mata uang, dan lain-lain yang semuanya wewenang
tersebut dilaksanakan oleh Senate dan House of Representatives.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
45
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Serikat dan negara lainnya, wewenang yang ditentukan oleh UUD

adalah wewenang Conggress, Parliament, Staten Generaal yang

pelaksanaannya dilakukan oleh kamar-kamar perwakilannya.46

Berbeda dengan konteks Indonesia, dimana kedudukan MPR

sebenarnya? Prof. Jimly Assidiqie, dengan menyitir pendapat dari

Rod Hague dan Martin Harrop menyatakan bahwa kesulitan

utama adalah sisten keparlemenan di Indonesia adalah

menentukan perbedaan di antara kedua kamar parlemen dalam

UUD.47

Sebagai contoh, ketentuan Pasal 1 ayat (8) Konstitusi Amerika

Serikat mengatur wewenang Conggress seperti menetapkan

undang-undang mengenai pajak, cukai, peminjaman uang atas

nama Amerika Serikat, perdagangan antarnegara bagian dan luar

negeri, kewarganegaraan, menetapkan mata uang, dan lain-lain.

46Bagir Manan, Op.Cit. Hal. 54-55.


47Prof. Dr. Jimly Assidiqie, S.H., 2005, “Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi”, Konstitusi
Press, Jakarta, hal. 21.Rod Hague dan martin Harrop menyatakan sebagai berikut:”The main
justification for having two (or occasional more) chambers within an assembly are first, to present
distict interest within soceity and secondly to provide checks and balances within the legislative
branch”.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
46
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Semua wewenang tersebut dilaksanakan atau pengelolaannya

dilakukan oleh Senate dan House of Representatives.48

48 Rumusan asli Pasal 1 ayat (8) Konstitusi Amerika, menyebutkan:


1. The Conggress shall have power; To lay and collect taxes, duties, imports, and excises, to
pay the depts and provide for the common defense smd general welfare of the United
States; but all duties, imports, and excises shall be uniform throughout the United States;
2. To borow money on the credit of the United States;
3. To regulate commerce with foreign nations, and among the several States, and with Indian
tribes;
4. To estabilish a uniform rule of naturalization, and uniform laws on the subject of
bankruptcies through out the Unites States;
5. To coin money, regulate the value thereof, and of foreign coin, and fix the standard of
weights and measures;
6. To provide for the punishment of counterfeiting the securities and current coin of the
United States;
7. To establish Post Office and Post Roads;
8. To promote the progress of science and useful arts, by securing for limited times to authors
and inventors the exclusive right to their respective writing and discoveries;
9. To constitute tribunals inferior to the Supreme Court;
10. To define and punish piracies and felonies committed on the high seas, and offenses againts
the law of nations;
11. To declare war, grant letters of margue and reprisal, and make rules concerning captures on
land and water;
12. To raise and support armies, but no appropriation of money to that use shall be for a longer
term than two years;
13. To provide and maintain a navy;
14. To make rules for the government and regulation of the land and naval force;
15. To provide for calling forth the militia to execute te laws of the Union, Suppress
insurrections and repel invasions;
16. To provide for organizing, arming, and disciplining the militia, and for governing such part
of them as may be employed in the service of the United States, reserving to the States
respectively, the appointment of the officers, and the authority of training the militia
according to the discipline prescribed by Conggress;
17. To exercise exclusive legislation in all cases whatsoever, over such District 9not exceeding
ten miles square) as may, by cession of particular States, and the acceptance of Conggress,
become the seat of Government of the United States, and to exercise like authority over all
places purchased by the consent of the Legislature of the State in which the same shall be,
for the erection of forts, magazines, arsenals, dock-yards, and other needful buildings; and
18. To make all laws which shall be necessary and proper for carrying into execution the
foregoing powers, and all powers vested by Constitution in the Government of the United
States, or in any departement or officer thereof.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
47
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Dalam hal-hal tertentu, konstitusi memberikan wewenang

khusus kepada masing-masing kamar. Misalnya semua rancangan

undang-undang mengenai pendapatan negara harus diusulkan

(berasal dari) House of Representatives. Sedangkan Senate

mempunyai wewenang khusus memberi pertimbangan dan

persetujuan (advise and consent) mengenai perjanjian luar negeri,

pengangkatan duta, konsul, menteri, hakim federal, dan pejabat-

pejabat lain yang ditentukan dalam undang-undang.49

Memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945

tersebut, memang tidak tampak perwujudan gagasan sistem dua

kamar seperti pratek yang dilakukan di Amerika Serikat dan

negara lain yang melaksanakan sistem bikameral.

Jika mengkaji lebih lanjut tentang Teori Bikameral, Maurice

Duverger menyatakan ada 2 (dua) model, yaitu simetris dan

asimetris. Model yang saat ini berlaku di Indonesia adalah

asimetris.

49 Ibid.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
48
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Model simetris, seperti yang berlaku di negara-negara federal

dan yang menganut bikameral, mengandung pengertian bahwa

antar kamar memiliki kedudukan yang simetris. Sebagai contoh,

Jepang. Indonesia dan Jepang memiliki kesamaan dalam hal

bentuk Negara, yakni sama-sama Negara kesatuan,50 menganut

sistem bikameral, dan kedua kamar sama-sama dibentuk

berdasarkan pemilu. Ini ditunjukkan dengan ketentuan Pasal 59

Konstitusi Jepang bahwa RUU harus mendapat persetujuan dari

kedua kamar. Teori Rosseau tentang kedaulatan rakyat sangat

relevan untuk menjadi alat analisis dimana disebutkan parlemen

merupakan pemegang voluntee generale sehingga menurut

50 Secara teoritis dikenal adanya dua model dalam formasi negara yaitu negara kesatuan dan
negara federal. Bentuk negara federal adalah suatu bentuk yang lazim dianut oleh berbagai negara
di dunia. Persepsi bahwa negara serikat akan menimbulkan perpecahan, disintegrasi bangsa,
separatisme, tentu memerlukan analisis yang mendalam. Menurut C.F. Strong ciri-ciri negara
kesatuan ialah kedaulatan tidak terbagi atau dengan perkataan lain kekuasaan pemerintah pusat
tidak dibatasi, karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya lembaga legislatif lain
selain lembaga legislatif pusat. Menurutnya ada dua ciri yang mutlak yang melekat pada suatu
negara kesatuan : Pertama, adanya supremasi dari pemerintah pusat, kedua, tidak adanya badan-
badan lain yang berdaulat. Asumsi dasar model negara kesatuan berbeda dengan negara federal.
Bentuk negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan
mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari negara tersebut. Tidak ada kesepakatan dari
para penguasa daerah apalagi negara-daerah, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang
termasuk di dalamnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen. Dengan dasar
itu, maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi
kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus berbagai kepentingan
masyarakatnya. Dalam hal ini, negaralah yang menjadi sumber kekuasaan. Kekuasaan daerah pada
dasarnya adalah kekuasaan pusat yang didesentralisasikan dan selanjutnya terbentuklah daerah-
daerah otonom. Dapat dikatakan bahwa otonomi daerah adalah wujud pemberian kekuasaan oleh
pemerintah pusat.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
49
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

konsepsi ini yang dimaksud dengan the people souvereignity51 ini

adalah parlemen. Artinya, antara kedua kamar mesti equal karena

prinsipnya kedua kamar memiliki legitimasi yang sama yang

diperoleh melalui pemilu.

51Dalam perkembangannya lebih lanjut, mengenai kekuasaan yang tertinggi dalam negara
menimbulkan bermacam pandangan atau teori tentang kedaulatan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
50
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

C. Desain Sistem Perwakilan Di Indonesia

Seperti yang disampaikan diatas, desain perwakilan di

Indonesia sebagai akibat dari Perubahan UUD 1945 memang telah

membentuk lembaga perwakilan di Indonesia menjadi DPR dan

DPD. Konsep dan konteks pelembagaan perwakilan tidak lagi

berdasarkan politisasi wakil rakyat yang dipilih langsung (by

elected) dan yang ditunjuk (by pointed) namun keterwakilan dalam

parlemen didasarkan kepada keterwakilan politik (political

representation) melalui DPR dan perwakilan wilayah/daerah

(spatial/regional representation) melalui DPD.

Dengan desain baru tersebut, menempatkan DPD menjadi

bagian dari salah satu perwakilan di Indonesia tersebut

menghapus desain perwakilan daerah melalui Utusan Daerah di

MPR.

Rentang panjang sejarah perwakilan daerah hingga menjadi

DPD, dari sebuah perwakilan daerah yang hanya berfungsi setiap

kali MPR bersidang, sampai dengan pelembagaan DPD sebagai

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
51
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

hasil perubahan UUD 1945 memuat konsekuensi logis atas

pembentukannya.

Jika mereview kembali ketentuan Pasal 8 ayat (2)52 UU Nomor

16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan

DPRD Tingkat I, terdapat ketentuan mengenai utusan daerah dan

berapa jumlah keanggotaannya. Ketentuan ini tidak mengalami

perubahan dengan dikeluarkannya UU Nomor 2 Tahun 1985.

Dalam ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 1969

sebagaimana diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 1985 tersebut,

ditentukan syarat-syarat untuk diangkat/diplih menjadi Utusan

Daerah sebagai berikut:53

a. warganegara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua


puluh satu) tahun serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa;
b. Dapat berbahasa Indonesia dan cakap menulis dan membaca
huruf latin;
c. Setia kepada Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar
negara dan ideologi Nasional, kepada Proklamasi 17 Agustus

52 Bunyi ketentuan Pasal 8 ayat (2) sebagai berikut: “Utusan Daerah termasuk Gubernur/Kepala
Daerah Tingkat I dipilih oleh DPRD tingkat I”.
53 Forum Masyarakat Peduli Parlemen; 2005, “Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan

Analisa Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945.”

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
52
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

1945, UUD 1945 serta kepada revolusi kemerdekaan bangsa


Indonesia, untuk mengemban Amanat Penderitaan rakyat;
d. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis
Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seorang
yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam
“Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI” atau organisasi terlarang
lainnya;
e. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan Keputusan
Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap;
f. Tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
karena melakukan tindak pidana yang diancam penjara lima
tahun atau lebih;
g. Nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya.

Dari ketentuan diatas, Utusan Daerah masa itu tidak

dinyatakan untuk bertempat tinggal di daerah yang bersangkutan,

dalam arti bahwa setiap warga negara dapat menjadi Utusan

Daerah jika memenuhi syarat yang ditentukan diatas. Jika hal-hal

tersebut, dibandingkan dengan ketentuan Pasal 11 UU Nomor 12

Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan

DPRD yang menyatakan krteria pemilihan bagi Anggota DPD

sebagai berikut:

(1) Untuk dapat menjadi calon anggota DPD, peserta Pemilu dari
perseorangan harus memenuhi syarat dukungan dengan
ketentuan:

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
53
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

a.
provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000
(satu juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya
oleh 1.000 (seribu) orang pemilih;
b. provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu
juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus
didukung sekurang-kurangnya oleh 2.000 (dua ribu)
orang pemilih;
c. provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima
juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang harus
didukung sekurang-kurangnya oleh 3.000 (tiga ribu)
orang pemilih;
d. provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000
(sepuluh juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta)
orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 4.000
(empat ribu) orang pemilih;
e. provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima
belas juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya
oleh 5.000 (lima ribu) orang pemilih.
(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebar di
sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dibuktikan dengan tanda tangan atau cap jempol dan fotokopi
Kartu Tanda Penduduk atau identitas lain yang sah.

Pada ketentuan Pasal 60 diatur pula syarat-syarat sebagai

calon anggota DPD (dan juga DPR, DPRD Provinsi dan DPRD

Kabupeten/Kota) sebagai berikut:

a. warga negara Republik Indonesia yang berumur 21 (dua


puluh satu) tahun atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
54
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa


Indonesia;
e. berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis
Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang
yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam
G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya;
h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
i. tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
j. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan
kesehatan dari dokter yang berkompeten; dan
k. terdaftar sebagai pemilih.

Pada bagian lain, ketentuan Pasal 63 mengatur persyaratan

khusus, sebagai berikut:

a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-


kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang
dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau
pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak
berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang
bersangkutan;
b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-
kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan
tanggal pengajuan calon.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
55
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Dengan demikian, konteks DPD sangat berbeda dengan

Utusan Daerah, dari segi keanggotaan, rekrutmen maupun

kelembagaan yang terarah kepada tugas dan fungsinya. Reposisi

dan sejarah perwakilan daerah dapat dilihat pada tabel dibawah

ini:

Sejarah Perwakilan Daerah di Indonesia54

Periode Bentuk Nama Badan Jumlah Keterangan


Negara

Pasca Republik Badan 25 orang: Anggota dari daerah inilah merupakan


Kemerdekaan Pekerja 17 orang cikal bakal terbentuknya unsur daerah
(1945—1949) Komite dipilih sidang, dalam lembaga Negara
Nasional 8 orang dipilih
dari daerah

RIS Republik Senat Setiap daerah - Menggunakan konstitusi UUD RIS di


(1949) Indonesi bagian diwakili mana susunan lembaga-lembaga
a Serikat 2 orang Negara berubah
(RIS) - Anggota Senat ditunjuk oleh
Pemerintah Daerah Bagian
- Salah satu syarat telah berusia 30
tahun ke atas

UUDS (1950) Kesatuan Dihapuskan - - Konsekuensi digunakan UUDS – yang


telah disahkan Presiden Sukarno tahun
1950 – struktur kelembagaan berubah
- Lembaga legislatif hanya DPR
- Senat dihapus karena tidak ada
daerah-daerah bagian dalam Negara
Kesatuan

Pasca Dekrit Republik Utusan 94 orang - Struktur kelembagaan negara


Presiden (1959 -- Daerah (PP No. mengikuti UUD 1945 (Dekrit 5 Juli
1969) 150/1959) 1959)
- Dibentuk MPRS (sebelum MPR) terdiri

54 Formappi Op.cit, hal 130-131.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
56
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Periode Bentuk Nama Badan Jumlah Keterangan


Negara
dari anggota DPR ditambah Utusan
Daerah dan Golongan
- Setiap 24 daerah diwakili 3 – 5 orang di
mana pencalonan dilakukan oleh
DPRD dan diputuskan oleh Presiden
Sukarno

Orde Baru Republik Utusan 131 orang - Sesusai dengan UU No. 16/1969
(1969—1999) Daerah (27 propinsi) mekanisme pemilihan anggota
berubah
- UD di MPR terdiri dari Gubernur dan
anggota lain yang dipilih oleh DPRD
melalui pemilihan yang sangat ketat
(Litsus)
- Sebagian besar berasal dari Golkar
karena mayoritas DPRD telah dikuasai
mesin politik Orba ini.
- Setiap Provinsi ditetapkan 4 – 7 orang
- Di MPR perwakilan daerah ditambah
di Fraksi UD (F-UD)

Reformasi Republik Utusan 135 orang - Berakhirnya Orde Baru menguatkan


(1999 – 2004) Daerah keberadaan Utusan Daerah (UU No.
4/1999 tentang Susduk MPR, DPR,
DPRD)
- Penentuan anggota lewat proses
pemilihan DPRD (tanpa intervensi
penguasa lagi)
- Setiap Provinsi mengirim 5 anggota
(seluruh anggota MPR 700 orang)
- SU MPR 1999 menghapuskan F-UD,
anggota UD dimasukkan kepada
partai-partai asalnya
- ST MPR 2001 F-UD kembali diakui
MPR

Amandemen UUD Republik Menuju Diwakili 4 - Amandemen UUD 1945 selesai tahun
1945 Dewan orang (hasil 2002 yang mengubah struktur lembaga
(sejak 2004) Perwakilan pemekaran Negara
Daerah wilayah) - Unsur perwakilan daerah diwadahi
dalam Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) yang bersama DPR merupakan
bagian dari MPR
- Proses pemilihan tidak lagi lewat

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
57
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Periode Bentuk Nama Badan Jumlah Keterangan


Negara
DPRD tapi melalui Pemilu 2004 dan
dipilih langsung oleh rakyat
- Namun fungsinya tidak sekuat DPR
(terutama dalam legislasi)
- Jumlah keseluruhan anggota tidak
boleh lebih dari sepertiga anggota
MPR
- Calon anggota harus independen dan
tidak berafiliasi pada parpol tertentu

Permasalahan Yuridis yang dihadapi oleh DPD berawal dari

ketentuan mengenai DPD yang dirumuskan dalam UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Aturan-aturan yang ditetapkan

dalam UUD belum menterjemahkan dasar-dasar teoritis sistem

parlemen bikameral yang harus ditetapkan dalam bentuk

normatif. Prinsip check and balances yang menjadi tuntutan

perubahan UUD 1945 tidak tercermin dalam hubungan

kewenangan antara DPR, DPD dan Presiden .

Ketentuan dalam Pasal 22D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD

1945, tidak dapat memberikan jawaban, apa sebetulnya yang

menjadi kewenangan DPD dalam bidang legislasi, anggaran dan

pengawasan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
58
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

DPD dalam melaksanakan fungsinya, DPD juga mempunyai

tugas dan wewenang antara lain :

a. dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-

undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,

serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan

pusat dan daerah;

b. ikut membahas rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan

daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan

daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan

daerah; yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh

pemerintah;

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
59
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

c. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan

undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan

dengan pajak, pendidikan, dan agama;

d. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan

anggota BPK;

e. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-

undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,

pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan

daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama serta

menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR

sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;

f. menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK

untuk dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPR

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
60
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Sementara kerangka hukum sebagaimana tertuang dalam UU

Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,

DPR, DPD, dan DPRD tidak mengatur secara detail mengenai

hubungan lembaga perwakilan baik itu MPR, DPR, DPD, dan

DPRD. Namun demikian, arah restrukturisasi lembaga perwakilan

(terutama MPR, DPR, dan DPD) sebagaimana tertuang dalam UU

Susduk tersebut tersebut masih menyisakan perdebatan panjang,

apa tipologi hubungan lembaga perwakilan di Indonesia (jika

tidak boleh disebut sebagai parlemen) dan bagaimana kedudukan

MPR itu sesungguhnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

MPR kini bukan lagi lembaga tertinggi Negara, pemegang

dan pelaksana kedaulatan rakyat. Ini ditandai dengan diubahnya

ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

UUD”. Rumusan baru Pasal 1 ayat (2) ini dimaksudkan untuk

mengoptimalkan dan meneguhkan paham kedaulatan rakyat; dan


Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
61
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

bukannya menyangkut pemasalahan kedudukan dari lembaga-

lembaga negara melainkan soal cara melaksanakan dan

mewujudkan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam UUD.

Rumusan ini adalah “penjabaran langsung” paham kedaulatan

rakyat. Rumusan ini tidak lagi mengenal istilah lembaga tertinggi

negara maupun lembaga tinggi negara. Hal ini berlaian dengan

maksud dan penjabaran Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum

diubah, dimana UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan

yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang

sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat

pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi

ketatanegaraan. Penguasaan terhadap MPR adalah kunci bagi

kekuasaan pemerintahan negara yang seakan-akan tanpa ada

hubungannya lagi dengan rakyat.

Selain itu, gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai

lembaga tertinggi secara konseptual ingin menegaskan kedaulatan

rakyat. Setiap lembaga yang mengemban tugas politik negara dan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
62
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

pemerintahan (tidak termasuk kekuasaan kehakiman) adalah

pelaksana kedaulatan rakyat dan harus tunduk kepada rakyat.55

Artinya, ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 tidak

meletakan perwujudan MPR dalam gagasan sistem dua kamar,

bahkan ketika MPR mengubah konsep Kedaulatan yang berada di

tangan MPR menjadi, Pasal 1 ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan

berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-

Undang Dasar” dan meskipun hal tersebut MPR tidak lagi

menjadi lembaga tertinggi, tetapi sama seperti lembaga negara

lainnya yang wewenangnya ditetapkan secara limitatif dalam

Pasal 3, Pasal 6A, Pasal 8, dan Pasal 37 UUD 1945 sekaligus

menggeser supremasi MPR ke supremasi menurut UUD.

Dengan kedudukan MPR yang berubah, UUD 1945 masih

memberikan wewenang kepada MPR untuk mengubah dan

menetapkan UUD; dapat memberhentikan Presiden dan/atau

Wakil Presiden dalam masa jabatannya berdasarkan UUD;

55Bagir Manan, “DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru”, Yogyakarta, FH UII Press, 2003, hal.
74.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
63
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

memilih Wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil

Presiden; serta memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila

keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya.

Keanggotaan MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD

yang dipilih memalui pemilihan umum yang diresmikan dengan

Keputusan Presiden. Masa Jabatan Anggota MPR adalah lima

tahun dan berakhir bersamaan pada pada saaat Anggota MPR

yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Menurut Pasal 10 UU Susduk, Majelis Permusyawaratan

Rakyat merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang

berkedudukan sebagai lembaga negara, yang anggotanya

meliputi wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu berdasarkan

usulan partai politik peserta pemilu, kemudian menjadi DPR

dan wakil daerah atau wilayah yang dipilih melalui proses

pencalonan perseorangan dan pemilihannya dilakukan secara

langsung oleh rakyat melalui pemilu kemudian menjadi DPD.

Artinya MPR merupakan badan perwakilan yang terdiri dari

anggota DPR dan anggota DPD.


Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
64
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

MPR tidak bisa dikatakan sama dengan sistem dua kamar

seperti “Congress” (Amerika Serikat), “Parliament” (Inggris) atau

“Staten General” (Belanda). Kalau dilihat dari segi

kewenangannya, wewenang MPR disebutkan secara limitatif

dalam Pasal 3, Pasal 6A, Pasal 7B, Pasal 8 dan Pasal 37 UUD

1945 dan dipertegas dalam Pasal 11 huruf a sampai huruf f, UU

Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susduk yang isinya sama yang

diatur dalam UUD 1945 kecuali Pasal 11 huruf g, MPR

menetapkan peraturan tata tertib dan kode etik MPR.

Wewenang MPR untuk menetapkan UUD tidak dimiliki oleh

“Congress” Amerika Serikat, “Parliament” Inggris dan “Staten

General” Belanda.

Terhadap adanya dua kamar di MPR seperti yang

tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 Jo Pasal 2 UU No.

22 Th. 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD

dan DPRD dapat dilihat bahwa kedua lembaga itu terpisah,

bukan merupakan gabungan-gabungan antara DPR dengan

DPD. Berarti jika mencontoh model bikameral di Jerman,

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
65
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

dimana Bundestag mewakili pemerintahan federal kalau di

Indonesia disamakan dengan DPR, sedangkan Bundesrat

mewakili negara bagian atau disebut Laender di Indonesia

disamakan dengan DPD. Kedua lembaga itu (Bundestag dan

Bundesrat) terpisah, berarti sistem bikameral yang di anut di

Indonesia bersifat “quasi federal”, karena Jerman bersifat

negara federal.

Menurut Prof. DR. Bagir Manan56 tidak diketahui dasar

pemikiran MPR untuk meletakkan MPR dan DPR sebagi dua

badan perwakilan tingkat pusat yang terpisah. Ada yang

mengaitkannya dengan Soviet Tertinggi di Uni Republik Soviet

Sosialis (Union of Soviet of Nationalities)57. Tetapi Soviet Uni dan

Soviet Kebangsaan merupakan unsur-unsur dari Soviet

Tertinggi tidak terpisah satu sama lain. Soviet Tertinggi adalah

sistem perwakilan dua kamar, bukan badan terpisah58 seperti

MPR. Ada juga yang mencoba mengaitkannya dengan Kongres

56 Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Op.cit.
57 Bagir Manan., Teori dan Politik Konstitusi., Fakultas Hukum Univ. Islam Indonesia. Jogyakarta.,
2003. h. 51.
58 Pasal 57 UUD Uni Sovyet tahun 1977.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
66
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Rakyat Nasional (National People’s Conggress) di Republik

Rakyat Cina. Pendekatan ini kurang tepat, karena Kongres

Rakyat Nasional memiliki wewenang yang sangat luas,

meliputi mengubah UUD, mengawasi pelaksanaan UUD

menetapkan dan mengubah undang-undang, memilih Presiden

dan Wakil Presiden, menyetujui Perdana Menteri yang

dicalonkan oleh Presiden59.

Dari jumlah keanggotaan, wewenang dan kedudukan yang

tidak setara antara DPR dan DPD, mencerminkan bahwa sistem

MPR yang dianut oleh perubahan UUD 1945 lebih bersifat “quasi

bikameral” dalam sistem negara federal.

59 Pasal 57 UUD RRC. (tahun 1977).

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
67
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

BAB III
CRITICAL REVIEW
UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2003
TENTANG
SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MPR, DPR, DPD, DAN DPRD

A. Tingkat Substansi Undang-Undang

Bab ini menguraikan berbagai analisa dan kajian yang

mendasari usulan-usulan revisi terhadap perubahan Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan

MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Ide dasar restrukturisasi ketatanegaraan Indonesia dalam

kerangka reformasi dan kaitannya untuk menciptakan separation of

power dan checks and balances antar lembaga negara adalah

pelembagaan hubungan pusat dan daerah yang lebih holistik dan

komprehensif.

Ketidakjelasan posisi masing-masing lembaga perwakilan

(kecuali DPR) menyisakan persoalan tersendiri dalam

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
68
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

pengaturannya di undang-undang, beberapa persoalan itu adalah

sebagai berikut:

1. Untuk MPR; pengaturan sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat

(1), dimana Pimpinan MPR ditentukan terdiri atas seorang

ketua dan tiga orang wakil ketua yang mencerminkan unsur

DPR dan DPD yang diplih dari dan oleh Anggota dalam

sidang Paripurna MPR, terkesan dipaksakan sebagai upaya

pembagian kekuatan politik semata. Nyatanya sekarang MPR

tugas-tugasnya lebih bersifat “fakultatif” dan “limitatif”.60

Oleh karena itu, jabatan Pimpinan MPR ke depan bisa

diletakan pada posisi yang sewajarnya, yaitu diserahkan

kepada Ketua DPR dan Ketua DPD, sebagai Ketua MPR dan

Wakil Ketua MPR.

2. Kode Etik MPR; ketentuan Pasal 11 huruf g UU Susduk

menyatakakan bahwa MPR mempunyai tugas untuk

60Peraturan Tata Tertib MPR selain mengatur dan menterjemahkan ketentuan-ketentuan mengenai
tugas dan wewenang MPR sebagaimana diatura dalam Pasal 11 UU Susduk juga menambahkan
tugas Pimpinan untuk mensosialisasikan hasil-hasil Putusan MPR. Ini menjadi dasar hukum bagi
Pimpinan MPR untuk membentuk Tim sosialisasi. Lihat lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib
MPR.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
69
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

menyusun Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik. Persoalannya,

sampai saat ini kode etik MPR belum terbentuk demikian pula

dengan Badan Kehormatan (Pasal 98 UU Susduk). Apakah

Kode Etik MPR diperlukan? Apakah tidak cukup dengan

kode etik DPR dan DPD saja dan bagaimana mekanisme

pengaturannya sehingga dapat mengikat anggota DPR dan

anggota DPD? Pertanyaan-pertanyaan diatas harus dapat

dijawab sebelum MPR menyusun kode etiknya.

3. Mekanisme pembahasan oleh DPD; UUD memang tidak

mengatur secara tegas apa asaja hak-hak DPD dan hak

anggota DPD. Selain itu, tidak diatur bagaimana membahas

RUU dari DPD. Seharusnya aturan-aturan yang menyangkut

mekanisme, hak-hak yang melekat pada DPD dan anggota

DPD diatur serupa dengan pengaturan tentang DPR.61

Mekanisme pengajuan RUU dari DPD yang diatur dalam

Pasal 42 UU Susduk dan UU Susduk dan Pasal 32 UU Nomor

10 tahun 2004 (UU P3) tidak menggambarkan bagaimana


61Ni’matul Huda, S.H., M.Hum; Jakarta, 2006, “Hukum Tata Negara Indonesia”, PT. Raja Grafindo,
hal. 182.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
70
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

mekanisme yang sesungguhnya. Demikian pula dengan

keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU dan pembahasan

APBN.

Jika diamati dalam ketentuan Pasal 32 UU Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,

keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU tidak hanya

dibatasi di awal pembicaraan tingkat I melainkan hingga ke

rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR. Apalagi

pembahasan tersebut dilakukan terhadap “undang-undang

tertentu”. Menurut pengertian hukum, istilah “undang-

undang tertentu” ini menempatkan posisi DPD dalam

pembahasan sebagai lex specialis. Dengan kata lain

memberikan kewenangan tertentu/khusus kepada DPD

untuk ikut melakukan pembahasan RUU.

4. Tidak diikutsertakannya DPD dalam perencanaan legislasi;

Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Pasal 16

ayat (1) dinyatakan bahwa penyusunan Prolegnas

dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR


Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
71
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

yang khusus menangani bidang legislasi, dalam hal ini Badan

Legislasi DPR. Kelemahan mendasar dalam UU No. 10 Tahun

2004 ini adalah tidak dimasukkannya DPD dalam proses

perencanaan.

Pasal 22D ayat (1) UUD menyatakan, “Dewan Perwakilan

Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi

daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang

berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.”

Hal yang sama kemudian ditegaskan pula dalam UU No. 22

Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,

DPD, dan DPRD, DPD Pasal 42 ayat (1). Dengan demikian,

jelas bahwa DPD berwenang pula mengajukan RUU.

Sementara itu, dalam UU 10 Tahun 2004, DPD tidak

dilibatkan dalam tahap perencanaan. Dalam Pasal 17 ayat (1)

UU 10 Tahun 2004 dinyatakan bahwa RUU, baik yang berasal


Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
72
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

dari DPR, presiden, maupun DPD disusun berdasarkan

Prolegnas. Pasal ini merupakan ketentuan mengenai tahap

pembentukan undang-undang. Sedangkan dalam tahap

perencanaan yang diatur dalam Pasal 15 dan 16, keterlibatan

DPD tidak diatur. Yang lebih mengkhawatirkan, Pasal 17 ayat

(3) selanjutnya menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu,

DPR atau presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas.

Namun peluang penambahan pengusulan RUU ini tidak

diberikan kepada DPD.

5. Fungsi DPD lainnya dalam hal pengawasan semestinya

disertai hak yang sama kuatnya dengan DPR dalam rangka

merealisasikan pengawasannya khususnya pengawasan

terhadap UU tertentu. Tidak seperti yang saat ini berlaku

dalam ketentuan Pasal 46 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2003

tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan

DPRD; DPD menyampaikan hasil pengawasan UU dimaksud

kepada DPR “hanya” untuk ditindaklanjuti.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
73
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

6. Pidato Kenegaraan Presiden; praktek yang ada dilaksanakan

oleh DPR pada tanggal 16 Agustus atau hari sebelumnya jika

pada tanggal tersebut jatuh pada hari libur dan pada tanggal

23 Agustus oleh DPD atau hari sebelumnya jika pada hari

tersebut jatuh pada hari libur. Sebetulnya momen ini bisa

disatukan, sebagai “special section of the parliament” atau

persidangan khusus parlemen, karena pada hari itu juga

seluruh DPRD juga bersidang dalam rangka mendengarkan

pidato Presiden.

B. Tingkat Pelaksanaan dan Mekanisme Kerja

Dalam kaitan pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang

Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD mekanisme

hubungan kelembagaan sebenarnya harus diikuti dengan

kejelasan pola hubungan kerja terutama menyangkut pola

hubungan kerja DPR dan DPD. Namun demikian dalam tingkat

pelaksanaan dan teknis hubungan kerja terutama terkait

hubungan kerja DPR dan DPD masih menyisakan persoalan yang

tidak mudah, banyaknya ketentuan-ketentuan yang tidak ”putus”


Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
74
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

dalam UU Susduk serta banyaknya persoalan yang didelegasikan

dalam Peraturan Tata Tertib membuat permasalahan hubungan

kerja antarlembaga menjadi sumir.

Beberapa diantaranya adalah:

1. Tidak Dimasukkannya DPD Sebagai Pihak Dalam

Perencanaan Legislasi Nasional.

Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Pasal 16


ayat (1) dinyatakan bahwa penyusunan Prolegnas
dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR
yang khusus menangani bidang legislasi, dalam hal ini
Badan Legislasi DPR. Kelemahan mendasar dalam UU No.
10 Tahun 2004 ini adalah tidak dimasukkannya DPD dalam
proses perencanaan.

Pasal 22D ayat (1) UUD menyatakan, “Dewan Perwakilan


Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.” Hal yang sama kemudian

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
75
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

ditegaskan pula dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang


Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD,
DPD Pasal 42 ayat (1). Dengan demikian, jelas bahwa DPD
berwenang pula mengajukan RUU.

Sementara itu, dalam UU 10 Tahun 2004, DPD tidak

dilibatkan dalam tahap perencanaan. Dalam Pasal 17 ayat

(1) UU 10 Tahun 2004 dinyatakan bahwa RUU, baik yang

berasal dari DPR, presiden, maupun DPD disusun

berdasarkan Prolegnas. Pasal ini merupakan ketentuan

mengenai tahap pembentukan undang-undang. Sedangkan

dalam tahap perencanaan yang diatur dalam Pasal 15 dan

16, keterlibatan DPD tidak diatur. Yang lebih

mengkhawatirkan, Pasal 17 ayat (3) selanjutnya

menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, DPR atau

presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas.

Namun peluang penambahan pengusulan RUU ini tidak

diberikan kepada DPD.

2. Pada pembahasan Penetapan PERPU Nomor 2 Tahun 2005

tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan


Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
76
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias

Provinsi Sumatera Utara menjadi UU, DPR RI

mengirimkan surat (Nomor : PW.001/6523/DPR RI/2005,

tanggal 22 September 2005) ke DPD (diterima DPD pada

tanggal 23 Spetember 2005). Sedangkan pandangan dan

pendapat DPD tersebut sudah harus disampaikan ke DPR

pada tanggal 26 September 2005. Dalam waktu 4 hari DPD

harus menyiapkan pandangan dan pendapat terkait

dengan pembahasan UU tersebut.

3. DPR tidak melibatkan DPD pada pembahasan tingkat I


penyusunan RUU Administrasi Kependudukan. Hal ini
disebabkan pandangan Komisi II yang menangani
pembahasan RUU tersebut menilai DPD hanya ikut
membahas RUU yang berkaitan dengan Otonomi Daerah.
DPR hanya mengirimkan surat salinan keputusan (Nomor
Surat: RU.02/0061/DPR RI/2007) tentang pengesahan UU
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan, sebagai tembusan. Disamping itu pula
DPR tidak melibatkan DPD pada pembahasan terhadap
RUU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
77
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

yang telah disyahkan oleh DPR dalam Sidang Paripurna


pada tanggal 16 Januari 2007.
4. Beberapa RUU yang berasal dari DPD tidak mendapat
tanggapan DPR, seperti:
- RUU tentang Hak Keuangan dan Administratif
Pimpinan dan Anggota Lembaga Negara dan Mantan
Pimpinan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara;
- RUU tentang Pembentukan Kabupaten Gorontalo Utara;
- RUU tentang Kepelabuhanan; dan
- RUU tentang DKI Jakarta.

5. Contrain waktu yang diberikan DPR kepada DPD

menyebabkan minimnya waktu yang tersedia untuk

mempersiapkan pandangan dan pendapat tersebut. Hal ini

terjadi pada kasus pembahasan Tingkat I 16 RUU Inisiatif

DPR RI tentang Pembentukan Daerah Otonom Baru. DPR

mengirimkan undangan kepada DPD untuk

menyampaikan pandangan dan pendapat pada Rapat Kerja

dengan DPR, dan Mendagri tanggal 22 Januari 2007

(undangan diterima tanggal 17 Januari 2007). Melihat

minimnya waktu DPD kemudian mengirimkan surat

balasan untuk penundaan rapat kerja tersebut menjadi

tanggal 2 Maret 2007, tapi kemudian DPR mengirimkan


Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
78
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

kembali undangan perubahan rapat kerja tersebut menjadi

tanggal 25 Januari 2007 (Undangan diterima tanggal 24

Januari 2007). Menandakan bahwa pengikutsertaan DPD

pada rapat kerja tersebut hanya formalitas belaka.

6. Hasil Pengawasan tidak ada tanggapan dari DPR.

7. Pada tanggal 8 Juni 2006 Komisi IV mengirimkan surat

permohonan masukan (Nomor Surat 22/Kom.IV/VI/2006)

terhadap RUU tentang Sistem Penyuluhan Perikanan dan

Kehutanan dan RUU tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir.

Namun sebelum dilakukan pembahasan oleh DPD, RUU

tentang Sistem Penyuluhan Perikanan dan Kehutanan telah

disahkan.

8. DPR (Komisi VIII) mengirimkan undangan bernomor surat

PW.001/8583/DPR RI/2006 kepada DPD (yang di

disposisikan kepada PAH III) untuk memberikan

Pandangan dan Pendapat pada Rapat Kerja yang

dilaksanakan hari Kamis, 16 November 2006 tentang

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
79
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Pembahasan Tingkat I RUU Pelaksanaan Ibadah Haji

dengan Menteri Agama dan Menteri Hukum dan HAM.

Pada saat PAH III menghadiri Rapat Kerja tersebut papan

nama (delegate) dengan bertuliskan DPD sudah berada

dibawah meja, menandakan bahwa tidak ada keseriusan

DPR dalam mengundang DPD untuk mengikuti Rapat

Kerja tersebut.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
80
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

BAB IV
MATERI MUATAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG

A. Konstruksi Kelembagaan dan Hubungan Pusat-Daerah

Otonomi daerah yang merupakan pengejawantahan secara

langsung hubungan pusat dan daerah, akhir-akhir ini merupakan

kebutuhan yang mendesak sebagai bagian dari tuntutan

masyarakat. Sejak reformasi politik dilakukan, otonomi daerah

yang pada hakekatnya merupakan suatu proses pelimpahan

kewenangan dan tanggung jawab dari pusat ke daerah dalam

bidang fiskal, politik, dan administrasi.

Sebenarnya tidak ada jaminan bahwa otonomi daerah pasti

akan dapat meningkatkan efisiensi, pemerataan pembangunan

atau stabilitas ekonomi dan politik. Meski demikian desentralisasi

diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pelayanan publik dari

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
81
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

pemerintah. Secara teoritis,62 konstruksi umum hubungan pusat

dan daerah dapat digambarkan sebagai berikut :

„ Hubungan Pusat-Daerah adalah suatu Kontinuum antara

sentralisasi dan desentralisasi;

„ Di negara kesatuan, daerah otonom adalah ciptaan

pemerintah pusat (creature of central government);

„ Tata hubungan kewenangan adalah konsekuensi logis adanya

pembentukan daerah otonom dan penyerahan urusan dari

pemerintah pusat kepada daerah otonom.

Berdasarkan pertimbangan tersebut penataan Undang-

Undang tentang Susunan dan Kedudukan lembaga-lembaga

perwakilan harus didasarkan kembali pada semangat perubahan

UUD 1945 yaitu dalam rangka meningkatkan peran dan tanggung

jawab lembaga permusyawaratan dan perwakilan rakyat/daerah

untuk mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin

62Beberapa pendapat dari peserta diskusi mengemuka bahwa perlu penataan lebih lanjut terkait
dengan hubungan pusat dan daerah sebelum dikursus mengenai lembaga perwakilan
diperdebatkan. Dengan demikian kedudukan dan kebutuhan akan DPD ditinjau dari persoalan
diatas.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
82
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan

kewenangannya, serta mengembangkan mekanisme checks and

balances antara lembaga legislatif dan eksekutif serta

meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja anggota

lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat dan daerah demi

mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.63

Pasal-Pasal dalam UUD 1945 harus benar-benar dikaji

maksud dan implementasinya dalam undang-undang. Konstruksi

MPR dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya sesuai

dengan ketentuan Pasal 3, Pasal 7, Pasal 7A, Pasal 8, Pasal 9, dan

Pasal 37 UUD 1945 harus dikontruksikan ulang dengan sumber

keanggotaan MPR sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD

1945. Bagaimana konteks DPR dan DPD dalam hal itu.

Kelembagaan MPR ditetapkan dalam UUD 1945,

sedangkan proses pengisian keanggotaannya tidak ditentukan

secara tersendiri, seperti yang diatur dalam Undang-Undang

63 Lihat lebih lanjut dalam penjelasan umum UU Susduk.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
83
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu64 dan Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,

DPR, DPD dan DPRD, tetapi hanya mengikuti prosedur pemilihan

keanggotaan DPR dan DPD.

Berbeda halnya dengan UU Nomor 4 Th. 1999 tentang

Pemilihan Umum dimana pengisian keanggotaan MPR disamping

melalui pemilu untuk memilih anggota DPR juga ada pengisian

keanggotaan MPR berdasarkan Keputusan Presiden untuk

keanggotaan Utusan Daerah dan Utusan Golongan, serta utusan

TNI/Polri. Dengan UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan

dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, keanggotaan MPR

merupakan keanggotaan yang muncul ketika keanggotaan DPR

dan DPD yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu.

Atau dapat dikatakan bahwa MPR bukan lagi merupakan lembaga

yang berdiri sendiri, tetapi terbentuknya berdasarkan terpilihnya

anggota DPR dan DPD melalui Pemilu, sedangkan kedudukan,

64KetentuanPasal 3 UU Nomor 12 tahun 2003 menyatakan bahwa Pemilu diselenggarakan untuk


memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
84
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

tugas dan fungsi diatur dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang

Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Prinsip-prinsip people souvereignity ini juga harus melihat

bagaimana eksistensi MPR. Apabila dikaji menurut Stufenbow

theory65 maka keberadaan MPR ini tidak jelas dimana letaknya

dalam hierarki teori dimaksud.66

Dalam kaitan rektruksturisasi dan rekontruksi MPR

tersebut, beberapa hal yang terkait dengan materi muatan

rancangan undang-undang ini adalah:

Pimpinan MPR; pengaturan sebagaimana ketentuan Pasal 7

ayat (1), dimana Pimpinan MPR ditentukan terdiri atas seorang

ketua dan tiga orang wakil ketua yang mencerminkan unsur DPR

65 Dikembangkan oleh Hans Kelsen, Kelsen memaparkan mengenai hirarkhis norma dalam hukum.
Menurut teori ini, setiap norma mendasarkan kepada validitasnya dari norma lain yang lebih
tinggi, hingga sampai pada norma dasar tertinggi, yaitu grundnorm (UUD). Sebagai norma yang
tertinggi grundnorm harus diterima secara aksioma (kenyataan yang diterima sebagai kebenaran
tanpa pembuktian lebih lanjut). Teori Kelsen ini sifatnya masih umum karena tidak ditujukan
kepada norma hukum khusus. Artinya norma apapun (agama, kesusilaan, sopan-santun, dan
hukum) mengalami lapisan-lapisan dari yang terendah sampai yang tertinggi. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh Hans Nawiasky yang menerapkan khusus kepada norma hukum yang
dikeluarkan oleh Negara.
66 Jika mengacu Stufenbow theory, secara hirarkhis tidaklah tepat jika MPR disebut sebagai lembaga

Negara, oleh karena MPR “ada” jika terjadi hal-hal tertentu seperti yang digariskan oleh UUD.
Demikian pula status Ketetapan MPR tidak ada lagi dalam hirarkhis perundang-undangan seperti
yang tertuang dalam Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
85
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

dan DPD yang diplih dari dan oleh Anggota dalam sidang

Paripurna MPR, terkesan dipaksakan sebagai upaya pembagian

kekuatan politik semata. Nyatanya sekarang MPR tugas-tugasnya

lebih bersifat “fakultatif” dan “limitatif”.67 Oleh karena itu, jabatan

Pimpinan MPR ke depan bisa diletakan pada posisi yang

sewajarnya, yaitu diserahkan kepada Ketua DPR dan Ketua DPD,

untuk memimpin sidang secara bergiliran, tata cara dan

bagaimana mekanisme memimpin sidang dapat dirinci lebih

lanjut dalam Peraturan Tata Tertib MPR.

Kode Etik MPR; ketentuan Pasal 11 huruf g UU Susduk

menyatakakan bahwa MPR mempunyai tugas untuk menyusun

Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik. Persoalannya, sampai saat ini

kode etik MPR belum terbentuk demikian pula dengan Badan

Kehormatan (Pasal 98 UU Susduk). Apakah Kode Etik MPR

diperlukan? Apakah tidak cukup dengan kode etik DPR dan DPD

saja dan bagaimana mekanisme pengaturannya sehingga dapat


67Peraturan Tata Tertib MPR selain mengatur dan menterjemahkan ketentuan-ketentuan mengenai
tugas dan wewenang MPR sebagaimana diatura dalam Pasal 11 UU Susduk juga menambahkan
tugas Pimpinan untuk mensosialisasikan hasil-hasil Putusan MPR. Ini menjadi dasar hukum bagi
Pimpinan MPR untuk membentuk Tim sosialisasi. Lihat lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib
MPR.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
86
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

mengikat anggota DPR dan anggota DPD? Pertanyaan-pertanyaan

diatas harus dapat dijawab sebelum MPR menyusun kode etiknya.

Dalam kerangka diatas, penyempurnaan UU Susduk

diarahkan agar kode etik yang ada hanyalah kode etik anggota

DPR dan anggota DPD. Pergantian antarwaktu yang terjadi di

MPR merupakan akibat adanya pergantian antarwaktu di DPR

dan/atau di DPD.

Dalam penyempurnaan mekanisme kerja antara DPR dan

DPD, beberapa hal yang harus diletakan sebagai dasar adalah

ketentuan Pasal 22D UUD 1945 memberikan kewenangan DPD

untuk terlibat dan berhak mengusulkan hal-hal yang termaktub

didalamnya. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang mungkin

diubah terkait dengan penyempurnaan UU Susduk yaitu :

Pertama, Kejelasan jenis (ruang lingkup) rancangan

Undang-Undang yang dapat diajukan oleh DPD.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
87
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Kedua, pemberdayaan DPD dilakukan dengan

memberikan wewenang keterlibatan DPD dalam proses

pembahasan RUU pada pembicaraan tingkat I.

Ketiga, Substansi yang ditetapkan dalam Undang-Undang

yang diusulkan oleh DPD betul-betul diperhatikan oleh DPR

untuk menjadi substansi Undang-Undang.

Keempat, Pertimbangan yang diberikan oleh DPD

diperhatikan dan dibahas oleh DPR dan Presiden dengan

melibatkan DPD dalam menetapkan UU APBN, UU Pajak,

pendidikan dan agama.

Kelima, Hasil pengawasan atas pelaksanaan Undang-

Undang dilakukan oleh DPD ditindaklanjuti oleh DPR dan

pemerintah.

Dari fungsi legislasi yang dimiliki DPD, terutama ikut

membahas RUU tertentu [Pasal 22D ayat (2) UUD 1945]. Pasal 32

ayat (6) UU Nomor 10 Tahun 2004 menentukan ada 2 (dua) tingkat

Pembicaraan, yaitu :

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
88
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

1. Tingkat pembahasan di Komisi/Panitia Khusus/Badan

Legislasi (dalam Peraturan Tata Tertib DPR disebut

Pembicaraan Tingkat I); dan

2. Tingkat pemberian persetujuan dalam Rapat Paripurna

DPR (Tatib DPR : Pembicaraan Tingkat I).

Dalam ketentuan Pasal 43 ayat (2) UU Susduk disebutkan

keikutsertaan DPD pada awal Pembicaraan Tingkat I dengan cara

rapat bersama DPR, DPD, dan Pemerintah. Walaupun Pasal 43

ayat (3) menyebutkan “Pembicaraan Tingkat I” (tanpa kata

“awal”) namun dengan menunjuk lagi ke ayat (2) dan isi/acara

pertemuan segitiga itu hanya mendengar penyampaian

pandangan dan pendapat DPD serta tanggapan DPR dan

Pemerintah atas pandangan/pendapat DPD tersebut jelas bahwa

yang dimaksud adalah tidak pada Tingkat I yang berisi

pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) seperti

Pembicaraan Tingkat I yang hanya dilakukan oleh DPR dan

Pemerintah yang diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
89
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Kesimpulan ini diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 43 ayat

(4) yang menyatakan :

“Pandangan, pendapat dan tanggapan sebagaimana


dimaksud pada ayat (3) dijadikan sebagai masukan untuk
pembahasan lebih lanjut antara DPR dan Pemerintah.”
Apa yang dimaksud dengan “Pembahasan lebih lanjut

antara DPR dan Pemerintah” itulah sesungguhnya Pembicaraan

Tingkat I di DPR yang dilakukan oleh Komisi/Pansus/Baleg

bersama Pemerintah, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 32

ayat (6) UU Nomor 10 tahun 2004 diatas.

Berbeda dengan ketentuan Pasal 43 ayat (2) dan ayat (3)

UU Susduk yang menunjuk pada awal Pembicaraan Tingkat I,

dalam UU No. 10 Tahun 2004 Pasal 32 ayat (3) disebutkan :

(3) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya pada
rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang
khusus menangani bidang legislasi.
Dengan rumusan seperti itu dapat disimpulkan bahwa

ketentuan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tidak membatasi

keikutsertaan DPD hanya pada awal Pembicaraan Tingkat I,

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
90
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

tetapi ikut dalam pembahasan di Pembicaraan Tingkat I

tersebut.

Seperti diketahui dalam Pembicaraan Tingkat I di DPR

tersebut dilakukan sebagai berikut :

a. Pandangan umum dari pihak yang menerima

penyampaian naskah RUU. (Jika RU U usul Presiden,

pandangannya umum oleh fraksi-fraksi DPR. Jika RUU

usul DPR, pandangannya umum dari pemerintah).

b. Jawaban atas pandangan umum.

c. Pembuatan DIM

(Jika RUU usul DPR, DIM disampaikan oleh Pemerintah,

sebaliknya jika RUU usul Presiden, DIM dibuat Fraksi-

fraksi DPR).

d. Pembahasan DIM

(Biasanya dilakukan dalam 2 (dua) putaran untuk hal-hal

prinsip, selebihnya Rapat Kerja tersebut menyerahkan ke

Rapat Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk, yaitu jika

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
91
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

jumlah anggota Panja seperdua dari peserta DPR di Raker.

Pemerintah diwakili dalam Panja oleh Dirjen dan

perangkat lainnya. Untuk bagian tertentu seperti

konsideran/mengingat dan penjelasan umum, lazimnya

dibentuk Timcil (Tim Kecil) oleh Panja untuk

menyelesaikannya).

e. Pengesahan hasil Panja.

f. Rapat Kerja untuk laporan dan pemberian persetujuan

hasil Panja.

Tahap-tahap dalam pembahasan dan pembicaraan Tingkat

I tersebut diatas yang oleh ketentuan dalam pasal 32 ayat (7) UU

Nomor 10 Tahun 2004 disebutkan :

“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan


RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan
Tata Tertib DPR”.
Dengan menunjuk ke pasal 32 ayat (6) yang menyatakan: “

Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
92
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna”,

berarti Rapat Paripurna DPR sebagai pembicara Tingkat II juga

diatur oleh peraturan Tata Tertib DPR.

Pasal 33 UU No. 10/2004 mengatur bahwa : “DPR

memberitahukan DPD akan dimulainya pembahasan RUU

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)”.

Bagaimana bentuk pemberitahuan tersebut?

Dalam rapat paripurna DPR tersebut acara pokok :

a. Penyampaian laporan Komisi/Panitia/alat kelengkapan

DPR yang khusus menangani bidang legislasi.

b. Pemberian persetujuan DPR.

c. Sambutan Pemerintah.

Bagaimana seharusnya peran DPD dalam ikut membahas

RUU menurut UUD 1945 ? Perlu ada kesepakatan pengertian

dalam menerapkan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945

dirumuskan dalam Perubahan Ketiga (2001) dan ketentuan Pasal

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
93
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

20 ayat (2) UUD 1945 yang dirumuskan lebih dahulu (2000) dalam

Perubahan Kedua UUD 1945.

Kedua Pasal tersebut tidak boleh ditafsirkan saling terlepas

satu dengan lainnya sehingga ketentuan Pasal 22D ayat (2)

diartikan sebagai awal dan Pasal 20 ayat (2) sebagai pembahasan

yang sesungguhnya antara DPR dan Pemerintah dalam

Pembicaraan Tingkat I.

Pembahasan RUU tertentu merupakan kerja 3 (tiga)

lembaga negara (DPR-Presiden-DPD). Pada MPR yang menyatu

sebagai anggotanya adalah anggota DPR dan anggota DPD [pasal

2 ayat (1) UUD 1945], bukan lembaga DPR dan DPD. Perbedaan

ini membawa konsekuensi, apakah ikut serta membahas berarti

DPD berada dalam satu forum rapat di DPR bersama Presiden

ataukah DPD membahas sendiri dan menyampaikan hasil

bahasannya kepada DPR dan Presiden. DPD perlu berada dalam 1

(satu) forum yang merupakan forum bersama ketiga lembaga

negara tersebut. Dalam forum yang oleh UU disebut Pembicaraan

Tingkat I dimaksud DPD menyampaikan pula DIM terhadap RUU


Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
94
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

tertentu yang bukan berasal dari usul DPD sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.

Mengenai fungsi DPD dapat mengajukan RUU tertentu

[Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 41 huruf a dan Pasal 42 UU

No. 22 Tahun 2003], perlu memperoleh penyempurnaan agar tidak

diserahkan pada Peraturan Tata Tertib. Misalnya setelah DPR

menerima usul DPD tersebut berapa lama DPR sudah

menyampaikan pemberitahuan (bukan undangan) kepada DPD.

Pembahasan hanya dilakukan antara DPD dan DPR atau sudah

bersama-sama Pemerintah? Pasal 42 ayat (3) UU No. 22 Tahun

2003 menyebutkan; “Pembahasan RUU sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) dilakukan sebelum DPR membahas RUU

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Pemerintah”.

Dengan ketentuan ini dapat ditafsirkan, bahwa jika RUU

tertentu usul DPD proses pembahasannya berbeda. DPR yang

akan meneruskan pembahasannya dengan Pemerintah. Tidak

seperti pembahasan RUU tertentu usul DPR/Presiden yang

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
95
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

mengikutkan DPD dalam awal Pembicaraan Tingkat I (vide Pasal

43 UU No. 22 Tahun 2003).

Sedangkan mengenai fungsi memberikan pertimbangan

yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu, walaupun tidak

diuraikan rinci disini, tidak berarti tidak memerlukan perhatian

kita. Setidaknya diperlukan pengaturan lebih lanjut dan tegas

pembatasan waktu pemberian pertimbangan DPD kepada DPR

agar dapat dimanfaatkan pertimbangan tersebut sesuai jadwal

DPR. Jangan sampai terjadi, misalnya DPR sudah selesai

membahas RAPBN atau suatu RUU yang berkaitan dengan pajak,

pendidikan, dan agama, baru kemudian DPD menyampaikan

pertimbangannya. Pertimbangan DPD tersebut perlu pula

ditembuskan kepada Presiden atau Menteri terkait, karena hal ini

akan menyangkut pula mekanisme pembahasannya di internal

DPD.

Demikian halnya yang berkenaan dengan fungsi

pengawasan atas pelaksanaan udang-undang tertentu. Bagaimana

DPR menindaklanjutinya dan apakah DPD perlu diberitahu hasil


Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
96
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

tindak lanjut tersebut. Dengan demikian DPD dapat mengetahui

tepat tidaknya hasil pengawasan yang dikemukakannya dan jika

terjadi akibat dari hasil pengawasan tersebut, DPD pun dapat

mengawasi pelaksanaannya yang telah mengalami koreksi.

Disamping itu, terkait dengan pengawasan keuangan negara

ketentuan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa hasil BPK

diserahkan kepada DPR dan DPD sesuai dengan kewenangannya,

sementara Pasal ini diintrepetasikan oleh ketentuan Pasal 47 UU

Susduk khusus mengenai APBN, secara ideal Keuangan Negara

jika ditinjau dari ketentuan umum UU Nomor 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara berarti semua hak dan kewajiban

negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik

berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik

negara berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Ketentuan ini lebih luas dibandingkan dengan APBN.

Dalam kaitan diatas, perlu kewenangan DPD dalam kaitan

pengawasan tersebut diperluas dengan memberikan kesempatan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
97
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

untuk mencari data dan mengundang Pemerintah Daerah serta

hak sub poena.

Pada prosedur penggantian anggota antar waktu anggota

DPD sebagaimana ditentukan dalam Pasal 88, Pasal 89, dan Pasal

90 UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan

MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pengaduan oleh pemilih dari daerah

pemilihan Anggota DPD yang bersangkutan disampaikan melalui

DPRD Provinsi setempat untuk diteruskan kepada badan

kehormatan DPD. Adanya kewenangan DPRD untuk menampung

usul dan mengadakan penyelidikan dan verifikasi serta klarifikasi

dari anggota DPD yang bersangkutan dan mengadakan sidang

paripurna untuk mengambil putusan untuk mengusulkan

pemberhentian anggota DPD yang bersangkutan sebagaimana

mestinya, menunjukan bahwa Anggota DPD mempunyai

hubungan langsung dengan DPRD. Persoalannya adalah secara

hirarkhis DPD bukan merupakan ”bawahan” DPRD. Jika ditelaah

lebih lanjut ada beberapa kelemahan dalam pengaturan ini,

seperti:

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
98
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

1) kedudukan DPRD seolah-olah lebih tinggi dari DPD;


2) DPRD terdiri dari partai-partai politik (fraksi) dengan
demikian nuansa politiknya akan terasa;
3) DPRD bukan merupakan lembaga negara.

Oleh karena itu perlu mekanisme ”recall” bagi anggota

DPD melalui mekanisme di luar DPRD. Pemberdayaan Sekretariat

DPD di daerah dapat dijadikan alternatif untuk menampung dan

meneruskan pengaduan masyarakat dan/atau pemilih kepada

Pimpinan DPD dan/atau Badan Kehormatan.

Menindaklanjuti hal-hal tersebut diatas, perlu kiranya

mendudukan kembali hubungan pusat dan daerah secara lebih

komprehensif salah satunya adalah dengan ”mengembalikan”

posisi DPRD pada rumpun Pemerintahan Daerah.

Dalam pengembangan prinsip dasar dari perwakilan

daerah ini adalah Local autonomy dan bukan local government atau

desentralisasi pemerintahan semata.

Dalam Local authonomy, aspirasi masyarakat sangat

menentukan dan ini semestinya ditunjukkan oleh perwakilan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
99
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

daerah yang kuat, yaitu DPD sebagai parlemen yang merupakan

salah satu kamar yang mewakili daerah di pusat disamping DPRD

yang sifatnya khusus lokal.

Secara umum, penyempurnaan UU Susduk juga harus

mengakomodasi prinsip-prinsip dasar akuntabilitas anggota

parlemen kepada publik. Kode Etik perlu dijadikan dasar utama

untuk mengontrol sikap dan perilaku anggota baik DPR maupun

DPD. Dengan kode etik sebagai instrumen penting penegakan

disipilin anggota diharapkan kepercayaan masyarakat kepada

lembaga perwakilan akan semakin tinggi.

B. Konteks Kelembagaan dan Pendukung

Pada sisi kelembagaan, dukungan anggaran dan pegawai

sangat dibutuhkan dalam rangka optimalisasi peran DPR dan

DPD sebagai lembaga perwakilan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
100
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Berkaca kepada konteks trias politica dimana semua cabang

kekuasaan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif saling

mengontrol dan mengimbangi maka demikian juga dengan status

anggaran dan kepegawaiannya.

UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung telah memenuhi

indepensi lembaga tersebut sebagai lembaga yang mandiri,

merdeka dan indepen.

Idealnya, demikian pula dengan konteks lembaga legislatif.

DPR dan DPD harus diberikan indepensi dalam mengatur rumah

tangganya sendiri berupa anggaran dan kepegawaiannya.

Kedudukan Keuangan DPR dan DPD harus dibebankan pada

mata anggaran sendiri dalam APBN. Demikian pula dengan

sistem dukungan keuangan dan kepegawaian DPR dan DPD

dalam bentuk dukungan sekretariat jenderal diatur khusus dengan

undang-undang. Hal ini lebih dimaksudkan untuk

menyeimbangkan kekuasaan legislatif (DPR dan DPD) dengan

eksekutif dan yudikatif.


Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
101
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Pada gilirannya, dengan penyempurnaan UU Susduk

harus juga diikuti dengan penyempurnaan UU Nomor 12 Tahun

1980 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan

Anggota Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara serta Bekas

Pimpinan Lembaga Tertinggi dan Anggota Lembaga Tinggi

Negara.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
102
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

BAB V
PENUTUP

Berdasarkan kajian maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai

berikut :

1. Hasil perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR tahun 1999-

2002 merupakan kontribusi positif terhadap upaya perbaikan sistem

ketatanegaraan Indonesia ke depan. Dengan perubahan pasal-pasal

tersebut, hasil perubahan MPR telah berhasil meletakkan sendi-

sendi checks and balances, termasuk membatasi kekuasaan eksekutif.

MPR telah berhasil mengubah dengan tegas tentang dari mana

kedaulatan diperoleh (Locus of Sovereignty). MPR yang terdiri dari

anggota-anggota DPR dan anggota-anggota DPD merupakan

realisasi demokrasi perwakilan. Sebagai lembaga negara, MPR

hanya eksis ketika DPR dan DPD berada dalam sidang gabungan

(joint session).

2. Dalam penyempurnaan mekanisme kerja antara DPR dan DPD,

beberapa hal yang harus diletakan sebagai dasar adalah ketentuan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
103
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Pasal 22D UUD 1945 memberikan kewenangan DPD untuk terlibat

dan berhak mengusulkan hal-hal yang termaktub didalamnya. Oleh

karena itu, ada beberapa hal yang mungkin diubah terkait dengan

penyempurnaan UU Susduk yaitu :

- Kejelasan jenis (ruang lingkup) rancangan Undang-Undang

yang dapat diajukan oleh DPD;

- pemberdayaan DPD dilakukan dengan memberikan wewenang

keterlibatan DPD dalam proses pembahasan RUU pada

pembicaraan tingkat I;

- Substansi yang ditetapkan dalam Undang-Undang yang

diusulkan oleh DPD betul-betul diperhatikan oleh DPR untuk

menjadi substansi Undang-Undang;

- Pertimbangan yang diberikan oleh DPD diperhatikan dan

dibahas oleh DPR dan Presiden dengan melibatkan DPD dalam

menetapkan UU APBN, UU Pajak, pendidikan dan agama.

- Hasil pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang

dilakukan oleh DPD ditindaklanjuti oleh DPR dan pemerintah.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
104
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

3. Pada sisi kelembagaan, dukungan anggaran dan pegawai sangat

dibutuhkan dalam rangka optimalisasi peran DPR dan DPD sebagai

lembaga perwakilan. Kedudukan Keuangan DPR dan DPD harus

dibebankan pada mata anggaran sendiri dalam APBN. Demikian

pula dengan sistem dukungan keuangan dan kepegawaian DPR

dan DPD dalam bentuk dukungan sekretariat jenderal diatur

khusus dengan undang-undang.

4. Penyempurnaan UU Susduk harus juga diikuti dengan

penyempurnaan UU Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan

dan Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi dan

Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi dan

Anggota Lembaga Tinggi Negara.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
105
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-Buku

A Garner, Bryan (ed in chief), 1999, Black’s Law Dictionary, sevent


edition,West Group, St Paul, Minn.

Assidiqie, Jimly, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan


Pelaksanaannya di Indonesia, PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta.

___________________, 2004, Organ Negara dan Pemisahan Kekuasaan”


dalam “Konstitusi dan Konstitusiolisme Indonesia, MKRI dan
Pusat Studi HTN FH UI.

___________________________, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,


Konstitusi Press, Jakarta.

AV, Dicey, 1959 Introduction To The Study Of The Law Of The


Constitution, Mc. Millan Education LTD, London.

Budiardjo, Miriam, 1999, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.

Budiman, Arif, 2002, Teori Negara; Negara, Kekuasaan, dan Ideologi,


Gramedia Pustaka Utama Jakarta.

Carter, April, 1985, Otoritas Dan Demokrasi, CV. Rajawali, Jakarta.

C. Patterson, Samuel (ed), 1999, ”Senate, Bicameralism in The Comtempory


World”, Ohio State University, USA.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
106
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

Dood, Lawrence, 1976, Coalitions in Parliamentary Government,


Princeton University Press, New Jersey.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen; 2005, Lembaga Perwakilan Rakyat di


Indonesia: Studi dan Analisa Sebelum dan Setelah Perubahan
UUD 1945.

Gould, Carol C, 1993, Demokrasi Ditinjau Kembali, PT. Tiara Wacana


Yogyakarta.

Huda, Ni’matul S.H., M.Hum; 2006, Hukum Tata Negara Indonesia, PT.
Raja Grafindo, Jakarta.

Institute For Local Government; 2006 Mengenal DPD-RI Sebuah


Gambaran Awal.

J Laski, Harold, 1938, A Grammar Of Politics, George Allen & Unwin


LTD, London.

Khaldun, Ibnu, 2000, Mukaddimah, Pustaka Firdaus, Jakarta.

Lijphart, Arend 1999, “Patterns of Democracy”, , Yale University Press.

Lubis, Solly, 1989, Ilmu Negara, Manda Maju – Bandung.

Manan Bagir, S.H., M.CL, Prof, Dr.; 2003, DPR, DPD, dan MPR dalam
UUD 1945 Baru, FH UII Press.

_____________ 2003, Teori dan Politik Konstitusi, Fakultas Hukum Univ.


Islam Indonesia. Jogyakarta.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
107
NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG SUSDUK MPR, DPR, DAN DPD

www.parlemen.net

May Rudy, Teuku, Drs, SH, MA, MIK, 1993, Pengantar Ilmu Politik,
Eresco – Bandung.

Noer, Deliar, 1999, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Mizan, Jakarta.

Soetiksno, 2003, Filsafat Hukum Bagian 2, PT Pradnya Paramita, Jakarta.

Soehino, 1980, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta.

Wahjono, Padmo, 1996, Ilmu Negara, Ind Hill Co, Jakarta.

2. Peraturan Perundang-undangan dan Dokumen lainnya

Indonesia, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945.

UUD Uni Sovyet tahun 1977.

UUD RRC. (tahun 1977).

UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,


DPR, DPD, dan DPRD.

Peraturan Tata Tertib MPR.

Komisi Konstitusi, 2004 Kajian Terhadap Perubahan Undang-Undang


Dasar 1945 . Dokumen tidak diterbitkan.

3. Majalah dan Terbitan Lainnya

Jentera edisi 8 Tahun III, Maret 2005.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
www.parlemen.net
108

You might also like