You are on page 1of 46

BAB 2

PEMBAHASAN

1. KEMOTERAPI DALAM GINEKOLOGI


1.1 Gambaran Umum

1.1.1 Definisi
Merupakan bentuk pengobatan kanker dengan
menggunakan obat sitostatika yaitu suatu zat-zat yang dapat
menghambat proliferasi sel-sel kanker. Kemoterapi merupakan cara
pengobatan kanker dengan jalan memberikan zat/obat yang
mempunyai khasiat membunuh sel kanker atau menghambat
proliferasi sel-sel kanker dan diberikan secara sistematik. Obat
anti kanker yang artinya penghambat kerja sel (Munir, 2005).
Untuk kemoterapi bisa digunakan satu jenis sitostika.
Pada sejarah awal penggunaan kemoterapi digunakan satu jenis
sitostika, namun dalam perkembangannya kini umumnya
dipergunakan kombinasi sitostika atau disebut regimen kemoterapi,
dalam usaha untuk mendapatkan hasiat lebih besar (Admin, 2009).
1.1.2 Tujuan
1) Pengobatan.
2) Mengurangi massa tumor selain pembedahan atau radiasi.
3) Meningkatkan kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas
hidup.
4) Mengurangi komplikasi akibat metastase.
1.1.3 Manfaat
1) Pengobatan
Beberapa jenis kanker dapat disembuhkan secara tuntas
dengan satu jenis kemoterapi atau beberapa jenis kemoterapi.
2) Kontrol
Kemoterapi ada yang bertujuan untuk menghambat
perkembangan kanker agar tidak bertambah besar atau
menyebar ke jaringan lain.

3
3) Mengurangi gejala
Bila kemoterapi tidak dapat menghilangkan kanker, maka
kemoterap yang diberikan bertujuan untuk mengurangi gejala
yang timbul pada penderita, seperti meringankan rasa sakit dan
memberi perasaan lebih baik serta memperkecil ukurran
kanker pada daerah yang diserang.

1.2 Prinsip kerja obat kemoterapi (sitostatika) terhadap kanker.


Menurut Munir (2005), sebagian besar obat kemoterapi
(sitostatika) yang digunakan saat ini bekerja terutama terhadap sel-sel
kanker yang sedang berproliferasi, semakin aktif sel-sel kanker tersebut
berproliferasi maka semakin peka terhadap sitostatika hal ini disebut
Kemoresponsif, sebaliknya semakin lambat proliferasinya maka
kepekaannya semakin rendah , hal ini disebut Kemoresisten. Kemoterapi
bekerja dengan cara:
1. Merusak DNA dari sel-sel yang membelah dengan cepat, yang
dideteksi oleh jalur p53/Rb, sehingga memicu apoptosis
2. Merusak aparatus spindel sel, mencegah kejadian pembelahan sel.
3. Menghambat sintesis DNA

1.3 Obat-Obat Kemoterapi


Menurut Munir (2005), jenis obat yang digunakan pada tindakan
kemoterapi ada beberapa macam, diantaranya adalah :
1) Obat golongan Alkylating agent, platinum Compouns, dan Antibiotik
Anthrasiklin obst golongsn ini bekerja dengan antara lain mengikat
DNA di inti sel, sehingga sel-sel tersebut tidak bisa melakukan
replikasi.
2) Obat golongan Antimetabolit, bekerja langsung pada molekul basa
inti sel, yang berakibat menghambat sintesis DNA.
3) Obat golongan Topoisomerase-inhibitor, Vinca Alkaloid, dan
Taxanes bekerja pada gangguan pembentukan tubulin, sehingga
terjadi hambatan mitosis sel.

4
4) Obat golongan Enzim seperti, L-Asparaginase bekerja dengan
menghambat sintesis protein, sehingga timbul hambatan dalam
sintesis DNA dan RNA dari sel-sel kanker tersebut.

1.4 Pola pemberian kemoterapi (Munir, 2005)


1) Kemoterapi Induksi
Ditujukan untuk secepat mungkin mengecilkan massa tumor atau
jumlah sel kanker, contoh pada tomur ganas yang berukuran besar
(Bulky Mass Tumor) atau pada keganasan darah seperti leukemia atau
limfoma, disebut juga dengan pengobatan penyelamatan.
2) Kemoterapi Adjuvan
Biasanya diberikan sesudah pengobatan yang lain seperti pembedahan
atau radiasi, tujuannya adalah untuk memusnahkan sel-sel kanker
yang masih tersisa atau metastase kecil yang ada (micro metastasis).
3) Kemoterapi Primer
Dimaksudkan sebagai pengobatan utama pada tumor ganas, diberikan
pada kanker yang bersifat kemosensitif, biasanya diberikan dahulu
sebelum pengobatan yang lain misalnya bedah atau radiasi.
4) Kemoterapi Neo-Adjuvan
Diberikan mendahului/sebelum pengobatan /tindakan yang lain seperti
pembedahan atau penyinaran kemudian dilanjutkan dengan
kemoterapi lagi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan massa tumor
yang besar sehingga operasi atau radiasi akan lebih berhasil guna.

1.5 Cara pemberian obat kemoterapi (Munir, 2005)


1) Intra vena (IV)
Kebanyakan sitostatika diberikan dengan cara ini, dapat berupa bolus
IV pelan-pelan sekitar 2 menit, dapat pula per drip IV sekitar 30 – 120
menit, atau dengan continous drip sekitar 24 jam dengan infusion
pump upaya lebih akurat tetesannya.

5
2) Intra tekal (IT)
Diberikan ke dalam canalis medulla spinalis untuk memusnahkan
tumor dalam cairan otak (liquor cerebrospinalis) antara lain MTX,
Ara.C.
3) Radiosensitizer, yaitu jenis kemoterapi yang diberikan sebelum
radiasi, tujuannya untuk memperkuat efek radiasi, jenis obat untukl
kemoterapi ini antara lain Fluoruoracil, Cisplastin, Taxol, Taxotere,
Hydrea.
4) Oral
Pemberian per oral biasanya adalah obat Leukeran®, Alkeran®,
Myleran®, Natulan®, Puri-netol®, hydrea®, Tegafur®, Xeloda®,
Gleevec®.
5) Subkutan dan intramuskular
Pemberian sub kutan sudah sangat jarang dilakukan, biasanya adalah
L-Asparaginase, hal ini sering dihindari karena resiko syok
anafilaksis. Pemberian per IM juga sudah jarang dilakukan, biasanya
pemberian Bleomycin.
6) Topikal
7) Intra arterial
8) Intracavity
9) Intraperitoneal/Intrapleural
Intraperitoneal diberikan bila produksi cairan acites hemoragis yang
banyak pada kanker ganas intra-abdomen, antara lain Cisplastin.
Pemberian intrapleural yaitu diberikan kedalam cavum pleuralis untuk
memusnahkan sel-sel kanker dalam cairan pleura atau untuk
mengehntikan produksi efusi pleura hemoragis yang amat banyak ,
contohnya Bleocin.

1.6 Prosedur Tindakan Kemoterapi Pada Pasien (Herdata, 2009)


1) Persiapan Pasien
Sebelum pengotan dimulai maka terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
yang meliputi:

6
a) Darah tepi; Hb, Leuko, hitung jenis, Trombosit.
b) Fungsi hepar; bilirubin, SGOT, SGPT, Alkali phosphat.
c) Fungsi ginjal; Ureum, Creatinin dan Creatinin Clearance Test bila
serum creatinin meningkat.
d) Audiogram (terutama pada pemberian Cis-plastinum)
e) EKG (terutama pemberian Adriamycin, Epirubicin).
2) Syarat pasien yang layak mendapat tindakan kemoterapi :
Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan
kelemahan, yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi untolerable
side effect. Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sebagai
berikut :
1. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group
(ECOG) yaitu status penampilan <= 2. Status Penampilan Penderita
Ca (Performance Status) ini mengambil indikator kemampuan
pasien, dimana penyakit kanker semakin berat pasti akan
mempengaruhi penampilan pasien. Hal ini juga menjadi faktor
prognostik dan faktor yang menentukan pilihan terapi yang tepat
pada pasien dengan sesuai status penampilannya. Skala status
penampilan menurut ECOG ( Eastern Cooperative Oncology Group)
adalah sebagai berikut:
a. Grade 0: masih sepenuhnya aktif, tanpa hambatan untuk
mengerjakan tugas kerja dan pekerjaan sehari-hari.
b. Grade 1: hambatan pada perkerjaan berat, namun masih mampu
bekerja kantor ataupun pekerjaan rumah yang ringan.
c. Grade 2: hambatan melakukan banyak pekerjaan, 50 % waktunya
untuk tiduran dan hanya bisa mengurus perawatan dirinya sendiri,
tidak dapat melakukan pekerjaan lain.
d. Grade 3: Hanya mampu melakukan perawatan diri tertentu, lebih
dari 50% waktunya untuk tiduran.
e. Grade 4: Sepenuhnya tidak bisa melakukan aktifitas apapun,
betul-betul hanya di kursi atau tiduran terus
2. Jumlah lekosit >=3000/ml

7
3. Jumlah trombosit>=120.0000/ul
4. Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10 gram %
5. Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam) (Tes Faal
Ginjal)
6. Bilirubin <2 mg/dl. , SGOT dan SGPT dalam batas normal ( Tes
Faal Hepar ).
7. Elektrolit dalam batas normal.
8. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan
pada usia diatas 70 tahun.
9. Keadaan umum cukup baik.
10. Penderita mengerti tujuan dan efek samping yang akan terjadi,
informed concent.
11. Faal ginjal dan hati baik.
12. Diagnosis patologik
13. Jenis kanker diketahui cukup sensitif terhadap kemoterapi.
14. Riwayat pengobatan (radioterapi/kemoterapi) sebelumnya.
3) Prosedur Pemberian Kemoterapi
1. Periksa pasien, jenis obat, dosis obat, jenis cairan, volume cairan,
cara pemberian, waktu pemberian dan akhir pemberian.
2. Pakai proteksi : gaun lengan panjang, topi, masker, kaca mata,
sarung tangan dan sepatu.
3. Lakukan tehnik aseptik dan antiseptic
4. Pasang pengalas plastik yang dilapisi kertas absorbsi dibawah daerah
tusukan infuse
5. Berikan anti mual ½ jam sebelum pemberian anti neoplastik
(primperan, zofran, kitril secara intra vena)
6. Lakukan aspirasi dengan NaCl 0,9 %
7. Beri obat kanker secara perlahn-lahan (kalau perlu dengan syringe
pump) sesuai program
8. Bila selesai bilas kembali dengan NaCl 0,9%
9. Semua alat yang sudah dipakai dimasukkan kedalam kantong plastik
dan diikat serta diberi etiket.

8
10. Buka gaun, topi, asker, kaca mata kemudian rendam dengan
deterjen. Bila disposible masukkkan dalam kantong plasrtik
kemudian diikat dan diberi etiket, kirim ke incinerator / bakaran.
11. Catat semua prosedur
12. Awasi keadaan umum pasien, monitor tensi, nadi, RR tiap setengah
jam dan awasi adanya tanda-tanda ekstravasasi.

1.7 Efek samping kemoterapi (Herdata, 2008)


Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel
normal yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang
dan Sel pada traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa
perdarahan, depresi sum-sum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi.
Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan
ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan
kerontokan rambut.
Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sumsum
tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek
obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel
normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel
normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker.
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas
terhadap jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada
paru berupa kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal
lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal
ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping
pemberian kemoterapi.
Untuk menghindari efek samping intolerable, dimana penderita
menjadi tambah sakit sebaiknya dosis obat dihitung secara cermat
berdasarkan luas permukaan tubuh (m2) atau kadang-kadang
menggunakan ukuran berat badan (kg). Selain itu faktor yang perlu
diperhatikan adalah keadaan biologik penderita. Untuk menentukan
keadaan biologik yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum (kurus

9
sekali, tampak kesakitan, lemah sadar baik, koma, asites, sesak, dll), status
penampilan (skala karnofsky, skala ECOG), status gizi, status hematologis,
faal ginjal, faal hati, kondisi jantung, paru dan lain sebagainya.
Penderita yang tergolong good risk dapat diberikan dosis yang
relatif tinggi, pada poor risk (apabila didapatkan gangguan berat pada faal
organ penting) maka dosis obat harus dikurangi, atau diberikan obat lain
yang efek samping terhadap organ tersebut lebih minimal. Intensitas efek
samping tergantung dari karakteristik obat, dosis pada setiap pemberian,
maupun dosis kumulatif, selain itu efek samping yang timbul pada setiap
penderita berbeda walaupun dengan dosis dan obat yang sama, faktor
nutrisi dan psikologis juga mempunyai pengaruh bermakna. Efek samping
kemoterapi dipengaruhi oleh :
1. Masing-masing agen memiliki toksisitas yang spesifik terhadap organ
tubuh tertentu.
2. Dosis.
3. Jadwal pemberian.
4. Cara pemberian (iv, im, peroral, per drip infus).
5. Faktor individual pasien yang memiliki kecenderungan efek toksisitas
pada organ tertentu.
Umumnya efek samping kemoterapi terbagi atas :
1. Efek amping segera terjadi (Immediate Side Effects) yang timbul
dalam 24 jam pertama pemberian, misalnya mual dan muntah.
2. Efek samping yang awal terjadi (Early Side Effects) yang timbul dalam
beberapa hari sampai beberapa minggu kemudian, misalnya netripenia
dan stomatitis.
3. Efek samping yang terjadi belakangan (Delayed Side Effects) yang
timbul dalam beberapa hari sampai beberapa bulan, misalnya neuropati
perifer, neuropati.
4. Efek samping yang terjadi kemudian (Late Side Effects) yang timbul
dalam beberapa bulan sampai tahun, misalnya keganasan sekunder.

10
Efek samping Kemoterapi timbul karena obat-obat kemoterapi
sangat kuat, dan tidak hanya membunuh sel-sel kanker, tetapi juga
menyerang sel-sel sehat, terutama sel-sel yang membelah dengan cepat.
Karena itu efek samping kemoterapi muncul pada bagian-bagian tubuh
yang sel-selnya membelah dengan cepat. Efek samping dapat muncul
ketika sedang dilakukan pengobatan atau beberapa waktu setelah
pengobatan.
Efek samping yang selalu hampir dijumpai adalah gejala
gastrointestinal, supresi sumsum tulang, kerontokan rambut. Gejala
gastrointestinal yang paling utama adalah mual, muntah, diare, konstipasi,
faringitis, esophagitis dan mukositis, mual dan muntah biasanya timbul
selang beberapa lama setelah pemberian sitostatika dab berlangsung tidak
melebihi 24 jam.
Gejala supresi sumsum tulang terutama terjadinya penurunan
jumlah sel darah putih (leukopenia), sel trombosit (trombositopenia), dan
sel darah merah (anemia), supresi sumsum tulang belakang akibat
pemberian sitistatika dapat terjadi segera atau kemudian, pada supresi
sumsum tulang yang terjadi segera, penurunan kadar leukosit mencapai
nilai terendah pada hari ke-8 sampai hari ke-14, setelah itu diperlukan
waktu sekitar 2 hari untuk menaikan kadar laukositnya kembali. Pada
supresi sumsum tulang yang terjadi kemudian penurunan kadar leukosit
terjadi dua kali yaitu pertama-tama pada minggu kedua dan pada sekitar
minggu ke empat dan kelima. Kadar leukosit kemudian naik lagi dan akan
mencapai nilai mendekati normal pada minggu keenam. Leukopenia dapat
menurunkan daya tubuh, trombositopenia dapat mengakibatkan
perdarahan yang terus-menerus/ berlabihan bila terjadi erosi pada traktus
gastrointestinal.
Kerontokan rambut dapat bervariasi dari kerontokan ringan dampai
pada kebotakan. efek samping yang jarang terjadi tetapi tidak kalah
penting adalah kerusakan otot jantung, sterilitas, fibrosis paru, kerusakan
ginjal, kerusakan hati, sklerosis kulit, reaksi anafilaksis, gangguan syaraf,

11
gangguan hormonal, dan perubahan genetik yang dapat mengakibatkan
terjadinya kanker baru.
Kardiomiopati akibat doksorubin dan daunorubisin umumnya sulit
diatasi, sebagian besar penderita meninggal karena “pump failure”, fibrosis
paru umumnya iireversibel, kelainan hati terjadi biasanya menyulitkan
pemberian sitistatika selanjutnya karena banyak diantaranya yang
dimetabolisir dalam hati, efek samping pada kulit, saraf, uterus dan saluran
kencing relatif kecil dan lebih mudah diatasi.
Kemoterapi dapat mempengaruhi sel normal di lambung, sel
lambung ini kemudian mengirim sinyal ke ” pusat muntah” di otak, karena
sinyal ini direspon berbeda sehingga memicu mual dan muntah. Ada kala
kemoterapi akan langsung bekerja di “pusat muntah” di otak. Mekanisme
ini juga akan memicu mual dan muntah.

1.9 Langkah-Langkah Pemberian Obat Kemoterapi Oleh Perawat


Semua obat dicampur oleh staf farmasi yang ahli dibagian farmasi
dengan memakai alat “biosafety laminary airflow” kemudian dikirim ke
bangsal perawatan dalam tempat khusus tertutup. Diterima oleh perawat
dengan catatan nama pasien, jenis obat, dosis obat dan jam pencampuran.
Menurut Admin (2009), bila tidak mempunyai biosafety laminary
airflow maka, pencampuran dilakukan diruangan khusus yang tertutup dengan
cara :
1. Meja dialasi dengan pengalas plastik diatasnya ada kertas penyerap atau
kain
2. Pakai gaun lengan panjang, topi, masker, kaca mata, sepatu.
3. Ambil obat sitostatika sesuai program, larutkan dengan NaCl 0,9%, D5%
atau intralit.
4. Sebelum membuka ampul pastikan bahwa cairan tersebut tidak berada
pada puncak ampul. Gunakan kasa waktu membuka ampul agar tidak
terjadi luka dan terkontaminasi dengan kulit. Pastikan bahwa obat yang
diambil sudah cukup, dengan tidak mengambil 2 kali

12
5. Keluarkan udara yang masih berada dalam spuit dengan menutupkan
kapas atau kasa steril diujung jarum spuit.
6. Masukkan perlahan-lahan obat kedalam flabot NaCl 0,9 % atau D5%
dengan volume cairan yang telah ditentukan
7. Jangan tumpah saat mencampur, menyiapkan dan saat memasukkan obat
kedalam flabot atau botol infus.
8. Buat label, nama pasien, jenis obat, tanggal, jam pemberian serta akhir
pemberian atau dengan syringe pump.
9. Masukkan kedalam kontainer yang telah disediakan.
10. Masukkan sampah langsung ke kantong plastik, ikat dan beri tanda atau
jarum bekas dimasukkan ke dalam tempat khusus untuk menghindari
tusukan.

1.11 Penatalaksanaan Kemoterapi Berdasarkan Evidence Based


1. Kemoterapi pada PTG (Unsri, 2008)
Tatalaksana PTG adalah berdasarkan staging dan skoring.
Kemoterapi adalah modalitas utama pada pasien dengan PTG. Angka
keberhasilan terapi pada PTG risiko rendah adalah 100% dan lebih dari
80% pada PTG risiko tinggi. Andrijono, melaporkan angka keberhasilan
terapi pada PTG nonmetastasis 95,1%, risiko rendah 83,3% , risiko tinggi
hanya 50 % dengan angka kematian karena PTG berkisar 8-9%.
Kemoterapi pada PTG risiko rendah adalah kemoterapi tunggal, dengan
pilihan utama Methotrexate. Kemoterapi tunggal lain yang dapat
digunakan adalah Dactinomycin.Sedangkan pada PTG risiko tinggi
menggunakan kemoterapi kombinasi diberikan kombinasi EMA-CO
(etoposide,methotrexate,actinomycin,cyclophosphamaide dan oncovin)
sebagai terapi primer atau menggunakan kombinasi ME (Metothrexate,
Etoposide ), EP ( Etoposide, Cisplatinum).
Evakuasi molahidatidosa dilakukan sesaat setelah diagnosis
ditegakkan,hal didasarkan perhitungan bahwa evakuasi dilakukan untuk
menghindari abortus mola sehingga perlu tingakan akut, menghindari
komplikasi hipertiroid atau perforasi serta untuk memperoleh jaringan

13
untuk diagnosis histopatologi. Dengan perkembangan kemoterapi yang
mempunyai angka keberhasilan terapi yang tinggi, kuretase cukup
dilakukan satu kali.
Histerektomi dilaporkan dilakukan pada kasus molahidatidosa
usia tua dan terbukti mengurangi angka kematian dari koriokarsinoma.
Histerektomi juga dilakukan pada keadaan darurat pada kasus
perforasi,pada kasus metastasis liver, otak yang tidak respon terhadap
kemoterapi serta pada kasus PSTT.
Penyakit trofoblas gestasional adalah radiosensitive, karena radiasi
mempuyai efek tumorosidal serta hemostatik, Radioterapi dapat dilakukan
pada metastasis otak atau pada pasien yang tidak bisa diberikan
kemoterapi karena alasan medis.
a. Penatalaksanaan PTG.
1. Stadium I.
Pada pasien dengan stadium I, seleksi penangananya
adalah berdasarkan fertilitas penderita, yaitu : histerektomi +
kemoterapi. Jika sistem anak fertilitas, histerektomi dengan
adjuvan agen kemoterapi tunggal mungkin merupakan pengobatan
primer. Kemoterapi adjuvant yang digunakan harus memenuhi 3
alasan :
a. Mengecilkan penyebaran sel tumor pada saat operasi
b. Mempertahankan level sitotoksik kemoterapi pada peredaran
darah dan jaringan yang merupakan tempat penyebaran tumor
pada saat opertasi.
c. Pengobatan metastatis yang tersembunyi yang telah ada pada
saat operasi.
Pada penatalaksanaan PTG Stadium satu, kemoterapi aman
diberikan pada saat histerektomi tanpa peningkatan risiko
perdarahan atau sepsis. Pada 1 seri yang terdiri dari 29 pasien yang
diterapi pada satu institusi dengan histerektomi primer dan
adjuvant kemoterapi tunggal, semuanya menunjukkan remisi
komplit tanpa tambahan terapi. Histerektomi juga selalu dilakukan

14
pada stadium I PSTT. Sebab PSTT resisten terhadap terapi ,
histerektomi hanya dilakukan pada penyakit yang nonmetastatik
dan merupakan pengobatan kuratif. Pada penderita PSTT
metastatik yang pernah dilaporkan mengalami remisi setelah
kemoterapi.
a. Kemoterapi tunggal
Kemoterapi tunggal lebih baik pada penderita dengan
stadium I yang masih membutuhkan fertilitas. pada suatu
penerlitian dengan kemoterapi tunggal yang diberikan pada
399 pasien dengan stadium I PTG, 373 ( 93,5%) mengalami
respon komplit. Dua puluh enam pasien yang resisten
mengalami remisi pada kemoterapi kombinasi atau operatif.
Pada pasien yang resisten terhadap kemoterapi tunggal dan
masih membutuhkan sistem reproduksi , dapat diberikan
kemoterapi kombinasi. Jika pasien resisten terhadap kemoterapi
tunggal dan kemoterapi kombinasi dan masih ingin
mempertahankan sistem reproduksi dapat dilakukan reseksi
uterus lokal. Jika direncanakan reseksi lokal USG preoperatif,
MRI atau arteriogram mungkin menolong mendefinisikan
bagian tumor yang resisten.
b. Kemoterapi kombinasi
Sejak ditemukannya kemoterapi yang efektif, maka
kesembuhan pada semua pasien dengan PTG risiko rendah
dapat diharapkan, tetapi pada PTG risiko tinggi kesembuhan
hanya berkisar 52-89% bahkan dengan MTX-Actinomisin-D
dan Sikloposfamid/ klorambusil (MAC) sebagai terapi primer
PTG risiko tinggi yang metastatik.
Regimen MEA dari suatu penelitian tanpa
siklofosfamid, Vinkristin adalah kombinasi yang dapat ditolerir
dan efektif dalam mengobati wanita dengan PTG risiko tinggi.
Efek samping MEA yang didapatkan adalah mielosupresi,
alopesia reversibel) grade 2-3) dan nausea ( grade 2). Leuko

15
dan trombositopenia grade 4 terjadi pada 5,3 dan 6,4% dari 94
siklus.
Pergantian kemoterapi EMA/CO juga dilaporkan efektif
dan dapat ditoleransi untuk pasien PTG risiko tinggi. Laporan
terbaru dari RS Charing Cross terhadap regimen ini
menunjukkan 78% remisi komplit, 86% tingkat survival 5
tahun kumulatif dan toksisitas minimal kecuali untuk
keganasan. ke2. Uji klinik acak dengan faktor risiko tinggi yang
sama dapat mendefinisikan regimen optimal untuk wanita
dengan PTG risiko tinggi, walaupun agaknya tidak mungkin
karena pada penyakit jarang ini ada tingkat respon yang tinggi
terhadap banyak regimen terapi.
Baru-baru ini keganasan kedua yang terjadi setelah
regimen kemoterapi yang mengandung etoposide telah
dilaporkan. Risiko leukemia mieloid, ca kolon dan ca mammae
secara bermakna meningkat. Walaupun mekanisme keganasan
kedua setelah kemoterapi sekuensial/ kombinasi dengan
etoposide belum diketahui, pasien yang diberi etoposide perlu
di follow up lebih ketat.
2. Stadium II dan stadium III.
Pasien dengan risiko rendah diterapi dengan kemoterapi
tunggal, dan pasien dengan risiko tinggi dengan kemoterapi
kombinasi primer yang intensif.
a. Metastasis ke pelvis dan vagina
Pada penelitian dengan 26 pasien stadium II yang
diterapi dengan kemoterapi tunggal memberikan remisi
komplit sebanyak 16 dari 18 ( 88,9%) pada penderita dengan
risiko rendah. Kontrasnya hanya 2 dari 8 orang yang
mempunyai risiko tinggi mengalami remisi dengan kemoterapi
tunggal dan lainnya dengan kemoterapi kombinasi. Metastasis
vagina mungkin menyebabkan perdarahan yang hebat sebab
mempunayai vaskuler yang banyak. Ketika perdarahan ini

16
substansial akan dapat dikontrol dengan melokalisir vagina
atau dengan lokal eksisi yang luas. Embolisasi Arteriografi
arteri hipogastrika mungkin bisa mengontrol perdarahan
metastasis vagina.
b. Metastasis ke paru-paru.
Dari penelitian terhadap 130 pasien dengan stadium III
yang diterapi 129 (99%) menunjukkan remisi komplit. Remisi
gonadotropin diinduksi dengan kemoterapi tunggal pada 71
dari 85 ( 83,5%) pasien dengan risiko rendah. Semua pasien
yang resisten terhadap kemoterapi tunggal sebagian mengalami
remisi dengan kemoterapi kombinasi. Torakotomi merupakan
batas pemanfaatan pada stadium III. Jika pasien mengalami
metastasis pulmo yang persisten dan diberikan kemoterapi
intensif, bagaimana pun torakotomi mungkin bisa mengeksisi
fokus yang resisten. Pada penderita resisten yang telah
dilakukan torakotomi, kemoterapi harus diberikan pada
postoperatif untuk mengobati mikrometasis yang tersembunyi.
c. Histerektomi.
Histerektomi mungkin dilakukan pada pasien dengan
metastasis untuk mengontrol perdarahan uterus atau sepsis.
Selanjutnya pada pasien-pasien yang tumornya meluas,
histerektomi mungkin secara substansial menghambat tumor
trofoblas dan membatasi untuk pemberian kemoterapi.
d. Follow-up
Semua pasien dengan stadium I sampai stadium III harus
difollow-up dengan :
1. Pengukuran hCG tiap minggu sampai kadarnya normal
selama 3 minggu berturut-turut.
2. Pengukuran hCG setiap bulan sampai nilainya normal 12
bulan berturut-turut.
3. Kontrasepsi yang efektif selama interval follow-up
hormonal.

17
3. Stadium IV.
Pasien-pasien stadium IV mempunyai risiko terbesar untuk
tumbuh secara progresif cepat dan tidak respon terhadap terapi
multimodalitas. Semua pasien stadium IV harus diterapi secara
primer dengan kemoterapi intensif dan penggunaan radioterapi
yang selektif dan pembedahan.
a. Metastasis hepar
Penanganan metastasis hepar sebagian sulit. Pada pasien-
pasien Yang resisten dengan kemoterapi sistemik, infus arteri
hepatika mungkin menghambat remisi komplit pada kasus-kasus
yang selektif. Reseksi hepar mungkin bisa juga untuk
mengontrol perdarahan akut atau untuk mengeksisi fokus tumor
yang resisten. Tehnik terbaru tentang embolisasi arteri mungkin
diperlukan untuk intervensi pembedahan.
b. Metastasis cerebral.
Jika didiagnosis metastasis cerebral, dilakukan irradiasi
seluruh otak (3000 cGy dengan 10 fraksi). Risiko perdarahan
spontan cerebral mungkin bisa terjadi karena kombinasi
kemoterapi dan irradiasi otak sebab keduanya mungkin bersifat
hemostatik dan bakterisidal. Remisi terbaik yang dilaporkan
pada pasien dengan metastasis kranial yang diobati secara
intravena yang intensif dengan kombinasi kemoterapi dan
metotreksat intratekal.
c. Kraniotomi.
Kraniotomi dilakukan untuk dekompresi akut atau untuk
mengontrol perdarahan. Weed dkk melaporkan bahwa
kraniotomi untuk mengontrol perdarahan pada 6 pasien, 3
diantaranya mengalami remisi komplit. Pasien dengan
metastasis cerebral yang mengalami remisi umumnya tidak
mempunyai sisa defisit neurologis.

18
d. Follow-up.
1. Nilai hCG tiap minggu sampai normal selama 3 minggu
berturut-turut.
2. Nilai hCG setiap bulan sampai normal selama 24 bulan
berturut.

2. Kemoterapi pada kanker serviks


Penetapan pengobatan kanker serviks berdasarkan Standar
Pelayanan Medik Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
(2006) :
1. Stadium 0
a. Bila fungsi uterus masih diperlukan: cryosurgery, konisasi,
terapi laser atau LLETZ (Large Loop Electrocauter
Transformation Zone). Histerektomi diindikasikan pada
patologi ginekologi lain, sulit pengamatan lanjut, dan
sebagainya
b. Pengamatan Pap Smear lanjut pada tunggul serviks dilakukan
tiap tahun. Dengan kekambuhan 0,4%
2. Stadium Ia
Skuamousa :
a. Ia1 – dilakukan konisasi pada pasien muda, histerektomi
vaginal/abdominal pada pasien usia tua.
b. Ia2 – histerektomi abdomen dan limfadenektomi pelvik,
modifikasi histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvik
c. Keadaan diatas PLUS tumor anaplastik atau invasi vaskuler–
limfatik, dilakukan histerektomi radikal dan limfadenektomi
pelvik. Bila ada kontraindikasi operasi, dapat diberikan radiasi.
3. Stadium Ib/IIa
a. Bila bentuk serviks berbentuk “barrel”, usia <50 tahun, lesi
primer <4 sm, indeks obesitas (I.0) <0,70 dan tidak ada
kontraindikasi operasi, maka pengobatan adalah operasi radikal.
Satu atau dua ovarium pada usia muda dapat ditinggalkan dan

19
dilakukan ovareksis keluar lapangan radiasi sampai diatas L IV.
Post operatif dapat diberikan ajuvan terapi (kemoterapi, radiasi
atau gabungan) bila :
• Radikalitas operasi kurang

• Kelenjar getah bening pelvis/paraaorta positif

• Histologik : small cell carcinoma

• Diferensiasi sel buruk

• Invasi dan atau limfotik vaskuler

• Invasi mikroskopik ke parametria

• Adenokarsinoma/adenoskuamosa

b. Bila usia 50 tahun, lesi >4 sm, I.0 >0,70, atau penderita
menolak/ada kontraindikasi operasi maka diberikan radiasi. Bila
kemudian ada resistensi, maka pengobatan selanjutnya adalah
histerektomi radikal.

4. Stadium IIb-IIIb
a. Diberikan radiasi. Pada risiko tinggi kemoterapi dapat ditambah
untuk meningkatkan respon pengobatan, dapat diberikan secara
induksi atau simultan. Secara induksi: bila radiasi diberikan 4-6
minggu sesudah kemoterapi. Secara simultan: bila radiasi
diberikan bersamaan dengan kemoterapi.
b. Dilakukan CT-Scan dahulu, bila kelenjar getah bening
membesar ≥1,5 sm dilakukan limfadenektomi dan dilanjutkan
dengan radiasi.
c. Dapat diberikan kemoterapi intra arterial dan bila respon baik
dilanjutkan dengan histerektomi radikal atau radiasi bila respon
tidak ada. 45Stadium IVa
d. Radiasi diberikan dengan dosis paliatif, dan bila respon baik
maka radiasi dapat diberikan secara lengkap. Bila respon radiasi

20
tidak baik maka dilanjutkan dengan kemoterapi. Dapat juga
diberikan kemoterapi sebelum radiasi untuk meningkatkan
respon radiasi.

5. Stadium IVb
a. Bila ada simptom dapat diberikan radiasi paliatif dan bila
memungkinkan dilanjutkan dengan kemoterapi.
b. Bila tidak ada simptom tidak perlu diberikan terapi, atau kalau
memungkinkan dapat diberikan kemoterapi.
c. Catatan : bila terjadi perdarahan masif yang tidak dapat
terkontrol, maka dilakukan terapi embolisasi (sel form) intra
arterial (iliaka interna/hipogastrika).

2. RADIOTERAPI DALAM GINEKOLOGI


2.1 Gambaran Umum
2.1.1 Definisi
Radioterapi adalah suatu cara pengobatan dengan menggunakan
sinar pengion (Wiknjosastro, 1999).
Radioterapi adalah jenis terapi yang menggunakan radiasi tingkat
tinggi untuk menghancurkan sel-sel kanker (Kreshnamurti, dkk,
2006).
2.1.2 Tujuan
Menurut Supriana (2008), radioterapi bertujuan merusak
sel-sel abnormal tanpa menimbulkan kerusakan atau gangguan
yang berat dan irreversibel pada jaringan sehat di sekitarnya.
Tujuan radiasi secara umum terbagi dua yaitu:
1. Radioterapi Definitif
Bentuk pengobatan yang ditujukan untuk kemungkinan
survive setelah pengobatan yang adekuat, bahkan juga bila
kemungkinan survive itu rendah, contoh pada tumor-tumor
dengan T4 pada tumor kepala dan leher, pada pasien kanker
paru dan kanker serviks stadium FIGO III b atau bahkan IVa.

21
2. Radioterapi Paliatif
Bentuk pengobatan dimana tidak ada lagi harapan
untuk hidup pasien untuk jangka panjang. Keluhan dan gejala
yang dirasakan oleh pasien yang harus dihilangkan merupakan
bentuk pengobatan yang diberikan. Tujuan pengobatan paliatif
dengan demikian untuk menjaga kualitas hidup pasien di sisa
hidupnya dengan menghilangkan keluhan dan gejala, sehingga
pasien hidup dengan lebih nyaman.

2.2 Dasar-Dasar Terapi Radiasi


2.2.1 Proses radiobiologik
Proses radiobiologik merupakan perubahan-perubahan yang
timbul akibat interaksi antara jaringan hidup dengan sinar pengion
serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi akibat interaksi
tersebut (Wiknjosastro, 1999).
Sinar pengion yang mengenai sel atau jaringan hidup dapat
menimbulkan perubahan somatik dan perubahan genetik. Sebagai
akibat dari interaksi sinar pengion dengan molekul-molekul dari sel
terbentuk pasangan-pasangan ion yang menimbulkan reaksi
biokimiawi, dan yang akhirnya menyebabkan gangguan atau
berakhirnya proses biologik sel tersebut. Menurut Wiknjosastro
(1999), perubahan tingkat seluler yang mungkin timbul ialah
sebagai berikut :
1. Kematian langsung sel.
2. Hambatan pembelahan sel. Kadang-kadang sel masih mempu
mempertahankan diri, tetapi keturunannya dapat kehilangan
daya reproduksi dan kemudian menjadi mati (mati tidak
langsung).
3. Hambatan pertumbuhan. Biasanya hal ini akibat kerusakan
organel-organel dalam sitoplasma.

22
4. Perubahan kromosom sebagai pembawa keturunan (mutasi
genetik). Kepekaan sel terhadap radiasi (radiosensitivitas)
berbeda-beda, tergantung pada beberapa faktor :
a. Keadaan sel
Bergonie dan Tribendeau dalam pengamatannya
menyimpulkan bahwa kepekaan sel relatif lebih tinggi pada
sel yang mempunyai daya reproduksi tinggi, daripada sel
dengan diferensiasi rendah.
b. Jenis sel
Pada dasarnya sudah ada perbedaan kepekaan dari
berbagai sel tubuh, yang dapat digolongkan sebagai:
• Sangat sensitif : sel gonad, hemopoetik, dan limfoid.
• Cukup sensitif : sel epitel seperti kulit, mukosa, kornea,
pembuluh darah halus, tulang dan tulang rawan yang
sedang tumbuh, sel saraf pusat, dan lain-lain.
• Kurang sensitif : pembuluh darah besar, tulang dan
tulang rawan dewasa, otot.
• Radioresisten : serabut saraf, jaringan ikat.
c. Kadar oksigen
Sel dengan kadar oksigen tinggi relatif lebih sensitif
daripada sel-sel berkadar oksigen rendah. Perubahan
tekanan oksigen dari 0-30 mmHg dapat meningkatkan
kepekaan secara nyata, tetapi di atas 30 mmHg peninggian
kepekaan adalah sedikit.
d. Bahan-bahan kimia dann obat-obatan
Bahan-bahan kimia yang mengandung gugus
sulfahidril dapat menurunkan kepekaan, mempunyai sifat
radioprotektif. Bahan-bahan yang mengandung purine atau
pirimidine dapat menambah kepekaan, mempunyai sifat
membuat lebih radiosensitif. Beberapa jenis antibiotika
dapat memberi efek sinergistik terhadap radiasi, seperti
Aktinomisisn D, Bleomisin.

23
e. Suhu
Pada percobaan-percobaan binatang ternyata suhu
di atas 41o C dapat mempertinggi efek radiasi.
f. Hormon
Trijodotironin dapat mengurangi kepekaan kulit
terhadap radiasi, tetapi sebaliknya dapat menambah
kepekaan pada ginjal. Pengaruh hormon terhadap efek
radiasi adalah sangat kompleks.
Perubahan-perubahan pada tingkat alat tubuh
(organ) dapat timbul akut atau menahun. Perubahan-
perubahan akut memberi gambaran proses inflamasi baik
secara klinis maupun histologik. Pada terapi radiasi tumor
ginekologik penting diketahui perubahan-perubahan pada
traktus inttestinalis, traktus urinarius dan traktus genitalia,
di samping perubahan-perubahan pada kulit dan tulang-
tulang di sekitarnya. Traktus digestivus termasuk jaringan
cukup radiosensitif sehingga dengan dosis yang tidak
terlampau tinggi dapat timbul gejala-gejala umum seperti
enteritis, kolitis, dan proktitis. Demikian pula halnya pada
saluran air kencing, dapat timbul gejala-gejala sistitis dan
urethritis. Alat-alat tersebut umumnya mempunyai daya
tahan (toleransi) sekitar 5000 rad, yang diberikan dalam
waktu 5 minggu.
Alat genitalia mempunyai radiosensitivitas yang
sangat berbeda-beda. Vulva mempunyai daya tahan kira-
kira sama dengan kulit, yang tergolong cukup sensitif.
Mukosa vagina dan endometrium merupkan mukosa yang
relatif tahan terhadap radiasi pengion. Diperkirakan dosis
antara 20.000 rad dan alat yang sangat sensitif sehingga
strerilitas mudah timbul dengan dosis penyinaran yang
rendah.

24
Tulang pelvis dan sakrum termasuk cukup tahan
dengan radiasi. Namun karena pelvis dan sakrum
merupakan bagian dari hemopoetik, maka radiasi pada
tulang-tulang tersebut dapat menekan sistem hemopoetik,
dengan manifestasi leukopenia atau trombositopenia.
Alat abdominal lain yang relatif sensitif ialah ginjal
yang menunjukkan gejala-gejala nefritis dengan dosis
penyinaran 2500 rad atau lebih. Hepatitis karena radiasi
dapat timbul setelah penyinaran 4000 rad atau lebih.
Gejala-gejala hepatitis biasanya hanya timbul bila seluruh
hepar terkena radiasi, sedangkan bila hanya sebagia saja,
tidak akan menimbulkan gejala klinis, demikian pula pada
ginjal. Perubahan yang kronis pada alat-alat abdominal
biasanya menyebabkan atrofi atau fibrosis yang dapat
menimbulkan stenosis pada usus atau ureter, dan penurunan
kapasitas kandung kencing.
Berat ringannya perubahan-perubahan yang timbul
pada jaringan akibat dari radiasi terganttung pula pada
faktor hubungan antara waktu, dosis, dan volume.
Penyinaran yang diberikan sekaligus (single dose) akan
menimbulkan efek lebih berat dibandingkan dengan
penyinaran dosis yang sama tetapi diberikan secara
bertahap dalam jangka waktu tertentu (fraksional).
Penyinaran dengan kecepatan eksposisi (exposure
rate) yang tinggi (seperti pada penyinaran eksternal)
memberi efek lebih tinggi daripada penyinaran dengan
kecepatan eksposisi rendah, seperti penyinaran lokal
dengan radium (efek protraksi), oleh karena itu penyinaran
lokal dengan radium memerlukan dosis lebih tinggi untuk
mendapatkan efek yang sama dengan penyinaran eksternal.
Volume jaringan yang terkena radiasi dapat mempengaruhi

25
efek radiasi. Makin besar volume penyinaran, makin besar
pula efek radiasinya.
2.2.2 Radiofisika
Radiofisika merupakan pengenalan terhadap sumber serta
sifat sinar pengion. Sumber sinar yang dipakai untuk terapi pada
umumnya terdiri atas :
a. Generator yang menghasilkan sinar X (sinar foton), sinar
elektron, dan sinar neutron.
b. Zat radioaktif yang menghasilkan sinar gamma dan beta.
Sinar X (foton) yang merupakan hasil benturan elektron
mempunyai sifat yang sama dengan sinarr gamma yang dihasilkan
oleh zat radioaktif. Kedua-duanya merupkan sinar elektromagnetik.
Sinar X (foton) dan sinar gamma yang mempunyai tenaga sama
dengan atau lebih dari 1 megavolt (1000 kv) mempunyai
kelebihan-kelebihan tertentu bila dibandingkan dengan sinar X
konvensional (sinar X yang dihasilkan oleh tabung Roentgen) yang
mempunyai tenaga 300 kv atau kurang, yaitu:
a. Sinar X atau gamma dengan tenaga 1 MV (megavolt) atau
lebih mempunyai daya tembus yang jauh lebih tinggi daripada
sinar X konvensional.
b. Sinar X atau gamma bertenaga tinggi (megavolt) mempunyai
dosis maksimum di bawah kulit, sehingga kulit dapat terhindar
dari akibat radiasi, dosis maksimum pada sinar X bertenaga
rendah (konvensional) terdapat di permukaan kulit, sehingga
sering menimbulkan kerusakan berat pada jaringan kulit.
c. Sinar X atau gamma bertenaga tinggi (megavolt) tidak
memberikan perbedaan absorbs di jaringan lunak dan tulang,
pada sinar X bertenaga rendah jaringan tulang menyerap sinar
jauh lebih banyak dibandingkan dengan jaringan lunak,
sehingga mudah menimbulkan kerusakan pada tulang
(radionekrosis tulang).

26
Dengan demikian jelas bahwa sinar pengion bertenaga
megavolt lebih cocok dipergunakan untuk penyinaran tumor
ginekologik umumnya jauh di bawah kulit, dikelilingi tulang-
tulang pelvis dan sacrum, kecuali tumor vulva..
Sinar elektron atau sinar beta merupakan sinar partikel yang
mempunyai daya yang berbeda sedikit dibandingkan dengan sinar
X. sinar elektron mempunyai daya tembus yang lebih terbatas, dan
dosis sinarnya lebih cepat menurun pada kedalaman tertentu di
dalam jaringan. Dengan demikian sinar elektron lebih cocok untuk
penyinaran tumor vulva daripada sinar X.
Sinar neutron adalah sinar partikel yang pada penelitian-
penelitian ternyata member keuntungan bila disbanding dengan
sinar X dan elektron, yaitu dapat mematikan sel-sel baik yang
beroksigen tinggi maupun rendah. Tidak ada perbedaan efek
radiasi akibat kadar oksigen tinggi atau rendah.
2.2.3 Teknologi
Teknologi mempunyai peranan yang cukup penting dalam
perkembangan radioterapi. Ditemukannya pesawat Cobalt
merupakan babak baru bagi radioterapi disbanding sebelumnya,
mengingat sinar gamma dari Cobalt 60 merupakan sinar
megavoltage yang mempunyai kelebihan-kelebihan disbanding
dengan pesawat konvensional. Terlebih-lebih dengan
diperkembangkannya linear accelerator yang dapat menghasilkan
sinar bertenaga jauh lebih tinggi, serta kapasitas pesawat yang
lebih baik, membawa tujuan radioterapi lebih dekat lagi.
2.2.4 Patologi
Untuk mencapai tujuan radioterapi diperlukan pengenalan
yang baik tentang anatomi patologik dan fisiologi patologik tumor.
Dosis dan teknik radiasi harus selalu disesuaikan dengan jenis
anatomi patologik, sifat-sifat penjalaran tumor dan tingkat
kliniknya.

27
2.3 Alat-Alat yang Digunakan untuk Terapi Radiasi
Terapi radiasi mempergunakan sinar-sinar pengion yang dapat
dihasilkan oleh generator dan zat radioaktif (Wiknjosastro, 1999).
2.3.1 Sumber sinar pengion dari generator
Sinar-sinar pengion yang dihasilkan generator biasanya
dipergunakan untuk penyinaran luar (Wiknjosastro, 1999).

1. Penyinaran dengan pesawat konvensional (orthovoltage)


Dalam pesawat ini sinar pengion (sinar X, sinar foton)
dihasilkan di dalam tabung Roentgen. Perbedaan tegangan
listrik yang terdapat antara katode dan anode di dalam tabung
hampa udara dapat menimbulkan pergerakan elektron yang
cepat dari katode kea rah anode. Benturan elektron dengan
target menghasilkan sinar X dan panas. Kekuatan sinar X yang
dihasilkan dapat dihasilkan dengan mengatur perbedaan
tegangan anatara katode dan anode.
Untuk penyinaran yang letaknya di permukaan badan
(superficial) dapat dipergunakan sinar X dengan kekuatan 10
KV-50 KV, sedang untuk penyinaran yang ditujukan pada
daerah yang dalam diperlukan tenaga 200-300 KV.
Jenis pesawat ini tidak banyak lagi digunakan dalam
pengobatan tumor ginekologik, mengingat daya tembus yang
relative terbatas dan dosis yang diserap kulit relative tinggi,
sehingga banyak menimbulkan kerusakan kulit dan juga lebih
banyak diserap oleh tulang daripada jaringan lunak sehingga
dapat menimbulkan nekrosis tulang.
2. Penyinaran dengan pesawat megavoltage (supervoltage)
Pada jenis pesawat ini gerakan elektron dipercepat
secara bertahap di dalam lapangan elektromagnetik sedemikian
rupa, sehingga dapat dihasilkan elektron dengan kekuatan 1000
KV (=1 megavolt) atau lebih. Percepatan elektron dapat

28
dilakukan dalam arah yang lurus (linear) seperti pesawat
linear accelerator atau di dalam arah yang berbentuk
sirkuler/spiral seperti pada betatron. Elektron dengan kekuatan
megavolt ini dapat dipergunakan langsung untuk terapi radiasi,
terapi dapat juga dirubah menjadi sinar X (foton) yang
mempunyai daya tembus lebih kuat.
Pesawat-pesawat linear accelerator ini sekarang yang
paling banyak digunakan untuk terapi radiasi tumor-tumor
ginekologik, sebab mempunyai daya tembus yang kuat, juga
memberikan reaksi pada kulit yang sangat ringan dan tidak
mudah menimbulkan gangguan pada tulang-tulang, karena
penyerapan sinar di tulang maupun di jaringan lunak tidak
berbeda.
2.3.2 Sumber sinar pengion dari zat radioaktif
Menurut Wiknjosastro (1999), zat radioaktif yang
menghasilkan sinar-sinar pengion dapat dipergunakan untuk terapi
radiasi dalam dua bentuk, yakni:
1. Sumber radioaktif tertutup
Zat radioaktif tersimpan dalam wadah (container)
sedemikian rupa, sehingga tidak ada hubungan langsung antara
zat radioaktif tersebut dengan jaringan tubuh. Bentuk, ukuran,
dan jenis wadah tersebut disesuaikan dengan tujuan
pengobatan, yaitu:
a. Teletherapy (telegamma)
Tujuannya ialah untuk penyinaran dari luar dengan
jarak cukup jauh antara sumber dan kulit. Sejumlah
beberapa ribu kurie zat radioaktif disimpan dalam suatu
wadah yang berfungsi sebagai sumber penyinaran luar,
seperti pada pesawat telecobalt 60 dan telecesium 137.
Pesawat Cobalt 60 menghasilkan sinar gamma yang
kekuatannya lebih dari 1 megavolt, sehingga pesawat ini
banyak pula digunakan pada terapi radiasi tumor-tumor

29
ginekologik, disamping pesawat linear accelerator
(Wiknjosastro, 1999).
b. Brachytherapy
Brachytherapy adalah radiasi dalam jarak yang dekat.
Sumber radiasi berbentuk kabel, lempengan yang
dimasukkan ke dalam tumor untuk menyalurkan radiasi
dengan dosis tinggi. Sumber radioaktif ini adalah cesium,
iridium, dan iodine. Pengobatan tipe ini sangat efektif untuk
beberapa jenis kanker, seperti kanker serviks, beberapa
kasus kanker leher dan kepala, serta paru-paru
(Kreshnamurti, dkk, 2006).
Penyinaran dilakukan dengan meletakkan sumber sinar
langsung/berdekatan dengan jaringan tumor. Zat radioaktif
yang dipergunakan dapat dalam bentuk batang, tabung,
jarum, butir-butir, atau kawat. Menurut Kreshnamurti, dkk
(2006), penggunaan brachytherapy dilakukan dalam 2 cara:
1. Sebagai aplikasi dengan menggunakan alat pembantu
yang disesuaikan dengan keadaan tempat penyinaran
(aplikator). Tabung atau batang radioaktif diletakkan di
dalam aplikator. Aplikator ini dapat dimasukkan ke
dalam rongga (aplikator intrakaviter) seperti pada
pengobatan karsinoma servisis uteri, atau dapat
diletakkan pada permukaan (ekstrakaviter). Bahan-
bahan yang dapat dipakai untuk aplikator ialah karet,
plastik, akrilik, besi tahan karat, dan lain-lain bahan
yang dapat diberi bentuk sesuai dengan kebutuhan.
Untuk pengobatan tumor ginekologik banyak
digunakan aplikator intrauterin (tandem atau tabung),
intravaginal (ovoid, silinder).
2. Sebagai implantasi: jarum-jarum radioaktif yang sering
dipergunakan untuk cara-cara ini ialah: radium, cobalt,
cesium, iridium, dan lain-lain. Radium adalah yang

30
mula-mula dikembangkan dan banyak dipergunakan
untuk pengobatan tumor-tumor ganas ginekologik.
Salah satu keuntungannya adalah mempunyai waktu
paruh yang lama, sehingga tidak memerlukan koreksi
waktu penyinaran. Kelemahannya antara lain ialah
menghasilkan turunan zat radioaktif radon yang bersifat
gas, sehingga bila terjadi kebocoran dari tabung atau
jarum dapat membahayakan lingkungan. Tahun-tahun
terakhir ini lebih banyak dipergunakan zat radioaktif
cobalt, cesium, iridium, yang tidak menimbulkan
bahaya pada kebocoran.
Dalam pelaksanaan cara pengobatan ini dapat timbul
bahaya-bahaya radiasi pada para petugas, baik dokter
maupun petugas media yang lain. Untuk mencegah hal-hal
tersebut sekarang banyak dipergunakan sistem afterloading
yaitu aplikator dipasang dahulu, baru kemudian dengan
peralatan tertentu zat radioaktif dimasukkan, sehingga
dengan demikian bahaya radiasi untuk petugas menjadi
kecil sama sekali atau sama sekali dapat dihindarkan
(Wiknjosastro, 1999).
2. Sumber radioaktif terbuka
Zat radioaktif di sini berhubungan langsung dengan
tubuh/tumor, sehingga penderita baru bebas dari zat radioaktif
setelah zat ini habis. Karena itu untuk pengobatan cara ini
hanya dipergunakan zat radioaktif yang mempunyai waktu
paruh sangat pendek, sehingga cepat habis di dalam tubuh.
Contoh: koloid emas radioaktif (Au 198)dapat dimasukkan ke
rongga peritoneum. Dahulu cara ini banyak digunakan pada
karsinoma ovarii (Wiknjosastro, 1999).

2.4 Kombinasi Pemberian Terapi Radiasi

31
Menurut Supriana (2008), kombinasi pemberian terapi radiasi
adalah sebagai berikut:
1. Radioterapi
Bentuk pengobatan dengan radiasi saja sejak dari awal sampai
akhir. Pada pelaksanaannya teknik radiasi menggabungkan berbagai
teknik radiasi dengan tujuan untuk menjaga jaringan sehat dari efek
buruk radiasi.

2. Radiasi preoperasi
Bentuk pengobatan radiasi yang mendahului tindakan operasi.
Tujuan utama adalah untuk meningkatkan resektabilitas dari tumor
karena dengan radiasi tumor akan mengecil, batas-batas menjadi jelas
dan tegas sehingga operasi lebih mudah dilakukan. Tujuan kedua
adalah untuk mengurangi kemungkinan metastase jauh akibat
tindakan operasi karena sel-sel yang terkena radiasi sudah tidak
mempunyai kemampuan untuk hidup di tempat lain, bila sel ini
terlepas dan masuk pembuluh darah pada saat tindakan operasi.
Kadang–kadang digunakan untuk mengantisipasi kemungkinan
penyebaran mikroskopik keganasan pada batas – batas operasi yang
direncanakan. Yang paling penting pada batas dengan organ penting
disekitarnya misalkan kanker vulva dengan uretra dan anus. Saat ini
yang masih sering dilakukan adalah radiasi pre-operatif pada kanker
endometrium stadium II yang melibatkan serviks uteri secara nyata,
atau pada kanker serviks stadium awal dengan ukuran yang besar
(bulky).
3. Radiasi postoperasi
Pengobatan adjuvant yang dilakukan setelah tindakan operasi.
Radiasi dilakukan dengan tujuan untuk mencegah timbulnya
kekambuhan lokal yang disebabkan oleh adanya resiko terjadinya
kambuh lokal berupa:

32
a. Adanya residu tumor setelah operasi, baik gross residu,
mikroskopik residu, tepi sayatan tidak bebas tumor, kelenjar getah
bening regional yang positif mengandung anak sebar tumor, secarta
histologi berdiferensiasi buruk, atau bentuk histologi yang angka
kekambuhannya tinggi, contoh adenokarsinoma atau
adenoskuamosa.
b. Tumor-tumor yang kemungkinan kambuh sangat tinggi.
Radiasi pelvis pada kanker vulva, endometrium dan serviks
dapat mengurangi insidensi rekurensi terutama pada kanker dengan
penyebaran ke kelenjar limfe regional.
4. Kombinasi kemoradiasi
Bentuk pengobatan kombinasi anatara radiasi dengan
kemoterapi dengan tujuan untuk meninggikan respon radiasi.
Kemoterapi di sini bersifat sebagai radiosensitiser. Kemoradiasi dapat
berbentuk neoadjuvant sebelum tindakan operasi ataupun dapat berdiri
sendiri tanpa operasi. Radiasi dan kemoterapi yang diberikan secara
bersama–sama akan memberikan efek supradiktif dalam membunuh
sel kanker. Suatu obat kemoterapi akan mempotensiasi efek radiasi
sehingga memberikan respon yang lebih besar dibandingkan radiasi
saja.
5. Radiasi intra/peri operatif
Jarang sekali bahkan bisa dikatakan tidak pernah dilakukan
disini. Radiasi intra/peri operatif dilakukan pada saat operasi sebelum
luka operasi ditutup. Tekniknya dapat berupa:
a. Kontak radioterapi dengan menggunakan sinar elektron
b. Brachiterapi

Persiapan Terapi Radiasi


Menurut Kreshnamurti, dkk (2006), persiapan pada terapi radiasi
meliputi:
1. Pemeriksan laboratorium lengkap

33
Pemeriksaan laboratorium meliputi darah tepi, gula darah, kimia darah,
EKG. Bila ada anemia harus dikoreksi dulu, karena keadaan anoksia akan
mengurangi kepekaan sel-sel kanker terhadap radiasi, infeksi lokal juga
harus diobati dulu dengan antibiotika lokal ataupun sistemik.
2. Pemeriksaan BNO-IVP
Pemeriksaan BNO-IVP diperlukan untuk menetapkan fungsi ginjal dan
untuk menentukan apakah ureter terkena atau tidak.
3. Pemeriksaan radiologik tulang-tulang pelvis dan lumbal
4. Mempersiapkan mental penderita.
Mental penderita dipersiapkan dengan cara menjelaskan tentang
penyakitnya, cara radiasi (luar atau intrakaviter), efek samping, lama
dirawat di rumah sakit, tentang haid dan hubungan seksual di kemudian
hari.
5. Konsultasi
Konsultasi merupakan tahap paling awal dari pengobatan radioterapi. Pada
saat konsultasi, ahli radioterapi akan mengambil data pasien secara akurat,
riwayat penyakit serta berbagai pemeriksaan laboratorium lainnya yang
mungkin diperlukan.
6. Stimulasi
Stimulasi kemudian dilakukan, yakni perencanaan radioterapi yang akan
diberikan. Pada tahap ini pasien akan datang ke bagian radioterapi,
kemudian berbaring dibawah suatu mesin yang disebut stimulator.
Beberapa peralatan mungkin diperlukan untuk mencegah pasien bergerak
atau merubah posisi agar pengobatan diberikan pada tempat yang tepat.
Kemudian akan dibuat beberapa tanda dan mungkin beberapa foto rontgen
yang akan diambil. Foto rontgen yang diambil itu pada nantinya akan
mempermudah ahli radioterapi untuk melakukan pengobatan di kemudian
hari, karena pasien akan mendapatkan radioterapi selama beberapa kali.
Stimulasi merupakan tahap yang penting dalam proses radioterapi.
7. Potograf
8. Block and shields.

34
9. Perlindungan dan pengaman diperlukan selama pasien menjalani
pengobatan radioterapi, yang akan melindungi sel-sel normal dari efek
radiasi.

Efek Samping Radiasi


Efek ini sangat bervariasi tergantung dari sensitivitas perorangan,
kualitas radiasi, besarnya volume radiasi, lokalisasi, besarnya dosis tiap
kali, dosis total, serta jangka waktu radiasi diberikan. Menurut
Wiknjosastro (1999), efek samping radi radiotherapy adalah sebagai
berikut:

1. Efek Samping Umum


a. Gejala umum yang sering timbul yaitu:
• Nafsu makan menurun
• Rasa mual
• Lesu
• Tidak ada gairah kerja
b. Keadaan yang lebih berat terdapat:
• Muntah-muntah
• Tidak bisa makan
• Lemah sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur
Berat ringannya gejala-gejala sangat dipengaruhi oleh status
fisik dan psikologis penderita. Penderita dengan keadaan fisik dan
psikis yang baik umumnya tidak banyak menderita keluhan umum.
Karena itu penting persiapan sebelum terapi radiasi dimulai yaitu:
• Perbaikan keadaan umum
• Gizi
• Pemberantasan infeksi bila ada
• Penjelasan mengenai pelaksanaan terapi radiasi yang umumnya
berlangsung lama

35
• Penjelasan tentang kemungkinan efek samping radiasi
2. Efek Samping Lokal
Gejala-gejala yang timbul yaitu gejala-gejala dari bagian-
bagian tubuh yang terkena radiasi secara langsung. Berat ringannya
terutama tergantung dari kualitas sinar, volume jaringan yang terkena
radiasi, dosis tiap kali, dosis total, dan jangka waktu penyinaran.
Radiasi dengan sinar X konvensional menimbulkan efek
samping yang tinggi pada kulit dan tulang. Radiasi lokal (aplikasi,
implantasi interstisial) kurang menimbulkan efek samping karena
volume jaringan yang terkena relatif terbatas akibat dosis cepat
menurun di luar daerah radiasi.
Dosis tiap kali yang tinggi menimbulkan efek samping lebih
banyak daripada dosis tiap kali yang rendah. Radiasi yang diberikan
dalam jangka waktu pendek akan menimbulkan reaksi yang lebih
berat dibandingkan dengan radiasi yang diberikan dalam waktu yang
lebih lama dengan dosis total yang sama.
Efek samping yang mungkin timbul terdiri atas:
a. Efek Akut
Efek samping akut akibat dari terapi aplikasi atau
implantasi zat radioaktif sepeti pada karsinoma servisis dan
korporis uteri yaitu berupa gejala-gejala proktitis/proktosigmoditis
dan sistitis.
Gejala-gejala proktosigmoiditis berupa:
• Tenesmus
• Pengeluaran lendir yang berlebihan
• Kadang-kadang perdarahan ringan
Biasanya keluhan dapat diatasi dengan spasmolitika dan
diet rendah residu. Penggunaan irigasi yang mengandung
hidrokortison tidak selalu memberi hasil.
Gejala sistitis berupa:
• Polakisuri
• Disuri

36
• Kadang-kadang hematuri
Antibiotika sangat diperlukan di amping obat antiinflamasi dan
analgetika. Efek samping akut dari radiasi eksternal timbul
terutama pada usus-usus halus dalam bentuk enteritis, kolik dan
diare ringan sering terjadi.
b. Efek Kronik
Efek samping kronik terjadi nekrosis pada dinding vagina
dengan kemungkinan timbulnya fistula rektovaginalis atau fistula
vesikovaginalis. Efek samping kronik yang kadang-kadang
menimbulkan kekhawatiran penderita adalah atrofi mukosa rektum
disertai teleangiektasi yang sewaktu-waktu –bila defekasi keras–
dapat menimbulkan perdarahan.

Hal-Hal yang Mempengaruhi Keberhasilan Terapi Radiasi


Efek biologik suatu radiasi dipengaruhi oleh dosis, ukuran fraksi,
interval fraksi dan waktu pemberian. Ada empat faktor yang disebut
“empat R radiobiologi” yang menentukan pengaruh hal–hal tersebut
terhadap radiasi (Obgyn Undip, 2010).
1. “Repair” Perbaikan lengkap trauma sub-lethal dengan fraksionasi
biasanya dicapai dengan interval minimum 4–6 jam. Mungkin
diperlukan dosis total radiasi yang lebih besar yang diperlukan untuk
mencapai efek biologik apabila dibagi menjadi fraksi–fraksi yang
kecil.
2. “Re-population” Besarnya efek repopulasi dosis yang diperlukan
untuk menghasilkan kematian sel dipengaruhi cepat lambatnya waktu
pembelahan sel tersebut. Pada sel yang membelah dengan cepat
diperlukan suatu dosis yang lebih besar tiap fraksi, atau waktu
pemberian yang lebih panjang. Tetapi repopulasi ini diperlukan agar
jaringan normal mempunyai cukup waktu untuk berproliferasi
kembali, terutama pada sel–sel respon cepat seperti kulit dan mukosa.
3. “Re-distribution” Sel–sel pada fase G2 akhir biasanya paling sensitif
terhadap radiasi, sel–sel pada fase S dan G1 awal paling resisten.

37
Beberapa fraksi pertama radiasi akan menimbulkan efek redistribusi
sel–sel yang berada pada berbagai fase untuk menyamakannya
menjadi pada fase yang sensitif.
4. “Re-oxigenation” Oksigen merupakan sensitizer radiasi yang paling
efektif dimana sensitifitas jaringan yang teroksigenasi dengan akan 3x
lebih baik dibandingkan sel–sel yang mengalami anoksia.

2.8 Pelaksanaan Radiasi Berdasarkan Evidence Based


2.8.1 Radiasi pada karsinoma servisis uteri menurut Wiknjosastro
(1999)
Pada pasien kanker leher rahim (serviks), radioterapi merupakan
terapi utama untuk stadium lanjut. Radioterapi memberikan angka
kesembuhan yang sebanding dengan pembedahan radikal pada
tumor stadium awal dan mengurangi rekurensi lokal setelah operasi
pada pasien–pasien dengan risiko tinggi.
Dalam menemukan teknik dan dosis radiasi pada
pengobatan karsinoma servisis uteri perlu dikembangkan faktor
daya toleransi dari jaringan-jaringan di dalam rongga pelvis.
Jaringan yang menyusun serviks, korpus uteri dan vagina
merupakan jaringan yang paling tahan terhadap radiasi bila
dibandingkan dengan jaringan tubuh lainnya. Dosis antara 20.000-
30.000 rad dalam 2 minggu masih dalam batas daya tahannya.
Keadaan ini telah memungkinkan pemberian radiasi dengan dosis
yang cukup tinggi pada tumor serviks.
Pembatasan dosis lebih ditentukan oleh daya tahan usus-
usus dan kandung kemih. Alat-alat ini mempunyai daya toleransi
yang lebih rendah dibandingkan dengan uterus. Dosis radiasi lokal
melebihi 5000 rad dapat menimbulkan reaksis-reaksi yang cukup
berat seperti timbulnya ulserasi pada mukosa yang dapat
menimbulkan fistula.
Daya toleransi dari radiasi eksternal sangat tergantung dari
volume radiasi, dosis tiap hari, dan lamanya radiasi. Radiasi

38
eksternal ini diperlukan untuk memberantas metastasis-metastasis
dalam kelenjar limfe dalam parametrium bagian lateral, sehingga
memerlukan volume penyinaran yang cukup luas.
1. Teknik radiasi
Kombinasi antara radiasi lokal (intrakaviter) dan radiasi
eksternal merupakan pilihan yang umumnya diberikan dengan
maksud:
a. Radiasi lokal (intrakaviter) dapat memberikan dosis
yang tinggi pada serviks dan korpus uteri, tetapi dosis
cepat menurun pada jaringan di sekitarnya, sehingga
dosis ke rektum, sigmoid, kandung kencing dan ureter
dapat dibatasi sampai batas-batas daya toleransi.
b. Kemungkinan timbulnya metastasis limfogen pada
karsinoma servisis uteri cukup tinggi. Oleh karena itu
kelenjar-kelenjar di dalam panggul kecil harus
mendapat penyinaran juga. Dosis radiasi intrakaviter
cepat menurun di luar uterus, sehingga dosis yang
sampai pada kelenjar limfe sangat renddah. Untuk
mencapai dosis yang dapat mengamankan metastasis
kelenjar limfe ini diperlukan penyinaran luar yang dapat
memberikan distribusi dosis yang merata pada daerah
yang lebih luas.
2. Radiasi lokal (intrakaviter)
Zat radioaktif radium adalah bahan yang pada permulaan
perkembangan radioterapi dipergunakan pada karsinoma
servisis uteri. Penggunaannya sangat cepat meluas dan
berkembang biak, dengan teknik yang pada dasarnya
bersumber pada tiga teknik yang dikembangkan di Stockholm,
Paris dan Manchester. Pada tahun-tahun terakhir ini
penggunaan radiumsudah mulai ditinggalkan dan diganti
dengan cobalt, cesium, atau iridium, yang lebih aman karena
sesuai dengan kemajuan teknologi dapat digunakan remote

39
controlled after loading system. Teknik dasar pada penggunaan
zat pengganti radium ini umumnya sama dengan teknik
pemakaian radium.
Radium atau zat radioaktif lainnya diletakkan
intravaginal dan intrauterin dengan menggunakan aplikator.
Aplikator intravaginal berbentuk kotak (box) silinder atau
ovoid, sedang aplikator intauterin benrbentuk tabung (tandem).
a. Teknik Stockholm
Pada teknik Stockholm digunakan radiasi dengan muatan
radium yang agak tinggi yang diberikan dua kali dengan
waktu di antaranya tiga minggu, dengan tiap kali
pemasangan berlangsung 24-30 jam. Radium diberikan
intrauterin dan intravaginal, dengan tandem hanya dalam
cavum uteri. Untuk menghindarkan tingginya dosis di
rektum dan buli-buli, dipergunakan kain kasa yang
diletakkan antara box dan dinding posterior dan anterior
vagina. Teknik ini dapat memberikan dosis radiasi yang
cukup tinggi pada serviks, fundus, dan rongga vagina
proksimal, tetapi relatif rendah ke arah lateral dibanding
teknik Paris dan Manchester.
b. Teknik Paris
Pada teknik Paris digunakan radium bermuatan rendah dan
diberikan hanya sekali dan berlangsung antara 96-200 jam.
Tandem intrauterin dipasang di seluruh panjang cavum
uteri dan kanalis servikalis. Aplikator intravaginal
berbentuk silinder terdiri dari dua buah, masing-masing
diletakkan di forniks lateralis, yang masing-masing
bermuatan 13,3 mg, ditambah 1 silinder bermuatan 6,6 mg
yang diletakkan dimuka ostium eksternal dari serviks.
c. Teknik Manchester
Teknik ini menggunakan muatan radium yang lebih tinggi
daripada teknik Paris tetapi lebih rendah dibandingkan

40
teknik Stockholm. Umumnya diberikan dua kkali aplikasi
dengan di antaranya 1-2 minggu. Kalau pada teknik
Stockholm dan Paris, dosis radiasi ditetapkan dalam mg-
jam, maka pada teknik Manchester ditetapkan dosis yang
lebih eksak, yaitu dalam rad. Dosis tertentu tidak boleh
dilewati pada titik A tanpa membahayakan. Titik A
tersebut terletak 2 cm di atas forniks dan 2 cm di sebelah
lateral garis tengah uterus, diperkirakan bahwa pada titik
A ini lewat ureter dan arteri uterina. Teknik manchester
digunakan di Indonesia dengan adaptasi terutama dalam
hal dosis.

3. Teknik after-loading
Teknik after loading digunakan untuk menghindarkan
para petugas terkena radiasi pemasangan radium. Terdapat 2
cara, yaitu:
a. After-loading secara manual
Aplikator intrauterin dan intravaginal dipasang dalam
keadaan kosong. Setelah dilakukan pemeriksaan lokalisasi
pemasangannya dengan alat radio diagnostik/lokalisator,
maka penderita dapat dibawa ke kamar khusus. Zat
radioaktif dimasukkan di kamar tersebut, sehingga
penyinaran pada petugas sangat kecil.
b. Remote controlled after-loading system
Setelah pemasangan aplikator dilaksanakan dengan
sempurna maka aplikator dihubungkan dengan pipa ke
tempat peyimpanan zat radioaktif. Cara memasukkan zat ini
ke dalam aplikator dilakukan dalam ruangan khusus dengan
menekan tombol, dan setelah radiasi selesai, tombol lain
ditekan sehingga zat radioaktif kembali ke tempat

41
penyimpanannya. Dengan cara ini seluruh staf sama sekali
bebas dari radiasi.
4. Radiasi eksternal
Untuk dapat memberantas metastasis kelenjar dengan
efek samping seringan-ringannya dipergunakan pesawat
megavolt, seperti telecobalt, atau linear accelerator.
Penggunaan pesawat konvensional banyak menimbulkan
gangguan-gangguan kulit dan tulang.
Luas lapangan penyinaran meliputi daerah kelenjar
limfe sekitar arteri obturatoria sampai di pertemuan arteri
iliaka kommunis, biasanya luas lapangan penyinaran adalah
15x12 cm sampai 15x18 cm. daerah yang telah mendapat
radium intrakaviter selebar antara titik A kanan dan kiri ditutup
dengan blok timah hitam. Penutupan dilakukan pula pada
daerah-daerah kaput femoris dan sebagian pelvis lateral bagian
atas untuk mengurangi bahaya usus-usus terkena radiasi.
Dosis yang masih termasuk dosis toleransi ialah 200 rad
sehari, 5 kali seminggu dengan dosis total sekitar 5000 rad
dalam 5 minggu. Dapat pula diberikan 300 rad tiap kali. Tiga
kali seminggu dengan total 4500 rad.
Sedangkan pada karsinoma servisis uteri in situ dipilih
tindakan operatif, maka pada karsinoma yang sudah infasif
radio-terapi memegang peranan yang penting. Dengan
kemajuan teknik maka hasil terapi radiasi makin baik,
sehingga di banyak klinik di dunia terapi ini menjadi terapi
terpilih, walaupun cukup banyak klinik melakukan operasi
untuk stadium I dan II (histerektomi radikal menurut
Wertheim). Satu indikasi yang jelas memerlukan tindakan
operatif ialah kasus-kasus dengan resistensi dari tumor
terhadap radiasi.
Kombinasi radiasi eksternal dan intrakaviter tergantung
pada stadium karsinoma servisis uteri ialah sebagai berikut:

42
a. Stadium I+II : aplikasi radium 6500 rad dengan 2 kali
aplikasi. Kemudian radiasi eksternal 5000 rad/5 minggu
dengan blok timah pada daerah aplikasi radium.
b. Stadium III : pertama-tama radiasi eksternal seluruh
pelvis (tanpa blok timah) 2000-3000 rad, kemudian
aplikasi radium 4500-5000 rad.
c. Stadium IV : hanya radiasi eksternal untuk pengobatan
paliatif.

2.8.2 Radiasi pada Karsinoma Korporis Uteri menurut


Wiknjosastro (1999)
Pengobatan pembedahan pada karsinoma korporis uteri telah
menunjukkan hasil yang baik. Radiasi pada karsinoma korporis
uteri dilakukan dalam kombinasi dengan pembedahan, kecuali pada
kasus-kasus yang menolak operasi atau yang ada kontraindikasi
operasi. Kombinasi radiasi dan operasi dapat dilakukan dalam
bentuk:
1. Radiasi Prabedah
Tujuan radiasi ini adalah mengurangi kemungkinan
metastasis limfogen dan residif pada puncak vagina.
a. Radiasi intrakaviter
Radiasi ini dianggap dapat menekan timbulnya residif pada
vagina dari 20% menjadi 1,5%. Ada dua teknik yang biasa
dilakukan:
b. Teknik Heyman (Heyman’s packing)
Radiasi dilakukan dengan memasukkan kapsul-kapsul
radium ke dalam kavum uteri. Kapsul-kapsul ini mengisi
seluruh kavum uteri sehingga seluruh permukaannya
mendapat penyinaran yang merata. Tindakan pembedahan
dapat dilakukan 1-2 minggu kemudian. Modifikasi teknik
ini menggunakan butir-butir cobalt 60 yang dirangkaikan
(Cobalt pearls). Satu kelemahan teknik ini yaitu meskipun

43
di permukaan tetapi belum tentu merata pada seluruh tumor,
apabila tumor berbentuk ireguler.
c. Teknik Manchester (Tod dan Morris)
Radiasi ini menggunakan kombinasi tandem intrauterin dan
ovoid intravaginal, seperti pada susunan yang dipergunakan
pada karsinoma servisis uteri, hanya muatan radium di
ujung tandem pada daerah fundus sebanyak 20-25 mg,
sedangkan pada bagian lainnya 10 mg. Aplikasi dilakukan
dua kali dengan jarak 1 minggu.
d. Radiasi prabedah eksternal
Tujuan radiasi ini adalah mengurangi timbulnya metastasis
baik di vagina maupun di kelenjar limfe dalam pelvis,
terutama bila terdapat invasi tumor ke miometrium atau
pada tumor dengan diferensiasi rendah. Pembedahan
dilaksanakan setelah 6-8 minggu radiasi selesai.
2. Radiasi Pascabedah
Tujuan radiasi ini adalah menghindarkan residif di
vagina dengan diberikan radiasi intravaginal, misalnya dengan
ovoid atau silinder intravagina. Kasus-kasus yang telah
mengadakan invasi ke miometrium diperlukan tambahan
radiasi eksternal dengan sinar megavolt untuk menghalangi
penyebaran ke kelenjar limfe dengan dosis 5000 rad dalam 5
minggu.
Radiasi penuh dilakukan pada penderita-penderita yang
menolak operasi atau apabila ada kontraindikasi operasi.
Caranya adalah menggunakan teknik Manchester seperti pada
penyinaran karsinoma servisis uteri, hanya dosis radium untuk
tandem intrauterin ditambah di daerah fundus uteri. Radiasi
intrakaviter ini kemudian disusul dengan radiasi eksternal yang
ditujukan pada daerah kelenjar limfe regional.

2.8.3 Radiasi pada Karsinoma Vagina menurut Wiknjosastro (1999)

44
Terapi radiasi umumnya dipilih pada karsinoma vagina
invasif. Pelaksanaan radiasi perlu mempertimbangkan beberapa
hal, yaitu:
a. Vagina berbatasan erat dengan rektum dan kandung kemih
Hampir tidak mungkin untuk menghindarkan reaksi
pada kedua bagian tersebut. Untuk mengurangi komplikasi,
perlu dilakukan pemilihan jenis sinar, pemasangan zat
radiokatif dan hubungan dosis-volume-waktu penyinaran yang
tepat. Pada penggunaan aplikator hendaknya trauma yang
ditimbulkan seminimal mungkin dan dicegah sedini mungkin.
b. Lokalisasi tumor
Tumor yang terletak proksimal lebih mudah menjalar ke
serviks dan kemudian menimbulkan metastasis limfogen ke
rongga panggul, tumor yang terletak pada bagian distal vagina
akan menjalar ke kelenjar limfe inguinal.
c. Luasnya proses
Pada terapi radiasi dianjurkan kombinasi antara
penggunaan zat radioaktif intrakaviter atau interstisial dengan
radiasi eksternal dengan pertimbangan bahwa radiasi eksternal
dapat memberikan distribusi dosis yang lebih homogen dengan
volume radiasi yang lebih besar dan yang tidak dapat
dijangkau oleh radiasi lokal. Sedangkan pusat tumor
memerlukan dosis radiasi yang lebih tinggi, yang dapat
diberikan dengan radiasi intrakaviter atau interstisial, yang
tidak banyak menyinari daerah sekitarnya.
Radiasi eksternal mengecilkan tumor lebih dahulu,
mempermudah aplikasi lokal, dan mencapai penyinaran pada
kelenjar-kelenjar panggul dan inguinal. Teknik radiasi
tergantung pada lokalisasi tumor. Tumor letak proksimal yang
masih kecil cukup diberikan radiasi lokal intrakaviter. Tumor
yang lebih besar dan sudah menjalar misalnya ke serviks uteri,
radiasi merupakan kombinasi antara radiasi lokal intrakaviter

45
dan radiasi eksternal. Tumor letak distal diberikan radiasi
eksternal. Tumor yang kecil dan terbatas cukup diberikan
radiasi lokal yaitu implantasi interstisial atau dengan
menggunakan aplikator intrakaviter.

2.8.4 Radiasi pada Karsinoma Vulva menurut Wiknjosastro (1999)


Karsinoma vulva terletak di permukaan sehingga mudah
terjangkau dengan radiasi. Meskipun demikian, radiasi tidak selalu
dapat diberikan dengan leluasa dan memuaskan mengingat daya
toleransi jaringan vulva. Berlainan dengan mukosa vagina, serviks
uteri, dan endometrium yang mempunyai daya toleransi tinggi
terhadap radiasi, mukosa dan kulit sekitar vulva yang relatif tipis
dan selalu lembab sangat mudah mengalami gangguan akibat
radiasi. Hal ini memyebabkan tindakan pembedahan lebih disukai.
Apabila oleh salah satu sebab radiasi dipilih, untuk tumor yang
kecil dan terbatas dilakukan implantasi interstisial dengan jarum-
jarum radium, cobalt, atau kawat iridium. Penyinaran lokal dengan
zat radioaktif ini tidak banyak menimbulkan kesulitan karena
volume radiasi terbatas dan dosis radiasi yang cepat menurun di
jaringan sehat sekitarnya.
Penderita dengan tumor yang sudah besar, radiasi dengan
implantasi tidak akan adekuat. Radiasi yang diperlukan adalah
radiasi eksternal, dengan penyinaran ke arah daerah vulvoperineal;
lebih baik menggunakan radiasi elektron yang jangkauan
penetrasinya mudah diatur dan dapat disesuaikan dengan tebalnya
tumor.
Tumor yang telah menjalar ke vagina atau urethra sebaiknya diberi
radiasi eksternal dengan sinar foton yang lebih luas dengan dua
lapangan anterior dan posterior ditambah lapangan vulvoperineal.
Implantasi interstisial dapat diberikan apabila setelah radiasi
eksternal masih terdapat residif dengan ukuran-ukuran yang
memungkinkna terapi tersebut.

46
2.8.5 Radiasi pada Karsinoma Urethra menurut Wiknjosastro
(1999)
Jenis dan teknik radiasi pada karsinoma urethra disesuaikan dengan
letak dan besarnya tumor. Tumor letak distal atau pada orifisium
urethrae eksternum dengan ukuran kecil dapat diberikan implantasi
zat radioaktif interstisial.
Implantasi interstisial dapat pula dilakukan pada tumor letak
proksimal, hanya dalam pelaksanaannya sebaiknya disertai
pemeriksaan kandung kemih untuk dapat menetapkan batas-batas
tumor yang tidak jarang sudah menjalar ke arah leher kandung
kemih. Pada implantasi tumor-tumor yang masih kecil fungsi
urethra masih dapat dipertahankan dengan baik.
Tumor yang relatif besar dan menjalar lebih jauh seperti tulang,
vagina, dan sebagainya dapat diberi terapi kombinasi dengan
radiasi eksternal yang disusul dengan implantasi interstisial pada
sisa tumor yang sudah mengecil. Tumor yang meluas ke jaringan di
sekitarnya sebaiknya diberikan radiasi eksternal saja dalam 5-6
minggu.

2.9 Hasil pengobatan


Dikatakan bahwa apabila seorang wanita terdiagnosis menderita
suatu kanker ginekologi, maka tidak pernah dikatakan “sembuh” (kecuali
keganasan trofoblas). Suatu hasil pengobatan kanker dinilai baik dari
respon secara klinis maupun secara histopatologi (Obgyn Undip, 2010).
a. “Remisi” Secara klinis massa tumor menghilang dan tidak ditemukan
sel ganas pada pemeriksaan patologi. Pasien dengan status remisi tetap
harus mendapatkan pemantauan/kontrol secara rutin dengan diperiksa
klinis serta patologi secara berkala (biopsi atau pap’smear)
b. “No response” Masih ditemukan sel ganas pada histopatologi dan
secara klinis masih dijumpai massa tumor yang tidak berkurang atau
berkurang < 50% atau bertambah < 25%.

47
c. “Partial response” secara histopatologi masih ditemukan sel ganas,
tetapi dari pemeriksaan klinis dijumpai pengurangan massa tumor
lebih dari 50%.
d. “Progressif disease” Setelah pengobatan massa tumor malah
bertambah ukuran = 25%.
e. “Residif” Pasien pernah dinyatakan remisi setelah terapi, akan tetapi
pada pemantauan/kontrol rutin diketahui timbulnya kembali massa
tumor atau ditemukannya sel ganas pada patologi maupun
ditemukannya metastasis dari pemeriksaan x-foto.

48

You might also like