You are on page 1of 2

PETANI GARAM GAGAL PANEN

Para petani garam diberbagai wilayah


sentra produsen garam tahun ini
terpaksa gigit jari. Iklim yang tak
menentu antara musim hujan dan
kemarau membuat mereka gagal panen.
Mereka sangat terpukul dengan kondisi
curah hujan yang tidak biasa ini. Tidak
sedikit di antara mereka mengalami
gagal panen yang berdampak pada
kerugian.

Para petani biasanya panen garam pada awal-awal kemarau. Namun, di musim kemarau
tahun ini, hujan kadangkala masih turun. Sehingga garam yang awalnya sudah mulai
mengering kembali berair dan tak bisa dipanen. Petani, tidak bisa memproduksi garam,
karena selalu mendung dan sering turun hujan. Padahal, untuk bisa memproduksi butuh
terik sinar matahari yang cukup. "Kondisi mendung dan sering hujan seperti sekarang ini
tidak memungkinkan untuk bisa memproduksi garam. Jika cuaca selalu mendung dan
sering turun hujan sampai akhir September ini ini, maka bisa dipastikan produksi garam
gagal. Biasanya para petani mulai memanen garam di bulan Juli, Agustus, hingga
September. Namun kali kini, sampai akhir September mereka tidak lagi bisa memanen
garam. “Garam tidak bisa dipanen karena sekarang ini masih ada hujan,”

Akibat cuaca yang tidak menentu ini


produksi garam nasional tahun in jeblok .
Sampai saat ini petani garam di Madura
-yang merupakan pemasok garam
terbesar di Indonesia- masih belum ada
yang memproduksi garam. Madura
merupakan pemasok garam terbesar di
Indonesia bagi penyediaan garam
konsumsi nasional dibanding daerah lain seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa
Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Selatan.

Rata-rata produksi garam di Madura


tidak kurang dari 600.000 ton dengan
luas lahan 7.785 hektare. Luas areal ini
meliputi 1.767 hektare di Kabupaten
Sumenep, 888 hektare di Pamekasan
dan seluas 5.130 hektare di Kabupaten
Sampang. Luas areal garam ini belum
termasuk lahan milik PT Garam seluas
5.340 hektare yang ada di tiga
kabupaten yakni Sumenep (2.620 hektare), Pamekasan (980 hektare) dan
Kabupaten Sampang (1.100 hektare) termasuk di lahan pegaraman IV, Gersik
Putih yang juga terletak di Sumenep seluas 640 hektare.
Memang disatu dua wilayah seperti Bima dan Pulau Lombok, NTB ada sedikit
panen karena tidak ada hujan mulai pertengahan Agustus sampai dengan
pertengahan September, namun kini hujan benar-benar mengguyur mengakhiri
pasa panen yang demikian singkat. Musim panen garam bisanya terjadi tiga
sampai empat bulan. Namun kini ‘jadwal’ tahunan itu dikacaukan musim yang
tidak menentu.

Akibat turunnya produksi garam, kini harga garam di pasaran menjadi naik.
Sayang tingginya permintaan itu tak bisa dipenuhi petani. Biasanya, garam curah
yang masih ada di lahan dihargai Rp 100 sampai Rp 200 per kg. Sedangkan
garam yang sudah dikemas dalam karung seharga Rp 300 hingga Rp 400 per kg.
Namun saat ini, harga garam siap panen dan sudah dimasukkan dalam karung
mencapai Rp 500 sampai Rp 600 tiap kg. “Harga sudah sedemikian tinggi, namun
sayangnya tidak ada garam! Petani mengalami gagal panen. “Biasanya di bulan-
ini garam sedang melimpah. Tapi sekarang ini tidak lagi, karena petani garam
gagal panen,,” dan mereka harus menanggung kerugian!!

You might also like