You are on page 1of 65

By Timur Abimanyu, SH.

MH

UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA


DALAM SATU NASKAH
UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
UU Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU Nomor 3
Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun1989 tentang
Peradilan Agama
Oleh :

Prof. Dr. H. Muchsin, S.H.

SEJARAH RINGKAS
PERKEMBANGAN KOMPETENSI PERADILAN AGAMA
&
UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA
DALAM SATU NASKAH

I. PENDAHULUAN
Agama-agama yang kini ada di Indonesia telah lama dianut oleh masyarakat Indonesia.
Agama yang pertama kali berada di Indonesia adalah agama Hindu, lalu disusul dengan Islam,
dan Kristen. Perkembangan tersebut diikuti pula oleh keberadaan lembaga peradilannya.
Bustanul Arifin mengatakan bahwa peradilan agama untuk masyarakat Islam terdapat pula di
Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Filippina, anak benua India, Thailand, Srilanka,
bahkan di Israel.
R. Tresna menyebutkan bahwa dalam tingkatan permulaan manusia hidup bergaul,
segala perselisihan yang timbul karena pertentangan kepentingan, diselesaikan dengan
mengambil tindakan sendiri, atau manusia bertindak sebagai hakim sendiri. Setelah lingkungan
pergaulan hidup semakin teratur dan manusia sudah membiasakan diri hidup di dalam batas-
batas tempat kediaman yang tertentu serta berpedoman pada tata-cara yang dianggap baik
menurut keyakinan bersama. Oleh karena itulah nafsu untuk bertindak menjadi hakim sendiri
dipandangnya tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat. Dan kepala suku, kampung, desa,
atau apa juga namanya sesuatu kesatuan hukum, yang merupakan bingkaian di dalam pergaulan
hidup manusia di sesuatu daerah tertentu.
Menurut penulis, apa yang dikemukakan oleh Tresna di atas menggambarkan adanya
suatu wilayah yurisdiksi, prosedur, dan hukum materil yang digunakannya. Wilayah yurisdiksi
ditunjukkan oleh bagian kalimat “di dalam batas-batas tempat kediaman tertentu.” Prosedur
ditunjukkan oleh bagian kalimat “berpedoman pada tata cara yang dianggap baik,” dan
hukum materil yang digunakannya diwakili oleh bagian kalimat “menurut keyakinan mereka.”
Tresna menyebutkan salah satu sumber yang mengatakan bahwa menurut prasasti
finscriptie pada batu dinding dari candi-candi di zaman Airlangga, peradilan pada zaman itu
dipegang oleh raja sendiri, dan hukuman badan hanya dijatuhkan oleh raja dan kepada
perampok dan pencuri. Akan tetapi, menjadi kenyataan pula, peradilan di zaman kuno
dilakukan pula oleh pejabat-pejabat tertentu. Bahkan, di dalam kesatuan-kesatuan hukum
wilayah kerajaan, kepala kesatuan menjalankan juga peradilan atas dasar hukum adat, dan hal
tersebut bukan hanya terjadi di Pulau Jawa, melainkan juga di luar Pulau Jawa, seperti
Mataram. Lebih jauh lagi, Tresna menyebutkan beberapa hasil penelitian ahli-ahli bangsa
Belanda tentang adanya pemisahan peradilan seperti peradilan pradata dan
peradilan padu. Yang pertama, khusus untuk perkara-perkara yang menjadi urusan peradilan
raja. Yang kedua, untuk perkara-perkara yang tidak menjadi urusan peradilan raja.
Menurutnya pula, apabila dilihat dari sudut asalnya, hukum pradata itu bersumber
pada hukum Hindu, sedangkan hukum padu berasal dari hukum Indonesia asli. Perbedaan
keduanya bukan saja pada sumber asalnya melainkan juga pada lingkungan
keberlakuannya. Selain itu, hukum pradata terdapat pada kiutab hukum, sedangkan hukum
padu terdapat pada hukum yang tidak tertulis. Akan tetapi, pemisahan tersebut tidaklah berarti
pemisahan hukum pradata dan hukum paduidentik dengan pemisahan dalam sistem Barat yang
memisahkan antara hukum publik dan hukum privat, tetapi pemisahan dalam hukum adat tidak
seperti pemisahan dalam sistem Barat. Uraian di atas menunjukkan masuknya peradaban Hindu
ke Indonesia membawa pengaruh juga ke dalam tata hukum Indonesia sekalipun tidak meresap
ke bawah, serta membiarkan saja perkembangan hukum asli di tangan rakyat tanpa ada niat atau
hasrat untuk mempengaruhi jalannya pertumbuhan hukum asli itu.
Tata hukum Indonesia kembali mengalami perubahan setelah agama Islam masuk ke
Indonesia. Hukum Islam – pada akhirnya – tidak saja menggantikan hukum Hindu, yang
berwujud di dalam hukum pradata tetapi juga berusaha memasukkan pengaruhnya ke dalam
masyarakat di dalam segala hidupnya. Meskipun hukum asli tidak diasingkan sama sekali,
pengaruh hukum Islam dalam beberapa segi kehidupan rakyat telah mengambil kedudukan
yang tetap bagi penganut-penganut agama Islam, terutama di dalam hukum keluarga.
Salah satu pengaruh kedatangan agama Islam terhadap hukum asli, yang ditunjukkan
oleh Tresna adalah yang terjadi di Mataram, yaitu perubahan yang pertama kali terjadi di dalam
tata hukum di bawah pengaruh Islam, yang dilakukan oleh Sultan Agung, dalam
pengadilan pradata, yang dipimpin raja sendiri. Perubahan terjadi pada namanya menjadi
pengadilan Surambi,dan tempatnya di serambi mesjid Agung, tidak lagi di Sitinggil. Sedangkan
perkara-perkara kejahatannya disebut kisas.Pimpinan pengadilan pun mengalami perubahan,
dari tangan raja ke tangan penghulu, yang dibantu beberapa ulama sebagai anggota.
Tresna menyebutkan pula bahwa perubahan yang dilakukan di Mataram, dilakukan
pula di Priangan. Menurut laporan Joan Frederik Gobius (Residen di Cirebon tahun 1714-1717)
sebagaimana dikutip Tresna, tata usaha Pengadilan di Priangan diatur menurut tata usaha
Pengadilan di Mataram, karena Bupati-bupati di Priangan setelah takluk kepada Mataram,
dibiarkan tetap menjalankan pemerintahan dan peradilan khusus perkara-perkara padu,
sedangkan perkara-perkara pradatadikirimkan ke Mataram. Akan tetapi, karena Priangan jauh
dari Mataram, kekuasaan Mataram tidak begitu dirasakan di Priangan, apalagi para Bupati tepat
mengirimkan upetinya ke Mataram dan pada waktu yang ditentukan datang menghadap ke
Mataram untuk membuktikan kesetiaannya. Oleh karena itu mereka dapat berbuat
sekehendaknya di daerah-daerahnya seperti belum ditaklukkan. Akibatnya, banyak perkara
yang diselesaikan di masing-masing kabupaten, tidak dikirimkan ke Mataram. Keadaan serupa
itu lebih tampak ketika kekuasaan Mataram merosot setelah Sultan Agung dan Amangkurat I
wafat.Pada waktu Kumpeni mengadakan penyelidikan tentang keadilan peradilan di tanah
Priangan, didapati ada 3 (tiga) macam pengadilan: 1) Pengadilan Agama, 2) Pengadilan
Drigama, dan 3) Pengadilan Cilaga.
Pengadilan Agama mengadili perkara atas dasar hukum Islam dan berpedoman kepada
rukun-rukun yang ditetapkan oleh para penghulu. Kekuasaan Pengadilan Agama mencakup
perkara-perkara mengenai hukuman badan atau hukuman mati, yang sebelumnya termasuk
perkara pradata dan diadili di Mataram. Pengadilan Agama berwenang pula mengadili perkara
perkawinan dan waris. Pengadilan Drigama mengadili perkara-perkara yang tidak termasuk
wewenang Pengadilan Agama sebagaimana tersebut di atas. Pengadilan ini bekerja dengan
memakai hukum Jawa Kuno yang disesuaikan dengan hukum Adat setempat. Pengadilan Cilaga
adalah semacam pengadilan wasit, yang khusus untuk orang-orang yang berniaga. Perkara-
perkara yang termasuk golongan ini diurus dan diselesaikan oleh suatu badan, yang berasal dari
beberapa utusan kaum berniaga.
Bagaimana halnya dengan pengadilan di Kerajaan Banten? Keterangan yang dapat
dikumpulkan oleh ahli-ahli sejarah tidak cukup untuk menggambarkan dengan nyata keadaan
dan pertumbuhan, maupun sejarah peradilan di Kerajaan Banten. Tresna selanjutnya
mengatakan bahwa pengadilan di banten disusun menurut pengertian Islam, kecuali pada abad
ke-16 hingga tahun 1600, ada pula bentukan-bentukan penagdilan yang berdasar pada hukum
Hindu, karena masih di bawah kekuasaan Pakuan-Pajajaran.
Pada waktu kekuasaan Sultan Hasanudin, atau pada abad ke-17, hanya ada satu macam
pengadilan, yang dipimpin oleh Kadhi, sebagai hakim tunggal. Akan tetapi, putusannya yang
terkait dengan hukuman pada saat itu masih memerlukan pengesahan dari raja, dan hal tersebut
merupakan pengaruh hukum Hindu.
Pada tahun 1602 di negeri Belanda didirikan perserikatan dagang buat Timur-Jauh,
yang dinamakan VOC/KOMPENI (De Vereenigde Oast-Indische Compagnie). Di dalam akta
pendiriannya ditetapkan beberapa hak dan kekuasaan untuk menyelamatkan tujuannya,
berdagang. Selain itu, VOC/KOMPENI diberikan pula hak untuk mengangkat hakim-hakim
untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan keadilan dalam daerah kekuasaannya. Di dalam
instruksi kepada Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia yang pertama tanggal 29 Nopember
1609, diperintahkan supaya Badan Pemerintah Tertinggi di Hindia itu menjadi hakim di dalam
perkara pidana maupun perdata. Ketentuan di dalam Octrooi tersebut di atas (Pasal 35) yang
memberikan kekuasaan untuk mengangkat hakim-hakim, merupakan dasar kekuasaan hukum
dari pengadilan yang kemudian didirikan oleh VOC/KOMPENI di daerahnya.
Pada tanggal 24 Juni 1620 dikeluarkan resolusi yang membentuk suatu majelis
pengadilan di bawah pimpinan Baljuw,yang bernama College van Schepenen. College tersebut
diserahi pula urusan pemerintahan dan kepolisian di dalam kota. Sebagai badan pengadilan,
majelis ini diberi nama Schepenbank, yang merupakan badan pengadilan untuk segala
penduduk kota yang merdeka (bukan budak) dari bangsa apa pun, kecuali pegawaipegawai
VOC/KOMPENI dan serdau-serdadunya.Schepenbank mula-mula hanya mengadili perkara-
perkara sipil saja, tetapi lama-kelamaan ditugaskan untuk mengadili perkara-perkara kriminal.
Pada tanggal 4 Maret 1621 pengurus VOC/KOMPENI di Belanda telah mengeluarkan
instruksi yang menetapkan bahwa di daerah yang dikuasai VOC/KOMPENI harus diberlakukan
hukum sipil Belanda, di antaranya dalam hukum waris, tetapi pemerintah kolonial tidak dapat
melaksanakan instruksi tersebut karena sulit menerapkannya. Oleh karena itu, di dalam Statuten
van Batavia yang dikeluarkan pada tahun 1642 ditentukan bahwa untuk pewarisan orang
Kristen, orang Tionghoa, orang-orang yang beragama Kuno, dan orang Islam, tetap dilakukan
kebiasaan dan adat terkait yang mereka terapkan.
Susuhunan Amangkurat I yang menggantikan Sultan Agung dalam tahun 1645, tidak
begitu suka kepada pemuka-pemuka Islam, dan karenanya ia berusaha mengurangi pengaruh
alim ulama di dalam pengadilan, dengan pengembilalihan kembali tapuk pimpinan pengadilan
ke tangannya sehingga PengadilanPradata dihidupkan kembali. Tahun 1677 adalah titik
permulaan jatuhnya kekuasaan Mataram sebagai negara yang berdaulat penuh, yang akhirnya
berlanjut dengan terpecahnya Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta. Hal tersebut
berakibat Kumpeni lebih jauh lagi mencampuri urusan peradilan di kedua negara itu.
Pada tahun itu pula Amangkurat I menyerahkan sebagian daerahnya ke Jawa barat,
yaitu yang berada di sebelah barat Pamanukan, terus ke Selatan menurut garis lurus sehingga
kekuasaan VOC/KOMPENI semakin meluas di luar kota Jakarta. Lalu pada tanggal 31 Mei
1686 dikeluarkannya pula resolusi yang menetapkan kekuasaan hukum badan-badan pengadilan
Belanda di kota Jakarta meliputi juga Priangan Tengah (Kabupaten Bandung, Sumedang, dan
Parakanmuncang), tetapi hukum Belanda pun tidak dapat dilaksanakan di Priangan Tengah,
sehingga pengadilan-pengadilan asli dibiarkan berjalan.
Sejak perjanjian de Hartogh dalam tahun 1688, pengadilan di Cirebon hingga tahun
1806 tidak banyak mengalami perubahan. Dasar perjanjian tersebut adalah perjanjian
sebelumnya yang dibuat oleh Tak tetapi tidak dikuatkan oleh Kompeni. Perjanjian dimaksud
menjadi cermin keadaan pengadilan di Cirebon pada waktu itu, yang mugnkin sama dengan
keadaan ketika Cirebon belum ditaklukkan Mataram pada tahun 1650.
Pada tahun 1705 Priangan Timur jatuh ke tangan VOC/Kompeni sehingga sejak saat
itu seluruh Priangan termasuk Cirebon, berada di bawah pemerintahan Kompeni. Namun,
karena mengalami kesulitan dalam mengatur pemerintahan yang langsung di bawah pemilikan
Kompeni, maka pemilikan atas pemerintahan daerah Priangan diserahkan kepada Pangeran Aria
Cirebon. Dan untuk menjalankan pemerintahan itu, Aria Cirebon diberikan pedoman yang
terdapat dalam instruksi tanggal 22 Maret 1706, yang menetapkan bahwa para Bupati di
Priangan tetap melakukan peradilan di masing-masing daerahnya, tetapi mereka tidak berhak
mengadili orang-orang yang bukan penduduk daerahnya dan tidak termasuk rakyatnya. Akan
tetapi, pada tanggal 12 Desember 1708 ada resolusi untuk seluruh Priangan, yang ditujukan
kepada para Bupati dan pegawai-pegawainya, yang isinya “tetap mengadili rakyatnya golongan
Bumiputera, baik dalam perkara sipil maupun perkara kriminal, serta golongan Bumiputera
yang merantau, dan melakukan kejahatan di daerahnya. Ketentuan yang termuat dalam resolusi
di atas bertentangan dengan instruksi sebelumnya, dan menimbulkan pertentangan pula dalam
penerapannya, sebagaimana yang terjadi pada kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orang
Cirebon di daerah Priangan. Menurut instruksi tahun 1706 dimaksud, pembunuh tersebut harus
diserahkan ke Cirebon, tetapi Bupati Priangan mengadilinya di daerahnya berdasarkan resolusi
12 Desember 1708.
Adanya pertentangan dalam aturan hukum dan dalam penerapannya itu mengilhami
lahirnya resolusi baru pada tanggal 8 April 1712, yang pada hakekatnya mengulangi isi resolusi
12 Desember 1708. Isi resolusi 8 April 1712 berbunyi “Bupati-bupati dengan pegawainya harus
memutus perkara menurut hukum Jawa, dengan tidak perlu mengirimkan orang-orang yang
menjalankan kejahatan ke Cirebon, tetapi cukup memberitahukannya ke Residen Cirebon dan
Pangeran Aria Cirebon.
Selanjutnya Tresna menyebutkan bahwa dalam tahun 1758 Mr. F.C. Hasselaar, yang
menjadi Residen di Cirebon dari tahun 1757 hingga 1765, telah membuat kitab hukum yang
disebut Pepakem Cirebon, yang membawa perubahan dalam tata pengadilan di Cirebon. Kitab-
kitab Hukum tersebut merupakan kompilasi dari ketentuan-ketentuan hukum Hindu, yang –
seiring dengan perjalanan waktu – telah mengalami perubahan. Pengaruh Islam telah nampak
ke dalam isi Pepakemkarena di dalamnya menyebutkan adanya Pengadilan Penghulu,
sedangkan pengaruh Barat belum nampak di dalam penyimpangan-penyimpangan dari sumber-
sumber di atas. Dan dengan lebih menekankan kepada susunannya daripada tugasnya, orang
menyebut Pengadilan Penghulu dengan Pengadilan Agama padahal Pengadilan Penghulu itu
terutama untuk mengadili perkara-perkara yang tidak ada hubungannya dengan urusan agama.
Sumber lain menyebutkan bahwa sebelum Islam datang ke Indonesia, di kepulauan
Nusantara sudah ada peradaban dan kebudayaan, serta kerajaan yaitu Kerajaan-kerajaan :
Sriwijaya, Tarumanegara, Kutai, Kedah, Mataram, Kediri, Singasari, Majapahit, Ternate,
Tidore. Dan para ahli sejarah telah mengemukakan berbagai pendapat tentang abad kedatangan
Islam ke Indonesia, yaitu : abad ke-7 (abad ke-1 Hijriah, abad ke-10 (abad ke-4 Hijriah), dan
abad ke-13 (abad ke-7 Hijriah).
Pendapat-pendapat di atas didasarkan pada :
1. kedatangan orang Islam ke Sumatera pada tahun 650 H., yang berbetulan dengan masa
Pemerintahan Khalifah Usman bin Affan.
2. makam seorang wanita Islam di Gresik yang
bernama Fatimahbinti Maimun bin Hibatallah, berangka tahun 475/495 H. (1082/1102
M.).
3. keberadaan pedagang-pedagang Islam di tanah Jawa sebelum Raja kediri
terakhir, Kertajaya (1200-1222), tetapi belum mendapatkan perhatian para ahli sejarah
karena rajanya masih beragama Hindu dan Budha, dan keberadaan muslim di Perlak, Aceh
pada tahun 1292, serta keber-Islam-an Raja Sumatera Utara, al-Malik al-Salih. Menurut
Suparman Usman, data di atas menunjukkan bahwa Islam datang ke kepulauan Nusantara
jauh sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia, sekitar abad ke-15. Menurut penyusun,
dengan memperhatikan kedatangan VOC/KOMPENI pada tahun 1596, abad yang tepat
Belanda datang ke Indoensia adalah abad ke-16.
Orang-orang Belanda datang ke Indonesia (Banten) untuk memburu rempah-rempah
yang laku di pasaran Eropa. Mereka bergabung dengan Portugis, Inggeris, dan Spanyol.
Menurut Bushar Muhammad, sewaktu datang Beladan mengira di Indonesia belum ada
hukum, tetapi ternyata sudah ada, yang sesuai dengan agamanya, yaitu Islam, Hindu, dan
Nasrani, di samping hukum Adat. Dan hukum Islam telah menjadi hukum yang ditaati oleh
umat Islam Indonesia bahkan sudah menjadi hukum nasional pada Kerajaan Islam Mataram
(1613-1645) di bawah Sultan Agung.
Secara global perkembangan lembaga Peradilan Agama dapat dilihat pada dua periode
yang radikal, yaitu periodesebelum proklamasi dan periode sesudahnya. Periodesebelum
proklamasi terbagi kepada masa kerajaan, masa pra kolonial, dan masa
kolonial. Sedangkan periode proklamasiterbagi kepada masa Orde Lama, masa Orde Baru,
dan masa Orde Reformasi.
A. Peradilan Agama sebelum Proklamasi
Achmad Rosetandi menyebutkan bahwa Pengadilan Agama sesungguhnya telah
dijumpai kira-kira abad keenambelas, yaitu pada zaman pemerintahan raja-raja yang
memeluk agama Islam di Indonesia. Hakim (Pengadilan, penyusun) Agama saat itu
diangkat oleh Sultan atau raja. Jabatan tersebut tidak terpisahkan dari pemerintahan umum
lainnya. Pengadilan Agama ini diselenggarakan oleh penghulu, yaitu pejabat administrasi
kemesjidan setempat. Pada masa itu tidak ada pengadilan resmi lain yang melayani rakyat,
selain Pengadilan Agama, yang persidangannya berlangsung di serambi mesjid.
Pada abad XVI (1596 M) VOC/KOMPENI (organisasi perusahaan dagang Belanda)
merapat di Pelabuhan Banten, Jawa Barat, untuk berdagang, tetapi ternyata organisasi
tersebut mempunyai fungsi lain yaitu sebagai badan pemerintahan. Dalam menjalankan
fungsi terakhirnya ini, VOC/KOMPENI menggunakan hukum Belanda pada daerah-daerah
yang dikuasainya, dan secara perlahan badan-badan peradilan pun dibentuknya pula, tidak
terkecuali peradilan agama. Namun, badan-badan peradilan yang dibentuk
VOC/KOMPENI tidak efektif karena hukum yang diterapkannya bukan hukum yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat, melainkan hukum yang dibawanya dari Belanda. Oleh
karena itu, pada tahun 1642, kewarisan bagi orang Islam Indonesia didasarkan pada hukum
waris Islam.
Karena badan-badan peradilan yang dibentuknya tidak efektif maka
VOC/KOMPENI meminta D.W. Freijer untuk menyusun “Compendium yang memuat
hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam”, yang selanjutnya hasil kerjanya itu
disempurnakan oleh para penghulu dan ulama Islam pada saat itu, lalu digunakan oleh
lembaga-lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan
kepadanya. Bahkan Lodwijk Willem Christian van den Berg berpendapat bahwa hukum
mengikuti agama yang dianut seseorang. Menurutnya, orang Islam Indonesia telah
melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai kesatuan. Pendapat van
den Berg ini dikenal dengan teori receptio in complexu. Selain Berg, Mr. Scholten van
Oud Haarlem menulis sebuah nota kepada pemerintahan Hindia Belanda yang isinya antara
lain “Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan seperti perlawanan
bumiputera jika agamanya dilanggar, maka harus dibiarkan mereka tetap menerapkan
hukum agama dan adat istiadat mereka. Menurut penyusun, peraturan-peraturan tersebut di
atas bertujuan menghindari meluasnya resistensi dan perlawanan umat Islam terhadap
Belanda dan kepentingannya.
Pada tahun 1808 dikeluarkan instruksi Pemerintah Hindia Belanda kepada para
Bupati, yang isinya “Terhadap (1) urusan-urusan agama orang Jawa tidak akan dilakukan
gangguan-gangguan, (2) pemuka-pemuka agama dibiarkan untuk memutuskan perkara-
perkara tertentu dalam bidang perkawinan dan kewarisan dengan syarat tidak akan ada
penyalahgunaan.
Pada tahun 1820, melalui instruksi kepada para Bupati (Pasal 13 Regenten
Instructie) yang berbunyi antara lain “Bahwa perselisihan mengenai pembagian waris di
kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada para alim ulama Islam.”
Suparman Usman menyebutkan bahwa pada tahun 1823 Gubernur Jenderal
(Belanda) mengeluarkan resolusi No. 12 Tahun 1823 tanggal 3 Juni 1823 tentang
peresmian Pengadilan Agama Palembang. Penyusun tidak mendaptkan tersebut dari
sumber lainnya padahal Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tidak mengecualikan
Kota Palembang dari peraturan tersebut.
Selanjutnya Pemerintah Belanda mengeluarkan Stb.1835 No. 58 yang di dalamnya
dinyatakan tentang wewenang Peradilan Agama di Jawa dan Madura untuk memutuskan
perselisihan tentang perkara perkawinan dan pembagian harta benda dan sebagainya yang
harus diputuskan menurut hukum syara’ Islam, maka yang harus menjatuhkan keputusan
dalam hal itu hendaknya betul-betul ahli agama Islam. Akan tetapi segala persengketaan
dari hal pembagian harta benda atau pembayaran yang terjadi karena keputusan itu harus
dibawa ke muka pengadilan biasa. Pengadilan itulah yang akan menyelesaikan perkara itu
dengan mengingat keputusan ahli agama dan supaya keputusan itu dijalankan.
Selain itu, disebutkan dalam Pasal 78 RR(Regeering Reglement) 1854 yang dimuat
dalam Stb. 1855 No. 2 tentang batas-batas kewenangan Pengadilan Agama, yaitu : (a)
Pengadilan Agama tidak berwenang dalam perkara pidana, dan (b) Apabila menurut
hukum-hukum agama dan adat-adat lama perkara itu harus diputuskan oleh
penghulu/pemuka agama atau peradilan agama. Terhadap Pasal 78 huruf a RR tersebut,
penyusun dapat memahaminya karena hukum pidana merupakan hukum publik, sekalipun
keberlakuannya dapat dikhususnya untuk umat Islam. Dan Pasal 75 RR memberikan
instruksi kepada pengadilan agar tetap mempergunakan undang-undang agama, lembaga-
lembaga dan kebiasaan-kebiasaan itu sejauh tidak bertentangan dengan kepatutan dan
keadilan yang diakui umum karena – menurut penyusun – hukum agama merupakan
hukum yang hidup dan berkembang pada masa pemerintahan penjajah Belanda.
Pendapat van den Berg dan Paul Scolthen itulah yang mendorong
lahirnya Stb. 1882 Nomor 152. Akan tetapi, Staatsblad tersebut belum menentukan secara
jelas bidang kewenangan Peradilan Agama. Peradilan Agama sendiri yang menentukan
kewenangannya yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan, sebagai
kelanjutan dari praktek peradilan dalam masyarakat bumiputera muslim yang berlangsung
sejak zaman VOC/KOMPENI dan kerajaan-kerajaan Islam sebelumnya.Hal tersebut
merupakan pengakuan dan pengukuhan resmi terhadap sesuatu yang telah ada dalam
masyarakat, dan masih berjalan ± 2 abad setelah kedatangan VOC/KOMPENI dan awal-
awal masa pemerintahan Kolonial, yang akhirnya dicoba untuk dihapuskan oleh
pemerintah kolonial Belanda.
Keadaan yang demikian berimplikasi pada lembaga peradilan pemerintahan Hindia
Belanda (Indonesia sebelum merdeka) yang mempunyai lingkungan dan susunan serta
lingkup kekuasaan yang berbeda-beda, yaitu :
a. Lingkungan Peradilan Pemerintah (Gouvernements-Rechtspraak.)
b. Lingkungan Peradilan Agama
c. Lingkungan Peradilan Swapraja
d. Lingkungan Peradilan Adat
e. Lingkungan Peradilan Desa
f. Lingkungan Peradilan Khusus.

Organisasi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama pertama kali dibentuk


pada tanggal 19 Januari 1882 oleh Raja Belanda dalam sebuah keputusan No. 24
yaituStaatsblad 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan
Madura. Staatsbladtersebut tidak menyebutkan kewenangan Pengadilan Agama, sehingga
kewenangannya dikembalikan kepada Stb. 1835 No. 58. Staatsblaad ini merupakan
reorganisasi terhadap Pengadilan Agama, yang memberikan landasan dasar bagi otonomi
yang lebih luas dan tumbuhnya pandangan yang lebih luas di kalangan pejabat agama
sendiri. Menurut Dainel S. Lev, reorganisasi ini telah melahirkan 2 (dua) landasan penting
yang berkembang secara perlahan-lahan, yaitu: tumbuhnya spesialisasi dalam pelaksanaan
tugas Pengadilan Agama dan terbentuknya pengawasan nasional.
Sekalipun dibentuk oleh pemerintah, Pengadilan Agama tidak memperoleh
kedudukan yang sama dengan Pengadilan Negeri, kecuali ketuanya saja yang mendapat
tunjangan tetap karena berkedudukan pula sebagai PenghuluLandraad.
Pada tahun 1909 Pemerintah mengeluarkan Stb.1926 No. 128 dan pada tahun 1926
mengeluarkan Stb.1926 No. 232, yang mengubah pelaksanaan Stb. 1882 No. 152, dan hal
itu menimbulkan kekecewaan di kalangan ahli hukum dan umat Islam. Di samping itu,
keadaan demikian membangkitkan semangat usaha untuk melakukan perubahan, dan pada
tahun 1931 – dengan Organisasi(Ordonansi, pen.) tanggal 31 Januari 1931–
dalam Stb.1931 No. 53 ditetapkan Peraturan tentang 3 Pokok Ketentuan, yaitu : 1)
Perubahan Raad Agama menjadi Penghulu Gerecht yang terdiri dari dua penasehat dan
satu panitera, 2) dengan kekuasaan pada perkara yang berkaitan dengan nikah, talak, dan
rujuk. Perkara hadlanah, wakaf, dan lain-lain, dicabut dan diserahkan kepada Landraad, 3)
ada tambahan acara pada Pengadilan Agama, dan 4) Pembentukan Mahkamah Islam Tinggi
sebagai pengadilan banding. Menurut penyusun, bagian kedua dari angka 2) di atas dicabut
karena berkaitan dengan masalah keuangan/ekonomi sehingga dikhawatirkan menjadi
modal untuk menambah kekuatan dalam melawan penjajah secara fisik.
Busthanul Arifin mengatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda dalam politik
hukum selalu menangani segala bidang hukum secara concerted (direncanakan bersama).
Sarjana-sarjana hukum di lingkungan perguruan tinggi membuat konsep-konsep ilmiah,
dan pemerintah merekayasa hasil-hasil karya ilmiah itu untuk kepentingan politik hukum.
Segala peraturan hukum tentang peradilan agama itu adalah hasil rekayasa brilian di bidang
hukum, khususnya di bidang peradilan. Rekayasa ilmiah di bidang hukum ini semua
ditujukan untuk mengeliminasi hukum Islam yang menjadi kesadaran hukum rakyat
Indonesia, dan yang di mata kolonial dianggap menjadi penghalang kolonialisme dan
imprealisme. Rekayasa ilmiah hukum meliputi (1) ide unifikasi hukum, (2) penemuan
hukum adat, dan (3) membuat citra palsu tentang peradilan agama.
Rekayasa ilmiah tersebut dilaksanakan oleh penguasa waktu itu dengan hati-hati
dan bertahap. Pengadilan Agama tidak dihapuskan sama sekali tetapi citranya dirusak,
diberikan citra palsu. Dan akibatnya, jadilah Pengadilan Agama seperti yang diwarisi
sekarang ini (1996, pen), yang hidup segan mati tak mau, peradilan yang merupakan quasi
pengadilan, pengadilan yang tanpa kekuasaan nyata, dan karenanya tanpa wibawa, dan hal
itu demikian tertanam sehingga peradilan agama diletakkan di luar kehakiman, judiciary.
Stb. 1937 No. 116 yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal dengan Keputusan No.
9 tanggal 19 Pebruari 1937, dan mulai berlaku 1 April 1937, merupakan penambahan
beberapa pasal dalam Stb. 1882 No. 152, yang sekaligus mempersempit kewenangan
Pengadilan Agama, karena di samping perkara hadalnah, wakaf, dan lain-lain, hal-hal yang
berkaitan dengan tuntutan pembayaran uang atau penyerahan harta benda yang
berhubungan dengan perkara nikah, talak, dan rujuk pun ikut dicabut pula. Dan mulai 1
Januari 1938 – berdasarkan Stb. 1937 No. 610 – diadakan sebuah Mahkamah Islam
Tinggi (Hof Voor Islamietische Zaken) dengan aturan pelaksanaannya berupa penambahan
atas Pasal 7 Stb. 1882 No. 152, yaitu dari Pasal 7 b sampai dengan 7 m. Akan tetapi semua
protes masyarakat tidak diperhatikan sehinga Stb. 1882 No. 152 dengan segala
perubahannya tetap berlaku di Jawa dan Madura. Menurut Achmad Roestandi,
penggerak di belakang usaha-usaha perubahan terhadap wewenang Pengadilan Agama
melalui Staatsblaad 1937 No. 116 adalah pendukung hukum adat yang dipelopori oleh ter
Haar. Mereka berdalih bahwa dalam kenyataannya pengaruh Islam tidak mendalam pada
aturan-aturan kewarisan dalam keluarga di Jawa dan di tempat-tempat lain di
Indonesia.Pengaruh-pengaruh itulah yang mengakibatkan wewenang Pengadilan Agama
dalam bidang waris diserahkan kepada Pengadilan Negeri.
Pemerintah Hindia Belanda mendirikan pula Pengadilan Agama di Kalimantan
Selatan dan Timur melaluiStb. 1937 No. 638 dan 639, dengan sebutan Kerapatan Qadli
(untuk tingkat pertama) dan Kerapatan Qadli Besar (untuk tingkat banding), dengan
kompetensinya sebagaimana pada Pasal 3 Stb. Tersebut di atas yang pada dasarnya sama
dengan bunyi Pasal 2a Stb. 1882 No. 152 di atas.
Menurut Bustanul Arifin, dari sisi sejarah peradilan agama di Indonesia telah
pernah dicoba untuk dihapuskan oleh politik hukum kolonial dengan konsep-konsep
hukum sekuler demi kepentingan politik kolonial mereka tetapi gagal, walaupun berhasil
membuat peradilan agama menjadi kerempeng dan sebagai alat adu domba antara
golongan-golongan agama di Indonesia. Achmad Roestandi menyebutkan pula bahwa
perkembangan kewenangan Pengadilan Agama mengalami pasang surut. Ada yang
sesuaidengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang hidup di masyarakat, dan ada pula yang
dibatasi oleh kebijakan-kebijakan dan peraturan perundang-undangan.
Pada masa pendudukan Jepang, semua peraturan perundang-undangan yang ada
sebelumnya dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
hukum Pemerintahan Dai Nippon. Dan pada masa ini lembaga Peradilan Agama tetap
dipertahankan dengan perubahan nama menjadi "“Coorio Hooin”, dan Mahkamah Islam
Tinggi (sekarang PTA) berubah menjadi"Kaikoo Kootoo” yang didasarkan pada Pasal 3
Aturan Peralihan Bala Tentara Jepang (Osamu Seizu) pada tanggal 7 Maret 1942.

B. Peradilan Agama sesudah Proklamasi


Proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan pengesahan
keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia menghapus
konstitusi pemerintah Hindia Belanda yang terdapat dalam Wet op de Staatsinrichting van
Nederlands Indie (yang disingkat IS), dan hal tersebut mengakibatkan
teori Receptie kehilangan dasar hukumnya sehingga menjadi teori Receptie Exit.
Setelah kemerdekaan Indonesia keberlakuan hukum Islam dalam ketatanegaraan
Indonesia berpijak pada landasan filosofis Pancasila dan landasan yuridis UUD 1945,
khususnya Pasal 29.
Satu tahun setelah Indonesia merdeka, yang selanjutnya menjadi bagian dari
masa Orde Lama,pembinaan Peradilan Agama dipindahkan dari Kementerian Kehakiman
kepada Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 5/SD/1946, yang
menyebabkan semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari
Kementrian Kehakiman kepada Kementrian Agama. Lalu berdasarkan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1948, Peradilan Agama dimasukkan ke Peradilan Umum. Namun –
menurut Hadari Djenawi Taher – karena tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat
Indonesia, undang-undang tersebut tidak pernah dinyatakan berlaku. Menurut penyusun,
pembuat undang-undang tidak belajar dari sejarah pada masa penjajahan Belanda terhadap
bangsa Indonesia yang menyebabkan timbulnya resistensi dan penolakan umat Islam
Indonesia.
Pada perkembangan selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Darurat (UUDr)
Nomor 1 Tahun 1951, Pemerintah menegaskan pendiriannya untuk tetap mempertahankan
Peradilan Agama, menghapus Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat. Undang-Undang
Darurat di atas merupakan usaha kedua, yang mengarah pada penghapusan Pengadilan
Agama. Usaha sebelumnya untuk menghapuskan Pengadilan Agama telah dilakukan pula
melalui undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 19 tahun 1948. Usaha tersebut
sebaliknya menimbulkan minat untuk lebih memperhatikan Pengadilan Agama.

Pada tahun 1952 di samping Urusan Agama, Pendidikan, dan Penerangan, dibentuk pula Biro Peradilan
Agama, yang kemudian berubah menjadi Direktorat Peradilan Agama. Biro itulah yang mengusahakan pembentukan
Pengadilan-pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura, berusaha mempertahankannya dari serangan-serangan, dan
melakukan hal-hal lain yang diperlukan untuk mengurusi pelaksanaan peradilan. Dengan adanya Biro ini, Pengadilan
Agama memperoleh perlindungan yang lebih kuat sebagai aparat penegak hukum nasional.

Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Darurat di atas, pada tahun 1957


Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Peradilan Agama di luar Jawa – Madura dan Kalimantan Selatan – Timur, dengan
kompetensi sebagai berikut:
“Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami-isteri
yang beragama Islam, dan perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut
hukum agama Islam, yang berkenaan dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah,
maskawin, tempat kediaman (maskan), mut’ah, dan sebagainya, hadlanah, perkara waris-
malwaris, wakaf, hibah, shadaqah, baitulmal, dan lain-lain yang berhubungan dengan itu.
Demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat ta’lik
sudah berlaku.”
Ismail Suny mengatakan bahwa keberlakuan hukum Islam pada masa-masa
tersebut hanya bersifat persuasive source (sumber persuasif), yaitu keharusan yakin dan
menerima). Menurut penyusun, sebagian umat Islam menginginkan dan menerapkannya
sebagai wujud keimanan mereka. Hal itu berlangsung sampai dikelurkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, yaitu kembali kepada UUD 1945 dan Piagam Jakarta. Menurut
penyusun, dekrit Presiden 5 Juli 1959 hanya kepada UUD 1945, sedangkan Piagam Jakarta
disebutkan dalam salah satu pertimbangannya.
Eksistensi Peradilan Agama pada masaOrde Baru ditunjukkan dengan kelahiran
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman memantapkan kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu kekuasaan
kehakiman di Indonesia, dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b dan ayat (2). Selanjutnya Pasal 12
undang-undang tersebut menyatakan bahwa “Susunan, Kekuasaan, serta Acara dari Badan-
badan Peradilan tersebut dalam Pasal 10 ayat (1) diatur dalam undang-undang tersendiri.
Menurut penyusun, secara de yure Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
mendudukkan secara sejajar antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum, dan hal tersebut
diperkuat lagi dengan kelahiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. UU Nomor 1 Tahun 1974 bukanlah berasal dari RUU Perkawinan yang
diajukan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 31 Juli 1973.
Keinginan untuk memiliki UU Perkawinan sebenarnya sudah didambakan oleh
seluruh warga masyarakat, tetapi RUU yang diajukan Presiden pada tanggal 31 Juli 1973
menuai protes dan kritik yang keras dari kalangan Islam. Setelah para anggota DPR
menerima draft tersebut, dan belum sempat dibicarakan, terjadi gelombang protes di
masyarakat dan di DPR sendiri.
Kalangan Islam menilai bahwa RUU Perkawinan yang diajukan oleh pemerintah
bertentangan dengan keimanan. K.H. Yusuf Hasyim, anggota DPR (saat itu) menilai bahwa
RUU tersebut terang-terangan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, tetapi juga
memusuhi Islam. Menurutnya, RUU baru itu memberikan perlindungan hukum dalam
bidang perkawinan kepada golongan Cina, Eropa, dan Kristen, dan memaksa umat Islam
keluar dari hukum Islam. Para pengeritik menginginkan agar hukum Islam diperhatikan
dalam penyusunan RUU Perkawinan.
Gregorius Soegiharto, Ketua Fraksi Karya, menanggapi balik keinginan itu
dengan mengatakan bahwa jika saja ajaran-ajaran agama masih dipegang, maka tidak akan
ada kemajuan-kemajuan. Pernyataan Gregorius tersebut semakin mendidihkan suasana.
Yusuf Hasyim menuduh balik pernyataan tersebut dan menganggapnya sebagai ekspresi
daris eorang komunis yang memang menjadi musuh agama. HAMKA pun menulis di
Harian KAMI bahwa di balik RUU Perkawinan ada motif politik keagamaan, yang sengaja
dibuat untuk memancing protes umat Islam, dan semakin memojokkannya, guna
membenarkan tuduhan sebagai ekstrem kanan atau G30S. HAMKA melangkah lebih jauh
pada bagian akhir tulisannya dengan mengeluarkan fatwa bahwa mengikuti RUU
Perkawinan tersebut haram, dan yang tetap melaksanakannya dihukumi kafir. Tulisan
HAMKA itu semakin meningkatkan penolakan RUU Perkawinan tersebut. Badan Kontak
generasi pelajar Islam menilai RUU tersebut merusak akidah Islam dan tidak menghormati
kesadaran hukum mayoritas bangsa (muslim).
Penelitian beberapa pihak tentang ketidaksesuaian RUU Perkawinan tersebut
dengan hukum Islam diperkuat oleh pernyataan akademis Fakultas Syariah IAIN Sunan
Kalijaga, yang menyatakan setidaknya ada 14 pasal dari RUU tersebut yang bertentangan
dengan hukum Islam, yaitu Pasal-pasal: 1, 2, 3 ayat (1), (2), 4 ayat (2), 5 ayat (2), 6 huruf a
dan b, 13 ayat (2). Menurut Yusuf Hasyim, setidaknya ada 13 hal yang bertentangan
dengan hukum Islam, yaitu yang terdapat pada Pasal-pasal: 2 ayat (1), 3 ayat (2) 7 ayat (1)
dan (2), 8, 10 ayat (2), 11 ayat (2), 12 ayat (1), 13 ayat (1) dan (2), 37 ayat (1) 39, 46 butir
(c) dan (d), 49, dan Pasal 62.
Gelombang demonstrasi menentang RUU Perkawinan terjadi hampir setiap hari
dan semakin besar. Aparat keamanan mulai menangkapi para demonstran. Menteri Agama
ketika hendak menyampaikan keterangan pemerintah dalam gedung Parlemen pun terpaksa
diamankan oleh petugas karena gedung Parlemen praktis dikuasai oleh pemuda dan
mahasiswa, sementara anggota DPR yang tidak setuju dengan RUU Perkawinan
meninggalkan sidang. Bahkan Menteri Agama dan Menteri Kehakiman, Prof. Umar Seno
Aji, terpaksa dievakuasi. Dan hampir semua ulama dari berbagai daerah memberikan
reaksinya sendiri-sendiri dan bersama-sama. K.H. Bisri Syamsuri menggagas sekaligus
memprakarsai pertemuan ulama se-Jawa Timur, di denanyar, Jombang, pada tanggal 22
Agustus 1973, yang melahirkan kesepakatan untuk menyerukan kepada umat Islam untuk
tidak mengikuti atau mentaati RUU Perkawinan itu jika tetap diundangkan. Selain kritik,
usul perubahan disampaikan pula oleh para ulama.
Secara umum ada 3 sikap yang dihasilkan dari pertemuan ulama Jawa Timur: 1)
segala persoalan yang dianggap prinsip dari sisi hukum Islam, tidak ada tawar-menawar
Tawar menawar (sikap) ini harus berhasil. Jika tidak, Fraksi persatuan harus menyatakan
tidak menerima pengundangan RUU tersebut, 2) terhadap hal-hal yang hanya memiliki
pertalian dengan prinsip hukum Islam harus diupayakan semaksimal mungkin supaya dapat
diadopsi ke dalam RUU Perkawinan tersebut, tanpa harus memboikotnya, dan 3) terhadap
bentuk materi yang tidak dianggap prinsipil dari sisi hukum Islam, agar diupayakan sebisa
mungkin. Hasil musyawarah tersebut disampaikan pula kepada PBNU, dan Syuriah PBNU
pun mengambil sikap yang sama. Fraksi persatuan Pembangunan pun mengadopsi hasil
musyawarah ulama tersebut sebagai sikap resmi Majelis Syuro PPP dan menganggapnya
sebagai sikap partai.
Situasi yang semakin genting ini mengisyaratkan kepada Pemerintah bahwa
kompromi adalah jalan terbaik, dan Pemerintah pun menyadari bahwa stabilitas negara
sedang dipertaruhkan, serta RUU Perkawinan tanpa amandemen hanya akan menyebabkan
ketidakstabilan politik dan sosial. Kepedulian yang sama juga ditunjukkan oleh ABRI.
Dalam situasi itulah, Jenderal Soemitro, Daryatmo, dan Sudomo menemui dan melakukan
lobi dengan para ulama Jawa Timur. Pendekatan yang dilakukan oleh Jenderal Soemitro itu
sekaligus menunjukkan adanya keterpecahan dan rivalitas di tubuh ABRI.
Partai Persatuan Pembangunan melalui utusannya (K.H. Bisri Syamsuri dan K.H.
Masykur) menghadap presiden Soeharto untuk menerangkan keberatan-keberatan P3
tentang rumusan RUU tersebut. Presiden sendiri menyatakan memahami bahwa peristiwa
perkawinan tidaklah semata-mata perkara hukum, tetapi juga ibadah. Dan lobi antara ABRI
dan ulama itu menghasilkan beberapa kesepakatan. Dalam catatan Ball, beberapa
kesepakatan itu adalah: 1) Hukum Islam sehubungan dengan perkawinan tidak akan
dikurangi atau diubah, 2) Peran Peradilan Agama tidak akan dikurangi atau diubah, 3)
Pencatatan nikah sipil tidak akan menjadi syarat sahnya nikah; perkawinan yang dilakukan
menurut ajaran agamanya dianggap mencukupi, dan 4) pengaturan-pengaturan lain
diperlukan untuk mencegah talak dan poligami yang semena-mena.
Menurut penulis, dari pergulatan politik hukum dalam merumuskan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bila dilihat dari pembicaraan-
pembicaraan/pembahasan-pembahasan dan pendapat-pendapat yang muncul saat itu
merupakan hasil maksimal yang dapat dicapai, dan secara sederhana merupakan titik
temu dan kompromi yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yang sampai
sekarang masih menjadi perbedaan penafsiran.
Sayuti Thalib mengatakan bahwa penerimaan DPR terhadap RUU tentang
Perkawinan dalam sidang plenonya tanggal 22 Desember 1973 merupakan hadiah bagi
kaum ibu Indonesia. Ia mengatakan pula bahwa keberadaan RUU tersebut tidak terlepas
dari tuntutan organisasi-organisasi wanita Indonesia sejak zaman penjajahan, yang hasilnya
merupakan langkah pertama dalam memenuhi kehendak masyarakat Indonesia. RUU
sebagaimana tersebut di atas disahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang pada tanggal
2 Januari 1974 (LNRI Tahun 1974 Nomor 1 dan Tambahan LNRI Nomor 3019).
Dikatakannya pula bahwa dari sudut pandang hukum Islam, Undang-Undang ini
telah menolong menetapkan secara tertulis apa yang selama ini telah berkembang dalam
masyarakat Indonesia dan tidak berbeda hukum Islam sendiri, walaupun perbedaan-
perbedaan yang mencolok pada saat pembahasan RUU Perkawinan, baik di dalam maupun
di luar DPR, tidak dapat dihapus begitu saja. Hal penting yang patut dicatat adalah bahwa
memaksakan pendapat kepada masyarakat banyak yang tidak menjadi suara hati mereka
tidak dapat dilakukan di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menampak-jelaskan
kedudukan Peradilan Agama dalam sistem peradilan di Indonesia. Hanya saja putusan dan
penetapan Pengadilan Agama tidak dapat dilaksanakan sebelum ada pengukuhan dari
Peradilan Umum. Hal itu menunjukkan politik hukum penjajah Belanda masih memberikan
pengaruh terhadap para pembuat undang-undang di negeri ini. Busthanul Arifin
mengatakan pula bahwa para ahli hukum Indonesia merupakan korban dari rekayasa ilmiah
hukum zaman kolonial, dan memerlukan waktu yang panjang untuk benar-benar
membebaskan alam pikiran kita dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perekayasaan itu,
walaupun proklamasi kemerdekaan Indonesia dan UUD 1945 telah memupus secara
prinsipal rekayasa-rekayasa tersebut. Perekayasaan hukum secara ilmiah itu dilaksanakan
dengan baik oleh rezim kolonial sehingga sampai sekarang pun (1996, tahun penerbitan
buku, pen.) manusia-manusia Indonesia masih bergulat untuk melepaskan dirid ari
kungkungan rekayasa itu.
Sehubungan dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, dalam
upaya merealisasikan Pasal 12 undang-undang tersebut, Pemerintah telah menyiapkan
Rencana (baca : Rancangan) Undang-Undang tentang Peradilan Agama. Hal ini – menurut
penyusun – menunjukkan secara de facto keterlibatan Mahkamah Agung secara langsung
untuk mendudukkan secara sama Peradilan Agama dan Peradilan lainnya, yang dapat
dikatakan dimulai dari penyiapan RUU Peradilan Agama.
Busthanul Arifin menyebutkan bahwa lebih dari 2 dasawarsa yang lalu Prof.
Mahali, S.H. (waktu itu Ketua Pengadilan Tinggi Medan dan Guru Besar USU), membuat
kertas kerja berjudul “Beberapa Catatan tentang Peradilan Agama” yang di dalamnya
disebutkan tentang beberapa peraturan resmi (termasuk instruksi-instruksi bagi para bupati)
yang menyangkut peradilan agama di daerah-daerah seluruh Indonesia, dan ia
menemukannya sejak tahun 1808, lalu ditelusurinya sesudah masa itu serta membaginya
menjadi sebelum RR 1854 dan sesudahnya, hingga tahun 1882 dengan Stb. 1882 No. 152
yang terkenal, lalu diubah dengan Stb. 1931 yang tidak sempat berlaku – karena anggaran
belanja negara tidak mengizinkan – kecuali tentang pengurangan kewenangan Pengadilan
Agama dalam hal kewarisan, yang dialihkan ke Pengadilan Negeri.
Prof. Mahali menyinggung pula secara sepintas tentang Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1957, yang dianggapnya sekedar mengisi kekosongan peraturan peradilan
agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan. Lalu, dalam kesimpulannya, beliau
mengharapkan agar peradilan agama diatur dengan undang-undang tersendiri.
Setelah berjalan sekitar 15 tahun sesudah kelahiran Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-undang
Peradilan Agama yang – setelah diundangkan pada tanggal 29 Desember 1989 – diberi
nama dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-
undang tersebut memperkokoh kedudukan dan susunan Peradilan Agama karena untuk
melaksanakan putusan dan penetapannya tidak memerlukan pengukuhan Peradilan Umum.
Pemerintah Orde Baru yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 telah
merealisasikan kebenaran sejarah bahwa golongan Islam membutuhkan suatu peradilan
agama yang baik dan kompeten serta berwibawa bagi aparat kehakiman menurut Pasal 24
UUD 1945.
Sebelum RUU Peradilan Agama disahkan, tepatnya pada dekade 80-an, terjadi
perubahan drastis dalam bidang sosial, agama, dan khususnya politik. Umat Islam – dalam
menyalurkan aspirasi politiknya – tidak lagi terjebak pada bentuk-bentuk formalisme
dengan kecenderungan eksklusivitas yang tinggi seperti tuntutan berdirinya negara Islam,
tetapi lebih substantif dan integratif, lebih mengarah pada sikap-sikap inklusif, dan
menghindarkan diri dari pemisahan-pemisahan kategoris yang kaku. Menurut catatan
Bahtiar Effendy, tujuan tertinggi dari perubahan orientasi politik demikian itu adalah
terbentuknya hubungan yang saling melengkapi dan harmonis antara Islam dan negara.
Selain itu – menurut Bambang Sutisna, mantan Ketua Pansus RUU tentang Peradilan
Agama, – pendapat dan tanggapan yang berkembang dalam masyarakat yang cukup hangat
dan kadang-kadang kontroversial, semula memang menimbulkan kekhawatiran tetapi
kemudian menjadi motivasinya untuk lebih berhati-hati dan menempatkan diri selaku
pemandu yang obyektif dan proporsional.
Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU-PA) yang disampaikan oleh
Pemerintah kepada DPR dengan Amanat Presiden Nomor: R. 06/PU/XII/1988 tanggal 3
Desember 1988, telah menarik perhatian masyarakat luas dan menimbulkan berbagai
tanggapan yang kadang-kadang kontroversial. Dalam DPR-RI proses pembahasan
berlangsung dengan senantiasa menjunjung tinggi asas musyawarah untuk mufakat dan
menempatkan kepentingan seluruh rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan,
walaupun sering terjadi adu argumentasi yang keras untuk mempertahankan pendiriannya
masing-masing.
Perubahan orientasi dan strategi politikIslam ini menjadi titik poin melunaknya
politik negara terhadap Islam, yang tidak lagi dipandangnya sebagai ancaman, dan partai-
partai politik Islam terpaksa berbenah mengikuti alur yang dikembangkan oleh para
intelektual muslim. Dalam perkembangan-perkembangan selanjutnya, setelah merasa
pendukung utamanya sudah mulai tidakmenikmati kepemimpinannya, Soeharto mulai
melirik Islam sebagai alternatif sehingga terjadi pertemuan dua kepentingan yang selama
periode-periode sebelumnya selalu berlawanan. Pertemuan dua kepentingan itu akhirnya
menghasilkan sikap politik penguasa yang responsif dan akomodatif terhadap kepentingan
politik Islam, dan salah satunya ditunjukkan dengan pengajuan RUU Peradilan Agama
pada tanggal 3 Desember 1988 ke DPR, yang selama 17 tahun dirintis oleh Departemen
Agama.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah undang-undang yang secara politis
sangat strategis. Undang-undang tersebut selain memantapkan keberadaan Peradilan
Agama, juga memfasilitasi pelembagaan hukum Islam lebih lanjut sebagaimana dituntut
oleh Pasal 49. Munawir mengatakan bahwa pengajuan RUU Peradilan Agama bertujuan
memberikan wadah bagi pemberlakuan hukum-hukum Islam lainnya di kemudian hari. Dan
ketika mengatakan demikian, sebenarnya Munawir telah mengantongi draft hukum materil
Islam, yang disarikan dari 13 kitab fikih bermazhab Syafi’i.
Selanjutnya pada tahun 1985 dibentuk sebuah tim yang didasarkan pada Surat
Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Ketua Mahkamah Agung, No.
07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985, tanggal 25 Maret 1985, dan Ketua Muda MARI
Urusan Lingkungan Peradilan Agama saat itu, Busthanul Arifin, salah seorang penggagas
KHI, secara cerdik memanfaatkan fenomena yang terjadi di NU, yang tipe
kepemimpinannya kharismatik serta keputusannya mudah diterima oleh anggota. Dan
termasuk bagian dari strateginya adalah meminta kepada Gus Dur selaku Ketua Panitia
Muktamar di Situbondo, untuk mengundang Ketua Mahkamah Agung, dan yang diundang
datang. Strategi lainnya adalah lobi kepada hakim-hakim peradilan agama yang berasal dari
NU untuk ikut menghadiri Muktamar sebagai orang NU, dengan pendekatan kepada
pengurus-pengurus NU daerah, yang disetujui panitia. Keikutsertaan tersebut untuk
merekomendasikan kepada pemerintah agar menyusun KHI, dan Muktamar pun
merekomendasikannya. Pada kesempatan terpisah, Muhammadiyah dan yang lainnya
melakukan hal yang sama.
Menurut Ismail Sunny, Proyek KHI yang merupakan kerjasama antara Menteri
Agama dan Ketua Mahkamah Agung RI didorong oleh Presiden Soeharto, bahkan
beliaulah yang mendanainya sebesar Rp 230.000.000,-.
Kehadiran Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) – melalui Instruksi
Presiden kepada Menteri Agama, dengan Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 yang
ditindaklanjuti dengan pelaksanaannya melalui Keputusan Menteri Agama RI kepada
seluruh instansi Departemen Agama dan instansi Pemerintah lainnya dengan Nomor 154
Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 untuk menyebarluaskannya dan sedapat mungkin
menerapkannya di samping perundang-undangan lainnya – merupakan hukum yang ditulis
dari 13 kitab hukum yang selama ini menjadi referensi utama Peradilan Agama,
sebagaimana Edaran Biro Peradilan Agama Nomor B/1/735 tanggal 18 Pebruari 1958
sebagai Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957.
KHI merupakan fikih Indonesia yang disusun dalam upaya unifikasi berbagai
mazhab fikih untuk penyatuan persepsi para Hakim menuju kepastian hukum. Ide
penyusunan KHI muncul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung melakukan pembinaan
teknis yustisial kepada Peradilan Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970. Dan berdasarkan Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri
Agama (masing-masing) Nomor 07/KMA/1985, dan Nomor 25 Tahun 1985 tanggal 25
Maret 1985 tentang Tim Pelaksana Proyek Penyusunan KHI, yang hasilnya dibahas dalam
Loka Karya Para Ulama dan Cendikiawan Muslim pada tanggal 2 s.d. 6 Pebruari 1988 di
Jakarta.
Masa Orde Reformasi mengubah sistem organisasi Peradilan Agama dan
Peradilan Umum dari tidak satu atap menjadi seatap, melalui Undang-undang Nomor 35
Tahun 1999, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1) undang-undang
tersebut. Pada tahun yang sama, disahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 172, yang diikuti pada tahun berikutnya dengan (1)
PERDA Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000, tanggal 14 Juni 2000
tentang Pembentukan Organisasi dan Tatakerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dan (2) PERDA Nomor 5 Tahun 2000, tanggal 25 Juli
2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam.
Bab 1 Ketentuan Umum (Pasal 1 angka 7)PERDA Nomor 3 Tahun 2000
menyebutkan “Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.”
Sedangkan Pasal 5 ayat (2) huruf-huruf j, k, l, dan m, menyebutkan bahwa qadha, jinayat,
munakahat, dan mawaris, merupakan bagian dari pelaksanaan syariat Islam yang harus
dijunjung tinggi. Dan Pasal 18 ayat (1) PERDA Nomor 5 di atas menyebutkan bahwa
Pemerintah Daerah bersama MPU perlu merumuskan ketentuan-ketentuan berkenaan
dengan pokok-pokok dan acara penyelenggaraan qadha, jinayat, munakahat, dan mawaris
sejalan dengan syariat Islam, jo Pasal 125 s.d. Pasal 128 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2006, dengan hukum acara sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 132 undang-undang ini.
Saat ini untuk Hukum Acara Jinayat Aceh sedang dilakukan pembahasan intensif
antara Mahkamah Agung Republik Indonesia, di Jakarta dan Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh, dalam sebuah rancangan yang diberi judul “Rancangan Qanun Aceh tentang Hukum
Acara Jinayat.” Tidak adanya Hukum Acara Jinayat untuk Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam merupakan salah satu kendala dan penghambat dalam pelaksanaan tugas dan
kewenangan Mahkamah Syar̒iyah, dan oleh karenanya hukum acara tersebut harus
diprioritaskan oleh Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada masa ini Orde Reformasi ini pula, dan sejalan dengan perubahan namanya
menjadi Provinsi Naggroe Aceh Darussalam terjadi perubahan sebutan Pengadilan Agama
dan Pengadilan Tinggi Agama di Provinsi Banda Aceh,masing-masing menjadi Mahkamah
Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi (Pasal 1 Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2001 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah
Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), dengan penambahan kewenangan
sebagaimana pada Pasal 3 undang-undang dimaksud yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun.
Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001
menyebutkan bahwa Peradilan Syari’ah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang
bebas dari pengaruh pihak mana pun.. Sedangkan ayat (2) pasal dan undang-undang
tersebut berbunyi “Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan atas syari’at Islam dalam sistem hukum nasional, yang duatur lebih lanjut
dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang diberlakukan bagi pemeluk
agama Islam (ayat 3).
Sehubungan dengan uraian di atas, ada beberapa Qanun untuk Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, yaitu : (1) Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Islam, (2)
Qanun Nomor 11 Tahun2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah,
dan Syiar Islam, (3) Qanun Nomor 12 Tahun 2003
tentang Khamer (dengan uqubat(hukuman) 40 kali cambuk sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 26, (4) Qanun Nomor 13 Tahun 2002 tentang Maisir, dengan uqubat minimal 3 kali
cambuk, dan maksimal 9 kali cambuk sebgaimana disebutkan dalam Pasal 23, dan (5)
Qanun Nomor 14 Tahun 2002 tentang Khalwat, dengan uqubatminimal 3 kali cambuk, dan
maksimal 9 kali cambuk sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22.
Selain ketiga hukum pidana khusus tersebut, sementara ini ada upaya untuk
memperluas kewenangan dalam bidang hukum pidana khusus, yang saat ini masih dalam
taraf pembahasan. Perluasan dimaksud mencakup: ikhtilath, zina, dan pemerkosaan, yang
masing-masing memiliki ruang lingkup tersendiri. Perluasan tentang hukum pidana khusus
tersebut sesuai dengan Hasil PenelitianWork-Plan Aceh Justice Resource Centre (AJRC)
tentang Eksistensi Mahkamah Syar̒iyyah dalam Menjalankan Peradilan Syariat di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam menyebutkan antara lain mngenai sejumlah qanun pelaksanaan
syariat Islam (yang) masih memerlukan perubahan karena masih menimbulkan perdebatan,
seperti ketentuan tentang khalwat, yang dibatasi pada bersepi-sepi di tempat tertutup atau
lebih luas lagi, dan bagaimana jika pelakunya lebih dari dua orang, serta yang sejenis.
Seharusnya ketentuan hukum materil yang dibuat dapat menampung persoalan-persoalan
yang sekarang ini aktual terjadi di dalam masyarakat, dan menutup peluang terjadinya
bermacam penafsiran.
Selanjutnya dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama sehingga kewenangannya sebagaimana dalam Pasal 49 Undang-
undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan perubahan kedua dengan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 (LNRI Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan LNRI Nomor
5078),berbunyi sebagai berikut:
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang :
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah, dan
i. ekonomi syari’ah.
Penjelasan pasal tersebut huruf I, menyebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan
“ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha untuk dilaksanakan menurut
prinsip syariah, antara lain meliputi:
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah;
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’a;h
e. reksa dana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis syari’ah.
Setelah Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan Kompetensi yang
diberikan kepada Peradilan Agama untuk mengadili perkara ekonomi syari’ah masih tetap
diperdebatkan, dari sisi kapabilitaskeekonomiannya, dan tidak melihat sisi kapabilitas dan
kapasitas syari’ahnya, apalagi sisi penggabungan antara keduanya, ekonomi
syariahnya. Perdebatan tersebut tetap berjalan dan hal itu semakin terlihat dalam
pembahasan-pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perbankan Syariah, yang
akhirnya disahkan pada tanggal 17 Juni 2008 dan disahkan pada tanggal 16 Juli 2008, dan
diberi nama Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari'ah.
Akhirnya Dewan bersepakat bahwa Undang-undang tersebut harus
memberikan kewenangankepada Peradilan Agama untuk mengadili tuntutan rakyat
pencari keadilan sebagaimana tersebut pada Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008, dan opsi kepada para pihak sebagaimana dimaksud oleh ayat (2) pasal dan
undang-undang yang sama, dengan memperhatikan dan mengingat ketentuan ayat (3) pasal
dan undang-undang ini.
Secara keseluruhan bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syari’ah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama.
(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan
dengan Prinsip Syariah.
Penjelasan terhadap ayat (2) pasal tersebut berbunyi bahwa yang dimaksud dengan
“penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut :
a. musyawarah;
b. mediasi perbankan;
c. melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan /atau
d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip syari’ahadalah sebagaimana disebutkan
pada “Ketentuan Umum” Pasal 1 butir 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008, yaitu prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang
syari’ah. Dan kehadiran Undang-Undangt Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diperkuat dengan PERMA Nomor 2 Tahun
2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (disingkat KHES), yang dikeluarkan pada
tanggal 10 September 2008. Perma tersebut – selain menjadi pedoman bagi Hakim Pengadilan
(Agama) (Pasal 1 ayat (1), tidak mengurangi tanggung jawab hakim untuk menggali dan
menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar. (Pasal 1 ayat (2)).
Pasal 1 ayat (2) di atas berpedoman pada Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi
“Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”, serta penjelasannya yang berbunyi “Ketentuan ini dimaksudkan agar
putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dan menurut penyusun,
penemuan hukum dimaksud adalah hukum materil, sedangkan hukum acaranya tetap mengacu
kepada Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kecuali yang diatur secara khusus.
Dua hal sebelum terakhir di atas merupakan sesuatu yang penting bagi para Hakim
sebagai komponen struktural sebagaimana dikatakan oleh Lawrence M. Friedman sehingga
kualitas sumber daya para Hakim perlu ditingkatkan agar terjadi keseimbangan antara ilmu dan
pengalamannya. Sedangkan hal terakhirnya – sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat (2) – didasarkan
pada salah satu bagian dari ayat 58 surat al-Nisa, dan salah satu dari 3 kelompok / golongan
Hakim sebagaimana tersurat dalam hadis Nabi SAW.

I. BATANG TUBUH
UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA
DALAM SATU NASKAH
(UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 7 Tahun1989 yang
telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7
Tahun1989 tentang Peradilan Agama)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga
peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat ;
b. bahwa Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
7 Tan 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan
hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana pada huruf a dan huruf b perlu membentuk
Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama ;
Mengingat:
1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3316) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Repulik Indonesia Nomor 4958);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3400) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4611);
4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076);

Penjelasan umum Undang-undang ini berbunyi sebagai berikut:


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 ayat (1)
menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan
bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Perubahan Undang-Undang ini antara lain dilatarbelakangi dengan adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006, di mana dalam putusannya tersebut
telah menyatakan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan ketentuan pasal-pasal yang menyangkut mengenai pengawasan hakim dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Sebagai konsekuensi logis-yuridis dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,
telah dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung berdasarkan Undang Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, selain Undang Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
itu sendiri yang terhadap beberapa pasalnya telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat.
Bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama merupakan salah satu undang-undang yang mengatur
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, perlu pula dilakukan perubahan
sebagai penyesuaian atau sinkronisasi terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan
perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah
meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan agama, pengawasan tertinggi
baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan
finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal
dilakukan oleh Komisi Yudisial. Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dimaksudkan untuk memperkuat prinsip dasar dalam penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan prinsip kebebasan hakim
dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas dan akuntabilitas hakim.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
antara lain sebagai berikut:
1. penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung maupun
pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim;
2. memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada pengadilan agama maupun
hakim pada pengadilan tinggi agama, antara lain melalui proses seleksi hakim yang dilakukan
secara transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus melalui proses atau lulus pendidikan
hakim;
3. pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc;
4. pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;
5. keamanan dan kesejahteraan hakim;
6. transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan;
7. transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggung jawaban biaya
perkara;
8. bantuan hukum; dan
9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.

Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang
terpadu (integrated justice system), terlebih peradilan agama secara konstitusional merupakan
badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
":Penyusun sepakat dengan penjelasan tersebut".

Dengan PersetujuanBersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-


UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
PENGERTIAN

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3400) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4611), diubah sebagai berikut:

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam,
2. Pengadilan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di lingkungan Peradilan
Agama,
3. Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Agama dan Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama,
4. Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai Nikah pada Kantor Urusan Agama,
5. Juru Sita dan atau Juru Sita Pengganti adalah Juru Sita dan atau Juru Sita Pengganti pada
Pengadilan Agama.”
6. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam
undang-undang.
9. Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di
bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
pengangkatannya diatur dalam undang-undang.
Penjelasan Pasal 1 berbunyi cukup jelas.
Penyusun sepakat dengan penjelasan dan penambahan ayat 6 s.dayat 9 pasal tersebut.

Bagian Kedua
KEDUDUKAN
Bagian Kedua
KEDUDUKAN

Pasal 2
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini. (hasil perubahan undang-undang sebelumnya tidak diubah dalam undang-undang ini).

Penjelasan Pasal 2 yang berbunyi


“Yang dimaksud dengan “rakyat pencari keadilan” adalah setiap orang baik
warga negara Indonesia maupun orang asing yang mencari keadilan pada
pengadilan di Indonesia”.
Menurut penyusun, ketentuan pasal tersebut bersifat umum sejalan dengan : (1) keadilan yang
bersifat universal dan (2) Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Pasal 2 tidak mengalami perubahan.

Pasal 3
(1) Kekuasaaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh :
a. Pengadilan Agama;
b. Pengadilan Tinggi Agama
(2) Kekuasaaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung
sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

Penjelasan Pasal 3 berbunyi cukup jelas,dan tidak mengalami perubahan.


Penyusun sependapat dengan penjelasan tersebut.

Pasal 3A
(1) Di lingkungan peradilan agama dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan
undang-undang ;
(2) Peradilan Syari'ah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan
khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.
(3) Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara, yang membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan
dalam jangka waktu tertentu.
(1) Ketentuan mengenai syarat, tata cara pengangkatan, dan pemberhentian serta tunjangan
hakim ad hoc diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 3A yang berbunyi
Ayat (1): Yang dimaksud dengan "diadakan pengkhususan pengadilan" adalah
adanya diferensiasi/ spesialisasi di lingkungan peradilan agama dimana
dapat dibentuk pengadilan khusus, misalnya pengadilan arbitrase
syariah, sedangkan yang dimaksud dengan "yang diatur dengan undang-
undang" adalah susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya.
Ayat (2) : Cukup jelas.
Ayat (3) : Tujuan diangkatnya "hakim ad hoc" adalah untuk membantu
penyelesaian perkara yang membutuhkan keahlian khusus misalnya
kejahatan perbankan syari'ah dan yang dimaksud dalam "jangka
waktu tertentu" adalah bersifat sementara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (4) : Cukup Jelas.

Bagian ketiga
TEMPAT KEDUDUKAN
Pasal 4
(1) Pengadilan Agama berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kabupaten/kota.
(2) Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota provinsi, dan daerah hukumnya meliputi
wilayah provinsi.(hasil perubahan)
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) berbunyi
ada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di ibukota
kabupaten atau kota, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten
atau kota, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian.
Penyusun setuju dengan penjelasan tersebut.
Penjelasan Pasal 4 ayat (2) berbunyi cukup jelas,
Penjelasan tersebut dapat penyusun terima.

Bagian keempat
PEMBINAAN

Pasal 5
(1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial Pengadilan dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
(2) Pembinaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan
Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.(hasil perubahan)
Penjelasan Pasal 5 berbunyi “cukup jelas”

BAB II
SUSUNAN PENGADILAN
Bagian Pertama
UMUM

Pasal 6
Pengadilan terdiri dari :
1. Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama;
2. Pengadilan Tinggi Agama yang merupakan pengadilan tingkat banding.
Penjelasan pasal 6 tersebut berbunyi“cukup jelas”
Menurut penyusun, bunyi Pasal 6 sangat jelas tidak sebagaimana dinyatakan olehpenjelasan
pasal tersebut yang berbunyi”cukup jelas“.

Pasal 7
Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden

Penjelasan pasal tersebut berbunyi cukup jelas


Penyusun tidak sependapat dengan bunyi penjelasan pasal tersebut yang berbunyi cukup
jelas. Oleh karena itu Penyusun memberikan kritik sebagai berikut :
”Penjelasan di atas merupakan penjelasan UU Nomor 3 Tahun 2006, sedangkan Pasal 7
UU Nomor 7 Tahun 1989 termasuk pasal yang tidak mengalami perubahan sehingga
penjelasannya tidak mengalami perubahan pula. Penjelasan Pasal 7 UU Nomor 7 Tahun
1989 berbunyi “Usul pembentukan Pengadilan Agama diajukan oleh Menteri Agama
berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.” Sehubungan dengan hal tersebut di
atas, penulis menilai DPR tidak cermat dalam membuat Penjelasan atas Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Dengan memperhatikan beberapa perubahan terhadap
ketentuan pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, seharusnya penjelasan Pasal 7 berbunyi “Usul pembentukan Pengadilan Agama
diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung.”

Pasal 8
Pengadilan Tinggi Agama dibentuk dengan Undang-undang.
Pasal di atas bagian dari pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Pasal 9
(1) Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim, Anggota, Panitera, Sekretaris, dan
Juru Sita;
(2) Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota. Panitera, dan
Sekretaris.
Penjelasan Pasal 8 dan Pasal 9 berbunyi cukup jelas.
Penyusun sependapat dengan penejlasan kedua pasal tersebut.
Pasal 10
(1) Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua,
(2) Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua,
(3) Hakim adalah hakim Anggota Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
Penjelasan Pasal 10 berbunyi “cukup jelas”
Penyusun sependapat dengan penjelasan tersebut.

Bagian Kedua
KETUA, WAKIL KETUA, HAKIM
PANITERA DAN JURU SITA
Paragraf 1
KETUA, WAKIL KETUA, DAN HAKIM

Pasal 11
(1) Hakim pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta pelaksanaan tugas Hakim ditetapkan
dalam Undang-undang ini.(hasil perubahan)
Penjelasan Pasal 11 : berbunyi “cukup jelas”
Penyusun sependapat dengan penjelasan tersebut.

Pasal 12
(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri dilakukan oleh
Ketua Mahkamah Agung.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh
mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.(hasil perubahan)
Penjelasan Pasal 12 berbunyi “cukup jelas”
Penyusun tidak akan memberikan komentar terhadap pasal tersebut.

Pasal 12A
(1) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal atas perilaku
hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Penjelasan Pasal 12A ayat 2 berbunyi ”cukup jelas”, sedangkan Penejelasan Pasal 12A ayat 1
berbunyi sebagai berikut :
”Pengawasan internal atas tingkah laku hakim masih diperlukan meskipun sudah ada
pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini dimaksudkan agar
pengawasan lebih komprehensif sehingga diharapkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim betul-betul dapat terjaga”.

Pasal 12B
(1) Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, profesional,
bertakwa, dan berakhlak mulia, serta berpengalaman di bidang hukum.
(2) Hakim wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Penjelasan Pasal 12B berbunyi “cukup jelas”

Pasal 12C
(1) Dalam melakukan pengawasan hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Komisi Yudisial
melakukan koordinasi dengan Mahkamah Agung.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil pengawasan internal yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan hasil pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial,
pemeriksaan dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Penjelasan Pasal 12C Ayat 2 berbunyi ”cukup jelas”, sedangkan Penjelasan Pasal 12C ayat
1 berbunyi sebagai berikut :
”Koordinasi dengan Mahkamah Agung dalam ketentuan ini meliputi pula koordinasi
dengan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung”.

Pasal 12D

(1) Dalam melaksanakan pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A ayat (2),
Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim
berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial
berwenang:
a. menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
b. memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim;
c. dapat menghadiri persidangan di pengadilan;
d. menerima dan menindaklanjuti pengaduan Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan
di bawah Mahkamah Agung atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim;
e. melakukan verifikasi terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf
d;
f. meminta keterangan atau data kepada Mahkamah Agung dan/atau pengadilan;
g. melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim untuk kepentingan pemeriksaan; dan/atau
h. menetapkan keputusan berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam huruf
b.
Penjelasan Pasal 12D berbunyi “cukup jelas”

Pasal 12E
(1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A, Komisi Yudisial
dan/atau Mahkamah Agung wajib:
a. menaati norma dan peraturan perundang-undangan;
b. menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; dan
c. menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh.
(2) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
(3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan
hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
(4) Ketentuan mengenai pengawasan eksternal dan pengawasan internal hakim diatur dalam
undang-undang.
Penjelasan Pasal 12E ayat 1, 3, dan 4 berbunyi ”cukup jelas”, sedangkan Penjelasan Pasal 12E
Ayat 2 berbunyi sebagai berikut :
”Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim memuat kewajiban dan larangan yang harus
dipatuhi oleh hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim”.

Pasal 12F
Dalam rangka menj aga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim,
Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.
Penjelasan Pasal 12F berbunyi sebagai berikut :
”Yang dimaksud dengan "mutasi hakim" dalam ketentuan inimeliputi promosi dan
demosi hakim”.

Pasal 13
(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan agama, seseorang harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. sarjana syari'ah, sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
f. lulus pendidikan hakim;
g. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;
h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
i. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40 (empat puluh) tahun;
dan
j. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil


ketua pengadilanagama hakim harus berpengalaman paling singkat 7 (tujuh) tahunsebagai
hakim pengadilan agama.
Penjelasan Pasal 13 Ayat (1) huruf a, b, c, d, dan e serta Penjelasan Pasal 13 Ayat (1)
huruf g, h, i dan j berbunyi ”cukup jelas”, sedangkan Penjelasan Pasal 1 Ayat 1
huruf f berbunyi sebagai berikut :
”Pendidikan hakim diselenggarakan bersama oleh Mahkamah Agung dan
perguruan tinggi negeriagama atau swasta yang terakreditasi A dalam jangka
waktu yang ditentukan dan melaluiproses seleksi yang ketat”.
Penjelasan Pasal 13 Ayat (2) berbunyi “cukup jelas”

Pasal 13A

(1) Pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan melalui proses seleksi yang transparan,
akuntabel, dan partisipatif.

(2) Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan bersama oleh Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial.

Penjelasan Pasal 13A berbunyi “cukup jelas”

Pasal 13B

(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim ad hoc, seseorang harus memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), kecuali huruf e dan huruf f.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c tetap berlaku kecuali
undang-undang menentukan lain.
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Penjelasan Pasal 13B berbunyi “cukup jelas”

Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan tinggi agama, seorang hakim harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a . syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf g, dan huruf j ;
b . berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun;
c . berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai ketua, wakil ketua, pengadilan
agama, atau 15 (lima belas) tahun sebagai hakim pengadilan agama;
d . lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung; dan
e . tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua pengadilan tinggi agama harus berpengalaman paling
singkat 5 (lima) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi agama atau 3 (tiga) tahun bagi hakim
pengadilan tinggi agama yang pernah menjabat ketua pengadilan agama.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi wakil ketua pengadilan tinggi agama harus berpengalaman
paling singkat 4 (empat) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi agama atau 2 (dua) tahun bagi
hakim pengadilan tinggi agama yang pernah menjabat ketua pengadilan agama.
Penjelasan Pasal 14 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 15
(1) Hakim pengadilan diangkat oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(1a) Hakim pengadilan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung
dan/atau Komisi Yudisial melalui Ketua Mahkamah Agung.
(1b) Usul pemberhentian hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1a) hanya dapat dilakukan apabila hakim yang bersangkutan
melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Penjelasan Pasal 15 berbunyi “cukup jelas”
Ayat 1a dan Ayat 1b merupakan tambahan terhadap undang-undang sebelumnya.

Pasal 16
(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim, wajib mengucapkan sumpah
menurut agama Islam;
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Hakim dengan sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan
selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
(3) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama mengucapkan sumpah di hadapan Ketua
Pengadilan Agama.
(4) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama serta Ketua Pengadilan Agama
mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Pengadilan Tinggi Agama.
(5) Ketua Pengadilan Tinggi Agama mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Mahkamah Agung.

Penjelasan Pasal 16 berbunyi “cukup jelas”


Menurut penyusun, pasal tersebut tidak perlu dikomentari lagi, tetapi penyusun harus
memberikan catatan bahwa sumpah yang diangkat akan dimintakan pertanggungjawabannya pada
Hari Kiamat, dan mengharuskan hukuman kifarat di dunia.

Pasal 17
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Hakim tidak boleh merangkap
menjadi :
a. pelaksana putusan Pengadilan;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa
olehnya; atau
c. pengusaha.
(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi advokat.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Penejlasan Pasal 17 berbunyi “cukup jelas”
Menurut penyusun, pengaturan tersebut merupakan sadd al-dzari’ah terhadap lahirnya
berbagai kepentingan pada diri Hakim.

Pasal 18
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
karena:
a. atas permintaan sendiri secara tertulis;
b. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus;
c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan
agama, dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan
tinggi agama; atau
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang meninggal dunia dengan sendirinya
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden.

Penjelasan Pasal 18 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 19
(3) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya
dengan alasan:
a. dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus-menerus selama 3 (tiga)
bulan;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; dan/atau
f. melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Ketua
Mahkamah Agung kepada Presiden.
(3) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh
Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.

(4) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan
huruf e diajukan oleh Mahkamah Agung.
(5) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diajukan oleh
Komisi Yudisial.

(6) Sebelum Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial mengajukan usul pemberhentian karena
alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), hakim pengadilan
mempunyai hak untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
(7) Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Pada Pasal 19 terdapat perubahan pada Ayat 2 sampai ayat 7.


Penjelasan Pasal 19 Ayat 1 s.d. 6 berbunyi ”cukup Jelas”, sedangkan Penjelasan Pasal 19 Ayat
7:
”Yang dimaksud "dengan peraturan perundang-undangan" adalah Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung”.

Pasal 20

Dalam hal ketua atau wakil ketua pengadilan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena
atas permintaan sendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a,
tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai hakim.

Penjelasan Pasal 20 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 21
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum diberhentikan tidak dengan hormat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf
f dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.
(1a) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat diusulkan oleh Komisi
Yudisial.
(2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 6 (enam)
bulan.

Penjelasan Pasal 21 Ayat (1a), 2 dan 3 berbunyi “cukup jelas”, sedangkan Penjelasan Pasal 21
Ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
”Pemberhentian sementara dalam ketentuan ini, selain yang dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian adalah hukuman
jabatan yang dikenakan kepada seorang hakim untuk tidak memeriksa dan mengadili
perkara dalam jangka waktu tertentu”.

Pasal 22
(1) Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan,
dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Apabila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana tanpa ditahan, maka ia diberhentikan sementara dari jabatannya.
Penjelasan Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22 ayat (1) berbunyi“cukup jelas”
Penyusun tidak akan memberi komentari lagi.
Penjelasan Pasal 22 ayat (2) berbunyi
”Pangkat dan gaji Hakim diatur tersendiri berdasarkan peraturan yang
berlaku.
Yang dimaksud dengan ketentuan lain adalah hal-hal yang antara lain
menyangkut kesejahteraan seperti rumah dinas, dan kendaraan dinas”.
Penyusun berpendapat bahwa penjelasan tersebut sudah jelas.

Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak
dengan hormat, dan pemberhentian sementara serta hak-hak pejabat yang dikenakan
pemberhentian, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan Pasal 23 berbunyi “cukup jelas”


Penyusun tidak akan memberi komentar lain.

Pasal 24
(1) Kedudukan protokol hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Selain mempunyai kedudukan protokoler, hakim pengadilan berhak memperoleh gaji pokok,
tunjangan, biaya dinas, pensiun dan hak-hak lainnya.
(3) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. tunjangan jabatan; dan
b. tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4) Hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. rumah jabatan milik negara;
b. jaminan kesehatan; dan
c. sarana transportasi milik negara.
(5) Hakim pengadilan diberi jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan, dan hak-hak lainnya beserta jaminan
keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-
undangan.
Penjelasan Pasal 24 Ayat 1,2,3,4 huruf a dan huruf b, serta ayat (6) berbunyi “cukup jelas”,
sedangkan Penjelasan Pasal 24 Ayat 4 huruf c berbunyi sebagai berikut :
“Yang dimaksud dengan "sarana transportasi" adalah kendaraan bermotor roda empat
beserta pengemudinya atau sarana lain yang memungkinkan seorang hakim
menjalankan tugas-tugasnya”.
Dan Penjelasan Pasal 24 Ayat 5 berbunyi sebagai berikut
“Yang dimaksud dengan "jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya" adalah
hakim diberikan penjagaan keamanan dalam menghadiri dan memimpin persidangan.
Hakim harus diberikan perlindungan keamanan oleh aparat terkait yakni aparat
kepolisian agar hakim mampu memeriksa, mengadii, dan memutus perkara secara baik
dan benar tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak manapun”.

Pasal 25
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung
setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau
c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.(hasil perubahan)
Penjelasan Pasal 25 berbnnyi “cukup jelas”

PARAGRAF 2
PANITERA

Pasal 26
(1) Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang Panitera.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama dibantu oleh seorang Wakil
Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa orang Panitera Pengganti, dan beberapa
orang Juru Sita.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Tinggi Agama dibantu oleh seorang Wakil
Panitera, beberapa orang Panitera Pengganti.
Penjelasan Pasal 26 berbnnyi “cukup jelas”

Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. berijazah sarjana syari'ah, sarjana hukum Islam, atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam;
f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai
panitera muda pengadilan agama, atau menjabat wakil panitera pengadilan tinggi agama; dan
g. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban.
Penjelasan Pasal 27 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Agama, seorang calon harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf
g;
b. berijazah serendah-rendahnya sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam;
c. berpengalaman paling singkat 3 (tiga ) tahun sebagai Wakil Panitera atau 5 (lima) tahun sebagai
Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai Panitera Pengadilan
Agama.(hasil perubahan)
Penjelasan Pasal 28 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Agama, seorang calon harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf g, dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai Panitera Muda atau 4 (empat) tahun sebagai
Panitera Pengganti Pengadilan Agama.(hasil perubahan)
Penjelasan Pasal 29 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan tinggi agama, seorang calon harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf g;
b. dihapus.
c. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, 5
(lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai wakil
panitera pengadilan agama, atau menjabat sebagai panitera pengadilan agama.
Penjelasan Pasal 30 berbunyi “cukup jelas”
Menurut penyusun, bunyi Pasal 30 huruf c seharusnya sebagai berikut :
“berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi
agama, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai
wakil panitera pengadilan agama, atau menjabat sebagai panitera pengadilan agama.
Keharusan bunyi Pasal 30 huruf c sebagaimana pendapat penyusun karena adanya dua
syarat yang paradoks pada bagian kedua dan ketiga ketentuan tersebut.

Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Agama, seorang calon harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf g, dan
b. berpengalaman paling sedikit 2 (dua) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama.(hasil
perubahan)
Penjelasan Pasal 31 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Agama, seorang calon harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, dan huruf g, dan
b. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi
Agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai Panitera Muda, 5 (lima) tahun sebagai Panitera Pengganti
Pengadilan Agama, atau menjabat sebagai Wakil Panitera Pengadilan Agama.(hasil perubahan)
Penjelasan Pasal 32 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Agama, seorang calon harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf
g, dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada Pengadilan Agama.
(hasil perubahan)
Penjelasan Pasal 33 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama, seorang calon harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan
huruf g, dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama atau
8 (delapan) tahun sebagai pegawai negeri pada Pengadilan Tinggi Agama.(hasil perubahan)
Penjelasan Pasal 34 berbunyi “cukup jelas”
Penyusun tidak perlu memberi komentari lain.

Pasal 35
Panitera tidak boleh merangkap menjadi:
a. wali;
b. pengampu;
c. advokat; dan/atau
d. pejabat peradilan yang lain.
Penjelasan Pasal 35 huruf a, b dan c berbunyi ”cukup jelas”, sedangkan Penjelasan Pasal 35
huruf d berbunyi sebagai berikut :
”Yang dimaksud dengan "pejabat peradilan yang lain" adalah sekretaris, wakil sekretaris,
wakil panitera, panitera muda, panitera pengganti, juru sita, juru sita pengganti, dan
pejabat struktural lainnya”.

Pasal 36
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan, diangkat dan
diberhentikan dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.(hasil perubahan)
Penjelasan Pasal 36 berbnnyi “cukup jelas”

Pasal 37
(1) Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera
Pengganti mengucapkan sumpah menurut agama Islam di hadapan Ketua Pengadilan yang
bersangkutan.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau
tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga”.
Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan
ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu
janji atau pemberian”.
Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan idiologi negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan segala undang-undang serta peraturan perundang-
undangan lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur,
seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam menjalankan
kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Panitera,
wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam
menegakkan hukum dan keadilan.”(hasil perubahan)
Penjelasan Pasal 37 berbnnyi “cukup jelas”

Paragraf 3
JURU SITA

Pasal 38
Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita Pengganti.
Penjelasan Pasal 38 berbnnyi “cukup jelas”

Pasal 38A
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan diberhentikan dengan
hormat dengan alasan:
a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri secara tertulis;
c. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus;
d. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera
pengganti pengadilan agama;
e. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan
panitera pengganti pengadilan tinggi agama; dan/atau
f. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
Penjelasan Pasal 38A berbunyi “cukup jelas”

Pasal 38B
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan diberhentikan tidak
dengan hormat dengan alasan:
a. dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus-menerus selama 3 (tiga)
bulan;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35; dan/atau
f. melanggar kode etik panitera.

Penjelasan Pasal 38B berbunyi “cukup jelas”

Pasal 39
(1) Untuk dapat diangkat menjadi juru sita, Seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. berijazah pendidikan menengah;
f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai juru sita pengganti; dan
g. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi juru sita pengganti, seorang calon harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan
agama.
Penjelasan Pasal 39 Ayat 1 huruf a,b,c,d, f dan g berbunyi”cukup jelas”, sedangkan Pasal 39
Ayat 1 huruf e berbunyi sebagai berikut :
”Yang dimaksud dengan "pendidikan menengah" adalah sekolah menengah atas (SMA),
madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah
kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat”.

Pasal 40
(1) Juru Sita Pengadilan Agama diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung atas
usul Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
(2) Juru Sita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
(hasil perubahan)
Penjelasan Pasal 40 berbunyi ”cukup jelas”

Pasal 41
(1) Sebelum memangku jabatannya, Juru Sita atau Juru Sita Pengganti wajib mengucapkan
sumpah menurut agama Islam di hadapan Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung
atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan
atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga”.
Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan
ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu
janji atau pemberian”.
Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan idiologi negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan segala undang-undang serta peraturan perundang-
undngan lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur,
seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam menjalankan
kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Juru Sita
dan Juru Sita Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan
keadilan.”(hasil perubahan)
Penjelasan Pasal 41 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 42
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Juru Sita tidak boleh merangkap
menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia
sendiri berkepentingan.
(2) Juru Sita tidak boleh merangkap advokat.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Juru Sita selain jabatan sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
(hasil perubahan kedua berbunyi “ketentuan pasal 44 dihapus”).
Penjelasan Pasal 4 berbunyi “cukup jelas”

Bagian Ketiga
SEKERTARIS

Pasal 43
Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekretaris dan
dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Penjelasan Pasal 43 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 44
Penjelasan Pasal 44 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 45
Untuk dapat diangkat menjadi sekretaris dan wakil sekretaris pengadilan agama, seorang calon
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. berijazah sarjana syari'ah, sarjana hukum Islam, sarjana hukum yang menguasai hukum Islam,
atau sarjana administrasi;
f. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun di bidang administrasi peradilan; dan
g. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban.
Penjelasan Pasal 45 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 46
Untuk dapat diangkat menjadi sekretaris dan wakil sekretaris pengadilan tinggi agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,
dan huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun di bidang administrasi peradilan.
Penjelasan Pasal 46 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 47
Sekretaris dan Wakil Sekretaris Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah
Agung.
Penjelasan Pasal 47 berbunyi “cukup jelas”
Kedua berbunyi ketentuan Pasal 44 dihapus.

Pasal 48
(1) Sebelum memangku jabatannya, Sekretaris dan Wakil sekretaris mengucapkan sumpah
menurut agama Islam di hadapan Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk diangkat menjadi Wakil Sekretaris,
akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Negara, dan Pemerintah.
bahwa saya bersumpah bahwa saya akan mentaati segala peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan
penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
bahwa saya bersumpah akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara,
pemerintah, dan martabat Wakil Sekretaris serta akan senantiasa mengutamakan
kepentingan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang, atau golongan.
bahwa saya bersumpah bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut
sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan.
bahwa saya bersumpah bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan
bersemangat untuk kepentingan negara.”(hasil perubahan)

Penjelasan Pasal 48 berbunyi ”cukup jelas”


Penyusun tidak akan memperjelasnya lagi, tetapi catatan yang penyusun berikan
pada Pasal 16, berlaku pula terhadap pasal-pasal yang semisal dengan Pasal 16.

BAB III
KEKUASAAN PENGADILAN

Pasal 49
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah, dan
i. ekonomi syari’ah. (hasil perubahan)

Penjelasan Pasal 49 yang berbunyi


”Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari’ah,
melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya.
Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam adalah
termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan
diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan pasal ini”.
Huruf a :
Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur
dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang
berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain :
1. izin beristri lebih dari seorang;
2. izin melangsungkan perkawinan bagi yang belum berusia 21 (dua
puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga
dalam garus lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10. penyelesaian harta bersama;
11. penguasaan anak-anak;
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak
mematuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami
kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas
istri;
14. putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut;
18. penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum
cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang
tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak
yang ada di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan
anak berdasarkan hukum Islam;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan
dijalankan menurut peraturan yang lain.
Huruf b :
Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan,
penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan
pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa
yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli
waris.
Huruf c :
Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang
memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi
tersebut meninggal dunia.
Huruf d :
Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda
secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan
hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
Huruf e :
Yang dimaksud dengan “wakaf” adalah perbuatan seseorang
atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan /atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah da/atau kesejahteraan
umum menurut syari’ah.
Huruf f :
Yang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib
disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki
oleh seorang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk
diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Huruf g :
Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan
baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan
rezeki (karunia) atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain
berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.
Huruf h :
Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan
hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu
dan jumlah tertentu dengan mengharap ridha Allah Subhanahu
Wata’ala dan pahala semata.
Huruf i :
Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan
atau kegiatan usaha untuk dilaksanakan menurut prinsip syariah,
antara lain meliputi:
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah;
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’a;h
e. reksa dana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah
syari’ah;
g. sekuritas syari’ah
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis syari’ah.
Sudah sangat jelas sehingga penyusun tidak perlu mengomentari lagi.

Pasal 50
(1) Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 49, khusus mngenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih
dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang objek hukumnya
antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan
Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. (hasil perubahan)
Penjelasan Pasal 50 ayat (1) berbunyi ”cukup jelas”
Penyusun tidak akan menambahkan penjelasan lagi.

Penjelasan Pasal 50 ayat (2) berbunyi


”Ketentuan ini memberi wewenang kepada Pengadilan Agama untuk
sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait
dengan okjek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek
sengketa antara orang-orang yang beragama Islam.
Hal ini menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu
penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau
keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa
dirugikan dengan adanya gugatan di pengadilan agama.
Sebaliknya apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau
keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek bersengketa di
pengadilan agama, sengketa di pengadilan agama ditunda untuk
menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan
Peradilan Umum.
Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan
telah mengajukan bukti ke pengadilan agama bahwa telah didaftarkan
gugatan di pengadilan negeri terhadap objek sengketa yang sama dengan
sengketa di pengadilan agama.
Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek dan yang tidak terkait
dengan onjek sengketa yang diajukan keberatannya pengadilan agama
tidak perlu menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak
terkait dimaksud”.
sudah sangat jelas sehingga penulis tidak perlu lagi memberikan komentar lain.

Pasal 51
(1) Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi
kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
(2) Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan
terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
Penjelasan Pasal 51 berbunyi ”cukup jelas”
Penyusun tidak perlu memperjelasnya lagi.

Pasal 52
(1) Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasehat tentang hukum Islam
kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta.
(2) Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 51
Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.
Penjelasan Pasal 52 berbunyi “cukup jelas”
Penyusun tidak perlu lagi memberikan komentar.
dengan penambahan satu pasal baru yang disisipkan di antara Pasal 52 dan Pasal 53. Pasal
tersebut adalah Pasal 52A yang berbunyi sebagai berikut:
Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan
pada tahun Hijriyah.(hasil perubahan)

Penjelasan Pasal 52A berbunyi “cukup jelas”


”Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk
memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat
atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan
awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama
mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu)
Ramadhan dan 1 (satu) Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan
keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan
penentuan waktu salat”.
Penyusun perlu memberikan komentar bahwa itsbat Pengadilan Agama terbatas pada peemriksaan
kesaksian rukyat Hilal, bukan untuk penetapan tanggal 1 Ramadan atau 1 Syawal.

Pasal 53
(1) Ketua pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas hakim.
(2) Ketua pengadilan selain melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan perilaku panitera, sekretaris, dan juru
sita di daerah hukumnya.
(3) Selain tugas melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ketua
pengadilan tinggi agama di daerah hukumnya melakukan pengawasan terhadap jalannya
peradilan di tingkat pengadilan agama dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan
seksama dan sewajarnya.

(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ketua
pengadilan dapat memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan, yang dipandang perlu.
(5) Pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), tidak boleh
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Penjelasan Pasal 53 berbunyi “cukup jelas”
Menurut penyusun, kata seksama pada ayat (3) di atas seharusnya berbunyi saksama.

BAB IV
HUKUM ACARA
Bagian Pertama
UMUM

Pasal 54
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum
Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang
telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
Tidak terjadi perubahan dan Penjelasan Pasal 54 berbunyi“cukup jelas”

Pasal 55
Tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai sesudah diajukannya suatu permohonan atau
gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku.
Penjelasan Pasal 55 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 56
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
memutusnya.
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan usaha
penyelesaian perkara secara damai.

Penjelasan Pasal 56 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 57
(1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA.
(2) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat“BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM’
diikuti dengan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
Penjelasan Pasal 57 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 58
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
(2) Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Penjelasan Pasal 58 berbunyi “cukup jelas”
Pasal 59
(1) Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum kecuali apabila undang-undang
menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara
sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan
dengan sidang tertutup.
(2) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan
seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau putusannya batal menurut hukum
(3) Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.
Penjelasan Pasal 59 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 60
Penetapan dan putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum.
Penjelasan Pasal 60 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 60A
(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan
putusan yang dibuatnya.
(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan
hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.
Penjelasan Pasal 60A berbunyi “cukup jelas”

Pasal 60B
(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.
(3) Pihak yang tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus melampirkan surat
keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat domisili yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 60B Ayat 1 dan 2 berbunyi ”cukup jelas”, sedangkan Penjelasan Pasal 60B
Ayat 3 berbunyi sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan "kelurahan" dalam ketentuan ini termasuk desa, banjar,
nagari, dan gampong.

Pasal 60C
(1) Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari keadilan yang tidak
mampu dalam memperoleh bantuan hukum.
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma-cuma kepada
semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 60C Ayat 1 dan Ayat 3 berbunyi ”cukup jelas”, sedangkan Penjelasan Pasal
60C Ayat 2 berbunyi sebagai berikut :
“Bantuan hukum yang diberikan secara cuma-cuma termasuk biaya eksekus”.

Pasal 61
Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang
berperkara, kecuali apabila undang-undang menentukan lain.
Penjelasan Pasal 61 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 62
(1) Segala penetapan dan putusan Pengadilan, selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-
dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan
atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
(2) Tiap penetapan dan putusan Pengadilan ditandatangani oleh Ketua dan Hakim-hakim yang
memutus serta Panitera yang ikut bersidang pada waktu penetapan dan putusan itu diucapkan.
(3) Berita Acara tentang pemeriksaan ditandatangani oleh Ketua dan Panitera yang bersidang.
Penjelasan Pasal 62 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 63
Atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah
Agung oleh Pihak yang berperkara.
Penjelasan Pasal 63 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 64
Penetapan dan putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau kasasi, pelaksanaannya ditunda
demi hukum, kecuali apabila dalam amarnya menyatakan penetapan atau putusan tersebut dapat
dijalankan lebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding, atau kasasi.
Penjelasan Pasal 64 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 64A
(1) Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang
berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan.
(2) Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan.
(3) Apabila pengadilan tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), ketua pengadilan dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Penjelasan Pasal 64A Ayat 1 dan Ayat 2 berbunyi ”cukup jelas”, sedangkan Pasal 64A Ayat
3 berbunyi sebagai berikut :
”Dalam hal salinan putusan tidak disampaikan, ketua
pengadilan yang bersangkutan dikenai sanksiAdministratif berupa teguran tertulis
dari KetuaMahkamah Agung.
Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" adalah Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik”.

Bagian Kedua
PEMERIKSAAN SENGKETA PERKAWINAN
Paragraf 1
UMUM
Pasal 65
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Penjelasan Pasal 65 berbunyi “cukup jelas”

Paragraf 2
CERAI TALAK

Pasal 66
(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan
kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak.
(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan
sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin Pemohon.
(3) Dalam hal termohon berkediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon.
(4) Dalam hal pemohon dan termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan
atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri
dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak
diucapkan.
Penjelasan Pasal 66 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 67
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66 di atas memuat:
a. nama, umur, dan tempat kediaman pemohon yaitu suami, dan termohon, yaitu istri.
b. alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.
Penjelasan Pasal 67 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 68
(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.
Penjelasan Pasal 68 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 69
Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan-ketentuan Pasal 79, Pasal 80 ayat (2),
Pasal 82, dan Pasal 83.
Penjelasan Pasal 69 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 70
(1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan
dan telah cukup alasan perceraian, maka Pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut
dikabulkan.
(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri dapat mengajukan
banding.
(3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan menentukan hari
sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk
menghadiri sidang tersebut.
(4) Dalam sidang itu, suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik
untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau
kuasanya.
(5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri
atau tidak mengirim wakilnya maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa
hadirnya istri atau wakilnya.
(6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar
talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat
panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian
tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
Penjelasan Pasal 70 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 71
(1) Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar talak.
(2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak
diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.
Penjelasan Pasal 71 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 72
Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasai 71 berlaku ketentuan-ketentuan
dalam pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 85.
Penjelasan Pasal 72 berbunyi “cukup jelas”

Paragraf 3
CERAI GUGAT

Pasal 73
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat
kediaman bersama tanpa izin tergugat.
(2) Dalam hal penggugat berkediaman di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(6) Dalam hal penggugat dan tergugat berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan
atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Penjelasan Pasal 73 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 74
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka
untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan
putusan Pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang
menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penjelasan Pasal 74 berbunyi “cukup jelas”
Pasal 75
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau
penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka Hakim dapat
memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri ke dokter.
Penjelasan Pasal 75 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 76
(1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan
perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang
yang dekat dengan suami istri.
(2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi persengketaan antara suami istri dapat
mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak atau pun orang lain untuk
menjadi hakam.
Penjelasan Pasal 76 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 77
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat atau
berdasarkan pertimbangan bahaya yang ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami istri
tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
Penjelasan Pasal 77 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 78
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, Pengadilan dapat:
a. menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang
menjadi hak istri.
Penjelasan Pasal 78 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 79
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan.
Penjelasan Pasal 79 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 80
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
Penjelasan Pasal 80 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 81
(1) Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan
Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penjelasan Pasal 81 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 82
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua
pihak.
(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila
salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara
pribadi, dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
(3) Apabila kedua pihak berkediaman di luar negeri maka penggugat pada sidang perdamaian
tersebut harus menghadap secara pribadi.
(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap
pemeriksaan.
Penjelasan Pasal 82 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 83
Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan
alasan yang sah dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai.
Penjelasan Pasal 83 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 84
(1) Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya
meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian
dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.
(2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah Pegawai Pencatat
Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai
dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh
Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan.
(3) Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai salinan putusan sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat
didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.
(4) Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum
tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.
Penjelasan Pasal 84 berbunyi “cukup jelas”
Pasal 85
Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 84, menjadi
tanggung jawab Panitera yang bersangkutan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk, apabila yang
demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya.
Penjelasan Pasal 85 berbunyi “cukup jelas”
Pasal 86
(1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat
diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau pun sesudah putusan perceraian
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih dahulu perkara harta
bersama tersebut sampai ada putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu.
Penjelasan Pasal 86 berbunyi “cukup jelas”
Paragraf 4
CERAI DENGAN ALASAN ZINA

Pasal 87
(1) Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina,
sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau
tergugat menyanggah alasan tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau
gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak
mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau
tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk
bersumpah.
(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan
cara yang sama.
Penjelasan Pasal 87 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 88
(1) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami,
maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan cara li’an.
(2) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh istri,
maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku.
Penjelasan Pasal 88 berbunyi “cukup jelas”

Bagian Ketiga
BIAYA PERKARA

Pasal 89
(1) Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon.
(2) Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan merupakan penetapan atau
putusan akhir akan diperhitungkan dalam penetapan atau putusan akhir.
Penjelasan Pasal 53 s.d. 89 di atas berbunyi “cukup jelas”
Oleh karena itu penyusun tidak perlu memberikan komentar lagi, kecuali terhadap Pasal 54, 66,
dan 73.
Komentar penyusun adalah sebagai berikut :
1. Bagian pertama Pasal 54 bersifat umum, sedangkan bagian keduanya merupakan takhsis
muttashil terhadap bagian pertama tersebut.
2. Bagian kedua Pasal 54 – sebagai hukum acara khusus – bersifatmujmal
3. Pasal-pasal 66 ayat (2), 73 ayat (1), dan 88 ayat (1) merupakanmufassar dari bagian kedua
yang mujmal tersebut di atas.
4. Aturan-aturan hukum yang terdapat dalam Pasal 66 dan 73 membedakan perceraian yang
diajukan oleh suami berupa permohonan izin ikrar talak,dan oleh isteri, yaitu cerai gugat.
Ketentuan tersebut jelas amat berbeda dengan perceraian yang diatur dalam BW (KUH
Perdata), yang hanya mengenai satu sebutan, yaitu gugat cerai, baik diajukan oleh seorang
suami terhadap maupun oleh seorang isteri terhadap suaminya.
Penjelasan Pasal 89 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 90
(1) Biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89 meliputi :
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk perkara tersebut;
b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan sumpah yang
diperlukan dalam perkara tersebut;
c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain
yang diperlukan Pengadilan dalam perkara tersebut, dan
d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah Pengadilan yang berkenaan
dengan perkara tersebut.
(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Mahkamah Agung.
Penjelasan Pasal 90 berbunyi “cukup jelas”
Penyusun tidak perlu memberikan komentar tambahan.

Pasal 91
(1) Jumlah biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90 harus dimuat dalam amar
penetapan atau putusan pengadilan.
(2) Jumlah biaya yang dibebankan oleh pengadilan kepada ssalah satu pihak berperkara untuk
dibayarkan kepada pihak lawannya dalam perkara itu, harus dicantumkan juga dalam amar
penetapan atau putusan pengadilan.
Penjelasan Pasal 91 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 91A
(1) Dalam menjalankan tugas peradilan, peradilan agama dapat menarik biaya perkara.
(2) Penarikan biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan tanda bukti
pembayaran yang sah.
(3) Biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya kepaniteraan dan biaya
proses penyelesaian perkara.
(4) Biaya kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan penerimaan negara bukan
pajak, yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Biaya proses penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan pada pihak
atau para pihak yang berperkara yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.
(6) Pengelolaan dan pertanggungjawaban atas penarikan biaya perkara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Penjelasan Pasal 91A Ayat 1, 2, 3, 5, 6 berbunyi ”cukup jelas”, sedangkan Pasal 91A Ayat
4 berbunyi sebagai berikut :
”Biaya Kepaniteraan yang masuk penerimaan Negara bukan pajak adalah
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008”.

Pasal 91B
(1) Setiap pejabat peradilan dilarang menarik biaya selain biaya perkara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 91A ayat (3).
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 38B.
Penjelasan Pasal 91B berbunyi ”cukup jelas”
BAB V
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pasal 92
Ketua pengadilan mengatur pembagian tugas para hakim
Penjelasan Pasal 92 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 93
Ketua Pengadilan membagikan semua berkas perkara dan/atau surat-surat lain yang
berhubungan dengan perkara yang diajukan ke pengadilan kepada Majelis Hakim untuk
diselesaikan.
Penjelasan Pasal 93 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 94
Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diadili berdasarkan nomor urut, tetapi
apabila terdapat perkara tertentu yang karena menyangkut kepentingan umum harus segera
diadili maka perkara itu didahulukan.
Penjelasan Pasal 94 berbunyi
Yang berwenang menentukan bahwa suatu perkara menyangkut kepentingan umum adalah
Ketua pengadilan.

Pasal 95
Ketua Pengadilan wajib mengawasi kesempurnaan pelaksanaan penetapan atau putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penjelasan Pasal 95 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 96
Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan mengatur tugas wakil
panitera, panitera muda, dan panitera pengganti.
Penjelasan Pasal 96 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 97
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti bertugas membantu hakim
dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang pengadilan.
Penjelasan Pasal 97 berbunyi
Berdasarkan catatan panitera, disusun berita acara persidangan.

Pasal 98
Panitera bertugas melaksanakan penetapan atau putusan pengadilan.
Penjelasan Pasal 98 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 99
(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di kepaniteraan
(2) Dalam daftar perkara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), tiap perkara diberi
nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya.
Penjelasan Pasal 99 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 100
Panitera membuat salinan atau turunan penetapan atau putusan pengadilan menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan Pasal 100 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 101
(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, penetapan atau putusan,
dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan pihak ketiga, surat-surat berharga,
barang bukti dan surat-surat lain yang disimpan di kepaniteraan.
(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak boleh dibawa keluar
dari ruangan kepaniteraan, kecuali atas izin ketua pengadilan berdasarkan ketentuan
undang-undang.
(3) Tata cara pengeluaran surat asli, salinan atau turunan penetapan atau putusan, risalah, berita
acara, akta, dan surat-surat lain diatur oleh Mahkamah Agung.
Penjelasan Pasal 101 ayat (1) berbunyi “cukup jelas” sedangkan Penjelasan Pasal 101 ayat
(2) berbunyi :
“Yang dimaksud dengan “dibawa keluar” meliputi segala bentuk dan cara apa pun juga yang
memindahkan isi dari daftar catatan, risalah, agar tidak jatuh ke tangan pihak yang tidak
berhak.
Pasal 102
Tugas dan tanggung jawab serta tata cara kerja kepaniteraan pengadilan diatur lebih lanjut
oleh Mahkamah Agung.
Penjelasan Pasal 102 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 103
(1) Juru sita bertugas:
a. melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang;
b. menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan pemberitahuan penetapan
atau putusan pengadilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan undang-undang;
c. melakukan penyitaan atas perintah ketua pengadilan;
d. membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
(3) Juru sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum pengadilan yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 103 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 104
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas juru sita diatur oleh Mahkamah Agung.
Penjelasan Pasal 104 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 105
(1) Sekretaris pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum pengadilan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja
sekretariat diatur oleh Mahkamah Agung.
Penjelasan Pasal 105 berbunyi “cukup jelas”

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 106
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini:
1. Semua badan peradilan agama yang telah ada dinyatakan sebagai badan peradilan agama
menurut undang-undang ini;
2. Semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai peradilan agama dinyatakan tetap
berlaku selama ketentuan baru berdasarkan undang-undang ini belum dikeluarkan, sepanjang
peraturan itu tidak bertentangan dengan undang-undangan ini.
Penjelasan Pasal 106 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 106A
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan prlskdsns Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undangan ini.
Penjelasan Pasal 106A berbunyi “cukup jelas”

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 107
(1) Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka:
a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152
dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan Nomor 610);
b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi
Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan Nomor 639);
c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syariah di luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor
99); dan
d. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3019), dinyatakan tidak berlaku.
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 236 a Reglement Indonesia yang
Diperbaharui (RIB), Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44, mengenai Permohonan Pertolongan
Pembagian Harta Peninggalan di luar Sengketa antara Orang-orang yang Beragama Islam yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama.
Penjelasan Pasal 107 berbunyi “cukup jelas”

Pasal 108
Undang-undang ii mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Penjelasan Pasal 108 berbunyi “cukup jelas”

Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Penjelasan Pasal II berbunyi Cukup Jelas.
Disahkan dijakarta
Pada tanggal 29Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 159


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5078

Editor by :
- Drs. H. Assadurrahman, SH.MH.
- Timur Abimanyu, SH.MH.

Sumber Data :

Achmad Roestandi dan Muchjidin Effendie, Komentar Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam, (Bandung:
Nusantara Press, 1991), h. 1.
Bustanul Arifin, Peradilan Agama di Indonesia, dalam: Achmad Roestandi dan Muchjidin
Effendie, Komentar Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nusantara Press, 1991).
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Hukum Waris Islam,(Laporan Hasil
Seminar), (Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
Departemen Agama, 1982).
Mr. R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), cet.
Ketiga.
Pepakem Cirebon merupakan sekumpulan macam-macam ketentuan dari hukum Jawa-Kuno, yang
diambil dari beberapa kitab hukum Jawa, seperti Kitab Hukum Raja Niscaya, Undang-
Undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Manawa dan Adilulah, atau Surya Alam.
Ketentuan-ketentuan dari kitab-kitab tersebut disalin ke dalam Pepakem Cirebon secara
teratur dengan disebutkan nama masing-masing kitab tersebut. Penyalinan ke dalam
Pepakem Cirebon pun dilakukan dengan perubahan-perubahan yang dipandang perlu.
Disarikan dari Suparman Usman, Hukum Islam (Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia), (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002), cet. ke-2.
Mengutip Solihin Salam, Sejarah Islam di Jawa,, (Jakarta : Djajamurni, 1964),hal. 7. Ruslan
Abdul Gani setuju dengan pendapat tersebut, dan mengatakan bahwa kedatngan Islam
langsung dari Saudi Arabia, sebagaimana kesimpulan hasil seminar di Medan pada tahun
1963 tentang Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. Menurutnya, Islam datang di
Indonesia tidak dalam suatu vacuum kultural atau vacuum kebudayaan (Ibid., mengutip
Ruslan Abdul Gani, ejarah Perkembangan Islam di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Antar
Kota, 1963).
Solihin Salam, Sejarah Islam di Jawa, mengutip P.A. Husein Djajadiningrat, Critische
Beschouwing van de Sedjarah Banten, (Leiden).
Suparman Usman, op. cit., hal. 107, mengutip Bustanul Arifin, Budaya Hukum itu Telah Mati,
(Jakarta : Kongres Umat Islam, 1998), hal. 2, dan Membangun Ilmu Hukum Indonesia,
dalam Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Universitas Yarsi, 1999), vet.
Ke-1, hal. Xi. Lihat pula Solihin Salam, op. cit..
H. Zaini Ahmad Noeh dan H. Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di
Indonesia, (Suarabaya : Bina Ilmu, 1980 M./1401 H.).
Suparman Usman, loc. cit. mengutip Hadari Djenawi Taher, Pokok-pokok Pikiran dalam Undang-
Undang Peradilan Agama, (Jakarta : PT Alda, 1989).
Lembaga ini diatur dalam Stb. 1847 Nomor 23 jo Stb. 1854 Nomor 57, yang disebut R.O.
(Reglement op de Rechtterlijke organisatie en het beleid der justitie in Indoneise), yang
dibedakan atas :
1. untuk golongan Eropa, dengan lembaga peradilan Landrechter, Raad van Justitie, dan
Hooge-rechts-hoft.
2. Untuk golongan bumiputera dengan lembaga peradilan Land Raad dan Landgerecht,
serta tingkat banding dan kasasinya Raad van Justitie, dan Hooge-rechts-hoft.
Lembaga ini ada yang diatur langsung oleh pemerintah kolonial Belanda dan ada yang didirikan
atas inisiatif kepala swapraja dan kepala adat setempat. Pada tanggal 19 Januari 1882
secara resmi lembaga ini dibentuk berdasarkan Stb. 1882 Nomor 152 (untuk Jawa dan
Madura, pen.), Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 dibentuk Kerapatan Qadi (untuk peradilan
tingkat pertama) dan Kerapatan Qadi Besar (untuk tingkat banding).
Lembaga ini berdasarkan zelf beestuurs regelen 1938 (zelf bestuurrechtspraak), diatur dalam
perjanjian panjang (longe contraken) dengan kepala swapraja, dan lebih lanjut dalam
peraturan-peraturan swapraja, serta dalam Stb. 1927 Nomor 190 jo Stb. 1938 Nomor 529,
yang kekuasaannya sebatas kaula swapraja setempat.
Lembaga ini diatur dalam Stb. 1932 Nomor 80, yang berlaku untuk daerah luar Jawa dan
Madura. Sedangkan pengaturannya dalam Regeering van Inheemesgerechtspraak
inrecthsreeks bestuurd gebiet berdasarkan Pasal 130 I.S.
Lembaga ini diatur dalam Stb. 1935 Nomor 102, dan bersifat hakim perdamaian, khususnya
perselisihan-perselisihan masyarakat desa (Pasal 3 R.O.)
Lembaga ini hanya menyangkut persoalan-persoalan yang khusus (Militer, Perburuhan, Angkatan
Laut, Soal-soal Perumahan. (Ibid., hal. 10, mengutip Muchtar Zarkasyi dalam M. Idris
Romulyo, 1993 : 86-87).
Stb. 1882 No. 152 merupakan buah pikiran van den Berg yang terkenal dengan teori Receptio in
Complexu. Teori inidikecam pedas oleh Snouck Hurgronye dan dilanjutkan oleh van
Vollenhoven serta mengatakan bahwa “Pembentukan Pengadilan Agama merupakan
kesalahan yang patut disesalkan sehingga dibiarkan berjalan liar tanpa bantuan dan
campur tangan pemerintah sehingga keputusan-keputusannya tidak perlu memperoleh
kekuatan undang-undang.” Snouck mengajukan teori baru yaitu teoriReceptie. Menurut
teori tersebut, yang sebenarnya berlaku di Indoensia bukan hukum Islam, melainkan
hukum Adat, dan hukum Islam baru mempunyai kekuatan bila telah diresepsi oleh hukum
Adat.. (Suparman Usman, op. cit. hal. 137).
Achmad Roestandi dan Muchjidin Effendie, Komentar Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam, (Bandung:
Nusantara Press, 1991).
Suparman Usman, op. cit., hal. 35-36.
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia (Akar Sejarah, Hambatan, dan
Prospeknya), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
Bustanul Arifin, Peradilan Agama di Indonesia, dalam: Achmad Roestandi dan Muchjidin
Effendie, Komentar Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nusantara Press, 1991).
Achmad Roestandi dan Muchjidin Effendie, Komentar Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam, (Bandung:
Nusantara Press, 1991).
Mengutip Ismail Suny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam
Mimbar Hukum, No. 2 Tahun 1, 1990, hal. 8 dan seterusnya, dan dalam Amrullah
Ahmad, Dimensi Hukum Islam.
Pada tahun 1950, Menteri Agama, H.A.Wahid Hasyim, mengambil inisiatif untuk membentuk
sebuah kepanitiaan yang bertugas menyusun hukum perkawinan, yang diketuai oleh Mr.
Teuku Muhammad Hasan, berdasarkan SK Menteri Agama No. B/2/4299,, tanggal 1
Oktober 1950, yang hingga tahun 1954 – menurut Noeh – diselesaikan 3 RUU: a) RUU
Perkawinan yang bersifat umum sebagai suatu undang-undang pokok, b)
RUU Pernikahan untuk umat Islam, dan c ) RUU Perkawinan untuk umat Kristen. Pada
tahun 1958, Kabinet menyetujui gagasan Menteri Agama (K.H. Muh. Ilyas) untuk
mengajukan RUUP umat Islam ke Parlemen dan dibicarakan lebih awal.
Pertimbangannya adalah selain karena umat Islam mayoritas, mereka juga belum
memiliki Undang-Undang Perkawinan, sedangkan untuk umat Kristen Indonesia telah ada
HOCI (Huwelijk Ordonantie Christen voor Indonesiers), tetapi gagal dibicarakan karena
fraksi PNI di parlemen menolaknya. Ternyata pada saat yang sama, Departemen
Kehakiman mengajukan RUU Perkaawinan yang bersifat umum dan dimaksudkan
sebagai undang-undang pokok, yang menurut Noeh (1996) isinya hampir sama dengan
yang dibuat oleh kepanitiaan yang dibentuk oleh Menteri Agama pada tahun 1950.
Parlemen rupanya melihat ada gelagat perpecahan dan rivalitas di tubuh pemerintah,
antara Departemen Agama yang dikuasai NU, dan Departemen Kehakiman yang dikuasai
PNI. Akhirnya Parlemen dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan Dekrit Presiden (5
Juli 1959). Kegagalan itu sangat mengecewakan orang-orang Islam dan organisasi-
organisasi non partai. Mereka terus menggulirkan isu UU Perkawinan dan mendesak
Pemerintah dan DPR untuk segera merampungkan draft RUU Perkawinan yang sudah
masuk. Tercatat Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah kesejahteraan Keluarga
(1960), Konferensi Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian (BP4)
(1962), dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI)
(1963), serta berbagai organisasi lain mendesak agar segera dibuat UU Perkawinan.
Besarnya keinginan masyarakat tersebut mendasari keluarnya Ketetapan MPRS No.
XXVII/MPRS/1966. Pasal 1 ayat (3) Tap tersebut menandaskan supaya segera diadakan
sebuang UU Perkawinan. Peristiwa tahun 1958 terulang kembali pada tahun 1967, dengan
Menteri Agama dan Menteri Kehakiman yang berbeda. Akhirnya kedua RUU tersebut
dihentikan menunggu terbentuknya DPR baru hasil Pemilu 1971. (Achmad
Gunaryo,Pergumulan Politik dan Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Pelajar &
Pascasarjana IAIN Walisongo, 2006), h. 127-129, mengutip (Din Syamsuddin, Islam dan
Politik di Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), [t. h.])). Pada tanggal 31 Juli 1973
Presiden Soeharto dengan surat No. R.02/PU/VII/1973 mengajukan RUU Perkawinan
kepada DPR, yang mirip dengan Ordonantie Perkawinan Tercatat Tahun 1937, yang
pernah ditolak oleh umat Islam. Dalam surat tersebut Pemerintah menyatakan mencabut
kembali kedua RUU yang pernah diajukan ke DPR Gotong Royong sebelumnya. (Ibid.)
Mengutip (Naskah Statement, 1973: 2 September). Dalam naskah tersebut mereka menyatakan: a)
penolakan terhadap RUU Perkawinan yang ada, b) penuntutan pencabutannya dan
mengganti dengan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, c) menyerukan agar
umat Islam di mana saja untuk tetap mempertahankan akidah Islam, dan d) menyerukan
agar umat Islam melakukan salat tahajjud untuk memohon pertolongan Allah. (Ibid.)
Lobi dengan ulama dilakukan di gedung Kartika Eka Paksi. Lobi yang bertujuan: 1) untuk
mendengarkan pihak Islam, 2) mencari titik temu, ternyata berkembang lebih jauh karena
dalam lobi tersebut ternyata dilakukan upaya penyusunan draft UU Perkawinan yang
baru. Dalam penilaian Feillard, draft itulah yang akhirnya disahkan menjadi UU
Perkawinan. (Ibid., h. 142, mengutip (Feillard, 1995: 192-195)).
Menurut catatan Kacung Marijan, RUU Perkawinan itu dibuat oleh orang-orang yang dekat
dengan Ali Moertopo, seorang Jenderal Angkatan Darat, (Ibid., mengutip Kacung Marijan
(1992: 83), sedangkan Ali Moertopo menurut catatan Aminudin adalah orang yang sangat
populer anti pelembagaan Islam dan penggagas pengkerdilan partai-partai Islam.
Aminudin mengatakan pula bahwa pengambilalihan tersebut merupakan tamparan bagi
Ali Moertopo, dan kawan-kawan. (Ibid., mengutip Aminudin (1996: 100).
Sayuti Thalib, S.H., Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku bagi Umat Islam [disertai dengan
Beberapa Pengertian Umum Hukum Perkawinan Undang-Undang Perkawinan 1974],
(Jakarta: UI-Press, 1986).
(Busthanul Arifin). Ternyata semua peraturan tertulis yang dapat ditelusuri pada zaman itu
menunjuk pada adanya suatu peradilan agama dalam pelbagai bentuk dan tingkatan di
seluruh nusantara. Peraturan-peraturan tersebut bukan menciptakan melainkan memberi
petunjuk kepada para pejabat waktu itu – terutama kepada para bupati yang langsung
berhubungan dengan rakyat – tentang bagaimana sikap yang harus diambil terhadap
semua peradilan agama itu. Lama-kelamaan peraturan tersebut mengatur dan
mengarahkannya ke “sudut-sudut netral” tidak membahayakan politik hukum
kolonial. Kemudian dengan Stb. 1931 – yang untuk sebagian mulai berlaku tahun 1937 –
diberikan pukulan knock outkepada peradilan agama, yang menjadikannya sebagai quasi
peradilan, atau pengadilan hanya namanya saja tetapi pada hakekatnya bukan pengadilan.
Bustanul Arifin, Peradilan Agama di Indonesia, dalam: Achmad Roestandi dan Muchjidin
Effendie, Komentar Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nusantara Press, 1991).
Penerimaan Pancasila sebagai asas oleh NU pada Muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa
Timur, 1984, yang diikuti oleh Muhammadiyah dan akhirnya umat Islam secara
keseluruhan. (Bustanul Arifin op. cit. mengutip (Bahtiar Effendy, 1998: 271)).
Bambang Sutisna, Kata Sambutan, dalam: Achmad Roestandi dan Muchjidin Effendie, Komentar
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Dilengkapi
Kompilasi Hukum Islam,(Bandung: Nusantara Press, 1991).
Achmad Roestandi dan Muchjidin Effendie, Komentar Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam, (Bandung:
Nusantara Press, 1991).
Bahtiar Effendy mencatat bahwa selain RUU Peradilan Agama yang disahkan menjadi UU, ada 2
(dua) akomodatif lainnya yaitu Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional dan
Kompilasi Hukum Islam (melalui INPRES Nomor 1 Tahun 1991). (Ibid., mengutip
Bahtiar Effendy, (1993: 273-310)).
Ketiga belas kitab tersebut adalah : al-Bâjurî, Fath al-Mu‘în, Syarqâwî ala al-Tahrîr, Qalyûbî-
Mahallî, Fath al-Wahhâb dengan syarah-nya, al-Tuhfah, Targhîb al-Musytâq, (al)-
Qawânîn al-Syar‘iyyah li al-Sayyid (‘Utsmân) bin Yahyâ, (al)-Qawânîn al-Syar‘iyyah li
al-Sayyid Shadaqah Dahlân, Syamsurî li al-Farâidl, Bughyah al-Mustarsyidîn, al-Fiqh ‘alâ
al-Madzâhib al-'Arba‘ah, dan Mughnî al-Muhtâj (Ibid., hal. 147. Lihat Direktur Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta : Departemen Agama RI, 1991).
Umar Mansyur Syah menyebutkan bahwa pada tanggal 21 s.d. 23 Maret 1985, Mahkamah Agung
menyelenggarakan Rakernas dengan Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Pengadilan Tinggi
Agama, dan Ketua Mahkamah Militer Tinggi seluruh Indonesia di Yogyakarta, serta pada
tanggal 29 Mei 1985, Mahkamah Agung dan Departemen Agama menyelenggarakan
Raker (Bersama, pen.). (Umar Mansyur Syah, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
(dalam Teori dan Praktek), (Bandung : Sumber Bahagia, 1991).
Hasil Penelitian Work-Plan Aceh Justice Resource Centre (AJRC) tentang Eksistensi Mahkamah
̒
Syariyyah dalam Menjalankan Peradilan Syariat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Intisari dari Qanun sebagaimana Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 1 angka 21 dan 22 UU Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah Qanun peraturan perundang-perundangan
sejenis Perda yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat
Aceh. (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 62).
Komponen Struktural adalah bagian-bagian dari sistem hukum yang bergerak di dalam suatu
mekanisme. Contohnya lembaga pembuat undang-undang, pengadilan, dan berbagai
badan yang diberi wewenang untuk menerapkan dan menegakkan hukum.
(Muchsin, Hakikat Hukum (The Essence of Law), (Jakarta : [t. penb]), 2006.
Pasal 8 (Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama) sudah disatukan
pengaturannya ke dalam Pasal 7, sedangkan bunyi penjelasan Pasal 7 (1) Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama adalah “cukup jelas” , dan (2) Undang-undang Nomor 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagaimana tersebut di atas.

You might also like