You are on page 1of 43

TEORI ADMINISTRASI

Inisiasi I

Menentukan topik atau fenomen masalah administrasi publik cukup banyak cakupannya, setiap
tindakan dan aktivitas masyarakat tidak akan terlepas dari permasalahan publik tentunya, baik
permasalahan yang terjadi pada internal lembaga administrasi publik atau birokrasi publik atau
administrasi pemerintahan maupun yang terjadi diluar lembaga administrasi publik yang diakibatkan
oleh tindakan birokrasi publik.
Fenomena tersebut timbul sebagai akibat adanya kesenajangan (gap) apa yang diharapkan secara
teori/konsep (das sein) dengan kejadian nyata dilapangan (das sollen). Memang tidak mudah untuk
menentukan topik atau fenomen ini, tetapi jika Anda telah memahami dan mengerti akan konsep/teori
Administrasi Publik dan sering diskusi maupun konsultasi tentunya akan membukan pikiran Anda untuk
melihat permasalahan tersebut masuk dalam ranah Administrasi Publik atau bukan!
Contohnya:
• Pelayanan pembuatan KTP murah dan mudah (seharusnya atau das sein) tetapi kenyataannya mahal
dan birokratis (kenyataanya atau das sollen);
• Pelaksanaan rekuitmen calon PNS didasarkan atas hasil analisasis kerja (job analysis) dalam rangka
mengisi kekosongan pegawai (seharusnya atau das sein) tetapi calon PNS yang detima diluar hasil
analisis kerja (kenyataanya atau das sollen).
• Pembahasan anggaran yang dilakukan oleh setiap satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) dibahas
dengan dewan (DPRD) sesuai dengan program yang menjadi fungsi dan tugas SKPDnya (seharusnya atau
das sein) tetapi dewan menitipkan anggaran bahkan meminta jatah dalam setiap pembahasan anggaran
(kenyataanya atau das sollen).
• Berdasarkan Peraturan Daerah atau Qanun (Perda) Nomor 4 Tahun 2004, tentang Parkir di tepi Jalan,
bahwa setiap pengguna parkir akan menerima karcis parkir (seharusnya atau das sein), tetapi juru parkir
(jukir) ditidak memberikan karcis parkirnya (kenyataanya atau das sollen).
• Seorang kepala dinas merupakan motivator kepada bawahanya untuk terus meningkatkan kinerja
melalui pendidikan dan latihan (Diklat) sesuai dengan fungsi dan tugasnya, tetapi bawahan yang dikirim
untuk mengikuti Diklat orang yang dekat dan diluar fungsi dan tugasnya.
Beberap contoh tersebut di atas merupakan gambaran fenomena yang terjadi dalam administrasi
publik, yang mencerminkan adanya gejala kesenjangan (gap) antara yang seharusnya (das sein) dan
kenyataan yang terjadi (das sollen) dilapangan. Hal tersbut tentunya akan menjadi gambaran bagi Anda
dan menjadikan topik atau tema dalam Studi mandiri bahkan dalam proposal tesis nanti.
Inisiasi 2 MAPU 5101

Saya menyampaikan apresiasi atas diskusinya  pada inisiasi pertama semoga menambah semangat
saudara untuk terus belajar. Pada inisiasi ke-2 ini, saudara tentunya telah membaca dan mencermati isi
pokok-pokok bahasan pada Modul 2 mengenai Teori-teori Klasik dan Neoklasik Administrasi. Adapun
topik-topik yang akan didiskusikan ada 3 topik yaitu sebagai berikut:
1. Apakah konsep birokrasi dan manajemen Max Weber dalam administrasi publik di era pelayanan
publik sekarang ini bahkan ada sebagian pakar yang mengatakan sebagai paradigma new public
management (NPM) masih relevan?
2. Apa yang dapat saudara maknai dari konsep Administrative Behavior (keputusan, rasional, dan
kepuasan) dalam implementasi pelayanan publik dan berikan salah satu contoh dengan keadaan
pragmatis sekarang ini?.
3. Pandangan  klasik maupun neoklasik cukup besar kontribusinya  dalam perkembangan administrasi
publik sekarang ini baik pada aspek teoritis mapun praktis. Apakah tepat pandangan tersebut dikaitkan
dengan perkembangan permasalahan publik kontemporer sekarang ini ? Bagaimana dan berikan salah
satu contohnya?
Selamat berdiskusi, kami hanya mengingatkan 3 hal :
1. Luangkan waktu untuk membaca modul 2 dan dukunglah dengan referensi yang relevan tentunya,
sebelum saudara berdisikusi pada inisiasi II ini.
2. Tutor dalam tuton ini sebagai media dan moderator komunikasi akademik antara mahasiswa dengan
mahasiswa dalam berdiskusi,  tetapi disisi lain dengan mengikuti tuton secara baik akan berkontribusi 
signifikan terhadap nilai ujian akhisr (UAS)saudara, untuk itu luangkanlah waktu membuka tuton ini.
3. Jangan lupa persiapkan untuk pertemuan inisiasi III, dengan membaca terlebih dahulu modul  3-nya.
SELAMAT BELAJAR
TEORI DAN ISU PEMBANGUNAN

INISIASI 1
A. Pendekatan Klasik Teori Pertumbuhan
Teori pertumbuhan dari sisi pandang pendekatan klasik mempunyai asumsi bahwa perkembangan
ekonomi berjalan dalam keadaan pasar bebas dengan persaingan yang sempurna tanpa adanya unsur
monopoli.

1.Adam Smith
Dalam Teori Pertumbuhan, modal menempati posisi sentral. Akumulasi modal, menurut Smith, tidak
dapat dilepaskan dari perluasan pasar. Potensi pasar dapat dicapai secara maksimal apabila warga
masyarakat diberi kebebasan seluas-luasnya untuk melakukan pertukaran dalam kegiatan ekonominya.
Pengaturan yang datang dari pemerintah hanya akan menciutkan pertumbuhan pasar.

2.David Ricardo
Proses pertumbuhan ekonomi mengikuti rumusan 'The Law of Dimishing Return' yang berbunyi:
“apabila salah satu input tetap sedangkan input-input lain di tambah penggunaannya, maka tambahan
input tersebut mula-mula akan menyebabkan kenaikan produktivitas. Akan tetapi apabila input-input
tersebut terus ditambah maka produktivitas selanjutnya akan menjadi menurun”.

3.Thomas Robert Malthus


Dengan Theory of Underconsumption, Malthus berpendapat bahwa secara alamiah populasi akan terus
mengalami peningkatan lebih cepat daripada suplai makanan. Produksi makanan per kapita akan
mengalami penurunan, sementara populasi mengalami kenaikan

4.Karl Marx
Dengan Teori Konfliknya, Marx berpendapat, salah satunya, bahwa karena tingkat keuntungan yang
diperoleh pengusaha adalah fungsi dari “nilai lebih” (yaitu selisih antara produiktivitas buruh dengan
nilai tenaga buruh yang dinyatakan dalam bentuk upah), maka pengusaha akan mengeksploitasi buruh
untuk meningkatkan keuntungannya.

5.Walt Whitman Rostow


Rostow menyatakan bahwa proses pembangunan ekonomi akan mengikuti tahap perekonomian
tradisional, tahap prakondisi tinggal landas, tahap tinggal landas, tahap menuju kedewasaan, dan tahap
konsumsi massa tinggi.

6.Keynes dan Neo Keynes


Keynes berpendapat bahwa pasar dalam tatanan ekonomi modern dapat terjebak dalam ekuilibrium
kekurangan pekerjaan. Melalui kebijakan moneter dan fiskal, pemerintah dapat menstimulus ekonomi
dan membantu menjaga produktivitas dan pekerjaan setinggi-tingginya.
7.Roy Harrod dan Evsey Domar (Neo Keynes)
Harrod melalui instability theorem mengemukakan bahwa pada proses pertumbuhan melekat suatu
faktor ketidakstabilan yang menjadi gangguan terhadap kondisi ekuilibrium, sehingga diperlukan
langkah-langkah kebijakan tertentu ntuk menanggulangi ketidakstabilan guna menjaga pertumbuhan
yang berdasarkan ekuilibrium yang stabil

B. Pendekatan Neo Klasik


Pemikiran Neo Klasik bersandar pada argumen bahwa sistem ekonomi hendaknya didasarkan
sepenuhnya pada pemilikan individu atas faktor-faktor produksi, mekanisme pasar, dan persaingan
bebas. Dalam hal ini regulator utama kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar.
Pendekatan Neo Klasik ini dikritik antara lain oleh Nicholas Kaldor, ian Livingstone, Amartya Sen,
Chakravarty, dan Dennis Goulet, dengan pendapat umumnya bahwa 1) pendekatan anomistik pada
masyarakat yang menganggap bahwa sistem terdiri dari para individu sehingga yang terbaik untuk
individu menjadi yang terbaik untuk masyarakat jelas tidak didasarkan pada konsep masyarakat sebagai
suatu sistem sosial, dan 2) kebebasan memilih oleh para individu di masyarakat negara berkembang
dalam situasi kelembagaan masyarakat yang pincang tidak dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang lemah.

C. Pendekatan Strukturalis
Pokok pikiran pendekatan ini berpusat pada efek perdagangan bebas terhadap 1) hubungan ekonomi
negara berkembang dengan negara maju, 2) pembagian kerja internasional, negara-negar berkembang
yang memproduksi dan mengekspor barang-barang mentah, serta 4) negara maju yang memproduksi
produk-produk manufaktur.

1.Dudley Seers
Berpendapat jika pertumbuhan yang berkesinambungan terjadi di sektor modern yang diiringi dengan
terjadinya diversifikasi struktural dalam ekonomi maka situasi ini akan menimbulkan penyerapan tenaga
kerja dari sektor tradisional ke sektor-sektor yang berproduktivitas tinggi dengan upah yang juga tinggi.

2.Hans Singer
Menurutnya pembagian kerja internasional mengakibatkan negara-negara yang belum berkembang
menjadi negara-negara pinggiran yang perannya adalah sekedar memproduksi dan mengekspor bahan-
bahan mentah. Sementara negara-negara maju (negara pusat) lebih berperan sebagai pihak yang
memproduksi produk-produk manufaktur

3.Joan Robinson
Menyatakan bahwa program pembangunan di negara-negara berkembang harus menempatkan sektor
pertanian sebagai induk pembangunan, sedangkan sektor industri adalah motor pembangunan. Beliau
juga menyatakan bahwa perdagangan bebas akan menjerumuskan negara-negara berkembang ke posisi
terpukul dikarenakan nasionalisme merupakan motif dasar setiap ekonomi internasional.

4.Gunnar Myrdal
Dengan tesis cummulative causation, Myrdal berpendapat bahwa hubungan ekonomi negara-negara
maju dengan negara-negara belum maju telah menimbulkan ketimpangan internasional dalam
pendapatan per kapita dan kemiskinan di negara-negara yang belum maju.

5.Paul Baran
Berpendapat bahwa untuk memungkinkan negara-negara yang terbelakang memasuki jalan
pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial, maka kerangka politik negara-negara ini hendaklah diubah
secara drastic
Pengayaan

Potensi Masalah dalam Pengembangan Kawasan Selatan Jawa Timur

DI dalam Rencana Strategis Pembangunan Daerah Jawa Timur tahun 2001-2005 telah dirumuskan
permasalahan pokok di daerah ini. Salah satunya adalah "lambannya pemulihan ekonomi Jatim serta
masih rendahnya tingkat produktivitas unit usaha dan lembaga ekonomi".
SANGAT naif jika mengaitkan permasalahan pokok ini semata-mata sebagai akibat dari krisis moneter
yang terjadi pada tahun 1997 yang kemudian berkembang menjadi krisis multidimensional. Pemerintah
harus lapang dada mengakui bahwa permasalahan pokok ini juga akibat dari salah kebijakan yang sudah
ada jauh sebelumnya.
Salah satu contoh salah kebijakan itu adalah orientasi kebijakan pembangunan yang terlalu bias utara
sehingga kondisi perekonomian dan infrastruktur Kawasan Selatan Jawa Timur (KSJT) telah begitu
tertinggal dibandingkan dengan Kawasan Tengah dan Kawasan Utara Jawa Timur.
Praktik bias kebijakan yang telah berjalan paling tidak 50 tahun ini tampaknya sudah disadari oleh
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim. Oleh karena itu, dalam rangka memperkokoh struktur ekonomi
dan sekaligus mengakselerasi laju pertumbuhan ekonomi KSJT, Pemprov Jatim sedang mempersiapkan
rencana pembangunan jalur jalan arteri lintas selatan Jatim yang menghubungkan delapan kabupaten,
yaitu Kabupaten Banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, dan
Kabupaten Pacitan.
Pendapat umum pemprov dan pemerintah kabupaten (pemkab) yang terlibat terhadap manfaat proyek
ini adalah bahwa proyek tersebut akan meningkatkan pendapatan masyarakat, mengembangkan
produk-produk unggulan usaha kecil dan menengah (UKM) di delapan kabupaten itu, dan membuka
lapangan kerja akibat dari banyaknya investasi yang masuk. Agar harapan ini tidak sekadar menjadi
wishful thinking, tentu saja dibutuhkan prasyarat dan strategi lanjutan berdasarkan kondisi obyektif dan
pemahaman yang utuh terhadap konsep bagaimana sebuah ekonomi regional/lokal itu bertumbuh dan
berkembang.

Ekonomi regional
Teori pertumbuhan berbasis ekspor mengajukan premis bahwa untuk dapat bertumbuh, ekonomi lokal
harus meningkatkan aliran dana masuk (monetary inflows). Dan, cara paling efektif untuk meningkatkan
monetary inflows itu adalah melalui peningkatan ekspor. Jadi, konsep kunci teori ini adalah aktivitas
ekspor merupakan mesin pertumbuhan atau dengan lain kata: Export markets are considered the prime
movers of local economy (Tiebout, 1961).
Ekspor ini ditentukan oleh permintaan eksternal terhadap barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh
suatu daerah tertentu. Dalam suatu perekonomian terbuka, permintaan eksternal ini bersifat
exogenous. Dengan kata lain, permintaan eksternal ini pada dasarnya di luar kendali daerah tersebut.
Implikasinya, suka atau tidak suka, suatu daerah jika ingin bertumbuh dan berkembang harus bersaing
dengan daerah lain untuk memperebutkan pasar ekspor.
Juga perlu diingat, meskipun terjadi aliran dana masuk ke daerah di mana industri ekspor itu berlokasi
dan aliran dana masuk ini mempunyai efek pendorong aktivitas ekonomi lokal, seberapa jauh efek
pengganda ini menyebabkan perubahan tingkat pendapatan dan tingkat penyerapan tenaga kerja,
sangat bergantung pada dua hal.
Pertama, proporsi tambahan pendapatan masyarakat yang dibelanjakan dalam perekonomian lokal.
Semakin kecil proporsi tersebut, semakin kecil pula efek pengganda yang terjadi. Jika ini yang terjadi,
dalam jangka panjang, tidak banyak perubahan total pendapatan ataupun total penyerapan tenaga kerja
di daerah tersebut.
Kedua, sebagai konsekuensi logis dari perekonomian terbuka, sebagian dana masuk itu akan
dibelanjakan kembali oleh rumah tangga dan bisnis untuk membeli jasa dan barang dari luar area
perekonomian lokal. Mekanisme proses pembelanjaan ulang ini seperti siklus yang berulang. Semakin
besar proporsi yang dibelanjakan untuk mengimpor barang/jasa dalam setiap proses iterasi transaksi,
semakin kecil total tambahan pendapatan rumah tangga.
Dari sisi penawaran, suatu daerah dapat bertumbuh karena bertambahnya persediaan sumber
daya/faktor produksi atau sumber daya/faktor produksi yang ada saat ini dapat digunakan secara lebih
efektif dan efisien. Faktor produksi ini meliputi intermediate inputs, tenaga kerja, natural endowments,
dan kapital (yang dapat diakumulasi melalui investasi).
Saya berpendapat bahwa semangat dan keterampilan kewirausahaan lokal juga dapat dikategorikan
sebagai sumber daya produksi. Ketersediaan faktor produksi utama dan kualitas kewirausahaan ini akan
berkontribusi pada kemampuan daerah untuk memproduksi dan menemukan sumber-sumber baru
permintaan ekspor.

Implikasi kebijakan
Meski kadang kedua teori fundamental pertumbuhan ekonomi regional di atas berfungsi sebagai satu
alternatif bagi yang lainnya, akan lebih bijaksana jika pengambil kebijakan memosisikannya sebagai dua
pendekatan yang saling melengkapi karena memang keduanya diperlukan untuk kepentingan
pertumbuhan ekonomi lokal. Berdasarkan perspektif sisi permintaan dan penawaran di atas, berikut
adalah empat implikasi kebijakan.
Pertama, Pemkab yang terkait dengan KSJT harus segera mulai mempersiapkan strategi peningkatan
produktivitas dan kualitas produk UKM di daerahnya. Termasuk dalam hal ini adalah strategi
peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia (SDM), baik untuk menumbuhkan
semangat dan kualitas kewirausahaan maupun untuk menyiapkan SDM agar sesuai dengan budaya
industri yang dibawa oleh investasi yang masuk.
Strategi ini diperlukan karena sesuai sifat permintaan eksternal yang exogenous, faktor kualitas produk
yang dihasilkan oleh suatu daerah sangat menentukan keberhasilan ekspor. Selain faktor permintaan
eksternal, produktivitas juga terbukti secara empirik sebagai sumber lain pertumbuhan yang mempunyai
sifat berkelanjutan (Krugman, 1999).
Tanpa peningkatan kualitas SDM, masyarakat di delapan kabupaten terkait dengan KSJT tidak akan
mengalami perbaikan tingkat pendapatan yang nyata karena kalah bersaing oleh pendatang dalam
aktivitas ekonomi. Belajar dari evaluasi pascaproyek pembangunan jalan lintas Sumatera (Azis, 1990),
perajin rotan lokal di Sumatera Selatan termarjinalisasi dan digantikan oleh perajin yang datang dari
daerah lain yang semakin mudah bergerak dari dan ke Sumatera akibat semakin mudahnya bepergian
melalui jalan darat.
Dalam studi itu terungkap bahwa beberapa perajin rotan dari Jawa Barat, khususnya Cirebon, mendapat
kesempatan untuk memulai usahanya di Sumatera Selatan yang banyak menyediakan bahan baku bagi
usaha kerajinan rotan tersebut. Dengan keterampilan dan pengalaman yang lebih baik, perajin dari Jawa
Barat ini, dalam banyak kasus, mengakibatkan perajin rotan lokal menutup usahanya. Karena itu, tidak
tertutup kemungkinan nelayan di KSJT yang kaya akan potensi laut juga akan termarjinalisasi oleh
nelayan dari Kawasan Utara Jawa Timur.
Kedua, pemkab yang terkait dengan KSJT harus segera mulai mempersiapkan strategi, dalam pengertian
yang agak longgar, industri "substitusi impor" agar tidak terjadi net monetary inflows yang negatif.
Tentu saja industri "substitusi impor" ini harus didasarkan pada paradigma pemberdayaan, bukan pada
paradigma pembatasan melalui berbagai peraturan (perda) yang tidak masuk akal dan mendistorsi
ekonomi.
Juga, jika pengangguran tidak dalam tingkat yang substansial, strategi mengembangkan permintaan
pasar lokal dapat dijadikan pilihan agar aliran dana masuk neto menjadi positif. Pemkab harus
mengidentifikasi-berdasarkan kriteria ekonomi, teknis, dan sensitivitas sosial dan politik-sektor mana
saja yang perkembangannya mungkin akan lebih efektif jika dilakukan swasta, dan mana yang mungkin
akan lebih efektif jika digerakkan pemerintah.
Ketiga, mengingat intermediate inputs dan natural endowments di delapan kabupaten ini hampir sama
(didominasi oleh mineral, pariwisata, perikanan/kelautan, kehutanan, dan perkebunan), bukanlah suatu
ide yang buruk untuk mengembangkan suatu kerangka kebijakan bersama di bidang kebijakan investasi,
kebijakan industri, dan kebijakan perdagangan. Kesamaan potensi ekonomi antara delapan kabupaten
ini sudah ada, tinggal bagaimana didayagunakan agar secara keseluruhan KSJT ini benar-benar jadi
sentra pertumbuhan baru bagi Jatim. Juga, kerangka kebijakan bersama ini dapat mengurangi risiko
persoalan inheren yang ada dalam desentralisasi, yaitu fiscal externalities dan prisoner’s dilemma.
Suatu daerah dapat menimbulkan eksternalitas fiskal bagi daerah lainnya dalam berkompetisi terhadap
investasi. Banyak daerah menawarkan potongan pajak untuk menarik investasi. Insentif ini mungkin saja
tidak cukup besar untuk memengaruhi tingkat investasi nasional secara keseluruhan karena memang
keputusan melakukan investasi tidak hanya ditentukan oleh potongan pajak. Jadi, yang terjadi
sebetulnya adalah daerah-daerah bersaing untuk jumlah investasi yang tetap.
Lebih lanjut, persaingan memperebutkan investasi dengan memberikan insentif potongan pajak ini
kemungkinan dapat membawa daerah-daerah ke dalam suatu dilema. Misalnya, Kabupaten Banyuwangi
dan Kabupaten Jember sedang "merayu" sebuah perusahaan untuk berinvestasi di daerahnya. Jika
kedua kabupaten tidak menawarkan potongan pajak, investasi toh pada akhirnya juga akan dilakukan di
salah satu kabupaten sehingga kabupaten itu akan mendapatkan perusahaan tersebut dan
mendapatkan penerimaan pajak secara penuh.
Jika salah satu kabupaten merasa akan kalah dalam kompetisi, mungkin ia akan menawarkan potongan
pajak untuk mengubah/memengaruhi keputusan perusahaan tersebut. Tentu saja, kabupaten yang lain
juga akan berada dalam situasi yang sama. Hasilnya adalah kedua kabupaten akan menawarkan
potongan pajak sampai pada suatu tingkatan di mana sudah tidak ada bedanya lagi antara mendapatkan
perusahaan tersebut dengan tidak mendapatkannya. Sebagai konsekuensi, kedua kabupaten sebetulnya
tidak mendapatkan apa-apa dari persaingan ini.
Keempat, mengembangkan suatu hubungan yang sehat (bukan korupsi, kolusi dan nepotisme/KKN!)
antara pemerintah dan kalangan bisnis. Hubungan ini diperlukan agar terjadi sinkronisasi antara
kebijakan investasi daerah dengan strategi pengembangan bisnis pelaku usaha, antara kebijakan industri
daerah dengan strategi pengembangan produk pelaku usaha, dan antara kebijakan perdagangan daerah
dengan strategi pengembangan pasar pelaku usaha.

Potensi masalah
Mengadopsi model implementasi kebijakan Grindle dan Thomas (1991), rencana ini- paling tidak di
arena birokrasi -dapat dikatakan telah ada dalam agenda dan diputuskan untuk dijalankan. Indikasinya
adalah Pemprov Jatim telah menetapkan kebijakan Nomor 101 Tahun 2001 tentang kesepakatan
dengan delapan kabupaten untuk mengembangkan wilayah selatan. Bahkan, kontribusi masing-masing
pemkab dan pemprov/pemerintah pusat terhadap pembiayaan jalan arteri lintas selatan ini juga telah
dikalkulasi (lihat tabel).
Pertama, masalah pembebasan lahan dan munculnya makelar-makelar tanah, baik yang dilakukan oleh
individu-individu di tingkat desa, maupun yang dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah, mulai dari
tingkat kabupaten sampai tingkat kelurahan. Tanpa mekanisme pembebasan lahan yang terpadu, amat
mungkin pembebasan lahan ini bersifat inflationary dan mengurangi secara drastis lahan-lahan
produktif.
Kedua, potensi KKN dalam pengadaan barang dan jasa konstruksi. Untuk nilai proyek sebesar ini, proses
tender pengadaan barang dan jasa konstruksi yang transparan dan akuntabel jelas menjadi keharusan.
Ketiga, masalah kemampuan anggaran dan alternatif pembiayaan. Biaya yang diperlukan untuk jalan
lintas selatan ini sekitar Rp 1,9 triliun. Sementara itu, kekuatan APBD Jatim (untuk tahun anggaran 2002)
adalah sekitar Rp 2,4 triliun, sedangkan kekuatan APBD kabupaten dalam kisaran Rp 246 miliar
(Kabupaten Pacitan) sampai dengan Rp 508 miliar (Kabupaten Jember).
Jelas sudah bahwa jalur lintas selatan bukanlah lampu Aladin yang dengan instan akan menyulap
ketertinggalan KSJT menjadi semaju Kawasan Utara Jawa Timur. Proyek ini hanyalah enabler bagi usaha
mengoreksi kesalahan kebijakan masa lalu. Dibutuhkan intervening dan moderating policies yang baik
agar harapan di awal tulisan ini menjadi kenyataan.
Akan tetapi, di tengah hiruk-pikuk pemilihan Gubernur Jatim dan Pemilu 2004, apakah pengambil
kebijakan secara serius memikirkan hal-hal strategis ini sejak dini? Semoga.
ANDI IRAWAN SSI MPP Peneliti CBIS-Universitas Surabaya, Direktur Institut Kebijakan Publik dan
Ekonomi Regional (IKPER)

(sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0305/22/jatim/325044.htm)
Mubyarto
TEORI INVESTASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DALAM EKONOMI PANCASILA

(1)Economics is too important to leave to the economists.


(2)Economic theory has been off many attacks, not because it has been strong enough to withstanding
them, but because it has strong enough to ignore them … part of that strength has come from
irrelevance of economics.
(3)For over a century economists have shown that economic theory is replete with logical
inconsistencies, specious assumptions, errant notions, and predictions contrary to empirical data.
(4)Politicians, businessmen and ordinary folk who rely on economic forecasts are far more often than
not misled.
(5)Since mainstream economics is profoundly wrong, the existence of alternatives to it is highly
important.
(6)If economics is to become less of a religion and more of a science, then the foundations of economics
should be torn down and replaced.
(7)It’s time to expose the nakedness of neoclassical economics.
(Steve Keen, 2001, Debunking Economics: The Naked Emperor of the Social
Sciences, Pluto Press, Sydney)
 
I. Paul Samuelson yang oleh Robert H. Nelson penulis buku Economics as Religion (Penn State,2001)
disebut sebagai seorang Nabi yang berhasil, dalam buku teks Introductory Economics menyederhanakan
kehidupan ekonomi setiap masyarakat seperti gambar 1:

 
Pendapatan nasional menurut Nabi Samuelson naik dan turun karena perubahan investasi yang pada
gilirannya tergantung pada perubahan teknologi, penurunan tingkat bunga, pertumbuhan penduduk,
dan faktor-faktor dinamis lainnya.
Apa yang salah dalam “model” ini jika diterapkan dalam ekonomi Indonesia atau Perekonomian
Pancasila?. Para calon ekonom tidak seorangpun berani bertanya kemungkinan melesetnya model
tersebut. “Manusia di manapun bersifat rasional, homo ekonomikus; manusia/orang Amerika atau
Indonesia sama saja”. Walhasil tidak ada yang berani menolak kebenaran “fatwa” Nabi Samuelson.
Sebenarnya jauh sebelum buku edisi pertama Introductory Economics terbit tahun 1948 sudah ada ahli
ekonomi Belanda bernama J.H. Boeke (1910) yang meragukan dapat diterapkannya teori-teori ekonomi
barat di Indonesia karena sifat dualistis ekonomi Indonesia. Tetapi hanya segelintir pakar ekonomi
Indonesia yang menganggap teori Boeke cukup berharga untuk ditanggapi bahkan ada yang
menganggapnya sebagai teori ekonomi untuk melanggengkan penjajahan Belanda di Indonesia.
Kini setelah terjadinya krismon tahun 1997-1998, investasi yang “dipompakan” ke dalam ekonomi
Indonesia anjlog, bahkan terjadi pelarian modal (capital flight) $ 10 milyar setiap tahun. Mengapa
pertumbuhan ekonomi negatif hanya terjadi satu tahun saja (1998) dan sejak tahun 1999 sampai
dengan tahun 2002 terjadi pertumbuhan ekonomi positif rata-rata 3,2 % per tahun?. Apakah “hukum
ekonomi” yang mengatakan tidak ada pertumbuhan ekonomi tanpa investasi tidak berlaku lagi di
Indonesia? Bagaimana dosen-dosen ilmu ekonomi menerangkan fenomena ini?. Ya, mereka masih dapat
berkelit bahwa sesungguhnya sumber pertumbuhan ekonomi tidak hanya investasi tetapi juga konsumsi
masyarakat, hanya saja konsumsi tidak mungkin berkelanjutan dan suatu saat tidak akan lagi mampu
menyangga pertumbuhan ekonomi. Yang benar, dan dapat diperoleh data-data pendukung, adalah
bahwa investasi tidak hanya dapat dilakukan oleh dunia usaha, tetapi dapat juga dilakukan oleh
masyarakat/rumah tangga, yang sejauh ini, dalam ajaran Nabi Samuelson, masyarakat/rumah tangga
hanya mampu berkonsumsi. Inilah kekeliruan fatal teori investasi Neoklasik ortodok yang sampai
sekarang terus kita ajarkan pada mahasiswa ekonomi Indonesia, dan para petinggi negara kita tidak ada
yang menyadari kekeliruan ajaran ini.
Yang seharusnya juga segera kita sadari adalah bahwa persamaan Y = C + I + G tidak lagi dapat dianggap
benar karena C sebenarnya terdiri atas dua komponen yaitu komponen konsumsi riil dan komponen
investasi. Pengeluaran masyarakat bisa berupa pengeluaran investasi, yang tidak harus melalui
perbankan. Barang-barang yang biasanya dikelompokkan sebagai barang konsumsi seperti sepeda
motor tidak semuanya termasuk barang konsumsi, seperti sepeda motor untuk armada ojeg untuk jasa
angkutan di kota-kota atau di desa-desa.
 
II.  Disamping kesalahan fatal teori ekonomi Neoklasik ortodok yang memisahkan secara tegas antara
kegiatan bisnis dan kegiatan rumah tangga (household), kesalahan yang lebih mendasar lagi adalah
anggapan bahwa manusia sepenuhnya bersifat homo-ekonomikus yang tidak (perlu) hidup
bermasyarakat. Margaret Thatcher mantan perdana menteri Inggris pernah dengan kepercayaan diri
luar biasa menyatakan  “ there is no such thing as society “ (Ormerod 1994 : 12). Yang aneh fatwa-fatwa
manusia sebagai homo-ekonomikus ini sering dianggap diajarkan oleh Adam Smith sendiri padahal
dalam buku pertamanya (The Theory Of Moral Sentiments, 1759). Adam Smith dengan meyakinkan
menyatakan manusia adalah homo-socius
The importance to Smith of the overall set of values in which the economy operates is generally ignored
by his followers in the late twentieth century. His economics, based upon individual self-interest, is
remembered, but his moral framework is not. (Ormerod 1994 : 14)
Demikian pakar-pakar ekonomi senior, yang belajar ilmu ekonomi di negara-negara Barat terutama di
Amarika pada tahun-tahun enampuluhan dan tujuhpuluhan, harus merasa “berdosa” karena mengawali
penyebarluasan ajaran yang bersumber pada filsafat moral yang tidak sesuai dengan sistem nilai dan
budaya bangsa Indonesia. Pertama, ajaran Adam Smith hanya diambil separo saja yaitu bukunya yang
kedua (Wealth of Nations, 1776), sedangkan buku keduanya The Theory of Moral Sentiments 1759)
sama sekali dilupakan. Kedua, pengertian ekonomi positive yang di Amerika sudah tidak lagi dipisahkan
dengan ekonomi normatif, kita di Indonesia masih bersikukuh mempertahankannya, dan mereka yang
berpandangan demikian menolak ajaran ekonomi Pancasila karena dianggap merupakan ajaran yang
normatif. Yang benar, ajaran ekonomi positive yang termuat dalam buku-buku teks ekonomi Barat
merupakan ajaran positive di negara-negara Barat terutama Amerika, tetapi harus dianggap normatif
bagi masyarakat Indonesia. Ketiga , dosen-dosen ilmu ekonomi kita harus rajin mengajarkan teori-teori
ekonomi tidak semata-mata secara deduktif dari buku-buku teks, tetapi harus bersama-sama
mahasiswanya mengadakan penelitian-penelitian induktif-empirik sekaligus dengan mempelajari
sungguh-sungguh sejarah (pemikiran) ekonomi dan sejarah perekonomian. Dosen ekonomi harus
mengadakan penelitian, dan menggunakan hasil-hasil penelitiannya untuk memperkaya bahan-bahan
kuliahnya. Kuliah harus kontekstual bukan hanya tekstual. Hanya dengan cara demikian kurikulum
berbasis kompetensi dapat dilaksanakan dengan baik. Inilah kelebihan metode pendidikan yang bersifat
problem posing, bukan hanya bersifat banking education. (Freire dalam Ekins & Max-Neef 1992:15-16).
Saya yakin pakar-pakar ekonomi dengan gelar Doktor atau Ph.D dari Barat memahami betul 4 kalimat
awal bab III buku Alfred Marshall, Principles of Economics (1890) berikut:
It is the business of economics as almost every other science to collect facts, to arrange and interprete
them, and to draw inferences from them.
 
“Observation and discription are preparatory activities. But what we desire to reach thereby is a
knowledge of the interdependence of economic phenomena …. Induction and deduction are both
needed for scientific thought as the right and left foot are both needed for walking ” (Marshall 1890: 29).

Jika UGM bertekad menuju Universitas Penelitian, dosen-dosennya harus melakukan penelitian,
mungkin dengan cara separo gajinya dibayarkan untuk tugas mengajar dan separo gaji yang lain hanya
dibayarkan apabila ia benar-benar melakukan penelitian.

III.  Kekeliruan lain yang sangat umum dari ekonom Indonesia adalah pemujaan yang berlebihan pada
konsep pertumbuhan ekonomi yang dianggap mampu menggambarkan kondisi apapun dari
perekonomian masyarakat bahkan juga kondisi kesejahteraan masyarakat. Misalnya kontraksi ekonomi
–13,4% tahun 1998 yang memang belum pernah dialami dalam sejarah ekonomi Indonesia sepanjang
masa, dianggap “bencana paling dahsyat dalam sejarah peradaban manusia modern ”. Sejumlah ekonom
masih belum merasa cukup menggambarkan beratnya kontraksi ekonomi –13,4% dengan
menambahkan angka 7% pertumbuhan ekonomi setahun sebelumnya (1997), sehingga kontraksi
ekonomi total adalah +7% dan -13,4% menjadi –20,4%.

 
Pemujaan yang berlebihan terhadap angka pertumbuhan ekonomi menyebabkan ekonom dengan
mudah melupakan besaran atau nilai PDB atau PNB nya sendiri, padahal jika PDB Indonesia telah
tumbuh rata-rata 7% pertahun selama 30 tahun (1966-1996) atau selama 27 tahun (1966-96), bukankah
pertumbuhan PDB akumulatif ini telah menjadi 210% (30 tahun) atau 189% (27 tahun)?

 
Mengapa kontraksi ekonomi –13,4% dikurangkan dari titik 0 dan tidak dari pertumbuhan ekonomi
akumulatif 189%, sehingga sebenarnya Indonesia setelah berhasil membangun selama 27 tahun masih
memiliki surplus pertumbuhan 175%. Kekeliruan inilah yang dengan tepat diingatkan Amartya Sen
peraih Nobel Ekonomi 1998
It may be wondered why should it be so disastrous to have say a 5 or 6 percent fall in gross national
product in one year when the country in question has been growing at 5 or 10 percent per year for
decades. Indeed at the agregate level this is not quintessentially a disastrous situation (Sen 200 : 187)
Angka pertumbuhan ekonomi 7% dianggap sebagai angka keramat yang harus dapat diraih kembali
secepat mungkin kalau Indonesia berharap dapat mengatasi pengangguran yang “dahsyat” dan
menciptakan kesempatan kerja bagi tenaga kerja yang terus-menerus memasuki lapangan kerja,
sedangkan angka 3 – 4 persen dianggap sangat tidak memadai. Mengapa ekonom sangat gemar
memperdebatkan angka-angka pertumbuhan ekonomi sehingga mengurangi peluang membahas
masalah-masalah ekonomi riil yang dihadapi masyarakat?  Inilah masalah besar yang mengundang
keluhan kadang-kadang bahkan kemarahan pakar-pakar ilmu sosial di luar ekonomi. Rupanya pakar-
pakar ekonomi merasa kurang terhormat atau prestisenya menurun jika tidak berbicara tentang
pertumbuhan ekonomi, investasi, pengangguran, atau inflasi. Yang benar, ilmu ekonomi adalah ilmu
sosial dan harus tetap merupakan ilmu sosial yang tidak harus selalu berbicara dengan angka yang eksak
dengan menggunakan matematika. Indonesia dewasa ini sangat membutuhkan bantuan analisis ilmu
ekonomi kelembagaan yang mempertimbangkan faktor-faktor budaya dalam ekonomi. Disinilah jelas
diperlukan kesediaan (dan keberanian) ekonom bekerjasama dengan sosiologi, antropologi, dan etika.
Ekonomi Pancasila adalah ekonomika etik yang pernah sangat didambakan oleh Ace Partadiredja tahun
1981, namun tetap sulit diterima ekonom sa    mpai 22 tahun kemudian.
 
IV. Jika krisis moneter dan krisis perbankan kini telah memasuki tahun ke-6 tanpa ada tanda-tanda dapat
segera diatasi, maka yang paling utama untuk diminta pertanggung-jawabannya adalah ekonom.
Mengapa? Adalah teknokrat ekonomi yang telah berjasa mentranformasikan ekonomi Indonesia dari
kondisi negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah dalam periode 3 dekade. Maka jika kini
kondisi moneter dan perbankan Indonesia kocar-kacir tidak patutkah kita menuntut ekonom untuk
kembali memimpin barisan untuk mengatasinya?. Pertanyaan yang logis dan sederhana ini ternyata sulit
dijawab para ekonom karena paham atau ideologi ekonom memang sangat sempit yaitu ajaran
Neoklasik ortodok yang sudah ketinggalan jaman dan sangat tumpul, tidak mampu mengatasi krisis yang
bersifat multidimensi padahal perekonomian Indonesia yang dualistik makin berinvolusi. Maka teori
demi teori konvensional tak satupun yang mampu menghasilkan rekomendasi kebijakan yang mujarab.
Misalnya pembentukan BPPN untuk menyelamatkan sektor perbankan secara teoritis sudah berpeluang
mencapai tujuannya karena jangka waktu kerjanya hampir habis (2004), sehingga harus bubar, tetapi tak
satupun bank besar swasta yang dirawatnya menjadi sehat kembali, padahal nilai obligasi rekapitalisasi
yang Rp 650 trilyun benar-benar sangat berat membebani rakyat melalui APBN. Memang banyak
pendapat bahwa KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) adalah penyebab utama kegagalan program kerja
BPPN. Tetapi kami berpendapat bahwa sejak awal teori ekonomi yang dipakai memang keliru, yaitu
menganggap perbankan sebagai “urat nadi perekonomian” yang harus diselamatkan dan disehatkan
dengan biaya erapapun, meskipun dengan subsidi amat besar berupa bunga rekapitalisasi perbankan.
Bukankah cukup aneh memberi subsidi pada satu sektor ekonomi yang notabene termasuk sektor kuat,
ketika kepada sektor lain yang masih lemah seperti sektor ekonomi rakyat ada program besar untuk
menghapus subsidi.
Berbagai ketidakadilan memang terungkap dalam sistem ekonomi kapitalis yang kita terapkan sejak era
Orde Baru yang sifat pembangunannya lebih mementingkan efisiensi dan pertumbuhan ketimbang
keadilan dan pemerataan. Dan akumulasi ketidakadilan itulah yang pada puncaknya telah meledakkan
bom waktu “krisis moneter” Juli 1997 yang dampak ikutannya masih berlangsung sampai sekarang.
Cara-cara pemecahan krismon melalui pengucuran BLBI (1998) dan rekapitalisasi perbankan (1999)
ternyata semakin memperdalam ketimpangan dan ketidakadilan, karena, sekali lagi, telah dipakai
asumsi dan teori yang keliru atau bias pada sistem ekonomi kapitalisme. Jelas di sini bahwa sumber
pokok kekeliruan adalah pertama, pada tidak diakuinya sifat ekonomi kita yang masih dualistik yang
menolak adanya  (sektor) ekonomi rakyat yang berperan besar dalam perekonomian Indonesia. Kedua,
pemberian kebebasan yang terlalu besar pada mekanisme pasar yang berakibat terjadinya persaingan
bebas liberal (free fight liberalism) yang selalu menguntungkan pihak yang kuat dan merugikan pihak
yang lemah yaitu ekonomi rakyat.
Demikian ketidakberpihakan pemerintah pada kepentingan ekonomi rakyat, dan sebaliknya
keberpihakan pemerintah pada kepentingan ekonomi sektor kapitalis berakibat fatal pada semakin
terjepitnya ekonomi rakyat, tidak saja petani yang harga gabahnya anjlog di bawah harga dasar, tetapi
juga bagi industri kecil dan perdagangan kecil yang semuanya didominasi sektor ekonomi kapitalis. Inilah
kecenderungan (trend) yang harus segera kita balikkan. Pemerintah harus berpihak dan peduli pada
ekonomi rakyat dan selanjutnya memberdayakannya. Ekonomi rakyat tidak mengharapkan subsidi
tetapi sekedar perlindungan yang wajar dari persaingan tidak sehat dari kelompok ekonomi kapitalis

V. PUSTEP UGM mempunyai misi besar mengadakan kajian-kajian induktif-empirik dan deduktif logis
tentang ekonomi Indonesia yang selanjutnya dapat dipakai sebagai bahan mengkaji ulang kurikulum
ilmu ekonomi di perguruan-perguruan tinggi maupun di sekolah-sekolah lanjutan. Kajian-kajian induktif-
empirik ini belum pernah dilakukan karena kita tidak pernah mempertanyakan validitas teori-teori
ekonomi yang termuat dalam buku-buku teks ilmu ekonomi dari Barat. Krismon 1997-1998 harus
dianggap mengandung hikmah keharusan para ekonom untuk mengadakan tinjauan-tinjauan kritis atas
teori-teori ekonomi yang sudah mapan tersebut yang kini bertendensi sudah diterima dan diajarkan
laksana ajaran agama.
Kita harus menolak seakan-akan Paul samuelson adalah benar-benar nabi yang menyebarkan fatwa-
fatwa yang tidak bisa dibantah kebenarannya. Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong
Hu Cu sudah cukup. Janganlah ilmu ekonomi dianggap agama ke-7 di Indonesia.

*) Disampaikan pada Seminar Bulanan III PUSTEP-UGM, Yogyakarta 1 April 2003.

Daftar Pustaka
1.Ekins, Paul & Manfred Max-Neef, 1992, Real Life Economics. Routledge London –New York.
2.Keen, Steve., 2001, Debunking Economics. London-New York: Pluto Press-Zeed Books.
3.Linder, Marc., 1977, Anti Samuelson. New York, Urizen Books.
4.Nelson, Robert., 2001, Economics as Religion. University Park PA, The Pennsylvania State University
Press.
5.Ormerod, Paul., 1994, The Death of Economics. New York, Urizen Books.
 

Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi PancasilaUGM

(sumber: http://www.ekonomirakyat.org/edisi_16/artikel_1.htm)
Ari A. Perdana
Researcher, Department of Economics

Kompas, March 18, 2005


Pendidikan, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan

"SEDIAKAN pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga," kata peraih
Nobel Ekonomi, Profesor Joseph Stiglitz, di Jakarta, seperti dikutip harian ini (15/12). Pernyataan ini
dilontarkan Stiglitz ketika menanggapi pertanyaan soal kebijakan ekonomi seperti apa yang diperlukan
Indonesia. Ia juga mengomentari bahwa soal pendidikan ini adalah salah satu blunder kebijakan
neoliberal yang dianut Indonesia.
PERANAN pendidikan-bahasa teknisnya modal manusia (human capital)-dalam pertumbuhan ekonomi
memang belum terlalu lama masuk dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi. Adalah Lucas (1990)
serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956)
yang legendaris itu.
Dalam studi-studinya, mereka menunjukkan bahwa teori Solow yang standar hanya mampu
menjelaskan bagaimana perekonomian sebuah negara bisa tumbuh, tetapi tidak cukup mampu
menjelaskan kesenjangan tingkat pendapatan per kapita antarnegara di dunia. Baru ketika variabel
modal manusia diikutsertakan dalam perhitungan, sebagian dari kesenjangan itu bisa dijelaskan.
Namun, sejumlah misteri masih tersisa. Tingkat pendidikan di negara-negara berkembang sebenarnya
mengalami peningkatan drastis pada tahun 1960-1990. Easterly (2001) menunjukkan bahwa median
angka partisipasi sekolah dasar meningkat dari 88 persen menjadi 90 persen, sementara untuk sekolah
menengah dari 13 persen menjadi 45 persen. Selanjutnya, jika di tahun 1960 hanya 28 persen negara di
dunia yang angka partisipasi sekolah dasarnya mencapai 100 persen, di tahun 1990 menjadi lebih dari
separuhnya.
Nyatanya, kenaikan drastis dari tingkat pendidikan di negara-negara berkembang tidak menjelaskan
kinerja pertumbuhan ekonomi. Ambil contoh Afrika. Antara tahun 1960 hingga tahun 1985
pertumbuhan tingkat sekolah di benua itu tercatat lebih dari 4 persen per tahun. Nyatanya, ekonomi
negara-negara di Afrika hanya tumbuh 0,5 persen per tahun. Itu pun karena ada "keajaiban ekonomi" di
Afrika, yaitu Botswana dan Lesotho.
Kebanyakan negara Afrika lain justru mencatat pertumbuhan negatif dalam periode tersebut. Kasus
ekstrem dialami Senegal yang mengalami pertumbuhan angka sekolah hampir 8 persen per tahun,
tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Dalam periode yang sama negara-negara Asia Timur mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan angka partisipasi sekolah. Namun, perbedaan keduanya tidak
banyak, hanya 4,2 persen dibandingkan dengan 2,7 persen. Artinya, jika pendidikan adalah rahasia
untuk pertumbuhan ekonomi, perbedaan itu seharusnya jauh lebih besar.
Selain tidak bisa menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi, pendidikan juga tidak berhasil menjelaskan
fenomena membesarnya kesenjangan dalam pendapatan per kapita. Pritchett (2003) menunjukkan
terjadinya konvergensi tingkat pendidikan antarnegara di dunia. Sepanjang 1960-1995, deviasi standar
dalam tingkat pendidikan turun dari 0,94 menjadi 0,56. Tapi, di saat yang sama, deviasi standar untuk
pendapatan per kapita antarnegara meningkat dari 0,93 menjadi 1,13.
Asumsi dasar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan
kesenjangan adalah pendidikan meningkatkan produktivitas pekerja. Jika produktivitas pekerja
meningkat, pertumbuhan ekonomi akan meningkat.
Di sisi lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu diasumsikan bahwa manfaat dari
kenaikan pendidikan secara agregat akan lebih besar bagi kelompok miskin. Dengan demikian, jika
tingkat pendidikan meningkat, penghasilan kelompok miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada
akhirnya ketimpangan akan mengecil.
Masalahnya, asumsi demikian tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat dari pendidikan dalam hal
kenaikan produktivitas dan penghasilan pekerja hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu.
Akibatnya, kenaikan tingkat pendidikan belum tentu memberikan manfaat terhadap pertumbuhan dan
pemerataan. Terutama jika kita berbicara mengenai manfaat pendidikan bagi kelompok termiskin.
Studi dari Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di India
semasa revolusi hijau bisa memberikan sedikit gambaran. Studi sektor pertanian di negara seperti India
(juga Indonesia) sangat relevan dalam wacana pembangunan ekonomi karena mayoritas penduduk,
termasuk mereka yang masuk dalam kelompok termiskin, ada di sektor ini.
Dalam studi itu petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada yang tidak
pernah sekolah. Namun, tak ada perbedaan signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya
pendidikan dasar.
Selain itu, di daerah yang kondisi alam dan geografisnya jelek, sering kali produktivitas lebih ditentukan
oleh pengalaman, bukan pendidikan. Bagi petani di tempat-tempat seperti ini, pergi ke sekolah selain
tidak banyak bermanfaat, juga membuat mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah.

Orang bisa mendebat balik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial. Mereka tak
harus terus menjadi petani dan orang miskin jika bisa mengenyam pendidikan. Itulah masalahnya. Di
banyak negara berkembang lain mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan. Di India kasta adalah salah
satu hambatan mobilitas sosial, selain banyak hambatan lain. Di negara seperti Indonesia, korupsi yang
sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi alasan lain mengapa mobilitas sosial
relatif sulit terjadi.
Intervensi yang spesifik
Tulisan ini tidak bermaksud menyimpulkan bahwa pendidikan dan kebijakan pendidikan tidak
bermanfaat bagi kemakmuran sebuah negara. Sama sekali tidak. Pesan yang ingin disampaikan adalah
ada banyak hal lain yang menyebabkan kontribusi positif pendidikan tidak terlalu besar dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Dengan kata lain, pendidikan bukanlah mantra
ajaib. Konsekuensinya, intervensi pemerintah dalam bidang ini juga harus dilakukan secara hati-hati.
Bentuk kehati-hatian adalah tidak terjebak untuk mengukur peranan pemerintah dari besarnya alokasi
anggaran pendidikan. Anggaran memang penting, tetapi bukan pada seberapa besar, melainkan untuk
apa.
Filmer dan Pritchett (1997) menemukan bahwa di beberapa negara, meski kebanyakan guru dibayar
terlalu murah, tambahan anggaran untuk peralatan dan gedung memberikan hasil lebih besar.
Dalam hal ke tingkat pendidikan mana anggaran harus dialokasikan, Booth (2000) menulis bahwa di
Indonesia pada 1980-1990-an, subsidi pemerintah yang terlalu besar bagi pendidikan tinggi
menyebabkan koefisien Gini yang meningkat. Alasannya, lulusan perguruan tinggi adalah yang paling
diuntungkan dari boom selama ekonomi periode itu.
Selain soal anggaran, tingkat pendidikan di suatu negara mungkin menghadapi masalah lain di luar
pendanaan. Di sini dibutuhkan intervensi pemerintah yang spesifik untuk mengatasi masalah-masalah
itu. Contohnya, di Kenya ditemukan bahwa rendahnya kualitas pendidikan dasar disebabkan oleh
kurangnya nutrisi murid sekolah dasar akibat penyakit cacingan. Pembagian obat cacing bagi murid SD
ternyata lebih efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sana.
Kesimpulannya, tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diterapkan secara universal di semua negara.
Ini adalah inti dari kritik kaum populis terhadap kebijakan neoliberal. Hal yang sebaliknya juga berlaku,
tidak ada kebijakan populis yang berlaku secara universal. Dan tidak semua hal bisa diselesaikan dengan
anggaran pemerintah yang lebih besar.
INISIASI II

INISIASI 2

Kerangka Teori Modernisasi:

Dipengaruhi oleh perspektif evolusi


1.Modernisasi merupakan proses bertahap
2.Modernisasi mendorong terbentuknya homogenisasi
3.Modernisasi merupakan representasi dari paradigma serba barat
4.Modernisasi adalah proses yang tidak bergerak mundur
5.Modernisasi merupakan perubahan progresif
6.Modernisasi memerlukan waktu yang panjang

Dipengaruhi oleh perspektif fungsionalisme


1.Modernisasi merpakan proses sistemik
2.Modernisasi adalah proses transformasi
3.Modernisasi melibatkan proses yang terus menerus (immanen)

A. Tokoh dan Pokok Pemikiran Teori Modernisasi Klasik

1.W.W. Rostow
Terdapat lima tahapan pembangunan ekonomi yaitu 1) tahap masyarakat tradisional, 2) tahap
prakondisi tinggal landas, 3) tahap tinggal landas, 4) tahap kematangan pertumbuhan, dan 5) tahap
masyarakat dengan konsumsi massa tinggi

2.David Mc Clelland
Apabila masyarakat dunia ke-3 ingin mencapai kemajuan sebagaimana yang dialmai oleh negara barat,
maka negara dunia ke-3 harus memiliki “kebutuhan untuk berprestasi.”

3.Alex Inkeles
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam membentuk manusia modern adalah 1) pendidikan merupakan
faktor yang mencirikan manusia modern, dan 2) jenis pekerjaan yang diukur dari satuan pekerjaan
pabrik dianggap mempunyai pengaruh independen terhadap pembentukan nilai-nilai modern

B. Tokoh dan Pokok Pemikiran Teori Modernisasi Baru

1.Wong
Tidak sependapat dengan pemikiran teori modernisasi klasik yang mengatakan bahwa pranata keluarga
di negara dunia ke-3 berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan proses modernisasi.
Wong berpendapat sebaliknya bahwa ideologi paternalistik dan kepemilikan keluarga berpengaruh
positif terhadap pembangunan ekonomi. Wong mengambil kasus manajemen perusahaan di Cina.
2.Samuel Huntington
Untuk mencapai demokratisasi suatu negara maka diperlukan adanya faktor-faktor 1) kemakmuran
ekonomi, 2) tersedianya struktur sosial yang artikulatif dan tersebar merata secara luas serta
tersedianya berbagai kelompok yang secara relatif otonom (kelompok usahawan, profesi, agama, dan
etnis) di mana kelompok ini akan membangun basis yang diperlukan untuk mengendalikan kekuasaan
negara dan mendorong pertumbuhan prasarana dasar yang diperlukan untuk tumbuhnya pranata
demokrasi, dan 3) lingkungan internasional yang mempengaruhi negara-negara dunia ke-3 mengenal
demokratisasi

PENGAYAAN

REVOLUSI HIJAU DI PEDESAAN JAWA


(Tinjauan Sosiologis Terhadap Pertumbuhan Produksi dan Kesejahteraan Petani)

Purwanto

ABSTRAK
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melihat dampak revolusi
hijau terutama dalam kaitannya dengan tingkat kesejahteraan masyarakat
petani padi sawah di pedesaan Jawa. Hasil kajian menunjukkan bahwa
revolusi hijau memang telah berhasil meningkatkan produktivitas lahan dan
produksi padi secara nasional. Akan tetapi peningkatan produksi ini hanya
menguntungkan petani berlahan luas, sementara petani berlahan sempit
tidak banyak memperoleh manfaat dari hasil peningkatan produksi.
Hubungan-hubungan yang dijalin dengan agen pembangunan dan birokrat
desa memberikan keuntungan kepada petani lahan luas untuk memperoleh
akses yang lebih besar terhadap kesempatan ekonomi dan politik. Kondisi
demikian membawa akibat pada kesenjangan ekonomi antar penduduk
pedesaan yang makin melebar. Tidak efektifnya program pembangunan
pertanian ini tidak terlepas dari kurangnya dukungan kebijakan terhadap
persoalan mendasar dari pertanian sendiri, yakni penataan atau
pembaharuan agraria dan penataan kelembagaan sosial ekonomi
masyarakat pedesaan.

Kata kunci : Revolusi hijau, pedesaan Jawa, produksi dan


kesejahteraan
ABSTRACT
This paper was aimed to study the impact of Green Revolution on rice
farming in rural Java, especially to the farmers welfare. The study showed
that Green Revolution had increased rice production, but it had not followed
by increasing farmers income as a whole. The large scale farmers tended to
have more benefit than small scale farmers. The more intensive relations and
the greater access to the agent of change and village bureucrat made the large
farmers had more access to the economical and political power. Those
mechanism brought to the wider gap on economic distribution among
villagers. The ineffectiveness of those agricultural development program was
closely related to less supporting policy on the socio economic and agrarian
reforms in rural areas.
Key words : Green revolution, Javanese rural area, production,
Welfare

PENDAHULUAN
Latar Belakang pertanian di arahkan untuk mengatasi kekurangan pangan dengan jalan peningkatan
produksi secara nasional. Melalui upaya peningkatan produksi ini pada gilirannya diharapkan akan
membawa kepada peningkatan pendapatan masyarakat secara
keseluruhan.

Pada tahun 1950-an, usaha peningkatan produksi untuk mencapai swasembada


beras bergulat dengan keengganan orang Jawa untuk meningkatkan produksi di atas
kebutuhan subsistennya. Keengganan meningkatkan produksi di atas kebutuhan
subsisten ini diindikasikan oleh Boeke sebagai akibat dari terjadinya dualisme
ekonomi dalam masyarakat Jawa. Geertz mengindikasikan gejala ini sebagai involusi
pertanian yang disebabkan oleh perilaku berbagi kemiskinan (shared poverty).
Sedangkan Penny menyebutnya sebagai “peasant’s subsistence mindedness”, yaitu
sikap petani yang sulit meningkatkan produksinya untuk kepentingan di jual di pasar
dan lebih memilih hidup pada tingkat pemenuhan kebutuhan subsisten.
Berbagai usaha dilakukan untuk mengatasi pola perilaku enggan maju dalam
produksi hingga akhirnya diluncurkanlah program revolusi hijau. Aspek pokok yang
diterapkan dalam program revolusi hijau adalah pemakaian benih unggul (HYVs). Di
samping itu juga dilakukan program kilat besar-besaran (crash programs) untuk
mensuplai input yang dibutuhkan dan untuk mengadakan pengendalian air melalui
berbagai proyek irigasi yang sangat mahal.
Penekanan pada aspek-aspek pembangunan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa
untuk mencapai pertanian yang modern (maju) harus memenuhi empat aspek
teknologi yaitu irigasi, mekanisasi, pemupukan dan kontrol kimiawi terhadap
rerumputan liar dan serangga (Collier, 1978). Oleh karenanya berbagai fasilitas dan
prasarana dibangun untuk memenuhi persyaratan ini.
Dengan dasar pemikiran tersebut, berbagai program pertanian tanaman pangan
difokuskan untuk meningkatkan produksi dalam rangka mencapai swasembada
pangan. Sedangkan masalah pembagian hasil (pendapatan) diserahkan pada
kekuatan atau mekanisme pasar.

Perumusan Masalah
Revolusi hijau dengan segala perangkat penunjangnya seperti perkreditan
rakyat, koperasi, rehabilitasi irigasi merupakan program besar dengan segala
tantangan dan resikonya telah berjalan cukup lama. Pertaruhan yang besar dalam
program revolusi hijau, mengambil istilah Clifton Wharton, ibarat bermain dengan
kotak Pandora yang mengandung ketidakpastian dimana segala sesuatu bisa keluar
dari kotak tersebut. Oleh karena itu sangat wajar bila dipertanyakan bagaimana
dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh revolusi hijau.
Tulisan ini berusaha menyajikan beberapa dampak revolusi hijau dengan
mengambil data dari beberapa penelitian yang terkait. Penekanan terutama
diarahkan untuk menggambarkan perubahan-perubahan sosial dan ekonomi dalam
kaitannya dengan tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya petani sebagai
pelaku utama revolusi hijau.

KERANGKA TEORITIS
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan tatanan masyarakat dari
suatu keadaan keterbelakangan menjadi keadaan yang lebih maju atau perubahan
dari negara kurang berkembang dan berkembang menjadi negara maju. Brookfield
(dalam Long, 1987) mendefinisikan pembangunan sebagai proses pergerakan ke arah
kesejahteraan seperti penurunan kemiskinan dan pengangguran serta pemerataan.
Berdasarkan pengertian ini tampak adanya konsep pembangunan ekonomi, sehingga
dalam melihat perubahan-perubahan masyarakat ukuran-ukuran ekonomi menjadi
indikator yang penting.
Dalam konsep pembangunan masyarakat ada 3 aliran pemikiran yang
berkembang yaitu perspektif Modernisasi, Dependensi dan Sistem Ekonomi Kapitalis
Dunia (Suwarsono dan So, 1991). Kajian ini difokuskan pada pembangunan
masyarakat dengan perspektif modernisasi. Persepektif Modernisasi memandang
masyarakat di negara Dunia Ketiga berkembang dari suatu keadaan masyarakat
yang kurang maju menuju ke arah yang lebih baik (maju) dengan bentuk dan
susunan masyarakat yang homogen. Perubahan menuju bentuk masyarakat yang
maju (modern) merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Setiap masyarakat
menurut kadarnya baik sedikit atau banyak akan mengalami perubahan, namun
perubahan masyarakat ini berjalan secara bertahap untuk mencapai ke arah
kemajuan.
Menurut Dube (1988) proses modernisasi yang terus berkembang merupakan
suatu dinamika sosial yang didasarkan perubahan masyarakat dari masyarakat
tradisional menjadi masyarakat modern atau dari bentuk dan susunan masyarakat
yang sederhana menjadi masyarakat yang kompleks. Berdasarkan perkembangan ini
masyarakat akan bergerak secara bertahap melalui perbaikan-perbaikan menuju ke
suatu keadaan yang lebih maju. Arah perkembangan masyarakat dapat bervariasi
dan bersifat spesifik untuk setiap masyarakat.
Meskipun tidak terlepas sama sekali dari pengaruh faktor eksternal,
masyarakat di negara dunia ketiga dalam posisinya yang terbelakang tetap
mempunyai kekuatan dan kelenturan di dalam merespon modernisasi. Davis melalui
teori barikadenya memperlihatkan bagaimana masyarakat tradisional melakukan
barikade untuk melindungi dirinya dari kemungkinan gangguan yang ditimbulkan
oleh berkembangnya kapitalisme. Pembangunan ekonomi (kapitalisme) terjadi
manakala benteng masyarakat mulai menua dan melemah, yang pada akhirnya
sedikit demi sedikit tumbang atau ketika benteng pertahanan tersebut kehilangan
semangat dan pegangan kemudian menyerah. Dalam kondisi demikian maka
terbuka kesempatan bagi kapitalisme untuk melakukan ekspansi.

PERTUMBUHAN PRODUKSI
Tujuan utama revolusi hijau adalah peningkatan produksi pangan khususnya
padi yang diharapkan akan meningkat dengan meningkatnya masukan produksi
berupa benih unggul, aplikasi pupuk kimiawi, insektisida, pestisida, pembimbingan
lapangan melalui PPL, kredit usahatani, kekuatan pemerintah, dan penciptaan iklim
yang mendukung.
Perkembangan teknologi yang terjadi sejak Bimas dimulai sampai sekarang
tampaknya telah meningkatkan produksi padi di Indonesia secara nyata.
Penggunaan teknologi maju, bibit unggul dan pupuk yang disertai dengan perbaikan
irigasi telah mampu memberikan sumbangan besar pada peningkatan produksi padi.
Meskipun demikian peningkatan produksi yang dicapai belum mampu untuk
mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Pada dasa warsa pertama dari revolusi
hijau (1965-1980), kendati terjadi peningkatan produksi, tetapi belum mampu
menurunkan impor (Lampiran 1).
Tingkat swasembada, dalam arti impor sebesar nol persen, baru tercapai pada
tahun 1985. Pencukupan kebutuhan dalam negeri secara mandiri (swasembada) ini
juga tidak bertahan lama, hanya sekitar 5 tahun, yakni tahun 1985 sampai dengan
1988 dan selang tahun 1989, kemudian tercapai lagi pada tahun 1990. Setelah itu
impor tidak pernah turun lagi ke posisi nol persen. Bukan hanya tidak turun, bahkan
pada tahun 1992 terjadi peningkatan impor kembali, yakni sebesar 6 persen. Pada
tahun tahun 1998 persentase impor melambung kembali menjadi 9 persen dari total
suplai atau sebesar 2,9 juta ton. Angka 9 persen mengingatkan persentase impor
tahun 1965, yakni permulaan pergantian dari Orde Lama ke Orde Baru. Meskipun
angka persentasenya sama tetapi jumlah nominal beras yang diimpor jauh berbeda.
Dapat dikatakan bahwa selama masa Orde Baru, kendati telah berhasil
mencapai swasembada beras, pada akhirnya juga membawa kembali ke posisi impor
tinggi seperti pada masa berkahirnya rezim Orde Lama. Bahkan pada dasa warsa
pertama Orde Baru, impor beras tetap tinggi, yakni sebesar 10 sampai 13 persen yang
terjadi antara tahun 1973 sampai 1980. Memang angka nominal produksi beras
menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun seperti ditunjukkan oleh hasil panen
gabah kering per hektar, yang meningkat dari 17 kuintal per hektar pada tahun 1967
menjadi 33 kuintal per hektar tahun 1980 dan mencapai 44 kuintal per hektar pada
tahun 1997, tetapi peningkatan tersebut masih belum mampu mengimbangi laju
permintaan penduduk.

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI


Dari uraian terdahulu tampak bahwa revolusi hijau telah membawa perubahanperubahan
yang cukup besar dalam masyarakat pedesaan. Introduksi teknologi
melalui penggunaan masukan produksi kimiawi, mekanisasi, dan peningkatan
fasilitas irigasi telah meningkatkan intensitas pengelolaan usahatani dan
peningkatan produksi padi. Namun untuk melihat pengaruhnya bagi peningkatan
kesejahteraan petani harus dilihat bagaimana distribusi dari hasil yang telah dicapai
ini dalam masyarakat pedesaan.
Persoalan distribusi hasil dalam pertanian pangan dapat diukur dengan
berbagai cara, antara lain, melalui indeks nilai tukar petani, pendapatan petani yang
dikontraskan dengan kebutuhan fisik minimum, ketersediaan peluang kerja, akses
terhadap sarana produksi dan kondisi struktur pemilikan dan penguasaan tanah.
Indeks nilai tukar petani merupakan suatu indikator untuk mengukur seberapa
besar kemampuan nilai produk petani dapat digunakan untuk membeli produkproduk
non pertanian. Berdasarkan data nilai tukar petani tampak bahwa setelah
mencapai swasembada beras tahun 1985, indeks nilai tukar yang diterima petani di
Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur tidak pernah meningkat,
dengan angka indeks berkisar antara 103 sampai 105. Pada tahun-tahun tertentu
angka indeks dapat mencapai 108 sampai 113, tetapi tidak pernah berlangsung lama
(Lampiran 2)
Berdasarkan analisis terhadap angka indeks nilai tukar petani, dapat ditarik
dua kesimpulan. Pertama, meskipun telah terjadi peningkatan produksi gabah
secara berarti pada paruh kedua dasawarsa tahun 1980-an, namun indeks nilai tukar
petani justru menunjukkan kecenderungan menurun secara drastis. Kedua,
penampilan indeks nilai tukar petani yang naik cuma satu dua tahun kemudian jatuh
beberapa tahun berikutnya menunjukkan bahwa telah terjadi fluktuasi yang tinggi,
sebagai akibat kecenderungan laju tingkat harga hasil pertanian yang rendah,
sementara harga-harga barang input pertanian berfluktuasi dengan kecenderungan
yang meningkat. Oleh karenanya penetapan harga yang wajar bagi barang produk
pertanian seperti gabah sangat diperlukan.
Dari segi input pertanian yang bahan bakunya kebanyakan masih diimpor,
Indonesia amat bergantung pada kekuatan ekonomi perusahaan-perusahaan
transnasional (TNCs) dalam menentukan harga, teknologi dan jumlah produksi.
Dalam impor beras, Indonesia juga banyak didikte oleh kekuatan pedagang beras
besar, yang tidak jarang di belakangnya didukung dengan subsidi besar-besaran oleh
pemerintah masing-masing. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hasil revolusi
hijau selama masa pemerintahan Orde Baru, memang telah mampu membebaskan
petani dari perangkap involusi dengan menggerakkan dan memacu petani untuk
meningkatkan produksi pangan khususnya beras. Namun dengan adanya globalisasi
ekonomi dan perdagangan, membuat petani semakin bergantung pada kekuatan
ekonomi dan teknologi global.
Gambaran nasib petani semakin memilukan kalau kita mengamati indikator
upah yang dikontraskan dengan kebutuhan fisik minimum. Kebutuhan fisik
minimum bukan berarti suatu kecukupan, tetapi sekedar untuk bertahan hidup dan
bekerja. Berdasarkan tingkat pendapatannya, tampak bahwa petani gurem, buruh
tani dan petani dengan luasan lahan sampai 0,5 hektar tidak mampu untuk
mencukupi kebutuhan fisik minimum (KFM) yang diperlukannya atau dengan kata
lain mereka mengalami defisit anggaran per bulan. Sementara itu kelompok
masyarakat desa yang bukan petani, sekalipun termasuk golongan ekonomi rendahan
tetapi nasibnya masih lebih baik dari buruh tani dan petani gurem. Golongan ini
mengalami surplus anggaran. Kelompok pencipta surplus terbesar adalah golongan
lapisan atas desa dan kota yang bukan petani. Hanya petani dengan lahan lebih dari
1 hektar yang bisa mendapatkan surplus di atas 100 ribu rupiah per bulan (Lampiran
3). Semua hal tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan bertani adalah pekerjaan
yang menghasilkan pendapatan kecil dengan kerentanan ekonomi yang paling tinggi.
Meskipun demikian pertanian tetap menjadi menjadi klep pengaman dengan
penyerapan tenaga kerja yang paling besar dibandingkan sektor lainnya, yakni
mencapai 44,9 persen dari total angkatan kerja atau 39.414.765 tenaga kerja. Posisi
selanjutnya diduduki sektor perdagangan dan hotel dengan total penyerapan tenaga
kerja sebanyak 19,18 persen, dan sektor pelayanan jasa masyarakat sebesar 14,14
persen. Memang revolusi hijau telah mampu memberikan dampak peningkatan
produksi yang cukup besar, tetapi revolusi hijau dengan segala perangkat
kelembagaan dan teknologinya telah menciptakan keterbelahan dan kesenjangan
antar berbagai kelompok dalam masyarakat pedesaan. Para petani pemilik lahan
luas dan kelompok elit pedesaan mendapat bagian kue ekonomi yang semakin besar,
sementara para buruh tani dan petani gurem telah menjadi bagian kelompok
masyarakat yang mengalami peminggiran. Mekanisme akses terhadap modal, input
produksi, pekerjaan, dan pembagian pendapatan telah menjadi proses keterbelahan
dan ketimpangan ekonomi dan sosial.
Kondisi yang tercipta akibat revolusi hijau ini tidak terlepas dari paradigma
pembangunan yang terlalu memfokuskan pada pencapaian produksi secara makro
(nasional) dan kurang memperhatikan pada kondisi mikro di tingkat petani sehingga
aspek pemerataan hasil dan penyejahteraan petani menjadi terabaikan.
Pelaksanaannya di tingkat masyarakat tidak dilakukan dengan pendekatan
pemahaman kebutuhan dan penyadaran diri petani, sehingga kemajuan cara
berproduksi di tingkat petani tidak di dorong oleh semangat menyejahterakan diri,
tetapi lebih karena keterpaksaan ekonomi dan atmosfir ketakutan. Revolusi hijau
berhasil antara lain juga karena desakan pemerintah yang berupa sanksi-sanksi
sosial manakala petani menolak untuk menanam benih unggul dan tidak mau
menggunakan pupuk buatan yang dianjurkan.
Sedangkan determinan kemajuan dalam cara berproduksi karena keterpaksaan
ekonomi dapat dijelaskan sebagai berikut. Pelaksanaan revolusi hijau telah
memasukkan petani ke dalam suatu situasi yang tidak dapat dielakkan, dimana
mereka harus membayar semua input produksi kecuali tenaganya sendiri.
Disamping kewajiban untuk membayar semua input produksi, petani juga
dihadapkan pada pengeluaran-pengeluaran masyarakat modern seperti biaya
pendidikan dan pemeliharaan kesehatan yang semakin tinggi. Desakan pengeluaran
untuk pendidikan, tidak jarang menjadi suatu dilema bagi petani. Di satu sisi,
peningkatan investasi untuk pendidikan anak justru menjadi faktor pemicu untuk
mempercepat terdorongnya anak keluar dari pertanian dan menjadi tenaga murah
yang siap ditarik atau di tolak sektor perkotaan. Mereka yang cukup beruntung dan
diterima sektor kota, kebanyakan menjadi tenaga kerja di sektor informal, sedangkan
yang kurang beruntung akan menjadi penganggur atau terpeleset dan masuk ke
dalam dunia hitam di perkotaan. Di sisi lain, apabila petani memperkecil atau
membatasi investasi untuk pendidikan anak, petani memang dapat mengerem anak
untuk tetap tinggal dan bekerja di bidang pertanian, akan tetapi mereka telah
memasukkan anaknya ke dalam situasi kesulitan yang lain karena semakin
langkanya lahan perta nian dan ongkos produksi yang mahal.
Tuntutan kebutuhan masyarakat modern telah menyebabkan posisi petani
sangat rentan terhadap berbagai pengaruh kekuatan dari luar khususnya kekuatan
kapitalisme yang digerakkan oleh industrialisasi melalui perusahaaan-perusahaan
transnasional. Kalau dahulu kegiatan produksi yang dilakukan petani hanya
didasarkan pada perhitungan yang berkesesuaian dengan alam, maka sekarang
mereka harus melakukannya melalui tawar menawar dengan kebutuhan modern
yang digerakkan oleh industrialisasi. Dengan demikian petani tidak hanya
berhadapan dengan kendala alam, tetapi juga harus menghadapi tekanan dari
kekuatan ekonomi global.
Pemberlakuan globalisasi perdagangan menyebabkan posisi produsen primer
(petani) di Indonesia semakin rentan terhadap berbagai pengaruh politik ekonomi
perdagangan internasional. Sebagian besar input produksi dan lisensi yang terkait
dengan pengetahuan untuk memproduksi masukan (input) produksi hanya dapat
diperoleh melalui perdagangan dunia yang banyak didominasi oleh perusahaanperusahaan
transnasional dari negara maju. Industri-industri yang dikembangkan di
negara dunia ketiga termasuk Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perusahaan
transnasional melalui penyertaan saham, pemberian lisensi, maupun berbagai bahan
keperluan industri yang tidak dapat diproduksi oleh negara dunia ketiga, demikian
juga industri pendukung bidang pertanian seperti industri pupuk, pestisida dan alatalat
pertanian.
Perluasan kapitalisme yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
transnasional akan makin memperberat beban yang harus ditanggung petani. Dalam
sistem pertanian modern, para petani dituntut untuk menggunakan input produksi
yang banyak dihasilkan oleh industri perusahaan transnasional sehingga petani
harus membayar berbagai komponen impor dari pupuk, pestisida, maupun alat-alat
pertanian yang mereka gunakan. Makin besar nilai komponen impor dalam input
produksi yang digunakan petani, akan memperkecil nilai tambah yang didapat
petani. Dengan demikian bagian terbesar dari keuntungan (pendapatan) input
produksi yang digunakan petani akan jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan
transnasional yang sebagian sahamnya dimiliki oleh negara asing.
Beban berat yang harus ditanggung petani ini tidak terlepas dari model
pembangunan yang banyak mengandalkan pada bantuan asing. Bantuan atau
pinjaman dana pembangunan yang diberikan oleh negara donor telah memaksa
pemerintah untuk memenuhi dan mematuhi berbagai persyaratan yang diajukan oleh
negara donor. Penghapusan subsidi pupuk dan pembebasan harga-harga hasil
pertanian menyebabkan beban yang semakin berat bagi petani. Selain itu, hargaharga
input produksi dan harga barang-barang konsumsi (hasil industri) yang
meningkat, sementara harga-harga hasil pertanian (khususnya pangan) yang rendah
menyebabkan daya beli petani semakin rendah (seperti tercermin dalam indeks nilai
tukar petani yang tidak kunjung meingkat).
Pengembangan industri di dalam negeri juga tidak terlepas dari situasi
ketergantungan terhadap modal, keahlian dan teknologi dari negara-negara maju,
sehingga berbagai kebijakan dan keputusan dalam industri ini tidak bisa mandiri.
Dominasi teknologi, keahlian dan modal ini semakin tidak menguntungkan negaranegara
dunia ketiga termasuk Indonesia, dalam menjalin hubungan pertukaran
dengan negara maju. Hal senada diindikasikan oleh Martins (dalam Roesnadi, 1979)
dalam penelitiannya di Brazil.
Negara-negara maju juga mempunyai keunggulan dalam penguasaan pangsa
pasar hasil-hasil industri di pasaran dunia. Melalui penguasaan pasar ini, negaranegara
maju dapat mengontrol berbagai produksi barang-barang industri negaranegara
dunia ketiga, bahkan fluktuasi harga barang-barang produksi primer seperti
hasil-hasil pertanian dari negara-negera berkembang di pasaran internasional
semakin menunjukkan bahwa negara maju mempunyai kontrol yang kuat terhadap
perdagangan internsional (Roesnadi, 1979). Oleh karenanya tidaklah mengherankan
apabila petani di negara-negara berkembang yang menghasilkan barang-barang
produksi primer, posisinya semakin terjepit dan tergantung pada berbagai gejolak
yang terjadi di pasaran internasional.
Kondisi negara berkembang sebagaimana juga Indonesia ini seperti
diindikasikan oleh Davies dalam teori barikadenya, ibarat benteng yang mulai menua
dan melemah, yang pada akhirnya sedikit demi sedikit tumbang sehingga terbuka
kesempatan bagi kapitalisme untuk melakukan ekspansi.
KESIMPULAN
Program revolusi hijau telah mampu meningkatkan produktivitas lahan dan
produksi padi secara nasional, tetapi peningkatan produksi ini hanya
menguntungkan petani berlahan luas. Petani berlahan sempit tidak banyak
memperoleh manfaat dari hasil-hasil peningkatan produksi dan bahkan ada
kecenderungan semakin meningkatnya ketimpangan distribusi pendapatan dan
pemilikan lahan antara petani lahan luas dan sempit. Para petani yang memiliki dan
menguasai lahan luas yang notabene juga pemilik modal mempunyai kesempatan
yang lebih besar terhadap akses teknologi maju, sehingga dapat lebih memperluas
usahataninya. Hubungan-hubungan yang dijalin dengan agen pembangunan dan
birokrat desa juga menguntungkan mereka, sementara petani kecil tidak mempunyai
kesempatan yang sama. Kelompok petani kaya juga mempunyai akses terhadap
fasilitas-fasilitas dalam berhubungan dengan pihak luar desa karena hubungan desa
dengan luar desa kebanyakan melalui jalur birokrasi desa. Oleh karena itu para
petani pemilik lahan luas akan mempunyai kesempatan yang besar untuk
mendapatkan peluang-peluang ekonomi dari luar sektor pertanian. Kondisi demikian
pada akhirnya membawa kepada terjadinya kesenjangan pendapatan dan akses
ekonomi yang makin melebar di antara anggota masyarakat pedesaan.
Pengembangan revolusi hijau telah mengakibatkan petani terperangkap dalam
situasi ketergantungan yang makin tinggi di dalam penggunaan input kimiawi.
Bahkan harga-harga input produksi dan kebutuhan-kebutuhan konsumsi yang
meningkat, sementara harga hasil pertanian tidak mampu mengimbangi tuntutan
kebutuhan ekonomi petani mengakibatkan petani terpojok pada situasi yang tidak
menguntungkan. Tidak efektifnya program pembangunan pertanian ini tidak terlepas
dari kurangnya dukungan langkah (kebijakan) terhadap persoalan mendasar dari
pertanian sendiri yakni penataan atau pembaharuan agraria dan penataan
kelembagaan sosial ekonomi masyarakat di pedesaan.

DAFTAR PUSTAKA
Cardoso, F.H. 1972. Dependency and Development in Latin America. New
Left Review, 74. (Pp 112-127).
Collier, W. L. 1978. Masalah Pangan, Pengangguran dan Gerakan Penghijauan di Pedesaan Jawa. Prisma,
No. 1, Tahun VII, Februari
1978. LP3ES. Jakarta.
Dube, S.C. 1988. Modernization and Development : The Search for Alternative Paradigms. Zed Books
Ltd.-UNU. London, New Jersey
and Tokyo.
Long, Norman. 1987. Sosiologi Pembangunan Pedesaan. PT Bina Aksara.
Jakarta.
Mintoro, A. 1984. Distribusi Pendapatan. Dalam Faisal Kasryno (Peny),
Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Roesnadi, S. 1979. Dilema Ketergantungan, Pengalihan Teknologi dan Disiplin Nasional Dunia Ketiga.
Prisma No. 5. Mei 1979. LP3ES.
Jakarta.
Santos, T. D. 1970. The Structure of Dependence. American Economic Review. (Pp 231-236).
Siregar, M. dan Nasution, A. 1984. Perkembangan Teknologi dan mekanisasi di Jawa. Dalam Faisal
Kasryno (Peny), Prospek
Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Suwarsono dan So, Alvin Y. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan di
Indonesia. LP3ES. Jakarta.
Tjondronegoro, S.M.P. 1998. Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan. Dirjen
Dikti, Depdikbud. Jakarta.

PENGAYAAN II

PENGARUH MODERNISASI PERTANIAN TERHADAP PARTISIPASI


PEREMPUAN DI PEDESAAN: SUATU TINJAUAN SOSIOLOGI

HADRIANA MARHEINI MUNTHE


Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Jurusan Sosiologi
Universitas Sumatera Utara

Pendahuluan
TAP MPR No: IV/MPR/1999 tentang GBHN di dalam Bab IV tertera arah
kebijakan pembangunan nasional dalam bidang social dan budaya. Kebijakan dalam
bidang ini meliputi tiga hal yaitu :
1. Kesehatan dan kesejahteraan social
2. Kebudayaan, kesenian dan parawisata
3. Kedudukan dan peranan perempuan.

Sehubungan dengan kebijakan pembangunan dalam aspek social budaya ini maka yang menjadi
persoalan adalah tentang kedudukan dan perempuan pada pembangunan yang telah berlangsung
selama tiga dasawarsa di negara ini. Adapun lengkapnya kebijakan tersebut berbunyi sebagai berikut :
a. Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang
mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadialan gender.
b. Meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan
tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai
historisperjuangan kaum perempuan, dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta
kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Menyimak uraian GBHN ini maka isu wanita masih menjadi sorotan penting dalam pembangunan. Selain
itu timbul pula pemikiran mengapa isu utama wanita dalam pembangunan masih menjadi pokok
persoalan ? Apakah pembangunan merupakan jalan terbaik untuk meningkatkan status maupun
peranan perempuan ?
Mengapa saya pertanyakan, karena kalau saya bisa jujur pembangunan yang selama tiga dasawarsa
dilaksanakan di negara ini telah banyak menimbulkan permasalahaan baru di kalangan perempuan.
Khususnya ini terjadi pada kelompok perempuan tani
di pedesaan. Pembangunan telah banyak merugikan mereka dari sisi kedudukan (baca : status) maupun
peranan (baca : partisipasi).
Beberapa pemerhati masalah perempuan dalam pembangunan telah menilai bahwa pembangunan yang
kita laksanakan selama ini gagal memperhatikan nasib maupun kepentingan perempuan. Partisipasi
perempuan yang secara historis dan traditional yang telah memainkan peranan penting di sector
pertanian pedesaan
telah dihancurkan oleh pembangunan melalui program-program yang disebut dengan Revolusi hijau
(baca : pembangunan pertanian ). Khususnya mengenai Revolusi hijau beberapa ahli social mengatakan
(Ester Boserup, 1975, Irene Tinker, 1975,
Partini dan Dewi, 1993) bahwa revolusi hijau sebagai implementasi dari modernisasi pertanian telah
banyak merusak tatanan masyarakat dipedesaan. Pandangan ini apabila disikapi dari isu gender bahwa
pembangunan pertanian telah menciptakan
perubahan struktur masyarakat. Jika sebelum modeernisasi pertanian diintrodusir ke tengah masyarakat
pedesaan pola hubungan antara pria dan perempuan bersifat hubungan kesetaraan gender atau
keseimbangan gender tetapi setelah modernisasi
diterapkan maka dalam perspektif sosiologis hubungan struktural berubah menjadi ketimpangan
gender. Artinya adanya hubungan dominasi dan subordinasi antara pria dan perempuan didalam setiap
aktivitas kehidupan masyarakat termasuk dalam aktivitas pertanian.
Tentang perspektif modernisasi yang secara teoritis dan praktis telah banyak mengilhami para
pengambil kebijakan pembangunan. Mereka telah melahirkan kebijakkan-kebijakkan pembanguna
disegala bidang. Oleh karena itulah mereka pulalah pihak yang harus bertanggungjawab tasa kegagalan
pembangunan yang
dilaksanakan di Indonesia. Pelaksanaan pembangunan yang diterapkan secara Topdown
Planning dengan asumsi “Tricle down Effect” yang selama ini dianggap berhasil menaikkan
kesejahteraan masyarakat tani ternyata sebaliknya sangat merugikan mereka. Dalam hal ini adalah
kelompok petani perempuan yang secara mayoritas
mereka umumnya adalah petani kelas bawah atau miskin.
Untuk memahami persolan ini maka ada baiknya kita memahami terlebih dahulu seperti apakah ide
modernisasi yang banyak mewarnai kebijakan pembangunan nasional di Indonesia yang pada akhirnya
menimbulkan persoalan baru khususnya pada petani perempuan di pedesaan.
Perspektif Modernisasi, Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa.
Adapun penganut paradiguna modernisasi berpihak pada pandangan bahwa perubahan sosial terjadi
oleh pengaruh modernisasi yang berkembangan dari barat. Pemikiran modernisasi selalu didasarkan
pada peristiwa penting dalam perkembangan masyarakat barat yaitu Revolusi Industri di Inggris dan
Revolusi
Politik di Perancis. Akibat revolusi ini telah membawa perubahan-perubahan di dunia baik dibidang ilmu
pengetahuan, ekonomi, politik, kebudayaan. Perubahan-perubahan
yang membawa masyarakat pada suatu keadaan yang baru,
mewarnai pemikiran tentang proses modernisasi yang terjadi di dunia Barat.
Suwarsono dan So (1991) menulas berbagai pandangan para ahli mengenai hal ini dan mengidentifikasi
pemikiran mereka yang berkaitan dengan perubahan social.
Teori evolusi dan teori fungsionalisme banyak mempengaruhi pemikiran tentang modernisasi sebagai
faktor yang mewujudkan realitas perubahan. Dari sudut pandang ini,perkembangan masyarakat terjadi
melalui proses peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Teori evolusi memandang
perubahab bergerak secara linear dari masyarakat primitif menuju masyarakat maju. Dan bergerak
perubahan itu mempunyai tujuan akhir. Sedangkan teori fungsionalisme, memandang masyarakat
sebagai sebuah sistem yang selalu berada dalam
keseimbangan dinamis. Perubahan yang terjadi dalam unsur sistem itu akan diikuti oleh unsur sistem
lainnya dan membentuk keseimbangan baru.
Penganut modernisasi klasik memandang perkembangan masyarakat akan menuju pada suatu tata
kehidupan masyarakat modern. Smelser, melihat fungsi kelembagaan modern lebihkomplks dari pada
kelembagaan tradisional. Dalam perkembangan ekonomi menurut Rostow, masyarakat modern berada
dalam tahap
komsumsi tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sedangkan masyarakat tradisional
mengalami hanya sedikit perubahan baik dibidang ekonomi maupun social budaya. Sejalan dengan
Smelser, Coleman melihat terjadinya dan tumbuhnya prinsip
kesamaan dan keadilan.
Beberapa ahli meneruskan kajian modernisasi klasik dengan mengamati perkembangan di tingkat
masyarakat. Mc. Cleland, meggunakan pendekatan psikologi. Bagi dia, kemajuan di bidang ekonomi
dipengaruhi tingkat kebutuhan berprestasi. Masyarakat modern di barat memiliki tingkat kebutuhan
berprestasi
yang tinggi. Pendapat Inkeles menyatakan manusia modern tidak memperlihatkan gejala ketegangan
atau penyakit psikologis akibat modernisasi, bahkan menunjukkan pola yang stabil. Selanjutnya ahli
sosiologi Max Weber juga ikut memperkaya kajian
modernisasi melalui studinya tentang pengaruh ajaran agama terhadap kemajuan ekonomi. Bagi Weber
nilai agama (etika) Protestan di barat telah menumbuhkan dorongan pada manusia untuk bekerja keras
sebagai suatu tugas suci untuk mencapai kesejahteraan hidup, Kajian Weber kemudian dikembangkan
oleh Bellah pada masyarakat Jepang. Etika Samurai yang tercermin dalam nilai-nilai agama Tokugawa
resisten dalam perkembangan ekonomi industri modern di Jepang.
Perubahan social dalam pandangan modernisasi klasik, menitikberatkan kemajuan masyarakat modern
terbentuk melalui suatu proses yang sama. Pandangan ini ditinjau kembali oleh para penganut
modernisasi aliran baru. Wong, misalnya menyatakan, kemajuan ekonomi di Hongkong digerakkan oleh
perusahaan-perusahaan yang memiliki sistem organisasi tradisional yang bersifat nepotis, paternalistic
dan kekeluargaan. Kasus Indonesia yang diamati Dove, memperlihatkan
bahwa budaya local mengalami perubahan yang dinamis dalam dirinya. Sedangkan, Davis menilai
ekonomi kapitalisme di Jepang tumbuh oleh terbentuknya rasionalisasi agama dan moral dalam lingkar
barikade budaya. Dari sudut pandang politik, Huntington menyatakan budaya atau agama mempunyai
korelasi yang tinggi dengan demokrasi.
Aliran baru teori modernisasi tersebut mengandung pemikiran bahwa nilai tradisional dapat berubah
oleh karena dalam dirinya mengalami proses perubahan yang digerakkan oleh perkembangan berbagai
factor kondisi setempat misalnya, factor pertumbuhan penduduk, teknik, apresiasi nilai budaya.
Secara keseluruhan perspektif modernisasi pada tahun 1960-an telah diterapkan sebagai model
pembangunan pada masyarakat negara dunia ke III termasuk di antaranya Indonesia. Khusus untuk
Indonesia, Tjondronegoro mengulas revolusi hijau sebagai suatu program pembangunan pertanian yang
diilhami oleh teori modernisasi. Ia membahas tema revolusi hijau sebagai satu strategi untuk
menimbulkan perubahan social dipedesaan Jawa. Menurutnya, revolusi hijau sebernarnya suatu
program intensifikasi tanaman pangan yang membawa ide modernisasi. Perubahan-perubahan tersebut
dapat dilihat dalam beberapa hal,
antara lain dalam hal pengelolaan tanah, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk, penggunaan
sarana-saranaproduksi dan pengaturan waktu panen. Disamping penerapan teknologi, ide modernisasi
juga terlihat dalam hal mengatur kelembagaan
produksi. Seiring dengan pengenalan terhadap pola yang baru dilakukan pula pembenahan terhadap
kelembagaan-kelembagaan yang berkaitan dengan pertanian, seperti : kelompok tani, KUD, PPI, Bank
Perkreditan, P3 A dan sebagainya. Selanjutnya muncul pula pola pengembangan revolusi hijau dalam
bentuk, usaha Ekstensifikasi, Intensifikasi dan Diversifikasi.

Dampak Negatif dari Revolusi Hijau Terhadap Partisipasi Perempuan Desa di Sektor Pertanian.
Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa revolusi hijau telah mendatangkan kemajuan yaitu tercapainya
produksi pertanian yang mencapai puncaknya yaitu swasembada pangan. Namun dibalik kesuksesan ini
semua harus dibayar dengan penderitaan para petani yang sangat diuntungkan oleh pembangunan ini
selebihnya
banyak petani miskin yang tersingkir karena tidak siap menerima perubahan yang ditimbulkan oleh
modernisasi.
Adapun modernisasi di bidang pertanian dengan revolusi hijaunya telah menyebabkan beberapa
masalah di dunia ketiga, khususnya Indonesia seperti :
1. Peningkatan jumlah pengangguran.
2. Merosotnya nilai-nilai tradisional dan bentuk
ikatan lainnya.
3. Norma-norma saling membutuhkan dan ketergantungan yang
hidup dipedesaan mulai menghilang.
4. Terjadinya polarisasi sosial dan
5. Terjadinya penurunan status wanita di pedesaan.
Beberapa sosiologi maupun antropologi yang sekaligus sebagai pengamat pembangunan seperti
Margaret Mead, Rae Lesser Blumberg, Fatima Mernissi dan Tinker menyepakati adanya hubungan
negatif antara pembangunan sosio-ekonomi suatu negara atau modenisasi dengan pembangunan
ekonomi, social dan berbagai
perempuannya. Margaret Mead, misalnya, menegaskan dalam suatu penelitiannya disuatu negara
berkembang bahwa perempuan tidak diberi kesempatan terhadap akses teknik-teknik pertanian
modern, sebagian karenan adanya nilai bahwa perempuan tidak dapat menangani mesin-mesin (T.O.
Ihromi, 1995).
Lebih jauh lagi Irene Tinker menyakinkan kepada kita bahwa status dan peranan perempuan dinegara
berkembangan pada awalnya cukup tinggi dan dihargai oleh masyarakat. Artinya wanita memiliki
partisipasi nyang setara dengan pria dalam kegiatan ekonomi. Tetapi ketika “ Western model middel-
class bias “ dan
pembangunan yang “ sex male-bias “ ini telah merasuki pemikiran perencana pembangunan, mereka
telah mengabaikan arti penting dari peran wanita yang secara tradisional telah dimainkan perempuan di
masyarakat dengan sisitem ekonomi dan pertanian yang subsisten.
Dampak buruk lainnya dari pembangunan yang mengikuti model-model barat yang telah merugikan
perempuan, yaitu mekanisasi dibidang pertanian (dalam arti luas) yang telah menghapuskan peran
ekonomi perempuan yang secara tradisional menjadi bidangnya. Kondisi seperti ini telah
memperlihatkan bagaimana perempuanperempuan yang terdesak dari sektor pertanian sebagai
konsekuensi dari pembangunan terdampar ke kota dengan keterampilan yang minim, menembah
barisan/orang miskin kota, sebagai buruh-buruh murah, pelacur. Inilah yang dikenal
dengan konsep “ pemiskinan perempuan “. Perempuan tani pedesaan merupakan kelompok orang yang
tak berupaya yang tercampal dari proses pembangunan.
Kenyataan yang senada juga dikemukakan oleh Mansour Fakih (1999) bahwa pembangunan di Jawa
telah menimbulkan marginalisasi perempuan atau telah memiskinkan kaum perempuan. Misalnya saja
program Revolusi Hijau di Jawa yang memperkenalkan jenis padi unggul yang tumbuh lebih rendah, dan
pendekatan panen dengan sistemtebang dengan menggunakansabit, tidak memungkinkan lagi
penggunaan ani-ani, masuknya huller juga menggeser peran tradisional perempuan sebagai pemunbuk
padi. Akibatnya banyak kaum perempuan miskin di desa menjadi
termarjinalisasi, partisipasi tradisional mereka sebagai pekerja di sawah menjadi tersingkir. Ini berarti
bahwa program revolusi hijau itu dirancang tanpa memperhitungkan apek gender perempuan.
Sesuai dengan kenyataan ini maka telaah kepada kita bahwa modernisasi sebagai perspektif
pembangunan di Indonesia telah membawa akibat yang fatal terhadap perempuanyang bekerja di
sector pertanian. Konsekuensi kebijakan pembangunan yang direncanakan tanpa mempertimbangkan
aspek gender, khususnya gender perempuan telah menciptakan beberapa hal yaitu :
1. Gagal memperhatikan peran produktif perempuan yang telah dimainkannya yaitu perempuan
partisipasinya sudah tinggi dalam aktivitas ekonomi kemasyarakatannya berubah menjadi lemah bahkan
sama sekali ditiadakan.
2. Mengukuhkan nilai-nilai dari suatu masyarakat dimana aktivitas perempuan dibatasi di sekitar tugas-
tugas rutin rumahtangga, disekitar mengurus anak dan
3. Perspektif modernisasi sebagai strategi pembangunan di negara berkembang menciptakan bias nilai
mengenai pekerjaan apa yang paling cocok untuk perempuan modern di masyarakat sedang
berkembang.
Akhirnya kita dapat menarik beberapa garis dari dampak modernisasi pertanian terhadap partisipasui
pembangunan perempuan dipedesaan sebagai berikut :
1. Perempuan hanya sebagai korban semata dari pembangunan; dengan demikian perempuan tidak
akan pernah menjadi subjek (penikmat) dari pembangunan.
2. Cita-cita pembangunan nasional yang ingin menaikkan peranan dan kedudukkan wanita dalam
kehidupan bangsa dan juga keinginan negara untuk meningkatkan kualitas peran dan kemandirian
organisasi perempuan hanya menjadi harapan semata. Harapan ini hanya tingal harapan apabila model
pembangunan yang selama ini diterapkan tidak dapat mengintegrasikan wanita dalam pembangunan .
Pembangunan yang tadinya bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat khususnya perempuan
sebaliknya hanyalah memperlemah statusnya yaitu wanita menjadi model pembangunan yang tidak
mengindahkan nilai-nilai etis tentang perempuan.
3. Sudah waktunya kita meninggalkan pembangunan yang dalam realita tidak bersikap ramah kepada
perempuan. Perspektif modernisasi sebagai model pembangunan import ala Barat secara structural dan
cultural banyak tidak cocok diterapakan pada perempuan pedesaan yang bekerja sebagai petani.
Oleh karena itu pembangunan ini harus ditinjau kembali. Kita harus mencari model pembangunan yang
berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Sepatutnyalah kita gali model pembangunan yang
peka atau sensitive terhadap gender perempuan.
Sebagai saran yang penting untuk diperhatikan para perumus kebijakan pembangunan bahwa sudah
saatnya kita menentukan model pembangunan yang murni dari kesadaran, kepentingan keinginan dan
kebutuhan dari masyarakat.
Salah satu bentuk pembangunan yang dapat diperhitungkan adalah pendekatan partisipatoris baru.
Dibawah label “ community based resource management “ (Korten, 1988) atau dengan sebutan lain
pendekatan pembangunan sumberdaya berwawasan komunitas. Pendekatan ini tidak lain merupakan
pengembangan dari
pendekatan “ community development “. Pendekatan pengelolaan sumberdaya berwawasan komunitas
ini merupakan suatu elemen dasar dari suatu strategi pembangunan lebih luas yang bertujuan untuk
mencapai suatu transformasi kemasyarakatan berlandaskan nilai-nilai yang berpusat pada manusia
(people centered development values) dan potensi-potensi yang ditawarkan oleh teknologi-teknologi
maju berlandaskan informasi (information-based technologies).
Pendekatan pengelolaan sumber daya berwawasan komunitas merupakan landasan berpijaknya, bukan
birokrasi dan program-program serta proyek-proyek yang dirancang dan dikelola secara terpusat.
Dengan pengertian lain pendekatan pembangunan yang berwawasan komunitas sebagai alternatif
pembangunan pada
masyarakat pertanian pedesaan merupakan pembangunan yang dirancang dan dikelola secara oleh
masyarakat itu sendiri seperti apa yang menjadi kebutuhankebutuhannya, kemampuan-kemampuannya,
dan lebihd ari pada itu penguasaan atas sumber daya dan nasibnya sendiri. Model pembangunan seperti
ini sangat
mendukung terjaganya partisipasi atau peran alami perempuan pedesaan yang hidup dari sektor
pertanian tradisional. Pembangunan yang positif pada perempuan adalah pembangunan yang dapat
mengintegrasikan wanita pada setiap iramanya bukannya
mencampakkan mereka dari proses pembangunan. Mudah-mudahan cita-cita luhur kebijakan
pembangunan yang memperhatikan perempuan sebagaimana yang tertera di GBHN akan menjadi
kenyataan apabila pembangunan yang sedemikian dapat diterapkan.

Tugas 1

MAPU 5102 TEORI DAN ISU PEMBANGUNAN

Tujuan tugas: melalui tugas ini mahasiswa diharapkan mampu membuat satu makalah tentang
"Hubungan globalisasi dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)"

Jenis tugas: makalah

Ruang lingkup tugas: teori dan isu pembangunan yang berhubungan dengan masalah globalisasi
dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)

Deskripsi tugas: 1) Tentukan satu tema dan judul makalah, 2) Buat karangan yang didasarkan
pada tema/judul tersebut dengan mengacu pada materi bahan ajar noncetak/multimedia
MAPU5102 Teori dan Isu Pembangunan (wajib diacu), bahan pengayaan yang terdapat di
inisiasi 2 dan 4, dan bacaan-bacaan lain yang Anda cari sendiri, 3) Karangan harus mengandung
materi-materi yang ada di semua sumber bacaan yang Anda acu (Anda harus menyertakan
catatan perut atau catatan kaki dalam makalah Anda), 4) Format mengikuti format makalah
(Pendahuluan, Pembahasan, Kesimpulan dan Rekomendasi), 5) Sertakan daftar pustaka hanya
dari sumber-sumber yang Anda acu (bacaan yang digunakan dalam catatan perut/catatan kaki
harus sama dengan yang ada di daftar pustaka), 6) Tugas dikumpulkan pada tutor tatap muka dan
tutor tuton tepat pada waktunya

Rambu-rambu penilaian: Poin-poin yang akan dinilai dari tugas ke-1 ini adalah: 1) ketepatan
menyarikan bacaan,

2) ketepatan menganalisis bacaan,

3) ketepatan membuat kesimpulan dan rekomendasi

Kriteria penilaian: Penilaian tugas ke-1 ini didasarkan pada: 1) keaslian tugas misalnya tidak
boleh hanya copy paste dari artikel yang sudah dipublikasikan, 2) keterbacaan dan kejelasan, 3)
teknik penulisan, 4) ketepatan menyarikan dan menganalisis bacaan, 5) ketepatan membuat
kesimpulan dan rekomendasi

Range penilaian dari masing-masing poin adalah 10 - 100


INISIASI III

INISIASI 3
Ide Dasar Teori Dependensi
Kontaks negara maju dengan negara berkembang adalah dalam bentuk investasi, di mana investasi
negara maju di negara berkembang oleh teori dependensi dilihat sebagai bentuk eksploitasi terhadap
negara berkembang.

Ide Dasar Teori Dependensi Klasik


1.keadaan ketergantungan adalah suatu gejala yang sangat umum berlaku bagi seluruh negara dunia ke-
3
2.ketergantungan adalah kondisi yang diakibatkan oleh faktor luar
3.permasalahan ketergantungan cenderung lebih terkait dengan faktor ekonomi
4.situasi ketergantungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses polarisasi regional
ekonomi global
5.keadaan ketergantungan dilihat sebagai suatu hal yang mutlak

A. Tokoh dan Pokok Pikiran Teori Dependensi Klasik


1.Andre Gunder Frank
Dengan konsep “keterbelakangan”, Frank berpendapat bahwa terdapat faktor luar yang menyebabkan
keterbelakangan negara dunia ke-3. Bukan feodalisme dan tradisionalisme yang menyebabkan
keterbelakangan negara dunia ke-3 melainkan kolonialisme. Dengan model “satelit-metropolis”, Frank
menjelaskan bahwa negara satelit (negara berkembang) dieksploitasi oleh negara metropolis (negara
maju) dalam hubungan ekonominya (pengambilan surplus ekonomi secara nasional dan global).

2.Theotonio Dos Santos


Hubungan dua negara atau lebih mengandung bentuk ketergantungan jika beberapa negara (dominant
countries) dapat berkembang dan memiliki otonomi dalam pembangunannya, sementara negara lain
(dependent countries) hanya sekedar merupakan refleksi perkembangan negara dominan

3.Samir Amin
Adanya rintangan-rintangan, yang antara lain muncul dalam bentuk proses pertukaran yang tidak adil
antara negara-negara terbelakang dengan negara-negara maju dengan segala akibatnya - maka proses
transmisi dari situasi ekonomi pra-kapitalis ke situasi ekonomi kapitalis di negara-negara terbelakang ini
mengambil bentuk yang sangat berlainan dari yang pernah dialami oleh negara-negara maju pada waktu
negara-negara ini mengalami proses transisi sehingga negara-negara terbelakang tetap terus
terbelakang

4.Ranjit Sao
Keterbelakangan negara berkembang berhubungan dengan model-model aliansi yaitu aliansi 1) antara
tuan tanah feodal dan petani kaya dengan kelas borjuasi, 2) antara kelas borjuasi dengan kelas kapitalis
asing, 3) antara kelas tuan tanah feodal dan petani kaya dengan kapitalis asing

5.C.T. Kurien
Interaksi antara sistem ekonomi kebutuhan (need-based economy) dan sistem ekonomi kemauan (want-
based economy) membentuk inti dari proses ekonomi yang sebagian besar di negara-negara dunia ke-3
telah menyebabkan keterbelakangan dan kemiskinan pada sebagian besar penduduk negara-negara ini

6.Raoul Prebish
Pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang secara sektoral – yaitu dalam hal ini antara daerah
perkotaan dan pedesaan – di negara dunia ketiga telah menimbulkan urbanisasi prematur dan
deformasi struktural.

7.Celso Furtado
Surplus ekonomi yang dibelanjakan di dalam negeri ternyata digunakan oleh kalangan yang menikmati
surplus ekonomi ini untuk membiayai konsumsi mewah yang tidak terkait dengan kehidupan rakyat
sehingga menimbulkan formasi sosial keterbelakangan

B. Teori Pasca Dependensi


1.Teori Liberal - Sanjay Lall
Ketergantungan yang terjadi seperti di negara berkembang juga terjadi di negara-negara yang secara
sosio-politik tidak dianggap tergantung, misalnya dalam hal dominasi modal asing.

2.Teori artikulasi
Kapitalisme di negara-negara pinggiran tidak dapat berkembang karena artikulasinya atau kombinasi
unsur-unsurnya tidak efisien (koeksistensi cara produksi kapitalisme dengan cara produksi lainnya
bersifat saling menghambat)

3.Teori Sistem Dunia - Wallerstein


Membagi negara ke dalam tiga kelompok yaitu 1) negara pusat, 2) negara semi pinggiran, dan 3) negara
pinggiran. Perbedaan ini dari ketiga kelompok negara ini adalah kekuatan ekonomi dan politik yang
dimilikinya. Dinamika dari ketiga kelompok negara ini (naik dan turunnya status negara) ditentukan oleh
sistem dunia.
PENGAYAAN I

Fakta: Politik Ekonomi Neoliberalisme dan Jatuhnya Mata Uang

Oleh: Eka Sastra (Wasekjen PTKP PB HMI)

Beberapa hari terakhir situasi ekonomi kita diwarnai oleh kepanikan akibat melemahnya nilai rupiah
terhadap mata uang asing sampai batas yang mengindikasikan akan terulangnya krisis mata uang tahun
1997. Angka 11. 500 rupiah sebenarnya menunjukkan masuk akalnya prediksi tentang kemungkinan
terjebaknya ekonomi kita dalam krisis mata uang jilid kedua apalagi langkah-langkah intervensi yang
ditempuh oleh pemerintah dan Bank Indonesia (BI) kelihatannya tidak efektif dalam menguatkan nilai
rupiah. Mengapa intervensi pemerintah dan BI tidak efektif, ada tiga kemungkinan yang bisa
disampaikan disini,pertama bahwa pemerintah dan BI tidak kredible terhadap pasar, kedua semakin
otonomnya pasar dari kontrol domestik dan yang ketiga adalah faktor yang jauh lebih fundamental
sehingga langkah-langkah pemerintah dan BI tidak memiliki implikasi jauh bagi penguatan rupiah.
Pemerintah dan BI termasuk kita semua perlu melakukan refleksi dari semua kemungkinan ini agar
intervensi yang dilakukan dapat efektif dan menjadi first best sollution bagi perbaikan ekonomi nasional.
Dimana sebenarnya masalahnya?

Ketergantungan Terhadap Dollar


Pola transaksi mata uang tentu saja tetap berlandaskan pada prinsip pasar yang terbangun dari dua
kurva yaitu permintaan dan penawaran. Melemahnya rupiah menunjukkan tingginya permintaan
terhadap dollar US yang tidak diiringi dengan tingginya angka penawaran dollar US sehingga mendorong
meningkatnya harga dollar. Mengapa permintaan terhadap dollar US begitu tinggi? Ada dua kelompok
yang mencoba memberikan penjelasan tentang pemicu tingginya angka permintaan terhadap dollar.
Kelompok yang pertama lebih melihatnya sebagai implikasi dari kepanikan bahkan spekulasi sehinga
terjadi pembelian besar-besaran terhadap dollar. Sementara kelompok yang kedua lebih menekankan
pada melemahnya fundamental ekonomi sehingga mendorong tingginya angka permintaan terhadap
dollar. (Thee Kian Wie, 2004: 113-116). Walaupun berangkat dari dua latar pemikiran yang berbeda,
kedua pandangan ini kelihatannya memiliki kemungkinan saling melengkapi. Artinya pelemahan nilai
rupiah bisa jadi disebabkan oleh dua hal ini sekaligus yaitu lemahnya fundamental ekonomi Indonesia
yang mendorong reaksi panik serta spekulasi dari spekulan.

Untuk kasus Indonesia misalnya, tingkat permintaan akan dollar yang begitu tinggi dapat ditunjukkan
dalam APBN yang kita susun maupun dalam pasar uang. Dalam anatomi ABPN, tingginya kebutuhan
akan dollar US yang mendongkrak permintaan dapat dilihat dari angka hutang luar negeri yang jatuh
tempo tahun ini, termasuk juga transaksi ekspor-impor yang menggunakan dollar sebagai alat
transaksinya, defisit perdagangan tentu saja akan mendorong tingginya permintaan terhadap dollar.
Untuk sektor riil kita, rendahnya angka keterkaitan sektoral yang terlihat bila menggunakan input output
tahun 1990, 1995 dan 2000 merefleksikan tingginya angka ketergantungan proses produksi kita
terhadap input eksternal baik bahan baku, bahan setengah jadi maupun bahan jadi. Fenomena ini yang
dijelaskan sebagai deformasi struktural dalam teori dependensi yaitu keterbelahan sektoral sehingga
ketergantungan akan input eksternal sangat tinggi yang tentu saja membutuhkan dollar dalam
transaksinya. Repotnya bahwa defisit perdagangan terjadi karena secara umum sektor manufaktur kita
mengalami defisit. Dari sisi ini, tingginya angka kebutuhan terhadap dollar yang mendongkrak
permintaan dapat dijelaskan sebagai manifestasi tingginya angka ketergantungan ekonomi domestik
dan absennya kemandirian ekonomi bangsa (Eka, 2002).

Di pasar uang, investasi portofolio yang memiliki angka ketidakpastian tinggi menunjukkan trend yang
juga sangat tergantung pada dollar US. Repotnya bahwa investasi di portofolio ini adalah investasi yang
tidak dapat dikontrol sehingga setiap saat dollar dapat terbang mendadak (capital flight). Kinerja
investasi portofolio inilah yang ditenggarai menjadi salah satu pemicu dari parahnya krisis ekonomi
Indonesia (Tambunan, 1998). Tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap dollar dapat ditemukan
disektor ini sehingga pasokan dollar sangat dibutuhkan dan tambahannya bahwa sewaktu-waktu
kemungkinan terjadinya capital flight yang menghabiskan cadangan dollar sangat terbuka
kemungkinannya disektor portfolio ini. Aksi profit taking, kepanikan dan spekulan sangat terbuka
peluangnya disketor ini.

Neoliberalisme dan Ketergantungan Ekonomi Indonesia


Dengan fundamental ekonomi Indonesia seperti ini, tentu saja kebutuhan akan dollar menjadi prinsip
dasar bagi bergeraknya produksi domestik. Permintaan ini tanpa diimbangi oleh penawaran dollar tentu
saja akan mengimplikasikan pelemahan rupiah secara permanen. Penawaran akan dollar secara
fundamental disebabkan oleh beberapa hal seperti investasi asing, peningkatan ekspor bahkan yang
paling buruk adalah hutang luar negeri. Sayangnya bahwa laju investasi yang rendah tidak mampu
menyediakan pasokan dollar yang memadai akibat rendahnya kinerja investasi asing kita. Kinerja ekspor-
impor kita disamping mengalami defisit juga memberikan penjelasan sederhana bahwa eksportir kita
ternyata lebih suka memarkir dollarnya di luar negeri sehingga tetap saja cadangan dollar kita tidak
mampu mengimbangi angka permintaan yang tinggi. Sementara hutang luar negeri kita sudah
menunjukkan negative transfer, lebih banyak yang harus kita bayar daripada yang kita terima. Bahkan
hutang luar negeri kita bukan hanya negative trasfer bahkan menunjukkan trend debt trap, terjebak
permanen dalam utang luar negeri.

Apa artinya semua ini? Bahwa ekonomi kita sangat tergantung terhadap input domestik. Hal yang
selama ini dikampanyekan oleh pemikir neolib bahwa keterbukaan ekonomi dan tidak adanya intervensi
pemerintah akan menghilangkan distorsi ekonomi dan mendorong ekonomi pada titik ekuilibrium yang
menguntungkan semua pihak. Mereka lupa menyampaikan kalau ketergantungan memiliki derajat
berbeda dalam polanya, ada saling ketergantungan yang setara dan ada saling ketergantungan dimana
satu pihak mengalami subordinasi secara permanen. Krisis ekonomi dan macetnya produksi domestik
sampai –13,7% kecuali sektor pertanian, pertambangan dan kebutuhan umum menjelaskan betapa
lemahnya fundamental ekonomi kita dan tingginya angka ketergantungan ekonomi kita. Mereka juga
lupa menyampaikan bahwa permintaan dan penawaran tidak berjalan secara alamiah dan kadang
melahirkan kelompok yang kalah, sehingga intervensi pasar menjadi sangat penting. Suatu hal yang
sangat ditabukan oleh rezim neoliberalisme.
Situasi ketergantungan yang ada tentu saja akan menjadi lahan empuk bagi para spekulan dan sekaligus
menciptakan efek panik. Bayangkan ditengah tingkat kebutuhan akan dollar yang tinggi, baik untuk
input produksi domestik, membayar hutang ataupun kebutuhan lainnya yang tidak dapat ditunda. Dan
pada saat itu pula spekulan melakukan pembelian besar-besaran terhadap dollar yang terjadi adalah
betapapun mahalnya dollar akan kita beli karena kebutuhan yang mendesak dan bayangkan aksi panik
yang menyertainya. Pada saat yang bersamaan, langkah intervensi pasar menjadi sangat terbatas akibat
rezim kurs dan devisa bebas serta deregulasi di sektor moneter yang telah dipaksakan ke kita oleh
pemilik modal internasional. Beginilah nasib bangsa yang ekonominya terjajah. 

Dari ketergantungan ke kemandirian


Berangkat dari potret ketergantungan diatas, tanpa ada pembenahan pada fundamental ekonomi
Indonesia secara radikal, yang terjadi hanyalah pengulangan krisis secara permanen. Harus ada
terobosan baru dari pemerintahan yang ada untuk menguatkan perekonomian nasional dan sekaligus
menghilangkan ketergantungan yang kita derita. Secara sederhana, bila ekonomi kita tertata secara
mandiri, tingkat kebutuhan akan input eksternal seperti barang dan dollar dapat diminimalisir sehingga
gejolak mata uang malah akan menguntungkan kita. Karena itu agenda besarnya adalah bagaimana
mewujudkan tatanan ekonomi bangsa yang mandiri. Untuk itu dibutuhkan politicall will dari
pemerintahan yang ada untuk merombak tatanan perekonomian nasional dalam kerangka mewujudkan
kemandirian. Negara-negara lain yang terlibat dalam hubungan internasional sebenarnya menyiapkan
tatanan ekonomi bangsanya yang mandiri setelah itu baru berani untuk mendorong isu pasar bebas
ataupun keterbukaan ekonomi. Tidak serta merta melakukannya seperti bangsa kita sehingga menjadi
sapi perahan dari globalisasi ekonomi yang sedang terjadi.

Dalam kerangka mewujudkan kemandirian ekonomi nasional, yang penting adalah bagaimana
mengidentifikasi potensi dan sumber daya yang kita miliki. Potensi pasar dan produsen sebenarnya telah
kita miliki, hanya saja praktek rent seeking seperti korupsi dan agenda neoliberalisme telah
menggerogoti potensi dan sumber daya tadi. Karena itu, langkah awal untuk mendorong isu
kemandirian adalah membersihkan para rent seekers dan neoliberalis tadi dan jalannya hanyalah
dengan menguatkan penataan ekonomi nasional. Untuk itu kembali lagi dibutuhkan pemerintahan
dengan kabinetnya yang memiliki pemahaman akan masalah dan politicall will untuk melaksanakannya.
Sebuah langkah yang nyaris menjadi utopia tapi apa salahnya berharap dan mulai mendesakkannya
secara serius?

(sumber: http://pembaharuan-hmi.com/modules.php?name=News&file=article&sid=2)
PENGAYAAN II

Kemanusiaan, Teori Modernisasi, dan Dependensi


Oleh Agus Haryadi

TEPAT ketika Eropa, dan negara-negara Barat pada umumnya, memutuskan untuk melakukan
pembongkaran teologis dengan memulai sejarah kapitalisme lewat konsep the Calling (Beruf dalam
bahasa Jerman), maka industrialisasi dan modernisasi menjadi gelombang pasang yang tak terhindarkan.
Lahirnya kelas borjuasi baru, yang menurut Web-ber ahistoris, memperkuat tesis yang diyakininya dalam
The Ethic Protestant and The Spirit of Capitalism, bahwa radikalisasi etika Protestan secara efektif telah
menciptakan bangunan baru berupa suprastruktur masyarakat kapitalis modern.

Yang sepenuhnya dilandasi pada relasi sosial yang rasional, industry oriented, modern, efektif, efisien,
dan kosmopolitan. Emile Durkheim menyebutnya dengan term masyarakat organik.
Di awal kelahirannya, industrialisasi telah menunjukkan gejala-gejala yang dapat mengancam
ekuilibrium diversitas antarkelas dalam masyarakat. Lepasnya negara dari konstruksi sosial yang
terdapat di dalam masyarakat, telah berhasil menciptakan pasar yang demikian bebas. Laissez Faire!
Begitu kurang lebih yang diteriakkan mereka yang meyakini kapitalisme-liberal sebagai sumber
pemecahan masalah antara negara dengan masyarakat dan aspek-aspek ekonominya. Negara hanya
sekadar pelaku netral, di luar masyarakat, yang melegitimasi distribusi aset-aset kapital kepada mereka
yang memiliki kemampuan mengelola.

Abad 18 menjadi saksi kekejaman betapa kapitalisme telah melahirkan masyarakat yang sakit.
Kesenjangan sosial yang tinggi antara pemilik modal dengan kaum buruh telah memberikan efek
dehumanisasi terhadap kelas pekerja. Eksploitasi tenaga buruh secara kejam bersembunyi di balik
slogan demokrasi dan modernitas. Kesejahteraan diabaikan. Pada era seperti inilah anak-anak zaman
seperti Marx dan Engels lahir dan dibesarkan. Kesadaran revolusioner kelas pekerja telah
membangkitkan semangat kaum buruh untuk merebut kembali hak-hak mereka yang sebelumnya tak
didapatkan. Dan gelar manusia-manusia pemberontak pun disematkan secara sepihak di dada-dada
kaum revolusioner oleh pemilik kapital yang diuntungkan oleh situasi status quo kapitalisme-liberal.

Untunglah kapitalisme segera menyadari diri. Kemunculan gagasan dasar neoliberal bersikeras
menjembatani problema masyarakat dengan negara. Ide-ide yang muncul antara lain melalui gagasan
Keynesian telah menggeser kebijakan ekonomi liberal menjadi statisme (state-isme)-bukan etatisme-
yang mengarah pada menguatnya peran negara selaku penyelenggara kesejahteraan rakyat. Kapitalisme
mereinkarnasikan dirinya dalam tampilan yang (sedikit) lebih humanis lewat neoliberalisme. Di batu
ganjalan pertama ini, kapitalisme (untuk sementara?) lulus dari ujian tersebut. Namun, kita tak dapat
secara tepat memastikan apakah kapitalisme akan berhasil lolos dalam ujian-ujian selanjutnya
sebagaimana diyakini Francois Fukuyama yang dengan dramatis menyebutnya sebagai the end of
history.
***
DALAM perkembangan selanjutnya, teori modernisasi diletakkan sebagai upaya menciptakan replikasi
model pembangunan bergaya liberal untuk diadopsi negara-negara Dunia Ketiga. Pendekatan pertama
dimunculkan oleh Webber yang melihat variabel etos sebagai varian utama dalam melihat
keterbelakangan Dunia Ketiga. Tesis ini diperkuat oleh McClelland yang meyakini kondisi psikologis
prakondisi suatu masyarakat dalam memandang prestasi (the need for achievement) secara signifikan
berkorelasi positif terhadap kelangsungan pembangunan.
Lewat modernisasi pulalah kemudian diperkenalkan tahap-tahap pembangunan politik maupun
ekonomi sebagai gerak perubahan yang unilinear dan gradual. Di dalamnya terdapat pemahaman
mengenai teori evolusi yang menganalogikan masyarakat sebagai makhluk organik, yang lahir, tumbuh
berkembang menjadi dewasa, dan akhirnya mati. Demikian halnya dengan pembangunan politik, yang
(telanjur) menjadikan Barat sebagai model puncak modernitas dalam tahap-tahap pembangunan.

Adopsi atas model pembangunan Barat di Dunia Ketiga yang mulai berlangsung pasca-Perang Dunia
Kedua, telah memberikan warna tersendiri bagi Indonesia dan negara-negara Dunia Ketiga lainnya.
Hingga hari ini, ternyata modernisasi tak kunjung mampu mengangkat martabat Dunia Ketiga sejajar
dengan negara-negara maju lainnya. Sebaliknya, eksploitasi transnasional yang muncul dalam wujud
penanaman modal asing menggeser dan menggantikan bentuk kolonialisme yang semenjak lama
dilakukan Barat terhadap Dunia Ketiga. Lewat isu HAM dan demokrasi, Barat memperlakukan Dunia
Ketiga tak lebih dari sekadar anak didik yang bisa terus ditekan hingga melampaui batas titik normal.
Indonesia dan negara Dunia Ketiga lainnya kian terpuruk, bahkan Indonesia khususnya, hampir-hampir
mencapai titik nadir kebangkrutan sebagai bangsa, yang dimulai semenjak satu dekade terakhir Orde
Baru hingga hari ini.

Kesadaran Dunia Ketiga mulai muncul dipelopori negara-negara Amerika Latin. Prebisch, Gunder Frank,
dan Cardoso, adalah tiga nama yang bertanggung jawab mempopulerkan semangat kemandirian Dunia
Ketiga dalam menghadapi negara maju. Bagi mereka, tak ada jalan selain bahwa Dunia Ketiga harus
dipaksa masuk dalam percaturan dinamika industri di tingkat dunia. Hal inilah yang menginspirasikan
Indonesia dan sebagian besar negara Dunia Ketiga lainnya yang berdampak pada munculnya ideologi
pembangunanisme di samping ideologi formal yang telah ada. Manusia tak ditempatkan sesuai dengan
kemanusiaannya, melainkan tak lebih sebagai robot-robot pembangunan pelengkap instrumen
kapitalisme berskala nasional.

Agak berbeda dari negara-negara kapitalisme Barat yang telah lebih dulu memasuki industrialisasi,
Dunia Ketiga memiliki logikanya tersendiri dalam menciptakan masyarakat industri. Di Dunia Ketiga,
kebijakan industri justru muncul sebagai inisiatif negara, bukan masyarakat. Bila di Eropa dan negara-
negara Barat lainnya industrialisasi berdampak pada demokratisasi politik, maka sebaliknya, kondisi
obyektif Indonesia dan Dunia Ketiga lainnya, pasca-industrialisasi justru menampilkan wajah lain berupa
terbentuknya pemerintahan otoriter yang secara sepihak menempatkan pembangunan sebagai basis
ideologi negara dengan membunuh dimensi humanitas masyarakat, dan sekadar menjadikannya sebagai
obyek pembangunan.
Hingga akhir tahun 1983, se-iring dengan jatuhnya harga minyak di pasaran dunia yang membawa
perekonomian Indonesia kian surut, tersadari bahwa ketika pembangunan telah diposisikan sebagai
ideologi sesungguhnya pembangunan telah memberikan dampak berupa tindak kekerasan dan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Dan bahkan, pada tingkat tertentu pembangunan telah berganti
kelamin menjadi kekerasan itu sendiri.
***

PERTUMBUHAN ekonomi yang mendapatkan prioritas dari pemerintahan Orde Baru telah melepaskan
manusia dari kemanusiaannya. Politik menjadi barang tabu bagi masyarakat, kecuali bagi mereka yang
dibenarkan oleh pemerintah. Itu pun tak lepas dari bentuk-bentuk korporatisme negara. Ideologi selain
Pancasila dan pembangunan menjadi barang haram yang setiap waktu dapat mengancam keselamatan
jiwa para penganutnya. Tak terhitung jumlah korban kemanusiaan yang harus jatuh atas nama
pembangunan dan kepentingan nasional dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir.

Sebagian besar, untuk tidak mengatakan seluruhnya, kebijakan yang dibuat pemerintahan Orde Baru
secara oposisional berhadapan dengan dimensi lain dari kepentingan masyarakat. Pemerintah secara
sistematis menjustifikasi kejahatan kemanusiaan atas nama pembangunan, dan menggusur rakyat dari
rumahnya sendiri melalui stigmatisasi penghambat pembangunan. Derita yang diperoleh rakyat
menemukan korelasi positifnya seiring dengan kian meningkatnya akselerasi pemerintah dalam
mengkampanyekan ideologi pembangunan.

Di titik inilah kemudian terjadi diskoneksitas yang gamang antara kehendak pembangunan dengan
ekspektasi kaum pekerja yang sesungguhnya menjadi core dalam proses pembangunan. Yang dengan
posisinya semacam ini, seharusnya menjadi dominan dalam pembangunan ekonomi dan politik dalam
melahirkan sebuah kebijakan.

Kegagalan modernisasi dan dependensi sebagai dua pendekatan teori pembangunan tentu
mengindikasikan eksistensi variabel lain yang masih invisible untuk dicermati. Bahwa sesungguhnya
pembangunan tak hanya sekadar melibatkan kerja-kerja otot yang ditempatkan sebagai obyek
pembangunan. Di sinilah pemahaman yang komprehensif akan kondisi obyektif suatu bangsa sangat
dibutuhkan.

Mungkin benar apa yang dikatakan Hirschman, "Harus ada konfrontasi yang cukup lama antara manusia
dengan situasi, sebelum sebuah kreativitas atau solusi lahir." Ungkapan tersebut menarik, karena
sejumlah varian yang mempengaruhi kondisi-kondisi obyektif suatu bangsa memang berbeda dari
bangsa lainnya. Perbedaan itu pula yang akhirnya membawa dampak perbedaan dalam orientasi
pembangunan di setiap negara. Yang menjadi penting dalam konteks ini adalah penghargaan atas situasi
kultural yang secara subyektif menjadi penentu paling signifikan atas keberhasilan pembangunan.
Dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek utama pembangunan, maka penghargaan atas
kemanusiaan dijunjung tinggi. Dan sebaliknya, menempatkan manusia-manusia pembangunan dengan
sebutan SDM (sumber daya manusia) harus segera dieliminasi, karena telah terjebak dengan
menempatkan manusia sebagai faktor produksi yang tak berbeda dari faktor-faktor produksi lain yang
tak memiliki "nilai kemanusiaan".

Pembangunan yang dikampanyekan pemerintah tak seharusnya dimanifestasikan sebagai


reduksionisme atas humanitas yang selayaknya dihormati. Pembangunan yang berorientasi
kemanusiaan adalah pembangunan yang menempatkan kesejahteraan dan kebebasan
mengaktualisasikan diri sebagai variabel utama pembangunan. Dengan menghindari keterjebakan dari
semangat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mengejar setinggi-tingginya penanaman modal
asing. Namun, bermuara pada tergadaikannya core kebangsaan melalui aliansi segitiga antara
kelompok-kelompok feodal, birokrasi, dan kapitalisme internasional.
Semangat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, an sich, terbukti tak cukup mampu memenuhi kebutuhan
substansial masyarakat. Bahkan pada tingkat tertentu, sebenarnya, masyarakat bersedia untuk hidup
menempuh kesulitan di awal pembangunan. Asalkan hal yang sama juga dilakukan oleh elite-elite
pemerintahan yang sewajarnya memberikan keteladanan politik. Tak masalah bagi rakyat untuk
membangun perekonomian dari bawah, asal pemerataan dapat dilangsungkan.

Di samping itu, untuk menjawab terjadinya diskoneksitas antara ekspektasi publik dengan elite birokrasi
pemerintahan, maka harus muncul semacam jaminan dari institusi negara untuk menjaga pranata bagi
partisipasi yang otonom dari masyarakat. Negara mesti berbesar hati memberikan kewenangan yang
lebih luas kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses-proses artikulasi dan agregasi politik.
Penciptaan korporatisme negara dalam berbagai wujudnya hanya akan mengkreasikan kembali
dehumanisasi dalam wajahnya yang menyeramkan.

Indonesia harus secepatnya menemukan orientasi pembangunan dengan segala falsafah


kemanusiaannya. Pembangunan yang melepaskan diri dari kemanusiaan, entah dalam perspektif
modernisasi maupun dependensi, dapat dipastikan akan berakhir dengan kegagalan. Dependensi
menginspirasikan keyakinan baru dalam manusia-manusia Dunia Ketiga, bahwa untuk mengejar
ketertinggalan, mau tak mau, industri adalah keniscayaan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang
pesat. Di lain pihak, adopsi pembangunan politik dan ekonomi dalam riwayat panjang modernisasi akan
sangat bermanfaat sebagai pelajaran berharga untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan
kapitalisme kejam abad 18. Titik temu dependensi dan modernisasi dalam kemanusiaan, adalah
pembangunan yang indah.
* Agus Haryadi, Kepala Divisi Pusat Studi Agama dan Peradaban, tergabung dalam Political Science
Forum.

(sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0104/05/opini/kema04.htm)

You might also like