Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Setiap mahluk hidup membutuhkan makanan untuk mempertahankan kehidupannya, karena didalam
makanan terdapat zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh untuk melakukan kegiatan metabolismenya.
Bagi lansia pemenuhan kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat membantu dalam proses
beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang dialaminya selain itu dapat
menjaga kelangsungan pergantian sel-sel tubuh sehingga dapat memperpanjang usia.
Kebutuhan kalori pada lansia berkurang karena berkurangnya kalori dasar dari kebutuhan fisik. Kalori
dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk malakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat,
misalnya : untuk jantung, usus, pernafasan dan ginjal.
Berdasarkan kegunaannya bagi tubuh, zat gizi dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu :
• Bahan makanan yang mengandung karbohidrat seperti beras, jagung, gandum, ubi, roti,
singkong dan lain-lain, selain itu dalam bentuk gula seperti gula, sirup, madu dan lain-lain.
• Bahan makanan yang mengandung lemak seperti minyak, santan, mentega, margarine, susu
dan hasil olahannya.
Kelompok ini meliputi makanan – makanan yang banyak mengandung protein, baik protein hewani
maupun nabati, seperti daging, ikan, susu, telur, kacangkacangan dan olahannya.
1. Gizi berlebih
Gizi berlebih pada lansia banyak terjadi di negara-negara barat dan kota-kota besar. Kebiasaan makan
banyak pada waktu muda menyebabkan berat badan berlebih, apalai pada lansia penggunaan kalori
berkurang karena berkurangnya aktivitas fisik. Kebiasaan makan itu sulit untuk diubah walaupun
disadari untuk mengurangi makan.
Kegemukan merupakan salah satu pencetus berbagai penyakit, misalnya : penyakit jantung, kencing
manis, dan darah tinggi.
2. Gizi kurang
Gizi kurang sering disebabkan oleh masalah-masalah social ekonomi dan juga karena gangguan
penyakit. Bila konsumsi kalori terlalu rendah dari yang dibutuhkan menyebabkan berat badan kurang
dari normal. Apabila hal ini disertai dengan kekurangan protein menyebabkan kerusakan-kerusakan
sel yang tidak dapat diperbaiki, akibatnya rambut rontok, daya tahan terhadap penyakit menurun,
kemungkinan akan mudah terkena infeksi.
3. Kekurangan vitamin
Bila konsumsi buah dan sayuran dalam makanan kurang dan ditambah dengan kekurangan protein
dalam makanan akibatnya nafsu makan berkurang, penglihatan menurun, kulit kering, penampilan
menjadi lesu dan tidak bersemangat.
a. Penimbangan BB dilakukan secara teratur minimal 1 minggu sekali, waspadai peningkatan BB atau
penurunan BB lebih dari 0.5 Kg/minggu. Peningkatan BB lebih dari 0.5 Kg dalam 1 minggu beresiko
terhadap kelebihan berat badan dan penurunan berat badan lebih dari 0.5 Kg /minggu menunjukkan
kekurangan berat badan.
3. Kekurangan vitamin D
Biasanya terjadi pada lansia yang kurang mendapatkan paparan sinar matahari, jarang atau tidak
pernah minum susu, dan kurang mengkonsumsi vitamin D yang banyak terkandung pada ikan, hati,
susu dan produk olahannya.
1. Makanan harus mengandung zat gizi dari makanan yang beraneka ragam, yang terdiri dari : zat
tenaga, zat pembangun dan zat pengatur.
2. Perlu diperhatikan porsi makanan, jangan terlalu kenyang. Porsi makan hendaknya diatur merata
dalam satu hari sehingga dapat makan lebih sering dengan porsi yang kecil.
Contoh menu :
3. Banyak minum dan kurangi garam, dengan banyak minum dapat memperlancar pengeluaran sisa
makanan, dan menghindari makanan yang terlalu asin akan memperingan kerja ginjal serta mencegah
kemungkinan terjadinya darah tinggi.
4. Batasi makanan yang manis-manis atau gula, minyak dan makanan yang berlemak seperti santan,
mentega dll.
5. Bagi pasien lansia yang prose penuaannya sudah lebih lanjut perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
6. Batasi minum kopi atau teh, boleh diberikan tetapi harus diencerkan sebab berguna pula untuk
merangsang gerakan usus dan menambah nafsu makan.
7. Makanan mengandung zat besi seperti : kacang-kacangan, hati, telur, daging rendah lemak, bayam,
dan sayuran hijau.
8. Lebih dianjurkan untuk mengolah makanan dengan cara dikukus, direbus, atau dipanggang kurangi
makanan yang digoreng
1. Sarankan untuk mengkonsumsi makanan berserat tinggi setiap hari, seperti sayuran
dan buah-buahan segar, roti dan sereal.
2. Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 8 gelas cairan setiap hari untuk
melembutkan feses.
3. Anjurkan untuk tidak menggunakan laksatif secara rutin , karena pasien akan menjadi
tergantung pada laksatif.
1. Bahan makanan sumber karbohidrat (zat energi) : nasi, bubur beras, nasi jagung,
kentang, singkong, ubi, talas, biskuit, roti , crakers, maizena, tepung beras, tepung terigu,
tepung hunkwe, mie, bihun.
2. Bahan makanan sumber lemak (zat energi) : Minyak goreng, minyak ikan, margarin,
kelapa, kelapa parut, santan, lemak daging.
3. Bahan makanan sumber protein hewani : Daging sapi, daging ayam, hati, babat, usus,
telur, ikan, udang.
4. Bahan makanan sumber protein nabati : Kacang ijo, kacang kedelai, kacang merah,
kacang tanah, oncom, tahu, tempe.
1. Benar obat : obat yang diberikan harus sesuai dengan resep dokter.
2. Benar dosis : jumlah obat yang diberikan tidak dikurangi atau dilebihkan. Penting
diingat jenis obat antibiotik harus diberikan sampai habis.
3. Benar pasien : Pastikan obat diminum oleh pasien yang bersangkutan.
4. Benar cara pemberian yaitu melalui oral : berikan obat melalui mulut atau sonde.
5. Benar waktu : Pastikan pemberian obat tepat pada jadwalnya, misalnya 3 x 1 berarti
obat diberikan setiap 8 jam dalam 24 jam ; jika 2 x1 berarti obat diberikan setiap 12 jam
sekali.
http://www.smallcrab.com/lanjut-usia/527-kebutuhan-nutrisi-pada-lansia
Terapi Kombinasi pada Hipertensi
Namun, terapi tersebut menimbulkan pengaruh yang berbeda pada tiap orang. Karenanya,
terapi kombinasi sangat diperlukan. Tekanan darah tinggi merupakan peningkatan tekanan
darah yang menetap di atas batas normal. Orang dianggap menderita hipertensi bila
tekanan sistolik di atas 140 mmHg (milimeter air raksa) dan atau tekanan diastoliknya di
atas 90 mmHg.
Kenaikan tekanan darah diastolik dipandang lebih berbahaya daripada sistolik, karena
umumnya lebih menetap dan membebani kerja jantung. Untuk pengecekan tekanan darah,
perlu dilakukan dua atau tiga kali pemeriksaan. Untuk satu kali pemeriksaan, dianggap tak
mencukupi karena tekanan darah cenderung berubah-ubah dari jam ke jam.
Penyebab tekanan darah yang paling sering adalah aterosklerosis atau penebalan dinding
arteri yang membuat hilangnya elastisitas pembuluh darah. Sebab lainnya adalah faktor
keturunan, bertambahnya jumlah darah yang dipompa jantung, penyakit pada ginjal,
kelenjar adrenal, dan sistem syaraf sipatis. Pada mereka yang hamil, kelebihan berat
badan, stres, dan tekanan mental, hipertensi pun kerap menghinggapinya. Akibat dari
hipertensi bisa beragam, seperti komplikasi pembesaran jantung, penyakit jantung koroner,
dan pecahnya pembuluh darah otak.
Bahkan, hipertensi ini bisa juga menyebabkan kematian. Pengobatan hipertensi selama ini
didasarkan pada penyebabnya. Penanganan hipertensi meliputi kombinasi pemberian obat,
pengaturan diet, dan olahraga. Penderita pun perlu mengontrol tekanan darahnya secara
rutin. Dalam langkah terapi optimal hipertensi (HOT), terdapat terapi tunggal dan
kombinasi. Ternyata, dalam penelitian yang dilakukan PT Boehringer Ingelheim (PBI), untuk
monoterapi dengan pengobatan tunggal, hanya efektif untuk mengontrol tekanan dengan
hasil mencapai 40 persen sampai 50 persen pasien.
Responnya pun sangat rendah. Monoterapi tak cukup memberikan kontrol tekanan darah
yang efektif terhadap pasien dengan berbagai faktor risiko seperti diabetes, stroke, penyakit
jantung koroner, pasien lanjut usia, dan gemuk. Panduan penatalaksanaan hipertensi yang
disusun WHO, JNC-VII-USA pada Mei 2003, merekomendasikan pada pasien hipertensi
dengan berbagai risiko untuk mencapai target penurunan tekanan darah yang diinginkan.
Dari awal, terapi sudah dapat dimulai dengan cara kombinasi. Rekomendasi target dari
panduan internasional tersebut adalah tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg bagi
pasien tanpa faktor risiko, kurang dari 130/85 mmHg pada pasien hipertensi dengan
diabetes atau gangguan fungsi ginjal, dan kurang dari 125/85 mmHg pada pasien hipertensi
dengan gangguan fungsi ginjal dan proteinurea yang lebih dari 1 gram per 24 jam.
Terapi kombinasi sangat efektif bagi pasien angiotensin II receptor antagonist (AIIRA) dan
diuretik (hydrochlorothiazide-HCTZ). Terapi ini menggunakan zat aktif dari berbagai kelas
obat antihipertensi dengan efek berbeda tapi saling melengkapi. Pasien dengan terapi
kombinasi, dosisnya lebih kecil daripada dosis monoterapi sehingga efek samping yang
terjadi relatif juga lebih rendah. Seperti yang disampaikan oleh Prof Dr Jose Roesma PhD
SpPD-KGH, tentang penggunaan pengobatan kombinasi yang rasional.
Fokusnya adalah pada pengobatan telmisartan dan HCTZ. Penyampaian ini dilakukan
beberapa waktu lalu di Jakarta, dalam seminar yang diselenggarakan Boehringer Ingelheim.
Keuntungan terapi kombinasi adalah adanya dua zat aktif dalam satu tablet hingga mudah
dan praktis dipakai. "Sedangkan, kontrol tekanan darah lebih optimal dibandingkan
monoterapi," ujar Jose. Tak hanya itu saja. Terapi kombinasi sangat efektif menurunkan
tekanan darah sistolik pada lanjut usia dan pasien dengan berbagai risiko. Keuntungan
utama dari terapi ini adalah biaya terapi yang lebih rendah.
Penelitian di Eropa
Dalam penelitian yang dipimpin oleh HC Diener dengan dukungan PBI, merinci studi
pencegahan stroke di Eropa. Penelitian European Stroke Prevention Study kedua (ESPS-2)
ini meliputi 59 klinik dari 13 negara dengan responden sebanyak 6.602 orang. Studi ini
membuktikan efektivitas kombinasi dipyridamole lepas lambat dengan ASA (acetyl salicyl
acid) dalam mencegah stroke sekunder atau TIA (transiet ischemic attack).
HC Diener mengawali studi ini secara random, plasebo kontrol, dan samar ganda untuk
mengetahui efektivitas dan keamanan pemberian ASA dosis rendah, dipyridamole Iepas
lambat dan kombinasi keduanya. Setelah dua tahun, tim peneliti menyimpulkan bahwa ASA
dosis rendah dan dipyridamole efektif menurunkan risiko stroke secara jelas (1:1.000),
termasuk risiko stroke dengan kematian (1:100). Dibandingkan dengan kelompok plasebo,
papar Diener, risiko stroke pada ASA, berkurang 18 persen, dan pada dipyridamole menjadi
16 persen.
Untuk terapi kombinasi keduanya, terdapat penurunan risiko stroke menjadi 37 persen.
Artinya, penelitian ini menunjukkan, risiko stroke sekunder dengan kombinasi kedua
pengobatan ini menurunkan risikonya dua kali lipat lebih efektif dibanding terapi tunggal
dari kedua pengobatan tersebut.
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1078805826,57204,
Gejala, Penyebab, dan Akibat Stroke
Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan
kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan
oksigen ke otak. Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini bisa dikarenakan adanya
sumbatan, penyempitan atau pecahnya pembuluh darah.
WHO mendefinisikan bahwa stroke adalah gejala-gejala defisit fungsi susunan saraf yang
diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh yang lain dari itu.
Stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu: stroke iskemik maupunstroke hemorragik.
Stroke iskemik yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke
otak sebagian atau keseluruhan terhenti. 80% stroke adalah stroke Iskemik. Stroke iskemik
ini dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak.
Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi.
Jika tanda-tanda dan gejala tersebut hilang dalam waktu 24 jam, dinyatakan
sebagai Transient Ischemic Attack (TIA), dimana merupakan serangan kecil atau
serangan awal stroke.
Faktor resiko perilaku, antara lain Merokok (aktif & pasif), Makanan tidak sehat (junk
food, fast food), Alkohol, Kurang olahraga, Mendengkur, Kontrasepsi oral, Narkoba, Obesitas.
80% pemicu stroke adalah hipertensi dan arteriosklerosis, Menurut statistik. 93% pengidap
penyakit trombosis ada hubungannya dengan penyakit tekanan darah tinggi.
Pemicu stroke pada dasarnya adalah, suasana hati yang tidak nyaman (marah-marah),
terlalu banyak minum alkohol, merokok dan senang mengkonsumsi makanan yang
berlemak.
Setelah stroke, sel otak mati dan hematom yg terbentuk akan diserap kembali secara
bertahap. Proses alami ini selesai dlm waktu 3 bulan. Pada saat itu, 1/3 orang yang selamat
menjadi tergantung dan mungkin mengalami komplikasi yang dapat menyebabkan
kematian atau cacat
Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah tersebut:
Hanya 10-15 % penderita stroke bisa kembali hidup normal seperti sedia kala, sisanya
mengalami cacat, sehingga banyak penderita Stroke menderita stress akibat kecacatan
yang ditimbulkan setelah diserang stroke.
Stroke tak lagi hanya menyerang kelompok lansia, namum kini cenderung menyerang
generasi muda yang masih produktif. Stroke juga tak lagi menjadi milik warga kota yang
berkecukupan , namun juga dialami oleh warga pedesaan yang hidup dengan serba
keterbatasan.
Hal ini akan berdampak terhadap menurunnya tingkat produktifitas serta dapat
mengakibatkan terganggunya sosial ekonomi keluarga. Selain karena besarnya biaya
pengobatan paska stroke , juga yang menderita stroke adalah tulang punggung keluarga
yang biasanya kurang melakukan gaya hidup sehat, akibat kesibukan yang padat.
Karena Ancaman stroke hingga merenggut nyawa dan derita akibat stroke. Hidup BEBAS
tanpa STROKE merupakan dambaan bagi semua orang.
Tak heran semua orang selalu berupaya untuk mencegah Stroke atau mengurangi faktor
risiko dengan menerapkan pola hidup sehat, olahraga teratur, penghindari stress hingga
meminum obat atau suplemen untuk menjaga kesehatan pembuluh darah hingga dapat
mencegah terjadinya Stroke.
http://langgocity.blogspot.com/2009/03/hidup-sehat-tanpa-stoke.html
PENGERTIAN
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg
dan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160
mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001)
Menurut WHO ( 1978 ), tekanan darah sama dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai
hipertensi.
KLASIFIKASI
Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas : ( Darmojo, 1999 )
Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan / atau tekanan diastolik sama
atau lebih besar dari 90 mmHg. Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160
mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.
Klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar yaitu :
Hipertensi essensial ( hipertensi primer ) yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit lain
ETIOLOGI
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan – perubahan pada :
Elastisitas dinding aorta menurun
Katub jantung menebal dan menjadi kaku
Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun kemampuan
jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
Kehilangan elastisitas pembuluh darah
Hal ini terjadi karenakurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data penelitian telah
menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi. Faktor tersebut adalah sebagai
berikut :
Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan
hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi
Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah:
Umur ( jika umur bertambah maka TD meningkat )
Jenis kelamin ( laki-laki lebih tinggi dari perempuan )
Ras ( ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih )
Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah :
Konsumsi garam yang tinggi ( melebihi dari 30 gr )
Kegemukan atau makan berlebihan
Stress
Merokok
Minum alcohol
Minum obat-obatan ( ephedrine, prednison, epineprin )
PATOFISIOLOGI / PATHWAY
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada
medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda
spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat
vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut
saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan
konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitiv terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang
emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal
mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid
lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Renin merangsang pembentukan
angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi.
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural dan fungsional pada system
pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut.
Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi
otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi
volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung dan
peningkatan tahanan perifer (Smeltzer, 2001).
Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya “hipertensi palsu” disebabkan kekakuan arteri
brachialis sehingga tidak dikompresi oleh cuff sphygmomanometer (Darmojo, 1999).
Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu : Mengeluh
sakit kepala, pusing Lemas, kelelahan, Sesak nafas, Gelisah, Mual Muntah, Epistaksis, Kesadaran menurun.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hemoglobin / hematokrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel terhadap volume cairan ( viskositas ) dan dapat mengindikasikan
factor – factor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.
BUN : memberikan informasi tentang perfusi ginjal
Glukosa
Hiperglikemi ( diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi ) dapat diakibatkan oleh peningkatan
katekolamin ( meningkatkan hipertensi )
Kalium serum
Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama ( penyebab ) atau menjadi efek samping terapi
diuretik.
Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi
Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya pembentukan plak ateromatosa ( efek
kardiovaskuler )
Pemeriksaan tiroid
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi
Kadar aldosteron urin/serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer ( penyebab )
Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya diabetes.
Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi
Steroid urin
Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
IVP
Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim ginjal, batu ginjal / ureter
Foto dada
Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung
CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati
EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi, peninggian gelombang P adalah
salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi
PENATALAKSANAAN
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi
kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90
mmHg.
Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah olah
raga yang mempunyai empat prinsip yaitu :
Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda, berenang dan lain-lain
Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-87 % dari denyut nadi maksimal
yang disebut zona latihan. Lamanya latihan berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam zona latihan
Frekuensi latihan sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x perminggu
Edukasi Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :
Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada subyek tanda-tanda mengenai
keadaan tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal.
Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan somatik seperti nyeri kepala dan
migrain, juga untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.
Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan,
dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks
Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi ( JOINT NATIONAL COMMITTEE ON
DETECTION, EVALUATION AND TREATMENT OF HIGH BLOOD PRESSURE, USA, 1988 ) menyimpulkan bahwa
obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium, atau penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat
tunggal pertama dengan memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita.
Pengobatannya meliputi :
Step 1
Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE inhibitor
Step 2
Alternatif yang bisa diberikan :
Dosis obat pertama dinaikkan
Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama
Ditambah obat ke –2 jenis lain, dapat berupa diuretika , beta blocker, Ca antagonis, Alpa
blocker, clonidin, reserphin, vasodilator
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam interaksi pasien dengan petugas kesehatan adalah sebagai berikut :
Setiap kali penderita periksa, penderita diberitahu hasil pengukuran tekanan darahnya
Bicarakan dengan penderita tujuan yang hendak dicapai mengenai tekanan darahnya
Diskusikan dengan penderita bahwa hipertensi tidak dapat sembuh, namun bisa dikendalikan untuk dapat
menurunkan morbiditas dan mortilitas
Yakinkan penderita bahwa penderita tidak dapat mengatakan tingginya tekanan darah atas dasar apa yang
dirasakannya, tekanan darah hanya dapat diketahui dengan mengukur memakai alat tensimeter
Penderita tidak boleh menghentikan obat tanpa didiskusikan lebih dahulu
Sedapat mungkin tindakan terapi dimasukkan dalam cara hidup penderita
Ikutsertakan keluarga penderita dalam proses terapi
Pada penderita tertentu mungkin menguntungkan bila penderita atau keluarga dapat mengukur tekanan
darahnya di rumah
Buatlah sesederhana mungkin pemakaian obat anti hipertensi misal 1 x sehari atau 2 x sehari
Diskusikan dengan penderita tentang obat-obat anti hipertensi, efek samping dan masalah-masalah yang
mungkin terjadi
Yakinkan penderita kemungkinan perlunya memodifikasi dosis atau mengganti obat untuk mencapai efek
samping minimal dan efektifitas maksimal
Usahakan biaya terapi seminimal mungkin
Untuk penderita yang kurang patuh, usahakan kunjungan lebih sering
Hubungi segera penderita, bila tidak datang pada waktu yang ditentukan.
Melihat pentingnya kepatuhan pasien dalam pengobatan maka sangat diperlukan sekali pengetahuan dan
sikap pasien tentang pemahaman dan pelaksanaan pengobatan hipertensi.
PENGKAJIAN
Aktivitas / istirahat
Gejala :
Kelemahan
Letih
Napas pendek
Gaya hidup monoton
Tanda :
Frekuensi jantung meningkat
Perubahan irama jantung
Takipnea
Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner / katup, penyakit serebrovaskuler
Tanda :
Kenaikan TD
Nadi : denyutan jelas
Frekuensi / irama : takikardia, berbagai disritmia
Bunyi jantung : murmur
Distensi vena jugularis
Ekstermitas
Perubahan warna kulit, suhu dingin( vasokontriksi perifer ), pengisian kapiler mungkin lambat
Integritas Ego
Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria, marah, faktor stress multiple
( hubungsn, keuangan, pekerjaan )
Tanda :
Letupan suasana hati
Gelisah
Penyempitan kontinue perhatian
Tangisan yang meledak
otot muka tegang ( khususnya sekitar mata )
Peningkatan pola bicara
Eliminasi
Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu ( infeksi, obstruksi, riwayat penyakit ginjal )
Makanan / Cairan
Gejala :
Makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan tinggi garam, lemak dan kolesterol
Mual
Muntah
Riwayat penggunaan diuretic
Tanda :
BB normal atau obesitas
Edema
Kongesti vena
Peningkatan JVP
glikosuria
Neurosensori
Gejala :
Keluhan pusing / pening, sakit kepala
Episode kebas
Kelemahan pada satu sisi tubuh
Gangguan penglihatan ( penglihatan kabur, diplopia )
Episode epistaksis
Tanda :
Perubahan orientasi, pola nafas, isi bicara, afek, proses pikir atau memori ( ingatan )
Respon motorik : penurunan kekuatan genggaman
Perubahan retinal optic
Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala :
nyeri hilang timbul pada tungkai sakit kepala oksipital berat nyeri abdomen
Pernapasan
Gejala :
Dispnea yang berkaitan dengan aktivitas
Takipnea
Ortopnea
Dispnea nocturnal proksimal
Batuk dengan atau tanpa sputum
Riwayat merokok
Tanda :
Distress respirasi/ penggunaan otot aksesoris pernapasan
Bunyi napas tambahan ( krekles, mengi )
Sianosis
Keamanan
Gejala : Gangguan koordinasi, cara jalan
Tanda : Episode parestesia unilateral transien
Pembelajaran / Penyuluhan
Gejala :
Factor resiko keluarga ; hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung, DM , penyakit serebrovaskuler, ginjal
Faktor resiko etnik, penggunaan pil KB atau hormon lain
Penggunaan obat / alcohol
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload, vasokonstriksi, iskemia miokard,
hipertropi ventricular
Tujuan :
Tidak terjadi penurunan curah jantung setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam.
Kriteria hasil :
Berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan TD
Mempertahankan TD dalam rentang yang dapat diterima
Memperlihatkan irama dan frekuensi jantung stabil
Intervensi :
Pantau TD, ukur pada kedua tangan, gunakan manset dan tehnik yang tepat
Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer
Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas
Amati warna kulit, kelembaban, suhu dan masa pengisian kapiler
Catat edema umum
Berikan lingkungan tenang, nyaman, kurangi aktivitas, batasi jumlah pengunjung.
Pertahankan pembatasan aktivitas seperti istirahat ditempat tidur/kursi
Bantu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan
Lakukan tindakan yang nyaman spt pijatan punggung dan leher, meninggikan kepala tempat tidur.
Anjurkan tehnik relaksasi, panduan imajinasi, aktivitas pengalihan
Pantau respon terhadap obat untuk mengontrol tekanan darah
Berikan pembatasan cairan dan diit natrium sesuai indikasi
Kolaborasi untuk pemberian obat-obatan sesuai indikasi
Intervensi :
Pertahankan tirah baring, lingkungan yang tenang, sedikit penerangan
Minimalkan gangguan lingkungan dan rangsangan
Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan
Hindari merokok atau menggunkan penggunaan nikotin
Beri tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala seperti kompres dingin pada dahi, pijat
punggung dan leher, posisi nyaman, tehnik relaksasi, bimbingan imajinasi dan distraksi
Hilangkan / minimalkan vasokonstriksi yang dapat meningkatkan sakit kepala misalnya mengejan saat BAB,
batuk panjang, membungkuk
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : analgesik, antiansietas (lorazepam, ativan, diazepam, valium )
Resiko perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung berhubungan dengan adanya tahanan pembuluh
darah
Tujuan :
Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan : serebral, ginjal, jantung setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
Pasien mendemonstrasikan perfusi jaringan yang membaik seperti ditunjukkan dengan : TD dalam batas yang
dapat diterima, tidak ada keluhan sakit kepala, pusing, nilai-nilai laboratorium dalam batas normal.
Haluaran urin 30 ml/ menit
Tanda-tanda vital stabil
Intervensi :
Pertahankan tirah baring
Tinggikan kepala tempat tidur
Kaji tekanan darah saat masuk pada kedua lengan; tidur, duduk dengan pemantau tekanan arteri jika
tersedia
Ambulasi sesuai kemampuan; hindari kelelahan
Amati adanya hipotensi mendadak
Ukur masukan dan pengeluaran
Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai program
Pantau elektrolit, BUN, kreatinin sesuai program
Kriteria hasil :
Meningkatkan energi untuk melakukan aktifitas sehari – hari
Menunjukkan penurunan gejala – gejala intoleransi aktifitas
Intervensi :
Berikan dorongan untuk aktifitas / perawatan diri bertahap jika dapat ditoleransi.
Berikan bantuan sesuai kebutuhan
Instruksikan pasien tentang penghematan energy
Kaji respon pasien terhadap aktifitas
Monitor adanya diaforesis, pusing
Observasi TTV tiap 4 jam
Berikan jarak waktu pengobatan dan prosedur untuk memungkinkan waktu istirahat yang tidak terganggu,
berikan waktu istirahat sepanjang siang atau sore
Kriteria hasil :
Mampu melakukan aktifitas perawatan diri sesuai kemampuan
Dapat mendemonstrasikan tehnik untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
Intervensi :
Kaji kemampuan klien untuk melakukan kebutuhan perawatan diri
Beri pasien waktu untuk mengerjakan tugas
Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan klien / atas keberhasilannya
Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional sekunder adanya hipertensi yang diderita klien
Tujuan:
Kecemasan hilang atau berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24
Jam
Kriteria hasil :
Klien mengatakan sudah tidak cemas lagi / cemas berkurang
Ekspresi wajah rilek
TTV dalam batas normal
Intervensi :
Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku misalnya kemampuan menyatakan perasaan
dan perhatian, keinginan berpartisipasi dalam rencana pengobatan
Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan konsentrasi, peka rangsang, penurunan
toleransi sakit kepala, ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah
Bantu klien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan kemungkinan strategi untuk mengatasinya
Libatkan pasien dalam perencanaan perawatan dan beri dorongan partisipasi maksimum dalam rencana
pengobatan
Dorong pasien untuk mengevaluasi prioritas atau tujuan hidup
Kaji tingkat kecemasan klien baik secara verbal maupun non verbal
Observasi TTV tiap 4 jam
Dengarkan dan beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaanya
Berikan support mental pada klien
Anjurkan pada keluarga untuk memberikan dukungan pada klien
Kriteria hasil:
Pasien mengungkapkan pengetahuan akan hipertensi
Melaporkan pemakaian obat-obatan sesuai program
Intervensi :
Jelaskan sifat penyakit dan tujuan dari pengobatan dan prosedur
Jelaskan pentingnya lingkungan yang tenang, tidak penuh dengan stress
Diskusikan tentang obat-obatan : nama, dosis, waktu pemberian, tujuan dan efek samping atau efek toksik
Jelaskan perlunya menghindari pemakaian obat bebas tanpa pemeriksaan dokter
Diskusikan gejala kambuhan atau kemajuan penyulit untuk dilaporkan dokter : sakit kepala, pusing, pingsan,
mual dan muntah.
Diskusikan pentingnya mempertahankan berat badan stabil
Diskusikan pentingnya menghindari kelelahan dan mengangkat berat
Diskusikan perlunya diet rendah kalori, rendah natrium sesuai program
Jelaskan penetingnya mempertahankan pemasukan cairan yang tepat, jumlah yang diperbolehkan,
pembatasan seperti kopi yang mengandung kafein, teh serta alcohol
Jelaskan perlunya menghindari konstipasi dan penahanan
Berikan support mental, konseling dan penyuluhan pada keluarga klien
http://nurse87.wordpress.com/2009/06/17/empat-belas-masalah-kesehatan-utama-
pada-lansia/
Sekitar 60% lansia akan mengalami hipertensi setelah berusia 75 tahun. Kontrol tekanan darah yang ketat
pada pasien diabetes berhubungan dengan pencegahan terjadinya hipertensi yang tak terkendali.
Hipertensi merupakan gejala yang paling sering ditemui pada orang lanjut usia dan menjadi faktor risiko utama
insiden penyakit kardiovaskular. Karenanya, kontrol tekanan darah menjadi perawatan utama orang-orang
lanjut usia. Jose Roesma, dari divisi nefrologi ilmu penyakit dalam FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta mengungkapkan bahwa pada orang tua umumnya terjadi hipertensi dengan sistolik terisolasi yang
berhubungan dengan hilangnya elastisitas arteri atau bagian dari penuaan. Jenis yang demikian lebih sulit
untuk diobati dibanding hipertensi esensial atau pada pasien yang lebih muda. Obat-obat antihipertensi terbaru
yang bekerja pada sistem renin-angiotensin-aldosteron, misalnya Angiotensin-Converting Enzyme (ACE)
inhibitor dan angiotensin-receptor blocker memiliki potensi perbaikan kardiovaskular pada orang tua akibat
penurunan tekanan darah efektif.
Isolated systolic blood pressure
Seperti telah disebutkan, para lansia ternyata lebih sering mengalami hipertensi sistolik dan pengobatan
hipertensi sampai saat ini masih banyak yang terfokus pada tekanan diastolik <90 mmHg tanpa memikirkan
angka sistoliknya, sehingga banyak lansia yang tidak terdeteksi menderita hipertensi sistolik. Penelitian juga
menyebutkan bahwa menurunnya tekanan sistolik dapat menyebabkan penurunan curah jantung, risiko infark
miokard, serta penyakit kardiovaskular lainnya. Tekanan sistolik juga menjadi prediktor yang lebih sensitif
dibanding tekanan diastolik.
Hipertensi juga menjadi faktor utama terjadinya penyakit jantung koroner, yang terutama menyerang di atas
usia 75 tahun. Sebagai konsekuensinya, kontrol tekanan darah merupakan kunci utama menjaga kesehatan
kardiovaskular. Dokter juga harus melakukan edukasi terus-menerus untuk menghindari terjadinya hipertensi
sistolik. Tidak ada standar tertentu untuk menentukan kategori umur yang dikatakan tua, namun pengertian
lanjut usia (lansia) ialah manusia di atas usia 60 tahun. Berdasarkan Global Risk Assesment Scoring Chart dari
penelitian Framingham, berat badan seiring usia juga akan meningkatkan risiko terjadinya PJK setiap kenaikan
lima tahun.
Isolated systolic hypertension (ISH) didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik di atas sama dengan 140
mmHg pada tekanan diastolik kurang dari sama dengan 90 mmHg. Keadaan ini terjadi karena hilangnya
elastisitas arteri atau akibat penuaan. Dalam keadaan ini aorta menjadi kaku dan akhirnya menyebabkan
meningkatnya tekanan sistolik dan penurunan volume aorta, yang pada akhirnya akan menurunkan volume
dan tekanan diastolik. Pada orang-orang tua, pengukuran tekanan sistolik yang meningkat ini lebih signifikan
karena dapat menunjukkan terjadinya kekakuan arteri besar, terutama aorta, efeknya bisa membuat kerusakan
jantung, ginjal, serta otak.
Manajemen dan
pencegahan
Beberapa penelitian, misalnya dari Syst-Eur 1 dan 2 dan penelitian lain di Jepang dan Australia menunjukkan
bahwa tata laksana hipertensi sistolik yang optimal ialah penggunaan diuretik, penyekat beta, dan Angiotensin-
receptor blockers (ARB). Bekerja di sistem renin-angiotensin-aldosteron, ARB akan meningkatkan volume
sirkulasi dan merangsang sintesis kolagen akibat peningkatan jumlah sel otot polos pada pembuluh darah.
Valsartan dan Losartan telah terbukti mampu menurunkan tekanan sistolik pembuluh darah, mencegah
akumulasi kolagen aorta, menurunkan kekakuan arteri karotis, serta menurunkan tekanan dinding pembuluh
darah pada diet rendah garam. ARB yang dikombinasi dengan diuretik juga telah terbukti memiliki efek yang
sangat baik, menyerupai pemberian Ca blocker. Pada orang tua, sering ditemui gangguan pada sistem
kardiovaskular berupa gagal jantung, sehingga pengobatannya harus fokus untuk proteksi kardiovaskular
secara umum, tidak sekadar menurunkan tekanan darah.
Sekitar 60% lansia akan mengalami hipertensi setelah berusia 75 tahun. Kontrol tekanan darah yang ketat
pada pasien diabetes berhubungan dengan pencegahan terjadinya hipertensi yang tak terkendali dan
beberapa penyakit lainnya, misalnya diabetes mellitus, serangan stroke, infark miokard, dan penyakit vaskular
perifer. Hal ini dapat dicapai dengan menjaga tekanan darah di angka kurang dari 150/85 mmHg (kontrol ketat)
atau kurang dari 180/105 mmHg (kontrol tidak terlalu ketat). Kontrol ketat dilakukan pada pasien yang memiliki
risiko besar untuk memiliki komplikasi penyakit lainnya, misalnya retinopati diabetik, pengurangan kemampuan
penglihatan, atau diabetes yang berat.
Perspektif terkini
Penelitian dari The Heart Outcomes Prevention Evaluatin (HOPE) menyatakan bahwa agen antihipertensi
memang terbukti dapat mencegah pula penyakit kardiovaskular lainya. Sementara penelitian dari The
Irbesartan Diabetic Nephropathy Trial (IDNT) menyatakan bahwa agen antihipertensi, khususnya Angiotensin II
Antagonist Losartan (RENAAL) dapat menurunkan endpoint pasien dengan Non Insulin-dependent Diabetes
Mellitus. ARB ini dinyatakan renoprotektif, lebih baik daripada ACE-inhibitor. Penelitian tentang agen
antihipertensi dengan mekanisme RAAS ini (ARB) monoterapi memang banyak dilakukan dan terbukti bersifat
renokardioprotektif dengan mekanisme perbaikan fungsi endotel, dibanding ACE-inhibitor dan Calcium channel
blocker.
Seperti guidelines antihipertensi (lihat tabel) yang tercantum berikut, penatalaksanaan hipertensi terutama
ditujukan pada pasien lanjut usia dengan target tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg. Guidelines yang
banyak dipakai untuk tata laksana hipertensi pada lansia diambil dari JNC 7 dan ESH/ESC 2003. Pedoman ini
mengadopsi pendekatan tepat sasaran untuk lansia guna menurunkan risiko penyakit jantung koroner seiring
dengan bertambahnya usia.
Tujuan utama penatalaksanaan hipertensi pada lansia, kelompok usia yang rentan penyakit jantung koroner,
sebenarnya juga tidak hanya menurunkan tekanan darah semata. ARB dan ACE-inhibitor digunakan secara
bersama-sama, keduanya bekerja dalam sistem renin angiotensin aldosteron. ARB memblok konjugasi,
sedangkan ACE-inhibitor bekerja menghambat kerja enzim, sehingga gabungan keduanya ialah penurunan
tekanan darah dengan efek yang juga renokardioprotektif.
Selain itu, efek proteksi vaskular dari ARB juga berlaku untuk mengurangi kemungkinan terjadiya stroke.
Terdapat konsensus bahwa tekanan darah pada lansia harus di bawah angka 140/90 mmHg untuk kategori
usia 60-79 tahun. Tercapainya tujuan ini akan tergantung tidak hanya berdasarkan efikasi obat antihipertensi,
tapi dari segi tolerabilitasnya juga, sehingga mempengaruhi keberhasilan dari seluruh tata laksana. Terapi
seperti ini tergolong aman dan efektif, namun tetap saja terapi yang terbaik kemungkinan ialah mencegah
hipertensi sebelum usia senja guna mengurangi risiko penyakit jantung koroner sejak dini.
2. Protein
Fungsi dari protein sebagai zat pembangun dari sel tubuh.
Pada lansia sebaiknya memilih daging unggas-unggasan daripada daging sapi atau
kambing dan hendaknya tidak makan lebih dari 2 potong daging pada sehari.
Makanan yang boleh: daging, ikan telur dan susu, semua kacang-kacangan dan
sayuran.
Makanan yang tidak boleh: ikan asin, keju, kornet, ebi, telur asam, pindang,
dendeng, udang, kacang tanah dan sayuran yang dimasak/ diawetkan dengan
garam dapur.
3. Lemak
Lemak berfungsi sebagai pelarut vitamin A,D,E dan K, membentuk tekstur makanan
dan memberi rasa kenyang yang lama. Lemak juga berfungsi sebagai cadangan
energi.
Pada lansia lemak sebaiknya dibatasi , mengingat:
a. Berkurangnya aktifitas tubuh sehingga kebutuhan energi juga menurun.
b. Berkurangnya produksi enzim mengakibatkan pencernaan lemak tidak sempurna,
s3ehingga membebani usus dan lambung yang akan mengakibatkan gangguan
pada usus.
c. Lemak dengan kandungan asam lemak jenuh yang tinggi memicu penyakit
jantung dan pembuluh darah.
d. Kelebihan lemak akan disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk timbunan
lemak yang menyebabkan kegemukan.
e. cenderung mengakibatkan kanker usus.
f. Makanan yang boleh: minyak margarine dan mentega tanpa garam.
g. Makanan yang tidak boleh: margarine dan mentega biasa
4. Vitamin
Fungsi dari vitamin yaitu untuk mempercepat metbolisme, mempertahankan fungsi
jaringan tubuh dan mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan jaringan.
Pada lansia vitamin sangat penting, terutama vitamin B1 agar tubuh selalu bugar.
Contoh makanan: beras merah
Makanan yang boleh: semua buah yang tidak diawtkan garam/ soda, air putih.
Makanan yang tidak boleh: durian, buah-buahan yang diawtkan oleh garam dan
soda, kopi dan coklat.
2. Protein
Fungsi dari protein sebagai zat pembangun dari sel tubuh.
Pada lansia sebaiknya memilih daging unggas-unggasan daripada daging
sapi atau kambing dan hendaknya tidak makan lebih dari 2 potong daging
pada sehari.
Makanan yang boleh: daging, ikan telur dan susu, semua kacang-kacangan
dan sayuran.
Makanan yang tidak boleh: ikan asin, keju, kornet, ebi, telur asam, pindang,
dendeng, udang, kacang tanah dan sayuran yang dimasak/ diawetkan
dengan garam dapur.
3. Lemak
Lemak berfungsi sebagai pelarut vitamin A,D,E dan K, membentuk tekstur
makanan dan memberi rasa kenyang yang lama. Lemak juga berfungsi
sebagai cadangan energi.
Pada lansia lemak sebaiknya dibatasi , mengingat:
a. Berkurangnya aktifitas tubuh sehingga kebutuhan energi juga menurun.
b. Berkurangnya produksi enzim mengakibatkan pencernaan lemak tidak
sempurna, s3ehingga membebani usus dan lambung yang akan
mengakibatkan gangguan pada usus.
c. Lemak dengan kandungan asam lemak jenuh yang tinggi memicu penyakit
jantung dan pembuluh darah.
d. Kelebihan lemak akan disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk
timbunan lemak yang menyebabkan kegemukan.
e. cenderung mengakibatkan kanker usus.
f. Makanan yang boleh: minyak margarine dan mentega tanpa garam.
g. Makanan yang tidak boleh: margarine dan mentega biasa
4. Vitamin
Fungsi dari vitamin yaitu untuk mempercepat metbolisme, mempertahankan
fungsi jaringan tubuh dan mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan
jaringan.
Pada lansia vitamin sangat penting, terutama vitamin B1 agar tubuh selalu
bugar. Contoh makanan: beras merah
Makanan yang boleh: semua buah yang tidak diawtkan garam/ soda, air
putih.
Makanan yang tidak boleh: durian, buah-buahan yang diawtkan oleh garam
dan soda, kopi dan coklat.
Pengertian
Stroke adalah deficit neurologist akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak
dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal otak yang terkena (WHO, 1989).
B. Klasifikasi stroke
Berdasarkan proses patologi dan gejala klinisnya stroke dapat diklasifikasikan
menjadi :
1. stroke hemoragik
Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah otak. Umumnya terjadi setelah
beristirahat cukup lama atau angun tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses
edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak.
Gangguan neurologist setempat yang akan hilang secara sempurna dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu..
1. stroke in Volution
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk.
Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa hari.
1. Stroke Komplit
C. Etiologi
Ada beberapa factor risiko stroke yang sering teridentifikasi, yaitu ;
Adanya kelainan pembuluh darah yakni berupa penebalan pada satu tempat yang diikuti oleh penipisan di tempat
lain. Pada daerah penipisan dengan maneuver tertentu dapat menimbulkan perdarahan.
Paling banyak dijumpai pada pasien post MCI, atrial fibrilasi dan endokarditis. Kerusakan kerja jantung akan
menurunkan kardiak output dan menurunkan aliran darah ke otak. Ddisamping itu dapat terjadi proses embolisasi
yang bersumber pada kelainan jantung dan pembuluh darah.
Penderita DM berpotensi mengalami stroke karena 2 alasan, yeitu terjadinya peningkatan viskositas darah sehingga
memperlambat aliran darah khususnya serebral dan adanya kelainan microvaskuler sehingga berdampak juga
terhadap kelainan yang terjadi pada pembuluh darah serebral.
5. Usia lanjut
Pada usia lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah, termasuk pembuluh darah otak.
6. Polocitemia
Pada policitemia viskositas darah meningkat dan aliran darah menjadi lambat sehingga perfusi otak menurun.
Kolesterol tubuh yang tinggi dapat menyebabkan aterosklerosis dan terbentuknya embolus dari lemak.
8. Obesitas
Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol sehingga dapat mengakibatkan gangguan
pada pembuluh darah, salah satunya pembuluh drah otak.
9. Perokok
Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga terjadi aterosklerosis.
Kurang aktivitas fisik dapat juga mengurangi kelenturan fisik termasuk kelenturan pembuluh darah (embuluh darah
menjadi kaku), salah satunya pembuluh darah otak.
D. Patofisiologi
1. Stroke non hemoragik
Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh thrombus
atau embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis
pada dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah
ke area thrombus menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi
kompleks iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan
oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis.
Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba
berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak
dapat ddisebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.
2. Stroke hemoragik
Apabila dilihat bagian hemisfer mana yang terkena, gejala dapat berupa:
• Penilaian buruk
• disfagia global
• afasia
• mudah frustasi
F. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan penunjang disgnostik yang dapat dilakukan adalah :
1. laboratorium: mengarah pada pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kolesterol, dan bila perlu analisa gas
2. CT scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan atau infark
3. MRI untuk mengetahui adanya edema, infark, hematom dan bergesernya struktur otak
4. angiografi untuk mengetahui penyebab dan gambaran yang jelas mengenai pembuluh darah yang
terganggu
G. Penatalaksanaan medis
Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke adalah:
1. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan boleh dimulai mobilisasi
2. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu diberikan ogsigen sesuai
kebutuhan
4. Bed rest
8. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan glukosa murni atau
cairan hipotonik
9. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau suction berlebih yang dapat meningkatkan TIK
10. Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran menurun atau ada gangguan
6. Kolaborasi:
• Pemberian ogsigen
8. Kolaborasi:
7. Kolaborasi:
fisioterapi
4. Gangguan Komunikasi dapat berjalan 1. Evaluasi sifat dan beratnya
komunikasi verbal dengan baik afasia pasien, jika berat
b.d. kerusakan hindari memberi isyarat non
neuromuscular,
kerusakan sentral verbal
bicara Kriteria hasil :
2. Lakukan komunikasi
a. Klien dapat dengan wajar, bahasa jelas,
mengekspresikan perasaan sederhana dan bila perlu
diulang
b. Memahami maksud dan
pembicaraan orang lain 3. dengarkan dengan tekun
jika pasien mulai berbicara
c. Pembicaraan pasien dapat
dipahami 4. Berdiri di dalam lapang
pandang pasien pada saat
bicara
8. Kolaborasi : Pemeriksaan
lab(Hb, Albumin, BUN),
pemasangan NGT, konsul ahli
gizi
6. Perubahan persepsi- Persepsi dan kesadaran akan 1. Cari tahu proses
sensori b.d. lingkungan dapat
perubahan transmisi dipertahankan patogenesis yang mendasari
saraf sensori,
integrasi, perubahan 2. Evaluasi adanya gangguan
psikologi persepsi: penglihatan, taktil
4. Evaluasi kemampuan
membedakan panas-dingin,
posisi dan proprioseptik
6. Ingatkan untuk
menggunakan sisi tubuh yang
terlupakan
4. Pertahankan bedrest
selama fase akut
BAB I PENDAHULUAN
Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian bagi seseorang. Imobilitas
didefinisikan secara luas sebagai tingkat aktivitas yang kurang dari mobilitas optimal. Imobilitas,
intoleransi aktivitas, dan sindromdissue sering terjadi pada lansia. Diagnosis keperawatan hambatan
mobilitas fisik, potensial sindrom disuse, dan intoleransi aktivitas memberikan definisi imobilitas yang
lebih luas.
Studi-studi tentang insidensi diagnosis keperawatan yang digunakan untuk lansia yang berada di
Institusi perawatan mengungkapkan bahwa hambatan mobilitas fisik adalah diagnosis pertama atau
kedua yang paling sering muncul. Prevalensi dari masalah ini meluas di luar institusi sampai
melibatkan seluruh lansia
Awitan imobilitas atau intoleransi aktivitas untuk sebagian besar orang tidak terjadi secara tiba-tiba,
bergerak dari mobilitas penuh sampai ketergantungan fisik total atau ketidak aktifan, tetapi lebih
berkembang secara perlahan dan tanpa disadari. Intervensi diarahkan pada pencegahan kea rah
konsekuensi-konsekuensi imobilitas dan ketidak aktifan dapat menurunkan kecepatan penurunannya.
BAB II PEMBAHASAN
Imobilitas dan Intoleransi Aktivitas pada Lansia
GANGGUAN MOBILITAS FISIK
Definisi
Sutau keadaan keterbatasan kemampuan pergerakan fisik secara mandiri yang dialami seseorang
Batasan karakteristik
• Ketidakmampuan untuk bergerak dengan tujuan di dalam lingkungan, termasuk mobilitas di
tempat tidur, berpindah dan ambulasi
• Keengganan untuk melakukan pergerakan
• Keterbatasan rentang gerak
• Penurunan kekuatan, pengendalian, atau masa otot
• Mengalami pembatasan pergerakan, termasuk protocol-protokol mekanis dan medis
• Gangguan koordinasi
Faktor-faktor yang berhubungan
• Intoleransi aktivitas
• Penurunan kekuatan dan ketahanan
• Nyeri dan rasa tidak nyaman
• Gangguan persepsi atau kognitif
• Gangguan neuromuskuler
• Depresi
• Ansietas berat
INTOLERANSI AKTIVITAS
Definisi
Suatu keadaan ketidakcukupan energi secara fisiologis atau psikologis pada seseorang untuk bertahan
aau menyelesaikan aktivitas sehri-hari yang dibutuhkan atau diinginkan.
Batasan karakteristik
• Secara verbal melaporkan keletihan atau kelemahan
• denyut jantung atau tekanan darah yang tidak normal terhadap aktivitas
• Rasa tidak nyaman dispneu setelah beraktivitas
• Perubahan elektrokardiogravis yang menunjukkan adanya disritmia atau iskemia
Faktor-faktor yang berhubungan
• Tirah baring dan imobilitas
• Kelemahan secara umum
• Gaya hidup yang kurang gerak
• Ketidakseimbanag antara suplai oksigen dan kebutuhan
Faktor-faktor Internal
Berbagai factor internal dalam imobilisasi tubuh atau bagian tubuh antara lain;
• Penurunan fungsimuskuloskeletal
• Perubahan fungsi neurologist
• Nyeri
• Defisit perceptual
• Berkurangnya kemampuan kognitif
• Jatuh
• Perubahan hubungan social
• Aspek psikologis
Faktor-faktor eksternal
Factor tersebut termasuk;
• Program terapeutik
• Karakteristik penghuni institusi
• Karakteristik staf
• Sistem pemberian asuhan keperawatan
• Hambatan-hambatan
• Kebijakan-kebijakan institusi
Dampak masalah pada lansia
Lansia sangt renan erhadap konsekuensi fisiologis dn psikologis dari imobilitas. Perub ahan yang
berhubungan dengan usia disertai dengan penyakit kronis menjadi predisposisi bagi lansia untuk
mengalami komplikasi-komplikasi ini. Secara fisiologis, tubuh bereaksi terjhadap imobilitas dengan
perubahan-perubahan yang hamper sama dengan proses penuaan, oleh karena itu memperberat efek
ini.
Suatu pemahman tentang dampak imobilitas dapat diperoleh dari interaksi kompetensi fisik, ancaman
terhadap imobilitas, dan interpretasi pada kejadian.
MANIFESTSI KLINIS
Dampak fisiologis dari imobilitas dan ketidak efektifan
Efek Hasil
Ketika klien telah memiliki evaluasi fisik secara seksama, pengkajian tentang factor-faktor
pengganggu berikut ini akan membantu untuk memastikan keterikatan dan meningkatkan
pengalaman;
- Aktivitas sat ini dan respon fisiologis denyut nadsi sebelum, selama dan setelah aktivitas
diberikan)
- Efisiensi latihan untuk dirisendiri (derajat keyakinan bahwa seseorang akan berhasil)
• Keamanan
Ketika program latihan spesifik telah diformulasikan dan diterima oleh klien, instruksi tentang latihan
yang aman harus dilakukan. Mengajarkan klien untuk mengenali tanda-tanda intoleransi atau latihan
yang terlalu keras sama pentingnya dengan memilih aktivitas yang tepat.
1. Pencegahan Sekunder
Spiral menurun yang terjadi akibat aksaserbasi akut dari imobilitas dapat dkurangi atau dicegah
dengan intervensi keperawatan. Keberhasilan intervensi berasal dri suatu pengertian tentang berbagai
factor yang menyebabkan atau turut berperan terhadap imobilitas dan penuaan. Pencegahan
sekunder memfokuskan pada pemeliharaan fungsi dan pencegahan komplikasi. Diagnosis
keperawaqtan dihubungkan dengan poencegahan sekunder adalah gangguan mobilitas fisik
PENGKAJIAN
• Kemunduran musculoskeletal
Indikator primer dari keparahan imobilitas pada system musculoskeletal adalah penurunan tonus,
kekuatan, ukuran, dan ketahanan otot; rentang gerak sendi; dan kekuatan skeletal. Pengkajian fungsi
secara periodik dapat digunakan untuk memantau perubahan dan keefektifan intervensi.
• Kemunduran kardiovaskuler
Tanda dan gejala kardivaskuler tidak memberikan bukti langsung atau meyaknkan tentang
perkembangan komplikasi imobilitas. Hanya sedikit petunjuk diagnostic yang dapat diandalkan pada
pembentukan trombosis. Tanda-tanda tromboflebitis meliputi eritema, edema, nyeri tekan dan tanda
homans positif. Intoleransi ortostatik dapat menunjukkan suatu gerakan untuk berdiri tegak seperti
gejala peningkatan denyut jantung, penurunan tekanan darah, pucat, tremor tangan, berkeringat,
kesulitandalam mengikuti perintah dan sinkop
• Kemunduran Respirasi
Indikasi kemunduran respirasi dibuktikan dari tanda dan gejala atelektasis dan pneumonia. Tanda-
tanda awal meliputi peningkatan temperature dan denyut jantung. Perubahan-perubahan dalam
pergerakan dada, perkusi, bunyi napas, dan gas arteri mengindikasikan adanaya perluasan dan
beratnya kondisi yang terjadi.
• Perubahan-perubahan integument
Indikator cedera iskemia terhadap jaringan yang pertama adalah reaksi inflamasi. Perubahan awal
terlihat pada permukaan kulit sebagai daerah eritema yang tidak teratur dan didefinisikan sangat
buruk di atas tonjolan tulang yang tidak hilang dalam waktu 3 menit setelah tekanan dihilangkan
• Perubahan-perubahan Gastrointestinal
Sensasi subjektif dari konstipasi termasuk rasa tidak nyaman pada abdomen bagian bawah, rasa
penuh, tekanan. Pengosonganh rectum yang tidak sempurna, anoreksia, mual gelisah, depresi mental,
iritabilitas, kelemahan, dan sakit kepala.
• Faktor-faktor lingkungan
Lingkungan tempat tinggal klien memberikan bukti untuk intervensi. Di dalam rumah, kamar mandi
tanpa pegangan, karpet yang lepas, penerangan yang tidak adekuat, tangga yang tinggi, lantai licin,
dan tempat duduk toilet yang rendah dapat menurunkan mobilitas klien. Hambatan-hambatan
institusional terhadap mobilitas termasuk jalan koridor yang terhalang, tempat tidudan posisi yang
tinggi, dan cairan pada lantai. Identifikasi dan penghilangan hambatan-hambatan yang potensial
dapat meningkatakan mobilitas
PENATALAKSANAAN TERAPEUTIK
Pengobatan terapeutik ditujukan kearah perawatan penyakit atau kesakitan yang dihasilkan atau yang
turut berperan terhadap masalah imobilitis dan penanganan konsekuensi aktual atau potensial dari
imobilitas. Contoh-contoh pendekatan terhadap penanganan imobilitas meliputi terapi fisik untuk
mempertahankan mobilitas dan kekuatan otot, kompresi pneumatik intermiten dan kekuatan otot,
kompresi pneumatik intermiten atau stoking kompresi gradien untuk meningkatkan aliran darah vena
dan mencegah tromboembolisme, spirometri insesif untuk hiperinflasi alveoli, dan tirah baring, kecuali
untuk eliminasi
INTERVENSI
Limatujuan mengarahkan intervensi keperawatan untuk mencegah atau meniadakan sekuelafisiologis
dari imobilitas. Tujuan pertama meliputi pemeliharaan kekuatan dan ketahanan sistem
muskuloskeletal, yang termasuk pengondisian program latihan harian baik kontraksi otot isometrik
dan isotonik, aktivitas penguatan aerobik, nutrisi untuk meningkatkan anabolisme protein dan
pembentukan tulang, dan sikap komitmen terhadap latihan. Kedua, pemeliharaan fleksibilitas sendi
yan terlibat dalam latihan rentang gerak, posisi yang tepat, dan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Ketiga, pemeliharaan ventilasi yang normal meliputi hiperinflasi dan mobilisasi serta menghilangkan
sekresi. Keempat, pemeliharaan sirkulasi yang adekuat meliputi tindakan-tindakan pendukung untuk
mempertahankan tonus vaskuler (termasuk mengubah posisi dalam hubungannya dengan gravitasi),
stoking kompresi untuk memberikan tekanan eksternal pada tungkai, dan asupan cairan yang adekuat
untuk mencegah efek dehidrasi pada volume darah. Pergerakan aktif memengaruhi toleransi
ortostatik. Terakhir, pemeliharaan fungsi urinaria dan usus yang normal bergantung pada dukungan
nutrisi dan struktur lingkungan serta rutinitas-rutinitas untuk memfasilitasi eliminasi. Pembahasan
tentang intervensi disajikan di sini.
Kontraksi otot isometrik meningkatkan tegangan otot tanpa mengubah panjang otot yang
menggerakkan sendi. Kontraksi-kontraksi ini digunakan untuk mempertahankan kekuatan otot dan
mobilitas dalam keadaan berdiri (misalnya otot-otot kuadrisep, abdominal dan gluteal) dan untuk
memberikan tekanan pada tulang bagi orang-orang dengan dan tanpa penyakit kardiovaskuler.
Kontraksi isometrik dilakukan dengan cara bergantian mengencangkan dan merelaksasikan kelompok
otot.
Kontraksi otot yang berlawanan atau isotnik berguna untk mempertahankan kekuatan otot-otot dan
tulang. Kontraksi ini mengubah panjang otot tanpa mengubah tegangan. Karena otot-otot memendek
dan memanjang, kerja dapat dicapai. Kontraksi isotonik dapat dicapai pada saat berada di tempat
tidur, dengan tungkai menggantung di sisi tempat tidur, atau pada saat duduk di kursi dengan cara
mendorong atau menarik suatu objek yang tidak dapat bergerak. Ketika tangan atau kaki dilatih baik
otot-otot fleksor dan ekstensor harus dilibatkan.
LATIHAN KEKUATAN
Aktivitas penguatan adalah latihan pertahanan yang progresif. Kekuatan otot harus menghasilkan
peningkatan setelah beberapa waktu. Latihan angkat berat dengan meningkatkan pengulangan dan
berat adalah aktivitas pengondisian kekuatan. Latihan ini meningkatkan kekuatan dan massa otot
serta mencegah kehilangan densitas tulang dan kandungan mineral total dalam tubuh.
LATIHAN AEROBIK
Latihan aerobik adalah aktivitas yang menghasilkan peningkatan denyut jantung 60 sampai 90% dari
denyut jantung maksimal dihitung dengan (220-usia seseorang) x 0,7
Aktivitas aerobik yang dipilih harus menggunakan kelompok otot besar dan harus kontinu, berirama,
dan dapat dinikmati. Contohnya termasuk berjalan, berenang, bersepeda, dan berdansa.
SIKAP
Variabel utama yang dapat mengganggu keberhasilan intervensi pada individu yang mengalami
imobilisasi adalah sikap perawat dan klien tentang pentingnya latihan dan aktivitas dalam rutinitas
sehari-hari. Sikap perawat tidak hanya memengaruhi komitmen untuk memasukkan latihan sebagai
komponen rutin sehari-hariyang berkelanjutan, tetapi juga integrasi aktif dari latihan sebagai
intervensi bagi lansia di berbagai lingkungan; komunitas, rumah sakit, dan fasilitas jangka panjang.
Demikian pula halnya sikap klien dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas latihan.
Latihan rentang gerak aktif dan pasif memberikan keuntungan-keuntungan yang berbeda. Latihan
aktif membantu mempertahankan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot serta meningkatkan
penampilan kognitif. Sebaliknya, gerakan pasif, yaitu menggerakkan sendi seseorang melalui rentang
geraknya oleh orang lain, hanya membantu mempertahankan fleksibilitas.
MENGATUR POSISI
Mengatur posisi juga digunakan untuk meningkatkan tekanan darah balk vena. Jika seseorang
diposisikan dengan tungkai tergantung, pengumpulan dan penurunan tekanan darah balik vena akan
terjadi. Posisi duduk di kursi secara normal dengan tungkai tergantung secara potensial berbahaya
untuk seseorang yang beresiko mengalami pengembangan trombosis vena. Mengatur posisi tungkai
dengan ketergantungan minimal (misalnya meninggikan tungkai diatas dudukan kaki) mencegah
pengumpulan darah pada ekstremitas bawah.
RENCANA PERAWATAN
Rencana asuhan keperawatan untuk imobilitas betujuan mempertahankan kemampuan dan fungsi,
serta mencegah gangguan.
Diagnosa keperawatan; Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan intoleransi aktivitas,
resiko tinggi sindrom dissue
• Untuk muskuloskeletal ; kekuatan otot, ukuran, tonus, dan ketahanan; mobilitas sendi,
termasuk rentang gerak sendi dan pengkajian fungsional mengenai kemampuan; penggunaan
dan penyalahgunaan alat bantu; masalah-masalah mobilitas; dan adanya nyeri
• Untuk Kardiovaskular; perubahan ortostatik dalam tekanan darah dan denyut nadi
• Untuk respirasi; pengkajian paru
• Untuk Integumen; karakteristik kulit diatas tonjolan tulang
• Untuk urinaria; frekuensi dan jumlah berkemih
• Untuk gastrointestinal; karakter dan pola feses dan alat bantu yang biasa digunakan untuk
memfasilitasi eliminasi.
1. Pencegahan tersier
Upaya-upaya rehabilitasi untuk memaksimalkan mobilitas bagi lansia melibatkan upaya multidisiplin
yang terdiri dari perawat, dokter, ahli fisioterapi, dan terapi okupasi, seorang ahli gizi, aktivitas sosial,
dan keluarga serta teman-teman
Intoleransi aktifitas merupakan suatu keadaan ketidakcukupan energi secara fisiologis atau psikologis
pada seseorang untuk bertahan aau menyelesaikan aktivitas sehri-hari yang dibutuhkan atau
diinginkan.
Upaya-upaya rehabilitasi untuk memaksimalkan mobilitas bagi lansia melibatkan upaya multidisiplin
yang terdiri dari perawat, dokter, ahli fisioterapi, dan terapi okupasi, seorang ahli gizi, aktivitas sosial,
dan keluarga serta teman-teman
DAFTAR PUSTAKA
Stanley, Mickey. Beare, Patricia. Buku Ajar Keperawaan Gerontik ed. 2
Jakarta EGC ; 2006
http://pusva.wordpress.com/2009/10/03/imobilitas-dan-intoleransi-aktivitas-pada-
lansia/
BAB I
PENDAHULUAN
Kecenderungan pola penyakit neurologi terutama gangguan susunan saraf pusat tampaknya mengalami
peningkatan penyakit akibat gangguan pembuluh darah otak, akibat kecelakaan serta karena proses
degenerative system saraf tampaknya sedang merambah naik di Indonesia. Walaupun belum didapat data
secara konkrit mengenai hal ini namun dari pengalaman terlihat sangat mencolok adanya perubahan ini.
Kemungkinan yang menjadi factor penyebab munculnya masalah ini adalah adanya perkembangan ekonomi
dan perubahan gaya hidup terutama msayarakat perkotaan. Kemampuan masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan hidup terlihat semakin mudah sehingga meningkatkan hasratmereka untuk terus berjuang
mencapai tujuan dengan penuh persaingan dalam perjuangan tersebut, mereka mendapatkan benturan-
benturan fisik maupun psikologis akibatnya mereka tidak lagi memikirkan efek bagi kesehatan jangka
panjang.
Usia harapan hidup di Indonesia sekarang kian meningkat sehingga semakin banyak terdapat lansia.
Dengan bertambahnya usia maka permasalahan kesehatan yang terjadi akan semakin kompleks. Salah satu
penyakit yang sering dialami oleh lansia adalah stroke. Usia merupakan factor resiko yang paling penting
bagi semua jenis stroke. Insiden stroke meningkat secara eksponensial dengan bertambahnya usia dan 1,25
kali lebih besar pada pria dibanding wanita.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
Stroke adalah suatu penyakit gangguan fungsi anatomi otak yang terjadi secara tiba-tiba dan cepat,
disebabkan karena gangguan perdarahan otak.
Stroke atau Cerebro Vasculer Accident (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh
berhentinya suplai darah ke bagian otak ( Brunner dan Suddarth, 2002 : hal. 2131 ).
Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak ( Elizabeth J. Corwin, 2001 :
hal. 181 ).
Stroke terdiri dari 2 jenis yaitu :
Stroke adalah sindrom yang awal timbulnya mendadak, progresif cepat, berupa deficit neurologis fokal atau
global yang langsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata
disebabkan oleh gangguan peredaran otak non traumatic (Mansjoer 2000: 17)
Stroke adalah gangguan neurologik fokal yang dapat timbul sekunder dari proses patologis pada pembuluh
darah serebral, misal: Trombosis, embolis, ruptura dinding pembuluh atau penyakit vaskuler dasar (Prince,
1995 : 964).
Menurut WHO stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun
menyeluruh yang berlangsung dengan cepat. Berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan maut
tanpa ditemukannya penyebab selain daripada gangguan vaskuler. Persoalan pokok pada stroke adalah
gangguan peredaran darah pada daerah otak tertentu (Mardjono, 2000: 54) yang menyatakan bahwa stroke
adalah gangguan darah di pembuluh arteri yang menuju ke otak.
Menurut Lumbantobing (1994 : 5) kelainan yang terjadi akibat gangguan peredaran darah. Stroke dapat
dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Infark Ischemik (Stroke non Hemoragi). Hal ini terjadi karena adanya penyumbatan pembuluh darah
otak. Infark iskemic terbagi menjadi dua yaitu : stroke trombotik, yang disebabkan oleh thrombus dan
stroke embolik, yang disebabkan oleh embolus.
Harsono (1993 : 30) membagi stroke non haemoragi berdasarkan bentuk klinisnya antara lain :
1. Serangan Iskemia sepintas atau transient ischemic Attack (TIA).
Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan menghilang
dalam waktu 24 jam.
2. Defisit Neurologik Iskemia Sepintas/ Reversible Ischemic Neurologik Defisit (RIND). Gejala neurologik
timbul ± 24 jam, tidak lebih dari seminggu.
3. Stroke Progresif (Progresive Stroke/ Stroke in evolution).
Gejala makin berkembang ke otak lebih berat.
4. Completed Stroke
Kelainan saraf yang sifatnya sudah menetap, tidak berkembang lagi.
2. Perdarahan (Stroke Hemoragi)
Terjadi pecahnya pembuluh darah otak.
B. ETIOLOGI
Stroke non haemoragi merupakan penyakit yang mendominasi kelompok usia menengah dan dewasa tua
karena adanya penyempitan atau sumbatan vaskuler otak yang berkaitan erat dengan kejadian.
1. Trombosis Serebri
Merupakan penyebab stroke yang paling sering ditemui yaitu pada 40% dari semua kasus stroke yang telah
dibuktikan oleh ahli patologis. Biasanya berkaitan erat dengan kerusakan fokal dinding pembuluh darah
akibat anterosklerosis.
2. Embolisme
Kebanyakan emboli serebri berasal dari suatu flowess dalam jantung sehingga masalah yang dihadapi
sesungguhnya merupakan perwujudan dari penyakit jantung.
Sedangkan menurut prince (1995 : 966) mengatakan bahwa stroke haemoragi disebabkan oleh perdarahan
serebri. Perdarahan intracranial biasanya disebabkan oleh ruptura arteria serebri. Ekstravasali darah terjadi
dari daerah otak dan atau subaracnoid, sehingga jaringan yang terletak di dekatnya akan tergeser.
Perdarahan ini dibedakan berdasarkan tempat terjadinya perdarahan.
Menurut Harsono ini dibedakan berdasarkan tempat terjadinya perdarahan antara lain:
Perdarahan Sub Arachnoid (PSA)
Kira-kira ¾ harus perdarahan sub arachnoid disebabkan oleh pecahnya seneusisma
5-6% akibat malformasi dari arteriovenosus.
Perdarahan Intra Serebral (PIS)
Penyebab yang paling sering adalah hipertensi, dimana tekanan diastolic pecah.
Harsono (1999 : 60) membagi factor risiko yang dapat ditemui pada klien dengan Stroke yaitu:
Faktor risiko utama
a. Hipertensi
Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak. Apabila pembuluh
darah otak menyempit maka aliran darah ke otak akan terganggu dan sel-sel otak akan mengalami
kematian.
b. Diabetes Mellitus
Debetes mellituas mampu ,menebalkan dinding pembuluh darah otak yang berukuran besar. Menebalnya
pembuluh darah otak akan menyempitkan diameter pembuluh darah yang akan menggangu kelancaran
aliran darah ke otak, pada akhirnya akan menyebabkan kematian sel- sel otak.
c. Penyakit Jantung
Beberapa Penyakit Jantung berpotensi menimbulkan strok. Dikemudian hari seperti Penyakit jantung
reumatik, Penyakit jantung koroner dengan infark obat jantung dan gangguan irana denyut janung. Factor
resiko ini pada umumnya akan menimbulkan hambatan atau sumbatan aliran darah ke otak karena jantung
melepaskan sel- sel / jaringan- jaringan yang telah mati ke aliran darah.
d. Transient Ischemic Attack (TIA)
TIA dapat terjadi beberapa kali dalan 24 jam/ terjadi berkali- kali dalam seminggu. Makin sering seseorang
mengalami TIA maka kemungkinan untuk mengalami stroke semakin besar.
Faktor Resiko Tambahan
a. Kadar lemak darah yang tinggi termasuk Kolesterol dan Trigliserida. Meningginya kadar kolesterol
merupakan factor penting untuk terjadinya asterosklerosis atau menebalnya dinding pembuluh darah yang
diikuti penurunan elastisitas pembuluh darah.
b. Kegemukan atau obesitas
c. Merokok
Merokok dapat meningkatkan konsentrasi fibrinogen yang akan mempermudah terjadinya penebalan
dinding pembuluh darah dan peningkatan kekentalan darah.
d. Riwayat keluarga dengan stroke
e. Lanjut usia
f. Penyakit darah tertentu seperti polisitemia dan leukemia. Polisitemia dapat menghambat kelancaran aliran
darah ke otak. Sementara leukemia/ kanker darah dapat menyebabkan terjadinya pendarahan otak.
g. Kadar asam urat darah tinggi
h. Penyakit paru- paru menahun.
C. MANIFESTASI KLINIK
Stroke ini menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana
yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder
atau aksesori)
a. Kehilangan motorik : hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sesi otak yang
berlawanan, hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh.
b. Kehilangan komunikasi : disartria (kesulitan bicara), disfasia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan
bicara), apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya)
c. Gangguan persepsi: disfungsi persepsi visual, gangguan hubungan visual-spasial, kehilangan sensori
d. Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
e. Disfungsi kandung kemih
Gejala - gejala CVA muncul akibat daerah tertentu tak berfungsi yang disebabkan oleh terganggunya aliran
darah ke tempat tersebut. Gejala itu muncul bervariasi, bergantung bagian otak yang terganggu. Gejala-
gejala itu antara lain bersifat:
a. Sementara
Timbul hanya sebentar selama beberapa menit sampai beberapa jam dan hilang sendiri dengan atau tanpa
pengobatan. Hal ini disebut Transient ischemic attack (TIA). Serangan bisa muncul lagi dalam wujud sama,
memperberat atau malah menetap.
b. Sementara,namun lebih dari 24 jam
Gejala timbul lebih dari 24 jam dan ini dissebut reversible ischemic neurologic defisit (RIND)
c. Gejala makin lama makin berat (progresif)
Hal ini desebabkan gangguan aliran darah makin lama makin berat yang disebut progressing stroke atau
stroke inevolution
d. Sudah menetap/permanent (Harsono,1996, hal 67)
D. PATOFISIOLOGI
1) Stroke Hemoragic
Perdarahan serebri termasuk urutan ketiga dari semua penyebab utama kasus gangguan pembuluh darah
otak. Perdarahan serebral dapat terjadi di luar duramater (hemoragi ekstradural atau epidural), dibawah
duramater, (hemoragi subdural), diruang subarachnoid (hemoragi subarachnoid) atau di dalam substansi
otak (hemoragi intraserebral).
Hemoragi ekstradural (epidural) adalah kedaruratan bedah neuro yang memerlukan perawatan segera. Ini
biasanya mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri dengan arteri meningea lain.
Hemoragi subdural (termasuk hemoragi subdural akut) pada dasarnya sama dengan hemoragi epidural,
kecuali bahwa hematoma subdural biasanya jembatan vena robek. Karenanya, periode pembentukan
hematoma lebih lama ( intervensi jelas lebih lama) dan menyebabkan tekanan pada otak. Beberapa pasien
mungkin mengalami hemoragi subdural kronik tanpa menunjukkan tanda dan gejala.
Hemoragi subarachnoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau hipertensi, tetapi penyebab paling sering
adalah kebocoran aneurisma pada area sirkulus wilisi dan malformasi arteri-vena kongenital pada otak.
Arteri di dalam otak dapat menjadi tempat aneurisma.
Hemoragi intraserebral paling umum pada pasien dengan hipertensi dan aterosklerosis serebral, karena
perubahan degeneratif karena penyakit ini biasanya menyebabkan ruptur pembuluh darah. pada orang yang
lebih muda dari 40 tahun, hemoragi intraserebral biasanya disebabkan oleh malformasi arteri-vena,
hemangioblastoma dan trauma, juga disebabkan oleh tipe patologi arteri tertentu, adanya tumor otak dan
penggunaan medikasi (antikoagulan oral, amfetamin dan berbagai obat aditif).
Perdarahan biasanya arterial dan terjadi terutama sekitar basal ganglia. Biasanya awitan tiba-tiba dengan
sakit kepala berat. Bila hemoragi membesar, makin jelas defisit neurologik yang terjadi dalam bentuk
penurunan kesadaran dan abnormalitas pada tanda vital. Pasien dengan perdarahan luas dan hemoragi
mengalami penurunan kesadaran dan abnormalitas pada tanda vital.
2) Stroke Non Hemoragic
Terbagi atas 2 yaitu :
a) Pada stroke trombotik, oklusi disebabkan karena adanya penyumbatan lumen pembuluh darah otak
karena thrombus yang makin lama makin menebal, sehingga aliran darah menjadi tidak lancer. Penurunan
aliran arah ini menyebabakan iskemi yang akan berlanjut menjadi infark. Dalam waktu 72 jam daerah
tersebut akan mengalami edema dan lama kelamaan akan terjadi nekrosis. Lokasi yang tersering pada
stroke trombosis adalah di percabangan arteri carotis besar dan arteri vertebra yang berhubungan dengan
arteri basiler. Onset stroke trombotik biasanya berjalan lambat.
b) Sedangkan stroke emboli terjadi karena adanya emboli yang lepas dari bagian tubuh lain sampai ke arteri
carotis, emboli tersebut terjebak di pembuluh darah otak yang lebih kecil dan biasanya pada daerah
percabangan lumen yang menyempit, yaitu arteri carotis di bagian tengah atau Middle Carotid Artery
( MCA ). Dengan adanya sumbatan oleh emboli akan menyebabkan iskemi
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa stroke antara lain adalah:
1. Angiografi
Arteriografi dilakukan untuk memperlihatkan penyebab dan letak gangguan. Suatu kateter dimasukkan
dengan tuntunan fluoroskopi dari arteria femoralis di daerah inguinal menuju arterial, yang sesuai kemudian
zat warna disuntikkan.
2. CT-Scan
CT-scan dapat menunjukkan adanya hematoma, infark dan perdarahan.
3. EEG (Elektro Encephalogram)
Dapat menunjukkan lokasi perdarahan, gelombang delta lebih lambat di daerah yang mengalami gangguan.
Pungsi Lumbal
- menunjukan adanya tekanan normal
- tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan
5. MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik.
6. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena
7. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal
(Doenges E, Marilynn,2000 hal 292)
F. KOMPLIKASI
Komplikasi utama pada stroke yaitu :
ü Hipoksia Serebral
ü Penurunan darah serebral
ü Luasnya area cedera
(Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)
G. PENATALAKSANAAN
1. Perawatan umum stroke
Ø Penatalaksanaan awal selama fase akut dan mempertahankan fungsi tubuh
Mengenai penatalaksanaan umum stroke, konsensus nasional pengelolaan stroke di Indonesia, 1999,
mengemukakan hal-hal berikut:
· Bebaskan jalan nafas dan usahakan ventilasi adekuat, bila perlu berikan oksigen 0-2 L/menit sampai ada
hasil gas darah.
· Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermiten.
· Penatalaksanaan tekanan darah dilakukan secara khusus.
Asia Pacific Consensus on Stroke Manajement, 1997, mengemukakan bahwa peningkatan tekanan darah
yang sedang tidak boleh diobati pada fase akut stroke iskemik. Konsensus nasional pengelolaan stroke di
Indonesia, 1999, mengemukakan bahwa tekanan darah diturunkan pada stroke iskemik akut bila terdapat
salah satu hal berikut :
- Tekanan sistolik > 220 mmHg pada dua kali pengukuran selang 30 menit.
- Tekanan diastolik > 120 mmHg pada dua kali pengukuran selang 30 menit.
- Tekanan darah arterial rata-rata > 130-140 mmHg pada dua kali pengukuran selang 30 menit.
- Disertai infark miokard akut/ gagal jantung atau ginjal akut.
Pada umumnya peningkatan tekanan darah pada fase akut stroke diakibatkan oleh :
o Stress daripada stroke
o Jawaban fisiologis dari otak terhadap keadaan hipoksia
o Tekanan intrakranial yang meninggi.
o Kandung kencing yang penuh
o Rasa nyeri.
Tekanan darah dapat berkurang bila penderita dipindahkan ke tempat yang tenang, kandung kemih
dikosongkan, rasa nyeri dihilangkan, dan bila penderita dibiarkan beristirahat.
· Hiperglikemia atau hipoglikemia harus dikoreksi.
Keadaan hiperglikemia dapat dijumpai pada fase akut stroke, disebabkan oleh stres dan peningkatan kadar
katekholamin di dalam serum. Dari percobaan pada hewan dan pengalaman klinik diketahui bahwa kadar
glukosa darah yang meningkat memperbesar ukuran infark. Oleh karena itu, kadar glukosa yang melebihi
200 mg/ dl harus diturunkan dengan pemberian suntikan subkutan insulin.
Konsensus nasional pengelolaan stroke di Indonesia mengemukakan bahwa hiperglikemia ( >250 mg% )
harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu sekitar 150 mg% dengan insulin intravena secara drips
kontinyu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia harus diatasi segera dengan memberikan dekstrose 40%
intravena sampai normal dan diobati penyebabnya.
· Suhu tubuh harus dipertahankan normal.
Suhu yang meningkat harus dicegah, misalnya dengan obat antipiretik atau kompres. Pada penderita
iskemik otak, penurunan suhu sedikit saja, misalnya 2-3 derajat celsius, sampai tingkat 33ºC atau 34 °C
memberi perlindungan pada otak. Selain itu, pembentukan oxygen free radicals dapat meningkat pada
keadaan hipertermia. Hipotermia ringan sampai sedang mempunyai efek baik, selama kurun waktu 2-3 jam
sejak stroke terjadi, dengan memperlebar jendela kesempatan untuk pemberian obat terapeutik.
· Nutrisi peroral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik, bila terdapat gangguan
menelan atau penderita dengan kesadaran menurun, dianjurkan melalui pipa nasogastrik.
· Keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan. Pemberian cairan intravena berupa cairan kristaloid
atau koloid, hindari yang mengandung glukosa murni atau hipotonik.
· Bila ada dugaan trombosis vena dalam, diberikan heparin dosis rendah subkutan, bila tidak ada kontra
indikasi.
Terapi farmakologi yang dapat diberikan pada pasien stroke :
a. Antikoagulasi dapat diberikan pada stroke non haemoragic, diberikan sdalam 24 jam sejak serangan
gejala-gejala dan diberikan secara intravena.
b. Obat antipletelet, obat ini untuk mengurangi pelekatan platelet. Obat ini kontraindikasi pada stroke
haemorhagic.
c. Bloker kalsium untuk mengobati vasospasme serebral, obat ini merilekskan otot polos pembuluh darah.
d. Trental dapat digunakan untuk meningkatkan aliran darah kapiler mikrosirkulasi, sehingga meningkatkan
perfusi dan oksigenasi ke jaringan otak yang mengalami iskemik.
Ø Kebutuhan psikososial
Gangguan emosional, terutama ansietas, frustasi dan depresi merupakan masalah umum yang dijumpai
pada penderita pasca stroke. Korban stroke dapat memperlihatkan masalah-masalah emosional dan
perilakunya mungkin berbeda dari keadaan sebelum mengalami stroke. Emosinya dapat labil, misalnya
pasien mungkin akan menangis namun pada saat berikutnya tertawa, tanpa sebab yang jelas. Untuk itu,
peran perawat adalah untuk memberikan pemahaman kepada keluarga tentang perubahan tersebut.
Hal-hal yang bisa dilakukan perawat antara lain memodifikasi perilaku pasien seperti seperti mengendalikan
simulasi di lingkungan, memberikan waktu istirahat sepanjang siang hari untuk mencegah pasien dari
kelelahan yang berlebihan, memberikan umpan balik positif untuk perilaku yang dapat diterima atau
perilaku yang positif, serta memberikan pengulangan ketika pasien sedang berusaha untuk belajar kembali
satu ketrampilan.
Ø Rehabilitasi selama di rumah sakit
Rehabilitasi di rumah sakit memerlukan pengkajian yang sistematik dan evaluassi dari defisit dan perbaikan
fungsi pasien. Fokus perawatan adalah langsung membantu pasien belajar kembali kehilangan keterampilan
yang dapat membentu kembali kemungkinan kemandirian pasien. Pada fase ini pasien dimonitor secara
hati-hati untuk mencegah berkembangnya komplikasi yang lebih lanjut. Adapun intervensi yang dapat kita
lakukan adalah sebagai berikut :
1. Anjurkan pasien untuk mengerjakan sendiri ”personal Hygiene” semampunya.
2. Ajarkan aktivitas kehidupan sehari-hari dengan menghargai cara pasien mengkompensasi
ketidakmampuan pasien.
3. Anjurkan pasien untuk latihan di tempat tidur.
4. Berikan spesial perawatan kulit.
5. Berikan privacy dengan menggunakan penutup jika ia belajar keahlian baru seperti belajar makan sendiri.
6. Berikan support emosional.
7. Berikan empati pada perasaan klien.anjurkan keluarga untuk berpartisipasi.
Ø Perencanaan pasien pulang
Untuk mencegah kembalinya klien ke rumah sakit, diperlikan suatu program untuk membimbing klien dan
keluarga yang tercakup dalam perencanaan pulang. Perencanaan pulang dilakukan segera setelah klien
masuk rumah sakit, yang dilakukan oleh semua anggota tim kesehatan. Perencanaan pulang yang baik
adalah perencanaan pulang yang tersentralisasi, terorganisir, dan melibatkan berbagai anggota tim
kesehatan.
Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan melalui asuhan
keperawatan mutlak harus mengikuti dan berperan aktif dalam mementukan rencana pemulangan klien,
sehingga klien mendapatkan pelayanan yang holistik dan komprehensif.
Tujuan perencanaan pulang :
a. Mempersiapkan klien untk menyesuaikan diri dengan rumah dan masyarakat.
b. Agar klien dan keluarga mempunyai pengetahuan dan ketrampilan serta sikap dalam memperbaiki dan
mempertahankan status kesehatannya.
c. Agar klien dan keluarga dapat menerima keadaan diri klien jika terdapat gejala sisa ( cacat ).
d. Membantu merujuk klien ke pelayanan kesehatan lain.
Mengingat banyaknya informasi dan pendidikan yang harus diterima oleh klien selama perawatan maupun
dalam persiapan untuk pulang, maka prinsip belajar mengajar juga harus diperhatikan dalam proses
rencana pemulangan.
Informasi untuk klien dan keluarga :
a. Gunakan bahasa yang sederhana, jelas dan ringkas.
b. Jelaskan langkah-langkah dalam melaksanakan perawatan.
c. Perkuat penjelasan lisan dengan instruksi tertulis, jika klien bisa membaca.
d. Motivasi klien mengikuti langkah-langkah tersebut selama perawatan dan pengobatan.
e. Kenali tanda-tanda dan gejala komplikasi yabg harus dilaporkan kepada tim kesehatan.
f. Anjurkan keluarga untuk berpartisipasi aktif dalam pengawasan dan perawatan klien.
g. Berikan keluarga nomor penting yang dapat dihubungi bila klien perlu pertolongan medis.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
I. Pengkajian
1. Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif:
- kesulitan dalam beraktivitas : kelemahan, kehilangan sensasi atau paralysis.
- mudah lelah, kesulitan istirahat ( nyeri atau kejang otot )
Data obyektif:
- Perubahan tingkat kesadaran
- Perubahan tonus otot ( flaksid atau spastic), paraliysis ( hemiplegia ) , kelemahan umum.
- gangguan penglihatan
2. Sirkulasi
Data Subyektif:
- Riwayat penyakit jantung ( penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung , endokarditis bacterial ),
polisitemia.
Data obyektif:
- Hipertensi arterial
- Disritmia, perubahan EKG
- Pulsasi : kemungkinan bervariasi
- Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal
3. Integritas ego
Data Subyektif:
- Perasaan tidak berdaya, hilang harapan
Data obyektif:
- Emosi yang labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan , kegembiraan
- kesulitan berekspresi diri
4. Eliminasi
Data Subyektif:
- Inkontinensia, anuria
- distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh ), tidak adanya suara usus( ileus paralitik )
5. Makan/ minum
Data Subyektif:
- Nafsu makan hilang
- Nausea / vomitus menandakan adanya PTIK
- Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan, disfagia
- Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah
Data obyektif:
- Problem dalam mengunyah ( menurunnya reflek palatum dan faring )
- Obesitas ( factor resiko )
6. Sensori neural
Data Subyektif:
- Pusing / syncope ( sebelum CVA / sementara selama TIA )
- nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub arachnoid.
- Kelemahan, kesemutan/kebas, sisi yang terkena terlihat seperti lumpuh/mati
- Penglihatan berkurang
- Sentuhan : kehilangan sensor pada sisi kolateral pada ekstremitas dan pada muka ipsilateral ( sisi yang
sama )
- Gangguan rasa pengecapan dan penciuman
Data obyektif:
- Status mental ; koma biasanya menandai stadium perdarahan , gangguan tingkah laku (seperti: letergi,
apatis, menyerang) dan gangguan fungsi kognitif
- Ekstremitas : kelemahan / paraliysis ( kontralateral pada semua jenis stroke, genggaman tangan tidak
imbang, berkurangnya reflek tendon dalam ( kontralateral )
- Wajah: paralisis / parese ( ipsilateral )
- Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif/ kesulitan berkata kata, reseptif
/ kesulitan berkata kata komprehensif, global / kombinasi dari keduanya.
- Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, pendengaran, stimuli taktil
- Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik
- Reaksi dan ukuran pupil : tidak sama dilatasi dan tak bereaksi pada sisi ipsi lateral
7. Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
- Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya
Data obyektif:
- Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot / fasial
8. Respirasi
Data Subyektif:
- Perokok ( factor resiko )
Tanda:
- Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas
- Timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur
- Suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
9.Keamanan
Data obyektif:
- Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan
- Perubahan persepsi terhadap tubuh, kesulitan untuk melihat objek, hilang kewasadaan terhadap bagian
tubuh yang sakit
- Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali
- Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh
- Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan, berkurang kesadaran diri
10. Interaksi social
Data obyektif:
- Problem berbicara, ketidakmampuan berkomunikasi
11. Pengajaran / pembelajaran
Data Subjektif :
- Riwayat hipertensi keluarga, stroke
- penggunaan kontrasepsi oral
12. Pertimbangan rencana pulang
- menentukan regimen medikasi / penanganan terapi
- bantuan untuk transportasi, shoping , menyiapkan makanan , perawatan diri dan pekerjaan rumah
(Doenges E, Marilynn,2000 hal 292)
Kolaborasi:
- Pemberian anti emetic dengan jadwal reguler
- Vitamin A,D,E dan B6
- Rujuk ahli diit
- Pasang /pertahankan slang NGT untuk pemberian makanan enteral
(DoengesE, Marilynn,2000 hal 293-305)
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Stroke adalah suatu penyakit gangguan fungsi anatomi otak yang terjadi secara tiba-tiba dan cepat,
disebabkan karena gangguan perdarahan otak. Stroke juga menjadi salah satu penyebab kematian dan
kecacatan neurologis yang utama. Stroke dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
Infark Ischemik (Stroke non Hemoragi)
Hal ini terjadi karena adanya penyumbatan pembuluh darah otak
Perdarahan (Stroke Hemoragi)
Terjadi pecahnya pembuluh darah otak.
Faktor-faktor risiko yang dapat ditemui pada klien dengan stroke yaitu:
Faktor risiko utama
a. Hipertensi
b. Diabetes Melitus
c. Penyakit Jantung
d. Transient Ischemic Attack (TIA)
Faktor resiko tambahan
a. Kadar lemak darah yang tinggi termasuk kolesterol dan trigliserida
b. Kegemukan atau obesitas
c. Merokok
d. Riwayat keluarga dengan stroke
e. Lanjut Usia
f. Penyakit darah tertentu seperti polisitemia dan leukemia
g. Kadar asam urat darah tinggi
h. Penyakit paru-paru menahun
B. Saran
Dari uraian diatas dapat kami sarankan sebaiknya para pembaca khususnya perawat dengan kasus stroke
mengetahui tentang:
Faktor-faktor resiko yang dapat ditemui pada klien dengan stroke
laboratorium yang perlu dilakukan
Cara penatalaksanaan pada stroke.
DAFTAR PUSTAKA
Ancowitz, A. 1993. The Stroke Book. New York : William Morrow and Company, inc.
Hudak Gallo. 1997. Keperawatan Kritis Edisi VI Volume II. Jakarta : EGC.
Pahria, Tuti, dkk. 1996. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta :
EGC.
http://fijaytrangkil.blogspot.com/2008/06/asuhan-keperawatan-klien-dengan-
stroke.html
Pendahuluan data
Salah satu cermin keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia dapat dilihat dari
meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia yaitu 67 tahun untuk wanita dan 63
tahun untuk pria yang mencapai 19 juta jiwa atau 8,5% dari penduduk Indonesia. Dari
jumlah tersebut sebagian besar di antara mereka daya tahan tubuhnya sangat rentan
terhadap berbagai serangan penyakit. Terutama penyakit yang berhubungan dengan faktor
usia seperti tekanan darah tinggi, serangan jantung, stroke dan sebagainya.
Salah satu cermin keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia dapat dilihat dari
meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia yaitu 67 tahun untuk wanita dan 63
tahun untuk pria yang mencapai 19 juta jiwa atau 8,5% dari penduduk Indonesia. Dari
jumlah tersebut sebagian besar di antara mereka daya tahan tubuhnya sangat rentan
terhadap berbagai serangan penyakit. Terutama penyakit yang berhubungan dengan faktor
usia seperti tekanan darah tinggi, serangan jantung, stroke dan sebagainya.
Untuk mengantisipasi Hal tersebut, Nusantara Stroke & Medical Center menyelenggarakan
seminar untuk meminimalkan angka kejadian stroke yang dialami para lanjut usia (lansia)
pada tanggal 6 Juli 2004. Menurut Komisaris Utama NSMC Prof Dr Haryono Suyono, Stroke
merupakan suatu penyakit yang menyerang syaraf otak manusia sehingga mereka yang
terkena serangan strokeakan mengalami kelumpuhan sebagian anggota tubuhnya
tergantung susunan syaraf bagian mana yang terserang. Biasanya penyakit ini akan
menyerang orang-orang berusia lanjut, namun tidak tertutup kemungkinan menyerang
meraka yang berusia muda akibat perubahan pola hidup dan gaya hidup.
Meski begitu, untuk menghindarinya stroke perlu dikenali dan dipahami cara
pencegahannya melalui pola hidup sehat seperti makan dengan gizi seimbang, cukup
istirahat dan olah raga, tidak merokok dan sebagainya agar suatu saat nanti para usia
lanjut tidak segera mengalami kepikunan dan masih dapat hidup mandiri bahkan produktif.
Diakuinya, semua orang akan mengalami masa tua dan usia lanjut yang secara alami tidak
dapat dihindarkan. Pada usia tersebut akan terjadi kemunduran sel-sel yang dapat
mempengaruhi fungsi dan kemampuan sistem tubuh termasuk syaraf, jantung dan
pembuluh darah. Berbgai masalah yang dihadapi usia lanjut anatara lain penyakit yang
biasanya betsifat kronis dan memerlukan penanganan speialistik sehingga membutuhkan
waktu relatif lama dan biaya tinggi.
Keterbatasan gerak dan kelincahannya serta usia pensiun yang menyebabkan usia lanjut
cenderung menurun dan kemudian akan mempengaruhi mental serta kehidupan sosialnya.
Karena itu para usia lanjut membutuhkan perhatian khusus dari keluarganya dan
masyarakat. Namun kondisi saat ini menyebabkan para anggota keluarga banyak yang
bekerja maupun mempunyai kegiatan di luar rumah menyebabkan para usia lanjut merasa
tersisihkan.
Sesuai dengan status kesehatan, kondisi ekonomi, sosial budaya, pendidikan maupun
lingkungannya, usia lanjut mempunyai pola hidup yang berbeda satu dengan lainnya.
Karenanya, kebutuhan usia lanjut pun dapat berbeda, termasuk kebutuhan kesehatannya.
Mengingat hal itu, perlu dilakukan pengkajian kebutuhan kesehatan usia lanjut.
Haryono, berharap di masa mendatang dapat dikembangkan berbagai kegiatan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia melalui berbagai
pelatihan bagi keluarga, pengasuh usia lanjut, petugas panti wreda, serta penyediaan buku-
buku, leaflet, booklet atau poster tentang upaya kesehatan lanjut usia.
Bukan hanya itu Yastroki sebagai suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli
terhadap stroke dan usia lanjut, dapat mengembangkan ataupun memfasilitasi
pembentukan kelompok usia lanjut binaan sebagai suatu wadah kegiatannya sebagai model
kegiatan dalam rangka peningkatan kualitas hidup usia lanjut.
Di dalam kelompok ini, usia lanjut dapat saling berdiskusi tentang pengalaman
kesehatannya, saling bertukar pikiran, senam bersama, berdansa/berjoget atau melakukan
kegiatan apa saja yang dibutuhkan. Dengan demikian mereka tidak merasa kesepian dan
akan mendapatkan banyak pengetahuan tentang kesehatan dismping menerima pelayanan
kesehatan secara sederhana yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di puskesmas, sehingga
apa yang kita cita-citakan, yaitu terbentuknya klub stroke berbasis masyarakat bisa
terwujud.
Para usia lanjut yang terpaksa harus tinggal di rumah karena lemah atau pasca perawatan
dan membutuhkan perawatan kesehatan dapat dibantu dengan ?Perawatan Kesehatan Usia
Lanjut di rumah? yang biasa dikenal dengan Home Care melalui pemberdayaan keluarga
dan masyarakat. RIS
http://www.yastroki.or.id/read.php?id=124
KAPANLAGI.COM] - Pihak Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia memprediksi akan
terjadi lonjakan (boom) jumlah penduduk lanjut usia (lansia) di negara Indonesia menyusul kian membaiknya
tingkat kesejahteraan yang diiringi kian membaiknya pula tingkat derajat kesehatan masyarakat.
“Menjadi lansia bukanlah pilihan, tetapi melihat tingkat kesehatan dan kesejahteraan belakangan ini maka lansia
merupakan sebuah kehidupan,” kata Deputi Bidang Perlindungan Perempuan, Kementerian Negara Pemberdayaan
Perempuan RI, Drs. Subagio di Banjarmasin, Kamis (18/9/2008).
Ia berada di Banjarmasin untuk menghadiri acara sosialisasi perlindungan perempuan lansia dan penyandang cacat
tingkat Kota Banjarmasin. Subagio menjelaskan penduduk yang disebut lansia adalah yang berusia di atas dari
60 tahun.
Menurutnya, komposisi penduduk Indonesia belakangan ini kian terbalik, angka kelahiran sudah tidak terlalu
meningkat lagi, tetapi jumlah angka harapan hidup yang terus meningkat, yang pada gilirannya akan menimbulkan
jumlah penduduk lansia terus membengkak secara drastis.
Pada tahun 1971 lalu penduduk Indonesia yang dikategorikan lansia masih sekitar 4,5%, atau 5,3 juta orang,
sementara penduduk kategori usia di bawah lima tahun (balita) sebesar 16,1%.
Namun pada tahun 2000 jumlah lansia Indonesia sudah mencapai tiga kali lipat yakni menjadi 14,4 juta orang.
Pada tahun 2005 kondisi komposisi penduduk Indonesia telah berubah yang menjadikan penduduk lansia mencapai
7% dan balita 8,2%.
Sedangkan ramalan pihak badan kesehatan dunia WHO bahwa penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2020
mendatang sudah mencapai angka 11,34% atau tercatat 28,8 juta orang, balitanya tinggal 6,9% yang menyebabkan
jumlah penduduk lansia terbesar di dunia.
Melihat tingkat kesehatan dan kesejahteraan kian membaik maka angka harapan hidup penduduk Indonesia juga
kian meningkat pula, khususnya perempuan di mana usia perempuan akan lebih panjang.
Usia lanjut khususnya perempuan bukan berarti tidak meninggalkan masalah di tengah masyarakat, makanya perlu
antisipasi dan penanganan dalam menghadapi boom lansia tersebut.
Menurut Subagio terdapat dua model penanganan lansia, ada lansia yang memang tidak produktif ditangani secara
khusus, tetapi ada pula lansia walau udah tua tetapi masih produktif. Mereka yang masih produktif khususnya
perempuan bisa diarahkan ke dalam kegiatan ekonomi produktif. [kpl/rif/foto
22/5/2009 (Kominfo-Newsroom) � Jumlah orang lanjut usia (lansia) di Indonesia saat ini sekitar 16,5 juta jiwa dari
seluruh jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 220 juta jiwa.
�Jumlah lansia saat ini sekitar 16,5 juta, termasuk di dalamnya lansia yang masih potensial, dan jumlahnya dari
tahun ke tahun terus meningkat,� kata Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial (Yanrehsos), Depsos, Makmur
Sunusi pada konperensi pers dalam rangka Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) Tahun 2009 di Jakarta, Jumat (22/5).
Menurutnya, tahun 1980 jumlah lansia masih 7 juta jiwa, kemudian tahun 1990 naik menjadi
12 juta orang, sedangkan tahun 2000 naik menjadi 14 juta jiwa. Tahun 2010, katanya, diperkirakan jumlah lansia
mencapai 23 juta jiwa, dan tahun 2020 menjadi 28 juta orang lebih.
Dikemukakan, sebenarnya, semua lansia yang jumlahnya saat ini sekitar 16,5 juta orang, mendapatkan pelayanan
yang sama, baik yang potensial maupun yang tidak potensial. Namun karena terbatasnya anggaran, maka
diprioritaskan bagi lansia yang non-potensial atau terlantar.
Ia mengatakan, jumlah lansia yang terlayani kurang lebih lima persen dari jumlah lansia terlantar yang menurut data
Pusdatin Kesos tahun 2008 sebanyak 1,6 juta orang.
Pelayanan tersebut dilakukan melalui pusat-pusat pelayanan sosial, panti jompo, dan lain-lain. Namun
Karena itu, katanya, Depsos akan mencoba mencari solusi, di antaranya dengan melakukan pendekatan komunitas
dan keluarga.
Sementara
itu Sekjen Komnas Lansia, Toni Hartono dalam kesempatan sama mengatakan, kontribusi Komnas Lansia
dalam acara Temu Nasional Bina Keluarga Lansia (BKL) yang diselenggarakan BKKBN diminta menjadi pembicara
utama yang disampaikan Ketua Komnas Lansia, Inten Suweno.
Selain itu juga merencanakan untuk mensosialisasikan konsep Menua Secara Aktif, artinya jangan menunggu kapan
masuk panti jompo.
“Dengan konsep Menua Secara Aktif, maka seseorang walaupun telah pensiun tetap diusahakan supaya terus aktif,
baik di tengah masyarakat maupun dalam proses pembangunan,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa pada peringatan HLUN tahun 2009 ini, Depsos akan melaksanakan launching Jaminan Sosial
Lanjut Usia (JSLU) Tahun 2009 oleh Menteri Sosial di Puspitek, Tangerang.
http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/jumlah-lansia-di-indonesia-165-
juta-orang/
BEBERAPA wilayah di Indonesia akan mengalami ledakan penduduk lansia (lanjut usia) pada 2010
hingga 2020. Jumlah lansia diperkirakan naik mencapai 11,34% dari jumlah penduduk di Indonesia.
"Harus ada upaya antisipasi karena lansia merupakan kelompok umur yang kurang berdaya sehingga
menjadi beban masyarakat, keluarga, dan pemerintah. Untuk masalah ini, kita punya dua kota
perconto; han, yaitu di Tulungagung, Jawa Timur, dan Binjai, Sumatra Utara," kata Asisten Deputi
Urusan Perempuan, Lansia dan Penyandang Cacat, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Lies
Rostianty, dalam acara sosialisasi kebijakan penanganan lansia di Yogyakarta, Sabtu (19/12).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2007, jumlah lansia di Indonesia mencapai 18,96
juta orang.Dari jumlah tersebut, 14% di antaranya berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
atau yang merupakan daerah paling tinggi jumlah lansianya. Disusul Provinsi Jawa Tengah (11,16%),
Jawa Timur (11,14%), dan Bali (11,02%).Lies kembali mengatakan, untuk kota percontohan,
antisipasi ledakan lansia di Binjai dilakukan dengan model pendekatan senior center.
Model itu diterapkan dengan mengumpulkan para lansia dan mereka melakukan kegiatan secara
terarah mulai dari kegiatan kesehatan, keterampilan, rohani hingga rekreasi.Sementara itu,
percontohan di Tulunggagung dilakukan dengan pendekatan homecare, yaitu pendekatan penanganan
dengan melibatkan peranan keluarga dan masyarakat.Tinggi harapan hidup Sementara itu. Ketua
Pokja Peningkatan, Pemeliharaan Intelegensi Lansia, Pemerintah Kota Yogyakarta Tri Kirana
mengatakan tingginya angka lansia di DIY disebabkan karena angka harapan hidupnya juga tinggi.
Data di Kota Yogyakarta, misalnya, harapan hidupnya mencapai usia 77 tahun (perempuan) dan 75
tahun (laki-laki). Tingginya harapan hidup itu karena secara geografis, luas Kota Yogyakarta kecil
sehingga akses terhadap fasilitas kesehatan mudah dijangkau."Untuk memberdayakan dan
pendampingan terhadap lansia yang ada, kita memiliki 598 kelompok lansia yang secara rutin kita
bina,"
http://bataviase.co.id/detailberita-10423665.html